Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Tuban adalah salah satu kabupaten di Jawa Timur yang terletak di
Pantai Utara Jawa Timur. Kabupaten dengan jumlah penduduk sekitar 1,2 juta jiwa ini
terdiri dari 20 kecamatan dan beribukota di Kecamatan. Luas wilayah Kabupaten Tuban
183.994.562 Ha, dan wilayah laut seluas 22.068 km2. Kabupaten Tuban merupakan bagian
dari daerah bagian zona Mendala Rembang atau Lajur Rembang-Madura yang dimana
merupakan batuan sedimen. Mendala rembang di daerah Tuban mengalami perlipatan dan
persesaran. Karena hal ini dapat mengakibatkan daerah Tuban sebagai rawan terjadi
Gempa bumi.
PT Holcim. Tbk adalah pabrik semen yang beroprasi di daerah Kabupaten Tuban
1.2 Rumusan Masalah
1. Mengidentifikasi persebaran
2. Menganalisis
3. Dapat menerapkan
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Daerah Penelitian
a. Kondisi Geologi
Secara fisiografi, pulau Jawa dan Madura dibagi menjadi delapan zona yang disusun
berdasarkan atas struktur batuan. Zona-zona tersebut dibagi antara laun sebagai berikut :

Gambar 2.1 Peta Regional Jawa-Madura


- Zona Dataran Aluvial pantai Utara Jawa
- Zona Antiklinorium Rembang-Madura
- Zona Depresi Jawa dan Zona Randu Blatung
- Zona Antiklinorium Kendeng
- Zona Gunung api Kwarter
- Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur.
Dari gambar peta fisiografi Jawa Timur dan Madura terlihat bahwa Tuban
termasuk dalam bagian zona Mendala Rembang atau Lajur Rembang-Madura yang dimana
merupakan batuan sedimen. Mendala rembang di daerah Tuban mengalami perlipatan dan
persesaran. Sumbu-sumbu lipatan berarah barat laut- tenggara, sedangkan sesar berarah
timur laut-barat daya dan barat laut-tenggara. Selain itu, terbentuk pula lipatan berarah
timur-barat, antara timur-timur laut, antara barat-barat daya, utara-selatan, barat-barat laut,
dan timur-tenggara.
Secara Geomorfologi, Tuban termasukk dalam zona Antiklinorium Rembang-
Madura, menurut van Bemmelen, 1949 zona tersebut adalah jajaran perbukitan
antiklinorium yang berarah barat-timur dan berselingan dengan dataran aluvial. Terdapat 3
pengelompokan satuan geomorfologi, yaitu ; (1) Satuan Geomorfologi Perbukitan Lipatan:
(a) Sub Satuan Geomorfologi Lembah Antiklin dan (b) Sub Satuan Geomorfologi
Perbukitan Sinklin, (2) Satuan Geomorfologi Perbukitan Karst, (3) Satuan Geomorfologi
Dataran Aluvial
2.2 Identifikasi Jarak Gempa
Diasumsikan pada umumnya bahwa gempa bumi terjadi pada lokasi yang memiliki
suatu patahan dengan probalitas yang sama. Arti kata "jarak" terdapat beberapa definisi
yang biasa digunakan, satu dapat menggunakan jarak ke pusat gempa atau hiposenter, jarak
ke titik terdekat di permukaan pecah, atau jarak ke titik terdekat pada proyeksi permukaan
pecah. Perhatikan bahwa beberapa definisi jarak menjelaskan kedalaman perpecahan,
sementara yang lain menganggap hanya jarak dari proyeksi permukaan yang pecah atau
retak. Perhatikan juga bahwa pusat gempa dan hiposenter definisi hanya perlu
mempertimbangkan lokasi inisiasi pecah/retak; beberapa definisi lain perlu secara eksplisit
menjelaskan fakta bahwa pecah terjadi di atas pesawat daripada pada satu titik di ruang
angkasa. Pilihan definisi jarak analis akan tergantung pada input yang diperlukan untuk
model prediksi gerakan tanah. Di sini kita hanya akan mempertimbangkan jarak ke
episentrum, untuk kesederhanaan.

