Anda di halaman 1dari 24

ISLAM DAN PENGAMALAN DI IRAN

Satu Jalan, Empat Agama


Di tengah hiruk-pikuk kepadatan metropolitan, senyum perdamaian menyembul di salah satu
jalan kota Teheran. Si Tir nama jalan yang berada persis di jantung ibu kota Iran, Tehran Pusat.[1] Hingga
kini, Si Tir dikenal sebagai “Satu Jalan, Empat Agama”. Sebelum kemenangan Revolusi Islam, disebut
sebagai jalan Ghavam al-Saltaneh yang mengabadikan nama salah seorang perdana menteri Iran di era
monarki Islam Qajar. Sedikit menepi dari keramaian Bazar klasik Teheran, Si Tirbertahun-tahun telah
menjadi saksi berdirinya tempat ibadah berbagai umat beragama. Ada masjid Ibrahim, nama yang
mengingatkan kembali bahwa seluruh akar agama samawi bertemu pada Nabi Ibrahim. Tidak jauh dari
tempat kaum muslimin rukuk dan sujud, terdapat pusat ibadah umat Yahudi, sinagog Chaim. Kuil
Zoroaster juga masih berdiri kokoh mewakili agama nenek moyang bangsa Persia. Sementara dua gereja
turut mewarnai corak religiusitas daerah ini, Santa Petrus dan Santa Maria. Gereja terakhir ini khusus
milik etnis Armenia, komunitas Kristen terbesar di Iran.[2]

Tampaknya, model satu jalan empat agama di Si Tir Teheran dalam rekaman historis Islam di
Iran, menjadi rangkaian lanjutan dinamika corak keberagamaan Iran di masa dinasti Islam Safavi sekitar
abad keenam belas hingga delapan belas Masehi yang berpusat di Isfahan. Salah satu buktinya berbagai
peninggalan gereja tua, terutama gereja Vank di jantung kota Isfahan dan Santa Thaddeus di Tabriz, yang
diakui UNESCO sebagai situs warisan dunia. Gereja tua tersebut hingga kini masih berfungsi sebagai
tempat ibadah Kristen Iran. Masuknya agama Kristen ke Iran di era Safavi menjalin interaksi lebih luas
dengan dunia luar, terutama dengan bangsa-bangsa Eropa yang semakin terbuka. Selama ratusan tahun,
penganut Kristen bersama pemeluk agama lainnya seperti umat Yahudi dan Zoroaster menjadi bagian
dari minoritas di Iran yang hidup rukun dan harmonis dengan mayoritas Muslim, meski rezim berganti
dari Safavi, Qajar hingga Pahlevi.

Ketika Revolusi Islam meletus, kaum minoritas Iran mempertanyakan nasib mereka di masa
mendatang di bawah pemerintahan Islam. Menghadapi kekhawatiran tersebut, Khomeini dalam beberapa
kesempatan menegaskan bahwa posisi minoritas akan tetap aman dan dilindungi hak-haknya. Pendiri
Republik Islam Iran ini berkata, “Mereka (kaum minoritas) dalam urusan apapun setara dan hak-hak
mereka dilindungi oleh hukum. Dalam pemerintahan Islam, mereka akan mendapat kesejahteraan.”[3]
Pada kesempatan lain, ketika menjawab pertanyaan wartawan, apakah Republik Islam Iran akan
mengijinkan pemeluk agama lain menjalankan ibadah mereka secara bebas atau tidak, Khomeini
menjawab,“Tentu saja, seluruh kelompok minoritas dalam pemerintahan Islam dapat menjalankan
dengan bebas ritual keagamaan mereka. Pemerintahan Islam, berkewajiban melindungi hak-hak mereka
sebaik mungkin.”[4]
Meskipun telah ada penegasan berulang-ulang dari pendiri revolusi Islam ini, tapi tetap saja
belum mampu meredam kekhawatiran kaum minoritas. Di awal revolusi, tidak sedikit dari mereka yang
memutuskan untuk meninggalkan Iran, tapi banyak juga yang memilih tetap tinggal dan menetap di
negara ini. Setelah revolusi Iran berjalan selama beberapa dekade, di tengah pergantian model
kepemimpinan dan dialektika dua kubu konservatif dan reformis, masalah minoritas masih menjadi
tantangan Iran yang mengadopsi pemerintahan Islam.

Apalagi belakangan, di tengah munculnya kelompok ISIS yang berwajah sangar dan bengis,
tantangan itu menjadi berlipat ganda. Pasalnya, sebagaimana Iran, ISIS pun mengklaim mengusung
negara Islam. Berbagai studi tentang ISIS menunjukkan kelompok Islam garis keras ini mengadopsi
paham literal, radikal dan ekstrem; anti-demokrasi dengan menerapkan model Khilafah; anti-peradaban
yang bukan Islam seperti penghancuran warisan budaya Palmyra di Suriah baru-baru ini; marjinalisasi
perempuan; dan diskriminasi terhadap minoritas.

Dari sini, dapat ditarik berbagai pertanyaan mendasar. Apakah konsep negara Islam ala Iran
sama dengan yang diusung ISIS? Bagaimana sebenarnya keseriusan Iran melindungi kaum minoritas?
Lebih jauh, bagaimana pemenuhan hak-hak warga lainnya yang memerlukan perlindungan seperti
perempuan dan anak-anak? Mampukah Teheran sebagai representasi kota-kota di Iran, menjadi kota
Islami?
Eksperimen Iran, Sintesis Kebangsaan dan Keislaman

Untuk melacak jawaban dari pertanyaan di atas, penulis merumuskan beberapa variabel kunci
sebagai pijakan. Pertama, pola hidup bermasyarakat dan bernegara sebuah bangsa tidak bisa dipisahkan
dari kualitas kebudayaannya yang lahir dan berkembang dalam rentang waktu yang panjang. Demikian
juga dengan Iran sebagai sebuah negara. Meskipun Revolusi Islam telah mengubah wajah politik Iran
menjadi Republik Islam, tapi pola berbangsa dan bernegara sebelum tahun 1979 terus melekat dalam
bentuk barunya yang bermetamorfosis.
Dalam kasus Iran, lembaran sejarah menunjukkan dominasi peran agama dan agamawan di
ranah politik dan sosial masyarakatnya selama ribuan tahun, bahkan sebelum Islam diterima sebagai
agama mayoritas penduduknya. Tiga variabel yang saling berkelindan yaitu; agama, moralitas dan politik
memiliki rekam jejak kontributif yang panjang. Menurut Pastor Reza Safa masyarakat dunia perlu
memahami spirit orang-orang Iran modern sebelum mengevalusi sistem politik, agama dan masyarakat
mereka. Setidaknya ada tiga faktor yang harus dipahami sebagai jiwa orang-orang Iran yang tidak bisa
dipisahkan dari mereka yaitu: agama (mazhab)[5],perilaku budaya (addab)dan politik (seeyasat)[6]
Kedua, sistem ketatanegaraan dalam perspektif Islam sepanjang sejarah tidak pernah hadir
dalam bentuk baku dan tunggal, sebab dipengaruhi pola adopsi dan interaksi antara nilai-nilai demokrasi
dan ajaran Islam. Faktor yang paling mendasar adalah seberapa besar peran rakyat dalam pengambilan
keputusan politik. Bagaimana posisi pemilu sebagai prosedur demokrasi ditempatkan dalam distribusi
kekuasaan di Iran. Sejauhmana konstitusi memperhatikan hak setiap warga negara secara adil tanpa
diskriminasi, termasuk minoritas dan penerapannya secara benar di lapangan.
Ketiga, sekularisme sebagai sistem politik tidak memiliki sejarah panjang di Iran. Pemisahan
agama dan politik pernah berusaha dipancangkan di era Pahlevi antara tahun 1925 hingga 1979, Tapi
rezim ini relatif tidak berumur panjang. Salah satu faktor pemicu perlawanan rakyat Iran terhadap rezim
Pahlevi, karena pemerintahannya berupaya menerapkan Sekularisme yang sedikit banyak terinspirasi
Kemal Attaturk di Turki, di antaranya penerapan kebijakan larangan mengenakan simbol-simbol
keagamaan seperti hijab di tempat umum di luar masjid dan tempat ibadah.[7]

Suara Rakyat, Pemilu dan Konstitusi

Demokrasi tampil dengan banyak wajah. Bahkan, Collier dan Levitsky menjelaskan hasil riset
yang menunjukkan bahwa varian-varian demokrasi dengan ajektifnya masing-masing tidak hanya pada
tahapan terminologis, tapi juga pada konseptualnya.[8] Sebelum pecah revolusi Islam, Iran pernah
mengupayakan demokrasi di era monarki dalam bentuk Revolusi Konstitusi tahun 1906. Meskipun
tenggelam kemudian, tapi menjadi pengalaman penting bagi Iran yang membuatnya lebih apresiatif
terhadap pencarian bentuk pemerintahan demokratis yang dipandang ideal.[9]
Sistem pemerintahan Islam yang dijalankan Iran saat ini lahir dari proses konsensus nasional
yang mengusung nilai-nilai demokrasi. Ketika Revolusi Islam berhasil menggulingkan rezim Shah, muncul
tiga arus utama yang mengemuka. Pertama, ideologi Islam revolusioner yang dicetuskan Ali
shariati. Kedua, Melli Mazhabi atau nasionalis religius yang ditawarkan Mehdi Bazargan dan Mahmoud
Taliqani. Gagasan utamanya mendukung demokrasi konstitusional yang pernah diterapkan pasca
Revolusi Konstitusi tahun 1906 dengan menempatkan ulama hanya sebagai pengawas legislasi. Ketiga,
Wilayah al-Faqih yang digulirkan Khomeini dengan mengusung demokrasi religius.[10] Lalu, Khomeini
menyerahkan pilihan kepada rakyat melalui referendum yang digelar pada 10-11 Farvardin 1958 Hs,
atau bertepatan 29-30 Maret 1979. Hasilnya, 98,2 % rakyat Iran memilih Republik Islam.[11]
Proses demokratisasi selanjutnya dilakukan melalui pembentukan Dewan Pakar dengan anggota
73 orang yang dipilih melalui pemilu. Setelah melalui serangkaian sidang, Dewan Pakar memasukkan
Wilayah al-Faqih dalam rancangan konstitusi pada 15 November 1979. Kemudiaan digelar referendum
kembali pada 2-3 Desember 1979 untuk menentukan apakah rakyat menerima atau tidak rancangan
konstitusi tersebut. Hasilnya, 75,23 % rakyat Iran mendukung dimasukannya Wilayah al-Faqih dalam
konstitusi negara.Terkait hal ini, John Esposito mengungkapkan, “Meskipun memiliki ciri-ciri
teokratisnya -terutama kekuasaan syariat dan pemerintahan di tangan seorang faqih- menunjukkan
bahwa Iran bukan sebuah negara demokrasi kerakyatan yang mutlak, namun dalam konstitusinya Iran
bisa dikatakan sebagai republik dan memiliki pranata-pranata demokrasi. Dalam banyak hal, Republik
Islam merupakan bentuk pemerintahan yang paling mendekati demokrasi yang pernah dimiliki Iran.
Khomeini mendirikan negara Islam melalui konsensus rakyat, dan mayoritas masyarakat Iran tetap
mendukungnya. Banyak yang mungkin masih memperdebatkan dukungan mayoritas rakyat terhadap
rezim itu, namun karakter semidemokratisnya sangat jelas.”[12]
Kontras dengan pengusung negara Islam seperti ISIS yang menolak demokrasi, Republik Islam
Iran memiliki pranata-pranata demokrasi, salah satunya dengan penyelenggaraan pemilu secara periodik.
Joseph Schumpeter meyakini demokrasi ditandai dengan adanya kompetisi sehat dan partisipasi aktif
dalam pemilu. Menurut Schumpeter, sebuah sistem politik dinilai demokratis ketika para pembuat
keputusan kolektif yang terkuat dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala, yang di
dalamnya para calon dapat berkompetisi secara bebas untuk meraih suara, dan semua warga dewasa pun
dapat memberikan suaranya.[13]
Pemilu di Iran menempati posisi tertinggi dalam sistem distribusi kekuasaan Republik Islam
Iran.[14]Dewan Pakar yang menentukan Pemimpin Tertinggi atau Rahbar yang saat ini dijabat oleh Sayid
Ali Khamenei dipilih oleh rakyat melalui pemilu. Selain itu, anggota DPR dan presiden dipilih secara
langsung melalui pemilihan umum. Hingga kini Iran telah melaksanakan 32 pemilu, yaitu: tiga kali
referendum konstitusi, pemilu presiden 12 kali, pemilu DPR 9 kali, pemilu Dewan Pakar 4 kali, serta
pemilu DPRD 4 kali dengan tingkat partisipasi seluruhnya rata-rata di atas 65 persen.[15]Berdasarkan
UUD Iran, pemimpin tertinggi ditentukan oleh Dewan Pakar yang dipilih melalui mekanisme demokrasi.
Pasal 107 menjelaskan:
“Setelah Marja taklid (otoritas keagamaan) sekaligus pemimpin besar revolusi Islam dan pendiri Republik
Islam Iran, Yang Mulia Ayatullah Udzma Imam Khomeini yang dikenal otoritas keagamaan dan
kenegarawannya oleh mayoritas rakyat [Iran], penentuan siapa pemimpin selanjutnya diserahkan kepada
Dewan Pakar yang dipilih oleh rakyat…”

