Anda di halaman 1dari 23

PROSIDING

SIMPOSIUM NASIONAL
DAKWAH DAN TANTANGAN DUNIA BARU:
MENILIK ULANG MEDIA DAN INSTITUSI DAKWAH

Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM)


Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
DIKLAT PUSTENDIS, 12 S/D 14 SEPTEMBER 2018

PENERBIT EMPATI PRESS


2018
i
Penulis:
Edi Aminasdas, Dr. Syamsul Yakin, MA, Azhar Fuadi dan Muhtadi,
Achmad Fachrudin, A. Ilyas Ismail, Adeni, S. Kom.I., M.A, M. Yakub,
Dr. Sumarto, S.Sos.I, M.Pd.I, Asep Usman Ismail, Sakhinah dan Dr. Armawati Arbi
M.Si, Dr. Herry Koswara, M.Si, Fita Fathurokhmah, Drs. S. Hamdani, MA,
Dr. Siti Napsiyah, S.Ag., BSW., MSW, Tantan Hermansah, dan Tasman

Penerbit:
EMPATI PRESS UIN JAKARTA

Alamat Redaksi dan Pusat Distribusi:


Prodi Kesejahteraan Sosial
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda No. 95
Ciputat 15412 Tangerang Selatan
Telp (021) 7432728/Fax (021) 74703580
Email: empati.press@uinjkt.ac.id

© Hak Cipta Dilindungi Undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

224 hlm; 21 cm x 29,7 cm


ISBN: 3-598-21500-2
DAKWAH DALAM “CYBER ISLAMIC ENVIRONMENTS”:
SEBUAH PENGANTAR

Arief Subhan

Mengapa Islam pada era digital mendapat perhatian khusus? Islam merupakan agama
terbesar kedua sejagad yang pemeluknya tersebar ke seluruh pojok dunia. Menurut sebuah data,
populasi kaum Muslim sejagad mengalami pertumbuhan sangat meyakinkan. Dari sebesar 12.3
persen populasi dunia pada 1900, Muslim tumbuh menjadi 21.1 persen dari jumlah populasi
dunia.1 Oleh karena itu, ketika dunia memasuki era digital, maka masyarakat Muslim menjadi
penting dan mendapatkan sorotan dunia. Tentu saja pertama-tama karena share yang akan
disumbangkan kaum Muslim akan sangat besar. Lebih dari itu, pemanfaatan Muslim terhadap
teknologi digital, terutama dalam konteks ini, internet, diperkirakan akan memberikan warna
tersendiri dalam dunia virtual (virtual reality). Watak Islam sebagai “agama dakwah” (missionary
religion) akan menjadi latar belakang lahirnya sebuah wilayah baru yang bercorak Islam di dunia
internet.
Pada era ini kaum Muslim telah memasuki dunia digital tidak hanya sebagai “imigran”,
tetapi juga sudah menjadi “native” (“penduduk asli”) dunia digital—ditandai dengan munculnya
generasi milenial Muslim. Seminar dan simposium yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengangkat topik “Dakwah dan Tantangan
Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah”. Beberapa pertanyaan pokok dalam
seminar dan simposium adalah: bagaimana Muslim memanfaatkan internet untuk kepentingan
penyebaran keyakinan-keyakinan keislaman yang dipandangnya benar; atau tentang bagaimana
dunia teknologi digital, terutama internet, dimanfaatkan untuk membangun jaringan (networking) ii
yang merupakan bagian dari penerapan gagasan tentang umat; bagaimana kemudian berbagai
pandangan keislaman tertentu—seperti paham radikalisme agama—tersebar dengan luas dengan
cepat; tentu saja dengan berbagai problematikanya.
Dalam mendiskusikan berbagai persoalan tersebut, sudut pandang atau kerangka berpikir
Gary R. Bunt tentang “cyber Islamic environments” akan memberikan perspektif yang lebih luas.
Gary R. Bunt memberikan definisi “cyber Islamic environments” secara ringkas sebagai sebuah
ruang di mana diskusi dan interaksi antara sesama Muslim semakin tidak terbatas, bersifat publik
dan non-personal.2 Di dalam ruang tersebut, batas-batas sosial, politik, ideologis, dan geografis
juga semakin kabur—meskipun tetap dapat diidentifikasi. Setiap Muslim bebas berpartisipasi
dan mengekpresikan pandangan-pandangan keagamaannya. Dalam konteks dakwah, “cyber
Islamic environments”—sebagai ruang publik baru—telah menjadi alternatif, di samping
media elektronik lain, untuk mendeseminasikan dan mendiskusikan beragam masalah-masalah
keislaman. Di dalamnya juga berkembang wacana tentang produksi dan reproduksi pengetahuan
Islam, perdebatan antara universalitas dan lokalitas Islam, fatwa halal-haram dan siapa otoritas
yang memberikan fatwa, bahkan jadwal shalat world-wide. Dapat dikatakan bahwa “cyber
Islamic environments” memiliki potensi untuk mengubah pemahaman keagamaan dan ekspresi
masyarakat Muslim sekaligus menjadi kekuatan untuk membangun dialog dengan sesama dan
kelompok-kelompok keagamaan lain. Dapat diperkirakan bahwa sebuah spektrum yang bersifat
kompleks tentang akses, dialog, networking, dan aplikasi media akan muncul bersamaan dengan
kemunculan “cyber Islamic environments” ini.
Kemunculan “cyber Islamic environments” tidak terpisahkan dari semakin kuatnya
1 Dabiel Franklin dan John Andrews (ed.), Megachange, The World in 2050 (London: Profile Book
ltd., dan The Economist, 2012), h. 81.
2 Gary R. Bunt, Islam in the Digital Age, E-Jihad, Online Fatwas, and Cyber Islamic Environments (Lon-
don: Pluto Press, 2003).
kesadaran kaum Muslim untuk menggunakan internet sebagai—meminjam istilah Gary R. Bunt
sebagai “Islamic tool” dalam menyebarluaskan ajaran Islam—lepas dari ideologi-keislaman di
belakangnya. Internet yang dimaksud merujuk pada jaringan yang terhubung melalui komputer
dan perangkat elektronik lain yang dengannya berbagai bentuk komunikasi dan media elektronik
difasilitasi. Konsep ‘web’ atau World Wide Web (www) kemudian memainkan peran penting di
dalamnya. Karena dengan ‘web’ maka setiap halaman dapat diakses melalui komputer lain dengan
memanfaatkan web broser. Berkat keduanya—intrenet dan web broser—kaum Muslim memasuki
babak baru dalam berbagai bidang keislaman. Kehadiran “cyber Islamic environments” menjadikan
kaum Muslim sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat virtual (virtual community)
Menurut Eric Schmidt dan Jared Cohen, diseminasi teknologi komunikasi-informasi
berlangsung dengan kecepatan yang tidak pernah terduga. Pada dekade pertama abad ke-21,
masyarakat yang terkoneksi melalui internet sejagad mengalami kenaikan pesat dari 350 juta
menjadi lebih dari 2 milyar—bahkan sekarang barangkali sudah melampaui angka 2.4 milyar).
Pada periode yang sama, pengguna “telpon genggam” mengalami kenaikan signifikan dari 750
juta menjadi 5 milyar—sekarang diperkirakan mencapai 6 milyar pengguna. Data tersebut
menunjukkan bahwa adopsi terhadap terknologi internet telah menjangkau bahkan kepada
masyarakat yang terjauh di planet bumi ini dan terus bertumbuh semakin besar. Tidak kalah
penting untuk disebutkan adalah dukungan teknologi informasi yang semakin canggih dengan
beaya yang semakin terjangkau.3
Dalam konteks Indonesia, masyarakat yang terkoneksi melalui internet—atau digital
technology—juga mengalami kenaikan pesat. Bersaman dengan itu, digital technology juga
dengan cepat menjadi demikian substansial dalam kehidupan, dunia kerja, budaya, dan bahkan
telah ikut membentuk identitas budaya Indonesia. Di negara dengan angka median usia pada
kisaran 28 tahun, dengan pertumbuhan kelas menengah yang cepat, Indonesia memanfaatkan
digital technology dalam berbagai aktivitas yang sama sekali belum pernah terpikirkan, bahkan
iii di tempatnya lahir. Pada 2016, pengguna Facebook di Indonesia mencapai 76 juta—sekaligus
rangking ke-4 negara-negara pengguna Facebook. Jakarta bahkan mendapatkan julukan “most
active city in Twitter”; sedangkan paltform lainnya seperti Instagram, WhatApps, LINE, Path,
dan Telegram juga mulai dipergunakan dengan jenis penggunaan yang tergolong unik. Sekarang
ini, sudah menjadi pamandangan yang tidak mengejutkan jika di sebuah cafe, duduk sekawan
anak muda dalam suasana diam dengan mata yang terus menatap layar telpon Android yang
dipegangnya.4
Termasuk dalam kategori unik itu adalah muncul dan menguatnya “cyber Islamic
environments” di Indonesia sebagai payung di mana internet dan sosial media menjadi mediator
nilai dan ajaran Islam dengan memanfaatkan hampir semua platform media sosial. Bahkan dengan
pengamatan secara commn sense dapat diketahui bahwa sekarang ini Muslim Indonesia secara
kreatif dan variatif telah mengembangkan media sosial dalam kehidupan keagamaan sehari-hari.
Sebagai salah satu contoh, sekarang ini, mudah sekali ditemukan Muslimah, yang membaca al-
Qur’an, melalui al-Qur’an digital yang sudah disimpan di memori telponnya. Bersamaan dengan
semakian populernya penggunaan platform WhatApps, tradisi membaca al-Qur’an dalam bentuk
digital itu kemudian mengalami transformasi dengan munculnya WhatApps Group komunitas
Muslim yang menamakan diri dengan “One Day One Juz” (ODOJ). Mereka melestarikan tradisi
membaca al-Qur’an secara rutin harian—dengan disiplin dan “hukuman”—, mencari pahala dan
membina kesalihan diri dan sosial.
Di samping itu, posting Islam—mengunggah berbagai kreasi kreatif tentang nilai dan
kehidupan keagamaan melalui berbagai platform digital media—juga merupakan bagain penting
3 Eric Schmidt and Jared Cohen, The New Digital Age, Reshaping the Future of People, Nations, and
Business (London: John Murray, 2014), h. 4. Eric Schmidt adalah Executive Chairman Google; sedangkan
Jared Cohen adalah Director, Google Ideas (pada saat keduanya menulis karya ini).
4 Lihat Edwin Jurriens and Ross Tapsell (ed.), Digital Indonesia, Connectivity and Divergence (Sin-
gapure: ISEAS, 2017), passim.
dari ekspresi kaum Muslim dalam memanfaatkan media Islam untuk tujuan menyebarluaskan
ajaran-ajaran Islam. Posting Islam muncul dalam bentuk ekspresi aktivitas keagamaan sehari-
hari yang dilakukan sebagian Muslim, namun tidak sedikit merupakan ceramah keagamaan
yang disampaikan para ustadz dan diunggah dalam paltform Youtube. Ustadz Abd Shomad,
yang sekarang sedemikian berpengaruh di kalangan netizen Muslim Indonesia, pada mulanya
melakukan posting Islam dengan tujuan menyampaikan nilai-nilia dan ajaran Islam yang dia
rumuskan dalam konteks Indonesia. Akan tetapi, pada perkembangannya, popularitas dan
follower Ustadz Abd Shomad sedemikian banyak sehingga ia muncul sebagai figur Islam baru
di Indonesia—menyusul beberapa da’i selebiriti lainnya. Dalam platform Youtube, dapat dilihat
terjadinya “contested dakwah” dan munculnya apa yang disebut sebagai “online piety”.
Konsep “contested dakwah” yang disebutkan mengandung pengertian bahwa di dunia
digital terdapat beragam nilai dan ajaran Islam—meskipun semuanya merupakan bentuk ekspresi
kesalehan. Sebagian mengajarkan paham dan perilaku keagamaan yang sejalan dengan tradisi
islam di Indonesia, sebagian lain membawa ajaran Islam tranasnasional yang mereka peroleh
ketika belajar di negara-negara Timur Tengah, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian juga
menyemaikan ajaran Islam yang bercorak literalis—dan berujung pada pehamanan yang bersifat
radikal tentang Islam. Variasi, bahkan kompeleksitas, Islam yang terekspresikan melalui media
digital inilah yang menjadi latar belakang penyelenggaraan simposium tentang “Dakwah dan
Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah” oleh Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tentu saja kegiatan ini merupakan salah
satu bentuk upaya akademisi, dengan basis utama ilmu-ilmu keislaman, untuk melibatkan diri
dalam upaya membicarakan berbagai problem dan tantangan dakwah di dunia digital, terutama
berkenaan dengan kecenderungan semakin menguatnya radikalisme Islam yang tersebar melalui
media digital.
Tulisan pengantar ini tidak bermaksud memberikan uraian ringkas yang bersifat overview
terhadap karya-karya yang dimuat dalam penerbitan prosiding seminar ini. Penting ditegaskan iv
bahwa karya-karya yang dimuat merupakan hasil riset dan representasi kepedualian akademisi
terhadap fenomena digital media di Indonesia. Dengan semakin besarnya kelas menengah Muslim
di Indonesia, yang berimplikasi pada semakin besarnya kelompok masyarakat yang mengkonsumsi
situs-situs keislaman di media digital, penerbitan ini dapat dikatakan sebagai bentuk sumbangan
civitas akademika Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terhadap salah satu isu keagamaan yang penting di Indonesia.
DAFRTAR ISI

