Anda di halaman 1dari 11

BACTERIAL VAGINOSIS

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bacterial Vaginosis (BV) adalah suatu kondisi perubahan ekologi vagina


yang ditandai dengan pergeseran keseimbangan flora vagina dimana dominasi
Lactobacillus digantikan oleh bakteri-bakteri anaerob. Bakterial vaginosis
merupakan kondisi yang umum dijumpai pada wanita usia reproduktif. Prevalensi
kejadian bakterial vaginosis di seluruh dunia terbilang cukup tinggi. Penelitian
yang dilakukan Amsel dkk pada wanita yang mendatangi klinik ginekologi di
pusat kesehatan Universitas Washington, Amerika mendapatkan prevalensi BV
sebesar 25 %, 50 % diantaranya asimtomatis (Hillier SL, 2005).
Studi cohort yang dilakukan Hillier dkk pada 10.397 wanita hamil yang
mengunjungi 7 pusat kesehatan di Amerika didapatkan prevalensi penderita BV
sebesar 16 %. Pada pemeriksaan antenatal terhadap ibu hamil yang dilakukan di
negara-negara maju dilaporkan prevalensi BV antara 5-21 %.
Penelitian di Delhi, India menemukan 32,8% kasus BV dengan 31,2%
diantaranya asimtomatis. Banyak peneliti melaporkan 50 % kasus BV
asimtomatik (Hillier SL, 2005).
Prevalensi dari BV dan distribusi bentuk tipenya bervariasi diantara
populasi dunia. Beberapa penelitian melaporkan bahwa prevalensi BV tinggi di
antara populasi penduduk Afrika, Afro-Amerika dan Afro-karibia. Penelitian pada
wanita Asia di India dan Indonesia melaporkan bahwa prevalensi vaginosis
bakteri sekitar 32% (Ocviyanti D, et al. 2010).
Pada tahun 2005 di Jakarta prevalensi infeksi saluran reproduksi yang
terjadi yaitu kandidiasis 6,7%, trikomoniasis 5,4% dan BV 5,1%. Menurut data
tahun 2007 di Indonesia prevalensi infeksi saluran reproduksi sebagai berikut BV
53% serta vaginal kandidiasis 3%. Tahun 2008 prevalensi infeksi saluran
reproduksi pada remaja putri dan wanita dewasa yang disebabkan oleh BV sebesar
46%, kandidiasis 29%, dan trikomoniasis 12% (Manuaba I.B.G, 2007). Bakterial
vaginosis dikaitkan dengan berat bayi lahir rendah, ketuban pecah dini,
korioamnionitis, penyakit inflamasi pelvis, dan sepsis post abortus (Linda O,
Eckert MD,2006).

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Bacterial vaginosis (BV) adalah penyebab tersering timbulnya duh vagina
yang abnormal pada wanita yang reproduktif. Gejala ini ditandai dengan
perubahan populasi flora normal Lactobacillus dan terjadi pertumbuhan bakteri
anaerob di vagina yang disebabkan hilangnya pH normal vagina. Istilah BV
sendiri disetujui pada tahun 1983 menggantikan istilah sebelumnya yaitu
Gardnerella Vaginitis (Hay P., 2002).
2.2 Etiologi
Beberapa literatur telah dikemukakan oleh para ahli, ditemukannya bakteri
pada duh vagina yaitu Gardnerella vaginalis dan bakteri - bakteri anaerob lainnya
menjadi penyebab BV(Roman and Pernoll, 2003).
Lactobacillus yang merupakan flora normal dominan pada vagina
digantikan oleh Gardnerella vaginalis dan kuman - kuman anaerob, yaitu
Peptostreptococcus, basil Gram negatif anaerob, Mobiluncus dan Mycoplasma
hominis yang tumbuh berlebihan (Linda O, Eckert MD, 2006).

Gambar 1. Pewarnaan gram dari swab vagina wanita dengan flora normal. Sel epitel dan intinya
dapat terlihat jelas. Bakteri batang gram positif adalah bentuk dari Lactobacillus (Hay P., 2002).

