Anda di halaman 1dari 110

PERKEMBANGAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA

KERANG MUTIARA (Pinctada maxima) PADA KONDISI SUHU


YANG BERBEDA

SKRIPSI

OLEH:

ARIS SANDO HAMZAH


I1A2 11 023

JURUSAN/PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
ii
PERKEMBANGAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA
KERANG MUTIARA (Pinctada maxima) PADA KONDISI SUHU
YANG BERBEDA

Development and Survival Rate of the Pearl Oyster (Pinctada maxima)


Larvae in Different Temperature Conditions

SKRIPSI

OLEH:

ARIS SANDO HAMZAH


I1A2 11 023

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana


Perikanan Jurusan/ Prog. Studi Budidaya Perairan

JURUSAN/PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016

iii
iv
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Perkembangan dan Kelangsungan Hidup Larva Kerang

Mutiara (Pinctada maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda

Nama : Aris Sando Hamzah

Stambuk : I1A2 11 023

Program Studi : Budidaya Perairan

Jurusan : Budidaya Perairan

Fakultas : Perikanan dan Ilmu Kelautan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Muhaimin Hamzah, S.Pi., M.Si Ir. Mat Sardi Hamzah, M.P
NIP. 19750815 200501 1 003 NIP. 19570715 198602 1 009

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ketua Jurusan Budidaya Perairan


Ilmu Kelautan

Prof. Ir. H. La Sara, M.S., Ph.D H. Agus Kurnia, S.Pi., M.Si., Ph.D
NIP. 19600422 198703 1 003 NIP. 19700802 199512 1 001

Tanggal Lulus: 25 Mei 2016

v
vi
PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI DENGAN JUDUL

INI ADALAH KARYA SAYA DENGAN ARAHAN DARI PEMBIMBING

DAN BELUM DIAJUKAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA

PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SUMBER INFORMASI YANG

BERASAL ATAU DIKUTIP DARI PENULIS LAIN TELAH DISEBUTKAN

DALAM TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM DAFTAR PUSTAKA DI

BAGIAN AKHIR SKRIPSI INI.

KENDARI, 25 MEI 2016

ARIS SANDO HAMZAH


NIM. I1A211023

vii
viii
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Aris Sando Hamzah, lahir di Ambon


pada tanggal 16 Januari 1994. Penulis merupakan anak
pertama dari pasangan Ir. Mat Sardi Hamzah, M.P., dan
Marlia Napirah, S.Pd. Penulis memulai jenjang
pendidikan di SDN 3 Pemenang Barat, Lombok Utara
pada tahun 1999 dan selesai pada tahun 2005, kemudian
penulis melanjutkan studi di SMP Negeri 5 Kendari pada
tahun 2005 dan berhasil menyelesaikan studi pada tahun
2008. Setelah menyelesaikan pendidikan SMP, penulis
melanjutkan studi di SMA Negeri 2 Kendari pada tahun 2008 dan berhasil
menyelesaikan studi pada tahun 2011. Saat ini penulis tengah menempuh studi di
Universitas Halu Oleo Kendari pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Program Studi/Jurusan Budidaya Perairan. Penulis juga mengikuti beberapa
organisasi internal fakultas antara lain HMPS BDP (Himpunan Mahasiswa
Program Studi Budidaya Perairan) Periode 2012/2013 dan BEM (Badan Eksekutif
Mahasiswa) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo Periode
2014/2015.

ix
x
KATA PENGANTAR

Kerang mutiara merupakan kerang yang dapat menghasilkan mutiara

dengan warna yang eksotis dan digemari oleh berbagai kalangan. Selain dijadikan

sebagai perhiasan, mutiara yang dihasilkan juga dijadikan sebagai alat ritual

keagamaan, dan dijadikan sebagai suatu simbol keindahan oleh beberapa negara

di dunia. Kerang mutiara (Pinctada maxima) merupakan salah satu organisme

unggulan penting pada sektor budidaya perairan. Selain jenis tersebut, ada pula

beberapa jenis kerang penghasil mutiara seperti kerang mabe (Pteria penguin),

Pinctada fucata, Pinctada margaritifera dan lain sebagainya. Akan tetapi di

Indonesia jenis Pinctada maxima umumnya yang menjadi andalan industri kerang

mutiara. Kerang mutiara (P. maxima) merupakan organisme ekonomis penting

dan umumnya hanya bisa dihasilkan dengan cara dibudidayakan.