DAKWAH DALAM “CYBER ISLAMIC ENVIRONMENTS”: SEBUAH PENGANTAR ____ ii

KONTER RADIKALISME: STUDI GERAKAN DAKWAH JAMAAH NUR DI INDONESIA ____ 1


— Edi Aminasdas —

DAKWAH DIKAL DI MEDIA SOSIAL ____ 27


— Dr. Syamsul Yakin, MA —

MANAJEMEN PEMASARAN SOSIAL PADA PROGRAM MINGGU PRODUKTIF


DI LEMBAGA RUMAH SEMUT JALAN PEDULI TANGERANG SELATAN ____ 37
— Azhar Fuadi dan Muhtadi —

PERAN MEDIA SOSIAL DALAM MENANGKAL PAHAM RADIKAL DESTRUKTIF ____ 53


— Achmad Fachrudin —

TEKNOLOGI DAN DIGITALISASI DAKWAH


(PEMANFAATAN MEDIA SOSIAL UNTUK KEBERHASILAN DAKWAH) ____ 65
— A. Ilyas Ismail —

COMBINATION OF OLD AND NEW MEDIAIN DA’WA:


THE CASE OF NURSI’S MOVEMENT ____ 79
— Adeni, S. Kom.I., M.A —

DAKWAH MEDIASI: PERSPEKTIF SEJARAH ISLAM ____ 91


— M. Yakub —

PROSES KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI DALAM PRAKTIK KONSELING ____ 103


— Dr. Sumarto, S.Sos.I, M.Pd.I — v
POLA PENYEBARAN PAHAM RADIKAL MELALUI NEW MEDIA ____ 115
— Asep Usman Ismail —

STRATEGI PERSUASIF PENGURUS KOMUNITAS TERANG


DI JAKARTA DALAM MENANGKAL RADIKALISME MELALUI BERBAGAI MEDIA ____ 127
— Sakhinah dan Dr. Armawati Arbi M.Si —

KETAHANAN KELUARGA (FAKTOR-FAKTOR YANG MENDUKUNG) ____ 133


— Dr. Herry Koswara, M.Si —

IDEOLOGI RADIKALISME ISLAM DI MEDIA REPUBLIKA


DAN KORAN TEMPO DALAM MEWACANAKAN HOMOSEKSUAL ____ 139
— Fita Fathurokhmah —

TANTANGAN DAKWAH DI ERA POST-REALITAS ____ 153


— Drs. S. Hamdani, MA —

KELUARGA BENTENG TERKUAT HALAU TERORISME DI INDONESIA ____ 163


— Dr. Siti Napsiyah, S.Ag., BSW., MSW —

KOLABORASI AGENSI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PERSPEKTIF PENTA HELIX ____ 169


— Tantan Hermansah —
SOCIAL ENGINERING: PEMBANGUNAN MASYARAKAT BERAHLAKUL KARIMAH
SEBAGAI AGENDA PENYULUH AGAMA DI CIANJUR ____ 177
— Tasman —
REPRODUKSI BUDAYA DAN KESALEHAN LINTAS GENERASI:
PENGALAMAN DI PAHUWATO PROPINSI GORONTALO ____ 201
— Kholis Ridho, M.Si —
Konter Radikalisme: Studi Gerakan Dakwah Jamaah Nur di Indonesia

KONTER RADIKALISME:
STUDI GERAKAN DAKWAH JAMAAH NUR DI INDONESIA
Edi Amin

Abstrak. Tulisan ini membuktikan bahwa pemahaman dan kepatuhan pada nilai-nilai yang
terkandung dalam teks panduan, dapat memantapkan suatu gerakan dalam membangun
komunitas. Komunitarianisme global yang menjadi acuan dakwah Jamaah Nur menekankan
pentingnya panduan moral, keterbukaan dan partisipasi masyarakat, meskipun nilai-nilai
keyakinan satu umat sangat dominan. Jamaah Nur mencoba mendialogkan dan menawarkan
konsepsi dakwah yang bersumber dari ajaran Islam guna melawan sektarianisme,
radikalisme, fanatisme, kediktatoran, penindasan dan menjawab problematika masyarakat
modern yang kompleks. Tulisan ini menguatkan teori komunitarian dengan berbasis
komunikasi yang telah dibangun oleh Andi Faisal Bakti (2004 dan 2010); Peter Mandaville
(2009) tentang gerakan Islam transnasional di Asia Selatan yang bercorak filantropis dan
organisasi dakwah; Metin Karabaşoğlu (2003) tentang adanya hubungan antara teks dan
komunitas. Disertasi ini menolak pandangan R. J. Ravault (1992) bahwa gerakan keagamaan
dan sosial yang bercorak komunitarianisme adalah sektarianisme. Sumber tulisan ini adalah
data dari observasi partisipan, karya Said Nursi dalam Risale-i Nur yang terbit tahun 2013,
buku, jurnal, hasil simposium, hasil musyawarah, dokumentasi, dan seminar.

Kata Kunci: Konter Radikalisme, Dakwah, Jamaah Nur.

A. Pendahuluan
Dakwah Jamaah Nur dipelopori oleh tokoh ulama Bediuzzaman Said Nursi. Nursi berusaha
menawarkan etika komunitarian yang bersumber dari ajaran Islam untuk menjawab problematika
masyarakat modern. Modern banyak diidentikkan dengan Westernisasi. Dawam Rahardjo
menyatakan bahwa “gagasan modernisasi pada awalnya dipersepsikan sebagai westernisasi. 1
Persepsi itu adalah proses kemasyarakatan yang berorientasi pada nilai-nilai kebudayaan Barat
yang dianggap lebih maju” (Rahardjo, 2015: 27).
Rezim Mustafa Kemal Atatürk yang membawa semangat modernisasi pada westernisasi
terjebak pada sekulerisasi yang ”kebablasan”. Inilah yang mendorong tokoh seperti Nursi
mengobarkan semangat komunitarian yang berlandaskan ajaran agama (Islam) hingga bisa disebut
sebagai komunitarian (ummatic). Komunitarian ummatic mengacu pada proses kemasyarakatan
yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Cak Nur sebagaimana diungkapkan Dawam, dengan
mengutip John Gardner, seorang cendekiawan yang menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dalam
Kabinet John F. Kennedy, menyatakan bahwa semua peradaban besar dunia selalu berbasis agama
(Rahardjo, 2015: 27). Dalam konteks ini, nampaknya Nursi tidak berlebihan dengan optimismenya
jika masa depan adalah milik Islam.
Said Nursi (1877-1960) merupakan salah satu tokoh kunci bagi pengembangan
spiritualitas di Turki era modern. M. Sait Özervarli menyatakan:
“Said Nursi is one modern scholar deeply who engaged in the revitalization of Islamic
thought in modern Ottoman/Turkish society, with perhaps a greater acquaintance
with social philosophy and theology compared to others. To begin with, Nursi devoted
his life to the restoration of religious expression in the public sphere, aiming to re-
establish Islam as a live and practiced religion in an age of criticism, positivistic
scientism, and radical secularism” (Ozervarli, 2010: 543).
Nursi hidup dalam tiga fase penting sejarah transisi di Turki, yaitu masa penghapusan
kekhalifahan Usmani 1924, kemudian digantikan rezim sekuler (1925- 1950), dan pasca 1950
yang dipimpin Partai Demokrat. Tiga fase sejarah tersebut ikut melatarbelakangi kehidupan dan
pemikiran Nursi yang ia bagi menjadi tiga fase pula: Said Nursi lama (the old Said Nursi) (1876-
1925), Said Nursi Baru (the new Said Nursi) (1926-1950) dan Said Nursi ketiga (the third Said

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah
Dakwah Dikal di Media Sosial