Gambar 2. Pewarnaan gram dari swab vagina wanita BV. Ada banyak bakteri berukuran kecil.
Beberapa merupakan bakteri gram positif dan sebagian gram negatif. Bentuk batang yang agak
melengkung khas pada Mobiluncus mulieris. Clue cell tidak terlihat pada gambar ini (Hay P.,
2002).
2.3 Patofisiologi

Leukorea adalah nama gejala yang diberikan kepada cairan yang


dikeluarkan dari alat-alat genital yang tidak berupa darah. Dalam kondisi normal,
kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan jernih yang keluar, bercampur
dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan sekresi dari kelenjar Bartolin.
Selain itu sekret vagina juga disebabkan karena aktivitas bakteri yang hidup pada
vagina yang normal. Pada perempuan, sekret vagina ini merupakan suatu hal yang
alami dari tubuh untuk membersihkan diri, sebagai pelicin dan pertahanan dari
berbagai infeksi. Dalam kondisi normal, sekret vagina tersebut tampak jernih,
putih keruh atau berwarna kekuningan. Sekret ini non-irritan, tidak mengganggu,
tidak terdapat darah, dan memiliki pH 3,5-4,5. Flora normal vagina meliputi
Corinebacterium, Bacteroides, Peptostreptococcus, Gardnerella, Mobiluncuc,
Mycoplasma dan Candida spp. Lingkungan dengan pH asam memberikan fungsi
perlindungan yang dihasilkan oleh Lactobacillus (Amiruddin, 2003).

Lingkungan vagina yang normal ditandai adanya suatu hubungan yang


dinamis antara Lactobacillus acidophilus dengan flora endogen lain, estrogen,
glikogen, pH vagina dan hasil metabolit lain. Lactobacillus acidophilus
menghasilkan endogen peroksida yang toksik terhadap bakteri pathogen. Karena
aksi dari estrogen pada epitel vagina, produksi glikogen, lactobacillus (Doderlein)
dan produksi asam laktat yang menghasilkan pH vagina yang rendah sampai 3,8-
4,5 dan pada level ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain(Amiruddin,
2003).

Vaginitis sering disebabkan karena flora normal vagina berubah karena


pengaruh bakteri patogen atau adanya perubahan dari lingkungan vagina sehingga
bakteri patogen itu mengalami proliferasi. Antibiotik kontrasepsi, hubungan
seksual, stres dan hormon dapat merubah lingkungan vagina tersebut dan memacu
pertumbuhan bakteri patogen. Pada vaginosis bacterial, diyakini bahwa faktor-
faktor itu dapat menurunkan jumlah hidrogen peroksida yang dihasilkan oleh
Lactobacillus acidophilus sehingga terjadi perubahan pH dan memacu
pertumbuhan Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis dan Mobiluncus yang
normalnya dapat dihambat. Organisme ini menghasilkan produk metabolit
misalnya amin, yang menaikkan pH vagina dan menyebabkan pelepasan sel-sel
vagina. Amin juga merupakan penyebab timbulnya bau pada flour albus pada
vaginosis bacterial(Amiruddin, 2003).

