Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Keputihan
1. Pengertian Keputihan
Keputihan dikalangan medis dikenal dengan istilah leukore atau
fluor albus, yaitu keluarnya cairan dari vagina (Ababa, 2003). Leukore
adalah semua pengeluaran cairan dari alat genetalia yang bukan darah
tetapi merupakan manifestasi klinik berbagai infeksi, keganasan atau
tumor jinak organ reproduksi. Pengertian lebih khusus keputihan
merupakan infeksi jamur kandida pada genetalia wanita dan disebabkan
oleh organisme seperti ragi yaitu candida albicans (Manuaba, 2001).
Keputihan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu keputihan
normal (fisiologis) dan keputihan abnormal (patologis). Keputihan normal
dapat terjadi pada masa menjelang dan sesudah menstruasi, pada sekitar
fase sekresi antara hari ke 10-16 saat menstruasi, juga terjadi melalui
rangsangan seksual. Keputihan abnormal dapat terjadi pada semua alat
genitalia (infeksi bibir kemaluan, liang senggama, mulut rahim, rahim dan
jaringan penyangga, dan pada infeksi penyakit hubungan seksual)
(Manuaba, 2001).
Keputihan bukan merupakan penyakit melainkan suatu gejala.
Gejala keputihan tersebut dapat disebabkan oleh faktor fisiologis maupun
faktor patologis. Gejala keputihan karena faktor fisiologis antara lain : a).
Cairan dari vagina berwarna kuning; b). Tidak berwarna, tidak berbau,
tidak gatal; c). Jumlah cairan bisa sedikit, bisa cukup banyak Gejala
keputihan karena faktor patologis antara lain : a). Cairan dari vagina keruh
dan kental; b). Warna kekuningan, keabu-abuan, atau kehijauan; c).
Berbau busuk, amis, dan terasa gatal; d). Jumlah cairan banyak (Katharini,
2009).

7
8

2. Penyebab Keputihan
Keputihan bukan merupakan penyakit tetapi hanya suatu gejala
penyakit, sehingga penyebab yang pasti perlu ditetapkan. Oleh karena itu
untuk mengetahui adanya suatu penyakit perlu dilakukan berbagai
pemeriksaan cairan yang keluar dari alat genitalia tersebut. Pemeriksaan
terhadap keputihan meliputi pewarnaan gram (untuk infeksi jamur),
preparat basah (infeksi trikomonas), preparat KOH (infeksi jamur), kultur
atau pembiakan (menentukan jenias bakteri penyebab), dan pap smear
(untuk menentukan adanya sel ganas) (Manuaba, 2001).
Menurut Ababa (2003), penyebab paling sering dari keputihan
tidak normal adalah infeksi. Organ genitalia pada perempuan yang dapat
terkena infeksi adalah vulva, vagina, leher rahim, dan rongga rahim.
Infeksi ini dapat disebabkan oleh:
a. Bakteri (kuman)
1). Gonococcus
Bakteri ini menyebabkan penyakit akibat hubungan seksual,
yang paling sering ditemukan yaitu gonore. Pada laki-laki
penyakit ini menyebabkan kencing nanah, sedangkan pada
perempuan menyebabkan keputihan.
2). Chlamydia trachomatis
Keputihan yang ditimbulkan oleh bakteri ini tidak begitu
banyak dan lebih encer bila dibandingkan dengan penyakit
gonore.
3). Gardnerella vaginalis
Keputihan yang timbul oleh bakteri ini berwarna putih
keruh keabu-abuan, agak lengket dan berbau amis seperti ikan,
disertai rasa gatal dan panas pada vagina.
b. Jamur Candida
Candida merupakan penghuni normal rongga mulut, usus
besar, dan vagina. Bila jamur candida di vagina terdapat dalam jumlah
banyak dapat menyebabkan keputihan yang dinamakan kandidosis
9

