PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Helicobacter pylori adalah bakteri yang dapat berkoloni pada saluran cerna
manusia dan merupakan salah satu penyebab ulkus duodenum dan gaster, atau salah satu
faktor penyebab keganasan lambung. Infeksi didapatkan secara peroral dan sebagian
besar ditularkan antara anggota keluarga pada saat masa anak-anak.1
Prevalensi H. Pylori di negara berkembang dilaporkan lebih tinggi
dibandingkan negara maju. Pada negara berkembang, prevalensi H. Pylori pada anak
berkisar antara 30-80% dan di negara maju diperkirakan sebesar 10%, tetapi dapat
mencapai 30-40% pada anak yang berasal dari golongan sosial ekonomi lemah.2
Penambahan kejadian infeksi H. pylori pada negara maju diprakirakan sebesar 3% per
dekade. Di Jakarta, prevalensi infeksi H. pylori berdasarkan pemeriksaan serologi
pada150 murid Sekolah Dasar didapatkan angka sebesar 27% dan 90% dari mereka yang
mempunyai seropositif ditemukan H. pylori pada lambungnya.2
Manifestasi klinis yang sering terjadi adalah gangguan saluran cerna seperti
muntah, mual, diare, nyeri perut dan lain-lain. Pada anak sebagian besar infeksi ini
asimptomatis atau memperlihatkan gejala saluran cerna yang tidak spesifik. Karena gejala
klinis yang tidak khas prevalsensi tinggi dari penyakit ini, sehingga diagnosis pasti dari
penyakit ini adalah berdasarkan pada biopsi.1
Penegakan diagnosis dari infeksi helicobacter pylori adalah dengan metode
invasif dan non-invasif. Pemilihan jenis uji diagnostik sangat bergantung kepada
keberadaan alat diagnostik pada suatu pusat pelayanan kesehatan, masalah klinis yang
diperlihatkan, dan biaya. Metode invasif meliputi endoskopi dan biopsi yang diikuti oleh
pemeriksaan histologi, biakan, uji urease, dan PCR, sedangkan metode non-infasiv
meliputi serologi dan uji C- urea napas.1
Kuman H. Pylori sangat cocok hidup dalam suasana asam, maka bila sekresi
asam menurun, misalnya pada gastritis atrofik atau pemberian obat-obat antisekretorik
seperti penghambat pompa proton (PPP), kolonisasi H. Pylori juga akan berkurang.
Kenyataan ini dipakai sebagai acuan dalam upaya pemberantasan atau eradikasi kuman
H. Pylori ini.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
21. Pengertian
Helicobacter pylori adalah bakteri yang dapat berkoloni pada saluran cerna
manusia dan merupakan salah satu penyebab ulkus duodenum dan gaster, atau salah satu
faktor penyebab keganasan lambung. Infeksi didapatkan secara peroral dan sebagian
besar ditularkan antara anggota keluarga pada saat masa anak-anak.1
2.2 Epidemiologi
Transmisi H.pylori masih belum jelas. Kontak erat dengan individu yang
terinfeksi H.pylori baik secara oral-oral, gastro-oral, atau tinja-oral dianggap sebagai
bentuk transmisi H.pylori. Lingkungan yang padat dan lingkungan dengan sosial ekonomi
rendah dianggap sebagai faktor risiko terjadinya infeksi H. pylori pada anak. Orangtua
yang terinfeksi terutama ibu mungkin memegang peranan dalam transmisi H.pylori di
dalam keluarga. Lalat dan kecoa diduga sebagai vektor dari H. pylori. Muntah dan refluks
gastroesofagus juga dapat merupakan kontaminasi oral-oral. Air sebagai salah satu
sumber kontaminasi masih dalam penelaahan.2
2
2.3 Morfologi
Dikutip: Marshall B. Helicobacter pylori: 20 years on. Clin Med JRCPL,2002 (2): 147-52.3
2.4 Patogenesis
Mukosa gaster sebenarnya sangat terlindungi dari infeksi bakteri. Tetapi kuman
H. Pylori sangat pandai melakukan adaptasi terhadap hal ini, dengan caranya yang unik
dapat masuk kedalam lapisan mukus, kemudian melakukan perlekatan dengan sel epitel,
evasi respon imun dan akhirnya terjadi kolonisasi dan transmisi persisten.1
Setelah masuk gaster, bakteri ini harus melawan aktivitas asam untuk masuk ke
lapisan mukus. Langkah awal penting pada proses infeksi ini adalah motalitas bakteri dan
3
produksi urease. Urease ini dapat menghidrolisa urea menjadi karbondioksida dan amonia
sehingga H.pylori dapat bertahan pada suasana asam. Aktivitas enzim ini sangat unik
karna diatur oleh urel suatu pH-gated urea channel yang terbuka pada suasana asam dan
tertutup saat netral. Gambar dibawah ini menunjukkan situasi sekitar sel epitel dan
lapisan mukus.1
H. pylori dapat terkait erat pada sel epitel dengan adanya beberapa komponen
yang berada pada permukaan bakteri terutama BabA. Setelah melekat, sebagian besar
strain H.pylori dapat memproduksi vacuolating cytotoxin (VacA, suatu eksotoksin).