Mengenai jabatan presiden, berdasarkan UUD Iran, presiden dipilih secara langsung oleh rakyat
yang menunjukkan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat yang berhak menentukan nasibnya sendiri
dalam koridor demokrasi. UUD Iran pasal 114 menjelaskan, “Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk
masa jabatan empat tahun dan bisa dipilih satu periode lagi secara berturut-turut.” Meskipun Iran
menerapkan sistem pemerintahan Islam tapi sangat berbeda dengan konsep negara Islam model Khilafah
Islam ala ISIS, bahkan lebih demokratis dari negara-negara kawasan Teluk yang menerapkan monarki.
Corak negara Islam yang dijalankan di Iran saat ini lahir melalui proses dialektika kebangsaan yang
panjang, dan menggunakan cara-cara yang demokratis sebagaimana ditampilkan dalam tabel di bawah
ini.[16]

bagan distribusi kekuasaan iran

Prinsip Kesetaraan Hak dalam Konstitusi Iran

Salah satu prinsip demokrasi adalah memberikan kesetaraan hak seluruh warga negara tanpa
membedakan gender, etnis, bahasa dan lainnya. Konsep universal tentang persamaan sebagai warga
negara dijelaskan dalam undang-undang dasar Republik Islam Iran pasal 19 yang berbunyi, “Seluruh
warga Iran apapun etnis dan sukunya memiliki hak yang setara. Warna kulit, ras, bahasa dan sejenisnya
tidak memberi hak yang istimewa.”

Populasi minoritas non-Muslim di Iran seluruhnya sekitar 2 persen dari total penduduk Iran.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 1390 Hs (2011), jumlah warga Iran sebesar 75.149.669 orang.
Warga Muslim 74.682.938 orang. Pemeluk agama Kristen sebesar 117.704 atau 0,16 persen. Pemeluk
Zoroaster sebanyak 25.271 orang atau 0,03 persen. Pemeluk Yahudi 8.756 orang atau 0,01 persen. Agama
lainnya diperkirakan sebesar 0,35 persen.[17] Konstitusi Iran menjamin dan melindungi hak-hak non
muslim. Dalam undang-undang dasar Iran, setidaknya ada 5 pasal yang menyinggung langsung perlakuan
terhadap non muslim, yaitu pasal 13, 14, 26, 67, dan 177. Di antara bunyi pasal itu antara lain:
Pasal 13: “Warga minoritas Iran yang diakui yaitu pemeluk Zoroaster, Yahudi, maupun Kristen bebas
melakukan upacara keagamaan sesuai aturan yang ditentukan dan berhak mengamalkan ajaran
agamanya sesuai dengan keyakinan mereka.”

Pasal 14: “Dengan bersandar pada al-Quran surat Mumtahanah ayat 8

«‫»المقسطینَ یحب هللا ان الیهم تقسطوا و تبروهم ان دیارکم من یخرجوکم لم و الدین فی یقاتلوکم لم الذین عن هللا ینهاکم ال‬

“Negara Republik Islam Iran dan umat Islam wajib memperlakukan non muslim dengan akhlak yang baik
dan adil. Serta memperhatikan hak-hak dasar mereka. Pasal ini berlaku kepada mereka yang tidak
memerangi negara.”

Pasal 64: “Pemeluk Zoroaster, Yahudi, dan Kristen masing-masing berhak memilih satu wakil Zoroaster,
satu wakil Yahudi, satu wakil Kristen ortodok, dan satu wakil Kristen Armenia utara maupun Selatan.”

Dengan melihat pasal-pasal di atas, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi:

Pertama, Iran yang dikenal menentang keras terhadap rezim Israel, ternyata mengakui agama
Yahudi secara resmi. Jadi, permasalahan Iran dengan Israel bukan persoalan keyakinan agama, tapi
politik. Selama ini, banyak yang beranggapan bahwa penentangan terhadap Israel berarti juga memusuhi
agama Yahudi.
Kedua, pasal ketiga yang mengambil sumber surat Mumtahanah ayat 8, tidak hanya menekankan
kewajiban negara untuk melindungi kelompok non muslim. Di sana juga tersurat ajakan bagi umat Islam
untuk menjaga kerukunan. Jadi, bila ada kasus kekerasan terhadap non muslim yang dilakukan oleh
aparat negara atau kelompok masyarakat, bisa dituntut secara hukum.
Ketiga, kelompok non muslim di Iran bebas menjalankan ibadah ritual sesuai dengan
keyakinannnya. Namun kebebasan ini tetap mengacu pada koridor aturan yang berlaku di Iran.
Ketentuan yang menjadi sandaran ini merujuk kembali pada pandangan Ayatullah Khomeini tentang
syarat-syarat yang perlu dipenuhi oleh minoritas: Tidak menganggu stabilitas keamanan nasional, seperti
tidak melakukan penyerangan; Tidak melakukan tindakan secara terang-terangan (di ruang publik) hal-
hal yang dilarang keras dalam ajaran Islam, seperti minuman keras; Bekerja sama dengan pihak asing
sehingga merusak ikatan-ikatan kebangsaan dan keamanan nasional.
Keempat, kelompok minoritas non muslim ini, masing-masing memiliki perwakilan dalam angota
dewan. Setiap perwakilan itu, seperti halnya anggota dewan lainnya berhak memberikan saran dan
pendapat dalam perundang-undangan negara. Sebenarnya, keterlibatan kelompok non muslim dalam
pendirian Republik Islam ini telah dimulai sejak pembentukan Majelis konstituante pada Juli 1979. Dari
73 anggotanya, terdapat empat orang perwakilan dari minoritas agama. Keempat perwakilan ini tidak
dipilih melalui pemilu, tapi dipilih oleh komunitasnya masing-masing. Minoritas Kristen diwakili oleh
Sirgin Bayt Ushana dan Harayir Khalatiyan. Yahudi diwakili oleh Aziz Danish Rad dan Zoroaster diwakili
oleh Rustam Mubad Shazadi. Selain mereka, hadir perwakilan Sunni yang diwakili Maulawi Abdul Aziz
dan Hamidullah Mir Murad Zihi dari provinsi Baluchistan.[18]

Meskipun agama resmi di Iran adalah Islam mazhab Jakfari atau Syiah Ithna Asyariah. Akan
tetapi, mazhab-mazhab Islam Sunni lainnya seperti Hanafi, Syafii, Maliki, Hanbali, dan Zaidi mendapat
kehormatan tinggi. Imam Khomeini menegaskan, “Dalam Islam, antara syiah dan Sunni tidak seharusnya
ada perpecahan. Sebaiknya tetap menjaga persatuan…Negara ini milik kita bersama,… milik minoritas
juga saudara-saudara ahli Sunnah kita.”

Para pemeluk mazhab minoritas ini bebas menjalankan ritual keagamaannya masing-masing,
proses belajar-mengajar, dan permasalahan individu sesuai dengan pemahaman fikih mereka dalam
urusan nikah, talak, warisan, dan wasiat. Negara memberikan pengakuan resmi pada pengadilan perdata
yang berhubungan dengan masalah tersebut. Setiap wilayah yang mayoritasnya adalah salah satu mazhab
minoritas, aturan daerah diserahkan kepada dewan daerah sesuai mazhab tersebut, dengan tetap
menjaga hak-hak penganut mazhab lainnya.
Sensus penduduk tahun 1390 Hs (2011) menunjukkan bahwa populasi Sunni di Iran sebesar
6.763.470 orang atau sembilan persen. Pasca kemenangan Revolusi Islam Iran, pusat-pusat pendidikan
Sunni di Iran berkembang pesat dan bertebaran di berbagai penjuru negeri. Data tahun 2004
menunjukkan jumlah pejabat publik yang bermazhab Sunni meningkat dari sebelumnya. Contohnya, 21
orang menempati posisi kepala bagian di kantor gubernur, 9 gubernur, 44 wali kota, 40 kepala daerah, 3
hakim, 259 direktur bank, dan lainnya. Di parlemen, perwakilan Sunni meraih 19 kursi. Mereka juga
diizinkan untuk mendirikan sekolah, masjid maupun kegiatan keagamaannya sendiri secara bebas.
Kondisi tersebut ditegaskan oleh Sheikh Maulawi Madani, Imam Besar Sunni di Iran yang mengunjungi
Indonesia pada 20 Februari 2012.[19]
Pusat pendidikan agama Sunni Iran berada di bawah naungan Sekretariat Dewan Program Pendidikan
Agama Ahlusunnah Iran (Dabir Khoneh Shora Barnamehrizi Madares Olom Dini Ahl Sonat). Kantor
perwakilannya tersebar di delapan tempat yaitu: Kurdistan, Kermanshah, Hormozgan, Golestan, Fars,
Busher, Sistan Balochistan dan Iranshah.[20]

Hak-hak Perempuan dan Anak

Kata perempuan dalam konstitusi Iran disebutkan tidak kurang dari 10 kali yang menunjukkan posisi
pentingnya. Bahkan, dalam pembukaan undang-undang dasar terdapat paragrap khusus yang membahas
tentang perempuan. Diantaranya disebutkan, dalam membangun fondasi-fondasi Islam, seluruh potensi
sumber daya perlu dilibatkan, demikian juga perempuan perlu mendapat perhatian lebih. Lebih jauh,
pasal 12 menjabarkan kewajiban negara terhadap perempuan yang terkait juga dengan hak-hak anak
yaitu:

1. Menciptakan lingkungan kondusif bagi perkembangan kepribadian perempuan dan


mengembalikan hak-hak mereka, baik materi maupun spiritual.
2. Melindungi para ibu, terutama pada masa kehamilan dan pengasuhan, serta melindungi anak-anak
yang tidak memiliki wali.
3. Membentuk peradilan yang kompeten untuk menjaga keutuhan keluarga.
4. Menyediakan asuransi khusus untuk para janda, perempuan yang lanjut usia dan mereka yang
tidak memiliki tempat sandaran.
5. Menyerahkan pengasuhan anak-yang tidak memiliki wali sah- kepada ibu yang layak, demi
melindungi kepentingan anak tersebut.
Tampaknya, perhatian besar terhadap perempuan disebabkan kiprahnya dalam mendukung Revolusi
Islam. Dalam penyusunan konstitusi pun mereka dilibatkan. Meski hanya melibatkan satu ulama
perempuan bernama Munir-i Gurji dalam Majelis Konstituante, namun undang-undang dinilai sejumlah
kalangan memiliki keberpihakan kepada perempuan.[21]Contohnya adalah undang-undang tenaga kerja
pasal 38 yang mewajibkan cuti hamil dan melahirkan selama enam bulan.Selain itu, setiap perusahaan
yang mempekerjakan perempuan harus memberikan waktu kepada ibu untuk menyusui anaknya setiap
enam jam selama tiga puluh menit dan dihitung sebagai waktu kerja hingga bayi berusia 24 bulan.[22]

Kota Islami: Pengalaman Teheran

Sebagai representatif kota-kota di Iran, menarik untuk digali bagaimana kota Teheran
mewujudkan dirinya sebagai kota yang mengusung nilai-nilai Islami sesuai amanat konstitusi negara ini.
Terletak di sebelah selatan pegunungan Alborz, Teheran yang dihuni sekitar 9 juta penduduk ini
merupakan kota terbesar di kawasan Asia Barat. Sebagai ibu kota, Teheran menjadi tumpuan penduduk
dari kota-kota lainnya untuk mengadu nasib. Akibatnya, berbagai suku dapat dijumpai di kota ini seperti
Lur, Turk, Kurd, dan Armenia.