vaginalis. Gejala yang timbul sangat bervariasi, tergantung dari berat


ringannya infeksi. Cairan yang keluar biasanya kental, berwarna putih
susu, dan bergumpal seperti kepala susu atau susu pecah, disertai rasa
gatal yang hebat, tidak berbau dan berbau asam. Daerah vulva (bibir
genitalia) dan vagina meradang disertai maserasi, fisura, dan kadang-
kadang disertai papulopustular.
Keputihan akibat Candida terjadi sewaktu hamil maka bayi
yang dilahirkan melalui saluran vagina pun akan tertular. Penularan
terjadi karena jamur tersebut akan tertelan dan masuk kedalam usus.
Dalam rongga mulut, jamur tersebut dapat menyebabkan sariawan
yang serius jika tidak diberi pengobatan. Pada suatu saat jamur yang
tertelan tadi akan menyebar ke organ lain, termasuk ke alat kelamin
dan menimbulkan keputihan pada bayi perempuan.
c. Parasit
Parasit ini menimbulkan penyakit yang dinamakan
trikomoniasis. Infeksi akut akibat parasit ini menyebabkan keputihan
yang ditandai oleh banyaknya keluar cairan yang encer, berwarna
kuning kehijauan, berbuih menyerupai air sabun, dan baunya tidak
enak. Meskipun dibilas dengan air, cairan ini tetap keluar. Keputihan
akibat parasit ini tidak begitu gatal, namun vagina tampak merah,
nyeri bila ditekan, dan pedih bila kencing. Kadang–kadang terlihat
bintik–bintik perdarahan seperti buah strawberry. Bila keputihan
sangat banyak, dapat timbul iritasi di lipat paha dan sekitar bibir
genitalia. Pada infeksi yang telah menjadi kronis, cairan yang keluar
biasanya telah berkurang dan warnanya menjadi abu–abu atau hijau
muda sampai kuning. Parasit lain yang juga menyebabkan keputihan
adalah cacing kremi. Cacing ini biasanya menyerang anak perempuan
umur 2–8 tahun. Infeksi terjadi akibat sering bermain di tanah, atau
penjalaran cacing dari lubang dubur ke alat genital. Keputihan akibat
cacing kremi dasertai rasa gatal, sehingga anak sering menggaruk
genitalianya sampai menimbulkan luka.
10

d. Virus
Keputihan akibat infeksi virus sering disebabkan oleh Virus
Herpes Simplex (VHS) tipe 2 dan Human Papilloma Virus (HPV).
Infeksi HPV telah terbukti dapat meningkatkan timbulnya kanker
serviks, penis, dan vulva. Sedangkan virus herpes simpleks tipe 2
dapat menjadi faktor pendamping.
Keluhan yang timbul pada infeksi VHS tipe 2 berupa rasa
terbakar, nyeri, atau rasa kesemutan pada tempat masuknya virus
tersebut. Pada pemeriksaan tampak gelembung–gelembung kecil
berisi vesikel (cairan), berkelompok, dengan dasar kemerahan yang
cepat pecah dan membentuk tukak yang basah. Kelenjar limfe
setempat teraba membesar dan nyeri. Pada perempuan, penyakit ini
dapat disertai keluhan nyeri sewaktu kencing, keputihan, dan radang
di mulut rahim. Pencetus berulangnya penyakit ini adalah stres,
aktivitas sek, sengatan matahari, beberapa jenis makanan, dan
kelelahan.
Penyebab lain keputihan selain infeksi (Katharini, 2009) antara
lain :
a. Benda asing dalam vagina
Benda asing di vagina akan merangsang produksi cairan yang
berlebihan. Pada anak–anak, benda asing dalam vagina berupa biji–
bijian atau kotoran yang berasal dari tanah. Pada perempuan dewasa
benda asing dapat berupa tampon, kondom yang tertinggal didalam
akibat lepas saat melakukan senggama, cincin pesarium yang dipasang
pada penderita hernia organ kandungan (prolaps uteri), atau adanya
IUD pada perempuan yang ber-KB spiral.
Cairan yang keluar mula–mula jernih dan tidak berbau. Tetapi
jika terjadi luka dan infeksi dengan jasad renik normal yang biasanya
hidup di vagina, keputihan menjadi keruh dan berbau, tergantung
penyebab infeksinya.
11

