Anda di halaman 1dari 101

i

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI TOKSISITAS AKUT GELATIN SAPI TERHADAP


TIKUS BETINA GALUR SPRAGUE DAWLEY

SKRIPSI

AZMI INDILLAH
1112102000074

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA

JUNI 2016
ii

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI TOKSISITAS AKUT GELATIN SAPI TERHADAP


TIKUS BETINA GALUR SPRAGUE DAWLEY

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

AZMI INDILLAH
1112102000074

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA
JUNI 2016
iii
iv
v
vi

ABSTRAK

Nama : Azmi Indillah


Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Uji Toksisitas Akut Gelatin Sapi terhadap Tikus Betina
Galur Sprague Dawley

Gelatin sapi banyak diaplikasikan sebagai eksipien farmasi yang sangat bermanfaat
seperti cangkang kapsul, pengikat tablet, penstabil, emulsi, dll. Nilai LD50 gelatin
sapi secara spesifik belum diketahui, maka penelitian ini bertujuan untuk menentukan
nilai LD50 dan tingkat keamanan dari gelatin sapi golongan farmasetik dan pro
analisis dengan uji toksisitas akut oral pada tikus betina menggunakan metode dari
OECD 425 (Up and Down Procedure). Perubahan berat badan dan tanda toksisitas
selama 14 hari serta efek histopathological pada hati dan ginjal tikus diamati. Pada
penelitian ini, tikus diberikan gelatin sapi secara oral dengan dosis tunggal 5000
mg/kgbb. Setelah diamati selama 14 hari, hasil menunjukkan bahwa tidak ada
kematian dan tidak ada perbedaan yang bermakna pada Uji Kruskal Wallis pada
perubahan bobot badan tikus (p ≥ 0,05) serta tidak terlihat adanya tanda-tanda
toksisitas pada dosis 5000 mg /kgbb, yang berarti menunjukkan bahwa gelatin sapi
aman dikonsumsi pada dosis lebih dari 5000 mg / kgbb (LD50> 5000 mg /kgbb).
Selanjutnya, pemeriksaan histopatological menggunakan statistik Uji Batas Nyata
mengungkapkan bahwa tidak ada efek kerusakan yang bermakna pada organ hati dan
ginjal tikus (p ≥ 0,05).

Kata Kunci : Toksisitas Akut, Gelatin Sapi, OECD 425


vii

ABSTRAK

Name : Azmi Indillah


Program Study : Pharmacy
Title : Acute Toxicity Study of Bovine Gelatin in Female Sprague
Dawley Rats

Bovine gelatin was useful for pharmaceutical excipients as capsule shell, tablet
binder, stabilizer, emulsion, etc. The LD50 of the specifically bovine gelatin
unknown, so the present study aimed to determine LD50 to establish the safety of
pharmaceutical and pro analysis grade of Bovine Gelatin by acute oral toxicity study
in female rats as per OECD guideline 425 (Up and Down Procedure). Change in body
weight, toxicity sign for 14 days and histhopathological effect on liver and kidney of
rat observed. Rats were administrated bovine gelatin per-oral in single dose of 5000
mg/kg body weight. Throughout 14 days of the treatment, no mortality and no
significant change in body weight were analized using Kruskal Wallis Test (p ≥ 0,05)
and no toxicity sign at 5000 mg/kgbb bod weight doses, which reveal the safety of
these bovine gelatin on the doses up to 5000 mg/kg body weight (LD50 > 5000 mg/kg
body weight). Further, histhopatological examination using Least Significance
Different Test reveal no significant adverse effect observed on the liver and kidney
(p ≥ 0,05).
Key word : Acute toxicity, Bovine Gelatin, OECD 425
viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Uji Toksisitas Akut Gelatin Sapi Terhadap Tikus Betina Galur
Sprague Dawley”. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Penulis skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian sampai penyusunan skripsi ini
tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai
pihak. Maka, mengucapkan terima kasih banyak kepada :
1. Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt dan Zilhadia, M.Si., Apt., selaku pembimbing
yang dengan sabar memberikan bimbingan, ilmu, masukan, dukungan, dan
semangat kepada penulis,
2. Dr. Arif Sumantri, M.KM selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Bapak Supandi, M.Si., Apt selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
membimbing dan menerima keluh kesah selama perkuliahan berjalan
5. Ibu dr. Dyah Ayu Woro Setyaningrum yang telah bersedia memberikan ilmu
serta waktu kepada penulis selama pengolahan data penelitian
6. Kedua orang tua tercinta, Ayah Iskandar Sabas dan Ibu Anis Syafaat Noor
Dewati yang senantiasa memberikan kasih sayang dan dukungan baik moril
maupun materil, serta doa yang selalu menyertai setiap langkah penulis
7. Ketiga adik lelaki tercinta Banna Irfan Ibadillah, Robby Arsyadany, dan
Atana Abdan Yakhsyallah yang selalu memberikan dukungan dan doa
8. Seluruh keluarga besar Bani Ghufron dan Bani Sabas yang tidak bisa
disebutkan satu persatu atas dukungannya kepada penulis
ix

9. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis
10. Sahabat seperjuangan animal house kloter pertama Ade Rachma Islamiah,
Afina Almas Ghasani, dan Denny Bachtiar yang selalu membantu, memberi
motivasi, dukungan dari awal hingga akhir penyelesaian skripsi ini
11. Teman-teman seperjuangan di laboratorium Zakiyah Zahra, Moethia, Santi
Susilawati, Nita Fitriani, Hary Abdul Rahman, Nurul Fitri, Fenny Delfiyanti,
Siti Windi, Noni Tri U, yang telah memberikan motivasi selama penelitian
12. Sahabat Cera Alba (Dian, Endang, Moethia, Zakiyah, Intan, Icha, Laila,
Risha, Icak, Nunud, Afina dan Pepew) yang telah menjadi sahabat sejak awal
perkuliahan hingga membantu dalam selesainya penelitian ini
13. Sahabat Colostrum Devi Elvina, Yossi Atika, Catur Desiana, dan Hestiningsih
yang telah memberikan motivasi dari jauh hingga penelitian selesai
14. Teman-teman Cabe Farmasi 2012 AC atas persaudaraan dan kebersamaan
yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis baik selama pengerjaan
skripsi ini maupun selama di bangku perkuliahan
15. Seluruh pengurus HMPS periode 2014-2015 yang tidak bisa disebutkan satu
persatu atas pengalaman dan kerjasama selama masih dalam kepengurusan
yang berperan penting dalam penyusunan skripsi ini
16. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian naskah
skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas semua bantuan
dan dukungan yang diberikan. Saran serta kritik yang membangun sangat diharapkan.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Aamiin Ya Rabbal’alamiin.

Jakarta, Mei 2016

Penulis
x
xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ ii


HALAMAN PERSYARATAN ORISINALITAS ................................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................... vi
ABSTRACT ............................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................ x
DAFTAR ISI ............................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTARGAMBAR ........................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xv
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 4
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................. 4
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 4
1.4.1 Manfaat Teoritis .......................................................................... 4
1.4.2 Manfaat Metodologi .................................................................... 5
1.4.3 Manfaat Aplikatif ........................................................................ 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 6
2. 1. Gelatin .................................................................................................. 6
2. 2. Sifat Fisika dan Kimia Gelatin ............................................................. 6
2. 3. Produksi Gelatin ................................................................................... 9
2. 4. Kegunaan Gelatin ............................................................................... 10
2.4.1 Kegunaan Gelatin pada Sediaan Farmasi .................................. 10
2.4.2 Kegunaan Gelatin pada Kosmetik ............................................. 11
2.4.3 Kegunaan Gelatin pada Makanan ............................................. 11
2. 5. Hewan Percobaan ............................................................................... 12
2.5.1 Karakteristik Tikus Betina Sprague Dawley ............................. 13
2.5.2 Data Fisiologis dan Reproduksi Rattus norvegicus .................. 13
2. 6. Toksisitas ........................................................................................... 14
2. 7. Uji Toksisitas .................................................................................... 14
2. 8. Uji Toksisitas Akut Oral ................................................................... 15
2.8.1 Penentuan LD50 ........................................................................ 18
2.8.1.1 Fixed Dose Method ........................................................ 19
2.8.1.2 Acute Toxic Class Method .............................................. 19
2.8.1.3 Up and Down Procedure ............................................... 20
xii

2. 9. Pengamatan Toksisitas ....................................................................... 24


2.9.1 Pengamatan Berat Badan .......................................................... 25
2.9.2 Tanda-tanda Toksisitas .............................................................. 25
2.9.3 Pengamatan Mikroskopik Histologi Organ ............................... 26
2.9.3.1 Organ Hati ..................................................................... 26
2.9.3.2 Organ Ginjal .................................................................. 27
2.10. Studi Literatur ................................................................................... 27

BAB 3. METODE PENELITIAN ......................................................................... 29


3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................... 29
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ................................................................... 29
3.2.1 Alat Penelitian ............................................................................ 29
3.2.2 Bahan Kimia ............................................................................... 29
3.2.3 Bahan Uji .................................................................................... 29
3.3 Rancangan Penelitian .......................................................................... 29
3.3.1 Besar Sampel .............................................................................. 29
3.3.2 Dosis Perlakuan .......................................................................... 30
3.4 Prosedur Penelitian .............................................................................. 30
3.4.1 Penyiapan Larutan Gelatin ......................................................... 30
3.4.2 Penyiapan Hewan Uji ................................................................. 30
3.4.3 Uji Toksisitas Akut ..................................................................... 31
3.4.3.1 Penentuan LD50 ............................................................... 31
3.4.4 Pengamatan Toksisitas ................................................................ 32
3.4.4.1 Perhitungan LD50 ............................................................ 32
3.4.4.2 Perhitungan Perbedaan Bobot Tikus ............................... 32
3.4.4.3 Pengamatan Perubahan Tingkah Laku Tikus ................. 32
3.4.5 Pengamatan Histopalogi Organ ................................................. 32
3.4.5.1 Organ Hati ...................................................................... 33
3.4.5.2 Organ Ginjal ................................................................... 33

BAB 4 HASIL DAN PENELITIAN .............................................................. 34


4.1 Penyiapan Larutan Gelatin ................................................................... 34
4.2 Hasil Penelitian .................................................................................... 34
4.2.1 Nilai LD50 Gelatin Sapi Golongan Farmasetik dan Pro Analisis 34
4.2.2 Hasil Bobot Tikus ....................................................................... 35
4.2.3 Pengamatan Tanda-tanda Toksisitas .......................................... 36
4.2.4 Hasil Histopatologi Organ .......................................................... 37
4.3 Pembahasan ......................................................................................... 39

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 47


5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 47
5.2 Saran ..................................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 48
LAMPIRAN ..................................................................................................... 54
xiii

DAFTAR TABEL

Tabel
Tabel 2.1 Kegunaan Gelatin pada Makanan ........................................................ 12
Tabel 2.2 Data Fisiologis dan Reproduksi Tikus ................................................. 13
Tabel 2.3 Klasifikasi Toksisitas Berdasarkan GHS ............................................. 17
Tabel 2.4 Klasifikasi Toksisitas Berdasarkan GHS ............................................. 17
Tabel 2.5 Prinsip Penentuan LD50 pada Tiga Metode Alternatif ......................... 23
Tabel 3.1 Perlakuan terhadap Tikus ..................................................................... 30
Tabel 4.1 Nilai LD50 Gelatin Sapi GF dengan software AOT 425 StatPgm ....... 35
Tabel 4.2 Nilai LD50 Gelatin Sapi PA dengan software AOT 425 StatPgm ........ 35
Tabel 4.3 Bobot Tikus .......................................................................................... 36
Tabel 4.4 Pegamatan Tanda-tanda Toksisitas ...................................................... 36
Tabel 4.5 Gambar Histopatologi Organ Hati dan Ginjal ..................................... 38
Tabel 4.6 Skoring Histopatologi Organ Hati dan Ginjal ...................................... 39
xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur Asam Amino Gelatin .............................................................. 6


xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Sehat Hewan Uji ..................................................... 54


Lampiran 2. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik ........................................................ 55
Lampiran 3. Sertifikat Gelatin Sapi Golongan Farmasetik ...................................... 56
Lampiran 4. Sertifikat Gelatin Sapi Golongan Pro Analisis .................................... 57
Lampiran 5. Alur Kerja ............................................................................................ 58
Lampiran 6. Rancangan Uji ..................................................................................... 59
Lampiran 7. Perhitungan Dosis ................................................................................ 60
Lampiran 8. Penarikan Kesimpulan Limit Test ......................................................... 61
Lampiran 9. Gambar Kegiatan Penelitian ................................................................ 62
Lampiran 10. Hasil Nilai LD50 ................................................................................. 63
Lampiran 11. Data Bobot Tikus ............................................................................... 65
Lampiran 12. Analisa Data Bobot Tikus .................................................................. 66
Lampiran 13. Tanda-tanda Toksisitas ...................................................................... 69
Lampiran 14. Histopatologi Organ Hati ................................................................... 71
Lampiran 15. Skoring Histopatologi Organ Hati ..................................................... 74
Lampiran 16. Analisis Skoring Histopatologi Organ Hati ........................................ 75
Lampiran 17. Histopatologi Organ Ginjal ............................................................... 79
Lampiran 18. Skoring Histopatologi Organ Ginjal .................................................. 82
Lampiran 19. Analisis Skoring Histopatologi Organ Ginjal ..................................... 83
1

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Menurut National Formulary gelatin didefinisikan sebagai produk yang


diperoleh melalui proses hidrolisis parsial kolagen yang berasal dari kulit, jaringan
ikat dan tulang hewan vertebrata seperti sapi, babi, ikan dan kambing. Kegunaan
gelatin sebagai zat tambahan biasa dimanfaatkan dalam proses pembuatan makanan,
obat, dan kosmetik. (GMIA, 2012)
Pada industri farmasi, gelatin dimanfaatkan untuk pembuatan cangkang kapsul,
tablet, suppositoria, emulsi dan masih banyak sediaan farmasi lainnya. Pada kapsul,
gelatin ini dapat mempermudah kapsul untuk ditelan. Pada proses pembuatan tablet,
gelatin digunakan sebagai pengisi, pengikat, pelicin dan pelincir. Sedangkan pada
pembuatan emulsi berfungsi sebagai penstabil emulsi. (GMIA, 2012)
Dari banyaknya manfaat yang telah disebutkan, gelatin banyak digunakan
sebagai eksipien (zat tambahan). Eksipien merupakan zat tidak aktif yang
ditambahkan dalam sediaan farmasi. Eksipien ini memiliki beberapa persyaratan
seperti inert, memiliki keamanan yang tinggi, serta dalam status penanganan penting
diketahui oleh para formulator di dunia (Rowe, Sheskey dan Quinn, 2006).
Namun, pada kenyatannya tidak semua eksipien bersifat inert, beberapa juga
memiliki potensi toksik sehingga keamanannya rendah. Contoh kasus toksisitas yang
disebabkan oleh eksipien terjadi pada penggunaan dietilen glikol yang diuji secara
non klinis menyebabkan gagal ginjal, manitol yang menyebabkan diare osmotik,
lanolin yang memiliki reaksi hipersensitivitas, dan propilen glikol yang menyebabkan
kardiotoksisitas (Osteberg NA, 2003).
Sangatlah diperlukan adanya pengujian keamanan terhadap semua komponen
obat dan data hasil dari uji keamanannya. Kepedulian terhadap adanya efek toksik
yang mungkin muncul pada eksipien yang digunakan dalam produk-produk yang
beredar semakin meningkat. Maka, sangatlah perlu dilakukan uji toksisitas bagi
2

eksipien yang sering digunakan untuk memastikan keamanan penggunaannya


(U.S. Department of Health and Human Services Food and Drug Administration,
2005).
Gelatin yang biasa digunakan sebagai eksipien merupakan bahan yang tidak
mengiritasi serta bersifat non toksik. Namun, terdapat laporan bahwa kapsul gelatin
dapat menyebabkan iritasi lokal pada dinding esofagus. Pada penggunaan parenteral,
dilaporkan pula adanya kasus reaksi hipersensitifitas seperti syok anafilaktik pada
produk vaksin (Rowe, Sheskey dan Quinn, 2009).
Pengujian keamanan pada penggunaan gelatin sapi sangatlah penting seiring
dengan perkembangan pasar global terhadap produk halal yang meningkat. Hal ini
terjadi karena saat ini kehalalan dianggap sebagai standar pilihan bagi umat Islam
serta non-Muslim di seluruh dunia (Quantaniah , Noreina dan Syakinah, 2013).
Terlebih lagi dengan adanya Undang-undang No.33 tentang Jaminan Produk Halal
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dimana dengan adanya jaminan halal ini
bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan dan kepastian dalam
penggunaan produk yang beredar.
Di Inggris, pada tahun 1986 pertama kali ditemukan kasus Bovine Spongiform
Encelopathy (BSE) pada sejumlah besar hewan ternak. BSE adalah penyakit yang
berasal dari makanan hewani (misalnya daging, tepung dan tulang) yang terkena TSE
(Transmissible Spongiform Encephalopathies). Negara-negara lain juga mengalami
kasus BSE, baik pada hewan yang diimpor dari Inggris atau hewan asli. Oleh karena
itu, pendekatan secara hati-hati terus dilakukan jika bahan biologis dari spesies alami
dipengaruhi oleh penyakit TSE, terutama spesies sapi yang digunakan untuk
pembuatan produk obat atau makanan lainnya (Europian Comission, 2011). Maka,
gelatin yang digunakan dalam produk obat yang diproduksi dari tulang atau kulit sapi
juga perlu diperhatikan keamanan penggunaannya.
Suatu senyawa dibagi menjadi golongan farmasetik dan non-farmasetik.
Golongan non-farmasetik meliputi golongan pro analisis, teknis, reagen,
laboratorium, dan makanan. Semua prosedur uji yang membutuhkan hewan uji harus
menggunakan senyawa golongan farmasetik yang telah sesuai dengan FDA dan buku
3

resmi lainnya. Penggunaan senyawa golongan farmasetik dapat memastikan bahwa


zat yang diberikan memenuhi standar kemurnian dan komposisi yang sesuai serta
mencegah efek buruk pada hewan atau hasil penelitian biologis. Salah satunya
contohnya adalah senyawa pro analisa yang biasa digunakan untuk keperluan analisis
dimana memiliki tingkat kemurnian 99,9% (IACUC, 2015).
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada
sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji.
Sedangkan uji toksisitas akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang
diberikan secara oral dalam dosis tunggal, atau dosis berulang yang diberikan dalam
waktu 24 jam (BPOM RI, 2014).
Salah satu parameter untuk melihat keamanan dari suatu zat adalah dengan
menghitung nilai LD50. Nilai LD50 merupakan dosis yang perlu diwaspadai yang
menyebabkan hewan uji mati sebanyak 50%. Penentuan nilai LD50 ini bertujuan
untuk mengetahui dosis dari suatu zat yang perlu diwaspadai dan dihindari
penggunaannya. Telah disyaratkan bahwa nilai LD50 pada gelatin sebesar 5g/kgBB
(Rowe, Sheskey dan Quinn , 2009). Namun belum banyak penelitian yang menguji
keamanan gelatin yang digunakan dalam berbagai sediaan farmasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan uji toksisitas akut terhadap gelatin
sapi. Ada dua macam gelatin sapi yang diuji, yaitu golongan farmasetik dan pro
analisis. Produk gelatin yang penggunaannya sangat luas digunakan oleh masyarakat
sangat jarang yang mencantumkan data LD50 atau keamanannya. Data yang
dihasilkan ini diharapkan dapat menunjukkan keamanan kedua golongan gelatin
tersebut.
Metode uji toksisitas akut yang dipilih adalah Up and Down Procedure pada
tikus serta diamati histologi hati hewan uji dan tanda toksisitas seperti bulu, tremor,
konvulsi, salivasi, letargi, dan sebagainya. Metode ini dipilih karena mudah, jumlah
hewan dan dosis uji yang dibutuhkan lebih sedikit serta waktu yang dibutuhkan cepat
dan efisien. (OECD, 2008)
4