Perlakuan terhadap Minoritas

Teheran juga merupakan rumah bagi pemeluk agama minoritas di Iran seperti Kristen, Yahudi,
dan Zoroaster. Tempat ibadah kaum minoritas ini, tersebar di beberapa wilayah Teheran. Ada lebih dari
30 gereja untuk umat kristiani, diantaranya yang cukup besar adalah Gereja St. George, Gereja St.
Bartoghimoos (gereja tertua Armenia, yang digunakan untuk pemakaman tokoh Kristen dan
penyelenggaraan sekolah agama), Gereja St. Mary, Gereja St. Sarkis (gereja Armenia terbesar di Teheran),
Gereja St. Targmanchass, dan Gereja St. Gregor Losarovitz. Sedangkan jumlah jumlah Sinagog sekitar 25
bangunan, selain sebagai tempat ibadah, Sinagog juga digunakan untuk belajar keagamaan. Tempat
ibadah itu lebih banyak tersebar di wilayah Tengah Teheran.[23]
Sebagai minoritas, gaung mereka memang tak terdengar nyaring. Namun, aktivitas ritual mereka berjalan
normal. Beberapa kali saya pernah melintas gereja di kawasan Haft-e Tir dan melihat para jemaat yang
sedang sibuk mempersiapkan ibadah hari Minggu. Selama lebih dari 6 tahun lebih tinggal di Teheran,
penulis tidak pernah mendengar kasus bentrokan, pembakaran tempat ibadah, atau kasus kekerasan
lainnya yang dilakukan umat Islam terhadap kelompok minoritas ini.

Menarik menyimak laporan The Guardian pada bulan Juni 2015. Koran ini mengutip pernyataan
Ando Teymourian, orang Kristen pertama yang menjadi kapten kesebelasan timnas Iran. “Saya senang
bahwa sebagai seorang Kristen bermain di tim Muslim. Saya berdarah Armenia, tapi saya memiliki paspor
Iran dan saya bangga akan hal itu, saya mengacungkan bendera negara saya tinggi-tinggi. Saya harap saya
bisa meningkatkan reputasi yang baik dari orang Armenia di Iran,” Kata Ando, seperti dikutip The
Guardian.[24]
Di tempat lain, portal umat kristiani Indonesia, satuharapan berhasil mewawancarai Agata
Abrahamian, seorang mahasiswi Kristen Iran yang hadir dalam acara sidang raya Dewan Gereja Dunia
(WCC) di Korea Selatan akhir tahun 2013. Dalam wawancara tertulisnya, Abrahamian mengungkapkan
bahwa orang Kristen di Iran—khususnya dari komunitas dia, Gereja Apostolik Armenia—bebas
menjalankan ibadah. Mereka juga bebas merayakan hari besar agama Kristen, seperti Natal dan Paskah.
Ibadah Minggu pun berjalan tanpa gangguan.[25]
Sejak tahun 2001, kaum minoritas agama di Iran menerima tunjangan subsidi bulanan seperti
yang diterima oleh komunitas lainnya dari kementerian dalam negeri. Motamed, wakil minoritas Yahudi
di parlemen memberikan kesaksian bahwa Iran relatif toleran terhadap minoritas Yahudi. Pejabat Rumah
Sakit Yahudi di Tehran, Farangis Hassidim menuturkan, “Komunitas Yahudi di Iran tidak menemui
kesulitan. Kondisi kami tidak seperti yang orang luar pikirkan. Kami bebas mengamalkan ajaran agama
dan ritual keagamaan. Kami pun bebas memiliki sekolah sendiri.[26]Komunitas Yahudi Iran juga
berunjuk rasa menentang agresi militer yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza.[27]
Pekerjaan rumah masih muncul menjadi tantangan yang belum tuntas diselesaikan terkait sejumlah kecil
kasus yang menimpa minoritas, meskipun jika dikaji lebih dalam kasus tersebut lebih kental warna
politiknya dari pada agama, terutama dipicu ketidakpuasan terhadap pemerintah Iran. Misalnya, kasus
yang menimpa Saeed Abedini, warga AS yang mengklaim sebagai misionaris Kristen yang dihukum
penjara delapan tahun.[28] Sementara pihak pemerintah Iran mengklaim Abedini ditahan karena
masalah subversif sebagai mata-mata AS.
Contoh lainnya, terkait berita tidak adanya masjid Sunni di Iran sebagaiman diklaim Raghib al-
Sirjani.[29] Padahal, menurut wakil Khusus Presiden urusan minoritas Ali Younesi, seluruh Muslim Sunni
di Iran memiliki sekitar 15 ribu masjid dan mushala. Meskipun tidak besar, di Teheran sendiri terdapat
sejumlah masjid Sunni, salah satunya yang penulis ketahui berada di dekat bundaran Sadighiyeh, Tehran
Barat. Masjid berukuran kecil ini biasa digunakan untuk menunaikan shalat Jumat berjamaah warga
Sunni Iran dan negara lain termasuk Indonesia.[30]Selain itu, pemerintah Iran beralasan tidak diperlukan
pembangunan masjid khusus Sunni di Tehran demi memperkuat persatuan Islam. Kondisi tersebut
berbeda dengan wilayah yang dihuni Sunni seperti provinsi Kurdistan, Sistan Baluchistan dan kota
lainnya yang memiliki jumlah masjid dan sekolah Sunni yang besar. [31]

Perempuan dan Anak

Dalam hal peningkatan taraf hidup perempuan, terlihat adanya perbaikan pelayanan kesehatan,
terutama bagi para ibu yang sedang hamil dan melahirkan. Para janda yang tidak punya penghasilan pun
mendapat jaminan kesehatan melalui asuransi yang preminya dibayarkan oleh pemerintah. Selain itu,
pemerintah juga mewajibkan kantor-kantor memberikan waktu khusus untuk ibu yang menyusui.
Pemerintah Iran juga telah memberlakukan aturan baru penambahan masa cuti hamil dari 90 hari
menjadi enam bulan, dengan tujuan ibu bisa memberikan ASI eklusif, istirahat cukup setelah melahirkan,
dan memiliki waktu lebih lama menemani anak.[32]
Upaya ini, tampaknya sedikit banyak bisa menekan angka kematian ibu dan anak yang umumnya masih
menjadi masalah serius di berbagai negara berkembang. Sebuah studi menunjukkan indeks kesehatan ibu
dan anak di negara ini mengalami perbaikan.
Perbandingan Indeks Kesehatan Tahun 1987, 1997, dan 2011
Indeks 1987 1997 2011

Tingkat Harapan
Hidup 66 70 75

Angka Kematian Bayi


Baru Lahir (dari 1000
kelahiran) 31 23 17

Angka Kematian Bayi


Sampai 1 Tahun (dari
1000 kelahiran) 47 33 22

Angka Kematian Anak


Balita 63 41 27

Angka Kematian Ibu


(dari 100.000
kelahiran) 150 59 30

Sumber: Pusat Penelitian Perempuan Iran[33]

Namun, masalah serius lainnya masih membayangi para perempuan Teheran. Tingkat polusi
kota ini cukup tinggi. Salah satu cara pemerintah kota untuk meminimalisasi dampak polusi, dengan
membangun taman-taman kota di berbagai kawasan. Sepanjang 6 tahun ini saja, ada sekitar 750 taman
yang dibangun maupun direnovasi ulang, 250 diantaranya terletak di wilayah Selatan Teheran yang
merupakan daerah padat. Taman-taman ini, selain untuk penghijauan biasanya juga dilengkapi sarana
olah raga.[34]
Bahkan, beberapa tahun belakangan, dibangun pula taman khusus untuk perempuan. Setidaknya,
ada empat taman, salah satu yang banyak dikunjungiBustan-e Behesht-e. Taman yang memiliki luas
sekitar 20 hektar ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti: sarana olahraga indoor maupun outdor,
perpustakaan, kantin, toilet, mushala, sarana bermain anak, serta baby care. Dan menariknya, untuk bisa
masuk ke taman ini tidak dipungut biaya apapun. Di luar fasilitas tersebut, sebenarnya hal yang paling
menyenangkan, di area yang disekat dinding tinggi ini, para pengunjung bebas melepaskan jilbab.
Sebagaimana diketahui Iran memberlakukan aturan memakai jilbab di ruang publik.
Fasilitas lainnya yang telah lama dirasakan perempuan Teheran adalah pemisahan dalam transportasi
publik, seperti: bus way, bus regular, dan metro. Khusus untuk metro, bagi pasangan keluarga tetap bisa
memilih duduk di gerbong umum. Manfaat pemisahan ini sangat terasa bagi penumpang perempuan,
mereka tetap aman dari berbagai gangguan pelecehan seksual dan sebagainya, meskipun metro sedang
padat. Selain tiga transportasi vital tersebut, perempuan Teheran juga bisa menggunakan jasa alternatif
taksi dengan sopir perempuan. Bagi perempuan yang bepergian seorang diri akan lebih nyaman dan
leluasa.

Sementara, tingkat pendidikan perempuan di Iran secara keseluruhan sudah setara dengan laki-
laki. Hal ini ditunjukkan dengan bertambahnya jumlah mahasiswi yang tercatat di berbagai perguruan
tinggi, bahkan pada tahun 2007-2008 jumlah mahasiwi Iran lebih banyak dari mahasiswa. Meski
partisipasi perempuan di sektor ekonomi dan politik belum signifikan, tapi tingginya tingkat pendidikan
ini memberikan peluang ke depan. Sampai saat ini, pada periode ke-9 pemilu legislatif, perempuan Iran
baru menyumbang 9 anggota dari seluruh anggota dewan yang berjumlah 290 atau sekitar 3 %.
Sebenarnya, ini jauh lebih baik dari tahun-tahun awal revolusi yang hanya mencapai 1 %.[35]
Perempuan juga mengisi posisi-posisi strategis, bahkan menjadi wakil presiden urusan sains dan
teknologi seperti yang pernah dijabat oleh Nasrin Soltankhah di era presiden Ahmadinejad. Saat ini,
sejumlah pos penting di kabinet presiden Hassan Rohani diisi perempuan seperti departemen lingkungan
hidup yang dijabat oleh Masoumeh Ebtekar, dan juru bicara kemenlu, Marzieh Afkham.