Gambar 2.2. Ilustrasi Identifikasi jarak gempa


2.3 Mikrotremor
Mikrotremor adalah gelombang seismik berukuran mikro yang memiliki sinyal
semi kontinyu hingga sinyal kontinyu dengan durasi yang lama. Mikrotremor
didefinisikan sebagai noise periode pendek yang berasal dari sumber artifisial
(Lang,2004). Gelombang ini bersumber dari segala arah yang saling beresonansi.
Penggunaan mikrotremor untuk studi Site effect dapat terbagi menjadi beberapa cara
(Bard,1998) salah satunya, perbandingan spectrum komponen horisontal terhadap
komponen vertikal (Horisontal to Vertical Spectral Ratio-HVSR).
Mikrotremor merupakan getaran tanah dengan amplitudo pergeseran sekitar 0,1
µm dan amplitudo kecepatan 0,001 cm/s sampai 0,01 cm/s. Mikrotremor diklasifikasikan
menjadi dua jenis berdasarkan rentang periodenya. Jenis pertama adalah mikrotremor
periode pendek dengan periode kurang dari 1 detik dan keadaan ini terkait dengan struktur
bawah permukaan yang dangkal dengan ketebalan beberapa puluh meter. Jenis kedua
adalah mikrotremor periode panjang dengan periode lebih dari 1 detik, keadaan ini terkait
dengan struktur tanah yang lebih dalam, menunjukan dasar dari batuan keras (Mirzaoglu
et al., 2003).

2.4 Site Effect & Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR)

Metode HVSR pertama kali diperkenalkan oleh Nogoshi dan Iragashi (1971) yang
menyatakan adanya hubungan antara perbandingan komponen horizontal dan vertikal
terhadap kurva eliptisitas pada gelombang Rayleigh yang kemudian disempurnakan oleh
𝐻
Nakamura yang menyatakan bahwa perbandingan spektrum sebagai fungsi frekuensi
𝑉
berhubungan erat dengan fungsi site transfer.
Pada umumnya site effect didefinisika sebagai modifikasi atau perubahan dari
karakteristik gelombang yaitu amplitudo, kandungan frekuensi dan durasi terhadap kondisi
lapisan soil dan topografi suatu permukaan. Modifikasi ini termanifestasikan sebagai
amplifikasi ataupun deamplifikasi dari amplitudo gelombang dalam semua frekuensi, yang
tergantung pada banyak parameter, diantaranya PI, vs, vp, Go, modulus geser, dan lain-
lain. Site effect (𝑇𝑆𝐼𝑇𝐸) pada lapisan sedimen permukaan ditentukan dengan cara
membandingkan faktor amplifikasi dari gerakan horizontal 𝑇H dengan faktor amplifikasi
dari gerakan vertikal 𝑇𝑇𝑉𝑉(Daryono et. al., 2009)
𝑇
𝑇𝑆𝐼𝑇𝐸 = 𝑇𝐻 (2…)
𝑉
Faktor amplifikasi TH dan faktor amplifikasi TV dirumuskan oleh Nakamura (2000)
dengan
𝑆
𝑇𝐻 = 𝑆 𝐻𝑆 (2..)
𝐻𝐵
𝑆𝑉𝑆
𝑇𝑉 = (2..)
𝑆𝑉𝐵

𝑆𝐻𝑆 adalah spektrum dari komponen horizontal sinyal mikrotremor di permukaan tanah,
𝑆𝐻𝐵 adalah spektrum dari komponen horizontal sinyal mikrotremor pada dasar lapisan tanah, 𝑆𝑉𝑆
adalah spektrum gerak vertikal sinyal mikrotremor di permukaan tanah, dan 𝑆𝑉𝐵 merupakan
spektrum dari komponen gerak vertikal sinyal mikrotremor pada dasar lapisan tanah (Nakamura,
2000). Asumsi yang digunakan dalam metode Nakamura ditunjukkan pada gambar berikut :
Gambar 2.3. Model Cekungan yang berisi material sedimen

