Anda di halaman 1dari 4

Manajemen Hipertensi pada Pasien dengan Terapi Dialisis

Hipertensi sangat lazim terjadi pada pasien yang menjalani terapi dialysis. Pada
pasien dengan hemodialisis, metode pengukuran tekanan darah perlu diperhatikan,
variabilitas tekanan darah pada pasien HD harus dievaluasi dengan ambulatory BP
monitoring (ABPM) dan Home BP (HBP) , karena hal ini berkaitan erat dengan mortalitas
kardiovaskular. Beberapa pedoman klinis menyarankan target tekanan darah untuk pasien
HD adalah < 140/90 mmHg. Berdasarkan patofisiologi terjadinya hipertensi pada pasien
dengan terapi dialysis , mempertahankan volume cairan tubuh dengan diet rendah garam
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama. Inhibitor untuk system rennin angiotensin
mungkin cocok untuk mengurangi tekanan darah, mortalitas, dan efektif untuk
mempertahankan fungsi ginjal residual pada pasien yang menjalani terapi dialysis. Golongan
obat beta blocker juga memiliki potensi untuk meningkatkan kelangsungan hidup pasien HD.

LATAR BELAKANG

Hipertensi sangat lazim terjadi pada pasien dengan terapi dialysis. Namun, metode
standar untuk penentuan tekanan darah belum ditetapkan. Sebagian besar studi klinis,
menggunakan tekanan darah pra-HD untuk menentukan kadar tekanan darah optimal.
Penentu utama tekanan darah pada pasien HD adalah volume cairan tubuh. Meski demikian,
tekanan darah pasien bervariasi baik selama proses HD maupun inter sesi HD.
Ketidakkonsistenan tekanan darah pasien ini yang kemudian menyebabkan hubungan level
tekanan darah dan hasil klinis menjadi controversial. Meskipun pengukuran tekanan darah
konvensiaonal selama proses HD tentu penting untuk penilaian volume dan keselamatan
pasien, kita juga harus mempertimbangkan metode lain untuk mengevaluasi tekanan darah
pasien seperti pengukuran ambulatory BP monitoring (ABPM) dan home BP (HBP). Sebagai
target, pedoman KDIGO dan JSDT merekomendasikan target TD <140/90 mmHg pada awal
minggu. Namun target ini tentu tidak diseragamkan untuk semua pasien. Pendekatan agresif
untuk mengontrol tekanan darah pasien dapat menjadi resiko hipotensi intradialitik
simptomatik yang berbahaya bagi pasien HD.

Tekanan darah pada pasien HDsangat tergantung pada volume cairan tubuh. Sodium
dan volume cairan yang berlebihan merupakan penyebab paling penting dari hipertensi.
Asupan garam yang tinggi telah terbukti berhubungan dengan kenaikan systolic blood
pressure (SBP) pra dialysis dan kematian kardiovaskular. Dalam hal ini, mengedukasi pasien
untuk mengurangi asupan garam sangat penting. Konsumsi garam akan menstimulasi rasa
haus, dan minum air akan menambah cairan tubuh. Sebaliknya, jika asupan garam dibatasi,
maka penambahan cairan tubuh akan diminimalkan. Cara lain untuk mengatur volume cairan
tubuh adalah dengan mengatur dry weight (DW) yang sesuai untuk masing-masing pasien
hipertensi hemodialisis, penurunan DW sebesar 1 kg pada 8 minggu menghasilkan penurunan
TD sistolik dan diastolic masing-masing sebesar 6,6 dan 3,3 mmHg. Optimalisasi DW
dengan analisis bioimpedance baru-baru initelah difokuskan sebagai cara yang dapat
diandalkan untuk memperkirakan status hidrasi, sehingga metode ini dianggap aman dan
dapat meningkatkan kontrol tekanan darah pasien.

Selain itu, frekuensi dialysis juga penting untuk regulasi tekanan darah. The Frequent
Hemodialysis Network Trial telah membandingkan regimen dialysis 6 kali per minggu
dengan regimen 3 kali per minggu terhadap efek hipertensi. Hasilnya, pasien dengan regimen
dialysis yang lebih banyak secara signifikan menunjukkan penurunan tekanan darah. Dalam
penelitian lain juga menunjukkan bahwa HD dengan regimen yang lebih sering
membutuhkan lebih sedikit obat antihipertensi untuk mencapai tekanan darah yang sama. Hal
ini menunjukkan bahwa banyaknya frekuensi HD dapat meningkatkan kontrol tekanan darah.

Hipoksemia yang disebabkan oleh sleep apnea dapat pula menjadi penyebab
hipertensi. Pada populasi umum, Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah penyakit yang
sering mendasari hipertensi sekunder dan hipertensi resisten. Telah dilaporkan bahwa pasien
dengan penyakit ginjal stadium akhir yang disertai dengan OSA berat, 7 kali lipat lebih
mungkin untuk memiliki hipertensi resisten disbanding individu dalam populasi hipertensi
umum. Volume cairan yang berlebih dianggap sebagai mekanisme yang berkontribusi pada
pathogenesis OSA pada pasien dialysis.