Data Statistik Perbandingan Mahasiswa Iran


Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2006-2011
Tahun Laki- Jumlah Persentase
Ajaran laki Perempuan Total Perempuan

2006-
2007 1156907 1231662 2388569 51,56 %

2007-
2008 1346274 1482237 2828511 52, 40 %

2008-
2009 1935726 1456126 3391852 42,93 %

2009-
2010 1620469 1688223 3308692 51,02 %

2010-
2011 1916156 1874722 3790878 49,45 %

Sumber: Pusat Statistik Iran[36]

Di Teheran, klub klub olahraga untuk perempuan juga berkembang pesat, seperti renang,
pendaki gunung, taekwondo, panahan, dayung, futsal, dan lain-lain. Dari klub kecil inilah, lahir para juara
yang lolos ke olympiade, seperti Susan Hajipoor pada cabang taekwondo, Zahra Dehghan pada cabang
panahan, Solmaz Abbasi untuk cabang dayung, dan sebagainya. Menariknya, prestasi mereka tetap hebat,
meskipun bermain dengan pakaian muslim.[37]
Adapun upaya Teheran untuk melindungi anak-anak dimulai dari pembenahan sistem
pendidikan. Karena, setelah rumah, sekolah merupakan lingungan yang sangat mempengaruhi kehidupan
anak. Secara umum, sistem pendidikan di Iran, termasuk juga Teheran, memberikan kesempatan bagi
anak untuk menikmati masa bermainnya lebih banyak. Di jenjang TK atau Pra SD, anak-anak tidak
diperkenalkan calistung. Menulis dan mengeja huruf baru boleh diajarkan saat masuk di bangku sekolah
dasar. Sebelum masuk SD anak akan dicek seluruh kesehatannya secara cuma-cuma yang berlangsung
serempak di seluruh wilayah. Mulai dari pertumbuhannya, kondisi panca indra, kesehatan gigi, jantung,
dan lain-lain. Tujuannya, bila ada kelainan pada anak akan cepat terdeteksi sehingga tidak akan
mengganggu proses belajar mengajar di kemudian hari. Penulis mengikuti proses tersebut secara detail,
karena dua tahun lalu mendampingi anak masuk sekolah dasar .

Pada hari pertama masuk Sekolah Dasar, ada acara penyambutan khusus. Setiap anak mendapat
hadiah setangkai bunga, manisan, serta buku. Acara ini dilakukan secara serempak di seluruh kota.
Sehingga anak akan mendapat kesan pertama yang menyenangkan di lingkungan sekolahnya. Pelajar
jenjang SD sampai SMA negeri bebas biaya dan mendapatkan subsidi buku pelajaran. Sistem penilaian
anak kelas 1-3 SD masih menggunakan deskripsi bukan nominal, misalnya: sangat baik; baik; sedang;
perlu kerja keras lagi. Tujuannya agar anak yang baru bergabung di lingkungan sekolah tidak terbebani
dengan angka-angka. Sistem ranking tidak diberlakukan. Anak-anak juga dinilai berdasarkan kerja keras
yang mereka lakukan.
Di lingkungan rumah, orang tua tidak perlu mengkhawatirkan tontonan anak, karena ada
channel khusus anak-anak gratis dengan acara-acara yang cukup edukatif. Buku-buku anak disubsidi
sehingga harganya sangat murah dan mudah didapat di mana pun, bahkan di warung kelontong saja, ada
rak mini yang menjual buku cerita anak. Sayangnya, penulis belum banyak menjumpai perpustakaan
khusus anak yang nyaman dan memadai. Di luar rumah, taman-taman dengan fasilitas bermain anak
mudah dijumpai di dekat kompleks-kompleks perumahan. Satu hal lagi yang menarik, setiap tahun,
diselenggarakan festival film anak, baik melombakan film yang dibuat sendiri oleh anak-anak ataupun
film yang bertema anak-anak.

Persoalan yang sampai saat ini masih menggelisahkan di Teheran, nasib anak jalanan dan penjual
asongan, meskipun jumlahnya relatif tidak sebanyak di negara berkembang lainnya, Besarnya imigran,
terutama dari Afganistan melambungkan jumlah angka putus sekolah di Iran. Sejauh ini, upaya yang
dilakukan pemerintah kota dengan mendirikan rumah singgah dan sekolah-sekolah khusus.[38]
Terkait masalah pendidikan imigran Afghanistan, Pemimpin Besar Iran, Ayatullah Khamenei telah
mengeluarkan instruksi supaya seluruh sekolah Iran menerima imigran Afghanistan yang
menyekolahkan anaknya, baik imigran resmi maupun gelap.[39] Menurut Menteri Dalam Negeri Iran,
Abdol Reza Rahmani Fazli, jumlah pengungsi Afghanistan di Iran mencapai 2,5 juta orang. Tapi jumlah
sebenarnya jauh lebih besar, karena sebagian pengungsi Afghanistan masuk ke Iran sebagai imigran gelap
yang meninggalkan negaranya yang porak-poranda dihantam krisis.

Kesimpulan

Republik Islam sebagai eksperimen politik negara Islam di Iran, lahir dari sebuah proses berbangsa dan
bernegara yang panjang dan berliku-liku. Meski mengadopsi konsep negara Islam, Iran tidak melepaskan
konteks kebangsaannya yang khas dan unik. Tampaknya, watak lokal yang kuat menunjukkan penerapan
pola bernegara di Iran cocok untuk negara ini, tapi belum tentu untuk negara lain, seperti Indonesia yang
memiliki corak budaya berbeda. Meski demikian, tetap ada spirit universal dalam keseriusan menyusun
sejumlah aturan yang menunjukkan kepedulian terhadap hak minoritas, perempuan, dan anak-anak.
Teheran berpeluang menjadi kota Islami, jika di masa mendatang lebih serius menyelesaikan pekerjaan
rumah yang masih tersisa hingga kini.
Daftar Pustaka
Akhtarshahr, Ali. “Tauzie Ghodrat dar Sahtar Ghanon Asasi Jumhouri Eslami Iran.” Jurnal Motalaat-e
Enghelab-e Eslami tahun 1387 Hs no.12.

Anis, Muhammad. “Politik Syiah dan Demokrasi: Pengalaman Iran Pasca Revolusi Islam 1979”. Disertasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2013.

Azimi, Fakhreddin. The Quest for Democracy in Iran: A Century of Struggle Against Authoritarian Rule.
Massachussetts: Harvard University Press, 2008.
Baratalipour, Mehdi. Emam Khomeini va Jameeh Madani.Tehran: Nashr Ouruj, 1385 Hs.
Birch, Antony. The Concepts and Theories of Modern Democracy. New York: Routledge,2007.

Corbin, Henry. History of Islamic Philosopy. London:Kegan Paul International.

Dahl, Robert, Ian Shapiro and Jose Antonio Cheibub.The Democracy Sourcebook. Massachussetts: The MIT
Press, 2003.
David Collier, Steven Levitsky, Democracy with Adjective. Notre Dame: Kellogg Institute, 1996.

Edalatnejad, Saeid. “Shiite Tradition, Rationalism and Modernity: The Codification of the Right of
Religious Minorities in Iranian Law (1906-2004)”. PhD Dissertation, The Departemen of History and
Cultural Studies Institute for Islamic Studies Free University Berlin, 2009.

Farsoun, Samih K. and Mehrdad Mashayekhi. Iran: Political Culture in the Islamic Republic.New
York:Routledge,1992.
Ghanon Asasi Jomhouri Eslami Iran.

Gheissari, Ali and Vali Nasr. “Iran Democracy Debate”. Middle East Policy Vol.XI,No.2 Summer 2004:94-
106.
Hagheghat, Sayyed Sadegh.”Tauzie Ghodrat dar Andishe Siyase Shiah”.Tehran: Hasti Nama, 1381 Hs.

Hidayat, Purkon.”Wilayah Faqih: Sebuah Revisi Demokrasi.” Jurnal al-Qurba Vol.2 No.1, 2011:49-63.

Hosseini, Mohammad Hassan. Nousazi Jameeh az Didgah Emam Khomeini. Tehran: Nashr Ouruj, 1385 Hs.

Heriyanto, Husain, Revolusi saintifik Iran. Jakarta. UI Press, 2013.

Insiyah Khaz Ali, “Wanita Iran Pasca Revolusi Islam”, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 9 Februari 2011.

Jahanbakhhsh, Forough. Islam, Democracy and Religious Modernism in Iran (1953-2000) From Bazargan
to Soroush.Leiden: Brill,2001.

Kamrava, Mehran and Houchang Hassan-Yari. “Suspended Equilibrium in Iran’s political


System.”The Muslim World Volume 94, October 2004:495-524.
Khomeini, Ruhullah. Wilayat-e Faqih: Hukumat-e Eslami. Qom: Muasasah Tanzim va Nashr Asar Imam
Khomeini, 1375 Hs.
Khomeini, Ruhullah, Sahifah Nur. Muasasah Tanzim va Nashr Asar Imam Khomeini, 1375 Hs.

Lorentz, John H. Historical Dictionary of Iran. Maryland: The Scarecrow Press Inc, 2007.
Muthahari, Murthadha. Majmueh Asar jilid 14. Tehran:Sadra, 1389 Hs.

Mir-Hosseini, Ziba and Richard Tapper, Islam and Democracy in Iran: Eshkevari and the Quest for
Reform.New York: IB Tauris, 2006.

Nasr, Seyyed Hossein and Oliver Leaman. History of Islamic Philosophy. New York: Routledge,1996.

Sanasarian, Eliz. Religious Minorities in Iran, Massachussetts: Cambridge University Press,2004.


Shahrdari Tehran, Tehran dar Masir-e Pishraft va Adalat 2, Tehran, Ravabit umumi Sazman Faza-e Sabz
Shahdari, 1393 Hs.
Vaezi, Ahmad. Shia political Thought. London: Islamic Centre of England,2004.
Van Golder, A. Christian. Christianity in Persia and the Status of Non-Muslim in Iran, Mryland: Lexington
Books, 2010.
Situs Internet:
http://www.amar.org.ir diakses Jumat 12 Juni 2015
http://www.khatteemam.ir/fa/?p=1714 diakses Senin, 25 Mei 2015.
http://www.ir-psri.com/Show.php?Page=ViewArticle&ArticleID=168&SP=Farsi diakses Jumat, 29 Mei
2015.
http://www.moi.ir/portal/File/ShowFile.aspx?ID=017447e1-bce3-4045-b0b9-c7d739f585f9diakses hari
Jumat, 29 Mei 2015.
http://www.iranjewish.com/News_e/36_2_gaza.htmdiakses Jumat, 29 Mei 2015.
http://indonesian.irib.ir/iran/teknologi/item/96002-iran-duduki-peringkat-pertama-produksi-ilmu-di-
kawasan Diakses Jumat, 29 Mei 2015.
http://www.dmsonnat.ir/ diakses Jumat,29 Mei 2015.
http://isna.ir/fa/news/91050402577 diakses Jumat 12 Juni 2015.
http://www.theguardian.com/world/2015/jun/01/first-christian-football-captain-in-iran-as-rouhani-
puts-focus-on-minorities diakses hari Minggu, 7 Juni 2015.
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/kristen-iran-bicara-tentang-kondisi-mereka diakses,
hari Sabtu 6 Juni 2015.
http://atlas.tehran.ir/Default.aspx?tabid=164#1000diakses hari Kamis 11 Juni 2015.
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/laporan-warga-kristen-dan-minoritas-di-iran-terus-
dianiaya diakses Jumat 13 Juni 2015.
http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2014/03/05/29400/dr-raghib-assirjani-tak-ada-satu-
pun-masjid-sunni-di-teheran/#sthash.lYRAxLx3.dpbs diakses Jumat, 13 Juni 2015.
http://www.mashreghnews.ir/fa/news/269616/diakses Jumat 13 Juni 2015.

http://www.irdiplomacy.ir/fa/page/1947815diakses Jumat 13 Juni 2015.


http://www.tabnak.ir/fa/news/499647/diakses Jumat, 13 Juni 2015

Menuju Kota Islami: Pengalaman Teheran


Oleh: Afifah Ahmad (travel writer) dan Purkon Hidayat (peneliti ICMES)
Paper ini dimuat di Jurnal Maarif Vol 10, No.1/Agustus 2015 yang diterbitkan oleh Maar
ISLAM SAN PENGAMALAN DI ARAB SAUDI
Pendahuluan

Pendahuluan
Pada zaman uno Mekah terletak di lalu lintas perdagangan antara Yaman (Arabia Selatan)
dan Syam dekat lautan tengah. Kedua negeri tersebut telah mencapai peradaban tinggi dan di
hubungkan oleh beberapa negeri kecil, seperti Mekah yang hamper terletak ditengah-tengah
jazirah Arabiah. Oleh karena itu kabilah-kabilah arab tidaklah terlalu sulit mencapai Mekah.
Seperti hanya juga penduduk Mekah tidaklah sukar untuk keluar ke negeri tetangganya seperti
ke Syam, Hirah, dan Yaman. Sehingga tidaklah heran jika semangat dagang penduduk Mekah
berkembang.