1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat
diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini perlu dilakukan karena terdapat kasus penyakit Bovine Spongiform
Encelopathy (BSE) atau sapi gila pada penggunaan produk yang berasal dari
hewan sapi
2. Nilai LD50 gelatin sapi belum pernah diteliti dan dipublikasikan
sebelumnya
3. Toksisitas gelatin sapi serta pengaruhnya terhadap organ hati dan ginjal
belum pernah diketahui sebelumnya

1. 3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati efek toksisitas akut gelatin sapi
golongan farmasetik dan pro analisis yang diukur dengan LD50 dan
pengaruhnya terhadap organ hati dan ginjal tikus.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Menentukan nilai LD50 gelatin sapi golongan farmasetik dan pro analisis
pada tikus betina
b. Mengamati tanda toksisitas yang dapat timbul akibat efek toksik setelah
pemberian gelatin sapi golongan farmasetik dan pro analisis
c. Mengamati perubahan yang terjadi pada histopatologi organ hati dan
ginjal hewan uji setelah pemberian gelatin sapi golongan farmasetik dan
pro analisis
1. 4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan
serta wawasan mengenai keamanan yang ditinjau dari nilai LD50 gelatin sapi
golongan farmasetik dan pro analisis yang sering digunakan sebagai eksipien
pada bidang farmasi.
5

1.4.2 Manfaat Metodologi


Metode yang dipakai pada penelitian adalah metode Up and Down
Procedure yang mengacu pada OECD (The Organization for Economic
Cooperation and Development) dan diharapkan metode ini dapat dijadikan
referensi untuk penelitian mengenai uji toksisitas akut lainnya.

1.4.3 Manfaat Aplikatif


Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan terhadap data
keamanan atau toksisitas akut gelatin sapi golongan farmasetik dan pro
analisis terhadap tikus betina dan memperkirakan resiko penggunaannya pada
manusia, sehingga nantinya penggunaan gelatin sapi dapat digunakan secara
aman. Selain itu juga sebagai dasar bagi pengembangan lebih lanjut gelatin
sapi sebagai zat tambahan dalam sediaan farmasi.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gelatin
Dalam Food Chemicals Codex gelatin didefinisikan sebagai produk yang
diperoleh dari hidrolisis kolagen asam, basa, atau enzimatik, komponen protein utama
dari kulit, tulang, dan jaringan ikat hewan, termasuk ikan dan unggas. Tidak ada
gelatin yang bersumber dari tanaman dan bahan kimia (GMIA, 2012)
Gelatin adalah produk alami yang diperoleh dari hidrolisis parsial kolagen.
Gelatin merupakan protein yang larut yang bisa bersifat sebagai gelling agent (bahan
pembuat gel) atau sebagai non gelling agent. Sumber bahan baku gelatin dapat
berasal dari sapi (tulang dan kulit jangat), babi (hanya kulit) dan ikan (kulit).
Gelatin memiliki fungsi yang masih sulit digantikan dalam industri pangan
maupun obat-obatan. Gelatin merupakan bahan penting yang berguna dalam produksi
makanan, sediaan farmasi dan industri fotografi serta keperluan teknis beragam. Hal
ini juga dikarenakan gelatin bersifat serba bisa, yaitu bisa berfungsi sebagai bahan
pengisi, pengemulsi (emulsifier), pengikat, pengendap, pemerkaya gizi, sifatnya juga
luwes yaitu dapat membentuk lapisan tipis yang elastis, membentuk film yang
transparan dan kuat, kemudian sifat penting lainnya yaitu daya cernanya yang tinggi
(Hastuti et al, 2007).

2.2 Sifat Fisika dan Kimia Gelatin (GMIA, 2012)


Gelatin memiliki sifat hampir berasa dan tidak berbau. Bersifat rapuh padat dan
berwarna agak kuning. Bersifat hidrat, maka ketika butiran gelatin direndam dalam
air dingin maka partikel gelatin akan membesar dengan ukuran yang bervariasi. Pada
keadaan hangat, partikel besar tadi larut menjadi bentuk larutan. Metode dalam
pembuatan larutan gelatin ini lebih disukai, terutama saat diinginkan pada konsentrasi
yang tinggi. Sifat larutan gelatin dipengaruhi oleh suhu, pH, kadar abu, metode
pembuatan, serta konsentrasi dan suhu saat pembuatan larutan.
7

Gelatin larut dalam larutan air dari alkohol polihidrat seperti gliserol dan
propilen glikol. Gelatin tidak larut dalam pelarut organik yang kepolarannya kurang
seperti benzena, aseton, alkohol primer dan dimetilformamida.
Gelatin dapat disimpan dalam wadah kedap udara pada suhu kamar tetap untuk
jangka waktu yang lama. Ketika gelatin kering dipanaskan di atas suhu 45 ° C pada
kelembaban relatif tinggi (di atas 60% RH) kemampuan gelatin dalam membengkak
kemudian larut akan hilang.
Dua sifat yang paling berguna pada gelatin yaitu kekuatan gel dan
viskositasnya. Kemampuan keduanya akan menurun pada suhu di atas 40o C. Pada
pH tinggi dan degradasi enzim proteolitik, larutan gelatin akan mengalami degradasi
sehingga meningkatkan resiko munculnya mikroorganisme.
Gelatin terdiri dari 50,5% karbon, 6,8% hidrogen, 17% nitrogen dan 25,2%
oksigen.

Gambar 2.1. Struktur Asam Amino Gelatin (GMIA, 2012)


Karena berasal dari kolagen, gelatin diklasifikasikan sebagai turunan protein.
Hal ini menyebabkan protein memiliki beberapa reaksi dan dihidrolisis secara khas
oleh sebagian besar enzim proteolitik untuk menghasilkan komponen peptida atau
asam amino.

a. Sifat Amfoter
Gelatin dalam larutan bersifat amfoter, mampu bertindak baik sebagai asam
atau sebagai basa. Pada larutan gelatin yang bersifat asam memiliki muatan
8

positif (kation) dalam medan listrik. Dalam larutan gelatin yang bersifat basa
memiliki muatan negatif (anion). pH terletak pada titik tengah di mana
muatan bersih adalah nol dan tidak ada gerakan yang terjadi, dikenal sebagai
Titik isoelektrik. Gelatin tipe A memiliki rentang titik isoelektrik yang luas
(pH 7 dan 9). Sedangkan Gelatin tipe B memiliki rentang isoelektrik yang
lebih sempit antara pH 4,7 dan 5,4.
b. Turunan kimia
Gelatin dapat diberi perlakuan secara kimia untuk mengubah sifat fisika dan
kimianya secara signifikan. Perubahan ini adalah hasil dari modifikasi
struktural dan atau reaksi kimia. Reaksi khas yang sering terjadi seperti
asilasi, esterifikasi, deaminasi, cross-linking dan polimerisasi, serta reaksi
sederhana dengan asam dan basa.
c. Kekuatan Gel
Pembentukan gel yang termoreversibel dalam air adalah salah satu sifat
gelatin yang paling penting. Ketika larutan gelatin dengan konsentrasi lebih
besar dari 0,5% didinginkan sampai suhu 35-40 ° C itu dapat meningkatkan
viskositas, dan membentuk gel. Kekuatan gel tergantung pada konsentrasi
gelatin, kekuatan intrinsik dari gelatin, pH, suhu, dan adanya zat tambahan.
d. Viskositas
Viskositas yang digunakan sesuai dengan konsentrasi dimana gelatin tersebut
akan digunakan. Distribusi berat molekul berperan penting dalam efek pada
viskositas yang mempengaruhi kekuatan gel. Beberapa gelatin dengan
kekuatan gel yang tinggi memiliki viskositas yang lebih rendah daripada
gelatin dengan kekuatan gel yang rendah. Viskositas larutan gelatin
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi gelatin dan dengan penurunan
suhu.
e. Warna
Warna gelatin tergantung pada sifat dari bahan baku yang digunakan. Dan
tergantung gelatin yang dihasilkan merupakan hasil ekstraksi pertama, kedua
atau ketiga.
9

2.3 Produksi Gelatin


Penjelasan tentang proses produksi gelatin akan membantu dalam memahami
sifat dan karakteristik gelatin pada beberapa tipe dan kualitas. Seperti dijelaskan
sebelumnya, gelatin berasal dari kolagen yang merupakan kandungan utama dari
jaringan ikat dan tulang hewan vertebrata. Kolagen memiliki kandungan asam amino
siklik prolin dan hidroksiprolin yang sangat tinggi. Kolagen terdiri dari tiga rantai
polipeptida heliks yang dihubungkan dengan ikatan silang antarmolekul.
Cara pembuatan gelatin secara umum adalah : kulit atau tulang hewan yang
kaya akan kolagen direndam dalam asam atau basa, kemudian diekstrasi dengan
panas secara bertingkat, yaitu dilakukan pada evaporator atau tangki biasa pada suhu
60,70, 80, 90, dan 100o C untuk menghasilkan mutu gelatin yang berbeda-beda. Hasil
ekstrak yang mengandung gelatin dibersihkan dari kotoran halus dan mineral dengan
cara penyaringan, sentrifugasi, demineralisasi dengan ion echanger. Filtrat
disterilisasi UHT, dikeringkan, digiling dan terakhir dikemas dan siap dipasarkan.
Proses lain yaitu filtrat hidrolisa lebih lanjut dengan enzim protease, sehingga
dihasilkan peptida atau sampai ke tingkat asam amino yang disebut sekitar gelita sol
(GMIA, 2012).
Bahan utama dari pembuatan gelatin adalah senyawa kolagen. Kolagen
banyak terdapat pada kulit, urat, tulang rawan dan tulang pada hewan. Kolagen
merupakan protein yang mengandung 35 % glisin (C2H5NO2) dan 11 % alanin
(C3H7NO2) serta kandungan prolin (C5H9NO2). Komposisi protein inilah yang
menjadi dasar produksi gelatin. (Lehninger, 1990).
Gelatin komersial yang ada di pasaran dikategorikan sebagai gelatin tipe A
dan tipe B. Pengelompokan ini berdasarkan jenis prosesnya, yaitu proses perendaman
asam dan basa. Proses perendaman asam menghasilkan gelatin tipe A dan
perendaman basa menghasilkan gelatin tipe B. Gelatin tipe A umumnya berasal dari
kulit babi yang memiliki titik iisoelektrik (titik pengendapan protein) pada pH yang
lebih tinggi (7.5 – 9.0) dari pH isoelektrik gelatin tipe B (4.8 – 5.0). Sedangkan
gelatin tipe B biasanya bersumber dari kulit jangat sapi dan tulang sapi. Sedangkan
gelatin ikan dikategorikan sebagai gelatin tipe A. Dalam perkembangannya, proses
10

pembuatan gelatin yang berasal dari tulang dapat dilakukan juga dengan
menggunakan cara asam yang lebih sederhana yang akhirnya juga menggeser pH
isoelektrik pada sekitar 5.5 – 6.0.
Secara ekonomis, proses asam lebih disukai dibandingkan dengan proses
basa. Hal ini karena perendaman yang dilakukan dalam proses asam relatif lebih
singkat yaitu (3-4 minggu) dibanding dengan proses basa (sekitar 3 bulan).
Setelah mengalami perendaman, bahan dinetralkan untuk kemudian
diekstraksi dan dipekatkan (evaporasi). Bahan yang telah mengalami pemekatan
dikeringkan untuk kemudian mengalami proses penggilingan atau penghancuran
menjadi partikel yang lebih kecil atau sesuai dengan standar tertentu (Hastuti et al,
2007).

2.4. Kegunaan Gelatin


2.4.1. Kegunaan Gelatin pada Sediaan Farmasi (GMIA, 2012)
a. Kapsul Keras dua lapis : Kekuatan, fleksibilitas, dan kemurnian, dari gelatin
memberikan karakteristik yang unik untuk memproduksi tablet berbagai
ukuran, warna dan desain untuk menjamin penutupan yang rapat setelah
pengisian.
b. Tablet : Formulasi tablet terdiri dari zat aktif dan zat tambahan yang dikenal
sebagai eksipien. Semua tablet mengandung pengisi, pengikat, pelincir dan
pelumas. Gelatin berperan dalam proses granulasi dan sebagai pengikat dalam
tablet.
c. Tablet coating : Proses coating membutuhkan basis air yang memungkinkan
dalam penggunaan gelatin. Formulasi khas untuk coating seperti gula,
pigmen, dan gelatin sebagai pembentuk film.
d. Suppositoria : Gliserin biasanya digunakan sebagai bahan pembantu untuk
supositoria untuk dimasukkan ke dalam rektum, vagina atau uretra. Dengan
memvariasikan konsentrasi gelatin dalam formula. Kriteria untuk formulasi
supositoria adalah bahwa basis (gelatin) tidak beracun dan tidak menimbulkan
11

iritasi selaput lendir, kompatibel dengan berbagai obat, basis meleleh atau
larut dalam cairan tubuh, dan basis harus stabil pada penyimpanan.
e. Emulsi Gelatin : Gelatin di industri digunakan sebagai stabilizer, agen
texturizing, pembentuk film, dan sebagai media pendukung koloid. Persiapan
emulsi minyak dengan gelatin yang digunakan topikal harus dipastikan
distribusi dan ukuran globlet stabil dalam penyimpanan.
f. Mikroenkapsulasi : Gelatin digunakan untuk menghasilkan minyak
mikroenkapsulasi untuk berbagai keperluan baik dalam gizi dan aplikasi
farmasi. Metode tradisional enkapsulasi dikenal sebagai koaservasi di mana
minyak terdispersi dengan bantuan gelatin pada antarmuka antara fase berair
dan fase berair. Contoh umum dari hal ini adalah suplemen vitamin untuk
berbagai makanan dan untuk multi-vitamin.
g. Media Pertumbuhan Bakteri : Setiap eksipien pada sediaan farmasi sering
ditemukan berbagai jenis bakteri. Gelatin farmasi dimurnikan dan disterilkan
untuk menghilangkan kekhawatiran ini. Namun, karena gelatin adalah berasal
dari kolagen, gelatin dapat digunakan sebagai nutrisi untuk bakteri.

