Anda di halaman 1dari 8

MANAJEMEN KONFLIK

Ari Pebru Nurlaily

A. DEFINISI KONFLIK
 Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide, nilai-nilai, dan
perasaan antara dua orang atau lebih (Marquis & Huston,1996 dalam Hendel dkk,
2005).
 Menurut Kazimoto (2013), konflik adalah adanya perselisihan yang terjadi ketika tujuan,
keinginan, dan nilai bertentangan terhadap individu atau kelompok.
 Situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang diantara
beberapa orang, kelompok atau organisasi.
 Konflik adalah suatu reaksi psikologis dan perilaku seseorang terhadap persepsi bahwa
orang lain menghalangi orang tersebut untuk mencapai tujuan, mengambil haknya
untukberperilaku dengan cara tertentu, atau melanggar harapan suatu hubungan
(Aamodt, 2016).

B. PENYEBAB KONFLIK
Shetach (2012) menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan karena: (1) perbedaan
interpersonal pada setiap dimensi-umur, jenis kelamin, ras, pandangan, perasaan,
pendidikan, pengalaman, tingkah laku, pendapat, budaya, kebangsaan, keyakinan, dll, (2)
perbedaan kepentingan dalam hubungan antar manusia karena perbedaan budaya, posisi,
peran, status, dan tingkat hirarki.
Menurut Robbins (2008), konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai
sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu : komunikasi, struktur, dan
variabel pribadi.
1. Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalahpahaman
antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian
menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan
gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan
menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik
2. Struktur
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran
(kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan
jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok,
gaya kepemimpinan, sistem imbalan dan derajat ketergantungan antara kelompok.
Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan
variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin
terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik
3. Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem
nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan
individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain.
Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber
konflik yang potensial

Selain itu, konflik dapat berkembang karena berbagai sebab sebagai berikut:
1. Batasan pekerjaan yang tidak jelas
2. Hambatan komunikasi
3. Tekanan waktu
4. Standar, peraturan dan kebijakan yang tidak masuk akal
5. Pertikaian antar pribadi
6. Perbedaan status
7. Harapan yang tidak terwujud

C. JENIS-JENIS KONFLIK DI RUANG RAWAT


Menurut Higazee (2015), terdapat beberapa tipe konflik yang dapat terjadi dalam
lingkungan rumah sakit, antara lain:
1. Konflik Intrapersonal Perawat
Yaitu konflik internal dalam diri perawat, terjadi ketika kebutuhan individu tidak sesuai
dengan kebutuhan kelompok, tetapi tidak diungkapkan kepada kelompok dan menjadi
konflik dalam diri individu tersebut.
2. Konflik Individu dalam Kelompok
Konflik antara individu dengan kelompok, terjadi ketika kebutuhan individu berbeda
atau berseberangan dengan kebutuhan, tujuan dan ketentuan dalam kelompok (Aamodt,
2016)
3. Konflik Interpersonal Perawat
Yaitu konflik antar individu dalam suatu kelompok. Konflik dapat terjadi antara dua
atau lebih individu. Aamodt (2016) memberikan contoh konflik ini misalnya antara
sesama staf, antara atasan dengan staf, antara atasan dengan vendor, atau antara staf
dengan pelanggan.
4. Konflik Dua Kelompok dalam Satu Kelompok Besar Perawat
Yaitu konflik yang terjadi antara kelompok kecil perawat, misalnya antar tim dalam
satu bangsal keperawatan.
5. Konflik Antara Beberapa Kelompok Besar Perawat
Sebagai contoh konflik antar bangsal keperawatan dalam suatu rumah sakit. Dalam hal
ini misalnya konflik dalam pemberian fasilitas untuk ruangan.
6. Konflik Umum Antara Perawat dan Dokter
Konflik ini umum dilaporkan oleh kedua profesi. Dokter secara umum dianggap
sebagai profesi yang mendominasi di rumah sakit. Konflik terjadi ketika nilai satu
pihak dipaksakan kepada pihak lain, misalnya perawat harus melakukan tugas yang
seharusnya merupakan kewenangan dokter.