Sebelum kelahiran Nabi Muahmmad saw. Kota Mekah itu terdapat rumah suci yang disebut
Baitullah atau Ka’bah. Bangsa Arab pada umumnya sangat memuliakan Ka’bah yang dibangun
dan pembinaan ajaran agama Islam dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan putranya (Ismail as) kawin
dengan penduduk Mekah suku Jurhum yang berasal dari Yaman yang turun temurun
keeturunan Ismal as. disebut banu Ismail atau Adnaniyyun yang berkembang biak di kota ini.

Pada waktu bendungan besar Ma’rib di Arabiah selatan pecah dan menimbulkan mala
petaka yang besar bagi penduduknya, sehingga mereka berpindah ke Mekah yang dipimpin oleh
Harits bin ‘Amir juga disebut khuza’ah mereka berhasil mengalahkan suku Jurhum dan
sterusnya menjadi penguasa. Dalam masa pemerintahannya ibnu Ismail berangsur-angsur
bertebaran kepelosokpelosok jazirah Arabiah. Kira-kira pada abad ke 5 M seorang pemimpin
kabilah Quraisy yang bernama Qushai telah berhasil merebut kekuasaan kota Mekah dari
pemerintahan Harist bin ‘Amar (khuza’ah) setelah mereka berabad-abad lamanya menguasai
Mekah.

Pada masa pemerintahan Qushai nampaklah pertumbuhan kota Mekah dengan


organisasinya yang sederhana, kepentingan kota lebih diutamakan dari pada kepentingan suku
sendiri, dan segala sengketa di antara mereka selalu diselesaikan secara damai. Setelah Qushai
meninggal kahidupan penduduk kota Mekah dalam kegelapan dan kehilangan pegangan
hidupnya. Pada tanggal 12 Rabiulawal tahun gajah atau 20 April 571 M kota Mekah diserang
oleh pasukan tentara bergajah yang dipimpin oleh Abrahah, Gubernur dari kerajaan Nasrani
Abessiania yang memerintah di Yaman. Bertepatan kejadian tersebut lahirlah seorang bayi laki –
laki disambut oleh neneknya dan diberi nama Muhammad.
Madinah sebagai tempat tujuan nabi berhijrah dan Madinah kota prtama Islam berdiri yang
ditandai dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat di Madinah, seperti sistem
persaudaraan (muakhah) dan suatu dokumen yang biasanya dikenal dengan sebutan Piagam
Madinah) hingga berakhir pemerintahan al-Khulafa alRasyidun. Semenjak itu Hijaz menjadi
pusat politik dan pusat “rohani” Islam sekaligus.

Islam berkembang di Hijaz dan meluas sampai ke Jazirah Arabiah lainnya yang meliputi
Yaman, Tihamah, Nejd dan ‘Arud, bukan dengan kekerasan tanpa alasan, namun Islam menjadi
agama yang diterima di Jazirah Arabiah karena suatu hal yang berdampak dahsyat yang
ditanamkan Islam pada wacana pendidikan generasi periode awal Islam, seperti purifikasi jiwa,
pemurnian pikiran, ketulusan keyakinan agama, dan pengabdian kepada Tuhan; merefleksikan
secara jelas bahwa keikutsertaan mereka dalam pertempuran militer yang dikenal dengan al-
Futuh (pendudukan dan pembukaan suatu wilayah) sama sekali tidak dimotifasi oleh ambisi
duniawi.
Mekah dan Madinah ditakdirkan oleh Allah sebagai kota-kota ibadah dan keagamaan. Nabi
Muhammad memang sempat mendirikan kekuasaan politik di Madinah setelah hijrah dari
Mekah; Negara ini kemudian dikenal sebagai “Negara-kota” Madinah, di sana Nabi melalui
“Piagam Madinah” meletakkan prinsip-prinsip ketatanegaraan berdasarkan kebebasan dan
respek terhadap pluralitas keagamaan dan budaya. Hal ini terjadi karena begitu Muawiyah bin
Abi Sufyan menjadi penguasa monarki dengan Dinasti Umaiyahnya, maka pusat kekuasaan
politik dipindahkan ke Damaskus. Hal ini disadari oleh para penguasa Dinasti Umaiyah bahwa
kebijakan-kebijakan, tindakantindakan politik mereka tidak pantas dilakukan di haramain,
karena bisa mencemarkan kedua kota suci itu. Keadaan seperti ini berlangsung hingga Daulah
Abbasiyah yang menggantikan Dinasti Umaiyah memilih Baghdad sebagai ibu kota Daulah
Abbasiyah.
Dua kota suci, Mekah dan Madinah merupakan tempat perubahan paham keagamaan
terjadi dan juga merupakan pusat studi tradisional keagamaan Islam sejak berabad-abad.
Paham yang sudah lama mengakar di sana dan kemudian meyebar ke segala penjuru dunia
Islam, dalam waktu yang dapat dikatakan tidak terlalu lama, harus menerima paham baru yang
justru menjadi lebih dominan. Oleh karena itu, sangat menarik untuk mengetahui proses
perubahan tersebut.

Perubahan-perubahan politik dan paham keagamaan tentu saja mendatangkan perubahan-


perubahan dalam bidang-bidang socialbudaya lainnya. Apalagi awal abad ke 19 M merupakan
masa ketika gerakan pembaharuan dalam Islam baru mulai bangkit. Gerakan pembaharuan
dalam Islam itu tentu saja membawa dampak tertentu pada kehidupan sosial keagamaan Islam
di Hijaz waktu itu dan Arab Saudi saat ini.

Arab Saudi (Hijaz), pada awal abad ke-19 sampai awal abad ke-20 bebas dari penjajahan
Barat. Tidak demikian dengan negerinegeri Muslim lainnya, hampir seluruhnya dijajah oleh
Barat. Akibatnya saat itu banyak ulama dan penduduk dari berbagai negara Muslim
berdatangan ke Hijaz, terutama Mekah dan Madinah. Hal-hal seperti ini yang menyebabkan
Arab Saudi sebagai negara yang memiliki perkembangan Islam tetap terjaga hingga saat ini.

Sejarah Ringkas Arab Saudi


1. Periode Mekah

Bangsa Arab mempunyai sejarah yang panjang, Mekah pada zaman kuno penduduk
Arabia selatan umum pedagang karena terletak digaris lalulintas perdagangan yang terletak
di wilayah sekitar Laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arabia dan Irania.

Bangsa Arab dibagi menjadi dua bagian, yaitu Qahtan dan Adnan. Qahtan di Yaman,
namun setelah hancur bendungan Ma’rib, membawa dampak petaka mereka bermigrasi ke
Utara dan mendirikan Kerajaan Hirah dan Gassan. Sedangkan Adnan adalah keturunan
Ismail Ibn Ibrahim yang banyak mendiami Arabia dan Hijaz. Saba’, Ma’in dan Qutban adalah
di antara kerajaan yang ada saat itu, semua berada di Yaman. Manadirah atau Hira dan
Gasaan atau Gassasinah di Utara. Hijaz merupakan wilayah yang tetap merdeka. Hal ini
disebabkan oleh karena di daerah itu terdapat tempat suci, yakni Mekah yang di dalamnya
terdapat tempat ibadah sebagai pusat, yaitu Ka’bah. Di samping Ka’bah ada sumur Zamzam
yang sudah sejak masa Nabi Ismail.Kota suci Mekah selalu ramai dikunjungi oleh para
peziarah haji di bulan-bulan haji.
Agama penduduk Arab waktu itu terkenal dengan ritual penyembahan terhadap
berhala atau paganisme. Mereka menyembah berhala pada mulanya hanya ketika orang-
orang Arab tersebut hendak melakukan perjalanan keluar kota Mekah. Mereka selalu
membawa batu yang diambil dari sekitar Ka’bah. Mereka mensucikan batu tersebut dan
menyembahnya di mana mereka berada mereka membuat patung untuk disembah dan
zaman tersebut adalah zaman jahiliyah hingga menjelang lahir Rasulullah.

Islam lahir di kalangan bangsa yang keras kepala, dan senantiasa menyembah
berhala. Kegiatan dakwah dilakukan oleh Rasulullah saw., hingga beberapa keluarganya
mengikuti ajakan beliau seperti Abu Bakr yang diikuti oleh teman-teman Abu Bakar lainnya
seperti Usman Ibn ‘Affan, ‘Abdurrahman Ibn “Auf, Talhah Ibn ‘Ubaidillah, Sa’ad Ibn Abi
Waqqas dan masih banyak lagi yang lainnya.

Usaha dakwah itu mendapat tantangan dari kaum Quraiys Mekah hingga
menyebabkan Rasulullah saw., beserta sahabatsahabatnya melakukan hijrah ke Yatsrib
(Madinah) Rasulullah belum melakukan gebrakan struktur masyarakat Islam yang teratur
hingga beliau hijrah ke Yatsrib (Madinah). Namun hijrah ini juga menyebabkan gangguan
yang semakin hebat terhadap Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Nabi tidak berputus asa
atas ganguan tersebut. 11 Dia tetap konsisten dalam mendakwahkan ajaran Islam di kalangan
orang Arab.

Kaum Quraisy memboikot kaum Muslimin dengan menggantungkan piagam di atas


Ka’bah agar tidak berhubungan dengan kaum Muslimin. Kondisi ini tetap tidak menurunkan
semangat dakwah dijalankan dengan penuh keuletan dan kesabaran.
2. Periode Madinah
Rasulullah saw. bersama Abu Bakr, dipandu oleh ‘Abdullah Ibn ‘Uraiqit menuju
Madinah (Yatsrib). Kaum Quraisy Mekah merasa khawatir atas hijrah Rasulullah saw.
Kekhawatiran ini mendorong keinginan kaum Quraisy untuk melakukan tindakan keji, yakni
keinginan untuk membunuh Rasulullah saw. Dengan perjuangan Rasulullah saw. Akhirnya,
beliau sampai di Yatsrib(Madinah) pada hari juma’at, 12 Rabiulawal tahun 1 Hijriyah
bertepatan tanggal 27 September 622 Miladiyah dan disambut oleh penduduk Yatsrib
dengan suka cita.

