Anda di halaman 1dari 6

BAB III

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan


perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari
seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang
lain. Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat – sifat yang harmonis (serasi)
dan memperhatikan semua segi – segi dalam kehidupan manusia dan
dalam hubungannya dengan manusia lain. Jadi dapat disimpulkan
kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan merupakan
kondisi yang memungkinkan dari perkembangan fisik, mental dan sosial
individu secara optimal dan yang seralas dengan perkembangan orang lain.

Seseorang yang sehat jiwa mempunyai ciri – ciri sebagai berikut :

1. Merasa senang terhadap dirinya serta mampu mengatasi


kekecewaan dalam hidup. Puas dengan kkehidupannya sehari –
hari , mempunyai harga diri yang wajar, meniai dirinya secara
realistis, tidak berlebihan dan tidak pula merendahkan.
2. Merasa nyaman berhubungan dengan orang lain serta mampu
mencintai orang lain, mempunyai hubungan pribadi yang tetap,
dapat menghargai pendapat orang lain yang berbeda, merasa
bagian dari suatu kelompok, tidak mengakali orang lain dan tidak
membiarkan orang lain mengakali dirinya.
3. Mampu memenuhi tuntutan hidup serta menetapkan tujuan hidup
yang realistis, mampu mengambil keputusan, mampu menerima
tanggung jawab, mampu merancang masa depan, dapat menerima
ide dan pengalaman baru dan puas dengan pekerjaannya.
4. Jiwa yang sehat dikembangkan sejak masa bayi hingga dewasa,
dalam berbagai tahapan perkembangan.

5
5. Penilaian diri seseorang positif apabila seseorang cenderung
menemukan kepuasan dalam hidup, menetapkan tujuan dan
mencapainya, mempunyai keyakinan untuk menyelesaikan
masalah.

B. ODGJ DENGAN TEKNIK P.L.A.N (KATAJI)

Berdasarkan data penderita ODGJ di UPT Puskesmas


parungponteng tahun 2017/2018 sebanyak 12 jiwa dengan rata – rata
diagnose Schizoprenia

Dalam upaya menurunkan dan menanggulangi kasus ODGJ di


wilayah Puskesmas Parungponteng dengan memiliki visi, misi, dan
strategi pelayanan kesehatan. Strategi yang dijalankan di wilayah
Puskesmas Parungponteng dengan menggunakan teknik empat pilar yaitu
Prepare, Look, Action, Non-Stop/Necessary. Empat pilar strategi tersebut
dibungkus dalam satu wadah yang disebut komunitas “KATAJI”..

1. Prepare

Tahap persiapan adalah kegiatan sebelum memulai suatu


tindakan. Pada tahap ini menyusun kerangka kegiatan dengan
tujuan agar waktu dan pekerjaan yang akan dilakukan bisa efektif.
Adapun susunan yang dilakukan pada tahapan ini meliputi :

a. Melakukan koordinasi dengan pemerintahan setempat, dimana


koordinasi merupakan hal yang sangat penting mengingat
komunitas KATAJI ruang lingkupnya lebih kepada
pemanfaatan sumber daya manusia yang ada disekitar.
b. Mengumpulkan data yang didapat, setelah koordinasi terpenuhi
dan mendapatkan respon yang positif, maka pengumpulan data
mengenai pasien ODGJ dan kader yang ditunjuk langsung oleh
kepala pemerintahan segera dilakukan. Semua jenis data baik
itu verbal maupun tertulis ditampung dan dikumpulkan.

6
c. Menyusun struktur organisasi, suatu kelompok dikatakan bisa
berjalan jika kelompok tersebut mempunyai pondasi yang
sangat kuat, peran penanggung jawab dititik beratkan kepada
pengambilan keputusan dan konsulat
d. Menyusun rencana tindak lanjut.
2. Look

Identifikasi adalah suatu proses dan hasil pengenalan suatu


masalah, pengamatan yang dilakukan oleh seorang kader baik itu
secara obejktif maupun subjektif menjadi sebuah acuan terhadap
rencana tindak lanjut yang akan diberikan. Dengan pembekalan
pelatihan dasar tentang kesehatan jiwa, seorang kader dituntut
untuk bisa menggali sejauh mana potensi atau derajat keparahan
ODGJ.

3. Action

Suatu bentuk gerakan atau tindakan mengenai sesuatu yang


dirasa baik untuk dilakukan dalam menyelesaikan suatu masalah
adalah hal yang harus ditanamkan secara dini pada seorang kader
kesehatan jiwa. Peran kader dalam model “KATAJI” salah
satunya adalah melakukan kunjungan rumah ke keluarga pasien
gangguan jiwa yang telah mandiri . Kegiatan yang dapat dilakukan
saat kader melakukan kunjungan rumah adalah menjalankan peran
PMO (Pengawas Minum Obat) seperti yang telah dikembangkan
oleh Departemen Kesehatan untuk penyakit tuberculosis. PMO
bertugas untuk menjamin keteraturan pengobatan pasien. Kader
juga mampu memberikan motivasi perawatan dan pengobatan
untuk menurunkan tanda dan gejala ODGJ serta meningkatkan
kemampuan positif pasien.

4. Non-Stop/Necessary

Prinsip kontinuitas berarti berkesinambungan atau


berkelanjutan. Prinsip ini mengandung pengertian bahwa perlu

7
dijaga saling keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.
Untuk menjaga agar prinsip kontinuitas itu berjalan, maka perlu
ada kerja sama yang kuat.