Toxin ini masuk ke dalam membran sel epitel dan menyebabkan keluarnya bikarbonat
dan anion organik yang diperlukan untuk nutrisi bakteri. Selain itu, VacA ini juga
mempunyai target pada membran mitokondria yang menyebabkan terjadinya apoptosis.1
4
ini. Setelah melekat pada sel epitel, cagA ini terfosforilasi dan menyebabkan terjadinya
respon seluler dan produksi sitokin oleh sel epitel gaster.1
(dikutip dari: suerbaum S, Michetti P. Helicobacter pylori infection. NEJM, 2002 (347):
1175-11864
5
menyebabkan peningkatan produksi interleukin-18, dan ditambah dengan apoptosis akan
mengakibatkan infeksi persisten H. Pylori. Respon inflamasi ini dapat dilihat pada
gambar dibawah ini.1
Dikutip dari: suerbaum S, Michetti P. Helicobacter pylori infection. NEJM, 2002 (347):
1175-1186.4
Penelitian tentang hubungan manifestasi klinis dan infeksi H. pylori pada anak belum
sebanyak yang dilakukan pada orang dewasa. Dari beberapa data yang dilaporkan
menunjukkan bahwa infeksi H. pylori pada anak sebagian besar asimtomatis atau
memperlihatkan gejala saluran cerna yang tidak spesifik.2
6
Infeksi H.pylori pada anak lebih sering berhubungan dengan gastritis dibanding ulkus
peptikum. Secara klinis, sulit membedakan gastritis yang terinfeksi H.pylori dengan yang
tidak terinfeksi H.pylori. Gastritis sering memperlihatkan keluhan sakit perut berulang
pada anak. Oleh karena itu, sakit perut berulang pada anak oleh beberapa peneliti
dianggap sebagai gejala klinis yang berhubungan dengan infeksi H.pylori. Sakit perut
berulang pada anak dianalogikan dengan dispepsia non-ulkus pada orang dewasa. Data
dari beberapa peneliti memperlihatkan 22-37% anak dengan sakit perut berulang terbukti
menderita infeksi H.pylori secara serologis. Laporan dari peneliti lain menunjukkan 30%
anak dengan sakit perut berulang ditemukan bakteri H. pylori di dalam antrumnya,
sedangkan hanya 10% anak yang ditemukan bakteri H.pylori di dalam korpusnya.2
Kejadian ulkus pada anak jarang ditemukan, tetapi bila ditemukan perlu dipikirkan
kemungkinan adanya infeksi H.pylori. Helicobacter pylori ditemukan pada 25% anak
dengan ulkus lambung dan 86% pada ulkus duodenum. Data pada orang dewasa, ulkus
peptikum diduga sebagai penyebab adenokarsinoma lambung di kemudian hari.2
Keluhan lain yang sering disampaikan oleh anak yang terinfeksi H.pylori adalah nyeri
di daerah epigastrium, terbangun pada malam hari, dan sering muntah. Refluks
gastroesofagus dan gagal tumbuh merupakan dua keadaan lain yang pernah dilaporkan
pada anak terinfeksi H.pylori. Beberapa gejala klinis dianggap sebagai alarm symptoms
seperti malabsorpsi dengan penurunan berat badan, gangguan pertumbuhan, anemia
defisiensi besi, diare berulang, dan malnutrisi. Disepakati untuk melakukan penelitian
lebih lanjut tentang gejala klinis yang berhubungan dengan infeksi H. pylori.2
2.6 Diagnosis
7
Pemeriksaan noninvasif terdiri dari urea breath test (UBT), serologi IgG H. pylori,
dan stool antigen test (SAT). Pemeriksaan serologi IgG H. pylori murah dan nyaman,
serta memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 79%, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat
dijadikan indikator keberhasilan eradikasi karena kadar imunoglobulin tidak menurun
setelah eradikasi H. pylori. Dalam UBT yang diperiksa adalah aktivitas urease H. pylori
dan ini dapat digunakan sebagai alat diagnostik. Pemeriksaan ini juga berguna sebagai
indikator keberhasilan eradikasi karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas >90%.