Sambutan hangat penduduk Yatsrib dibalas oleh Rasulullah saw. dengan perlakuan
sangat bijaksana. Rasulullah saw. mendirikan masjid di depan rumahnya Abu Wahab tanah
dibeli dari dua anak yatim yang merupakan masjid pertama yang diperintahkan oleh
Rasulullah saw. untuk dibangun masjid yang mengarah ke Baitul Maqdis dan diberi nama
Masjid Nabawi. Di Madinah, Rasulullah saw. membangun masyarakat Islam. Rasulullah saw.
meletakkan dasar-dasar Islam dengan pembangunan masjid untuk tempat berkumpul dan
bertemu di samping untuk beribadah. Masjid tersebut digunakan juga untuk mengadili
perkara, jual beli dan lain-lain. Mesjid ini berperan besar mempersatukan umat Islam yang
terdiri dari berbagai suku, multi fungsi. Selain membangun mesjid, Rasulullah saw. juga
membuat perjanjian (Piagam Madinah) yang isinya, yaitu mempersaudarakan kaum Ansar
dan kaum Muhajirin. Dasar berikut Rasulullah saw. membuat perjanjian untuk saling
membantu antara kaum Muslimin dan bukan Muslimin. Dasar berikut diletakkan landasan
politik, ekonomi dan kemasyarakatan bagi negeri Madinah. Prinsip keadilan, persamaan
derajat antara manusia adalah dasar politik yang ditegakkan oleh Rasulullah saw.
Mengandung 40 pasal inilah yang disebut Piagam Madinah oleh bangsa-bangsa
merumuskan “civil society” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Masyarakat
Madani”

3. Pada masa perintahan Rasulullah saw


masyarakat yang memeluk Islam dan yang tidak mengikuti ajaran beliau mereka
merasakan ketenangan jiwa dan hak asasi dilindungi sehingga terdapat rasa keamanan dalam
kehidupan bermasyarakat. Walaupun demikian, perang terjadi karena kaum Yahudi
mengingkari Piagam Madinah sampai sekarang pun watak kaum Yahudi sama selalu
mengingkari perjanjian yang telah disepakati. Kondisi seperti ini berlangsung hingga masa
Khulafaurrasyidin memegang roda pemerintahan di Madinah.
4. Masa Khulafaurrasyidin
Islam berkembang di Arab Saudi tidak bisa dilepaskan dari jasa para sahabat
Rasulullah saw. Mereka (Khulafaurrasyidin) telah berjuang demi penegakan agama Allah
swt., Islam.

Rasulullah saw. telah wafat dan meninggalkan amanah besar berupa tampuk
pimpinan yang akan melanjutkan risalah Allah swt. Para sahabat telah bersepakat
mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah (pengganti) Rasulullah saw. Yang pertama. Abu
Bakar memulai tugas dengan pidato yang diucapkan sehari setelah pengangkatannya.
Pidato tersebut menegaskan totalitas kepribadian dan komitmen Abu Bakr terhadap nilai-
nilai Islam dan strategi meraih keberhasilan tinggi umat sepeninggal Rasulullah saw.

Setelah Abu Bakr wafat, Umar Ibn al-Khattab terangkat menggantikan Abu Bakr
sebagai khalifah. Umar menyebut dirinya “Khalifah Khalifati Rasulillah” (Pengganti dari
Pengganti Rasul). Umar mendapat gelar “Amir al-Mukminin” (Komandan orangorang
beriman). Abu Bakr meninggal dunia, Senin, 23 Agustus 624 M setelah lebih kurang 15 hari
terbaring di tempat tidur. Abu Bakr berusia 63 tahun dan kekhalifahannya berlangsung dua
tahun tiga bulan sebelas hari.

Di masa Umar, ekspansi wilayah mencapai puncak kegemilangan dalam sejarah ilmu
siasat dan tidak kalah jika dibandingkan dengan Napoleon, Hanibal atau Iskandar Zulkarnain.
Hal tersebut tercapai berkat Umar dan sahabatsahabatnya yang mencanangkan prinsip-
prinsip Islam dalam segala sisi kehidupan mereka. Kondisi tersebut membuat Madinah
berkembang pesat. Khalifah Umar meletakkan prinsip-prinsip musyawarah dalam
pemerintahannya dan membangun jaringanjaringan pemerintahan sipil yang paripurna.

Kekhalifahan Umar berlangsung selama sepuluh tahun enam bulan empat hari. Dia
meninggal ditikam oleh Abu Lu’lu’ah atau Feroz, seorang budak Persia ketika Umar hendak
mendirikan ibadah salat subuh. Khalifah Umar wafat pada 1Muharram 23 H/644 M. Setelah
Khalifah Umar mangkat, melalui proses pemilihan, Khalifah Usman menggantikan posisi
Khalifah Umar. Khalifah Usman melanjutkan sukses pendahulunya, terutama dalam
perluasan wilayah kekuasaan Islam. Islam sudah dikenal oleh wilayah-wilayah yang ada di
Jazirah Arab dan Afrika di masa Khalifah Usman. Selain perluasan wilayah, karya besar lain
yang ditinggalkan Khalifah Usman adalah penyusunan al-Qur’an. Khalifah Usman memimpin
selama 12 tahun. Sang Khalifah adalah seorang yang sangat dermawan. Hampir seluruh
kekayaan Khalifah Usman disumbangkan demi umat. Ketika Khalifah Usman menjabat
sebagai khalifah umat Islam, Dia bahkan jatuh miskin karena harta yang ada padanya
dipakai untuk membantu sanak familinya, juga karena seluruh waktunya dihabiskan untuk
mengurus persoalan umat Islam.
Sang Khalifah sempat berucap; “Pada saat pencapaianku menjadi Khalifah, aku
adalah pemilik kambing dan unta yang paling banyak di Arab. Hari Ini aku tidak memiliki
kambing atau unta kecuali yang digunakan dalam ibadah haji. Penyokong mereka, aku
memberikan kepada mereka apapun yang dapat aku berikan dari milik pribadi. Dalam hal
harta kekayaan negara, aku menganggapnya tidak halal, baik bagi diriku sendiri maupun
orang lain. Aku tidak mengambil apapun dari kekayaan negara, apa yang aku makan adalah
hasil nafkahku sendiri.18
Khalifah wafat ketika sedang membaca al-Qur’an. Beliau mati dibunuh oleh pihak
oposis pada tahun 35 H/17 Juni 656. Beberapa hari setelah pembunuhan Khalifah Usman,
Khalifah Ali tampil menggantikan Khalifah Usman. Di masa Khalifah Ali, wilayah Islam sudah
meluas sampai Persia dan Mesir. Akhrinya sang Khalifah ditikam oleh Ibn Muljam seorang
Khawarij yang fanatik tepat 17 Ramadan 40 H (661 M).

Arab Saudi 1800-1925


Negara yang terbentuk pada sekitar abad ke 19 M ini, memiliki sejarah panjang yang
berakar kuat dengan sejarah etnik Arab yang paling tua. Wilayah politik negara ini mulai
dikenal sejak zaman Rasulullah saw., setelah tahun 634 M dilanjutkan oleh
Khulafa>urrasyidin dengan sistem kekhalifahan yang samasama masih di Madinah. Sejak
tahun 660 M dilanjutkan oleh keluarga (Daulah) Amawiyah dan memindahkan ibu kota
pemerintahan ke Damaskus, Syria. Tahun 750 M pemerintah Islam Abbasiyah menggantikan
Amawiyah dan memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad. Dalam beberapa ratus
tahun berikutnya wilayah Arab Saudi masih terus bertahan sebagai suatu wilayah yang
masing-masing dipegang oleh suku-suku etnik Arab. Hingga tahun 1500-an, Kesultanan Turki
Usmani, akhirnya berhasil menyatukan kembali dan menguasai seluruh Jazirah Arabiah,
termasuk daerah-daerah sekitar Utara dan Barat Laut.
Awal abad ke-19 M. hingga perempatan abad ke-20 M. terjadi perpecahan dalam
Dinasti Turki Usmani. Wilayah-wilayah sekitar kekuasaan Turki Usmani mulai bangkit untuk
mencoba memerdekakan diri dari kekuasaan Turki Usmani. Dinasti Saudi merupakan dinasti
pertama yang berhasil melepaskan diri dan mendirikan kerajaan sendiri sekitar awal abad
ke 19 M. Gerakan politik dan keagamaan merupakan gerakan yang melatarbelakangi
bangkitnya dinasti ini. Gerakan Wahabi adalah gerakan reformasi keagamaan yang sangat
berpengaruh dalam kebangkitan tersebut.21
Perkembangan Islam di Arab Saudi yang dipelopori oleh garakan Wahabi menjadikan
ajaran Islam sebagai agama resmi negara. Perkembangan Dinasti Saudi tidak bisa dilepaskan
dari sosok Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, seorang reformis yang melahirkan gerakan
keagamaan yang kemudian dikenal dengan gerakan Wahhabi.

Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1703-1787) pernah belajar di Mekah, Madinah,


Damaskus, dan Basrah. Di Mekah sang pelopor gerakan Wahhabi belajar kepada seorang
ulama Hadis terkenal, yaitu ‘Abd Allah Ibn Salim Ibn Muhammad Salim Ibn ‘Isa al-Basri al-
Makki. Sedang di Madinah Dia berguru kepada seorang ulama ahli tarekat
(Naqsyabandiyah) yang sangat menentang bid’ah yang dapat membawa kepada syirik, yaitu
Muhammad Hayyat Ibn ‘Ibrahim al-Sindi al-Hanafi. Al-Hayyat inilah yang member pengaruh
kuat kepada Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab.
Perkembangan gerakan Wahhabi oleh Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab mendapat
tantangan di negerinya sendiri, yaitu al-‘Uyainah. Gerakan pemurnian akidah yang tidak
menegakkan satu mazhab, menganjurkan umat Islam agar kembali kepada risalah
Muhammad saw. yang sebenarnya. Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab menganut mazhab
atau mengambil ajaran Imam Ahmad Ibn Hanbal. Di antara hukum yang diberlakukan oleh
Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab adalah pemberlakuan hukum rajam. Hal inilah yang
menyebabkan Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab diusir dari negerinya.

Muhammad Ibn Sa’ud, pendiri Dinasti Saudi mengetahui keadaan yang dialami oleh
Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab. Ketika Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab mengungsi ke
wilayah Dar’iyyah (wilayah kekuasaan Muhammad Ibn Sa’ud), wilayah sebelah Utara Riyadh,
Muhammad Ibn Sa’ud menerimanya dengan baik, menjadikannya sebagai qadi dan
menerima ajarannya. Bahkan, Dia bersepakat melanjutkan dakwahnya, menjadikan ajaran
Wahhabi sebagai ideologi pemersatu kesukuan yang bersifat keagamaan di wilayah
kekuasaan Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab.

Kerajaan Saudi -dengan gerakan Wahabi- menggabungkan dua cita-cita:


memperluas kekuasaan politik dan menyebarkan ajaran reformasi yang dibawa oleh
Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, membersihkan ajaran Islam dari kebatilan. Di Nejd,
sekitar Riyadh, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab sebagai seorang pemurni, menggerakkan
suku-suku Badui yang hanya Muslim dalam namanya belaka, menuju semangat agama baru.
Gerakan pembaharuan ini mendapat dukungan pemimpinpemimpin suku kecil dari
perkampungan Dar’iyyah dan menyebabkan menjadi gerakan yang memiliki kekuatan dan
dorongan dahsyat untuk menyebarkan ajarannya. Semangat gerakan ini, Dinasti Saudi
memperlebar pengaruh dan kekuasaan. Hanya dalam jangka waktu beberapa tahun saja,
gerakan ini telah sampai ke Oman, Yaman, ‘Asir, Suriah, Teluk Arab, Laut Merah, Ihsa’,
Qasim sampai Karbala pada tahun 1216 H (1801 M).25

Di akhir tahun 1222 H/1807 M, seluruh wilayah Hijaz menjadi bagian dari wilayah
kekuasaan Dinasti Saudi. Kekuasaan Dinasti Saudi di Hijaz tidak berlangsung lama.
Muhammad ‘Ali Pasya dari Mesir berhasil menguasai Mekah dan Madinah dan
mengalahkan orang-orang Saudi pada tahun 1813, serta menghancurkan Dinasti Saudi di
Riyadh pada tahun 1818. Sepanjang sebagian besar abad ke 19 M, keluarga Saudi dapat
bertahan sebagai sebuah kerajaan kecil.
Peperangan demi peperangan telah dialami oleh Arab Saudi, mulai tahun 1807, hingga
tahun 1916. Pada bulan Juni 1916 M, Syarif Husain (sebagai penguasa tertinggi Syarif al-
Hasyimiah) memproklamirkan kemerdekaan Arab dan menobatkan diri sebagai penguasa
Arab.
Mekah sebagai tempat lahirnya Islam telah mengalami berbagai ujian dan cobaan.
Usaha untuk merebutnya senantiasa dilakukan oleh para penguasa yang haus kekuasaan.
Ajaran Islam menjadi terombang-ambing antara penerapan dan pelecehan selama
pergantian kekuasaan di setiap dinasti atau penguasa.