2.4.2 Penggunaan Gelatin pada Kosmetik


Pada kosmetika, gelatin digunakan untuk menstabilkan emulsi pada produk
sampo, penyegar, pelinduung kulit (lotion, krim), sabun (cair), lipstick, cat kuku, busa
cukur, dan lain-lain. (Hastuti et al, 2007)

2.4.3 Kegunaan Gelatin pada Produksi Makanan


Pada daging olahan, bermanfaat untuk meningkatkan daya ikat air atau
rendemen, konsistensi, tekstur dan stabilitas produk seperti pada sosis, kornet, ham,
dan lain sebagainya. Pada produk susu olahan bermanfaat memperbaiki tekstur,
konsistensi, stabilitas produk dan menghindari sineresis pada yoghurt, es krim, susu
asam, keju. Pada produk bakery, bermanfaat menjaga kelembaban roduk, tektur,
sebagai perekat, bahan pengisi, dan lain-lain. Minuman sebagai penjernih sari buah
(juice), bir dan wine. Buah-buhan sebagai pelapis (melapisi pori-pori buah sehingga
12

terhindar dari kekeringan dan kerusakan oleh mikroba) untuk menjaga kesegaran dan
keawetan buah. (Hastuti et al, 2007)
Tabel 2.1. Kegunaan Gelatin pada Makanan (GMIA, 2012)
Kegunaan Aplikasi
Pembentuk Gel Makanan penutup gel, daging, gula.
Whipping agent Marshmalllow, sifon, whipped cream
Pelindung koloid Es krim, makanan penutup beku
Agen pengikat Keju, produk beku
Clarifying agent Bir, wine, jus buah, cuka
Pembentuk film Pelapis untuk buah dan daging
Thickener Bubuk campuran minuman, kaldu, saus, sup, puding,
jeli, sirup, produk susu
Bahan Penolong Proses Mikroenkapsulasi warna, rasa, minyak, vitamin
Emulgator Sup krim, saus, perasa, pasta daging, whipped
cream, produk susus
Penstabil Krim keju, susu coklat, yogurt, pengisi krim
Agen Adesif untuk mengikat bumbu untuk produk daging.
Kegunaan Aplikasi

2.5. Hewan Percobaan


Menurut Krinke (2000) berikut merupakan klasifikasi tikus putih (Rattus
novergicus):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Odontoceti
Familia : Muridae
Genus Spesies : Rattus norvegicus
13

2.5.1. Karakteritik Tikus Betina Sprague Dawley


Umumnya, untuk pengujian toksisitas digunakan hewan pengerat dengan jenis
kelamin betina. Betina lebih disarankan karena betina bersifat lebih sensitif
dibandingkan jantan (OECD, 2008). Untuk galur, baru-baru ini tikus putih yang
sering digunakan sebagai hewan percobaan antara lain Wistar dan Sprague dawley
(Sengupta, 2013). Dibandingkan dengan galur Wistar, galur Sprague Dawley lebih
dipilih karena lebih sensitif (Zmarowski, et al., 2013)

2.5.2. Data fisiologis dan reproduksi Rattus norvegicus


Data mengenai fisiologis dan reproduksi hewan uji tikus bisa dilihat di tabel.
Tabel 2.2. Data Fisiologis dan Reproduksi Tikus (Sengupta, 2013)
Data Fisiologis Umum
Suhu Tubuh 37o C
Laju Respirasi 75-115 nafas/menit
Detak jantung 260-400 detak/menit
Konsumsi air perhari 10-12 ml/100 gram berat badan
Konsumsi makanan per hari 10 gram/100gram berat badan
Berat saat lahir 5 gram
Umur menyusui 21 hari
Kematangan seksual 7 minggu
Durasi pembiakan 12-16 bulan
Berat jantan dewasa 450-550 gram
Berat betina dewasa 250-300 gram
Masa hidup 2,5-3,5 tahun
Parameter Reproduksi Tikus Jantan
Umur saat perkawinan 8-10 minggu
Berat badan saat perkawinan 250-300 gram
Parameter Reproduksi Tikus Betina
Umur saat perkawinan 8-10 minggu
Berat saat perkawinan 180-225 gram
14

2.6. Toksisitas
Toksisitas adalah ilmu yang digunakan untuk memprediksi efek biologi atau
efek samping yang tidak diinginkan pada makhluk hidup sebagai akibat terpaparnya
senyawa kimia atau alam. Seperti terjadinya perubahan yang merugikan terkait
pengobatan yang mempengaruhi organisme dalam bertahan hidup, reproduksi atau
beradaptasi dengan lingkungan. Dengan demikian peran utama pengujian toksikologi
adalah untuk mengidentifikasi bahaya pada manusia sebagai konsekuensi dari
terpaparnya zat kimia juga dapat mengetahui hubungan antara dosis-respon toksik
untuk mengidentifikasi dosis toksiknya. (Hau dan Hoosier, 2003)
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari potensi bahan untuk menghasilkan
satu atau lebih efek yang merusak pada organisme. Beberapa zat terbukti mampu
menghasilkan efek samping untuk manusia dan hewan yang terpapar. Kerentanan,
rute, dosis, dan durasi paparan zat tertentu dapat mempengaruhi adanya efek samping
dan keparahannya. Pengujian toksisitas akut dilakukan untuk menentukan efek dari
paparan tunggal suatu zat. Efek akut biasanya menjadi nyata segera setelah suatu
paparan, meskipun tergantung pada bahan penyebab dan mekanisme aksinya, periode
laten mungkin mendahului manifestasi dari efek. Pengujian toksisitas subkronis dan
kronis dilakukan untuk mengetahui keberadaan efek yang menjadi jelas setelah durasi
paparan yang lama. Penting diketahui bahwa pada suatu bahan beracun, apakah
mereka menyebabkan efek akut atau jangka panjang, maka perlu diidentifikasi
dengan prosedur dan praktek yang berkembang dan diimplementasikan untuk
mencegah cedera dan penyakit. (Sass, 2016)

2.7. Uji Toksisitas


Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada
sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji.
Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat
bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat
ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia (BPOM RI, 2014)
15

Tiga tujuan utama dari pengujian toksisitas adalah untuk mengetahui :


1. Spektrum toksisitas, bertujuan untuk mendeteksi efek samping senyawa
pada spesies uji dan menggambarkan hubungan dosis respon pada range
dosis tertentu,
2. Ekstrapolasi, untuk memprediksi efek samping pada spesies lainnya,
khususnya manusia
3. Keamanan, mengetahui tingkat keamanan dari paparan suatu zat pada
spesies lainnya, seperti manusia
Data toksikologi dapat diketahui dari uji secara in vitro, pada hewan uji, dan
bisa pada manusia. Uji secara in vitro yaitu memanfaatkan sel, jaringan, atau organ
yang diisolasi untuk mengetahui tingkat toksik. Umumnya, data toksisitas yang
tersedia untuk menilai bahaya paparan suatu zat merupakan hasil uji menggunakan
hewan uji. Sedangkan, data toksikologi yang didapatkan dari hasil uji pada manusia
akan lebih terpercaya dalam memprediksi efek toksik. Namun pada kenyataannya
data hasil uji toksik pada manusia sulit dan jarang tersedia (Hau dan Hoosier, 2003).
Uji toksisitas menggunakan hewan uji sebagai model berguna untuk melihat
adanya reaksi biokimia, fisiologik dan patologik pada manusia terhadap suatu sediaan
uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk membuktikan
keamanan suatu bahan atau sediaan pada manusia, namun dapat memberikan
petunjuk adanya toksisitas relatif dan membantu identifikasi efek toksik bila terjadi
pemaparan pada manusia.
Faktor-faktor yang menentukan hasil uji toksisitas secara in vivo dapat
dipercaya meliputi pemilihan spesies hewan uji, galur dan jumlah hewan; cara
pemberian sediaan uji; pemilihan dosis uji; efek samping sediaan uji; teknik dan
prosedur pengujian termasuk cara penanganan hewan selama percobaan. (BPOM RI,
2014).

2.8. Uji Toksisitas Akut Oral


Uji toksisitas akut dengan menggunakan hewan percobaan diperlukan untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian suatu zat
16

dalam dosis tunggal atau dosis berulang yang diberikan dalam waktu tidak lebih dari
24 jam; apabila pemberian dilakukan secara berulang, maka interval waktu tidak
kurang dari 3 jam. (BPOM RI, 2014)
Toksisitas akut meliputi adanya efek samping yang terjadi pada periode waktu
yang singkat, umumnya selama 24 jam, yang muncul setelah adanya paparan suatu
senyawa dengan dosis tunggal atau beberapa dosis dalam jangka waktu 24 jam. Data
toksisitas akut tersebut digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat bahaya dari suatu
zat serta untu memberi pelabelan. Dengan demikian, parameter yang digunakan untuk
mengemukakan toksisitas akut merupakan nilai LD50. Dimana LD50 adalah dosis
yang menyebabkan kematian hewan uji sebesar 50% (Hau dan Hoosier, 2003)
Tujuan dari pengujian toksisitas akut meliputi :
1. Mengetahui tingkat bahayan hasil paparan zat uji
2. Menentukan kerentanan populasi atau spesies tertentu terhadap zat uji
3. Mengidentifikasi organ atau jaringan tertentu yang yang terganggu akibat zat
uji
4. Memberikan informasi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi resiko dari
zat uji
5. Memberikan informasi kepada dokter untuk meminimalisir pemberian obat
yang beresiko
(Sass, 2016)
Suatu senyawa dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai toksisitas akut. Nilai
toksisitas akut dinyatakan sebagai LD50. Hasil toksisitas akut dievaluasi berdasarkan
kriteria bahaya dari GHS (Globally Harmonised Classification System for Chemical
Substances and Mixtures) dan juga berdasarkan kategori dari Loomis. Kategori ini
bertujuan untuk penentuan kategori toksisitas akut bahan kimia serta untuk
pelabelannya.
17

Tabel 2.3. Klasifikasi Toksisitas Berdasarkan GHS


TOKSISITAS AKUT ORAL
Kategori 1 Kategori 2 Kategori 3 Kategori 4 Kategori 5
> 5 < 50 ≥ 50 < 300 ≥ 300 < ≥ 2000 <
LD50 ≤ 5 mg/kg
mg/kg mg/kg 2000 mg/kg 5000 mg/kg

Tidak ada
Simbol
symbol

Istilah Berbahaya Berbahaya Berbahaya Peringatan Peringatan


Mungkin
Pernyataan Fatal jika Fatal jika Beracun Berbahaya
berbahaya
bahaya ditelan ditelan jika ditelan jika ditelan
jika ditelan
(United Nations, 2011)

Tabel 2.4. Klasifikasi Toksisitas Berdasarkan Loomis


No Nilai LD50 Klasifikasi
1. ≤ 1 mg/kgbb Sangat Toksik
2. 1-50 mg/kgbb Toksik
3. 50-500 mg/kgbb Toksik Sedang
4. 500-5000 mg/kgbb Toksik Ringan
5. 5000-15.000 mg/kgbb Praktis Tidak Toksik
6. ≥15.000 mg/kgbb Relatif Tidak Membahayakan
(Loomis dan Hayes, 1996)

Prinsip toksisitas akut yaitu pemberian secara oral suatu zat dalam beberapa
tingkatan dosis kepada beberapa kelompok hewan uji. Penilaian toksisitas akut
ditentukan dari kematian hewan uji sebagai parameter akhir. Hewan yang mati
selama percobaan dan yang hidup sampai akhir percobaan diotopsi untuk dievaluasi
adanya gejala-gejala toksisitas dan selanjutnya dilakukan pengamatan secara
makropatologi pada setiap organ. Tujuan uji toksisitas akut adalah untuk
18

mengidentifikasi bahan kimia yang toksik dan memperoleh informasi tentang bahaya
terhadap manusia bila terpajan. Uji toksisitas akut digunakan untuk menetapkan nilai
LD50 suatu zat. (BPOM, 2014)

2.8.1. Penentuan LD50


LD50 adalah dosis yang menyebabkan kematian hewan uji sebesar 50% (Hau
dan Hosier, 2003). LD50 diperoleh ketika lebih dari setengah, tetapi kurang dari 90%
dari hewan mati setelah terpapar dosis tinggi, dan kurang dari 50% tetapi lebih dari
10% dari hewan mati dari dosis rendah. Dosis ketiga idealnya akan menghasilkan
kematian 50% dari hewan. Dosis keempat yang digunakan untuk meningkatkan
kemungkinan bahwa beberapa dosis yang digunakan akan jatuh dalam rentang yang
diinginkan. Kebutuhan hewan yang digunakan untuk pengujian ini cukup banyak
(hingga 200) sehingga diakui memiliki kelemahan yang parah, sedangkan adanya
nilai LD50 penting diketahui dan masuk ke dalam protokol pengujian untuk klasifikasi
Toksisitas akut bagi beberapa kelas bahan kimia. Maka, The Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD 1981) menganjurkan menggunakan
metode pengujian toksisitas akut yang lebih manusiawi. Keuntungan utama dari
metode ini adalah penggunaan hewan yang jumlahnya sedikit dan berguna
mendapatkan informasi dengan tidak menentukannya berdasarkan kematian namun
tanda-tanda toksisitas (Sass, 2000).
Panduan dari OECD (The Organisation for Economic Co-operation and
Development) yang membahas tentang uji toksisitas menjelaskan bahwa semua
panduan dari OECD melibatkan pemberian dosis tunggal dari sampel uji untuk
hewan dewasa muda yang sehat secara oral, pengamatan dilakukan sampai hari ke–14
setelah administrasi dosis, dengan pencatatan berat badan dan nekropsi dari semua
hewan. Dosis dapat diberikan berdasarkan pada volume konstan atau konsentrasi
konstan tergantung pada kebutuhan toksikologi. Setiap hewan dipilih secara acak.
Pada saat pemberian sampel uji, setiap hewan harus berumur antara 8-12 minggu dan
beratnya harus dalam interval ±20% dari berat rata-rata semua hewan. Titik akhir
19

untuk Panduan 423 dan 425 adalah angka kematian, tetapi untuk Pedoman 420 itu
adalah pengamatan tanda-tanda jelas yang menunjukkan toksisitas (OECD,2001).

2.8.1.1 Fixed Dose Method (Panduan 420)


Pendekatan ini tidak menggunakan kematian hewan sebagai titik akhir, dan
hanya mengandalkan pengamatan pada tanda-tanda toksisitas yang jelas terlihat pada
satu dari serangkaian tahapan Fixed Dose Method. Penelitian pada uji in vivo dan
menggunakan model menunjukkan bahwa prosedur ini reprodusibel, menggunakan
hewan yang lebih sedikit dan mengurangi penderitaan yang dialami hewan uji
dibandingkan dengan metode konvensional serta dapat mengurutkan zat dalam cara
yang mirip dengan metode pengujian toksisitas akut lainnya. Terdapat uji
pendahuluan untuk memilih dosis awal yang tepat dan meminimalkan jumlah hewan
yang digunakan. Dosis yang digunakan adalah 5, 50, 300 dan 2000 mg/kgBB.
Kelompok hewan dilakukan pemberian setiap tingkat dosis sampel secara bertahap,
dengan dosis awal yang terpilih diharapkan menghasilkan beberapa tanda-tanda
toksisitas. Kelompok hewan selanjutnya diberikan dosis yang lebih tinggi atau lebih
rendah, tergantung pada tanda-tanda toksistas, sampai tujuan dicapai, yaitu klasifikasi
zat uji berdasarkan identifikasi dosis yang menyebabkan evident toxicity. Setiap
kelompok dalam satu tingkatan dosis terdiri dari lima hewan dari satu jenis kelamin.
Hewan diamati secara individu pada tiap-tiap tingkatan dosis. Jumlah hewan yang
digunakan antara 5-7 hewan, dan 5 hewan yang digunakan dalam limit test. (OECD,
2001)
2.8.1.2 Acute Toxic Class Method (Panduan 423)
Acute Toxic Class Method adalah prosedur bertahap dengan menggunakan 3
hewan dari satu jenis kelamin tiap langkah. Penilaian toksisitas akut pada metode ini
membutuhkan sekitar 2 hingga 4 langkah namun tergantung pada jumlah hewan yang
mati. Prosedur ini bersifat reprodusibel, membutuhkan jumlah hewan yang sedikit
dan mampu mengurutkan senyawa sama seperti dua metode lainnya. Acute Toxic
Class Method dan Fixed Dose Method berdasarkan evaluasi biometric mampu
mengklasifikasikan senyawa dan melihat keamanan senyawa. Dosis yang digunakan
20

adalah 5, 50, 300, dan 2000 mg/kgBB. Pemberian sampel uji pada tiap kelompok
hewan dilakukan secara bertahap, dengan dosis awal yang terpilih diharapkan
menghasilkan mortalitas pada beberapa hewan. Kelompok hewan selanjutnya
diberikan dosis yang lebih tinggi atau lebih rendah, tergantung pada kematian, sampai
tujuan dicapai, yaitu klasifikasi zat uji berdasarkan identifikasi dosis yang
menyebabkan kematian, kcuali bila tidak ada efek pada dosis tertinggi. Pengujian ini
meggunakan 3 hewan dari satu jeni kelamin dalam tiap kelompok. Rata-rata jumlah
hewa yang digunakan adalah 7, 6 hewan yang digunakan dalam limit test. (OECD,
2001).