OBAT ANTIHIPERTENSI UNTUK PASIEN HD

Umumnya, pasien HD membutuhkan obat antihipertensi untuk mengontrol tekanan


darah. Hamper seluruh pasien memiliki riwayat dialysis sebelum memulai terapi dialysis dan
sudah mendapatkan beberapa terapi antihipertensi. Telah dilaporkan oleh beberapa peneliti an
termasuk COHORT JSDT dan Meta-Analysis , bahwa kontrol tekanan darah oleh obat
antihipertensi mengarah ke hasil kardiovaskular yang lebih baik. Dihydropyridine, adalah
obat golongan CCB yang banyak digunakan untuk mengurangi tekanan darah pasien dialysis,
karena dianggap efektif untuk keadaan overhidrasi yang sering terjadi pada pasien HD.
Sebuah randomized-study juga menunjukkan bahwa amlodipin secara signifikan mengurangi
tekanan darah pada pasien yang menjalani HD.

Inhibitors of renin-angiotensin system (RAS) seperti angiotensin-converting enzyme


inhibitors (ACEIs) dan angiotensin receptor blockers (ARBs) telah banyak digunakan untuk
mengurangi mortalitas kardiovaskular pada pasien CKD. Sebagian besar pasien telah
menerima terapi RAS inhibitor sebelum melakukan terapi dialysis. Obat-obat ini khususnya
bermanfaat untuk komorbiditas jantung yang umumnya terjadi pada pasien HD dan efektif
untuk mengurangi massa dan kematian ventrikel kiri.

Hipertensi dan gagal jantung adalah kondisi yang sering dikaitkan dengan CKD.
Dalam patofisiologi kedua kondisi, aktivitas berlebih simpatis memainkan peran penting.
Dengan kemampuan untuk mengambil aktivitas simpatik, beta blocker mungkin cocok untuk
mengobati hipertensi dan gagal jantung pada pasien CKD. Sebuah meta anlisis
menyimpulkan bahwa pengobatan dengan beta blocker menurunkan semua penyebab
kematian pada pasien dengan CKD dan HF kronis. Pengobatan ini dianggap juga akan
bermanfaat bagi pasien HD. Sebuah studi kohort retrospektif menganalisis US Renal Data
System (USRDS) telah menunjukkan bahwa penggunaan beta blocker dikaitkan dengan
resiko yang lebih rendah dari gagal jantung dan mortalitas kardiovaskular. Salah satu
penelitian kohort prospektif dari jepang juga telah menunjukkan bahwa penggunaan beta
blocker secara signifikan terkait dengan penurunan resiko kematian pada pasien HD.
Banyaknya perbedaan dalam farmakologis dan karakteristik golongan beta blocker, weir dan
rekannya melakukan studi kohort retrospektif dan menemukan bahwa beta blocker dengan
dialyzability rendah dikaitkan dengan jumlah kematian yang lebih rendah dibandingkan
dengan high dialyzability pada pasien geriatric.carvediol adalah beta blocker dengan
dialyzability rendah yang terbukti mengurangi angka kematian dalam pasien HD dengan
dilatasi kardiomiopati.

Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa Blood Pressure Variation (BPV)
terkait erat dengan hasil yang lebih buruk pada pasien hipertensi. BPV juga merupakan
ancaman besar bagi pasien HD karena mereka selalu mengalami tekanan yang selalu berubah
dalam sesi intra dan inter HD. Telah dibuktikan bahwa BPV yang tinggi seringkali terjadi
pada pasien HD dibandingkan dengan pasien non HD, hal ini merupakan predictor yang kuat
untuk kejadian kardiovaskular. Pra-dialisis sistolik BPV juga berhubungan dengan
kardiovaskular dan semua penyebab mortalitas [46-48]. Tidak hanya pra-dialisis BPV tetapi
juga intra- dan pasca-dialisis BPV terkait dengan hasil yang merugikan. Kenaikan tekanan
darah intradialitik juga merupakan komplikasi dari HD yang sudah diketahui. Overhidrasi
dan aktivasi RAS dan sistem saraf simpatik dianggap mendasari patofisiologi dari fenomena
ini, dimana telah menunjukkan bahwa kenaikan BP intra atau pasca dialisis telah menjadi
prediktor independen untuk kematian kardiovaskular. Dengan demikian, tampak bahwa BPV
adalah risiko besar kematian kardiovaskular untuk pasien HD. Kita harus memperhatikan
tidak hanya nilai absolut BP tetapi juga BPV pra-dan antar-HD. Untuk mendeteksi dan
mengevaluasi BPV, pentingnya pengukuran ABPM dan HBP ditekankan.

Fungsi ginjal residual telah terbukti sebagai predictor independen untuk bertahan
hidup pada pasien dialysis. Beberapa strategi telah dilaporkan efektif untuk melestarikan
fungsi ginjal residual pada pasien HD, termasuk menjaga volume cairan tubuh yang tepat dan
mengendalikan tekanan darah. Telah diterima secara luas bahwa penghambatan RAS oleh
ACEI atau ARB harus diberikan kepada pasien CKD karena mereka memiliki kemampuan
untuk memperlambat laju kehilangan fungsi ginjal.

KESIMPULAN
Kurangnya skala besar dan uji klinis yang berkualitas baik, menimbulkan banyaknya
pertanyaan yang harus dijawab, termasuk metode optimal untuk mengukur TD, target level
TD, regulasi volume cairan tubuh yang tepat, obat anti-hipertensi yang akan digunakan, dan
lain-lain, khususnya untuk pasien yang menjalani terapi dialisis. Saat ini, belum ada cara atau
pedoman yang tepat untuk mengobati hipertensi pada pasien dialysis. Oleh karenanya, kita
harus terus membuat upaya untuk evidence yang lebih baik tentang manajemen hipertensi
untuk pasien HD.
Taniyama, Yoshihiro. 2016. Management of Hypertension For Patients Undergoing Dialysis
Therapy. Renal Replacement Therapy. Vol. 2 No. 21

Anda mungkin juga menyukai