Suhu merupakan salah satu parameter kualitas air yang bertanggung jawab

dalam mempengaruhi aktivitas fisiologis organisme akuatik dan berdampak

terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup serta perkembangan stadia larva

kerang mutiara (P. maxima) sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas

spat yang akan dihasilkan. Beberapa kajian serupa pada larva kerang mutiara

sudah banyak dilakukan, akan tetapi pengaruh suhu terhadap perkembangan stadia

larva kerang mutiara (P. maxima) masih belum banyak diungkapkan.

Kendari, 25 Mei 2016

Penulis

xi
xii
UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil’alamin, berkat rahmat Allah yang maha pengasih dan

berkat izinnya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun

masih memiliki banyak kekurangan. Karya kecil ini penulis persembahkan kepada

nenekku tercinta Hj. Salma Napirah yang mengasuhku sejak kecil, ibundaku

tercinta Marlia Napirah, S.Pd., ayahandaku tercinta Ir. Mat Sardi Hamzah, M.P.,

saudara-saudaraku yang selalu aku banggakan Muhammad Zul Fahmi Hamzah,

Siti Sakinah Maulidtya Aprili Hamzah, Siti Amalia Firdausa Hamzah dan Yulia

Sahupala. Keluarga dan kerabatku yang selalu aku banggakan bapak Ir. Rab Ali

Napirah, bapak Ir. Rahman Napirah, M.Si., bapak Djalaluddin Napirah, SH., ibu

Aida, SH., ibu Yuliana Hadia Nibu, S.Pd., ibu Syamsiah Napirah, S.Ag., ibu

Rosma Napirah (Onco Os), Syahrani Djalal Napirah, Riski Muhammad Akbar

Napirah, Anisa Montalea Zulfebrianti Napirah, Mardiana Napirah, Asriyana

Napirah, Muhammad Ryman Napirah, Muhammad Risal Aidin Napirah dan

Muhammad Rayan Napirah.

Demikian pula penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S., Rektor Universitas Halu Oleo.

2. Prof. Ir. H. La Sara, M.S., Ph.D., Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan Universitas Halu Oleo.

3. Hendra Munandar, M.Si., Ketua LPBIL LIPI Mataram.

4. Dr. Muhaimin Hamzah, S.Pi., M.Si., Wakil Dekan I FPIK UHO, Dr. Ir.

Wellem H. Muskita, M.Si., Wakil Dekan II FPIK UHO, dan Kadir Sabilu,

S.Pi., M.Si., Wakil Dekan III FPIK UHO.

xiii
5. H. Agus Kurnia, S.Pi., M.Si., Ph.D., Ketua Jurusan Budidaya Perairan.

6. Dosen Pembimbing Skripsiku Dr. Muhaimin Hamzah, S.Pi., M.Si., dan Ir.

Mat Sardi Hamzah, M.Si.

7. Dosen Penguji Skripsiku H. Agus Kurnia, S.Pi., M.Si., Ph.D., dan Ermayanti

Ishak, S.Pi., M.Si.

8. Bapak Dr. S.A.P. Dwiono yang telah banyak membantu penulis dalam

penelitian dan banyak memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini, Ibu

Prof. Dwi Listyo Rahayu yang banyak memberikan saran dan dukungan

kepada penulis, Bapak Ramli Marzuki, S.Pi., yang banyak membantu penulis

dalam penelitian, Ibu Lisa, Pak Farian, Pak Balkam F. Badi, Pak Idam, Pak

Firdaus, Pak La Ali, Pak Hadi, Pak Fauzan, Pak Wahab, Bang Syakirin, Pak

Alimudin, Bu Evi, Bu Ermi, Bang Alan, Pak Masyum, Pak Sayudin, Pak Ali

Kombal, Idi, Pak Junaedi, dan seluruh staf serta teknisi LPBIL LIPI Mataram.