b. Penyakit organ kandungan


Keputihan juga dapat timbul jika ada penyakit di organ
kandungan, misalnya peradangan, tumor ataupun kanker. Tumor,
misalnya papiloma, sering menyebabkan keluarnya cairan encer,
jernih, dan tidak berbau. Pada kanker rahim atau kanker serviks (leher
rahim), cairan yang keluar bisa banyak disertai bau busuk dan kadang
disertai darah.
c. Penyakit menahun atau kelelahan kronis
Kelelahan, anemia (kurang darah), sakit yang telah
berlangsung lama, perasaan cemas, kurang gizi, usia lanjut,terlalu
lama berdiri di lingkungan yang panas, peranakan turun (prolaps
uteri), dan dorongan seks tidak terpuaskan dapat juga menimbulkan
keputihan. Keputiohan juga berhubungan dengan keadaan lain seperti
penyakit kencing manis (diabetes mellitus), kehamilan, memakai
kontrasepsi yang mengandung estrogen–progesteron seperti pil KB
atau memakai obat steroid jangka panjang.
d. Gangguan keseimbangan hormon
Hormon estrogen diperlukan untuk menjaga keasaman vagina,
kehidupan Lactobacilli doderleins, dan proliferasi (ketebalan) sel
epitel skuamosa vagina sehingga membran mukosa vagina
membentuk barier terhadap invasi bakteri. Dengan demikian tidak
mudah terkena infeksi. Hal–hal diatas dapat terjadi karena dalam sel
epitel vagina yang menebal banyak mengandung glikogen.
Lactobacilli doderlein yang dalam keadaan normal hidup di vagina,
akan memanfaatkan glikogen tadi selama pertumbuhannya dan hasil
metabolismenya akan menghasilkan asam laktat. Timbulnya suasana
asam laktat akan menyuburkan pertumbuhan Lactobacilli dan
Corynebacteria acidogenic, tetapi mencegah pertumbuhan bakteri
lainnya. Proses diatas akan mempertahankan pH vagina yang dalam
keadaan normal memang bersifat asam, yaitu sekitar 3,5–4,5.
12

Keluarnya mucus servix (lendir leher rahim) sehingga vagina tidak


terasa kering juga dipengaruhi oleh stimulasi estrogen.
Hormon estrogen yang dihasilkan oleh indung telur akan
berkurang pada perempuan menjelang dan sesudah menopouse (tidak
haid). Akibatnya dinding vagina menjadi kering, produksi glikogen
menurun dan Lactobacilli menghilang. Keadaan tersebut
menyebabkan menghilangnya suasana asam sehingga vagina dan
uretra mudah terinfeksi dan sering timbul gatal. Akibat rasa gatal di
vagina, maka garukan yang sering dilakukan menyebabkan terjadinya
luka–luka yang mudah terinfeksi dan menyebabkan keputihan.
Kekurangan atau hilangnya estrogen juga dapat diakibatkan
dibuangnya kedua ovarium (indung telur) akibat kista atau kanker,
atau karena radiasi (penyinaran) indung telur yang terserang kanker.
Pada masa pubertas, remaja putri masih mengalami
ketidakseimbangan hormonal. Akibatnya mereka juga sering
mengeluh keputihan selama beberapa tahun sebelum dan sesudah
menarche (haid pertama).
e. Fistel di vagina
Terbentuknya fistel (saluran patologis) yang menghubungkan
vagina dengan kandung kemih atau usus, bisa terjadi akibat cacat
bawaan, cedera persalinan, kanker, atau akibat penyinaran pada
pengobatan kanker serviks. Kelainan ini akan menyebabkan timbulnya
cairan di vagina yang bercampur feses atau air kemih. Biasanya
mudah dikenali karena bau dan warnanya
3. Pencegahan Keputihan
Menurut Army (2007), beberapa hal yang dapat dilakukan dalam
mencegah keputihan patologis antara lain :
a. Menjaga kebersihan, diantaranya: 1). Mencuci bagian vulva (bagian
luar vagina) setiap hari dan menjaga agar tetap kering untuk mencegah
tumbuhnya bakteri dan jamur; 2). Saat menstruasi biasakan mengganti
pembalut apabila sudah terasa basah dan lembab; 3). Menggunakan
13