2.8.1.3 Up and Down Procedure (Panduan 425)


Konsep pengujian Up and Down Procedure pertama kali dijelaskan oleh
Dixon dan Mood. Pada tahun 1985, Bruce mengusulkan untuk menggunakan Up and
Down Procedure untuk penentuan toksisitas akut bahan kimia. Terdapat beberapa
variasi dari desain eksperimental Up and Down Procedure untuk memperkirakan
LD50. Sebuah studi yang membandingkan hasil yang diperoleh dengan Up and Down
Procedure , Fixed Dose Method, dan metode konvensional diterbitkan pada tahun
1995.
Pada metode ini terdapat dua macam pengujian toksisitas akut secara oral, yaitu
limit test dan main test. Limit test digunakan ketika diketahui bahwa zat uji yang akan
diujikan memiliki toksisitas yang rendah, mempunyai dosis toksik di bawah batas
dosis yang telah ditentukan. Sedangkan ketika terdapat sediki atau tidak ada
informasi tentang toksisitas zat uji tersebut atau diduga toksik, maka langsung
dilakukan Main Test.
Pada pengujian limit test, digunakan satu hewan terlebih dahulu untuk diberikan
sampel dengan dosis 2000 mg/kgBB. Jika hewan tersebut mati maka dilakukan main
test, tetapi jika hewan tersebut hidup maka digunakan empat hewan lainnya dan
diberikan dosis yang sama. Untuk limit test dengan dosis 5000mg/kgBB dilakukan
jika ada data yang menunjukkan bahwa zat tersebut memiliki toksisitas yang rendah.
Dan jumlah hewan yang digunakan pada limit test ini 3 hewan dengan jumlah. Jika
21

terdapat tiga atau lebih hewan yang masih bertahan hidup maka dosis toksik sampel
lebih dari 2000 mg/kgBB atau 5000 mg/kgBB. Tetapi jika terdapat tiga atau lebih
hewan yang mati maka dilakukan pengujian main test.
Panduan ini juga menggunaka prosedur bertahap, tetapi menggunakan hewan
tunggal, dengan hewan pertama diberikan dosis di bawah estimasi dari LD50.
Tergantung pada hasil dari hewan sebelumnya, jika hewan hidup maka dosis
dinaikkan namun jika hewan mati maka dosis diturunkan. Penambahan dan
pengurangan dosis disesuaikan dengan factor 3,2 yaitu 175, 550, 1750, 5000
mg/kgbb. Urutan ini berlanjut sampai ada pembalikan dari hasil awal, kemudian dosis
yang diberikan pada hewan selanjutnya mengikuti prinsip up and down sampai salah
satu dari kriteria stop terpenuhi.
Kriteria stop yang dimaksud adalah :
a. 3 hewan berturut-turut bertahan di atas batas dosis
b. 5 pengulangan terjadi pada 6 hewan yang diujikan Dimulai dari dosis terendah
saat ditemukan hewan uji yang hidup, setelah itu dilakukan uji pada konsentrasi
diatas dosis terendah tersebut dan uji pada kedua konsentrasi ini dilakukan
sebanyak 2 kali
c. Terjadi 3 kali kematian pada 4 konsentrasi yang sama
Pengujian ini menggunakan satu hewan dari satu jenis kelamin. Pemodelan
statistic menunjukkan bahwa rata-rata jumlah hewan yang digunakan dalam
pengujian ini adalah sekitar 6-9 hewan dan 5 hewan yang digunakan dalam limit test.
Prosedur pengujian yang dijelaskan dalam metode ini adalah meminimalkan
jumlah hewan yang diperlukan untuk memperkirakan toksisitas akut oral bahan
kimia. Selain untuk mengestimasi interval LD50, pada uji ini juga dapat dilakukan
pengamatan terhadap tanda-tanda toksisitas. (OECD, 2008)
Untuk ketiga panduan tersebut, pengamatan klinis yang cermat harus dilakukan
setidaknya dua kali pada hari pemberian dosis atau lebih sering ketika menunjukkan
respon dari hewan, dan setidaknya sekali sehari setelahnya. Pengamatan tambahan
dilakukan jika hewan terus menunjukkan tanda-tanda toksisitas. Pengamatan meliputi
perubahan kulit dan bulu, mata dan selaput lender, pernapasan, peredaran darah,
22

system saraf pusat dan otonom, aktivitas somatomotor dari tingkah laku. Pengamatan
tambahan dibutuhkan jika terdapat hewan yang menunjukkan tanda-tanda keracunan.
Pengamatan yang dilakukan meliputi tremor, konvulsi, salivasi, diare, letargi,
sedative dan koma. Jika terdapat hewan yang dalam keadaan hampir mati dan
menunjukkan kesakitan hebat atau menunjukkan stress hebat sebaiknya dibunuh dan
dianggap dalam interpretasi hasil dengan cara yang sama seperti hewan mati pada
pengujian.
23

Tabel 2.5 Prinsip Penentuan LD50 pada Tiga Metode Alternatif


Kriteria OECD 401 “AOT” OECD 420 “FDP” OECD 423 “ATC” OECD 425 “UDP”
Prinsip Pemberian dosis tunggal senyawa uji secara oral pada tikus dengan pengamatan tanda dan gejala toksisitas, berat
badan dan kematian hewan uji selama 14 hari
Jenis kelamin Terdapat kelompok hewan Hewan uji betina Hewan uji betina Hewan uji betina
hewan uji uji jantan dan kelompok
hewan uji betina
Jumlah hewan Minimal 20. 5 hewan uji 5 hewan uji untuk tiap 3 hewan uji untuk tiap Maksimal 14 hewan uji.
uji untuk tiap kelompok dosis kelompok dosis kelompok dosis Pemberian dosis dilakukan
secara bertahap
Dosis hewan uji Maksimal 2000 mg/kg bb Kelompok dosis 5, Kelompok dosis 5, Dimulai dari perkiraan LD50
50, 300, dan 2000 50, 300, dan 2000 (175 mg/kgBB) dan
mg/ kg bb mg/ kg bb peningkatan dosisnya mengikuti
factor pengalian 3,2.
Pengamatan Perubahan berat badan, gejala toksisitas, histopatologi
Output Rentang perkiraan LD50 dan tanda-tanda toksisitas akut Estimasi interval nilai LD50 dan
tanda-tanda toksisitas akut

Masa berlaku Dihapuskan pada tahun 2002 Masih berlaku Masih berlaku Masih berlaku
metode
Botham (2002) dan Sass (2000)
24

Keterbatasan dari ketiga metode tersebut adalah (OECD, 2011) :


1. Metode ini mungkin meiliki klasifikasi yang melebihi atau kurang tepat
terhadap nilai LD50 sesungguhnya dan hasil yang diperoleh cenderung
dipengaruhi oleh pemilihan dosis awal yang digunakan terutama pada zat
yang memiliki dosis yang rendah
2. Bisa saja zat uji menyebabkan kematian tertunda (5 hari atau lebih setelah
pemberian zat uji). Zat uji yang dapat menyebabkan kematian tertunda
berpengaruh pada penggunaan panduan 425, dimana durasi pengujian lebih
panjang dibanding metode lain. Namun dalam panduan 420 dan 423, temuan
kematian tertunda mungkin memerlukan tambahan dosis dengan tingkat yang
lebih rendah yang dilakukan secara berulang.

Nilai LD50 didapatkan dari program AOT425StatPgm (Acute Oral Toxicity


(Guideine 425) Statistical Program). Program ini adalah perangkat lunak untuk
menghitung nilai LD50. Karena metode ini bertujuan untuk menguji toksisitas jangka
pendek dari suatu senyawa kimia pada hewan pengerat, maka informasi yang
dimasukkan ke dalam program ini adalah dosis dan respon dari hewan uji
(mati/hidup). Penggunaan aplikasi ini dapat dilakukan secara bertahap, data yang
didapatkan di awal, bisa dimasukkan terlebih dahulu, data disimpan, kemudian bisa
memasukkan data selanjutnya pada hari yang berbeda. Ketika seluruh uji selesai,
program AOT425StatPgm dapat menghitung nilai LD50 berdasarkan data yang telah
dimasukkan.
Kelebihan dari program AOT425StatPgm adalah dapat menghitung dosis
rekomendasi untuk hewan setelahnya tergantung respon hewan. Serta dapat
memberikan informasi kapan waktu untuk menghentikan dosis hewa dan estimasi
nilai LD50 (Ningrum, 2012).

2.9. Pengamatan Toksisitas


Hewan uji yang telah diadministrasikan oleh zat uji, dilakukan beberapa
pengamatan :
25

2.9.1. Pengamatan Berat Badan


Secara makroskopik, hewan diamati berat badannya untuk dibandingkan
dengan berat standar atau kontrol. Pertumbuhan pada hewan pengerat seperti tikus
sangat sensitif terhadap nutrisi. Pertumbuhan yang terjadi dapat sangat cepat ataupun
menurun, hal ini dipengaruhi oleh perubahan status gizi pada hewan dengan usia
berapapun. Hewan uji tikus terutama laki-laki pertumbuhannya terus meningkat
dalam hal ukuran maupun berat sepanjang hidupnya, namun juga dipengaruhi oleh
galur. Perbedaan dari berat badan yang sangat signifikan antar hewan uji bisa
dipengaruhi akibat kekurangan atau terlalu banyak makan, mengalami gangguan
perkembangan, perifer, maupun sentral (Whishaw, Haun dan Kolb, 1999).
2.9.2. Tanda-tanda Toksisitas
Hewan diamati secara individual minimal sekali selama 30 menit setelah
pemberian dosis selama 4 jam dan setiap hari selama 14 hari, kecuali jika terjadi
kematian. Waktu dimana tanda toksisitas muncul dan tidak muncul sangat penting
untuk diamati. Kombinasi dari jenis dan durasi tanda toksisitas yang muncul sangat
penting untuk menentukan keparahannya (OECD, 2000). Tanda-tanda toksisitas
yang perlu diamati seperti perubahan piloereksi, konvulsi, tremor, nyeri, mata,
letargi, salivasi, lakrimasi, hiperaktivitas, dan kematian (Sabbani, Ramesh dan
Shobharani. 2015)

Tahapan kematian pada tikus memiliki beberapa ciri :


a. Kematian yang diprediksi bisa dilihat saat pengamatan berlangsung yaitu
kondisi ketika tikus tidak mampu mencapai air minum dan makanan
b. Kondisi hampir mati adalah jika muncul tanda-tanda indikatif seperti kejang-
kejang, penyerahan diri, dan tremor.
c. Moribound atau sekarat merupakan ketidakmampuan tikus untuk bertahan
hidup walaupun sudah dirawat.
(OECD, 2000)
26

2.9.3. Pengamatan Mikroskopik Histopatologi Organ


2.9.3.1. Organ Hati
Dilihat dari segi histologi, struktur dan komponen hati tikus pada dasarnya
sama seperti struktur pada mamalia lainnya. Hati terdiri atas beberapa komponen
selular, seperti hepatosist (sel parenkim), sel-sel sinusoidal, sel hematopoietic, sel
saraf, pembuluh darah dan limfe. Lobus hati dibungkus oleh kapsul. Lobus hati terdiri
atas kapsula fibrosa dan kapsul serosa. Kapsula dbungkus oleh peritoneum, namun
ada beberapa area kapsula yang dapat berhubungan langsung dengan diafragma dan
organ visera pada dinding abdomen posterior.
Hepatositt berbentuk polyhedral, intinya buat terletak di tengan, terdapat satu
atau lebih nucleolus dengan kromatin yang menyebar. Sering pula terlihat adanya dua
inti sebagai hasil pembelahan yang tidak sempurna dari sitoplasma. Hepatosit
tersususn atas lempeng-lempeng sel hati yang mengelilingi vena sentralis (Dellman &
Brown, 1992).
Sinusoid merupakan pembuluh darah kapiler yang mengisi lobules yang
membawa darah dari arteri dan vena interlobular, kemudian menuju vena sentralis.
Dinding sinusoid memiliki banyak celah karena dindingnya terdiri atas endotel dan
sel-sel makrofag besar yang aktif, yang disebut dengan sel Kuppfer yang berasal dari
monosit. Darah meninggalkan lobules melalui vena sentralis atau vena hepatica
terminalis yang dilapisi oleh endotel dengan lamia basalis dan adventisia tipis,
kemudian langsung berhubungan dengan sinusoid.
Vena sentralis berhubungan dengan vena sublobular atau vena interkalatus di
tepi lobules. Kedua vena tersebut terdapat di sepanjang basis lobules, dimana
sebagian bergbung membentuk vena penampung (collecting vein) yang nantinya
bergabung menjadi vena hepatica (Dellmn & Brown, 1992)
27

2.9.3.2. Ginjal
Ginjal adalah organ yang berperan mengatur keseimbangan cairan tubuh serta
mengeksresi kelebihannya yaitu air kemih. DI dalam ginjal terdiri 3 proses rangkaian
penting, yaitu proses filtrasi, reabsorbsi dan augmentasi. Ginjal terdiri dari tiga bagian
utama, meliputi korteks (bagian luar), medulla (sumsum ginjal) dan pelvis renalis
(rongga ginjal) (Utomo, 2013).
Bagian korteks mengandung banyak nefrin. Nefron merupakan unit
fungsional dan structural dari ginjal dan ginjal terdiri dari ribuan nefron. Tiap nefron
terdirir dari dua bagian, yaitu korpus renalis dimana plasma darah difiltrasi dan
tubulus renalis yang mengabsirpsi dan mensekresi cairan yang lewat. Korpus renalis
dibagi menjadi dua bagian yait glomerulus (kapiler glomerulus) dan kapsula Bowman
yang mengelilingi kapiler glomerulus. Sedangkan tubulus renalis dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu tubulus proksimal, lengkung henle, dan tubulus distalis (Tortora, 2005).

2.10 Studi Literatur


Uji toksisitas dengan menggunakan metode Up and down procedure, sudah
banyak diterapkan oleh banyak penelitian baru- baru ini. Protokol utama yang
menjadi acuan dalam metode ini adalah di OECD (Organization for Economic Co-
operation and Development ) 425. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan pun
juga berpanduan terhadap OECD, hal ini karena metode dalam OECD memiliki
beberapa kelebihan dan memperhatikan kesejahteraan hewan.
Daun Mitragyna speciosa Korth (MS) yang popular digunakan sebagai obat
diare, analgesic dan antipiretik di Thailand dan Malaysia. Karena cukup sering
digunakan, maka ekstrak daun MS diuji keamanannya menggunakan uji toksisitas
metode Up and down procedure pada tikus galur Sprague Dawley (Kamal dkk,
2012). Terdapat pula tanaman yang banyak digunakan sebagai obat seperti Entada
leptostachya (EL) and Prosopis juliflora (PJ). Kedua tanaman ini belum memiliki
profil toksisitas dan keamanannya, makan ditentukan dengan menggunakan uji
toksisitas akut oral. Dosis yang digunakan pada metode Up and down procedure
yaitu 175, 550, 1750, dan 5000 mg/kgBB. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai LD50
28

yang didapatkan yaitu lebih dari 5000 mg/kgBB serta tidak muncul adanya kematian
dan tanda sakit atau stress (Kimani et al, 2014).
Pada dasarnya, uji toksisitas harus dilakukan terhadap semua zat yang
diaplikasikan ke makhluk hidup, tidak hanya dilakukan pada ekstrak tanaman. Salah
satu contohnya adalah gelatin. Gelatin sangat berguna dan sering diaplikasikan dalam
sediaan farmasi. Salah satu jenis gelatin yang telah diuji toksisitasnya yaitu gelatin
kulit ikan patin Siam (Pangasius hypophthalmus). Uji toksisitas yang dilakukan pada
gelatin ini yaitu bersifat subkronik dimana paparan zat yang diberikan kepada hewan
uji yaitu selama 4 minggu. Terdapat beberapa parameter yang dilakukan pada
penelitian ini untuk mengetahui keamanan gelatin ini. Dan hasilnya menunjukkan
bahwa pada dosis gelatin 48 mg/kgBB sudah mulai mempengaruhi kadar GOT.
Namun untuk kerusakan yang terjadi pada organ target tidak mempengaruhi secara
bermakna terhadap pemberian gelatin kulit ikan patin siam ini (Rachmawati et al,
2011).
29

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2015 hingga Mei 2016.
Pembuatan larutan gelatin dilakukan di Laboratorium Penelitian II, pemeliharaan dan
perlakuan hewan uji di Animal House (AH) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan pembuatan preparat
histologi di Laboratorium Histologi Universitas Indonesia.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian


3.2.1. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan terdiri dari gelas beker, gelas ukur, pipet tetes, spatula,
batang pengaduk, timbangan analitik, sonde, kandang tikus, masker, sarung tangan,
pinset, gunting bedah, kaca objek, dan mikroskop
3.2.2. Bahan Kimia
Bahan-bahan yang digunakan, yaitu : akuades, eter, dan formalin
3.2.3. Bahan Uji
Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelatin sapi golongan
farmasetik (Gelita New Zealand) dan golongan pro analisis (Sigma-Aldrich)

3.3 Rancangan Penelitian


3.3.1 Besar Sampel
Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan 3 kelompok perlakuan,
yaitu kelompok kontrol, kelompok uji gelatin sapi golongan farmasetik dan pro
analisis. Pemilihan hewan uji dilakukan secara random. Masing-masing hewan pada
kelompok uji diberikan dosis secara bertahap sesuai dengan respon hewan terhadap
dosis yang diberikan. Selain itu, penelitian ini telah lolos Kaji Etik di Komisi Etik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Lampiran 2).
30

3.3.2 Dosis Perlakuan


Uji toksisitas akut menggunakan metode Up and Down Procedure memiliki 2
tahap, yaitu Limit test dan Main test. Pada limit test, dosis tunggal yang diberikan
sebesar 5000 mg/kgbb. Dan karena pada 3 hewan uji tidak mengalami kematian, maka
Limit Test dihentikan dan tidak perlu dilakukan Main Test.
Tabel 3.1 Perlakuan terhadap Tikus
Tikus Perlakuan Dosis
1.
Kontrol (Akuades)
2.
3. 5000 mg/kgbb
4. Gelatin Sapi Golongan Farmasetik 5000 mg/kgbb
5. 5000 mg/kgbb
6. 5000 mg/kgbb
7. Gelatin Sapi Golongan Pro Analisis 5000 mg/kgbb
8. 5000 mg/kgbb

3.4 Prosedur Penelitian


3.4.1 Penyiapan Larutan Gelatin
Gelatin sapi yang akan diberikan kepada hewan uji dibuat dengan dosis
5000mg/kgbb. Serbuk gelatin dengan berat yang telah disesuaikan dengan bobot tikus
dilarutkan aquades dengan suhu 60o C (Rowe, Sheskey dan Quinn, 2006). Larutan
gelatin diberikan kepada hewan uji saat suhunya mencapai 30o C.