C. HASIL INOVASI KATAJI

KATAJI berfokus terhadap tindakan yang diberikan baik kepada


pasien sebagai individu, keluarga sebagai care giver dan kelompok atau
masyarakat yang dapat meningkatkan kesehatan. Tindakan spesialis untuk
pasien yaitu Cognitif Behaviour Therapy (CBT), untuk keluarga Family
Psichoeducation (FPE) dan kelompok diberikan terapi suportif.

Hasil pelaksanaan program KATAJI meliputi karakteristik pasien,


stressor predisposisi, presipitasi, respon terhadap stressor dam kemampuan
pasien.

1. Karakteristik

Terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan


dan status pekerjaan.

a. Usia

Rentang usia terbanyak antara 21-40 tahun. Rentang ini


merupakan usia dewasa dimana kematuran individu harus
dicapai, semakin dewasa seseorang maka semakin lebih baik
cara berpikirnya. Usia dewasa adalah usia dimana individu
dapat mengaktualisasikan dirinya di masyarakat, apabila terjadi
kegagalan maka menunjukkan penurunan motivasi untuk
melakukan aktivitas dan merasa kurang mampu atau tidak
percaya diri.

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin yang ditemukan terbanyak adalah


perempuan. Jenis kelamin mempengaruhi respon terhadap

8
stressor diantaranya perselisihan keluarga, perceraian dan
masalah pengasuhan anak. Anak perempuan lebih berat
mengalami gangguan jiwa dan berkepanjangan dibandingkan
dengan laki-laki (Luthar & Zigler, 1991 dalam WHO, 2002).

c. Pendidikan

Pendidikan terbanyak adalah pendidikan rendah.


Menurut Stuart (2009) bahwa aspek intelektual merupakan
salah satu factor penyebab terjadinya gangguan jiwa karena
berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam
menyampaikan ide atau pendapatnya, berpengaruh pada
kemampuan seseorang untuk memenuhi harapan dan keinginan
yang ingin dicapai dalam hidupnya.

d. Sosial Ekonomi

Tidak bekerja banyak ditemukan pada pasien ODGJ,


faktor status sosial ekonomi lebih banyak mengalami gangguan
jiwa yang menyebabkan kurangnya motivasi untuk melakukan
kegiatan sehari-hari dibandingkan pada tingkat social ekonomi
tinggi (Towsend, 2005). Menurut Stuart (2009) bahwa
ketidakmampuan mengungkapkan keinginan, termasuk
keinginan berumah tangga merupakan salah satu faktor
predisposisi harga diri rendah.

2. Predisposisi

Predisposisi pasien ODGJ adalah faktor genetik,


ketidakmampuan mengungkapkan keinginan dengan baik,
kepribadian tertutup dan maslah ekonomi. Resiko 15% jika salah
satu orang tua menderita skizofrenia, angka ini dapat meningkat
40-50% jika kedua orang tua biologis menderita skizofrenia
(Cancro & Lehman; Videbeck, 2008; Stuart, 2009; Towsend, 2008;
Fontaine, 2009).

9
Kepribadian introvert, gangguan kemampuan komunikasi
verbal, menutup diri sangat berhubungan sehingga individu tidak
memiliki orang terdekat atau orang yang berarti dalam hidupnya.
Pengalaman masa lalu yang negative menjadi bottom line bagi
individu berespon dengan lingkungan sehingga individu menjadi
rendah diri (Tillman & Kelly, 2008).

3. Presipitasi

Presipitasi yang banyak ditemukan pada pasien ODGJ


diantaranya putus obat, keinginan yang tidak terpenuhi dan stigma
negatif dari masyarakat. Putus obat menyebabkan masa pengobatan
menjadi lebih panjang sehingga pasien merasa bosan dan tidak ada
motivasi untuk melakukan perubahan. Dukungan baik internal
maupun eksternal sangat mempengaruhi peningkatan standar
kesehatan ODGJ sehingga perkembangan mental menjadi lebih
baik dan sehat. Sebaliknya apabila tidak ada dukungan maka
individu menjadi merasa diasingkan, tidak diterima dan harga diri
rendah. Hasil analisa data menunjukkan bahwa rata-rata
kemandirian keseluruhan pasien ODGJ sebelum dilakukan terapi
berada dalam rentang kemandirian menengah. Kebanyakan orang
dengan ODGJ memiliki kesulitan dalam menjalankan pekerjaannya
atau bahkan untuk menungkapkan keinginan sehingga pasien tidak
bersosialisasi dengan lingkungannya. Ini menunjukkan bahwa
kemandirian pasien terganggu karena kondisinya. Masalah
kemandirian pasien ODGJ perlu mendapat perhatian karena akan
banyak masalah lain yang ditimbulkan seperti masalah stress pada
caregiver dan menambah beban keluarga. Hal ini sesuai dengan
yang dinyatakan oleh Safier (1997, dalam Townsend, 2009) bahwa
keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan ODGJ akan
mengalami pergolakan yang besar dalam dirinya. Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi ODGJ dapat berdampak pada kondisi
keluarga, karena itu keluarga pun memerlukan tindakan
keperawatan agar tidak menimbulkan masalah baru.

10

Anda mungkin juga menyukai