DAKWAH DIKAL DI MEDIA SOSIAL


Dr. Syamsul Yakin, MA

A. Pendahuluan
Dakwah, secara bahasa, adalah sebuah kata dalam bahasa Arab dalam bentuk masdar.
Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut berarti memanggil, menyeru, menegaskan atau membela
sesuatu, perbuatan atau perkataan untuk menarik manusia kepada sesuatu, dan memohon dan
meminta atau doa (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009:3). Dengan demikian, bisa dipahami
bahwa kegiatan dakwah melibatkan manusia, baik yang berdakwah (da’i) maupun yang didakwahi
(mad’u). Jadi, secara implementatif, dakwah merupakan kerja dan karya besar manusia. Usia kerja
dakwah sudah cukup tua, yakni sejak adanya tugas dan fungsi yang harus diemban oleh manusia
di muka bumi (Enjang AS dan Aliyudin, 1; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, 2003; dan Samsul Munir
Amin, 2014). Selain itu dakwah juga memerlukan media sosial, baik tradisional, konvensional,
maupun virtual.
Dalam studi ilmu dakwah, pesan dakwah terdiri atas ayat-ayat al-Qur’an, hadits Nabi SAW,
pendapat para sahabat, ijtihad ulama, hasil penelitian ilmiah, kisah dan pengalaman teladan,
berita dan peristiwa, karya seni dan sastra (Moh Ali Aziz, 2004:317-344). Sedangkan metode yang
disampaikan oleh da’i kepada mad’u adalah metode dakwah al-Hikmah, al-Mau’idzatul Hasanah,
dan Mujadalah bi al-Lati Hiya Ahsan (Munzier Suparta dan Harjani Hefni (ed), 2003). Selain ketiga
metode tersebut, secara lebih praktis ada enam metode dakwah lagi yang melibatkan manusia
secara kolosal, yakni: (1) metode ceramah, (2) metode diskusi, (3) metode konseling, (4) metode
karya tulis, (5) metode pemberdayaan masyarakat, dan (6) metode kelembagaan (Moh Ali Aziz,
2004:359-383).
Berdasar definisi dan spektrum ilmu dakwah di atas, frasa “dakwah radikal” tidak bisa 27
disandingkan. Karena radikal itu, secara etimologi, berarti melawan batas kewajaran, berdiri di
posisi ekstrem dan jauh dari posisi tengah-tengah. Secara terminologi, kata itu berarti, fanatik
pada satu pendapat serta menegasikan pendapat orang lain, abai terhadap historisitas Islam, tidak
dialogis, serta harfiah dalam memahami teks tanpa mempertimbangkan tujuan esensial syariat
(maqashid al-syari’at) (Irwan Masduqi, 2011:116-117). Jadi, tidak ada dakwah radikal sebab tidak
ada dakwah dengan pesan radikal, menebar terror, menghakimi, mengkafiri. Namun istilah itu
digunakan sebagai lawan dari “dakwah damai” (Acep Aripudin dan Syukriadi Sambas, 2007).
Frasa “dakwah radikal” selain sebagai lawan dari “dakwah damai”, secara sintaksis, sama
dengan istilah “dakwah online” (Lihat Fadil Ibnu Ahmad, 2015). Gerakan dakwah radikal kendati
memiliki kontradiksi secara konsepsional-filosofis, namun secara praktis-implementatif harus
diakui keberadaannya. Hanya saja dakwah dalam konteks tersebut, lebih tepat dipahami sebagai
provokasi, ekspresi frustasi terhadap persoalan ekonomi, hukum, keadilan dengan menciduk ayat
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah secara fragmentatif. Menurut John L. Esposito (2017:viii) mereka
membajak Islam guna tujuan-tujuan mereka yang tidak suci. Otoritas sejarah (Nabi Muhammad
SAW) dijadikan sebagai landasan berpikir, preseden, dan interpretasi agama untuk mencari
pembenaran.
Tulisan ini tidak diarahkan sebagai studi analisis wacana kritis dakwah radikal di media
sosial dengan menggunakan, misalnya, teori hirarki pengaruh yang dikembangkan oleh Pamela J.
Shoemaker dan Stephen D. Reese (1996). Dengan teori ini bisa dipahami bahwa isi pesan dakwah
radikal yang disampaikan kepada khalayak media merupakan hasil pengaruh kebijakan internal
organisasi media. Atau meminjam bahasa Stephen D. Reese (1991), pesan dakwah radikal atau
agenda dakwah radikal adalah hasil tekanan yang berasal dari dalam dan luar organisasi dakwah
radikal itu sendiri dalam berbagai level, mulai dari individual level hingga ideology level (1996:60).

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah
Manajemen Pemasaran Sosial Pada Program Minggu Produktif
di Lembaga Rumah Semut Jalan Peduli Tangerang Selatan

MANAJEMEN PEMASARAN SOSIAL PADA PROGRAM MINGGU


PRODUKTIF DI LEMBAGA RUMAH SEMUT
JALAN PEDULI TANGERANG SELATAN

Azhar Fuadi dan Muhtadi

Abstrak. Permasalahan pada penelitian ini adalah kekerasan pada anak adalah tindakan
negatif yang dilakukan oleh seorang pelaku kekerasan kepada anak-anak yang dilakukan
melalui kekerasan verbal ataupun non verbal. Kekerasan ini menimbulkan kerugian bagi
anak-anak seperti trauma yang berkepanjangan sehingga anak menjadi takut dan tertutup
dengan lingkungan sekitarnya. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia menjelaskan bahwa
kekerasan yang terjadi pada anak di Indonesia setiap tahun jumlahnya semakin meningkat.
Program Minggu Produktif merupakan program pemberdayaan masyarakat yang digagas
oleh Lembaga Rumah Semut Jalan Peduli yang efektif untuk memberikan sebuah edukasi
dan hiburan kepada anak-anak. Tujuannya adalah memberikan sebuah kegiatan positif dan
untuk menghibur anak-anak yang mengalami kekerasan di lingkungan tempat tinggalnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses manajemen pemasaran
sosial dan proses difusi inovasi pada Program Minggu Produktif. Proses gagasan yang ada
dalam program Minggu Produktif dapat diadopsi oleh masyarakat sehingga menimbulkan
perubahan sosial yang signifikan. Manajemen pemasaran sosial adalah ide serta gagasan
berupa program dari sebuah lembaga yang tujuannya adalah mengubah perilaku masyarakat
yang mengarah kepada kebaikan. Dimana program ini berdampak positif bagi perubahan
perilaku anak-anak yang menjadi lebih percaya diri, mandiri, dan berani berpendapat. Adopsi
inovasi dari Program Minggu Produktif diterima oleh masyarakat sehingga menimbulkan
perubahan perilaku di lingkungan masyarakat.

Kata Kunci: Pemasaran sosial, difusi inovasi, kekerasan anak.


37
Abstract. The problem in this study is violence in children is a negative action perpetrated
by the perpetrators of violence against children committed through verbal or non verbal
violence. This violence causes a danger to children such as prolonged trauma that the child
becomes fearful and closed with the surrounding environment. Data from the Indonesian
Child Protection Commission explains that violence occurring in Indonesian children each
year is increasing in number. Minggu Produktif Program is a community empowerment
program initiated by the Institute of Careful Antsca Street Homes to provide education and
entertainment to children. The goal is to provide positive activities and entertain children who
experience violence in their environment. This study aims to find out how the process of social
marketing management and innovation diffusion process in Productive Week Program. The
process of ideas existing in the Productive Week program can be adopted by communities that
generate significant social change. Social marketing management is the idea and program
idea of ​​an institution whose purpose is to change people’s behavior that leads to goodness.
Where this program has a positive impact on changes in the behavior of children who become
more confident, independent, and courageous opinion. The adoption of innovation from
Minggu Produktif Program is accepted by society so that it causes behavioral changes in the
community environment.

Keywords: Social marketing, innovation diffusion, child abuse.

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah
Peran Media Sosial dalam Menangkal Paham Radikal Destruktif

PERAN MEDIA SOSIAL DALAM MENANGKAL


PAHAM RADIKAL DESTRUKTIF
Achmad Fachrudin

Abstraks. Infiltrasi dan diseminasi paham radikal destruktif melalui media sosial tampaknya
tengah ngetren dan di masa depan. Hal ini disebabkan karena kemudahan, kecepatan dan
kemurahan yang harus dikeluarkan namun di sisi hasilnya jauh lebih efektif. Hal tersebut
berjalin dengan berbagai faktor lainnya, seperti faktor ideologis, dan agama, ekonomi,
sosial, budaya, lingkungan, dan sebagainya. Bahkan konspirasi global, juga bukan tidak
mungkin turut andil dalam memperkeruh suasana. Untuk pencegahannya, diperlukan suatu
kerjasama yang baik antara berbagai elemen dan komponen bangsa dengan melibatkan
terutama Kemkominfo dengan kepolisian karena kedua instansi inilah yang memiiki
kewenangan, sarana dan prasarana, serta sumber daya yang memadai. Bahkan diharapkan,
kalangan universitas dapat dilibatkan dalam untuk melakukan patroli siber (cyber patrole)
bersama untuk memerangi kejahatan di dunia maya, khususnya terkait dengan kejahatan
desseminasi doktrin radikal destruktif.

A. Pendahuluan
Mungkin tidak terlalu salah jika dikatakan di antara tema, wacana, isu atau peristiwa yang
selalu aktual dan paling kontroversial dalam dinamika dan realitas kehidupan sosial keagamaan di
Indonesia adalah terkait dengan paham atau doktrin radikal (radikalisme) dan teror (terorisme).
Sebenarnya secara leksikon, kata radikal netral-netral saja dan bahkan bisa dianggap positif
karena kata radikal (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1990:36) sejatinya mengandung arti akar
atau sampai ke akar-akarnya. Bagi mahasiswa atau calon intelektual, berfikir ke akar-akarnya
harus menjadi motivasi, credo dan etos intelektualitas manakala ingin menjadi orang-orang yang
benar-benar dapat memahami ilmu pengetahuan secara mendalam. 53
Dengan demikian, apa yang keliru dengan paham atau aksi radikal atau radikalisme?
Tentu saja tidak ada yang keliru. Para pemikir, cendekiawan, ulama dan apalagi filsuf ternama,
seperti Ibnu Rusy, Al Gozali, Albert Einstein, Plato, untuk menyebut sejumlah nama, sampai derajat
keilmuwan yang demikian tinggi karena menganut dan melaksanakan faham atau doktrin radikal.
Tanpa melalui proses belajar, berfikir dan bekerja seperti itu, dapat dipastikan mereka tidak akan
mampu menelorkan karya dan buku yang hingga kini terus dibaca dan dijadikan referensi para
pembelajar hingga saat ini. Dalam konteks ini, makna radikal menjadi positif.
Dalam konteks pemahaman dan perilaku keagamaan, menurut Ketua MUI KH. Ma’ruf
Amien, radikalisme agama itu menjadi negatf manakala terjadi hal-hal sebagai berikut, yakni:
pertama, fanatik mazhab dan tidak mau mengakui pendapat orang lain. Kedua, mempersukar diri
dalam melakukan kewajiban. Ketiga, bersikap kasar dan keras. Keempat, mudah mengkafirkan.
Padahal sikap ini sangat dilarang karena orang yang sudah dikafirkan akan berimplikasi pada
pengguran hak kehormatan orang lain, dan menghalalkan jiwa mereka, serta tidak melihat lagi
hak mereka untuk tidak diganggu dan hak diperlukan secara adil (KH. Ma’ruf Amien, 2007: 84-88).
Pandangan seputar radikalisme, khususnya dalam konteks keagamaan menimbulkan
berbagai komplikasi masalah yang rumit karena dimaknai tidak secara seragam, baik di kalangan
cendekiawan dan pengamat muslim dan apalagi yang non muslim, yang hampir dipastikan
pemahamannya bias dengan latar belakang keilmuwan, budaya, agama, kepentingan politik dan
sebagainya. Misalnya, definisi Sidney Jones dari International Crisis (Sidney Jones, 2009) yang
menyebut kelompok Islam radikal adalah mereka yang memahami Islam secara harfiah dan
menolak interpretasi rasional dan kontekstual terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
Jones menuding, penganut aliran ini cenderung tidak toleran terhadap aliran lain yang
berbeda paham, memperjuangkan Islam secara total, mendirikan khilafah atau Negara Islam dan
mendesak formalisasi syariat Islam. Jones juga membagi aliran dalam Islam menjadi dua jenis,