3.4.2 Penyiapan Hewan Uji


Hewan percobaan yang dipakai adalah tikus betina galur Sprague Dawley
yang sehat, belum kawin, dan tidak sedang hamil, berumur 8-12 minggu dengan
variasi berat badan ±20%. Tikus betina diaklimatisasi terlebih dahulu minimal 5 hari
sebelum diberikan perlakuan dengan ditempatkan dalam kandang pada suhu 22o (±3o
C). Hewan diberikan pellet untuk tikus dan air minum (ad libitum). Aklimatisasi
dilakukan agar tikus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan pengamatan.
31

Selama proses aklimatisasi dilakukan pengamatan kondisi umum serta penimbangan


bobot tikus. (OECD, 2008)

3.4.3 Uji Toksisitas Akut (OECD, 2008)


Penentuan nilai LD50 ini menggunakan metode Up and Down Procedure
dimana terdapat dua uji yaitu limit test dan main test. Pemberian larutan uji gelatin
dilakukan dengan dosis tunggal secara oral menggunakan sonde lambung. Nilai LD50
dapat ditentukan dengan menghitung respon tikus (hidup atau mati) terhadap dosis uji
yang diberikan. Tahapan dari pengujian toksisitas akut metode Up and Down
Procedure menurut OECD 425 adalah :
a. Sebelum perlakuan, tikus dipuasakan terlebih dahulu semalaman dengan
tetap diberikan minum (ad libitum)
b. Ketika perlakuan kontrol hanya diberi akuades dengan volume yang sama
dengan volume zat uji.
c. Setelah pemberian zat uji, tikus tetap dipuasakan selama 4 jam
d. Pengamatan tanda toksisitas yang muncul diamati tiap setengah jam hingga
4 jam setelah zat uji diberikan kemudian dilanjutkan setiap hari selama 14
hari
3.4.3.1 Penentuan Nilai LD50 (OECD, 2008)
Penentuan nilai LD50 gelatin sapi menggunakan metode Up and Down
Procedure dan jenis uji yang dilakukan adalah limit test. Limit Test ini dilakukan
pada bahan uji yang telah diinformasikan bersifat tidak toksik. Dosis yang digunakan
pada limit test ini dipilih dosis 5000mg/kgbb sebab menurut Handbook of
Pharmaceutical Excipients, nilai LD50 gelatin yaitu >5000mg/kgbb. Selain diberikan
zat uji, untuk 2 tikus diperlakukan sebagai kontrol. Dimana diberikan akuades dengan
volum pemberian sama seperti tikus uji.
Setelah dipuasakan, tikus ditimbang bobotnya dan masing-masing diberikan
secara oral larutan gelatin sapi dengan dosis 5000mg/kgbb. Jika tikus uji setelah
pemberian dosis masih hidup pada hari kedua, maka dilakukan uji lagi pada dua tikus
lainnya dengan dosis yang sama.
32

Maksimal penggunaan hewan pada limit test ini yaitu 5 ekor. Dan jika
terdapat 3 hewan uji yang hidup, maka limit test ini dapat dihentikan dan bisa ditarik
kesimpulan bahwa nilai LD50 gelatin sapi yaitu sebesar >5000mg/kgbb. Pengamatan
yang meliputi bobot badan dan tanda-tanda toksisitas dilakukan hingga hari ke-14.

3.4.4 Pengamatan Toksisitas


3.4.4.1 Perhitungan Nilai LD50 (OECD, 2008)
Perhitungan nilai LD50 gelatin sapi golongan farmasetik dan pro analisis
menggunakan software AOT 425 StatPgm. Data yang dimasukkan merupakan respon
hidup/mati hewan uji terhadap pemberian dosis uji. Dilambangkan dengan O : hidup
dan X : mati. Selain menentukan nilai LD50, software ini juga dapat membantu
penentuan dosis uji berikutnya serta menentukan saat dimana pengujian berhenti.
3.4.4.2 Perhitungan Perbedaan Bobot Tikus
Tikus kontrol dan uji dihitung bobotnya dengan menggunakan timbangan
analitik. Penimbangan dilakukan setiap hari, dimulai dari hari pertama sebelum dosis
diberikan hingga 14 hari pengamatan setelah dosis diberikan. Data bobot tikus yang
diperoleh kemudian diolah secara statitstik menggunakan Uji Kruskal Wallis.
3.4.4.3 Pengamatan Perubahan Tingkah Laku Tikus
Pengamatan pada perubahan perilaku yang dialami oleh tikus setelah
pemberian gelatin. Tingkah laku tikus diamati setiap 30 menit selama 4 jam setelah
dosis diadministrasikan dan selanjutnya diamati setiap hari selama 14 hari (OECD,
208) . Perilaku tikus yang diamati yaitu piloereksi, konvulsi, tremor, nyeri, mata,
refleks daun telinga, salivasi, lakrimasi, hiperaktivitas, mortalitas (Sabbani dkk,
2015).
3.4.5 Pengamatan Histopatologi Organ
Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop serta dilihat kelainan
patologis yang terdapat pada organ hati tikus. Pemeriksaan histopatologi dilakukan
untuk melihat pengaruh dari pemberian gelatin sapi golongan farmasetik dan pro
analisis terhadap organ hati dan ginjal
33

Tikus yang masih bertahan hidup sampai hari ke 14, dimatikan dengan cara
inhalasi menggunakan eter. Setelah tikus mati, kemudian dilakukan pembedahan
untuk mengambil organ hati pada tikus betina. Pengambilan organ hati tikus betina
dilakukan sebagai berikut :
a) Tikus betina yang telah mati ditelentangkan pada papan bedah
b) Kulit perut bagian bawah diangkat dengan pinset, kemudian pada bagian
tersebut digunting menggunakan gunting bedah
c) Pengguntingan tersebut dilanjutkan kearah perut atas sisi kanan dan kiri hingga
ke bagian bawah kedua kaki depan tikus sehingga seluruh bagian rongga perut
tikus terlihat
d) Organ yang diambil adalah hati dan ginjal
3.4.5.1 Organ Hati (Andreas, Trianto dan Ilmiwan, 2015)
Organ hati yang telah diambil di hari ke-15 dibuat preparat histologinya dan
diamati dengan mikroskop dengan perbesaran 400x. Pada tiap preparat histologi hati,
diambil 10 lapang pandang dan diamati kerusakan selnya. Kerusakan yang ditemui
kemudian diberi skoring untuk mengetahui derajat kerusakannya.
Skoring : 0 : tidak terdapat degenerasi sel pada hati
1 : terjadi degenerasi sel di satu tempat
2 : terjadi degenerasi sel di beberapa tempat
3 : terjadi degenerasi sel di seluruh tempat
3.4.5.2 Organ Ginjal (Leehey et al, 2008)
Organ ginjal yang telah diambil di hari ke-15 dibuat preparat histologinya
dan diamati dengan mikroskop dengan perbesaran 200x. Pada tiap preparat histologi
ginjal, diambil 30 glomerulus dan diamati kerusakan selnya. Kerusakan yang ditemui
kemudian diberi skoring untuk mengetahui derajat kerusakannya.
Skoring : 0 : glomerulus normal
1 : vasodilatasi kapiler
2 : atrofi glomerulus (sclerosis)
34

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penyiapan Larutan Gelatin


Gelatin sapi golongan farmasetik (Gelita) dan pro analisis (Sigma Aldrich)
yang akan diberikan ke tikus uji didispersikan dahulu ke dalam akuades. Secara
organoleptis, warna serbuk gelatin sapi berwarna kuning kecoklatan, namun terlihat
bahwa serbuk gelatin golongan pro analisis memiliki warna coklat yang lebih cerah.
Serbuk gelatin dengan jumlah yang telah disesuaikan dengan bobot tikus
didispersikan ke dalam akuades dengan perbandingan 1 : 5. Serbuk gelatin
dimasukkan ke dalam akuades yang telah dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 60o C
selama ±8 menit hingga membentuk larutan koloid berwarna kuning dan
konsistensinya sedikit kental. Perbandingan ini didapatkan karena sifat gelatin yang
menyerap air sehingga membutuhkan cukup banyak air untuk mendispersikannya.
Hasil larutan koloid gelatin yang didapatkan dengan perbandingan ini menghasilkan
kekentalan yang cukup untuk membantu pemberian larutan koloid gelatin ini dengan
sonde tikus.

4.2 Hasil Penelitian


4.2.1 Nilai LD50 Gelatin Sapi Golongan Farmasetik dan Pro Analisis
Tiga tikus uji menggunakan gelatin sapi golongan farmasetik (GF) diuji
toksisitasnya menggunakan metode Up and Down Procedure dengan dosis tunggal
5000 mg/kgbb (OECD, 2008). Setelah diamati selama 14 hari, tidak terdapat tikus
yang mengalami kematian, sehingga nilai LD50 gelatin sapi golongan farmasetik
adalah lebih dari 5000 mg/kgbb. Penentuan ini menggunakan software AOT 425
StatPgm. Nilai LD50 ini merupakan senyawa yang praktis tidak toksik.
35

Tabel 4.1 Nilai LD50 Gelatin Sapi GF dengan software AOT 425 StatPgm
BAHAN UJI : GELATIN SAPI GOLONGAN FARMASETIK
TIPE TEST : LIMIT TEST
No Dosis Respon Jangka Pendek Respon Jangka Panjang
1. 5000 mg/kgbb O O
2. 5000 mg/kgbb O O
3. 5000 mg/kgbb O O
Keterangan : O : hewan hidup, X : hewan mati

Sampel uji gelatin sapi golongan pro analisis (PA) diuji toksisitasnya pada
tiga tikus betina menggunakan metode Up and Down Procedure dengan dosis
tunggal 5000 mg/kgbb (OECD, 2008).. Setelah dilakukan pengamatan selama 14
hari, tidak terdapat pula tikus yang mengalami kematian, sehingga nilai LD50 gelatin
sapi golongan pro analisis adalah lebih dari 5000 mg/kgbb. Penentuan ini
menggunakan software AOT 425 StatPgm. Nilai LD50 ini termasuk senyawa yang
praktis tidak toksik.

Tabel 4.2 Nilai LD50 Gelatin Sapi PA dengan software AOT 425 StatPgm
BAHAN UJI : GELATIN SAPI GOLONGAN PRO ANALISIS
TIPE TEST : LIMIT TEST
No Dosis Respon Jangka Pendek Respon Jangka Panjang
1. 5000 mg/kgbb O O
2. 5000 mg/kgbb O O
3. 5000 mg/kgbb O O
Keterangan : O : hewan hidup, X : hewan mati

4.2.2 Hasil Bobot Tikus


Bobot badan hewan uji ditimbang tiap harinya mulai dari hari dimana zat uji
diberikan hingga hari ke-14. Perubahan bobot badan tikus kontrol serta tikus uji
dengan gelatin sapi golongan farmasetik maupun pro analisis dapat dilihat di tabel
4.3.
36

Tabel 4.3 Bobot Tikus


No Kelompok Rata-rata bobot tikus (gram) ± SD

1. Kontrol (Akuades) 187,70 ± 27,20

2. Gelatin Sapi Golongan Farmasetik 167,17 ± 8,44

3. Gelatin Sapi Golongan Pro Analisis 180,95 ± 5,34

Perubahan bobot pada tikus uji dianalisa menggunakan analisa statistik Uji
Kruskal Wallis. Dan hasil analisis ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
bermakna antara bobot tikus kontrol, tikus uji dengan gelatin golongan farmasetik
dan pro analisis (p ≥ 0,05) . Hal ini menjelaskan pula bahwa dengan pemberian
gelatin sapi golongan farmasetik dan pro analisis tidak mempengaruhi bobot tikus
(Lampiran 10).

4.2.3. Pengamatan Tanda-Tanda Toksisitas


Tikus kontrol dan uji dengan gelatin sapi golongan farmasetik dan pro analisis
diamati perubahan tingkah lakunya terhadap tanda-tanda toksisitas. Pengamatan ini
dilakukan selama 4 jam pertama setelah zat uji diberikan dan selanjutnya diamati
setiap hari selama 14 hari.
Tabel 4.4 Pengamatan tanda-tanda toksisitas
0 60 120 180 240 H H H H H H H H H H H H H
Pengamatan
m m m m m 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Piloereksi - - - - - - - - - - - - - - - - -
Konvulsi - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Tremor - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Nyeri - - - - - - - - - - - - - - - - -
Mata (grooming) N N N N N N N N NN N N N N N N N N
Refleks Daun
N N N N N N N N N N N N N N N N N N
Telinga
Salivasi - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Lakrimasi - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hiperaktivitas - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Mortalitas - - - - - - - - - - - - - - - - - -
0 m – 240 m : 0 menit hingga 240 menit, H2 – H14 : Hari ke-2 hingga hari ke-14
N : Normal, (-) : tidak terjadi
37

Pengamatan tanda-tanda toksisitas yang diamati meliputi keadaan piloereksi,


konvulsi, tremor, nyeri, mata, refleks daun telinga, adanya salivasi, lakrimasi,
hiperaktivitas dan mortalitas. Pengamatan tanda-tanda toksisitas diamati pada 8 ekor
tikus meliputi dua tikus kontrol, tiga tikus uji sampel gelatin sapi golongan farmasetik
dan tiga tikus uji gelatin sapi golongan pro analisis. Hasil dari pemberian dosis
tunggal 5000 mg/kgbb gelatin sapi golongan farmasetik dan pro analisis pada tikus
betina galur Sprague Dawley tidak muncul adanya tanda-tanda toksisitas tersebut.
Tikus uji memiliki aktivitas yang sama dengan tikus kontrol (Lampiran 11).

4.2.4. Hasil Histopatologi Organ


Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada organ hati dan ginjal tikus kontrol
dan uji dimana organ-organ tersebut diambil di hari ke-15. Tiap organ dibuat preparat
histologinya dan diamati pada 10 lapang pandang pada preparat hati dan 30
glomerulus pada preparat ginjal. Pengamatan histopatologi dilakukan untuk melihat
adanya kelainan atau kerusakan pada organ hati dan ginjal secara mikroskopik.
Gambar histopatologi organ hati dan ginjal bisa dilihat di tabel 4.5.
38

Tabel 4.5 Gambar Histopatologi Organ Hati dan Ginjal


Tikus Perlakuan Gelatin Tikus Perlakuan Gelatin
Organ Tikus Kontrol
Sapi Golongan Farmasetik Sapi Golongan Pro Analisis

Hati

: Vena sentralis : terjadi perlemakan : pelebaran asinus


: Sel hepatosit : Pelebaran asinus (degenerasi sel)
normal (degenerasi sel)

Ginjal

: glomerulus normal : glomerulus mengkerut : glomerulus mengkerut


(atrofi)
: tubulus proksimal (atrofi)
normal : tubulus proksimal : tubulus proksimal
normal normal

Pada pengamatan histopatologi ditemukan beberapa kerusakan pada organ


hati dan ginjal. Histopatologi hati menunjukkan bahwa terjadi degenerasi sel pada
hati tikus uji golongan farmasetik dan pro analisis. Sedangkan pada histopatologi
organ ginjal juga ditemukan kelainan yaitu terjadi atrofi glomerulus. Selain
pengamatan yang dilakukan secara deskriptif, kerusakan yang terjadi pada organ hati
dan ginjal diberikan skoring untuk mengetahui derajat kerusakan kedua organ
tersebut. Hasil dari skoring dapat dilihat di tabel 4.6.
39

Tabel 4.6. Skoring Histopatologi Organ Hati dan Ginjal


No Kelompok Organ Hati Organ Ginjal
1. Kontrol (Akuades) 0,150 ± 0,212 0,00 ± 0,00
2. Gelatin Sapi Golongan Farmasetik 1,066 ± 0,776 0,06 ± 0,03
3. Gelatin Sapi Golongan Pro Analisis 1,100 ± 0,871 0,04 ± 0,07

Skoring yang dilakukan pada histopatologi organ hati dan ginjal kemudian
dianalisis menggunakan statistik. Pengujian statistik menggunakan Uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara
histopatologi organ hati pada kelompok kontrol, kelompok uji gelatin sapi golongan
farmasetik dan pro analisis (p ≥ 0,05). Begitu pula pada histopatologi organ ginjal,
bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kontrol, kelompok uji
gelatin sapi golongan farmasetik dan pro analisis (p ≥ 0,05). Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian gelatin sapi golongan farmasetik maupun pro analisis tidak
mempengaruhi histopatologi organ hati dan ginjal.

4.3 Pembahasan
Uji toksisitas akut ini dilakukan karena gelatin sapi sangat umum digunakan
sebagai zat tambahan pada sediaan makanan dan farmasi. Pada bidang farmasi sendiri
penggunaan gelatin dapat menjadi zat tambahan dalam pembuatan berbagai sediaan
farmasi seperti tablet, suppositoria, kapsul, emulsi dan lain sebagainya.
Salah satu parameter penentuan keamanan suatu senyawa adalah menentukan
nilai LD50. Persyaratan nilai LD50 dari gelatin telah dicantumkan dalam Handbook of
Pharmaceutical Excipients. Namun, untuk nilai LD50 secara spesifik gelatin sapi
belum diketahui sehingga perlu dilakukan uji toksisitas terhadap gelatin sapi untuk
mengetahui tingkat keamanan dari gelatin sapi tersebut. Pada penelitian ini gelatin
sapi yang digunakan yaitu golongan famasetik dan pro analisis. Sampel uji yang
digunakan adalah gelatin sapi golongan farmasetik (Gelita) dan gologan pro analisis
(Sigma Aldrich).
40