Infeksi BV dinyatakan sebagai infeksi polimikrobial yang disebabkan oleh


penurunan jumlah laktobasilus dikuti oleh peningkatan bakteri anaerob yang
berlebihan. Keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang ditandai dengan
perubahan konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) hasil produksi flora normal
Lactobacillus di vagina. Penurunan konsentrasi H2O2 digantikan oleh
peningkatan konsentrasi bakteri anaerob (Mobiluncus, Provetella,
Peptostreptococcus, Bacteroides, dan Eubacterium) dan bakteri fakultatif
(Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis, Enterococcus dan grup β
Streptococcus). Diketahui bahwa H2O2 dapat menghambat pertumbuhan kuman
kuman yang terlibat dalam vaginosis, yaitu oleh terbentuknya H2O-halida karena
pengaruh peroksidase alamiah yang berasal dari serviks. Dengan meningkatnya
pertumbuhan kuman, produksi senyawa amin oleh kuman anaerob juga
bertambah, yaitu berkat adanya dekarboksilase mikrobial. Senyawa amin yang
terdapat pada cairan vagina yaitu putresin, kadaverin, metilamin, isobutilamin,
fenetilamin, histamin, dan tiramin. Bakteri anaerob dan enzim yang bukan
diproduksi oleh Gardnerella dalam suasana pH vagina yang meningkat akan
mudah menguap dan menimbulkan bau amis, bau serupa juga dapat tercium jika
pada sekret vagina yang diteteskan KOH 10%. Senyawa amin aromatik yang
berkaitan dengan timbulnya bau amis tersebut adalah trimetilamin, suatu senyawa
amin abnormal yang dominan pada BV. Poliamin asal bakteri ini bersamaan
dengan asam organik yang terdapat dalam vagina penderita infeksi BV, yaitu asam
asetat dan suksinat, bersifat sitotoksik dan menyebabkan eksfoliasi epitel vagina.
Hasil eksfoliasi yang terkumpul membentuk sekret vagina. Dalam pH yang alkalis
Gardnerella vaginalis melekat erat pada sel epitel vagina yang lepas dan
membentuk clue cells. Secara mikroskopik clue cells nampak sebagai sel epitel
yang sarat dengan kuman, terlihat granular dengan pinggiran sel yang hampir
tidak tampak. Perubahan ini umumnya ditandai dengan produksi sekret vagina
yang banyak, berwarna abu-abu, tipis, homogen, berbau amis dan terdapat
peningkatan pH (Hay P., 2002).

2.4 Gejala Klinis


Eschenbach DA, dkk, Dari 293 wanita dengan vaginosis bakteri yang
didiagnosis menggunakan pengecatan gram sederhana, 65% memiliki gejala
peningkatan keputihan dan atau bau tak sedap pada vagina, sedangkan 74%
memiliki tanda-tanda keputihan karakteristik homogen atau bau seperti amina.
Peningkatan pH vagina merupakan tanda paling spesifik dan bau seperti amina
menjadi tanda yang paling sensitif pada BV (Amsel R. dkk., 1983).

2.5 Diagnosis

Menegakkan diagnosis BV akan lebih muda bila menggunakan kriteria Amsel


(Amsel R. dkk., 1983) setidaknya terpenuhi 3 dari 4 kriteria, yaitu:
1. Adanya peningkatan jumlah cairan vagina yang bersifat homogen.
Keluhan yang sering ditemukan pada wanita dengan BV adalah adanya
gejala cairan vagina yang berlebihan,berwarna putih yang berbau amis dan
menjadi lebih banyak setelah melakukan hubungan seksual. Pada
pemeriksaan spekulum didapatkan cairan vagina yang encer, homogen,
dan melekat pada dinding vagina namun mudah dibersihkan. Pada
beberapa kasus, cairan vagina terlihat berbusa yang mana gejala hampir
mirip dengan infeksi trikomoniasis sehingga kadang sering keliru dalam
menegakan diagnosis.
2. pH cairan vagina yang lebih dari 4,5
pH vagina ditentukan dengan pemerikasaan sekret vagina yang diambil
dari dinding lateral vagina menggunakan cotton swab dan dioleskan pada
kertas strip pH. Pemeriksaan ini cukup sensitif, 90% dari penderita BV
mempunyai pH cairan vagina lebih dari 5; tetapi spesitifitas tidak tinggi
karena PH juga dapat meningkat akibat pencucian vagina, menstruasi atau
adanya sperma. pH yang meningkat akan meningkatkan pertumbuhan
flora vagina yang abnormal.
3. Whiff test Positif
Whiff test diuji dengan cara meneteskan KOH 10% pada sekret vagina,
pemeriksaan dinyatakan positif jika setelah penentesan tercium bau amis.
Diduga meningkat pH vagina menyebabkan asam amino mudah terurai
dan menegeluarkan putresin serta kadaverin yang berbau amis khas. Bau
amis ini mudah tercium pada saat melakukan pemeriksaan spekulum, dan
ditambah bila cairan vagina tersebut kita tetesi KOH 10% . Cara ini juga
memberikan hasil yang positif terhadap infeksi trikomoniasis.
4. Ditemukan clue cells pada pemeriksaan mikroskopis
Menemukan clue cells di dalam sekret vagina merupakan hal yang sangat
esensial pada kriteria Amsel. Clue cells merupakan sel-sel epitel vagina
yang dikelilingi oleh bakteri Gram variabel coccobasilli sehingga yang
pada keadaan normal sel epitel vagina yang ujung-ujungnya tajam,
perbatasanya menjadi tidak jelas atau berbintik. Clue cells dapat
ditemukan dengan pengecatan gram secret vagina dengan pemeriksaan
laboratorium sederhana dibawah mikroskop cahaya. Jika ditemukan paling
sedikit 20% dari lapangan pandang.