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah
Teknologi dan Digitalisasi Dakwah
(Pemanfaatan Media Sosial untuk Keberhasilan Dakwah)

TEKNOLOGI DAN DIGITALISASI DAKWAH


(PEMANFAATAN MEDIA SOSIAL UNTUK KEBERHASILAN DAKWAH)
A. Ilyas Ismail

A. Pendahuluan
Pada masa lalu, teknologi tidak memiliki peran sosial yang terlalu penting dalam kehidupan
manusia. Ini berbeda keberadannya dengan zaman baru sekarang. Teknologi, seperti dikatakan
Peter Kroes (2005:1-41) kini menjadi salah satu isu penting dalam studi moral atau agama, karena
beberapa alasan sebagai berikut ini:
a. Penetrasi teknologi sangat kuat terhadap kehidupan manusia. Tidak ada sisi kehidupan
yang tidak dimasuki jaringana teknologi, tak terkecuali ranah sosial budaya dan
agama (dakwah).
b. Terjadi penyalahgunaan teknologi dalam PD I dan PD II, juga dalam perang pasca
perang dingin antara blok barat dan blok timur.
c. Dampak teknologi sangat besar terhadap kehidupan manusia sebagai pembebas
maupun sebagai penghalang. Itu sebabnya, teknologi menjadi salah satu topik
istimewa etika, karena teknologi telah mengubah kondisi manusia secara mendasar,
menimbulkan masalah-masalah besar global yang meluas ke masa depan yang tak
terbatas.
d. Disadari ataupun tidak, mesin atau teknologi, meskipun produk ciptaan manusia,
ia telah menjadi kompetitor manusia yang membuatnya tak selalu menjadi pengen-
dali, tetapi dikendalikan, atau dengan kata lain, manusia tidak sepenuhnya menja-
di subjek, tetapi dalam situasi tertentu, ia menjadi objek teknologi. Kenyataan inilah
yang sejak awal diingatkan oleh filosof semacam Martin Heidegger (Alan R. Dreng- 65
son,1982:103-117).
Beberapa kenyataan di atas menjadi salah satu pertimbangan mengapa kita harus
membahas teknologi dan digitalisasi dakwah atau secara lebih khusus pemanfaatan media sosial
(media daring/online) untuk keberhasilan dakwah. Semangat dasarnya, tak lain, adalah menjawab
pertanyaan, bagaimana kemajuan teknologi dapat secara positif dan produktif dimanfaatkan
untuk kemajuan dakwah dan kemajuan keadaban umat manusia.
Tulisan ini akan diawali oleh ucapan selamat datang, welcome atau tahni`ah, atas lahirnya
era baru, yaitu era digital yang menyebabkan pergeseran dari industri ke informasi dan dari homo
sapien ke homo-digitalis. Selanjutnya, akan dibahas ancaman (segi-segi negatif) dan peluang
(segi-segi positif) media sosial untuk dakwah, hukum penggunanannya secara syariah, serta
optimalisasi pemanfaatannya untuk keberhasilan dakwah.

B. Dari Industri ke Informasi


Modernisme yang ditandai, antara lain, oleh rasionalisasi dan industrialisasi, mencapai
puncaknya pada abad ke-20. Namun penting dicatat bahwa sejak penghujung abad yang lalu,
timbul fenomena baru, yaitu kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat menonjol,
menandai dimulainya sebuah era baru, yaitu era informasi. Kemajuan di bidang teknologi informasi
ini semakin fenomenal pada permulaan abad ke-21 hingga sekarang ini. Tak heran bila abad
baru ini biasa disebut sebagai abad (informasi) digital (digital age). Apa yang pada tahun 1980-
an diramalkan oleh futurolog Alvin Tofler (1928-2016) – tentang 3 (tiga) gelombang peradaban
manusia, yaitu era pertanian (agraris), industri, dan informasi – kini menjadi kenyataan. Kita pun
pantas memberi tahni`ah dan mengucapkan salamat datang, “Welcome to the Digital Age.” (Sarita
Nayar, 2016:3-12).
Di era informasi ini, seperti dikatakan Sarita Nayyar, managing director Forum Ekonomi

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah
Combination of Old and New Mediain Da’wa:
The Case of Nursi’s Movement

COMBINATION OF OLD AND NEW MEDIAIN DA’WA:


THE CASE OF NURSI’S MOVEMENT
Adeni, S. Kom.I., M.A

Abstract. Development of Nursi’s da’wa in the world is determined by the existence of Risale-i
Nur as a traditional media. In addition to Risale-i Nur, Nursi movement is also using other
media such as radio, television, blogs-websites, whatsapp, youtube, and facebook. Taking a
case study in Indonesia, this paper attempts to answer how is the use of media in the da’wa
of Nursi’s movement? To what extent are two types of media (old and new) used by the Nursi
movement in their da’wa activities. This paper uses the perspective of old media and new
media (David Holmes, 2005). Old media tend to be one-way and new media tend to be more
open and emphasize interactivity. It also uses combination of old and new media by Branston
and Stafford (2010) who stated that the study of media has always explored the ‘new,’ and
that some of the key theories for existing media are still relevant, alongside newly necessary
concepts. With the method of observation, unstructured interview, and documentation, this
paper concluded that the Nur movement emphasizes the use of two types of media, old and
new in a balanced way. This is because Islamic propaganda, on the one hand, must be done
with openness without coercion, but on the other hand, it also requires the power of imposition
when it comes to an ideology. The old media used are Risale-I Nur itself as a writing media
and radio as an electronic media. The emphasis of old media is aimed at maintaining the
orientation and purpose of da’wa because the message on the old media which is one-way
and centralized is more relevant with Nursi’s preaching which is based on a figure. Nursi’s
movement also adopts new media such as blogs-website, whatsapp, youtube, facebook, and
instagram. The use of new media by this movement aims at contextualizing the teachings of
Nursi in the context of a media literate society and also to building social network in order to
introduce people to Said Nursi figure.

Keywords: Risale-i Nur, Old Media, New Media, and Nursi’s Movement. 79

A. Introduction
The study of communication media, as Bakti (2012: 13-30) said, developed rapidly along
the development of human civilization. Recently, media studies have focused more on media in the
context of technological developments. People generally assume that the major studies of media
relate to new media. The emergence of the internet with all kinds of social media is considered
as something that has replaced the era of traditional media (Severin and Tankard, 2001: 366; see
also Ward and Cahill, 2009). Though ideally, within certain limits, the role of traditional media
still remains relevant in the struggle of a mission and ideology, especially in the midst of obscurity
messages that occur in cyberspace as it is today.
Today, people are facing at least two major dilemmas about media messages. First, a hoax
media message that comes from an obscure source. Hoax occurs because of the presence of social
media that gives everyone a freedom to convey the message as they wish, so sometimes it violates
the values (Pavlik, 1996). In this context, the public receives a message blindly without trying to
clarify and confirm it. Second, media messages arise from a clear source, but they are provocative.
In this second case, the public is confused with the mutual messages among many actors including
religious leaders (Bakti, 2000: 34-46),which occurred in the media. These two characters of the
media message, in turn, show the vagueness of the message in the context of today’s media world.
In the context of da’wa, the media has been used in such a way. The use of media in da’wa
if referring to the view of Ustadh Said Nursi (Sayq al-Islam, 1995: 47), is a way of adjusting da’wa
with place and time. The use of television,radio,blogs, Youtube, and other social media in da’wa is
a massive form of media use in da’waactivities. On the one hand,that reality is indeed proud, very
efficient, and contextual with the development of society (Bakti, 2011). But on the other hand,
itoften also leads the community in turmoil and confusion.They are confused to determine the

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah
Dakwah Mediasi: Perspektif Sejarah Islam

DAKWAH MEDIASI: PERSPEKTIF SEJARAH ISLAM


M. Yakub

Abstract: This review discusses mediation as part of dakwah media. The purpose of this study
is to analyze the role of mediation dakwah in overcoming various problems of the ummah.
Using the historical analysis approach, this study tries to explore how the role of mediation
dakwah in overcoming the conflicts that occur as part of the problems of the ummah. Dakwah
is a way in the way to spread the teachings of Islam, with Islamic dakwah can be felt until
the world. But in the process of dakwah sometimes encounter frequent clashes and obstacles,
one of them in handling horizontal conflict and vertical conflict amid society, from ideology
problem, understanding and even mutual thinking. This is where the need for mediation in
the world of dakwah. We need to understand mediation to mediate or dispute resolution
through mediate called mediators. For that mediation system, look for problem solving
through mediator. The explanation of mediation is one of conflict resolution alternatives as a
breakthrough on traditional settlement methods through litigation.
Keywords: Dakwah mediation, Islamic history

Abstrak. Kajin ini membahas mengenai mediasi sebagai bagian dari media dakwah.
Tujuan dari kajian ini adalah untuk menganalisis peran dakwah dalam mengatasi berbagai
permasalahan ummat. Dengan menggunakan pendekatan analisis sejarah, kajian ini
mencoba menggali bagaimana peran dakwah mediasi dalam mengatasi konflik yang terjadi
sebagai bagian dari permasalahan ummat. Dakwah merupakan jalan yang di tempuh untuk
menyebarluaskan ajaran Islam, dengan dakwah Islam dapat dirasakan sampai kepenjuru
dunia. Namun dalam proses dakwah terkadang sering menemui dan hambatan, salah
satunya dalam menangani konflik horizontal maupun konflik vertikal ditengah masyarakat,
dari masalah ideologi, pemahaman dan bahkan pemikiran yang saling berbeda. Disinilah
dibutuhkannya mediasi dalam dunia dakwah. Perlu kita pahami bahwa mediasi menengahi
atau penyelesaian sengketa melalui penengah yang disebut sebagai mediator. Untuk itu 91
sistem mediasi, mencari penyelesaian masalah melalui mediator. Penjelasan mengenai
mediasi merupakan salah satu alternative penyelesaian konflik sebagai terobosan atas cara-
cara penyelesaian tradisional melalui litigation.
Kata kunci: Dakwah mediasi, Sejarah Islam

A. Pendahuluan
Mediasi merupakan bagian dari media dakwah. Sebagaimana diungkapkan bahwa media
dakwah adalah instrumen yang dilalui oleh pesan atau saluran pesan yang menghubungkan
antara da’i dan mad’u. Pada prinsipnya dakwah dalam tataran proses, sama dengan komunikasi,
maka media pengantar pesan pun sama (Abdur Razzaq, 2011). Dalam mediasi, seluruh pihak yang
bertikai, konflik dan berseteru disuruh bersama secara pribadi, untuk saling berhadapan antara
yang satu dengan yang lain. Seluruh pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga
yang netral dan objektif. Sungguh peran dan fungsi mediator sangat membantu untuk seluruh
pihak dalam mencari jalan keluar atas penyelesaian konflik dan masalah. Penyelesaian yang
hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di antara para yang saling
berselilih pendapat dan paham. Untuk mencapai kata kesepakatan mediator menegaskan serta
memperingatkan untuk jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari kemenangan,
dalam artian harus transparan dan objektif.
Jikalau terjadi masalah yang sangat sensitif atara para pihak konflik dan pertikaian
akan terjebak pada yang dikemukakan Joe Macroni yaitu apabila salah satu pihak ingin mencari
kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and
you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no the way). Tidak memeiliki titik
terang dalam menghadapi permasalahan yang terjadi. Disinilah kearifan dakwah yang memiliki
fungsi peranan penting dalam mengajak, menyeruh orang lain agar dengan berlapang dada