Pada uji toksisitas akut yang dilakukan pada gelatin sapi menggunakan
metode Up and Down Procedure (UDP). Metode ini merupakan salah satu metode
alternatif dalam pengujian toksisitas akut yang dikeluarkan oleh OECD. Jika
dibandingkan dengan metode konvensional, metode UDP ini menggunakan hewan
yang relatif lebih sedikit, bahkan sepertiga dibanding dengan metode konvensional.
Selain itu dapat menentukan estimasi nilai LD50 jika dibandingkan dengan metode
lain yang hanya dapat menentukan rentang nilai LD50 (Erkekoglu, 2011). Metode
UDP ini juga telah divalidasi untuk memastikan keakuratan metode dan hasil yang
nantinya akan didapatkan (Ningrum, 2012).
Hewan uji yang digunakan adalah tikus betina galur Sprague Dawley berusia
8-12 minggu pada saat pemberian zat uji. Jenis kelamin hewan uji juga
mempengaruhi respon dalan toksisitas akut. Betina cenderung lebih sensitif dalam
memunculkan tanda-tanda toksisitas dibandingkan jantan (Lipnick,1995). Tikus
betina yang digunakan dalam keadaan belum pernah menikah dan tidak sedang hamil
(OECD, 2008). Galur Sprague Dawley dipilih karena merupakan galur yang paling
sering digunakan untuk penelitian serta memiliki sifat tenang dan mudah dikontrol
Selain itu galur ini bersifat lebih sensitif dibandingkan galur Wistar (Zmarowski, et
al., 2013). Selain itu penelitian ini telah lolos Kaji Etik di Komisi Etik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (Lampiran 2).
Sampel uji gelatin yang diberikan kepada hewan uji dipilih menggunakan rute
oral. Rute oral dipilih karena disesuaikan dengan aplikasi umum gelatin dalam
sediaan farmasi seperti tablet, kapsul, dan emulsi. Untuk mempermudah pemberian
zat uji ke hewan uji, serbuk gelatin dilarutkan terlebih dahulu dengan akuades.
Menurut Handbook of Pharmaceutical Excipients, air yang biasa disebut akuades
sangat penting untuk kehidupan biologis dan keamanannya dalam formulasi sediaan
farmasi tidak perlu diragukan lagi. Selain itu, di dalam Handbook of Toxicology
disebutkan bahwa air merupakan salah satu zat pembawa yang tidak toksik dan tidak
mengiritasi dalam pemberian rute oral (Carol, 1995). Pembuatan larutan koloid
gelatin dilakukan pada suhu 60o C dan pemberian pada hewan uji dilakukan saat
41

koloid gelatin masih bersuhu 30o C untuk mencegah pembentukan gel yang akan
mempersulit pemberian zat uji.
Uji toksisitas akut ini dilakukan pada hewan kontrol dan hewan uji untuk tiap
sampel yang digunakan. Tikus uji yang digunakan terlebih dahulu diaklimatisasi
selama 14 hari untuk proses adaptasi terhadap kondisi yang baru. Selama masa
aklimatisasi tersebut, tikus diberi makan dan minum (ad libitum). Serta diamati pula
perubahan bobot badan tikus. Karena pemberian zat uji diberikan secara oral, hewan
uji harus dipuasakan terlebih dahulu selama semalaman karena dengan adanya
makanan atau zat kimia lainnya yang berada di saluran pencernaan dikhawatirkan
akan ada reaksi antar senyawa (Jothy et al, 2011). Saat pemberian zat uji, tikus
ditimbang bobot badannya terlebih dahulu untuk menyesuaikan dengan dosis. Dan
setelah zat uji selesai diberikan, tikus tetap dipuasakan selama 4 jam. Serta
pengamatan dilakukan selama 14 hari.
Dalam metode UDP, tahap awal yang dilakukan adalah limit test. Dimana
pada tahap ini hanya dilakukan pada sampel uji yang telah diinformasikan bahwa
bersifat tidak toksik. Maksimal penggunaan hewan pada limit test adalah lima ekor.
Menurut Handbook of Pharmaceutical Excipient disebutkan bahwa gelatin memiliki
persyaratan nilai LD50 yaitu 5000 mg/kgbb. Maka, pada limit test, gelatin sapi diuji
toksisitasnya menggunakan dosis 5000mg/kgbb.
Pada prinsipnya, tahap limit test ini tidak bertujuan untuk menentukan suatu
nilai pasti LD50, namun tahap ini dapat sebagai acuan dalam mengklasifikasikan dosis
gelatin sapi kelas farmasetik dan pro analisis yang membuat hewan uji masih
bertahan hidup (Jothy et al, 2011). Setelah dilihat respon hewan uji terhadap sampel,
ternyata 3 hewan uji pertama yang dipakai tidak mengalami kematian sehingga limit
test dapat dihentikan dan tidak perlu dilakukan perlakuan pada tikus lainnya. Karena
pada limit test pengujian gelatin sapi golongan farmasetik dan pro analisis ini tidak
terdapat hewan uji yang mati, maka uji toksisitas yang dilakukan hanya cukup sampai
limit test dan tidak perlu dilakukan main test (OECD, 2008).
Nilai LD50 ditentukan menggunakan software AOTStat425Pgm yang hasilnya
menunjukkan bahwa nilai LD50 gelatin sapi golongan farmasetik dan pro analisis
42

yaitu >5000mg/kgbb. Menurut kategori toksisitas Loomis, senyawa dengan nilai


LD50 >5000 mg/kgbb yang diadministraikan secara oral dianggap merupakan
senyawa praktis tidak toksik (Loomis dan Hayes, 1996). Nilai LD50 gelatin sapi yang
didapatkan ini sesuai dengan persyaratan nilai LD50 gelatin yang tercantum pada
Handbook of Pharmaceutical Excipients. Pengujian toksisitas untuk gelatin sapi
belum pernah dilakukan sebelumnya, namun jika nilai LD50 gelatin sapi
dibandingkan dengan polimer lainnya yang memiliki fungsi sama yaitu sebagai zat
pengikat pada tablet seperti selulosa, tragakan, dan polietilen glikol memiliki nilai
LD50 yaitu > 5 gram/kgbb, 16,4 gram/kgbb, dan > 27,5 gram/kgbb (Rowe, Sheskey
dan Quinn, 2009). Dimana nilai-nilai tersebut jika dibandingkan dengan nilai LD50
gelatin sapi memiliki nilai yang lebih tinggi, yang berarti memiliki keamanan
penggunaan yang lebih tinggi.
Perubahan bobot badan sejak saat tikus diberikan zat uji harus diamati selama
14 hari. Secara umum, perubahan bobot badan hewan uji juga akan menggambarkan
kondisi toksisitas setelah terpapar suatu zat (Jothy et al, 2011). Hasilnya
menunjukkan bahwa bobot tikus terus mengalami kenaikan. Perubahan bobot badan
ini merupakan hal yang wajar karena perubahan bobot badan yang merupakan efek
merugikan akibat pemberian suatu zat adalah jika terjadi penurunan bobot badan yang
signifikan sebesar 10% dari bobot awal (Jothy et al, 2011). Setelah dianalisis dengan
statistik, menunjukkan bahwa pemberian gelatin sapi golongan farmasetik dan pro
analisis tidak berbeda secara bermakna (p ≥ 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian gelatin sapi golongan farmasetik maupun pro analisis tidak mempengaruhi
bobot badan tikus.
Tanda-tanda toksisitas dari hewan uji diamati secara individu selama 14 hari
Parameter tanda toksisitas yang diamati meliputi keadaan piloereksi, konvulsi,
tremor, nyeri, mata, refleks daun telinga, adanya salivasi, lakrimasi, hiperaktivitas
dan mortalitas. Selama 14 hari pengamatan, tikus uji pada sampel gelatin sapi
golongan farmasetik dan pro analisis tidak ditemukan adanya tanda-tanda toksisitas.
Perilaku yang ditunjukkan oleh tikus uji gelatin sapi golongan farmasetik dan pro
analisis merupakan perilaku yang normal dan tidak ada perbedaan dibandingkan
43

dengan sebelum diberikan zat uji dan hewan kontrol. Pengaruh gelatin sapi terhadap
tanda-tanda toksisitas belum pernah dilakukan sebelumnya. namun untuk senyawa
yang memiliki kemiripan dengan gelatin seperti kolagen dan kitosan yang merupakan
eksipien yang berasal dari bagian tubuh hewan telah dilakukan pengamatan tanda-
tanda toksisitasnya. Menurut Marone et al (2010) pada uji toksisitas akut oral kolagen
tidak ditemukan adanya tanda-tanda toksisitas. Begitu pula pada penelitian Pokharkar
et al (2009) yang menguji toksisitas kitosan, hasil yang diperoleh menujukkan bahwa
tidak ditemukan pula tanda-tanda toksisitas ataupun perubahan perilaku pada hewan
uji.
Untuk mengamati kerusakan hewan uji terhadap zat uji, pada hari ke-15
hewan uji dilakukan terminasi. Pengamatan dilakukan pada histopatologi organ hati
dan ginjal. Organ hati dan ginjal sangat penting untuk diamati karena kedua organ
tersebut bertugas dalam menjalankan fungsi proses pencernaan. Organ hati yang
merupakan organ terbesar dan tempat utama dalam metabolisme dan detoksifikasi
obat atau senyawa lainnya. Jika terdapat penumpukan bahan-bahan toksik dalam
parenkim hati maka dapat melukai sel hepatosit dan menyebabkan terjadinya
perubahan histopatologis yang bervariasi. Sedangkan ginjal yang berfungsi sebagai
organ ekskresi dapat menjadi organ sasaran utama dari efek toksik karena peranannya
dalam mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat, kemudian filtrat dibawa melalui sel
tubulus dan mengaktifkan toksikan tertentu (Utomo, 2015).
Hisopatologi organ hati diamati pada 10 lapang pandang di tiap preparat
(Andreas et al, 2015). Pada organ hati tikus kontrol, susunan sel-sel hepatosit
bermuara ke vena sentralis dengan normal dan tidak ditemukan adanya tanda-tanda
patologi. Sedangkan pada organ hati hewan uji, telihat adanya kelainan struktur sel
hati. Kebanyakan, kerusakan histologi hati akibat paparan senyawa yang toksik
meliputi perlemakan hati, kematian sel hati, dan lesi hepatobiliari (Amacher, 1998).
Pada pemberian gelatin sapi golongan farmasetik maupun pro analisis memiliki
kelainan patologis pada hati yang sama. Terlihat adanya tanda awal perlemakan di
hati yaitu terjadi degenerasi sel yang ditandai dengan adanya pelebaran pada asinus.
Secara teori, terjadinya degenerasi sel pada tikus uji terjadi akibat akumulasi bahan
44

toksik dan metabolit lain menyebabkan degenerasi sel (Tatukude, Loho dan Lintong,
2014). Selain itu juga ditemukan sedikit adanya perlemakan yang sudah terbentuk.
Adanya akumulasi lemak di hati merupakan salah satu tipe kerusakan oleh toksin
yang menyebabkan steatosis makrovesikular atau mikrovesikular. Steatosis
merupakan kerusakan hati yang bersifat reversible dimana kerusakan tersebut dapat
kembali normal bila penyebab kerusakan (paparan zat) dihentikan. namun terdapat
kemungkinan akan adanya perubahan sekunder atau bahkan menyebabkan kematian
sel (Amacher, 1998). Histopatologi organ hati yang muncul pada hewan uji diberi
skoring untuk mengetahui derajat kerusakan organ hati (Lampiran 13). Meskipun
ditemukan beberapa kerusakan, hasil analisis statistik dengan Uji ANOVA
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p ≥ 0,5) dengan
pemberian gelatin sapi golongan farmasetik maupun pro analisis terhadap kerusakan
organ hati (Lampiran 14).
Organ ginjal pada tikus kontrol menunjukkan sel yang normal dan tidak
terlihat adanya gangguan. Namun pada tikus uji yang diberikan gelatin sapi golongan
farmasetik ditemukan adanya atrofi pada glomerulus. Begitu pula yang terjadi pada
histopatologi organ ginjal tikus uji gelatin sapi pro analisis yang juga terjadi atrofi
glomerulus, hal ini ditandai dengan melebarnya ruang antara kapsula bowman dan
glomerulus akibat mengkerutnya glomerulus. Munculnya atrofi glomerulus yang
terjadi, disebabkan akibat masuknya senyawa-senyawa yang bersifat toksik ke dalam
filter glomerulus yang menyebabkan pengecilan morfologi ginjal dan aktivitas sel-sel
tubuli yang menjadi barier dari filter glomerulus. Adanya atrofi glomerulus
menggambarkan adanya reaksi antara makromolekul yang terfiltrasi dengan dinding
filter glomerulus (Mansuroh, 2013), sedangkan kondisi tubulus proksimal pada kedua
hewan uji terlihat normal dan tidak terjadi adanya kerusakan. Pada histopatologi
ginjal, hanya ditemukan kerusakan pada glomerulus, maka dilakukan skoring
terhadap kerusakan glomerulus ginjal (Lampiran 16) yang diambil dari 30 glomerulus
di tiap preparat (Leehey et al, 2008). Hasil analisis statistik menggunakan Uji
ANOVA terhadap skoring histopatologi organ ginjal menunjukkan bahwa tidak ada
45

perbedaan yang bermakna (p ≥ 0,05) dari pemberian gelatin golongan farmasetik


maupun pro analisis terhadap kerusakan organ ginjal (Lampiran 17).
Hasil pengamatan pada organ hati dan ginjal tikus uji menunjukkan adaya
kerusakan yang terjadi di kedua organ. Terdapat beberapa kemungkinan penyebab
kerusakan pada hati tikus uji. Proses pembuatan gelatin yang melibatkan beberapa
senyawa kimia yang digunakan dalam proses ekstraksi gelatin seperti asam klorida,
asam sulfat, natrium hidroksida merupakan jenis senyawa yang toksik (Rachmawati
et al, 2011). Selain itu pada pengujian toksisitas ini menggunakan dosis tinggi yaitu
5000 mg/kgbb, sebagaimana diketahui bahwa dosis merupakan hal utama yang
menentukan apakah suatu senyawa bersifat racun atau tidak (Rasyid et al, 2011).
Meskipun demikian, hasil analisis statistik menggunakan Uji ANOVA pada
histopatologi kedua organ ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
bermakna (p ≥ 0,05). Dengan hasil analisis ini dapat menjelaskan bahwa pemberian
gelatin sapi golongan farmasetik dan pro analisis tidak mempengaruhi histopatologi
organ hati dan ginjal tikus.
Beberapa penelitian yang mengamati organ hati dan ginjal terhadap
pemberian gelatin pernah dilakukan walaupun bukan merupakan gelatin sapi.
Pengaruh dari gelatin ayam dengan dosis 5000mg/kgbb terhadap organ hati dan ginjal
pada penelitian Utomo (2015) ditemukan pula kerusakan pada organ hati dan ginjal
dimana terjadi kerusakan hati yang sama, yaitu degenrasi sel. Selain itu, Rachmawati
et al (2011) yang menguji toksisitas gelatin kulit ikan patin siam (Pangasius
hypophthalmus) juga menemukan adanya kerusakan pada organ hati hewan uji yaitu
terjadinya degenerasi sel walaupun kerusakan kedua organ tersebut juga
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p ≥ 0,05) dari
pemberian gelatin terhadap histopatologi organ hati dan ginjal.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pemberian sampel gelatin sapi
dengan dua golongan tidak memiliki perbedaan dalam beberapa parameter yang
diamati. Kedua golongan gelatin sapi tersebut memiliki nilai LD50 > 5000 mg/kgb
sehingga masuk dalam kategori 5, perubahan bobot badan yang mengalami kenaikan,
46

tidak adanya tanda-tanda toksisitas yang muncul, serta histopatologi organ hati dan
ginjal dengan perbedaan yang tidak bermakna.
Jika dilihat dari hasil penelitian di atas, pemberian gelatin sapi golongan
farmasetik dan pro analisis tidak memiliki perbedaan secara bermakna. Secara teori,
gelatin sapi golongan pro analisis memang bukan dimaksudkan untuk tujuan
konsumsi, namun gelatin sapi golongan ini digunakan untuk kultur sel pada analisis
di tingkat biomolekul (IACUC, 2015). Selain itu, perbedaan golongan dari kedua
gelatin ini yaitu tingkat kemurniannya, dimana golongan pro analisis memiliki
kemurnian yang lebih tinggi sehingga diduga bahwa pada proses ekstraksi gelatin
tidak terlalu memperhatikan profil keamanannya jika dibandingkan dengan gelatin
sapi golongan farmasetik.
47

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diambil beberapa
kesimpulan, diantaranya :
1. Nilai LD50 yang didapat dari hasil uji toksisitas akut gelatin sapi golongan
farmasetik maupun pro analisis memiliki nilai lebih besar dari 5000
mg/kgbb sehingga kedua golongan ini merupakan senyawa yang tidak
toksik
2. Pengamatan tanda-tanda toksisitas yang dilakukan pada tikus yang
diberikan gelatin sapi golongan farmasetik maupun pro analisis terlihat
normal jika dibandingkan dengan sebelum pemberian dan tikus kontrol
3. Secara mikroskopis, kerusakan histopatologi organ hati dan ginjal tikus
betina pada pemberian gelatin sapi golongan farmasetik dan pro analisis
tidak memiliki perbedaan yang bermakna terhadap kelompok kontrol (p ≥
0,05).

5.2. Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai uji toksisitas yang dilakukan
pada hewan uji jantan dan betina. Selain itu perlu dilakukan uji toksisitas subkronik
dan kronik untuk mengetahui pengaruh penggunaan dalam jangka waktu yang lama
terhadap perubahan bobot badan, tingkah laku, dan kerusakan pada organ sasaran
dengan pemberian Gelatin Sapi.
48

DAFTAR PUSTAKA

Amacher, Dav id E. 1998. Serum Transaminase Elevations as Indicators of Hepatic


Injury Following the Administration of Drugs. Drug Safety Evaluation, Pfizer
Central Research, Groton, Connecticut 06340. REGULATORY
TOXICOLOGY AND PHARMACOLOGY 27, 119–130

Andreas, Trianto dan Ilmiwan. 2015. Gambaran Histologi Regenerasi Hati Pasca
Penghentian Pajanan Monosodium Glutamat pada Tikus Wistar. Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura.Vol. 3, No. 1, Hal 2

Botham, Philip A. 2003. Acute Systemic Toxicity- prospect for tiered testing
strategies. Toxicology in Vitro 18. 227-230

BPOM RI. 2014. Peraturan Kepala dan Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan
Makanan, 20-31

Carol, S.A. Acute, Subchronic and Chronic Toxicology. In CRC Handbook of


Toxicology; Michael, J.D., Mannfred, A.H., Eds.; CRC Press Inc.: Boca
Raton, FL, USA, 1995; pp. 51-104.