2.5 Intensitas Pergerakan Tanah


Model prediksi gerakan tanah umumnya dikembangkan menggunakan regresi
statistik pada pergerakan tanah yang diamati. Hal ini karena perhitungan PSHA digunakan
untuk menghitung kemungkinan hasil yang tidak mungkin seperti intensitas ekstrem yang
jauh lebih besar daripada yang telah diperkirakan (Bommer dan Abrahamson 2006). Untuk
menggambarkan distribusi probabilitas ini, model prediksi mengambil bentuk umum
berikut:
ln𝐼𝑀 = ln𝐼𝑀 ̅̅̅̅̅̅̅(𝑀,𝑅,𝜃) + 𝜎(𝑀,𝑅,𝜃) ̅̅̅̅̅̅̅∙ ̅̅̅̅̅̅̅𝜀 (2.2)
ln𝐼𝑀 adalah log alami dari ukuran intensitas gerakan tanah (seperti percepatan spectral
pada periode tertentu); ln𝐼𝑀 ini dimodelkan sebagai variabel acak, dan telah terlihat
terwakili dengan baik oleh distribusi normal. Istilah ln𝐼𝑀 ̅̅̅̅̅̅̅(𝑀,𝑅,𝜃) dan 𝜎(𝑀,𝑅,𝜃) adalah
output dari model prediksi gerakan tanah; mereka adalah prediksi rata-rata dan standar
deviasi, masingmasing, dari ln𝐼𝑀.
2.6 Kecepatan Gelombang Geser (Vs30)
Vs30 merupakan kecepatan gelombang geser hingga kedalaman 30 m dari
permukaan. Menurut Roser dan Gosar (2010) nilai Vs30 digunakan untuk menentukan
klasifikasi batuan berdasarkan kekuatan getaran gempabumi akibat efek lokal serta
digunakan untuk keperluan dalam perancangan bangunan tahan gempa. Vs30 merupakan
data yang penting dan paling banyak digunakan dalam geofisika untuk menentukan
karakteristik struktur bawah permukaan hingga kedalaman 30 meter. Menurut
Wangsadinata (2006) hanya lapisan-lapisan batuan sampai kedalaman 30 m saja yang
menentukan pembesaran gelombang gempa (Nurahmi dkk, 2015).
𝐿𝑜𝑔 𝑉𝑠30 = 𝑎 + 𝑏 𝐿𝑜𝑔 𝐸𝑣 + 𝑐 𝐿𝑜𝑔 𝑆𝑝 + 𝑑 𝐿𝑜𝑔 𝐷𝑚 ± 𝜎
Vs30 merupakan parameter geoteknik yang sangat berguna untuk analisa
gelombang seismik. Karakteristik atau sifat batuan sangat dibutuhkan untuk menganalisa
sifat dinamis batuan, sehingga kekakuan batuan, dan kuat geser tanah dapat diketahui,
dengan mengukur kecepatan gelombang geser hingga kedalaman 30 m. Berikut merupakan
Tabel 2.1 yang menjelaskan pembagian Site Class untuk klasifikasi Vs30:
Tabel 2.1 Klasifikasi Site Class berdasarkan NEHRP (FEMA 302,1997)
2.7 Peak Ground Acceleration (PGA)
Percepatan tanah maksimum atau Peak Ground Acceleration (PGA) adalah nilai
percepatan tanah yang diukur selama gempa. PGA ini bisa dihitung dari besarnya
magnitudo dan kedalaman gempa, kemudian dengan rumus atenuasi yang kini sudah
berkembang hingga beberapa generasi. Percepatan gelombang memiliki suatu bidang
gerak, baik secara vertikal maupun horizontal. Suatu gerak gelombang secara vertikal lebih
berbahaya dibanding bidang gerak secara horizontal, karena akan merusak bangunan.
Nilai-nilai ini bervariasi pada gempabumi dan tempat yang berbeda, tergantung pada
banyak faktor, termasuk panjang fault, kedalaman gempa, jarak dari durasi pusat gempa,
dan geologi tanah (subsurface). Gempabumi dangkal menghasilkan kuat getaran
(percepatan) dari gempa menengah dan mendalam karena energi dilepaskan lebih dekat ke
permukaan. Perambatan gelombang seismik yang menjadi akibat dari percepatan tanah
maksimum.
Secara garis besar, tingkatan kerusakan yang mungkin terjadi tergantung dari
kekuatan serta kualitas dari bangunan, kondisi geologi dan geoteknik lokasi bangunan, dan
percepatan tanah di lokasi bangunan. Penentuan besaran dari PGA dapat ditentukan dengan
mempertimbangkan kondisi tanah dan pola patahan sumber gempa. Namun perkembangan
dari metode perhitungan PGA ditambah dengan parameter periode dominan tanah dalam
rumus atenuasi, metode ini disebut dengan metode Kanai. Metode ini memperhitungkan
input parameter gempabumi seperti episenter,kedalaman dan magnitudo, serta periode
predominan tanah sebagai input parameter hasil analisis mikrotremor. Persamaan yang
dapat di turunkan adalah sebagai berikut :
𝛼1
𝛼= 10𝑎2 𝑀−𝑃 𝑙𝑜𝑔10 𝑅+𝑄 (2..)
√𝑇𝑔