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah
Proses Komunikasi Antar Pribadi dalam Praktik Konseling

PROSES KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI DALAM PRAKTIK KONSELING

Dr. Sumarto, S.Sos.I, M.Pd.I

A. Pendahuluan
Keterampilan komunikasi perlu dikuasai oleh konselor karena saat ini berkembang
pemikiran bahwa semua layanan thehelpingpofessionismengutamakan penemuan self-healing
capacitydari setiap individu yang di layani sehingga masing-masing mampu mengatasi masalahnya
sendiri. Pada gilirannya, selain ditentukan oleh ketepatan pilihan paradigma, kemajuran proses
komunikasi konseling ditentukan oleh kemampuan konselor dalam berkomunikasi yang akan
mampu menjaring kapasitas konseli (positive asset search).
Konselor harus menguasai keterampilan konseling adalah hal ini adalah mutlak. Sebab
dalam proses komunikasi konseling teknik yang baik merupakan kunci keberhasilan untuk
mencapai tujuan konseling. Seorang konselor yang efektif harus mampu merespon konseli dengan
teknik yang benar, sesuai keadaan konseli saat itu. Respon yang baik adalah pernyataan-pernyataan
verbaldan non verbal yang dapat menyentuh, merangsang, dan mendorong sehingga konseli
terbuka untuk menyatakan dengan bebas perasaan, pikiran dan pengalamannya. Selanjutnya
konseli terus terlibat dalam mendiskusikan mengenai dirinya bersama konselor.
Dalam buku Materi Bimbingan Teknis Pengembangan Karir Guru BK Dikmen dijelaskan
bahwa komunikasi antar pribadi atau interpersonalmerupakan wahana utama dalam interaksi
konseling, hal ini berarti bahwa di perlukan kejernihan makna dalam komunikasi sehingga tidak
ada salah tangkap antara yang dimaksud oleh pihak yang menyampaikan pesan (konseli) dengan
pihak yang menerima pesan (konselor) dan sebagaimana diketahui dalam komunikasi konseling,
peran sebagai pengirim atau penerima pesan itu bergantian secara dinamis.
Selanjutnya berbeda dari sumber dan penerima suara dalam sarana pancar-rekam mekanik, 103
kejernihan dalam komunikasi antar pribadi juga sangat tergantung pada makna kontekstual
yang melekat pada tiap ujaran dan isyarat non verbal yang lazimnya menyertai ujaran, yang
pada dasarnya tergantung pada kesetaraan antara pengelola makna budaya yang digunakan oleh
konselor dengan pengolah makna budaya yang digunakan oleh konseli (Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan, 2012).
Pada dasarnya trust terbangun atas dasar dua unsur yang dipersepsi oleh konseli yaitu
adanya kepercayaan oleh konseli kepada konselor bahwa konselor yang membantunya memiliki;
memiliki kompetensi untuk menolong dirinya dan konselor tidak akan menggunakan kelebihan
kompetensinya itu untuk mencederai dirinya. Oleh karena itu membangun kepercayaan juga bisa
dari ketauladanan dari konselor dan hubungan keakraban yang ditampakkan oleh konselor bisa
dalam komunikasi yang bersahaja dan budi pekerti yang mulia.

B. Komunikasi Antar Pribadi (Interpersonal)


1. Sejarah Komunikasi Antar Pribadi(Interpersonal)
Dalam catatan sejarah yang jauh lebih luas mengenai komunikasi, para ilmuan telah
menempatkan studi mengenai komunikasi interpersonal dan sebagai fokus studi ke dalam speech
communications. Studi komunikasi antar pribadi mulai berkembang secara besar-besaran di
Amerika Serikat sejak tahun 1960-an.
Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui banyaknya karya yang telah dirintis di bidang
komunikasi interpersonal sebelum periode tersebut yaitu di awal tahun 1900-an George Simmel
telah melakukan observasi secara cermat mengenai komunikasi interpersonal. Tahun 1920-an dan
1930-an banyak bibit intelektual bagi studi komunikasi antar pribadi telah disemai. Selama tahun
1920-an dan 1930-an Elton Mayo dan para koleganya di Harvard Buseness School menemukan
kekuatan potensial mengenai interaksi sosial dan hubungan-hubungan sosial di tempat kerja.

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah
Pola Penyebaran Paham Radikal Melalui New Media

POLA PENYEBARAN PAHAM RADIKAL


MELALUI NEW MEDIA
Asep Usman Ismail

A. Radikal dan Radikalisme


Istilah radikal atau radikalis berasal dari kata radical yang berarti akar dan radically yang
berarti “bersifat mendasar hingga sampai ke akar-akarnya”. Dengan demikian, pemikiran radical
berarti pemikiran yang mendasar hingga sampai ke akar-akarnya. (KBBI). Dalam kamus Bahasa
Inggris, kata radical diartikan dengan ekstrem atau bergaris keras. Sementara itu, paham radikal
atau radikalisme berarti paham atau aliran yang menghendaki perubahan total hingga ke akar-
akarnya atau fundamental reform. (Oxford Advanced Dictionary). Inti radikalisme adalah faham
radikal yang menghendaki perubahan dengan menggunakan kekerasan. Faham ini merupakan
faham politik yang menghendaki perubahan secara ekstrem sesuai dengan cita-cita dan ideologi
yang mereka anut.
Radikalisme pada hakikatnya, mempunyai makna netral. Ketika radikalisme dibawa ke
wilayah terorisme, maka radikalisme memiliki konotasi negatif, karena pada umumnya terorisme
memiliki makna militansi dengan kekerasan yang kemudian dianggap anti sosial. Dengan demikian,
radikalisme tidak memiliki makna tunggal, tetapi tergantung pada konteksnya. Dalam konteks
terorisme, radikalisme merupakan kekerasan. Dalam konteks pemikiran, radikalisme bukan
kekerasan sehingga tidak menjadi persoalan sejauh tidak diikuti tindakan kekerasan. (Hikam,
2016:48-49). Sebuah pemikiran baru memenuhi kualifikasi pemikiran filsafat, apabila pemikiran
itu bersifat radical, yaitu pemikiran yang mendalam hingga ke akar-akarnya. Pemikiran filsafat
selain bersifat radical, juga pemikiran tersebut masuk akal, rasional atau ma’qûl dan dirumuskan
dengan sistematis dan metodologis.
Radikalisme atau paham radikal muncul dalam kehidupan personal dan sosial. Pada 115
awalnya radikalisme merupakan pemikiran individu dalam masyarakat, tetapi kemudian
mengalami transformasi sehingga berkembang menjadi paham kelompok. Paham radikal itu
beragam. Ada yang berbasis sekulerisme, etnosentisme, totalitarianisme atau keagamaan. (Muluk,
2016: 26). Radikalisme keagamaan merupakan fenomena yang biasa terjadi di dalam agama apa
pun sehingga radikalisme keagamaan tidak bisa secara serta merta dialamatkan kepada kelompok
penganut agama tertentu.
Akar tunjang yang menjadi penyebab utama munculnya paham radikal dalam agama
atau radikalisme keagamaan adalah pemahaman terhadap sumber ajaran agama secara literal.
Radikalisme keagamaan dalam Islam berawal dari pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur`an
secara harfiah, yaitu pemahaman Al-Qur`an yang tidak utuh, lengkap dan menyeluruh. Jadi,
munculnya faham radikal dalam Islam berawal dari adanya individu-individu yang sangat bergairah
dalam memahami Al-Qur`an sebagai sumber utama ajaran Islam, tetapi cara memahaminya tanpa
berpedoman pada ilmu-ilmu Al-Qur`an. Sebuah penafsiran Al-Qur`an dengan mengabaikan asbâb
al-nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur`an), mengabaikan munâsabah (korelasi antara ayat Al-
Qur`an) dan mengabaikan Sunnah dan Sirah Nabi Muhammad saw. Mereka tidak memahami bahwa
Sunnah Nabi merupakan tafsir atau penjelasan otentik tentang maksud, pesan atau kandungan
Al-Qur`an, sedangkan Sirah Nabi (Sejarah Perjuangan Nabi) merupakan kontekstualisasi ayat Al-
Qur`an pada kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang dilakukan Rasulullah saw bersama para
sahabat. (Hikam, 2016:5).
Pemahaman Al-Qur`an secara literal yang dilakukan secara terus menerus di bawah
bimbingan mentor tunggal yang radikal dan kharismatik terbukti cukup efektif melahirkan
pribadi-pribadi radikal dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Mereka menjadi pribadi-pribadi
militant dengan doktrin keagamaan yang radikal dalam memandang berbagai aspek kehidupan.
Pada diri mereka tumbuh radikalisme agama yang menjelma menjadi ideologi terorisme. Oleh

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah
Strategi Persuasif Pengurus Komunitas Terang di Jakarta
dalam Menangkal Radikalisme Melalui Berbagai Media

STRATEGI PERSUASIF PENGURUS KOMUNITAS TERANG DI JAKARTA


DALAM MENANGKAL RADIKALISME MELALUI BERBAGAI MEDIA
Sakhinah dan Dr. Armawati Arbi M.Si

Abstrak. Komunitas Terang di Jakarta mengajak ke perubahan dan hijrah. Apakah komunitas
anak muda ini termasuk radikal? Makna radikal terlalu multitafsir dan multimakna
ditemukan di berbagai artikel. Makalah ini mengajak diskusi apakah yang dilakukan
pengurus Komunitas Terang dan komunitasnya di Jakarta, termasuk pemikiran, sikap, dan
tindakan yang radikal? Ditemukan pemikiran, sikap, dan tindakan Komunitas Terang di
Jakarta menunjukkan perubahan yang positif bahwa mereka mengajak perubahan kembali
ke alquran dan cara berdakwahnya yang lembut. Mereka juga menggunakan tiga strategi
persuasif melalui non-media dan media.

Keywords: strategi persuasif, radikal, dan media.