Gambar 4. Gambar Clue Cell dari Pengecatan Salin (Amsel R. dkk., 1983)

Terdapat juga kriteria lain yang dapat membantu, yaitu Kriteria Nugent
atau juga dikenal sebagai skor Nugent merupakan metode diagnosis infeksi BV
dengan pendekatan berdasarkan jumlah bakteri yang ada pada sekret vagina.
Kriteria Nugent merupakan modifikasi dari metode Spiegel dalam penghitungan
jumlah kuman pada preparat basah sekret vagina (Nugent, Krohn, dan Hillier,
1991).
Kriteria Nugent dinilai dengan adanya gambaran Lactobacillus,
Gardnerella vaginalis dan Mobiluncus spp. (skor dari 0 sampai 4 tergantung pada
ada atau tidaknya pada preparat). Kuman batang Gram negatif/Gram variable
kecil (Garnerella vaginalis) jika lebih dari 30 bakteri per lapangan minyak imersi
(oif) diberi skor 4; 6-30 bakteri per oif diberi skor 3; 1-5 bakteri per oif diberi skor
2; kurang dari 1 per oif diberi skor 1; dan jika tidak ada diberi skor 0. Kuman
batang Gram-positif besar (Lactobacillus) skor terbalik, jika tidak ditemukan
kuman tersebut pada preparat diberi skor 4; kurang dari 1 per oif diberi skor 3; 1-5
per oif diberi skor 2; 6-30 per oif diberi skor 1; dan lebih dari 30 per oif diberi
skor 0. Kuman batang Gram berlekuk-variabel (Mobiluncus sp.) , jika terdapat
lima atau lebih bakteri diberi skor 2 , kurang dari 5 diberi skor 1 , dan jika tidak
adanya bakteri diberi skor 0. Semua skor dijumlahkan hingga nantinya
menghasilkan nilai akhir dari 0 sampai 7 atau lebih. Kriteria untuk infeksi BV
adalah nilai 7 atau lebih tinggi; skor 4-6 dianggap sebagai intermediate, dan skor
0-3 dianggap normal (Nugent, Krohn, dan Hillier, 1991).

2.6 Penatalaksanaan
Antibiotik yang terpilih untuk mengobati BV adalah golongan antibiotik
yang dapat menghambat aktivitas bakteri anaerob. Metronidazole dan klindamisin
adalah pilihan antibiotik untuk BV. Secara teori, antibiotik yang tidak aktif
melawan flora normal Lactobacilus (misalnya metronidazole) dapat menyebabkan
peningkatan flora normal vagina dibandingkan dengan Klindamisin yang dapat
melawan pertumbuhan flora normal vagina. Namun, klindamisin memiliki
kemampuan yang lebih kuat dalam melawan bakteri-bakteri M hominis,
Mobiluncus spp dan G vaginalis dibandingkan metronidazole. Pengobatan standar
BV adalah pemberian metronidazole 400 mg peroral 2 kali sehari selama 5 hari.
Alternatifnya adalah metronidazole 2 gram dosis tunggal. Angka kesembuhan
metronidazole sampai 95 % namun setelah 2 minggu menurun menjadi 80%.
Pilihan pengobatan topikal juga cukup baik misalnya krim klindamisin 2% atau
gel metronidazole 0,75% intravagina. Pengobatan topikal memang lebih mahal
namun memiliki efikasi yang sama dengan pemberian oral. Pengobatan topikal ini
dapat dipertimbangkan pemberiannya pada pasien yang tidak dapat menerima
pengobatan sistemik (Hay P., 2002).