sabun non parfum saat mandi untuk mencegah timbulnya iritasi pada
vagina; 4). Menghindari penggunaan cairan pembersih kewanitaan
yang mengandung deodoran dan bahan kimia terlalu berlebihan,
karena hal itu dapat mengganggu pH cairan kewanitaan dan dapat
merangsang munculnya jamur atau bakteri; 5). Setelah buang air
besar, bersihkan dengan air dan keringkan dari arah depan ke belakang
untuk mencegah penyebaran bakteri dari anus ke vagina; 6). Menjaga
kuku tetap bersih dan pendek. Kuku dapat terinfeksi Candida akibat
garukan pada kulit yang terinfeksi. Candida yang tertimbun dibawah
kuku tersebut dapat menular ke vagina saat mandi atau cebok.
b. Memperhatikan pakaian, diantaranya: 1). Apabila celana dalam yang
dipakai sudah terasa lembab sebaiknya segera diganti dengan yang
kering dan bersih; 2). Menghindari pemakaian pakaian dalam atau
celana panjang yang terlalu ketat karena dapat meningkatkan
kelembaban organ kewanitaan; 3). Tidak duduk dengan pakaian basah
(misalnya: selesai olahraga dan selesai renang karena jamur lebih
senang pada lingkungan yang basah dan lembab; 4). Menggunakan
pakaian dalam dari bahan katun karena katun menyerap kelembaban
dan menjaga agar sirkulasi udara tetap terjaga.
c. Mengatur gaya hidup, diantaranya: 1). Menghindari seks bebas atau
berganti–ganti pasangan tanpa menggunakan alat pelindung seperti
kondom; 2). Mengendalikan stres; 3). Rajin berolahraga agar stamina
tubuh meningkat untuk melawan serangan infeksi; 4). Mengkonsumsi
diet yang tinggi protein. Mengurangi makanan tinggi gula dan
karbohidrat karena dapat mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang
merugikan; 5). Menjaga berat badan tetap ideal dan seimbang.
Kegemukan dapat membuat kedua paha tertutup rapat sehingga
mengganggu sirkulasi udara dan meningkatkan kelembaban sekitar
vagina; 6). Apabila mengalami keputihan dan mendapatkan
pengobatan antibiotik oral (yang diminum) sebaiknya mengkonsumsi
antibiotik tersebut sampai habis sesuai dengan yang diresepkan agar
14

bakteri tidak kebal dan keputihan tidak datang lagi; 7). Apabila
mengalami keputihan yang tidak normal segera datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan agar segera mendapatkan penanganan dan tidak
memperparah keputihan.
Menurut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mencegah
keputihan antara lain :
a. Menjaga kebersihan organ genitalia. Salah satunya dengan mengganti
pakaian dalam dua kali sehari.
b. Dalam keadaan haid atau memakai pembalut wanita, mengunakan
celana dalam harus yang pas sehingga pembalut tidak bergeser dari
belakang ke depan.
c. Cara cebok / membilas yang benar adalah dari depan kebelakang. Jika
terbalik, ada kemungkinan masuknya bakteri atau jasad renik dari
dubur ke alat genitalia dan saluran kencing.
d. Menghindari penggunaan celana dalam yang ketat atau dari bahan
yang tidak menyerap keringat seperti nilon, serta tidak memakai
celana yang berlapis–lapis atau celana yang terlalu tebal karena akan
menyebabkan kondisi lembab disekitar genitalia. Keadaan yang
lembab akan menyuburkan pertumbuhan jamur. Usahakan memakai
celana dalam dari bahan katun atau kaos.
e. Usahakan tidak memakai celana dalam atau celana orang lain. Karena
hal ini memungkinkan terjadinya penularan infeksi jamur Candida,
Trichomonas, atau virus yang cukup besar.