A. Pendahuluan
Ada 106 artikel membahas radikalisme di Portal Garuda IPI. Namun mereka berbeda
memahami konsep radikalisme. Sebagian mengatakan bahwa radikalisme adalah sikap dan jiwa
mengusung perubahan diri, kelompok, dan organisasi ke perubahan perlahan dan revolusioner.
Sebagian mendefinisikannya sebagai pemikiran, sikap dan tindakan yang mengajak perubahan
melalui kekerasan. Ninin dkk (dalam Radikalisme Agama sebagai Bentuk Prilaku Menyimpang,
Studi Kasus FPI [Front Pembela Islam]) memandang perilaku FPI menyimpang. Namun, Agus
Sudarmaji meneliti prosedur berdemo FPI, menempuh berbagai tahap secara lisan dan tulisan
setelah mereka berkali-kali melakukan berbagai pendekatan ke Pemerintah Daerah (Pemda).
Mereka tidak tiba-tiba melakukan kekerasan, pihak PEMDA dan lembaga yang dikritik sudah 127
diajak dialog terlebih dahulu.
Menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, sebagaimana dikutip oleh Jalaludin Rakhmat
dalam buku Psikologi Komunikasi, komunikasi yang efektif minimal akan menimbulkan lima
hal dan salah satunya adalah pengaruh pada sikap seseorang atau bersifat persuasif (1998:13).
Komunikasi persuasif merupakan kegiatan penyampaian informasi kepada pihak lain dengan cara
membujuk dan bertujuan untuk memengaruhi sikap emosi (persuade).
Sejalan dengan tujuan dari komunikasi persuasif, adanya komunitas anak muda Islam
juga bertujuan untuk memengaruhi sikap, pendapat serta perilaku dari anak muda atau para
anggotanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, komunikasi persuasif juga harus ditunjang dengan
strategi komunikasi persuasif yang tepat.
Menurut Soleh Soemirat, dkk. dalam bukunya Komunikasi Persuasif, strategi komunikasi
persuasif adalah perpaduan dari perencanaan komunikasi persuasif dengan manajemen
komunikasi yang bertujuan untuk memengaruhi sikap, pendapat dan perilaku seseorang
(2007:1.29). Menurut Melvin L. De Fleur dan Sandra J. Ball-Rokeach, strategi komunikasi persuasif
terbagi menjadi 3, yaitu: 1) The Psychodynamic Strategy, 2) The Sociocultural Strategy, dan 3) The
Meaning Construction Strategy (dalam De Fleur, 1989:275).
Ketiga strategi komunikasi persuasif di atas diterapkan oleh salah satu komunitas muda
Islam, yaitu Komunitas Terang Jakarta. Sesuai dengan tagline mereka “Generasi Hijrah karena
Allah SWT”, komunitas yang berbasis di Jakarta ini mengajak anak-anak muda berhijrah agar
meninggalkan perbuatan maksiat dan tidak menoleh pada hal-hal yang menyebabkan Allah murka
(Muhammad, 2004:67). Komunitas ini terbentuk bertolak dari alasan anak muda yang merasa
segan untuk datang kajian di masjid karena memiliki tato, baru saja keluar dari rehabilitasi
narkoba, dan karena belum bisa membaca Al-Quran.

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah
Ketahanan Keluarga
(Faktor-faktor yang Mendukung)

KETAHANAN KELUARGA
(FAKTOR-FAKTOR YANG MENDUKUNG)

Dr. Herry Koswara, M.Si

A. Pengertian
Van Hook (2014) menjelaskan bahwa istilah ketahanan (resiliency) digunakan untuk
menjelaskan sebuah proses orang-orang mengelola (manage) tidak hanya untuk memikul
kesulitan, tetapi juga untuk menciptakan dan mempertahankan kehidupan yang bermakna dan
memberikan kontribusi pada orang-orang di sekitar. Jadi ketahanan merupakan proses untuk
mendapatkan keberhasilan dalam kehidupan meskipun banyak terpapar pada resiko yang tinggi.
Menurut Compton, Galaway dan Cournoyer (2005), “Resiliency is the ability to adjust, adapt, or
recover from change or adversity. It is the capacity to “bounce back” from troubles. Bila diterjemahkan
maka “Ketahanan adalah kemampuan untuk menyesuaikan/membiasakan diri atau memulihkan
diri dari perubahan atau kesengsaraan/kemalangan. Ini merupakan kemampuan (kapasitas)
untuk pulih kembali dari kesulitan-kesulitan. Hepworth, Rooney, Rooney dan Strom-Gottfried
(2017) mendefinisikan bahwa “Resilience is the capability of individuals and families to sustain
their functioning and to thrive when threatened by risk and adversity”. Ketahanan merupakan
kemampuan individu dan keluarga untuk mempertahankan keberfungsian mereka dan berjuang
bila terancam oleh resiko dan penderitaan. Menurut para penulis tersebut ini merupakan jawaban
atas pertanyaan mengapa terdapat beberapa keluarga yang berhasil bahkan ketika mengalami
penderitaan yang signifikan.
Van Hook (2014) selanjutnya mengatakan ketahanan merupakan proses dinamis sepanjang
siklus kehidupan dari individu dan keluarga, yaitu di mana terdapat keseimbangan antara stress
yang berkali-kali menerpa kehidupan seseorang dengan kemampuan untuk menanggulanginya. 133
Ketahanan juga dapat dipandang sebagai suatu kontinum yang bervariasi berdasarkan derajat
ketergantungan tidak hanya pada individunya, tetapi juga pada tahap perkembangan kehidupan
dan peristiwa-peristiwa kehidupan yang dihadapinya.
Warshaw dan Barlow dalam Glicken (2007) menawarkan 10 komponen ketahanan, yaitu
sebagai berikut:
1. Komitmen yang tidak ragu-ragu terhadap kehidupan (unambivalent commitment to
life)
2. Kepercayaan diri (self-confidence)
3. Kemampuan menyesuaikan diri (adaptability)
4. Memiliki banyak sumber daya (resourcefulness)
5. Kemauan untuk beresiko (willingness to risk)
6. Menerima tanggung jawab personal (acceptance of personal responsibility)
7. Memilikipandangan (perspectives)
8. Terbuka terhadap gagasan baru (openness to new ideas)
9. Kemauan untuk proaktif (willingness to pro-active)
10. Memberikan perhatian (attentiveness)
Glicken (2007) mendefinisikan ketahanan keluarga sebagai berikut: Family Resilience is
the ability of the family to deal with a crisis, to understand the potential risk factors associated
with this crisis, and to develop recovery strategies that permit family members to cope and adapt to
crisis situations. Ketahanan keluarga merupakan kemampuan keluarga dalam menghadapi krisis,
memahami potensi faktor-faktor resiko berkaitan dengan krisis tersebut, dan mengembangkan
strategi-strategi pemulihan yang dapat membuat anggota-anggota keluarga dapat menanggulangi
dan menyesuaikan diri dengan situasi-situasi krisis. Setiap keluarga pada suatu saat mengalami
krisis. Krisis keluarga dapat berbentuk masalah finansial, masalah kesehatan, tidak mempunyai
pekerjaan (unemployment), masalah perkawinan, penyimpangan perilaku pengasuh (caregiver),

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah
Ideologi Radikalisme Islam di Media Republika
dan Koran Tempo dalam Mewacanakan Homoseksual

IDEOLOGI RADIKALISME ISLAM DI MEDIA REPUBLIKA


DAN KORAN TEMPO DALAM MEWACANAKAN HOMOSEKSUAL

Fita Fathurokhmah

Abstract. The clash of media ideologies related to Islamic radicalism in covering homosexual
as the society major problem. How does media constructs texts in discoursing homosexual,
what factors do influence, how socio-cultural factors influence the discourse, discoursing
process of such reality. In the level of text analysis, occupies framing analysis from Robert
Ethmen. Text production, consumption,socio-cultural, uses Ideology of media theory Louis
Althuser. Multilevel analysis used is critical discourse analysis Norman Fairclough. Qualitative
approach with a critical paradigm that describes the observed reality behind reality that does
not appear in the newspapers. Conclusions: There are differences Republika and Koran Tempo
presenting a discoursing of homosexual. Republika newspaper haspractice dominated and
power with ideology of Islamic radicalism by preaching that refers to the Islamic fatwa, news
of FPI violence as a form of disagreement with the understanding homosexual, porn movies
circulation. The newspaper stated that homosexuality was banned religion and need to be
confronted in order not to spread in the community. Homosexuals as a despicable act, distorted,
need therapy, medical healing. Koran Tempo was directing the reader to the radicalism of
thought in Islam that the Homosexual rights of every individual who needs to be respected
while forbidden in Islam. Koran Tempo steers and influences the reader so that people pick
the renewal of thought with respect homosexuals as quoted in the news of the JIL. The media
ideology of Islamic radicalism about homosexuals affects the production and consumption
process. Staff production and journalists adhering to different ideologies both of these media.
Socio-cultural practices affect the homosexual discourse. President Susilo Bambang Yudhoyono
is implement democratization, respect for differences of opinion, then Homosexual controversy
in Indonesia, he acted accommodate all public opinion and ultimately reports in the media,
SBY is not too intervene as President he only called on the media to cover both side of doing. 139
Key words: Media ideology, Discourse, Islamic Radicalism, Homosexual

Abstrak. Ideologi radikalisme Islam dalam mewacanakan homoseksual menjadi persoalan


besar di masyarakat. Bagaimana surat kabar Republika dan Tempo mengonstruksi teks
berita homoseksual, faktor apa yang memengaruhi wacana, dan bagaimana faktor sosial
budaya memengaruhi proses produksi? Level teks menggunakan framing Robert Ethmen.
Level produksi dan konsumsi, level sosiokultural menggunakan teori ideologi media Louis
Althusser. Multi level analisis digunakan teori Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough.
Pendekatan kualitatif dengan paradigma kritis, realitas di balik kenyataan yang tidak
tampak di media. Kesimpulannya terdapat perbedaaan menyajikan wacana homoseksual.
Surat kabar Republika melakukan praktik dominasi, kekuasaannya dengan ideologi
radikalisme Islam melalui pemberitaan yang merujuk fatwa Islam, berita tindakan kekerasan
dilakukan FPI sebagai bentuk ketidaksetujuan homoseksual, peredaran film porno dilarang
agama, perlu dilawan agar tidak menyebar di masyarakat. Homoseksual sebagai perbuatan
tercela, menyimpang, perlu terapi agama, penyembuhan medis untuk pelaku. Koran Tempo
mengarahkan pembaca pada radikalisme pemikiran Islam. Homoseksual hak setiap individu
perlu dihormati sedangkan dalam Islam dilarang. Koran Tempo mengarahkan, memengaruhi
pembaca memiliki pembaharuan pemikiran, menghormati kaum homoseksual seperti dalam
berita dari JIL. Staf produksi dan wartawan berpegang pada kedua ideologi berbeda dari
media tersebut. Ketiga, praktik sosial budaya berpengaruh terhadap wacana homoseksual.
Presiden SBY menerapkan demokratisasi, menghargai perbedaan pendapat, bersikap
mengakomodir semua pendapat masyarakat, tidak mengintervensi, menghimbau media
cover both sides.