Terapi diindikasikan kepada (Ison dan Hay, 2002):


a. Wanita yang simptomatik
b. Wanita yang akan menjalani prosedur pembedahan
c. Wanita dengan gejala BV yang tidak khas namun duh vaginanya membaik
setelah pemberian terapi.
Regimen yang direkomendasikan:
 Metronidazole 400-500 mg dua kali sehari selama 5-7 hari(A)
 Atau Metronidazole 2 g dosis tunggal (A).
Regimen alternatif:
 Intravaginal metronidazole gel (0.75%) sekali sehari selama 5
hari (A)
 Atau Intravaginal klindamisin krim (2%) sekali sehari selama 7
hari (A)
 Atau Klindamisin 300 mg 2 kali sehari selama 7 hari (A).
 Tinidazole 2g dosis tunggal (A).

Efek samping dari metronidazole seperti yang diketahui adalah berupa


nausea, rasa kembung pada perut, serta intoleransi alkohol. Kadang dapat diikuti
kemerahan pada kulit. Tidak ada bukti yang menyatakan metronidazole bersifat
teratogenik sehingga metronidazole bisa digunakan pada wanita hamil.
Klindamisin memiliki efek samping kemerahan kulit serta kolitis
pseudomembran. Sekitar 10% wanita yang mendapat pengobatan BV
mengeluhkan kandidosis vagina (Hay P., 2002).

Saran yang diberikan kepada penderita yaitu pasien menghindari sabun


pencuci vagina, shower gel, serta tidak memasukkan cairan antiseptik atau
shampo di air mandi (Ison dan Hay, 2002).

2.7. Komplikasi

Infeksi BV yang tidak mendapat penanganan yang baik dapat


menyebabkan komplikasi, antara lain, endometritis, penyakit radang panggul,
sepsis paskaaborsi, infeksi paskabedah, infeksi paskahisterektomi, peningkatan
risiko penularan HIV dan IMS lain. Infeksi BV merupakan faktor risiko potensial
untuk penularan HIV karena pH vagina meningkat dan faktor biokimia lain yang
diduga merusak mekanisme pertahanan host. Penelitian dari seluruh dunia
mengenai BV langsung tertuju kepada sejumlah komplikasi obstetrik yaitu
keguguran, lahir mati, perdarahan, kelahiran prematur, persalinan prematur,
ketuban pecah dini, infeksi cairan ketuban, endometritis paskapersalinan dan
kejadian infeksi daerah operasi (Hay P., 2002).
DAFTAR PUSTAKA
1. Amiruddin, D. Fluor Albus in Penyakit Menular Seksual. 2003.LKiS :
Jogjakarta
2. Amsel R, Totten PA, Spiegel CA, Chen KC, Eschenbach D, Holmes KK.
Nonspecific vaginitis. Diagnostic criteria and microbial and epidemiologic
associations. Am J Med 1983; 74(1):14-22
3. Hillier SL. The complexity of microbial diversity in bacterial vaginosis.
New England Journal Medicine 2005;353:18.
4. H. Phillips. (2002). Bacterial Vaginosis. JOURNAL OF PAEDIATRICS,
OBSTETRICS AND GYNAECOLOGY. Genitourinary Medicine.
London.
5. Ison CA, Hay PE. Validation of a simplified grading of Gram stained
vaginal smears for use in genitourinary medicine clinics. Sex
Transm.Infect. 2002;78(6):413-5.
6. Linda O, Eckert MD. Acute vulvovaginitis. New England Journal
Medicine.2006;355:1244-52.
7. Manuaba, I. B. G. (2007). Pengantar Kuliah Obstetri. EGC. Jakarta.
8. Nugent RP, Krohn MA, Hillier SL. Reliability of Diagnosing Bacterial
Vaginosis is Improved by a Standardized Method of Gram Stain
Interpretation. J Clin Microbiol 1991;29:297-301
9. Ocviyanti D. (2008). Keputihan pada Wanita Hamil. Last update,
September 2008,http://www.medicastro.com diakses tanggal 17 Januari
2015.
10. Roman AS, Pernoll ML. Late pregnancy complications dalam: De
Cherney AH, Nathan L, penyunting. Current Obstetric and Gynecologic.
Edisi ke 9. New York: Mc Graw Hill 2003: 290.

Anda mungkin juga menyukai