dengan
𝑎4
𝑃 = 𝑎3 + ⁄𝑅

dan
𝑎6
𝑄 = 𝑎5 + ⁄𝑅

Notasi dalam rumus di atas adalah :


α ̅̅̅̅̅̅̅ = percepatan tanah di titik pengukuran
Tg = periode predominan tanah (s)
M = magnitudo gempa bumi (skala Richter)
R = Jarak hiposenter (km)
Dengan konstanta-konstanta 𝑎1= 5, 𝑎2= 0,61, 𝑎3= 1,66, 𝑎4= 3,60,𝑎5=0,167,𝑎6= -1,83.

2.8 Kerentanan Bangunan

Menurut Zulfiar (2014), kerentanan bangunan secara teknis disebabkan beberapa


faktor yaitu lokasi/topografi, penggunaan material dan bentuk bangunan yang kurang
sesuai, kualitas dan sistem bangunan yang kurang memadai dengan tingkat kerawanan
daerah gempa, kondisi bangunan kurang terawat. Menurut Hardjono dan Prayogo (2017),
menyatakan bahwa bangunan tempat tinggal yang tergolong rentan adalah tipe struktur
pasangan batu bata dengan perkuatan diafragma kaku, dan bentuk irreguler (bentuk U, L,
dan O). Indeks kerentanan bangunan struktur ini berada di bawah ambang batas kerentanan
dengan nilai 1,70.
Menurut Shivkant (2017), menyatakan bahwa bangunan yang memiliki nilai score
RVS rendah dapat dikatakan bangunan berpotensi rentan terhadap gempa bumi yang terjadi
di masa yang akan datang sehingga disarankan dilakukan analisis yang lebih rinci dan
mendetail terhadap bangunan tersebut. Menurut Saputra (2017), menyatakan bahwa faktor
bentuk yang menyebabkan bangunan rentan terhadap gempa adalah Plan Irregularity,
Vertical Irregularity dan belum adanya acuan pembangunan atau kode saat pembangunan
yang dirujuk dan perawatan bangunan pada bangunan non engineered. Menurut Bawono
(2016), menyatakan bahwa nilai probabilitas kerusakan setiap rumah berbeda-beda, hal ini
disebabkan karena jarak dari pusat gempa, kondisi tanah, topografi, dan jenis tanah yang
terdapat di bawah masing-masing rumah berbeda.
Menurut Desmonda dan Pamungkas (2014), menyatakan bahwa persebaran zona
kerentanan bencana gempa bumi di Kabupaten Malang Selatan dipengaruhi oleh jenis
konstruksi bangunan permanen, tingkat kemiringan tanah, jenis batuan/geologi, dan jenis
penggunaan lahan. Menurut Faizah dan Syamsi (2017), bangunan yang memiliki
kerentanan dengan kondisi vertical irregularity dapat dihilangkan, namun apabila tidak
dilakukan upaya untuk menghilangkan vertical irregularity bangunan harus dievaluasi
lebih detail untuk mengetahui kekuatan struktur terhadap ancaman gempa bumi yang akan
datang. Devi dan Naorem (2015), kerusakan bangunan terhadap gempa bumi disebabkan
karena bangunan memiliki mutu ketahanan gempa yang sangat rendah, sehingga perlu
dilakukan penilaian kerentanan bangunan dan mitigasi bahaya akibat gempa bumi dari
semua jenis bangunan di daerah yang memiliki zona persebaran gempa yang tinggi.

Anda mungkin juga menyukai