Kata Kunci: Ideologi Media, Wacana, Radikalisme Islam, Homoseksual

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah
Tantangan Dakwah di Era Post-Realitas

TANTANGAN DAKWAH DI ERA POST-REALITAS


Drs. S. Hamdani, MA

A. Pendahuluan
Tantangan dakwah di era post-realitas itu demikian dahsyatnya dan hampir tidak
terbayangkan bagi siapa saja yang berusaha membayangkannya. Era post-realitas telah menyapu
bersih apa yang di era realitas dianggap ada dan diyakini adanya, dianggap nyata dan diyakini
kenyataannya, dianggap sebagai realitas dan diyakini realitasnya.
Di era post-realitas, dakwah menghadapi tantangan dahsyat dari segala penjuru, terutama
dari segi materi dakwah, tujuan dakwah, dan sasaran dakwah (mad’u). Post-realitas menyerang
materi dakwah secara ontologis, epistemologis, maupun secara aksiologis. Akibatnya, dakwah
kehilangan dasar, orientasi, dan perspektifnya. Tujuan dakwah menjadi kabur, dan sasaran
dakwah pun kehilangan realitasnya, menjadi tidak nyata, dan tanpa jejak. Post-realitas tidak
saja menghancurkan materi dan immateri, yang fisik dan metafisk, tetapi juga segala apa yang
dianggap ada, dianggap wujud, dan dianggap nyata di era realitas itu, di era post-realitas menjadi
tidak ada, tidak wujud, dan tidak nyata.
Di era post realitas, ada itu sama dengan tidak ada, nyata sama dengan tidak nyata, dan
realitas itu sama dengan non-realitas. Di era post-realitas itu batas-batas dan sekat-sekat realitas
menjadi lebur, sehingga realitas dan non-realits menjadi kabur dan tidak lagi bisa dibedakan.
Di era post realitas segalanya berubah menjadi maya, menjadi ilusi, dan menjadi virtual. Dunia
post-realitas adalah dunia artifisial sebagai produk sains dan teknologi yang diseponsori oleh
kapitalisme.
Kapitalisme mengonstruksi dunia post-realitas secara bebas tanpa kendali agama, moral,
maupun norma-norma yang berlaku di era realitas. Kapitalisme mengekploitasi apa pun yang
bisa menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya agar modal bisa terus berputar dan bertambah
dengan kelipatan yang tanpa batas. Untuk mencapai tujuannya, kapitalisme menjadikan komoditi 153
apa saja yang bisa mendatangkan keuntungan, bukan hanya mengeksploitasi alam tetapi juga
manusia itu sendri.
Kapitalisme menggunakan apa saja yang bisa menjadi sarana untuk mendatangkan
keuntungan: ekonomi, politik, budaya, dan bahkan juga agama dengan cara apa pun. Kapitalisme
menciptakan masyarakat konsumeristik yang serba glamor, foya-foya demi kenikmatan,
dan kepuasan yang tiada akhir. Kondisi di atas menyebabkan manusia kehilangan makna
keberadaannya, sehingga aktifitas hidupnya menjadi tak ubahnya seperti permainan tanpa aturan
yang baku dan bisa dipertahankan secara permanen. Tiada lagi kebenaran universal yang bisa
menjadi dasar dan rujukan. Aturan permainan itu hanya bersifat konvensional dan mengacu pada
pihak-pihak terkait yang berkepentingan dan itupun sebatas kesepakatan bersama yang saling
menguntungkan, tidak merugikan, dan tidak membahayakan komunitasnya.
Akibatnya, rekayasa kebenaran dan rekayasa realitas menjadi tidak terelakkan
demi kelangsungan kehidupan bersama, walaupun hanya bersifat sementara dan sebatas
kesepakatan yang saling menguntungkan. Rekayasa kebenaran dan rekayasa realitas itu tentu
saja menguntungkan pihak yang kuat dan yang berkuasa yang dengan segala cara terus berusaha
mengambil keuntungan dari pihak yang lemah.
Krisis kebenaran dan krisis realitas itu tentu saja menimbulkan dampak negatif dalam
seluruh aspek kehidupan, baik kehidupan individual, kedupan sosial, dan bahkan juga kehidupan
beragama. Dampak negatifnya akan semakin nyata ketika manusia kehilangan kodratnya yang
secara potensial bisa menjadi hamba Allah dan khalifah-Nya, yaitu wakil Allah di muka bumi
sebagai pelaksana kehendak-Nya dalam mengatur diri sendiri, lingkungannya dan alam semesta.
Ilustrasi singkat di atas diharapkan bisa menggambarkan akan betapa beratnya tantangan
dakwah di era post-realitas. Sehubungan dengan itu, pembahasan dalam makalah ini menguraikan
tentang era post-realitas dan tantangan dakwah di era post-realitas yang meliputi tantangan
cyberspace, tantangan imperialisme hasrat, tantangan kapitalisme, tantang dunia konsumerisme,
dan tantangan dunia virtual atau cyber.

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah
Keluarga Benteng Terkuat Halau Terorisme di Indonesia

KELUARGA BENTENG TERKUAT HALAU TERORISME DI INDONESIA


Dr. Siti Napsiyah, S.Ag., BSW., MSW

A. Pendahuluan
Awal tahun 2018 masyarakat Indonesia di seluruh Indonesia dibuat marah dan berang
terhadap peristiwa bom bunuh diri di tiga lokasi di Surabaya yang melibatkan satu keluarga utuh
sebagai pelakunya. Keluarga tersebut terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya yang masih kecil
dan remaja. Mereka adalah Dita Soepriarto, Puji Kuswati, Yusuf (18 tahun), Firman (16 tahun),
Fadila (12 tahun), Famela (9 tahun). Semua bertanya bagaimana bisa keluarga ini mau menjadi
pelaku aksi bom bunuh diri. Pasti terjadi proses internalisasi ideologi terorisme dalam keluarga.
Secara ekonomi, tidak ada indikasi bahwa keluarga ini tergolong sebagai keluarga miskin. Mereka
tergolong keluarga yang cukup dan mapan. Secara ideologi, tidak ada indikasi adanya karakteristik
khusus yang sering dilekatkan pada keluarga teroris, yaitu berpakaian berbeda dari masyarakat
pada umumnya. Misalnya memakai cadar untuk istrinya, berjenggot panjang untuk suaminya, dan
lain-lain.
Oleh karena itu, makalah ini berusaha menjawab pertanyaan tentang apa motivasi
seseorang mau terlibat dalam aksi terorisme? Tulisan ini juga berusaha menjelaskan tentang
pentingnya peran pendidikan keluarga dalam mencegah aksi terorisme di Indonesia.

B. Motivasi Terorisme
Dalam buku “Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi”, Prof. Sarlito Wirawan
(2012) menyampaikan salah satu hasil penelitiannya bahwa pelaku terorisme itu adalah orang-
orang biasa – bahkan beberapa di antaranya tergolong cerdas – yang kebetulan mempunyai
ideologi yang berbeda dari kita. Oleh karena itu, Sarlito Wirawan kemudian melakukan penelitian 163
untuk menjelaskan tentang latar belakang kehidupan para mantan pelaku aksi terorisme dan
menjelaskan tentang bagaimana profil psikologi dari masing-masing mereka. Sebagai contoh
adalah Imam Samudra yang memiliki profil psikologis yakin bahwa seluruh masalah global yang
ada diprakarsai oleh Yahudi dan Kristen (Israel dan Amerika), yang ingin menghancurkan Islam,
karena itu mereka harus dimusnahkan.
Secara singkat berikut adalah beberapa keterangan yang dapat menjelaskan tentang
mengapa seseorang termotivasi dalam kegiatan terorisme.
Tabel 1 Klasifikasi Motivasi Terorisme
Pelaku Kejahatan
Motivasi Aktivitas
(Agents to Violence)
Anti terhadap pemerintahan,
Separatis dan gerakan otonomi
Nasionalis- kekerasan intercommunal,
daerah, etnik merupakan dasar
Separatis melakukan penyerangan terhadap
kekuatan.
daerah yang aman.
Ekstrim fundamentalis (Kelompok
Islam garis keras seperti aI-Jama’ah Melakukan serangan terhadap
aI-Islamiyah/Jemaah Islamiah masyarakat sipil, serangan tersebut
Religius
(JI), Hindu garis keras seperti Sikh dapat berupa serangan bom bunuh
di India, dan Macan Tamil di Sri diri.
Lanka).
Ideologi Kelompok politik sayap kanan dan Menyebarkan propaganda
(kepercayaan pada sayap kiri seperti gerakan fasis di kebencian, anti terhadap imigran
politik tertentu) Jerman dan Itali. dan melakukan aksi pengeboman.

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah
Kolaborasi Agensi Pemberdayaan Masyarakat Perspektif Penta Helix

KOLABORASI AGENSI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


PERSPEKTIF PENTA HELIX
Tantan Hermansah

A. Pendahuluan
Pemberdayaan masyarakat (PM) saat ini makin menemukan ruang dan tempatnya.
Berbagai pihak membicarakan mengenai PM ini. Sehingga isunya menjadi pembicaraan publik
yang cukup “meriah”. Selain menjadi public common sense, ruang-ruang kajian PM pun saat ini
cukup banyak. Sebagai bukti kecil saja misalnya, jika kita menulis kata kunci “pemberdayaan
masyarakat” di google, hasil yang muncul terdiri dari 10.900.000 hasil, dengan 196.000 berita,
77.300 buku, dan 91.300 video (google.com).
Namun meriahnya penyebutan PM ini tidak berbanding lurus dengan isi atau substansi
dari isu tersebut. Bahkan tidak sedikit yang menggunakan istilah ini tetapi salah paham di aras
praktik. Misalnya, ada yang mengatakan bahwa “memberikan bantuan adalah pemberdayaan”.
Tentu saja pemberian itu sebagai bagian dari PM, tetapi PM bukanlah pemberian bantuan.
Sebagaimana kita lihat, bahwa PM terdiri dari kata yang jika diurai menjadi “pem”, “ber”, “daya”,
“an”, dan “masyarakat”. Pentingnya istilah ini diurai dulu agar kita bisa memahami dengan benar
setiap makna yang dikandungnya.
Asal mulanya adalah kata “daya”. Daya, sebagaimana dikutip dari KBBI online berarti
“kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak”. Arti lain dari daya adalah
kekuatan dan tenaga (kbbi.co.id). Imbuhan kata “ber” dalam “daya” menekankan pengertian
bahwa kemampuan tersebut merupakan sifat dari sesuatu. Jadi “berdaya” mengandung makna
memiliki sifat kekuatan. Lalu ketika ditambahkan lagi prefiks “pe” dan konfiks “an”, maka
kata pemberdayaan ini memiliki arti bahwa ada subyek yang memiliki dan melakukan proses
tersebut (kelasindonesia.com). Dengan demikian, pemberdayaan bisa disimpulkan sebagai proses
169
membuat seseorang atau sekelompok orang untuk memiliki kemampuan melakukan tindakan.
“Masyarakat” adalah terma yang dilekatkan pada sekumpulan manusia yang diikat oleh
aturan-aturan dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam suatu struktur, yang melalui aturan, nilai-
nilai, dan struktur itulah keberlanjutan masyarakat dipelihara setiap waktu. Masyarakat merupakan
level tertinggi dari unit sosio-antropologis manusia. Di bawah masyarakat ada unit komunitas,
dan di bawahnya ada unit keluarga. Lalu unit terkecilnya adalah individu. Jadi, masyarakat sebagai
lapisan sosio-antropo-ekonomi-politik menjadi tujuan utama dari pemberdayaan. Berikut
gambaran tangga unit analisis dalam masyarakat (Wirutomo, 2013).