Dellman. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner Edisi III. Terj dari Text Book of
Hystology Veteriner oleh Hartono. Jakarta : UIN Press, 411-445

Erkekoglu, Giray, dan Basaran . 2011. 3R Principle and Alternative Toxicity Testing
Methods. FABAD Journal of Pharmaceutical Science, Vol 36, pp. 101-117

Europian Comission. 2011. Notices From Europian Union Institutions, Bodies,


Offices and Agencies. Official Journal of the European Union, pp 5-6

GMIA. 2012. Gelatin Manufacturers Institute of America . America, pp 6-19


49

Guyton, A.C., Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedoteran edisi ke-9. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC., 156-168, 244-260

Hastuti et al. 2007. Pengenalan dan Proses Pembuatan Gelatin. MEDIAGRO. Vol 3
No 1. Suhenry, Sri, dkk. 2015. Proses Pembuatan Gelatin dari Kulit Kepala
Sapi dengan Proses Hidrolisis Menggunakan Katalis HCl. Program Studi
Teknik Kimia, FTI, UPN “Veteran” Yogyakarta. Hal 4-6

Hau dan Hoosier. 2003. Handbook of Laboratory Animal Science. Second Edition.
Volume 2. United States of America : CRC Press

IACUC . 2015.Animals Use of Pharmaceutical & Non- Pharmaceutical Grades


Subtances in Animal. Duke University & Duke University Medical Center
Animal Care & Use Program Policy. Pp 1-3

Jothy et al. 2011. Acute Oral Toxicity of Methanolic Seed Extract of Cassia fistula in
Mice. www.mdpi.com/journal/molecules. ISSN 1420-3049, pp 5268-5282

Kamal et al. 2012. Acute Toxicity Study of Standardized Mitragyna speciosa Korth
Aqueous Extract in Sprague Dawley Rats. Journal of Plant Studies; Vol. 1,
No. 2; 2012 ISSN 1927-0461, pp 120-129

Kimani et al. 2014. Safety of Prosopis juliflora (Sw.) DC.(Fabaceae) and Entada
leptostachya Harms (Leguminosae) Extract Mixtures Using Wistar Albino
Rats. British Journal of Pharmaceutical Research. 4(21): 2475-2483, 2014
ISSN: 2231-2919

Krinke, G.J. 2000. The Laboratory Rat. San Diego, CA:Academic Press. Hal:150-152

Leehey et al. 2008. Glomerular Renin Angiotensin System in Streptozotocin Diabetic


and Zucker Diabetic Fatty Rats. Translational Research. Volume 151, No. 4,
pp 208-215
50

Lehninger. 1990. Dasar-Dasar Biokimia Jilid I. Penerbit Erlangga, Jakarta. Hal. 178 –
183.

Lipnick, et al. 1995. Comparison oh the Up and Down, Conventional LD50, and
Fixed-Dose Acute Toxicity Procedures.Fd Chem Toxic.Vol.33, No.3 pp.223-
231

Loomis dan Hayes. 1996. Loomis's Essentials of Toxicology .Fourth Edition. London
: Academic Press, Inc

Mansuroh, Farichah. 2013. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Kulit Akar Ginseng
Kuning (Rennellia elliptica Korth.) terhadap Mencit (Mus musculus). Skripsi.
FKIK : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Marone et al. 2010. Safety and toxicological evaluation of undenatured type II


collagen. Toxicology Mechanisms and Methods, 2010; 20(4): 175–189

Ningrum, Sri Rahayu Widya. 2012. Validasi Uji Toksisitas Akut Metode
Organization For Economic Cooperation And Development (OECD) 425
Pada Mencit Betina Menggunakan Tembaga (Ii) Sulfat Pentahidrat. Skripsi.
FMIPA: Universitas Indonesia

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). (1987). OECD


Guidelines for Testing of Chemicals. Test No. 401: Acute Oral Toxicity.
Paris: OECD, 1 -6.

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). (2001c) OECD


Guidelines for Testing of Chemicals. Test No. 423: Acute Oral Toxcity—
Acute Toxic Class Method. Paris: OECD, 3-6.

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). (2001a). OECD


Guidelines for Testing of Chemicals. Test No. 425: Acute Oral Toxicity: Up-
and-Down Procedure. (http://lysander.sourceoecd.org/). Paris: OECD, 1-26.
51

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). (2001b) OECD


Guidelines for Testing of Chemicals. Test No. 420: Acute Oral Toxicity:
Fixed Dose Procedure. Paris: OECD, 4-8.

Osterberg, NA. 2003. Toxicity of Excipients—a Food and Drug Administration.


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14555410 (diakses pada 20 Januari)

Pokharkar et al. 2009. Acute and Subacute Toxicity Studies of Chitosan Reduced
Gold Nanoparticles: A Novel Carrier for Therapeutic Agents. Journal of
Biomedical Nanotechnology Vol.5, 1–7, 2009

Quantaniah, Noreina, dan Syakinah. 2013. Selecting Halal Food : A Comparative


Study Of The Muslim And Non Muslim Malaysian Student Consumer.
Malaysia : Faculty of Technology Management and Busines, Universiti Tun
Hussein Onn

Rachmawati et al. 2011. Toksisitas Subkronik Gelatin Kulit Ikan Patin Siam
(Pangadius hypophthalmus) terhadap Mencit (Mus musculus). Jurnal
Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 6 No. 1, Juni
2011, hal 81-90

Rasyid, M., Usmar, dan Subehan. 2011. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol
Lempuyang Wangi (Zingiber aromaticum Val.) pada Mencit. Fakultas
Farmasi Universitas Hasanuddin, Makassar.

Rowe, Sheskey dan Quinn . 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipients fifth


edition. Great Britain : Butler & Tanner, Frome, Somerset, pp 295-298

Rowe, Sheskey dan Quinn . 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients sixth


edition. Great Britain : Butler & Tanner, Frome, Somerset, pp 278-281
52

Sabbani, Ramesh dan Shobharani. 2015. Acute Oral Toxicity Studies of Ethanol Leaf
Extract of Derris Scandens & Pulicaria Wightiana in Albino Rats.
International Journal of Pharmacological Research. ISSN : 2277-3312

Sass, Neil. 2000. Humane Endpoints and Acute Toxicity Testing. ILAR Journal
Volume 41, Number 2. 114-123

Sengupta, Pallav. 2013. The Laboratory Rat: Relating Its Age with Human’s.
International Journal of Preventive Medicine, Vol 4, No 6. Hal 624-630

Tatukude, Loho dan Lintong. 2014. Gambaran histopatologi Hati Tikus Wistar yang
Diberikan Boraks. Jurnal e-Biomedik (eBM), Volume 2, Nomor 3, pp 6

Tortora GL. Principles of Human Anatomy. Ed ke-10. USA: John Wiley & Sons, Inc

U.S. Department of Health and Human Services Food and Drug Administration.
2005. Guidance for Industry Nonclinical Studies for the Safety Evaluation of
Pharmaceutical Excipients. United States

United Nations.2011. Globally Harmonized System of Classification and Labelling of


Chemicals. Fourth revised edition. New York dan Geneva:United Nation, 279

Utomo, Budi. 2015. Pengaruh Pemberian Gelatin Tulang Ayam terhadap Gambaran
Makroskopis Hati dan Ginjal Mencit. Skripsi Fakultas Peternakan :
Universitas Hasanuddin

Westat. (2001). Acute oral toxicity software program; AOT425StatPgm;


AOT425StatPgm Program User’s Manual; and Simulation Results for the
AOT425StatPgm Program. 12 Februari 2012.

Whishaw, Haun dan Kolb. 1999. Analysis of Behavior in Laboratory Rodents. dalam
: Modern Techniques in Neuroscience Research. Canada : University of
Lethbridge, Department of Psychology, . Chapter 44. 1243-1275
53

Zmarowski, Amy, et al., 2013. Differential Performance of Wistar Han and Sprague
Dawley Rats in Behavioral Tests: Differences in Baseline Behavior and
Reactivity to Positive Control Agents. WIL Research Europe, B.V., ’s-
Hertogenbosch, The Netherlands
54

Lampiran 1. Surat Keterangan Sehat Hewan Uji


55

Lampiran 2. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik


56

Lampiran 3. Sertifikat Gelatin Sapi Golongan Farmasetik


57

Lampiran 4. Sertifikat Gelatin Sapi Golongan Pro Analisis


58

Lampiran 5. Alur kerja

1. Penyiapan Bahan Uji

Larutan gelatin
didinginkan hingga
Dilarutkan dalam 4
750 mg gelatin suhu 30o C dan
ml Aquades pada
ditimbang diberikan kepada
suhu diatas 60o C
hewan uji pada
suhu tersebut

2. Uji Toksisitas

Limit Test

Sebelum pemberian
dosis, tikus 4 ml larutan gelatin Amati tanda
diaklimatisasi diadministrasikan toksisitas pada tikus
selama 10 hari dan ke satu hewan uji tiap 30 menit
dipuasakan secara oral selama 4 jam
semalaman

Tikus pertama
Setelah diamati
hidup, maka 2 tikus
selama 14 hari, Amati kematian
lainnya diberi
ketiga tikus tetap selama 2 hari
perlakuan yang
hidup
sama

Maka, limit test Dapat disimpulkan


dihentikan dan tidak bahwa nilai LD50 ≥
dilakukan main test 5000 mg/kgbb
59

Lampiran 6. Rancangan Uji


Kelompok Jumlah Perlakuan Lama Parameter Pengamatan
Tikus Sebelum Uji Uji Setelah Uji Pemberian
Limit Test
I (Kontrol) 2 Tikus diberikan aquades i. Tanda dan gejala toksisitas
Dipuasakan selama 12 jam (tidak sebanyak ±4ml Dipuasakan selama 4 jam (kulit dan bulu, mata, konvulsi,
II (Dosis 1 diberi makan, namun tetap diberi Tikus diberikan larutan setelah pemberian (tetap 1 hari tremor dan mati)
5000 minum) gelatin sapi dengan diberikan minum) ii. Pengamatan organ hati
mg/kgBB) dosis 5000mg/kgBB
Jika tikus uji tetap hidup setelah 48 jam pemberian larutan gelatin sapi, maka limit test dilanjutkan ke termin kedua dengan memberikan larutan gelatin sapi pada 2 ekor tikus uji
lainnya (perlakuan sebelum dan sesudah uji sama dengan tikus uji pertama). Sedangkan, jika tikus uji mati pada termin pertama limit test, maka harus dilakukan main test.
Jika hasil uji termin kedua menunjukkan tidak ada tikus uji yang mati, maka nilai LD50 >5000 mg/kg BB. Sedangkan, jika hasil uji termin kedua menunjukkan adanya kematian
pada salah satu tikus uji, maka diperlukan limit test termin ketiga.
Apabila hasil dari ketiga termin limit test menunjukkan adanya kematian hanya pada 2 ekor tikus, maka limit test dapat dihentikan dan disimpulkan bahwa nilai LD50 gelatin
sapi adalah >5000 mg/kgbb. Sedangkan jika terdapat lebih dari 2 tikus yang mati, maka pengujian harus dilanjutkan ke main test (OECD, 2008).
Main Test
Dosis yang diberikan pada uji utama adalah 55, 175, 550, 1750 dan 5000 mg/kgBB. Pemberian dosis dilakukan secara bertahap dan menggunakan tikus yang berbeda untuk
masing-masing dosis
I (Kontrol) 2 Tikus diberikan aquades i. Tanda dan gejala toksisitas (kulit
Dipuasakan selama 12 jam (tidak sebanyak ±4ml Dipuasakan selama 4 jam dan bulu, mata, letargi, konvulsi,
II (Dosis 1 diberi makan, namun tetap diberi Tikus diberikan larutan setelah pemberian (tetap 1 hari tremor, diare dan mati)
awal 175 minum) gelatin sapi sebanyak diberikan minum) ii. Pengamatan organ hati
mg/kgBB) 175mg/kgBB
Jika setelah 48 jam tikus uji bertahan hidup, maka pemberian dosis berikutnya ditingkatkan (550 mg/kgBB)
Jika setelah 48 jam tikus uji mati, maka pemberian dosis berikutnya diturunkan (55 mg/kgBB)
Uji utama dihentikan hingga uji memenuhi salah satu kriteria:
a. 3 hewan berturut-turut bertahan di atas batas dosis;
b. 5 pembalikan (reverse) terjadi pada setiap 6 hewan yang diuji berturut-turut;
c. Sedikitnya terdapat 4 hewan telah mengalami pembalikan pertama.
60

Lampiran 7. Perhitungan Dosis

Limit Test (5000 mg/kg bb)

𝑚𝑔
5000 ( ) 𝑥0,16 (𝑘𝑔)
𝑘𝑔𝐵𝐵
4𝑚𝑙 = 𝑚𝑔
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 = 800𝑚𝑔/4𝑚𝑙
= 200 mg/ml

Larutan gelatin sapi diberikan kepada hewan uji dengan VAO 4 ml. Hal ini
disebabkan kelarutan gelatin sapi dalam aquades adalah 1:5 dan dosis uji yang
digunakan sangat besar. Sehingga 800 mg serbuk gelatin didispersikan dalam
4 ml akuades bersuhu 60o C. Dan konsentrasi zat uji yang diberikan yaitu
sebesar 200 mg/ml.
61

Lampiran 8. Penarikan Kesimpulan Limit Test (OECD, 2008)

Nilai LD50 kurang dari 5000mg/kgbb adalah ketika 3 atau lebih hewan mati hidup
setelah pemberian dosis uji ;

O XO XX
O OX XX
O XX OX
O XX X

Nilai LD50 lebih dari 5000mg/kgbb adalah ketika 3 atau lebih hewan hidup setelah
pemberian dosis uji ;

O OO
O XO XO
O XO O
O OX XO
O OX O
O XX OO

O : hidup
X : mati
62

Lampiran 9. Gambar Kegiatan Penelitian


Gambar Keterangan Gambar Keterangan

Serbuk Gelatin Serbuk Gelatin


Sapi Golongan Sapi Golongan
Farmasetik Pro Analisis

Serbuk gelatin Larutan koloid


dilarutkan dengan Gelatin Sapi

aquades bersuhu Golongan


Farmasetik dan Pro
60o C
Analisis

Penimbangan Larutan koloid


bobot hewan uji gelatin disonde
ke hewan uji

Hewan uji di Pada hari ke-15,


kandang dilakukan
terminasi pada
hewan uji

Organ hati, ginjal Preparat histologi


kanan dan kiri organ hati dan
ginjal
63

Lampiran 10. Hasil Nilai LD50


1. Nilai LD50 Gelatin Sapi Golongan Farmasetik
64

2. Nilai LD50 Gelatin Sapi Golongan Pro Analisis


65

Lampiran 11. Data Bobot Tikus

Nama Hari ke-


Tikus 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
K1 150 158 159 164 164 166 168 170 173 171 175 178 175 175 181
K2 183 202 196 201 206 200 205 210 210 211 208 216 216 220 220
GF1 150 155 162 162 160 161 162 158 161 164 168 164 164 169 173
GF2 162 162 174 174 176 176 177 178 181 180 180 182 182 181 189
GF3 154 161 158 159 158 163 163 162 163 165 160 166 168 168 168
PA1 184 182 179 181 185 185 183 182 187 188 191 191 194 195 196
PA2 177 165 174 179 175 176 178 179 181 183 187 184 183 186 186
PA3 168 163 170 172 171 173 179 177 177 181 186 182 182 182 184

Rerata bobot ±
Kelompok Rerata bobot tikus (gram) SD

Kontrol 1 168,46
187,7 ± 27,20
Kontrol 2 206,93

GF 1 162,2

GF 2 176,93 167,17 ± 8,44

GF 3 162,4

PA 1 186,86

PA 2 179,53 180,95 ± 5,34

PA 3 176,46
66

Lampiran 12. Analisa Data Bobot Tikus


1. Uji Normalitas Kolmogrov-Smirnov
Tujuan : Untuk melihat distribusi data bobot tikus
Hipotesis : Ho : Data bobot tikus terdistribusi normal
Ha : Data bobot tikus tidak terdistribusi normal
Pengambilan Keputusan :
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Hari_0 Hari_1 Hari_2 Hari_3 Hari_4 Hari_5 Hari_6 Hari_7 Hari_8 Hari_9 Hari_10 Hari_11 Hari_12 Hari_13 Hari_14

N 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8

Mean 166.0000 168.5000 171.5000 174.0000 174.3750 175.0000 176.8750 177.0000 179.1250 180.3750 181.8750 182.8750 183.0000 184.5000 187.1250
a,b
Normal Parameters Std. 14.19255 15.75708 12.53566 13.50132 15.62907 12.82854 13.76785 15.82945 15.36636 15.09908 14.78839 16.17262 16.30951 16.87771 15.93233

Deviation

Absolute .176 .338 .171 .177 .209 .219 .203 .251 .201 .182 .144 .222 .250 .215 .203

Most Extreme Differences Positive .176 .338 .171 .177 .209 .219 .203 .251 .201 .182 .144 .222 .250 .215 .203

Negative -.156 -.196 -.141 -.133 -.147 -.138 -.140 -.125 -.119 -.139 -.110 -.132 -.122 -.164 -.115

Kolmogorov-Smirnov Z .498 .956 .484 .501 .590 .619 .575 .710 .570 .514 .406 .629 .707 .607 .575

Asymp. Sig. (2-tailed) .965 .321 .974 .963 .877 .838 .896 .694 .902 .954 .997 .824 .699 .855 .896

a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

Keputusan : Uji normalitas bobot tikus terdistribusi dengan normal (p≥0,05)


67

2. Uji Homogenitas Levene


Tujuan : Untuk melihat data bobot tikus homogen atau tidak
Hipotesis Ho : Data bobot tikus homogen
Ho : Data bobot tikus tidak homogen
Pengambilan Keputusan :
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

Test of Homogeneity of Variances


Levene df1 df2 Sig.
Statistic
Hari_0 9.723 2 5 .019
Hari_1 37.995 2 5 .001
Hari_2 22.077 2 5 .003
Hari_3 29.447 2 5 .002
Hari_4 19.323 2 5 .004
Hari_5 17.468 2 5 .006
Hari_6 46.394 2 5 .001
Hari_7 28.463 2 5 .002
Hari_8 16.286 2 5 .006
Hari_9 40.752 2 5 .001
Hari_10 11.951 2 5 .012
Hari_11 24.473 2 5 .003
Hari_12 21.240 2 5 .004
Hari_13 38.610 2 5 .001
Hari_14 13.726 2 5 .009

Keputusan : Karena terdapat (p≤0,05) maka dapat disimpulkan bahwa data bobot
tikus tidak homogen, maka uji homogenitas bobot tikus dari hari ke-0 sampai hari ke-
14 dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis
68

3. Uji Kruskal Wallis terhadap bobot tikus


Tujuan : Mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data bobot tikus

Hipotesis Ho : Data bobot tikus tidak berbeda secara bermakna


H1 : Data bobot tikus berbeda secara bermakna

Pengambilan Keputusan
Jika nilai signifikansi ≥0,05 maka Ho diterima
Jika nilai signifikansi ≤0,05 maka Ho ditolak