9. Para dosen-dosenku tercinta Pak Yusnaini, D.E.A., Pak Prof. L.M. Aslan, Bu

Oce Astuti, M.Si., Bu Indri, Ph.D., Pak Prof. Maruf Kasim, Pak Dr. Rahmad

Sofyan Patadjai, Pak Dr. La Anadi, Pak Irwan Djunaedi, M.Sc., Pak Dr.

Muhammad Idris, Pak Dr. Wellem Muskita, Pak Muhammad Fajar Purnama,

M.Si., Pak Ginong, M.Si., Pak La Ode Baytul Abidin, M.Biotec., Pak Kadir

Sabilu, M.Si., Pak Muis Balubi, M.Si., Bu Ermayanti Ishak, M.Si., Pak Dr.

Muhaimin Hamzah, Pak Agus Kurnia, Ph.D., Ibu Dr. Andi Besse Patadjai,

dan seluruh orang tuaku di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Halu Oleo.

xiv
10. Sahabat-sahabatku BDP 011 Muhammad Riszal, Rahmad Budiarfa, Rusdi

Febriyadi K., Zhulfirah Zahrah, Muhammad Ridwan, La Bardin, Fendy,

Narsun, Asril, Sutriani S. Yusuf, Makritan, Jumaisa, Mindar, Ratna, S.Pi.,

Alkudus Hidayat, S.Pi., Firda Afrianti, S.Pi, Nita Irmaluyu, S.Pi.,

Naimruddin, Musdian, Mitnawati, Nurul Qamariah, S.Pi., Ratna, S.Pi.,

Jusdam, Dominggus Kiliykily, Darwiana, S.Pi., La Ode Maru, Reliyanto,

Alghazali La Ranti, Yusrin, Yustin Palio, Arleleng, Ahmad Riyadi, Citra

Rahmadhani, S.Pi., Alvin, Ulfa Kurniati, S.Pi., Ashar, Windra, S.Pi., Yuliana,

S.Pi., Hasriati, S.Pi., Sulman Hasnur, Desi Febrianti, Hasnah, S.Pi., Hardila

Paala, S.Pi., Abdul Budiatma, S.Pi., Yusrin, Aldin, La Ipu, Misnah, Sarto,

Aldin, Nurkholis, Iskandardinata, Rudolfo, Tian Sumarlan, Neli Marlisa, dan

Husein.

11. Keluarga BDP, MSP, Agribisnis, BDP Abalone, IKL, dan PSP seluruh

angkatan tanpa terkecuali.

12. Keluarga Besar HIPPMA-LASWABUL Kendari (Himpunan Pemuda Pelajar

dan Mahasiswa Lasaritapo Wabula) dan Keluarga Besar KMWB (Kerukunan

Masyarakat Wabula Buton).

13. Adik-adikku peserta Magang/PKL di LPBIL LIPI Mataram, Irma, Obi, Yogi,

Onggi, Roni, Putra, Ni Luh, Kiki, dan seluruhnya tanpa terkecuali.