Dengan demikian, “pemberdayaan masyarakat” memiliki makna yang melingkupi “proses”,


“tindakan”, “subyek”, “kekuatan”, pada dan untuk menegakkan dan menjaminkan tegaknya nilai-
nilai masyarakat. Pemberdayaan dan masyarakat akhirnya harus dikelola dalam satu tarikan
nafas. Artikel ini akan mengelaborasi dinamika pemberdayaan masyarakat dari sudut fungsional
para pihak, dengan menggunakan perspektif penta helix.

B. Penta Helix
Penta helix merupakan istilah yang akhir-akhir dikenalkan ke masyarakat karena menjadi
semacam representasi dari model relasional para pihak dalam mengerjakan atau melakukan
sesuatu. Secara definisi, penta helix dibangun karena terjadinya integrasi antara lima sektor yang
saling berkoordinasi (Amrial).
Dalam kerangka representasi, penta helix dianggap oleh lima unsur, katakanlah agen,
yang masing-masing memiliki peran strategis. Kelima agen yang saling berelasi tersebut adalah:
pemerintah, swasta, komunitas, akademisi, dan media. Masing-masing pihak berdiri sejajar dan
saling berbagi kontribusi.

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah
Social Enginering:
Pembangunan Masyarakat Berahlakul Karimah sebagai Agenda Penyuluh Agama di Cianjur

SOCIAL ENGINERING:
PEMBANGUNAN MASYARAKAT BERAHLAKUL KARIMAH
SEBAGAI AGENDA PENYULUH AGAMA DI CIANJUR

Tasman

CIANJUR: PROFIL SEBUAH DERAH SANTRI

1. Latar Belakang Sejarah Kabupaten Cianjur


Menyoroti perkembangan Cianjur dari masa ke masa ada baiknya jika dihubungkan den-
gan Kerajaan Sunda (Padjajaran) dan masuknya Islam di Jawa Barat. Pada mulanya wilayah Jawa
Barat merupakan basis kekuasaan kerajaan Hindu-Sunda (Padjajaran) yang runtuh pada 1579.
Kekuasaan raja Sunda meliputi Sumedanglarang, Banten, Cirebon, dan Galuh. Sumedang Larang
(termasuk Cianjur) dan Galuh kemudian menjadi satu wilayah kesatuan dengan nama Priyangan.
Bekas wilayah Kerajaan Sunda ini disebut Tanah Sunda atau Tatar Sunda atau Pasundan. Mas-
yarakat yang mendiami sebagian besar tanah Sunda dan mempunyai keturunan (hubungan dar-
ah) atau berdasarkan sosial budaya sunda disebut suku Sunda (urang sunda). Jadi, Istilah Sunda
tidak hanya mengacu pada kerajaan yang pernah berjaya di wilayah ini tetapi juga menunjuk pada
tempat, kelompok dan budaya tertentu (Edi, 1995).
Sekitar tahun 1620, Aria Suriadiwangsa yang merupakan sisa terakhir keturunan raja
Sunda Padjajaran menyatakan tunduk di bawah Kesultanan Mataram. Raja Mataram kemudian
mengangkat Aria Suriadiwangsa menjadi Wedana Bupati mewakili kekuasaan Mataram di Pri-
yangan. Pada masa pemerintahan Aria Suriadiwangsa wilayah Priyangan dibagi menjadi kabupat-
en-kabupaten yang masing-masing dikepalai seorang Bupati. Di Sumedang dikepalai oleh bupati
Kusumadinata, di Ciamis bupati Kusumadiningrat, di Bandung bupati Wiranatakusuma, Surya 177
Kartalegawa di Sukapura/Tasikmalaya, dan di Cianjur Bupati Wiratanudatar. Para keluarga dan
kerabat para bupati ini kemudian disebut kaum Menak (Menak Priyangan).
Pada tanggal 2 Juli 1677 Raja Mataram meninggalkan keraton karena menolak ajakan
kerjasama dengan VOC. Kejadian ini memberi arti bahwa kesultanan Mataram lepas dari wilayah
kekuasaannya. Dua belas hari kemudian yakni tanggal 12 juli 1677 peristiwa kekosongan
kekuasaan ini sampai di Cianjur dan Bupati Cianjur Raden Wiratanudatar menyatakan diri bebas
dari pengaruh Mataram. Kejadian ini kemudian dijadikan sebagai hari jadi Kabupaten Cianjur,
sebagaimana tertuang pada Perda No. 27 tahun 1982 tentang penentuan hari jadi Cianjur. Raden
Aria Wiratanu I ditetapkan sebagai Bupati pertama yang memerintah antara 1677 – 1691.
Secara resmi Kekuasaan Mataram atas Priyangan berakhir melalui perjanjian 5 Oktober
dan 19-10 Oktober 1677 antara Mataram dan VOC. Dalam perjanjian pertama disebutkan bahwa
Mataram menyerahkan wilayah Priyangan Timur kepada VOC, sedangkan dalam perjanjian
kedua, Mataram menyerahkan wilayah Priyangan Tengah dan Priyangan Barat. Semenjak itu,
wilayah Cianjur berada di bawah pengawasan VOC. Penunjukan dan pengawasan terhadap kepala
pemerintahan daerah Cianjur diawasi oleh kolonial Hindia Belanda.
Pusat pemerintahan Cianjur pertama kali didirikan di Cikidul-Cikalong Kulon 20 km
sebelah utara Kabupten Cianjur sekarang. Pada pemerintahan Wiratanu II Bupati kedua, pusat
pemerintahan dipindahkan ke tepi sungai dan jalan raya yang telah dibuat oleh Daendels antara
Anyer – Panarukan, kota Cianjur sekarang. Kota Cianjur menjadi kota Keresidenan Priangan pada
masa Raden Kusumah Diningrat dengan wilayah meliputi Pelabuhan Ratu sebelah Barat, Sungai
Citanduy dengan barisan Gunung Halimun, Mega Mendung, Tangkuban Perahu sebelah timur, dan
Samudera Indonesia sebelah selatan. Kemudian pada masa Bupati R.A.A. Prawiradiredja wilayah
Cianjur mengalami perubahan menjadi Cikole sebelah barat, Sukabumi sekarang, Bandung dan
Tasikmalaya dengan Ibukota Keresidenan di Bandung.

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah
Reproduksi Budaya dan Kesalehan Lintas Generasi:
Pengalaman di Pahuwato Propinsi Gorontalo

REPRODUKSI BUDAYA DAN KESALEHAN LINTAS GENERASI:


PENGALAMAN DI PAHUWATO PROPINSI GORONTALO
Kholis Ridho, M.Si

Abstrak. Kualitas budaya unggul dipengaruhi oleh modal sosial yang hidup dalam
masyarakatnya. Kehadiran media online di Indonesia diasumsikan memberikan dampak
negative pada pergeseraan budaya pada generasi berikutnya. Riset ini menguji tersebut
yaitu pertama, bagaimana relevansi modal sosial hasil dari terpaan media sosial. Apakah
media sosial memberikan kontribusi terhadap menguatnya modal sosial atau sebaliknya.
Kedua, benarkah menguatnya modal sosial juga berkontribusi terhadap menurunnya tingkat
perilaku intoleran. Dan apakah perilaku intoleran juga dipengaruhi oleh terpaan media
online. Riset dilakukan dengan pendekatan post positivistic menggunakan survey kuantitatif.
Lokasi riset adalah Pahuwato Propinsi Gorontalo dengan karakter semi-urban. Teknik
samping menggunakan muti-stage random sampling terhadap 600 responden, unit analisis
keluarga (KK), margin error 4%, dengan tingkat kepercayaan 95%. Generasi baru dengan
budaya baru adalah hasil dari proses adaptasi yang tak terhindarkan. Selama reproduksi
modal sosial terbentuk pada setiap generasinya, maka resiko negative media online tidak
menghilangkan identitas kultural dan keagamaan masyarakatnya.

Kata Kunci: Media Online, Modal Sosial, Toleransi, Keberagamaan

A. Latar Belakang
Relasi modal sosial terhadap perekonomian dan kesejahteraan menjadi kajian akademik
yang menarik dekade terakhir, termasuk di Indonesia. Banyak riset menunjukkan modal sosial
menjadi sumberdaya yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi (Knack and Keefer, 1996), 201
keeratan hubungan keluarga (Alesina and Giuliano, 2007), perbaikan manajemen perusahaan
(La Porta et al., 1997), keuangan (Guiso et al., 2004 dan 2008), kinerja kelembagaan (Djankov et
al., 2003), menjelaskan kejahatan (Glaeser et.al. 1995), peningkatan inovasi (Fountain, 1997);
pendidikan dasar (Goldin and Katz, 2001), dan lain sebagainya. Studi A. Nasution (2016:180)
misalnya, menunjukkan setiap kenaikan satu satuan indeks modal sosial secara nasional
berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga perdesaan sebesar 0,3 persen.
Hasil temuan tersebut serupa dengan banyak penelitian sebelumnya pada tingkat mikro rumah
tangga (Robert Putnam, 1993; Fukuyama, 1995; Narayan & Pritchett, 1999; Maluccio, et al., 2000;
Tiepoh & Reimer, 2004, Grootaert dkk., 2004; Field, 2005; Alfiasari, Drajat Martianto, dan Arya
H. Dharmawan, 2009) yang menunjukkan modal sosial memiliki pengaruh positif dan signifikan
terhadap pendapatan per kapita rumah tangga. Atau studi Bambang Suryanggono (2013) yang
menyebut nilai stok modal sosial merupakan refleksi dari adanya kebudayaan unggul (dominant
culture) di suatu komunitas, kelompok, masyarakat, maupun bangsa yang memungkinkan
masyarakat dapat bekerja sama satu sama lain (lihat juga Luigi Guiso, Paola Sapienza, and Luigi
Zingales, 2007). Dengan modal sosial yang kuat mampu membentuk masyarakat Indonesia yang
unggul ke depan (Jousairi Hasbullah, 2006).
Masalahnya adalah, stok modal sosial di Indonesia sebagaimana dievaluasi oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) masih terbilang tidak stabil. Tahun 2009 nilai stok modal sosial di tingkat
provinsi di Indonesia pada rentang 65,53 sampai dengan 71,82 (angka tertinggi 100), yaitu
dengan rata-rata 68,80 (Bambang Suryanggono, 2013), bandingkan pada tahun 2012 turun
menjadi rerata 59,31 serta tahun 2015 kembali menguat sebesar 59,44 (Ahmadriswan Nasution,
2016). Artinya, kualitas modal sosial di Indonesia masih dalam kategori relatif cukup baik untuk
tidak mengatakan cukup rawan. Dengan lata lain jika merujuk hasil riset Bambang Suryanggono
dan Jousairi Hasbullah di atas bahwa kualitas modal sosial menentukan kualitas budaya unggul

SIMPOSIUM NASIONAL DAN TEMU PROGRAM STUDI


Dakwah dan Tantangan Dunia Baru: Menilik Ulang Media dan Institusi Dakwah

Anda mungkin juga menyukai