B. Perilaku Kebersihan
Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik
yang diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak
luar. Perilaku terdiri dari persepsi (perseption), respon terpimpin (guided
respon), mekanisme (mechanisme), dan adopsi (adoption) (Notoatmodjo,
2003). Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
15

atau rangsangan dari luar. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini,
maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Perilaku tertutup (covert behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau
tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas
pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran dan sikap yang
terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat
diamati secara jelas oleh orang lain.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata
atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk
tindakan atau praktek yang mudah dan dapat diamati atau dilihat oleh
orang lain.
Selain itu, Skinner (dalam Notoatmodjo, 2003) juga mengemukakan
bahwa perilaku adalah hasil hubungan antara stimulus (perangsang) dan
respon (tanggapan). Dalam perilaku kesehatan, respon seseorang terhadap
stimulus akan berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, serta lingkungan. Sedangkan perilaku orang terhadap penyakit
adalah cara manusia berespon, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan
mempersepsikan tentang suatu penyakit yang ada pada dirinya dan diluar
dirinya) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit tersebut maupun secara
aktif yaitu dengan melakukan tindakan tersebut.
Determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku
merupakan hasil dari berbagai faktor baik internal maupun eksternal
(lingkungan). Faktor internal mencakup pengetahuan, persepsi, emosi, dan
motivasi, yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Sedangkan
faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik, seperti
manusia dan sosial ekonomi (Notoadmodjo, 2003). Perilaku manusia dapat
dilihat dari tiga aspek yaitu aspek fisik, psikis, dan sosial.
Secara lebih terperinci perilaku manusia merupakan refleksi dari
berbagai gejala kejiwaan, seperti: pengetahuan, sikap, keinginan, kehendak,
16

minat dan motivasi (Notoatmodjo, 2003). Konsep umum yang digunakan


untuk mendiagnosis perilaku adalah konsep dari Lawrence Green yang dikutip
oleh Notoatmodjo (2003). Lawrence Green menyatakan bahwa perilaku
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu :
1. Faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor–faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi
terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat adalah
pengetahuan dan sikap seseorang atau masyarakat tersebut terhadap apa
yang akan dilakukan. Misalnya, dengan pengetahuan yang dimiliki remaja
putri tentang keputihan maka dia akan dapat mengambil sikap mengenai
apa yang harus dilakukan untuk mencegah keputihan.
2. Faktor pemungkin (enabling factors)
Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah
fasilitas, sarana atau prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi
terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Misalnya, untuk mencegah
terjadinya keputihan pada remaja putri, maka diperlukan tenaga kesehatan
serta fasilitas periksa seperti Puskesmas.
3. Faktor penguat (reinforcing factors)
Pengetahuan, sikap, dan fasilitas yang tersedia kadang–kadang
belum menjamin terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Dengan
adanya pengalaman pribadi serta adanya pengaruh dari luar seperti teman
maka akan dapat memperkuat terjadinya perilaku. Misalnya, remaja putri
telah mengetahui tentang keputihan tetapi mereka tidak mencegahnya
dengan alasan bahwa ada teman yang mengalami keputihan tetapi
dibiarkan saja.
Sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut
terjadi proses berurutan, yaitu:
a. Kesadaran (awareness), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
b. Ketertarikan (interest) terhadap stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini
sikap subyek sudah mulai timbul.
17

c. Penilaian (evaluation) terhadap baik buruknya stimulus tersebut bagi


dirinya.
d. Trial, dimana subyek sudah mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang dikehendaki stimulus.
e. Adoption, dimana subyek telah berperilaku sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikap terhadap stimulus.
Dari hasil penelitian sebelumnya, Roger menyimpulkan bahwa
perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap–tahap tersebut diatas.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses
seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif,
maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya,
apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap
tersebut maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003).
Dari analisa green bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi oleh faktor
predisposisi (pendahulu) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, dan
praktik, maka dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu penglihatan,
pendengaran, peraba, pembau, dan perasa. Sebagian besar
pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Karena dari
pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari
pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang
kita ketahui tentang suatu objek tertentu dan setiap jenis pengetahuan
mempunyai ciri–ciri spesifik mengenai apa (ontology), bagaimana
(epistemology) dan untuk apa (aksiology) pengetahuan tersebut
18