D. PENGELOLAAN KONFLIK
Konflik dapat dicegah atau dikelola dengan:
1. Disiplin: Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan mencegah
konflik. Manajer perawat harus mengetahui dan memahami peraturan-peraturan yang
ada dalam organisasi. Jika belum jelas, mereka harus mencari bantuan untuk
memahaminya.
2. Pertimbangan Pengalaman dalam Tahapan Kehidupan: Konflik dapat dikelola dengan
mendukung perawat untuk mencapai tujuan sesuai dengan pengalaman dan tahapan
hidupnya. Misalnya; Perawat junior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk
mengikuti pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, sedangkan bagi perawat senior yang
berprestasi dapat dipromosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
3. Komunikasi: Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik
dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk menghindari konflik
adalah dengan menerapkan komunikasi yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang
akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara hidup.
4. Mendengarkan secara aktif: Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk
mengelola konflik. Untuk memastikan bahwa penerimaan para manajer perawat telah
memiliki pemahaman yang benar, mereka dapat merumuskan kembali permasalahan para
pegawai sebagai tanda bahwa mereka telah mendengarkan.

E. TAHAPAN KONFLIK
Seorang manajer dapat menyelesaikan suatu konflik ketika ia dapat mengkaji tahap
konflik dengan tepat. Marquis & Huston (2012) menyebutkan tahapan konflik
sebagaiberikut :
1. Latent Conflict or Antecedent Conditions
Merupakan kondisi yang berpotensi untuk menyebabkan, atau mengawali sebuah
episode konflik. Terkadang tindakan agresi dapat mengawali proses konflik. Antecedent
conditions dapat tidak terlihat, tidak begitu jelas di permukaan. Perlu diingat bahwa
kondisi-kondisi ini belum tentu mengawali proses suatu konflik. konflik bersifat laten,
berpotensi untuk muncul, tapi dalam kenyataannya bisa tidak terjadi. Adanya konflik
terpendam yang tidak dirasakan. Misalnya pada kurangnya jumlah perawat dan beban
kerja yang tinggi walau pada saat itu terlihat atau memang belum ada konflik. Tetapi
kondisi tersebut dapat berubah jika manajerial melakukan tindakan yang menekan,
misalnya dengan pengurangan gaji atau fasilitas. Maka hal semacam ini harus
dipertimbangkan dengan matang dengan mengkaji kondisi lapangan.
2. Perceived Conflict
Agar konflik dapat berlanjut, kedua belah pihak harus menyadari bahwa mereka dalam
keadaan terancam dalam batas-batas tertentu. Tanpa rasa terancam ini, salah satu pihak
dapat saja melakukan sesuatu yang berakibat negatif bagi pihak lain, namun tidak
disadari sebagai ancaman.. Kebanyakan konflik dapat diselesaikan pada tahap ini
sebelum diinternalisasi.
3. Felt Conflict/ Affective Conflict
Persepsi berkaitan erat dengan perasaan. Karena itulah jika orang merasakan adanya
perselisihan baik secara aktual maupun potensial, ketegangan, frustasi, rasa marah, rasa
takut, maupun kegusaran akan bertambah. Di sinilah mulai diragukannya kepercayaan
terhadap pihak lain, sehingga segala sesuatu dianggap sebagai ancaman, dan orang mulai
berpikir bagaimana untuk mengatasi situasi dan ancaman tersebut.
4. Manifest Conflict/ Overt Conflict
Persepsi dan perasaan menyebabkan orang untuk bereaksi terhadap situasi tersebut.
Begitu banyak bentuk reaksi yang mungkin muncul pada tahap ini; argumentasi,
tindakan agresif, atau bahkan munculnya niat baik yang menghasilkan penyelesaian
masalah yang konstruktif.
5. Conflict Resolution or Suppression
Conflict resolution atau hasil suatu konflik dapat muncul dalam berbagai cara. Kedua
belah pihak mungkin mencapai persetujuan yang mengakhiri konflik tersebut. Mereka
bahkan mungkin mulai mengambil langkah-langkah untuk mencegah terulangnya
konflik di masa yang akan datang. Tetapi terkadang terjadi pengacuan (suppression) dari
konflik itu
6. Conflict Aftermath
Ketika konflik terselesaikan, tetap ada perasaan yang tertinggal. Terkadang perasaan lega
dan harmoni yang terjadi, seperti ketika kebijaksanaan baru yang dihasilkan dapat
menjernihkan persoalan di antara kedua belah pihak dan dapat meminimasir konflik-
konflik yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Tetapi jika yang tertinggal
adalah perasaan tidak enak dan ketidakpuasan, hal ini dapat menjadi kondisi yang
potensial untuk episode konflik yang selanjutnya. Pertanyaan kunci adalah apakah pihak-
pihak yang terlibat lebih dapat bekerjasama, atau malah semakin jauh akibat terjadinya
konflik.
F. TEKNIK MANAJEMEN KONFLIK DALAM PENGELOLAAN RUANG RAWAT
Manajemen konflik merupakan langkah yang diambil oleh pihak yang terlibat konflik
atau pihak ketiga dalam upaya mengarahkan perselisihan menuju perdamaian dengan cara
menyusun strategi konflik dan menerapkannya agar menghasilkan resolusi yang diinginkan
(Wirawan, 2010).
Konflik sering terjadi pada setiap tatanan asuhan keperawatan. Seorang manajer
keperawatan harus memiliki dua asumsi dasar konflik. Pertama konflik merupakan hal yang
tidak dapat dihindari dalam suatu organisasi. Kedua jika konflik dapat dikelola dengan baik
maka dapat menghasilkan suatu penyelesaian yang kreatif dan berkualitas sehingga
berdampak pada peningkatan dan pengembangan produktivitas.
Tujuan utama dari manajemen konflik adalah untuk membangun dan
mempertahankan kerjasama yang kooperatif dengan para bawahan, teman sejawat, atasan
dan pihak luar. Terdapat beberapa pendapat dalam manajemen konflik :