Di muka telah disebutkan perjalanan sejarah dinasti Saudi, mulai dari kekuasaan
dinasti Saudi I di Hijaz yang berakhir dengan pendudukan Muhammad ‘Ali Pasya atas Hijaz,
selanjutnya atas Dar’iyyah, sebagai pusat politik dinasti Saudi.

Islam sebagai agama mayorita masyarakat Arab, tetap menjadi prinsip dan
dipertahankan, baik oleh pemeluknya atau oleh penguasa di waktu itu. Ketika periode
kebangkitan gerakan Wahhabi di masa dinasti Saudi di bawah pimpinan ‘Abd al-‘Aziz II Ibn
‘Abd al-Rahman yang bersekutu dengan al-Syekh Muhammad Ibn Sulaiman Ibn ‘Abd al-
Wahhab, Islam tetap menjadi agama resmi Negara.
Pada tahun 1912, ‘Abd al-‘Aziz Ibn Sa’ud memproklamirkan negaranya sebagai negara
merdeka yang lepas dari kontrol kekuasaan Turki Usmani. Namun kekuasaan ini mengalami
tantangan yang harus diluruskan sebagai Negara Islam. Di antara tantangan itu ialah
egoisme kesukuan dan persaingan suku-suku yang menjadi tradisi masyarakat. Untuk
memecahkan persoalan ini, Ibnu Sa’ud menghidupkan kembali aktivitasaktivitas dakwah
Wahhabi di kalangan orang Badui dan menganjurkan mereka yang sudah memeluk ajaran
Wahabi agar mengelompokkan diri dalam satu persaudaraan dan mendirikan pemukiman
untuk pertanian.

Klimaks perluasan wilayah Ibnu Sa’ud terjadi pada tahun 1924-1925. Ini berarti
Mekah dan Madinah dua kota suci Islam menjadi bagian wilayah kekuasaan dinasti Saudi
yang berpusat di Riyadh. Islam tetap berkembang waktu itu dan menjadi agama resmi
negara.

Perkembangan Islam di masa Ibnu Sa’ud mengalami kemajuan pesat. Ajaran


persamaan derajat diterima semua kalangan yang memang masyarakat Arab waktu itu tidak
mengenal gelar-gelar yang dipasangkan kepada para pemimpin di masa kekuasaan Turki
Usmani. Pada masa sebelum Ibnu Sa’ud berkuasa, pengaruh pemikiran keagamaan, seperti
tasawuf yang membuat penguasa Mesir dan Turki Usmani memandang bahwa para syarif
itu mempunyai keistimewaan tertentu yang bersifat keagamaan, sehingga mengganggu
hak-hak mereka dinilai sebagai bagian dari pengrusakan terhadap agama.

Ketika Ibnu Sa’ud berkuasa, fitrah demokrasi mereka telah kembali dengan ajaran
persaman. Manusia dipandang sama derajatnya. Pemanggilan seseorang cukup dengan
memanggil nama, bukan memanggil gelar seperti ketika masa Turki Usmani. Bahkan kepada
seorang penguasa sekalipun. Mereka sama dalam bidang hal dan kewajiban. Dalam syariat
Islam; tidak ada kelebihan seorang syarif, seorang sayyid atau penguasa atas yang lain.
Bisa dikatakan bahwa Islam mendapat perhatian khusus di masa ini (Dinasti Saudi). Dinasti
Saudi adalah penguasa muslim yang paling peduli dengan persoalan-persoalan agama.
Ajaran agama disebarkan keseluruh Jazirah Arab dengan kekuatan pemurnian tauhid
menuju ajaran Islam murni. Dinasti Saudi menganut ajaran Wahhabi yang secara fikih
menganut mazhab Hanbali. Tentu ajaran Wahhabi dan mazhab Hanbali ini berhadapan
dengan kenyataan bahwa mayoritas penduduk Hijaz tidak menganut mazhab Hanbali.
Untuk menghadapi perbenturan semacam ini, dinasti ini tidak mengharuskan mengikuti
mazhab Hanbali dalam memutuskan perkara, tetapi memutuskannya berdasarkan pendapat
yang diduganya sebagai pendapat yang paling mendekati kebenaran berdasarkan al-Qur’an,
Sunnah, dan hasil ijtihad ulama salaf.

Perkembangan Islam di masa dinasti ini bisa dilihat dari pengaruh perubahan
lembaga keagamaan; lembaga peradilan dan lembaga pendidikan. Bidang akidah, dinasti ini
menganut aliran salaf. Sedang bidang fikih, Dinasti Saudi menganut mazhab Hanbali.
Sebagai penganut salaf, hukum yang diberlakukan adalah hukum agama yang sesuai dengan
al-Qur’an, Sunnah dan hasil ijtihad ulama salaf. Dalam memutuskan perkara, para qadi tidak
diharuskan untuk mengikuti mazhab Hanbali. Berkenaan dengan salat jamaah, hanya
dilakukan satu kali salat jamaah, tetapi setiap mazhab mendapat bagiannya masing-masing
untuk bertindak sebagai imam. Tidak seperti ketika tradisi-tradisi awal yang memberlakukan
empat kali salat jamaah.
Tahun 1924, gerakan Wahhabi yang dianut negara yang berpusat di Nejd itu
tampaknya belum lagi tersentuh modernisasi. Modernisasi pendidikan gerakan Wahhabi
terjadi setelah Dinasti Saudi kembali menganeksasi Hijaz dan mengalami kontak insentif
dengan para ulama Hijaz.

Penerimaan modernisme itu menunjukkan bahwa secara internal, gerakan Wahhabi


juga menimba gagasan-gagasan baru dari gerakan modern yang sudah berkembang. Dinasti
Saudi juga di masa ini, memperlihatkan bahwa dinasti ini banyak mengubah dirinya setelah
melalui pengalaman ditentang dan ditolak oleh kaum muslimin yang lain.

Perkembangan Islam Di Arab Saudi Pada Abad Moderen


Sebelum berbicara perkembangan Islam di Arab Saudi, sebaiknya lebih dahulu
mengenal kondisi letak geografis, bahasa dan agama kerajaan Arab Saudi. Hal ini akan
membantu kita memahami situasi perkembangan Islam di Arab Saudi dan mengetahui letak
perkembangan Islam secara geografis.

Saat ini Saudi Arabia dipimpin oleh raja Fahd Ibn ‘Abdul ‘Aziz yang memerintah sejak
13 Juni 1982 M. Selaku kepala negara dan raja, ia juga merangkap sebagai kepala
pemerintahan sekaligus sebagai perdana menteri. Kekuasaan pemerintah, selebihnya diisi
oleh keluarga dan kerabat-kerabat raja. Saudi Arabia secara otomatis tak mengenal Pemilu.
Letak Arab Saudi saat ini (sebuah negara di Semenanjung Arab) berbatasan dengan laut
Merah di barat, Yordania di barat laut, Irak dan Kuwait di utara, Teluk Persia, Qatar dan Uni
Emirat Arab di timur, Oman di tenggara, dan Yaman di selatan. Wilayah politik meliputi
wilayah seluas 1,96 juta km². Persi lain: Luas: 2.240.000 km². Jumlah penduduk sekitar 21,5
juta (Sensus 2004, perkiraan penduduk 25.100.430. perkiraan 2006 sekitar 27.019.731)32,
90% etnik Arab, selebihnya Astro Asia. Kepadatan: 6/ km². Agama: Islam (99%), meski
syariat Islam berlaku di negara ini, namun dalam beberapa hal, sistem hukumnya juga
mengenal perundang-undangan sekuler sebagai upaya untuk bisa menjembatani dan
mengimbangi dalam hubungan dengan dunia luar.33 Bahasa: Arab (resmi). Ibu kota: Riyadh.
Satuan mata uang: Riyal.

Pemerintahan Fahd berhasil membangun kemakmuran rakyatnya. Hal tersebut


disebabkan oleh adanya sumber minyak bumi yang meliputi 26 sumber cadangan minyak
dunia yang menyumbang 75% pendapatan Saudi dan memberi kontribusi 90% dari total
devisa sehingga ia termasuk negara yang tidak memiliki utang luar negeri. Selain minyak,
Negara Saudi Arabia juga mendapat devisa dari pendapatan jumlah jamaah haji dari seluruh
dunia Islam serta dari komoditas pertanian, seperti kurma, daging domba, dan susu yang
biasa diusahakan oleh Arab Badawi di sekitar oase-oase.
Arab Saudi, tempat lahirnya agama Islam. Arab Saudi mempunyai peran penting dalam
pengembangan agama Islam, sekaligus sebagai situasi perkembangan Islam di sana. Peran
penyebab perkembangan tersebut adalah:

1. Sebagai tempat lahirnya Islam, khususnya Mekah dan Madinah telah menjadi tempat
perkembangan Islam dan tempat mengembangkan Islam ke berbagai wilayah di dunia.
2. Perkembangan selanjutnya adalah negeri ini memperhatikan pendidikan. Sehingga
menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam sejak zaman klasik sampai zaman modern dan
sejumlah umat Islam belajar agama Islam.
3. Madinah adalah tempat pertama kali lahir konstitusi Negara di dunia yang dikenal dengan
Mitsaq Madinah (Piagam Madinah).
4. Dengan lahirnya tokoh Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, negeri ini telah berjasa dalam
gagasan pembasmian berbagai bidah yang telah mengotori akidah umat Islam di seluruh
dunia Islam dan dikenal dengan Wahhabi (Ahli Salaf).
5. Bantuan ekonomi sangat besar bagi dunia Islam.
Mekah dan Madinah, dua kota suci umat Islam sebagai awal muncul dan lahir agama Islam,
pusat peradaban Islam, pusat ilmu pengetahuan dan budaya umat Islam. Mekah sebagai
pusat ibadah umat Islam, terutama rukun Islam ke lima, telah menjadikan Arab Saudi
negara yang dikenal umat Islam seluruh dunia. Semua umat Islam memiliki kehendak untuk
menngunjungi negeri ini.