(Notoatmodjo, 2000). Pengetahuan dalam hal ini berkaitan dengan


keputihan, yang meliputi definisi, cara pencegahan dan manfaatnya.
Pengetahuan tentang keputihan merupakan sarana penting
dalam melakukan pencegahan keputihan dan bagi kesehatan remaja.
Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan yang tercakup dalam
domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang
telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya,
remaja putri tahu bahwa keputihan merupakan pengeluaran cairan
dari alat genitalia yang bukan berupa darah.
2. Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek
tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut
harus dapat mengintrepesikan secara benar tentang objek yang
diketahui tersebut. Misalnya, remaja putri memahami bagaimana
cara mencegah keputihan salah satunya dengan menjaga
kebersihan organ genitalia.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud, dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahui tersebut pada situasi yang lain. Misalnya, remaja putri
tidak hanya memahami cara menjaga kebersihan organ genitalia,
tetapi dia juga mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari–hari.
Salah satunya adalah cara cebok yang benar yaitu dari depan ke
belakang.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan
atau memisahkan, kemudian mencari hubungan atau komponen–
komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang
diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai
19

pada tingkat analisis apabila orang tersebut dapat membedakan,


atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan)
terhadap pengetahuan atas objek tersebut. Misalnya, remaja putri
dapat membedakan antara keputihan yang normal dan keputihan
abnormal.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk
merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari
komponen–komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata
lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi–formulasi yang telah ada. Misalnya, remaja
putri dapat melakukan tindakan mencegah keputihan dengan cara
sering mengganti celana dalam jika terasa lembab.
6. Evaluasi (evaluasion)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.
Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria
yang ditentukan sendiri atau norma–norma yang berlaku di
masyarakat. Misalnya, remaja dapat membedakan antara
keputihan yang normal dan abnormal serta dapat melakukan
pencegahan terhadap keputihan.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara
atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur
dari subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang
ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan
tingkatan–tingkatan diatas.
Pengetahuan seseorang tentang keputihan merupakan hasil dari
tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengeinderaan
terhadap personal hygiene dengan kejadian keputihan, penginderaan
terjadi melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan,
20

pendengar, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan


manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
b. Sikap
Banyak teori yang mendefinisikan sikap antara lain adalah
sikap seseorang adalah predisposisi untuk memberikan tanggapan
terhadap rangsang lingkungan yang dapat memulai atau
membimbing tingkah laku orang tersebut. Secara definitif sikap berarti
suatu keadaan jiwa dan keadaan berfikir yang disiapkan untuk
memberikan tanggapan terhadap suatu obyek yang diorganisasikan
melalui pengalaman serta mempengaruhi secara langsung atau tidak
langsung pada praktik / tindakan (Notoatmodjo, 2003).
New Comb (Notoadmodjo, 2003) salah seorang ahli psikologi
sosial mengatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau
kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif
tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas akan
tetapi merupakan prodisposisi tindak suatu perilaku, sikap itu masih
merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau
tingkah laku yang terbuka, sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap obyek-obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap obyek.
Sikap juga terdiri dari berbagai tingkatan, menurut
Notoatmodjo (2003).
1. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (obyek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan.
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari
sikap. Karena itu suatu usaha untuk menjawab suatu pertanyaan
atau mengerjakan tugas yang diberikan itu benar atau salah, berarti
orang menerima ide tersebut.
21

3. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi bersikap. Misalnya seorang ibu
yang mengajak ibu yang lain (tetangganya) untuk pergi
menimbangkan anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang
gizi, adalah suatu bukti bahwa ibu tersebut telah mempunyai
sikap positif terhadap gizi anak.
4. Bertanggung Jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.
Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun
mendapat tantangan dari orang lain.
Faktor-faktor mempengaruhi pembentukan sikap menurut
Azwar (1998) antara lain :
1. Pengalaman Pribadi
Apa yang dialami seseorang akan mempengaruhi penghayatan
dalam stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar
dalam pembentukan sikap, untuk dapat memiliki tanggapan dan
penghayatan seseorang harus memiliki tanggapan dan
penghayatan seseorang harus memiliki pengamatan yang berkaitan
dengan obyek psikologis. Menurut Breckler dan Wiggins (Azwar,
1998) bahwa sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan
menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya.
Pengaruh langsung tersebut dapat berupa predisposisi perilaku
yang akan direalisasikan hanya apabila kondisi dan situasi
memungkinkan.
2. Orang lain
Seseorang cenderung akan memiliki sikap yang disesuaikan atau
sejalan dengan sikap yang dimiliki orang yang dianggap
berpengaruh antara lain adalah ; Orang tua, teman dekat, teman
sebaya, rekan kerja, guru, suami atau istri.
22

3. Kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup akan mempengaruhi pembentukan
sikap seseorang.
4. Media Massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai media massa seperti televisi,
radio, surat kabar, mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Dalam
membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarah
pada opini yang kemudian dapat mengakibatkan adanya landasan
kognisi sehingga mampu membentuk sikap.
5. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama suatu sistem
mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap, dikarenakan
keduanya meletakkan dasar dan pengertian dan konsep moral
dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk antara
sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari
pendidikan dan pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
6. Faktor Emosional
Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan
pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk sikap
merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi, yang berfungsi
sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan
sikap yang sementara dan segera berlalu. Begitu frustasi telah
hilang, akan tetapi dapat pula merupakan sikap lebih persisten dan
bertahan lama (Mar’at, 1984).
Sikap terhadap keputihan merupakan reaksi atau respon yang
masih tertutup dari seseorang terhadap materi tentang keputihan.
Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesucian reaksi
terhadap stimulus tertentu, yang dalam kehidupan sehari-hari
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus social.
23

Sikap terhadap personal hygiene dengan kejadian keputihan


merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap pengetahuan tentang
personal hygiene dengan kejadian keputihan sebagai suatu
penghayatan terhadap pengetahuan tersebut.
c. Praktik atau Tindakan (Practice)
Suatu sikap yang baik terhadap kejadian keputihan belum otomatis
terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap agar menjadi
suatu perbuatan diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Tingkat-tingkat praktik :
1) Persepsi (Perseption)
Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan
yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.
2) Respon Terpimpin (Guided Respons)
Dapat melakukan praktik hygiene perseorangan untuk mencegah
keputihan sesuai dengan urutan yang benar dengan contoh adalah
merupakan indicator praktik tingkat dua.
3) Mekanisme (Mecanism)
Apabila seseorang telah melakukan praktik personal hygiene untuk
mencegah keputihan dengan benar otomatis, maka sudah mencapai
praktik tingkat tiga .
4) Adaptasi (Adaptation)
Adalah suatu praktik yang sudah berkembang dengan baik, artinya
sesuatu itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut.
C. Remaja
1. Pengertian remaja
Istilah adolescent atau remaja berasal dari bahasa latin adolescere,
yang berarti ”tumbuh” atau ”tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1995).
Menurut Bobak (2004), masa remaja ialah periode waktu individu beralih dari
fase anak ke fase dewasa. Masa remaja terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu
24