1. Kompromi atau Negoisasi


Pada solusi ini, setiap pihak melepaskan salah satu tuntutannya. Merupakan gaya
manajemen konflik menengah, dimana tingkat keasertifan dan kerjasama sedang. Gaya
manajemen konflik ini berada ditengah-tengah antara gaya kolaborasi dan kompetisi.
Situasi ini bisa menjadi tidak baik ketika salah satu pihak atau keduanya merasa
sebagai pihak yang kalah. Agar hal ini tidak terjadi, tiap pihak harus bersedia
memberikan sesuatu yang seimbang pada satu sama lain. Kompromi dikatakan efektif
ketika kedua pihak merasa diuntungkan. Tetapi cara ini sebaiknya tidak dilakukan bila
cara kolaborasi masih memungkinkan untuk dipilih.
Alasan menggunakan manajemen konflik kompromi:
a. Pentingnya tujuan konflik hanya sedang dan tidak cukup bernilai untuk
dipertahankan dengan kompetisi atau kolaborasi, tetapi konflik juga terlalu penting
untuk dihindari
b. Kedua belah pihak mempunyai kekuasaan dan sumber yang sama, serta mempunyai
tujuan yang hampir sama.
c. Untuk mencapai solusi sementara atas masalah yang kompleks

2. Kompetisi
Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan tinggi dan tingkat kerja sama
rendah. Gaya ini berorientasi pada kekuasaan, dimana seseorang akan menggunakan
kekuasaan yang dimiliknya untuk memenangkan konflik terhadap lawannya.
Dalam kompetisi akan jelas ditentukan pemenangnya, tetapi pihak yang kalah
tentunya tidak akan merasa puas dan merasa mendapat pemaksaan kehendak, sehingga
mungkin akan menjadi dendam dan timbul keinginan membalas di kemudian hari.
Agar hal ini tidak terjadi, kompetisi dapat dipilih ketika manajerial menimbang
bahwa salah satu pihak memiliki pengetahuan dan informasi lebih banyak daripada pihak
yang lain.
Alasan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi:
a. Merasa mempunyai kekuasaan dan sumber-sumber lainnya untuk memaksakan
sesuatu kepada lawan konfliknya
b. Tindakan dan keputusan perlu diambil dengan cepat, missal dalam keadaan darurat.
c. Melindungi perusahaan dari kebangkrutan dan keadaan yang dapat merusak citra
perusahaan.