Peran kota Mekah sangat jelas dari sisi ilmu pengetahuan dan seni bangunan
sebagai bagian dari tampilan peradaban dan kebudayaan baru yang memiliki karakteristik
dan didukung oleh kondisi politik dan sosial budaya setempat. a. Mekah

Ditinjau dari sejarahnya, perkembangan kota Mekah tidak terlepas dari


keberadaan Nabi Ismail dan Hajar sebagai penduduk pertama kota ini yang ditempatkan
oleh Nabi Ibrahim atas perintah Allah. Pada perkembangannya muncul orang orang Jurhum
yang akhirnya tinggal di sana. Pada masa berikutnya kota ini dipimpin oleh Quraisy yang
merupakan kabilah atau suku yang utama di Jazirah Arab karena memiliki hak pemeliharaan
terhadap Ka'bah. Suku ini terkenal dalam bidang perdagangan bahkan pada masa itu
aktivitas dagang mereka dikenal hingga Damaskus, Palestina dan Afrika. Tokoh sebagai
kepala kabilah Quraisy adalah Qussai yang dilanjutkan oleh Abdul Muthalib. Pada tahun
571, Nabi Muhammad keturunan langsung dari Nabi Ismail serta Qussai, lahir di kota ini dan
tumbuh dewasa. Pertama kali menerima wahyu dari Allah namun ajarannya ditolak
kaumnya yang saat itu masih berada dalam kegelapan pemikiran (Jahilliyah) sehingga
berpindah ke Madinah. Setelah Madinah berkembang, Nabi Muhammad saw. kembali ke
Mekah dalam misi membebaskan kota Mekah yang dikenal dengan (Fath Makkah).
Pada masa selanjutnya Mekah berada di bawah administrasi Khulafaur Rasyidin yang
berpusat di Madinah, serta para Khalifah yang saat itu berkuasa di Damaskus (Dinasti
Ummayyah), Bagdad (Dinasti Abbasiyah) dan Turki (Usmaniyah). Kemudian setelah
hancurnya sistem kekhalifahan, kota ini disatukan di bawah pemerintahan Arab Saudi oleh
Abdul Aziz Ibn Saud.

Mekah Pusat Ilmu Pengetahuan


Mekah menjadi pusat kajian ilmu-ilmu keagamaan, khususnya pusat kajian ilmu hadis dan
fikih. Para ulama Mujtahidin, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Syafi’i dan Ibnu
Hanbal, Ibnu Qayyim, Imam Nawawi, Ibnu Hajar alHaitami, Ibnu Hajar al-Asqalani serta
banyak lagi ulama’ besar lainnya, pernah mengenyam pendidikan di Mekah.
Sebagai pusat agama Islam, kota ini memiliki pusat-pusat pendidikan dan pengajaran agama
Islam. Pendidikan formal telah mulai dikembangkan sejak akhir periode Usmani, sampai
tahun 1912, Muhammad ‘Ali Zaynal Ridha, seorang pedagang dari Jeddah, mendirikan
Madrasah al-Falah di Mekah. Pada tahun 2005, di Mekah terdapat 532 sekolah umum untuk
pria dan 681 sekolah umum untuk siswa perempuan. Sedangkan perguruan tinggi pertama
kali didirikan di kota ini adalah sekitar tahun 1949, dengan nama Kulliyyat al-Shar'ía, yang
kemudian menjadi Fakultas Shar'iah dari Universitas King Abdul Aziz yang berada di Jeddah.
Mekah sebagai kota Seni Bangunan
Kota Mekah menjadi tujuan utama umat Islam menunaikan ibadah haji. Di kota Mekah
terdapat sebuah bangunan utama yang bernama Masjid al-Haram dengan Ka'bah di
dalamnya. Masjid alHaram merupakan masjid yang terletak di Kota Makkah Al-
Mukharamah, yang dibangun mengelilingi Ka'bah, yang menjadi arah kiblat umat Islam
dalam mengerjakan ibadah salat. Selain itu di masjid inilah, salah satu rukun Islam, ibadah
haji yang wajib dilakukan umat Islam yaitu tawaf, mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh kali.
Sebagai kota suci umat Islam, berdasarkan hukum yang berlaku di Arab Saudi, bagi Non-
Muslim tidak diijinkan memasuki kota Mekah ini.

b. Madinah

Madinah merupakan salah satu propinsi Arab Saudi. Kota ini terletak di pantai barat laut
merah, terletak 600 km di sebelah utara kota Mekah. Madinah merupakan kota suci kedua
dalam Islam setelah Mekah. Nabi Muhammad saw. membentuk sebuah negara dan
dimakamkan di kota ini.

Pada masa sebelum Islam berkembang, kota Madinah bernama Yatsrib, yang dikenal
sebagai pusat perdagangan. Kebanyakan penduduknya merupakan keturunan Aramaik yang
menganut agama Yahudi. Ketika Nabi Muhammad saw. hijrah ke Yatsrib, kota ini diganti
namanya menjadi Madinah sebagai pusat perkembangan Islam sampai Nabi Muhammad
saw. wafat dan dimakamkan di sana.

Kota ini menjadi pusat kekhalifahan sebagai penerus Nabi Muhammad saw. Terdapat tiga
khalifah yang memerintah di kota ini, yakni Abu Bakr, Umar bin Khattab, dan Usman bin
‘Affan. Pada masa Ali bin Abi Thalib pemerintahan dipindahkan ke Kufah di Irak, karena
terjadi gejolak politik akibat terbunuhnya Khalifah Usman oleh kaum pemberontak. Ketika
kekuasaan beralih kepada bani Umayyah, pemerintahan dipindahkan ke Damaskus dan
ketika pemerintahan berpindah kepada bani Abassiyah, pemerintahan dipindahkan ke kota
Baghdad. Kini Madinah bersama kota suci Mekah berada di bawah pemerintahan kerajaan

Arab Saudi.

Madinah Pusat Pendidikan Islam


Selain dikenal sebagai kota perkembangan Islam, Madinah juga merupakan pusat
pendidikan Islam sejak masa Nabi Muhammad saw. Banyak ulama dan cendekiawan Islam
muncul dari Madinah, di antaranya Imam Malik. Masjid Nabawi menjadi salah satu pusat
pendidikan agama dari zaman Nabi hingga sekarang.

Perguruan tinggi yang terkenal di Madinah yaitu Medina Islamic University dan Thaiba
University. Kedua Universitas ini menyediakan jurusan-jurusan keagamaan, seperti dakwah,
syariah dan ushuludin. Juga terdapat lembaga pendidikan yang memiliki perhatian khusus
terhadap Qur’an dan Hadis yang bertujuan untuk melahirkan ahli-ahli tafsir dan ahli hadis.
Bangunan di Kota Madinah
Madinah merupakan kota tempat berdiri tiga masjid tertua dalam Islam, yaitu Masjid
Nabawi, Masjid Quba dan Masjid alQiblatain. Karena kebijakan agama pemerintah Saudi
dan kekhawatiran bahwa tempat-tempat bersejarah dapat menjadi fokus bagi
penyembahan berhala, banyak warisan Islam fisik Madinah telah dihancurkan sejak awal
pemerintahan Saudi.

Wahhabisme Saudi memusuhi setiap penghormatan yang diberikan kepada tempat


bersejarah penting, karena takut bahwa hal itu dapat menimbulkan 'syirik'. Sebagai
akibatnya, di bawah pemerintahan Saudi, Madinah telah menderita kerusakanwarisan fisik
termasuk kehilangan banyak bangunan yang berusia lebih dari seribu tahun. Kritik ini
digambarkan sebagai "vandalisme Saudi" dan menyatakan bahwa di Madinah dan Mekah
selama dalam 50 tahun terakhir 300 situs bersejarah yang terkait dengan Muhammad saw.,
keluarganya atau sahabat telah hilang. Di Madinah, contoh situs-situs bersejarah yang
dihancurkan adalah Masjid Salman al-Farsi, Masjid Raj'at ash-Shams, pemakaman

Jannat al-Baqi, dan rumah Nabi Muhammad saw.

Kesimpulan
Sebagai Negara Islam, kerajaan Arab Saudi memilki sejarah penentu perkembangan Islam.
Agama Islam lahir di negara ini, tepatnya di kota Mekah, tempat kelahiran Rasulullah saw., sang
pembawa risalah Ilahiyah. Perkembangan Islam sangat ditentukan oleh dua periode: periode
Mekah (sebagai tempat lahirnnya sang pembawa risalah Islam) dan periode Madinah (sebagai
awal berkembangnya Islam).

Perkembangan Islam di Arab Saudi yang dipelopori oleh garakan Wahabi menjadikan ajaran
Islam sebagai agama resmi negara.

Perkembangan dinasti Saudi tidak bisa dilepaskan dari sosok ‘Abd alWahhab, seorang reformis
yang melahirkan gerakan keagamaan yang kemudian dikenal dengan gerakan Wahhabi.
Penerimaan modernisme tersebut, menunjukkan bahwa secara internal, gerakan Wahhabi
menimba gagasan-gagasan baru dari gerakan moderen yang sudah berkembang. Dinasti Saudi
juga memperlihatkan bahwa dinasti ini banyak mengubah dirinya setelah melalui pengalaman
ditentang dan ditolak oleh kaum muslimin yang lain.

Akhirnya, Arab Saudi mempunyai peran penting dalam pengembangan agama Islam,
sekaligus sebagai situasi perkembangan Islam di sana. Peran penyebab perkembangan tersebut
antara lain: Sebagai tempat lahirnya Islam, khususnya Mekah dan Madinah telah menjadi
tempat perkembangan Islam dan tempat mengembangkan Islam ke berbagai wilayah di dunia.
Kemudian kerajaan Arab Saudi memperhatikan pendidikan. Sehingga menjadi pusat ilmu
pengetahuan Islam sejak zaman klasik sampai zaman moderen dan sejumlah umat Islam belajar
agama Islam. Selanjutnya, Madinah adalah tempat pertama kali lahir konstitusi Negara di dunia
yang dikenal dengan Mitsaq Madinah (Piagam Madinah). Kemudian, dengan lahirnya tokoh
Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, negeri ini telah berjasa dalam gagasan pembasmian berbagai
bidah yang telah mengotori akidah umat Islam di seluruh dunia Islam dan dikenal dengan
Wahhabi (Ahli Salaf). Akhirnya, bantuan ekonomi sangat besar bagi dunia Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009.


BBC News Indonesia. “Putra mahkota Arab Saudi 'ingin kerajaan kembali' ke Islam
moderat”, 25 Oktober 2017
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-41748637
Bosworth, C. Edmund. Historic Cities of the Islamic World, Leiden: Brill, 2007.
Depag. RI, alَQur’anَdanَTerjemahnya, Semarang: Toha Putra, t.th.
Francis, Peters, E. The Hajj: The Muslim Pilgrimage to Mecca and the Holy Places, Princeton:
Princeton University Press, 1994.
Foley, Sean. The Arab Gulf states: beyond oil and Islam. Boulder USA: Lynne Rienner, 2010.
Ganerfi, Fuady Anwar, Murniyetti, Zainuri Zen, dan Sultania Rahayu. Roles of the kingdom of
Saudi Arabia toward the developement

of knowledge and ulama. Khalifah: Journal of Islamic Education, vol. 1, no. 2, 135-146,
2017.
Hitti, Philip K. History of The Arabs, London: Macmillan, 2002.
http://id.wikipedia.org/wiki/Mekah.

http://wisatahaji.com/makkah-pusat-ilmu-agama/ (diakses tanggal 13 Desember 2013).


Ja’fariyah, Rasul. Sejarah Khalifah 11-35 H., cet. I; Jakarta: al-Huda, 2006.
Kandu, Amrullah. Ensiklopedi Dunia Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Majallah, KhutbahَJuma’at,َSKJ.َNo.237,َJakarta:َPT.َAbadi,َ2001.
Mayer, Ann Elizabeth. Islam and human rights: tradition and problem. Oxon: Routledge, 2018.
Misrawi, Zuhairi. Madinah; Kota Suci, Piagam Madinah dan Teladan Muhammad Saw.
Jakarta: Kompas, 2009 http://en.wikipedia.org/wiki/Medina.
Mufradi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 1996.
Ross, Frank. Arabs and the Islamic World, New York: S.G. Philips, 1979.
Thohir, Ajid. Studi Kawasan Dunia Islam: Perspektif Etno-Linguistik dan Geo Politik, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2009.
Umari, Akram Dhiyauddin. Masyarakat Madani, Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, cet.
II; Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Yatim, Badri. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci, Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925,
cet. I;Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Jurnal Ilmiah AL-Jauhari (JIAJ) Volume 4 No 1, (Juni 2019): 152-171 p-


ISSN: 2541-3430 e-ISSN: 2541-3449
Website:
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/aj

Anda mungkin juga menyukai