remaja tahap awal (usia 10-14 tahun), remaja tahap menengah (usia 15-16
tahun), dan remaja tahap akhir (usia 17-21 tahun).
Masa remaja merupakan proses menuju kedewasaan dan anak ingin
mencoba bahwa dirinya sudah mampu sendiri. Masalah yang dapat dijumpai
pada masa remaja adalah perubahan bentuk tubuh, adanya jerawat atau acne
yang dapat menunjukkan gangguan emosional, gangguan miopi, adanya
kelainan kifosis, penyakit infeksi, dan kenakalan pada remaja. Perkembangan
secara khusus pada masa remaja adalah kematangan identitas seksual dengan
dengan berkembangnya organ reproduksinya, merupakan masa krisis identitas
dimana anak memasuki perkembangan dewasa yang akan meninggalkan masa
kanak–kanak dalam pencapaian tugas perkembangannya membutuhkan
bantuan orang lain (Hidayat, 2008). Pada masa remaja proses pertumbuhan
dan perkembangan ditunjukkan dengan terjadinya kematangan dalam
beberapa fungsi seperti endokrin, kematangan fungsi seksual sampai terlihat
masa remaja sudah menunjukkan kedewasaan dalam hidup bermasyarakat.
Peristiwa tersebut dapat terjadi oleh karena peristiwa lingkungan sosial. Pada
masa ini terjadi peristiwa yang sangat penting dan perlu perhatian yaitu
peristiwa pubertas. Peristiwa tersebut akan dialami pada anak laki-laki
maupun perempuan (Hidayat, 2008).
2. Ciri–ciri remaja
Ciri–ciri remaja berdasarkan tahap perkembangannya dibedakan
menjadi tiga, yaitu:
a. Remaja tahap awal (usia 10-14 tahun), yaitu remaja yang: 1). Berfikir
konkret; 2). Ketertarikan utama ialah pada teman sebaya dengan jenis
kelamin sama, di sisi lain; 3). Mengalami konflik dengan orang tua; 4).
Remaja berperilaku sebagai seorang anak pada waktu tertentu dan sebagai
orang dewasa pada waktu selanjutnya.
b. Remaja tahap menengah (usia 15-16 tahun), yaitu remaja yang: 1).
Penerimaan kelompok sebaya merupakan isu utama dan seringkali
menentukan harga diri; 2) Remaja mulai melamun, berfantasi, dan berfikir
tentang hal–hal yang magis; 3). Remaja berjuang untuk mandiri atau
25

bebas dari orang tuanya; 4). Remaja menunjukkan perilaku idealis dan
narsisistik; 5). Remaja menunjukkan emosi yang labil, sering meledak–
ledak, dan mood sering berubah; 6). Hubungan heteroseksual merupakan
hal yang penting.
c. Remaja tahap akhir (usia 17-21 tahun), yaitu remaja yang: 1). Remaja
mulai berpacaran dengan lawan jenisnya; 2). Remaja mengembangkan
pemikiran abstrak; 3). Remaja mulai mengembangkan rencana untuk masa
depan; 4). Remaja berusaha untuk mandiri secara emosional dan finansial
dari orang tua; 5). Cinta adalah bagian dari hubungan heteroseksual yang
intim; 6). Kemampuan untuk mengambil keputusan telah berkembang; 7).
Perasaan kuat bahwa dirinya dirinya adalah seorang dewasa berkembang.

D. Kerangka Teori
Faktor Pendahulu
(predisposisi) :
 Pengetahuan
 Sikap
 Praktik
Faktor
Pemungkin
(enabling) :
 Ketersediaan Kejadian
sarana dan flour albus
prasarana
Faktor Penguat :
 Pengaruh teman
 Pengaruh media
masa
 Pembinaan
tenaga
kesehatan

 Keyakinan/
Kepercayaan
nilai-nilai
tradisi
Gambar 2.1 Kerangka teori
Sumber : Notoatmodjo (2003)
26

E. Kerangka Konsep

Pengetahuan

Kejadian
Sikap
flour albus

Praktek
Kebersihan Diri

Gambar 2.2 Kerangka konsep

F. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini adalah
pengetahuan, sikap dan praktek kebersihan diri remaja
2. Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah kejadian
flour albus pada remaja.

G. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kejadian flour albus pada
remaja putri di SMP Negeri 29 Semarang.
2. Terdapat hubungan antara sikap dengan kejadian flour albus pada remaja
putri di SMP Negeri 29 Semarang.
3. Terdapat hubungan antara praktek kebersihan diri dengan kejadian flour
albus pada remaja putri di SMP Negeri 29 Semarang.

Anda mungkin juga menyukai