Pemeriksaan UBT untuk mengetahui keberhasilan eradikasi sebaiknya dilakukan minimal
4 minggu setelah eradikasi untuk menghindari hasil negatif palsu. Pemeriksaan
noninvasif lainnya yaitu SAT yang sensitivitas dan spesifisitasnya >90% sehingga dapat
digunakan untuk diagnosis maupun indikator keberhasilan eradikasi. Dalam pemeriksaan
ini dilihat adanya antigen H. pylori pada tinja menggunakan antibodi monoklonal atau
poliklonal. Pemeriksaan SAT untuk mengetahui keberhasilan eradikasi dilakukan
minimal 4 minggu setelah eradikasi tersebut.5
2.7 Terapi
Pada tahun 1999 north america society for pediatric gastroenterology, hepotology,
nutrition (NASPGHAN) dan european society for pediatric gastroenterology, hepatology,
nutrition (ESPGHAN) memformulasikan guideline untuk manajemen H pylori infeksi
pada anak.1
8
tabel 3 guideline manajemen infeksi H.pylori pada anak
Dikutip dari: Gold BD, Colletti RB, Abbott M, Czinn SJ, Elitwar Y, Hassall E, Macarthur C,
Snyder J, Sherman PM. Hellicobacter pylori infection in children: Recommendation for diagnosis
and treatment. J Pediatri Gastroenterol Nutr, 2000 (31): 490-4977
9
Pada beberapa penelitian telah banyak dilaporkan terjadinya resistensi terhadap
clarithromycin dan metronidazole. Resistensi terhadap clarithromycin adalah akibat
mutasi terhadap gen 23S ribosom, sedangkan resistensi terhadap metronidazole lebih
heterogen penyebabnya. Apabila resisten terhadap clarithromycin saat dilakukan tes
sensitifitas, dikatakan clarithromycin sama sekali tidak dapat digunakan, tetapi apabila
resisten terhadap metronidazole, obat ini masih dapat digunakan.1
Tata laksana awal yang paling sering digunakan yaitu triple therapy yang terdiri
dari PPI, amoksisilin dan klaritromisin yang diberikan 2 kali sehari selama 7-14 hari.
Metronidazol dapat digunakan untuk menggantikan amoksisilin pada pasien yang alergi
terhadap penisilin. Variasi dalam lamanya terapi bergantung pada pola resistensi H. pylori
yang berbeda di setiap daerah. Untuk wilayah Eropa dan Asia Pasifik dianjurkan lama
eradikasi ini 7 hari sementara American College of Gastroenterology (ACG)
menganjurkan lama eradikasi 14 hari.5
10
mg/hari, bismuth subsalisilat 4 x 525 mg/hari, metronidazol 4 x 250 mg/hari, dan
tetrasiklin 4x500 mg/hari selama 10-14 hari.5
Permasalahan utama pada regimen quadruple therapy ini adalah jadwal konsumsi
obat yang rumit dan insiden efek samping yang lebih besar. Bila masih terdapat
kegagalan dalam eradikasi H. pylori dengan regimen quadruple therapy, maka dianjurkan
untuk menggunakan regimen lini ketiga yaitu kombinasi levofloksasin, amoksisilin, dan
PPI selama 10 hari. Kegagalan eradikasi dengan lini kedua dapat mencapai 20%.
Penggunaan kultur untuk mengetahui resistensi dalam praktik sehari-hari masih
kontroversial karena selain prosedurnya rumit, juga makan waktu dan biaya. Dosis yang
digunakan untuk levofloksasin adalah 2x500 mg/hari, amoksisilin 2x1 g/ hari, dan
omeprazol 2x20 mg/hari. Levofloxacine-based triple therapy (levofloksasin, amoksisilin,
dan PPI) seringkali disebut sebagai regimen lini ketiga.5
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
- Infeksi H. pylori merupakan salah satu penyakit infeksi yang banyak dilaporkan
di seluruh dunia saat ini.
- Infeksi ini ditemukan pada anak dengan perbedaan angka kejadian pada negara
negara maju dan negara berkembang.
- Beberapa strain H. Pylori yang dilaporkan menyebabkan gastritis kronis dan
ulkus lambung/ duodenum juga ditemukan pada anak.
- Sebagian besar anak asimtomatis, hanya kasus dengan ulkus yang
memperlihatkan hubungan yang jelas antara infeksi ini dengan manifestasi klinis.
- Uji diagnostik H. pylori yang dianjurkan adalah uji yang mudah dikerjakan dan
memberikan hasil yang akurat.
- Penatalaksanaan H. pylori terdiri dari terapi lini pertama, lini ke dua, dan lini
ketiga.
- Masing-masing kombinasi pengobatan memiliki keefektifan dan kekurangan
masing-masing.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Fardah, Alpha., dkk. Infeksi Helicobacter Pylori Pada Anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya. 2006.
2. Hegar, Badriul. Infeksi Helicobacter Pylori pada Anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. Sari
pediatri, Vol. 2, No. 2, Agustus: 82-89
3. Marshall B. Helicobacter pylori: 20 years on. Clin Med JRCPL,2002 (2):
147-52.
4. suerbaum S, Michetti P. Helicobacter pylori infection. NEJM, 2002 (347):
1175-1186
5. Kho, Dragon. Diagnosis dan Tata Laksana Terkini Infeksi Helicobacter
pylori. Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta. Maj
Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 8. 2010.
6. Malfertheiner P, Megraud F, O’Morain C, et al. Current concepts in the
management of helicobacter pylori infection- the Maastricht 2-2000
consensus report. Aliment pharmacol Ther, 2002 (6): 16-80
7. Gold BD, Colletti RB, Abbott M, Czinn SJ, Elitwar Y, Hassall E,
Macarthur C, Snyder J, Sherman PM. Hellicobacter pylori infection in
children: Recommendation for diagnosis and treatment. J Pediatri
Gastroenterol Nutr, 2000 (31): 490-497
13