Test Statisticsa,b

Hari_0 Hari_1 Hari_2 Hari_3 Hari_4 Hari_5 Hari_6 Hari_7 Hari_8 Hari_9 Hari_10 Hari_11 Hari_12 Hari_13 Hari_14

Chi-Square 3.128 2.889 1.490 2.694 1.806 2.249 3.806 2.694 2.249 3.806 3.806 3.261 3.261 3.806 1.806
Df 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Asymp. Sig. .209 .236 .475 .260 .405 .325 .149 .260 .325 .149 .149 .196 .196 .149 .405

a. Kruskal Wallis Test


b. Grouping Variable: Perlakuan

Keputusan : Data bobot tikus kelompok uji dan kelompok kontrol tidak berbeda secara bermakna (p≥0,05)
69

Lampiran 13. Tanda-tanda Toksisistas


30 menit 4 jam 24 jam
Pengamatan
K1 K2 T1 T2 T3 T4 T5 T6 K1 K2 T1 T2 T3 T4 T5 T6 K1 K2 T1 T2 T3 T4 T5 T6
Piloereksi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Konvulsi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Tremor - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Nyeri - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Mata
N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
(grooming)
Refleks Daun
N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
Telinga
Salivasi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Lakrimasi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hiperaktivitas - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Mortalitas - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
48 jam 1 Minggu 2 Minggu
Pengamatan
K1 K2 T1 T2 T3 T4 T5 T6 K1 K2 T1 T2 T3 T4 T5 T6 K1 K2 T1 T2 T3 T4 T5 T6
Piloereksi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Konvulsi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Tremor - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Nyeri - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Mata
N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
(grooming)
Refleks Daun
N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
Telinga
Salivasi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Lakrimasi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hiperaktivitas - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Mortalitas - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Keterangan:
K1,2: Kontrol 1,2 T1,2,3 : Tikus Uji Sampel Gelatin Sapi Golongan Farmasetik
N: Normal, (-): Tidak terjadi T4,5,6 : Tikus Uji Sampel Gelatin Sapi Golongan Pro Analisis
70

Keterangan :
Piloereksi Bulu hewan terlihat keras atau tegak sebagian

Konvulsi Otot-otot hewan mungkin kaku aau lembek. Hal ini berlangsung selama beberapa
detik atau mungkin lebih lama. Jika kejang berlangsung selama lebih dari satu
menit dan diulangi selama 5 kali sehari, maka hewan harus dibunuh

Tremor Hewan dapat menunjukkan otot berkedut atau gerakan kulit yang cepat

Nyeri Tikus yang nyeri akan menyipitkan bagian orbital, melipat daun telinga ke bagian
dalam dan menjauhkan kumisnya dari wajah

Mata (grooming) Hewan akan mengeluarkan cairan berwana merah yang keluar di dekat matanya.
Secara normal, hewan akan melakukan perawatan diri (grooming) dengan cairan
ini.

Refleks daun Dengan mencubit daun telinga biasanya hewan akan mengguncang kepalanya. Jika
telinga tidak ada reflex maka adanya ketidaknormalan

Salivasi Salivasi yang berlebhan atau abnormal ditandai dengan kegagalan untuk menelan
merupakan respon terhadap paparan zat uji.

Lakrimasi Merupakan peningkatan produksi air mata pada tikus. Cairan merah yang keluar
dari matanya mengindikasikan tikus mengalami stress.

Hiperaktivitas Merupakan reaksi yang berlebihan akibat adanya sentuhan atau suara. Bisa terjadi
akibat ketakutan berlebih atau perubahan neuronal

Mortalitas Tahapan kematian pada tikus memiliki beberapa ciri :

- Kematian yang diprediksi bias dilihat saat pengamatan berlangsung yaitu


kondisi ketika tikus tidak mampu mencapai air minum dan makanan
- Kondisi hampir mati adalah jika muncul tanda-tanda indikatif seperti
kejang-kejang, penyerahan diri, dan tremor.
- Moribound atau sekarat merupakan ketidakmampuan tikus untuk
bertahan hidup walaupun sudah dirawat.
71

Lampiran 14. Histopatologi Organ Hati

No Gambar Histopatologi Keterangan

1. : Vena sentralis

: Sel hepatosit
normal

Jaringan Normal

Hati kontrol (1) perbesaran 400x

2. : Vena sentralis

: Sel hepatosit
normal

Jaringan Normal

Hati kontrol (2) perbesaran 400x

3. : Pelebaran asinus
(degenerasi sel)

Hati Gelatin Sapi GF (1) perbesaran 400x


72

4. : terjadi
perlemakan

: Pelebaran asinus
(degenerasi sel)

Hati Gelatin Sapi GF (2) perbesaran 400x

5. : terjadi
perlemakan

: Pelebaran asinus
(degenerasi sel)

Hati Gelatin Sapi GF (3) perbesaran 400x

6. : Pelebaran asinus
(degenerasi sel)

Hati Gelatin Sapi PA (1) perbesaran 400x


73

7. : Pelebaran asinus
(degenerasi sel)

Hati Gelatin Sapi PA (2) perbesaran 400x

8. : Pelebaran asinus
(degenerasi sel)

Hati Gelatin PA (3) perbesaran 400x


74

Lampiran 15. Skoring Histopatologi Organ Hati

Sampe LP 1 LP 2 LP 3 LP 4 LP 5 LP 6 LP 7 LP 8 LP 9 LP 10 Rata-rata
l

GELATIN SAPI GOLONGAN FARMASETIK

GF1 3 2 2 2 2 1 2 1 0 2 1,7

GF2 1 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1,3

GF3 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,2

Rata-rata Skor Gelatin Sapi Golongan Farmasetik 1,06

GELATIN SAPI GOLONGAN PRO ANALISIS

PA1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0,1

PA2 0 2 1 2 0 2 2 2 2 2 1,5

PA3 2 2 2 2 2 2 1 2 1 1 1,7

Rata-rata Skor Gelatin Sapi Golongan Pro Analisis 1,1

GELATIN SAPI KONTROL

K1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0,3

K2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,0

Rata-rata Skor Kontrol 0,15


LP : lapang pandang
Skoring : 0 : sel tampak normal
1 : ditemukan degenerasi atau nekrosis terfokus di satu tempat
2 : ditemukan degenerasi atau nekrosis terfokus di beberapa tempat
3 : ditemukan degenerasi atau nekrosis terfokus di seluruh tempat

No Perlakuan Rerata Skoring Hati


1. Kontrol (Akuades) 1,066 ± 0,776
2. Gelatin Sapi Golongan Farmasetik 1,100 ± 0,871
3. Gelatin Sapi Pro Analisis 0,150 ± 0,212
75

Lampiran 16. Analisis Skoring Histopatologi Organ Hati

1. Uji Normalitas terhadap skoring histopatologi organ hati


Tujuan : untuk melihat data skoring histopatologi organ hati terdistribusi
normal atau tidak

Hipotesis :
Ho = Data skoring histopatologi organ hati terdistribusi normal
Ha = Data skoring histopatologi organ hati tidak terdistribusi normal

Pengambilan Kesimpulan : Ho diterima jika nilai signifikan ≥ 0,05


Ho ditolak jika nilai signifikan ≤ 0,05

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Skoring
N 8
Normal Parametersa Mean 8.5000
Std. Deviation 7.63451
Most Extreme Absolute .264
Differences Positive .264
Negative -.222
Kolmogorov-Smirnov Z .748
Asymp. Sig. (2-tailed) .631
a. Test distribution is Normal.

Keputusan : Uji normalitas skoring histopatologi organ hati terdistribusi


dengan normal (p≥0,05)
76

2. Uji Homogenitas Levene terhadap skoring histopatologi organ hati


Tujuan : Untuk melihat data skoring histopatologi organ hati terdistribusi secara
homogen atau tidak

Hipotesis Ho : Data skoring histopatologi hati terdistribusi homogen


Ha : Data skoring histopatologi hati terdistribusi tidak homogen

Pengambilan Keputusan : Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima


Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

Test of Homogeneity of Variances


Skoring

Levene Statistic df1 df2 Sig.

2.210 2 5 .205

Keputusan : Data skoring histopatologi organ hati terdistribusi secara


homogen (p ≥ 0,05)
77

3. Uji ANOVA
Tujuan : untuk menentukan ada tidaknya perbedaan pada histopatologi organ hati
tikus pada seluruh kelompok hewan uji

Hipotesis :
Ho : Derajat kerusakan histopatologi hati tikus tidak berbeda secara bermakna
Ha : Derajat kerusakan histopatologi hati tikus berbeda secara bermakna

Pengambilan keputusan : - Jika nilai signifikansi ≥0,05, maka Ho diterima


- Jika nilai signifikansi ≤0,05, maka Ho ditolak

ANOVA
skoring

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 130.833 2 65.417 1.180 .380


Within Groups 277.167 5 55.433
Total 408.000 7

Keputusan : Skoring histopatologi organ hati tikus kelompok uji gelatin sapi
golongan farmasetik dan pro analisis tidak berbeda secara bermakna
dibandingkan terhadap kelompok kontrol (p≥0,05)
78

4. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) terhadap skoring histopatologi organ hati
Tujuan : Untuk mengetahui letak perbedaan data skoring histopatologi organ hati
Hipotesis Ho: Data skoring histopatologi organ hati tidak memiliki perbedaan
Ha: Data skoring histopatologi organ hati memiliki perbedaan

Pengambilan Keputusan : Ho diterima jika nilai signifikan ≥ 0,05


Ha ditolak jika nilai signifikan ≤ 0,05

Multiple Comparisons

Skoring
LSD

Mean Std. 95% Confidence Interval

(I) kelompok (J) kelompok Difference (I-J) Error Sig. Lower Bound Upper Bound

Kontrol gelatin sapi gf -9.16667 6.79665 .235 -26.6380 8.3047

gelatin sapi pa -9.50000 6.79665 .221 -26.9713 7.9713

gelatin sapi gf Kontrol 9.16667 6.79665 .235 -8.3047 26.6380

gelatin sapi pa -.33333 6.07911 .958 -15.9602 15.2935

gelatin sapi pa Kontrol 9.50000 6.79665 .221 -7.9713 26.9713

gelatin sapi gf .33333 6.07911 .958 -15.2935 15.9602

Keputusan :

- Tidak ada perbedaan yang bermakna antara histopatolgi hati tikus kontrol
dengan tikus uji gelatin sapi golongan farmasetik (p ≥ 0,05)
- Tidak ada perbedaan yang bermakna antara histopatolgi hati tikus kontrol
dengan tikus uji gelatin sapi golongan pro analisis (p ≥ 0,05)
- Tidak ada perbedaan yang bermakna antara histopatolgi hati tikus uji
golongan pro analisis dengan tikus uji gelatin sapi golongan farmasetik
(p ≥ 0,05)
79

Lampiran 17. Gambar Histopatologi Organ Ginjal

No. Gambar Keterangan

1.
: glomerulus
normal
: tubulus
proksimal normal

Ginjal Kontrol (1) perbesaran 200x


2.
: glomerulus
normal
: tubulus
proksimal normal

Ginjal Kontrol (2) perbesaran 200x


3.
: glomerulus
normal
: tubulus
proksimal normal

Ginjal Gelatin Sapi GF (1) perbesaran 200x


80

4.
: glomerulus
mengkerut (atrofi)
: tubulus
proksimal normal

Ginjal Gelatin Sapi GF (2) perbesaran 200x


5.
: glomerulus
normal
: tubulus
proksimal normal

Ginjal Gelatin Sapi GF (3) perbesaran 200x


6.
: glomerulus
normal
: tubulus
proksimal normal

Ginjal Gelatin Sapi PA (1) perbesaran 200x


7.
: glomerulus
mengkerut (atrofi)

Ginjal Gelatin Sapi PA (2) perbesaran 200x


81

8.
: glomerulus
normal
: tubulus
proksimal normal

Ginjal Gelatin Sapi PA (3) perbesaran 200x


82

Lampiran 18. Skoring Histopatologi Organ Ginjal

GELATIN SAPI GELATIN SAPI


GELATIN SAPI
GOLONGAN FARMASETIK GOLONGAN PRO
Glomerulus ke- KONTROL
ANALISIS
PG1 PG2 PG3 PA1 PA2 PA3 K10 K1
1 0 0 0 0 2 0 0 0
2 1 0 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0 0 0
4 0 2 0 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 0 0 0 0
6 0 0 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0 0 0
8 0 0 0 0 0 0 0 0
9 0 0 1 0 0 0 0 0
10 0 0 0 0 0 0 0 0
11 0 0 0 0 2 0 0 0
12 0 1 1 0 0 0 0 0
13 0 0 0 0 0 0 0 0
14 0 0 0 0 0 0 0 0
15 0 0 0 0 0 0 0 0
16 0 0 0 0 0 0 0 0
17 0 0 0 0 0 0 0 0
18 0 0 0 0 0 0 0 0
19 0 0 0 0 0 0 0 0
20 0 0 0 0 0 0 0 0
21 0 0 0 0 0 0 0 0
22 0 0 0 0 0 0 0 0
23 0 0 0 0 0 0 0 0
24 0 0 0 0 0 0 0 0
25 0 0 0 0 0 0 0 0
26 0 0 0 0 0 0 0 0
27 0 0 0 0 0 0 0 0
28 0 0 0 0 0 0 0 0
29 0 0 0 0 0 0 0 0
30 0 0 0 0 0 0 0 0
RERATA 0,03 0,10 0,06 0 0,13 0 0 0
RERATA ± SD 0,06 ± 0,03 0,04 ± 0,07 0 ± 0,00
Skoring 0 : glomerulus normal, 1 : pelebaran kapiler dan ekspansi matriks ekstraseluler, 3 : sklerosis
segmental atau global dengan runtuhnya kapiler
83

Lampiran. 19. Analisis Skoring Histopatologi Organ Ginjal

1. Uji Normalitas terhadap skoring histopatologi organ ginjal


Tujuan : untuk melihat data skoring histopatologi organ ginjal terdistribusi
normal atau tidak

Hipotesis : Ho = Data terdistribusi normal


Ha = Data tidak terdistribusi normal

Pengambilan Kesimpulan : Ho diterima jika nilai signifikan p ≥ 0,05


Ho ditolak jika nilai signifikan p ≤ 0,05

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

skoring

N 8

Normal Parametersa Mean 1.2500

Std. Deviation 1.58114

Most Extreme Differences Absolute .285

Positive .285

Negative -.215

Kolmogorov-Smirnov Z .807

Asymp. Sig. (2-tailed) .532

a. Test distribution is Normal.

Keputusan : Data skoring histopatologi organ ginjal terdistribusi secara


normal (p ≥ 0,05)
84

2. Uji Homogenitas terhadap skoring histopatologi organ ginjal

Tujuan : Untuk melihat data skoring histopatologi organ ginjal homogen atau
tidak

Hipotesis Ho : Data bobot tikus homogen


Ha : Data bobot tikus tidak homogen

Pengambilan Keputusan : Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima


Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

Test of Homogeneity of Variances


Skoring

Levene Statistic df1 df2 Sig.

5.525 2 5 .054

Keputusan : Data skoring histopatologi organ ginjal terdistribusi secara


homogen (p ≥ 0,05)
85

3. Uji ANOVA
Tujuan : untuk menentukan ada tidaknya perbedaan pada histopatologi organ
ginjal tikus pada seluruh kelompok hewan uji

Hipotesis :
Ho : Derajat kerusakan histopatologi ginjal tikus tidak berbeda secara bermakna
Ha : Derajat kerusakan histopatologi ginjal tikus berbeda secara bermakna

Pengambilan keputusan : - Jika nilai signifikansi ≥0,05, maka Ho diterima


- Jika nilai signifikansi ≤0,05, maka Ho ditolak

ANOVA
skoring

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 4.833 2 2.417 .954 .446


Within Groups 12.667 5 2.533
Total 17.500 7

Keputusan : Skoring histopatologi organ ginjal tikus kelompok uji gelatin sapi
golongan farmasetik dan pro analisis tidak berbeda secara bermakna dibandingkan
terhadap kelompok kontrol (p≥0,05)
86

4. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) terhadap skoring histopatologi organ ginjal
Tujuan : Untuk mengetahui letak perbedaan data skoring histopatologi organ
ginjal

Hipotesis Ho: Data skoring histopatologi organ ginjal tidak memiliki perbedaan
Ha: Data skoring histopatologi organ ginjal memiliki perbedaan

Pengambilan Keputusan : Ho diterima jika nilai signifikan ≥ 0,05


Ha ditolak jika nilai signifikan ≤ 0,05

Multiple Comparisons

Skoring
LSD

Mean Difference 95% Confidence Interval

(I) kelompok (J) kelompok (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound

Kontrol gelatin sapi gf -2.00000 1.45297 .227 -5.7350 1.7350

gelatin sapi pa -1.33333 1.45297 .401 -5.0683 2.4016

gelatin sapi gf Kontrol 2.00000 1.45297 .227 -1.7350 5.7350

gelatin sapi pa .66667 1.29957 .630 -2.6740 4.0073

gelatin sapi pa Kontrol 1.33333 1.45297 .401 -2.4016 5.0683

gelatin sapi gf -.66667 1.29957 .630 -4.0073 2.6740

Keputusan :

- Tidak ada perbedaan yang bermakna antara histopatolgi ginjal tikus kontrol
dengan tikus uji gelatin sapi golongan farmasetik (p ≥ 0,05)
- Tidak ada perbedaan yang bermakna antara histopatolgi ginjal tikus kontrol
dengan tikus uji gelatin sapi golongan pro analisis (p ≥ 0,05)
- Tidak ada perbedaan yang bermakna antara histopatolgi ginjal tikus uji
golongan pro analisis dengan tikus uji gelatin sapi golongan farmasetik (p ≥
0,05)

Anda mungkin juga menyukai