3. Kerjasama/ Kooperasi/ Akomodasi


Pada strategi ini kedua pihak akan merasa terlibat dalam melakukan sesuatu yang
menjadi tujuan bersama. Tetapi kerjasama tidak akan efektif ketika melibatkan suatu
insentif karena menimbulkan kompetisi.
4. Pengurangan (“smoothing”)
Strategi ini digunakan pada konflik yang ringan. Yaitu dengan cara mendorong
kedua pihak mengurangi komponen emosional pada pihak yang lain. Smoothing akan
berjalan baik jika kedua pihak fokus ada tujuan yang sama dari keduanya dan bukan
pada perbedaannya.
5. Penghindaran
Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerjasama rendah.
Bentuk menghindar tersebut bisa berupa menjauhkan diri dari pokok masalah, menunda
pokok masalah hingga waktu yang tepat atau menarik diri dari konflik yang mengancam
dan merugikan.
Pihak yang berkonflik memilih menghindar karena menyadari efek konflik yang
lebih banyak ruginya daripada keuntungannya, terdapat bahaya yang muncul bila konflik
diteruskan atau bila dianggap masalah dapat selesai dengan sendirinya.
Alasan menggunakan gaya manajemen konflik menghindar:
a. Kepentingan objek konflik rendah atau ada konflik lain yang sangat penting dan
perlu mendapatkan perhatian
b. Potensi biaya yang diperlukan untuk menenangkan konflik lebih besar daripada nilai
solusinya.
c. Untuk menenangkan para karyawan dan mengurangi ketegangan, serta menciptakan
suasana kerja yang kondusif dan tenang sehingga dapat meningkatkan kinerja
karyawan
6. Kolaborasi
Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan tinggi dan tingkat kerja sama
tinggi. Gaya ini melakukan upaya bernegosiasi untuk menciptakan solusi yang
sepenuhnya memuaskan pihak-pihak yang terlibat konflik. Kolaborasi merupakan gaya
manajemen konflik yang paling disukai karena mendorong hubungan interpersonal,
kekuatan kreatif untuk inovatif dan perbaikan, meningkatkan aliran informasi serta
mengembangkan iklim organisasi yang lebih terbuka.
Kolaborasi yaitu ketika semua pihak bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan
bersama yang dianggap penting oleh semuanya. Untuk mencapai hal seperti ini, tujuan
bersama tersebut harus disadari oleh semua pihak dan semua memiliki semangat yang
sama.
Misal dengan tujuan bersama melaksanakan pelayanan prima, maka pada staff
diberikan cuti bergantian. Bila setiap orang melihat pelayanan prima sebagai sesuatu
yang penting, maka pihak yang tidak/belum diberikan cuti di hari yang dia inginkan
tidak akan menganggap itu sebagai masalah tetapi sebagai hal yang memang seharusnya.
Alasan menggunakan manajemen konflik kolaborasi:
a. Menciptakan solusi yang integratif dan tujuan kedua belah pihak terlalu penting
untuk dikompromikan
b. Tujuan pihak yang terlibat konflik untuk mempelajari labih jauh pandangan dari
lawan konflik.
c. Kedua belah pihak tidak mempunyai cukup kekuasaan dan sumber-sumber untuk
memaksakan kehendak demi mencapai tujuannya.

G. EFEK KONFLIK ORGANISASI


M. Afzalur Rahim membagi efek konflik organisasi menjadi 2 yaitu: (1) Disfungsi
dan (2) Fungsi. Rincian. Pendapat Rahim seputar Disfungsi Konflik adalah :
1. Konflik mengakibatkan job stress, perasaan terbakar, dan ketidakpuasan;
2. Komunikasi antar inidividu dan kelompok menjadi berkurang;
3. Iklim ketidakpercayaan dan kecurigaan berkembang;
4. Hubungan antar orang tercederai;
5. Kinerja pekerjaan berkurang;
6. Perlawanan atas perubahan meningkat; dan
7. Komitmen dan kesetiaan organisasi akan terpengaruh.

Selain itu, Rahim menyebut adalah pula Fungsi Konflik, yaitu :


1. Konflik merangsang inovasi, kreativitas, dan perubahan;
2. Proses pembuatan keputusan dalam organisasi akan terimprovisasi;
3. Solusi alternatif atas satu masalah akan ditemukan;
4. Konflik membawa solusi sinergis bagi masalah bersama;
5. Kinerja individu dan kelompok akan lebih kuat;
6. Individu dan kelompok dipaksa untuk mencari pendekatan baru atas masalah; dan
7. Individu dan kelompok perlu lebih mengartikulasi dan menjelaskan posisi mereka.
Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang positif apabila
dikelola dengan baik. Misalnya, konflik dapat menggerakan suatu perubahan :
1. Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan
tanggung jawab mereka.
2. Memberikan saluran baru untuk komunikasi.
3. Menumbuhkan semangat baru pada staf.
4. Memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi.
5. Menghasilkan distribusi sumber tenaga yang lebih merata dalam organisasi.
Apabila konflik mengarah pada kondisi destruktif, maka hal ini dapat berdampak pada
penurunan efektivitas kerja dalam organisasi baik secara perorangan maupun kelompok,
berupa penolakan, resistensi terhadap perubahan, apatis, acuh tak acuh, bahkan mungkin
muncul luapan emosi destruktif, berupa demonstrasi.

Anda mungkin juga menyukai