14. Gazlat Community, Eggy John (Haidir), Zee (Syarifu), Haikal, Imbran,

Randy, Itsar, Nurul, Kemar, Biyan, Berdy dan semuanya tanpa terkecuali.

xv
15. Shultonul Ma’arif, Ibu Gusti, Robin, Andi Yusriadi, Pipi, Ikwal. Beryl, Andi

Ardiyansyah, Andi Tendri, Herlan (Chito), Affandi, Sukmo dan seluruh

sahabatku yang tidak bisa ku tuliskan satu per satu.

xvi
Perkembangan dan Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (Pinctada
maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda

ABSTRAK
Penelitian perkembangan dan kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P.
maxima) pada kondisi suhu yang berbeda telah dilaksanakan di Laboratorium Unit
Pelaksana Teknis Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram, Pusat
Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dari 10 Februari -
17 Maret 2016. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kisaran suhu optimum bagi
perkembangan dan kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima). Ukuran
larva kerang mutiara (P. maxima) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 80 x
75µm (AP x DV) yang ditentukan berdasarkan fase awal perkembangan larva (D-
veliger). Larva dipelihara dalam bak kontainer dengan kepadatan 20.000 larva
dalam 80 liter air laut pada kondisi suhu yang berbeda. Penelitian didesain
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga
ulangan. Larva kerang mutiara dipelihara pada lima perlakuan suhu yang berbeda,
yaitu 26,5-28oC (perlakuan Kontrol), 26oC±0,5 (perlakuan A), 28oC±0,5
(perlakuan B), 30oC±0,5 (perlakuan C) dan 32oC±0,5 (perlakuan D). Hasil
penelitian menunjukan bahwa tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan mutlak,
laju pertumbuhan spesifik DV dan AP tertinggi didapatkan pada perlakuan B
(suhu 28oC±0,5) dengan nilai masing-masing 8,00%±0,16, 1458,32µm±32,16,
5,46%±0,03 dan 5,71%±0,04. Perkembangan stadia larva kerang mutiara hingga
mencapai spat tertinggi pada perlakuan B (suhu 28±0,5oC) dengan nilai AP x DV
yaitu D-veliger (80 x 75µm), Umbo (170,67µm±30,11 x 153,67µm±26,76),
Eyespot (209,00µm±9,94 x 196,00µm±9,66), Pediveliger (237,22µm±29,86 x
207,50µm±31,17) dan Spat dengan nilai AP (1510,67µm±155,56). Kesimpulan
pada penilitian ini bahwa suhu air optimum pada pemeliharaan larva kerang
mutiara (P. maxima) yaitu 28oC±0.5.

Kata Kunci: Larva kerang mutiara, Pinctada maxima, Suhu, Perkembangan


dan Kelangsungan Hidup

xvii
xviii
Development and Survival Rate of the Pearl Oyster (Pinctada maxima)
Larvae in Different Temperature Conditions

ABSTRACT
Study of development and survival rate of the pearl oyster (Pinctada maxima)
larvae in different temperature conditions has been conducted in the Laboratory of
Mataram Marine Bio Industry Technical Implementation Unit of Research Center
for Oseanography, Indonesian Institute of Sciences (LIPI) from Pebruary 10th to
March 17th 2016. The aim of the present sudy was determine temperature range
for the development and survival rate of the pearl oyster (P. maxima) larvae. The
size of pearl oyster (P. maxima) larvae that used in the study was 80 x 75µm (AP
x DV) based on the initial phase of larval development (D-veliger). The larvae
were reared in container tanks with a density of 20,000 larvae in 80 liters of sea
water at a different temperature conditions. The study was designed using
completely randomized design (CRD) with five treatments and three replicates.
Pearl oyster larvae was reared in five different temperatures, they were 26,5-28oC
(Control treatment), 26oC±0,5 (treatment A), 28oC±0,5 (treatment B), 30oC±0,5
(treatment C) and 32oC±0,5 (treatment D). The results showed that the highest
survival rate, absolute growth and specific growth rate of DV and AP were
obtained in treatment B (temperature 28oC±0.5) with values 8,00%±0,16,
1458,32μm±32,16, 5,46%±0,03 and 5,71%±0,04, respectively. The development
stage of pearl oyster larvae (AP x DV) in treatment B (temperature of 28°C±0,5)
D-veliger (80x75μm), Umbo (170,67μm±30,11 x 153,67μm±26,76), Eyespot
(209,00μm±9,94 x 196,00μm±9,66), Pediveliger (207,50μm±29.86 x
237,22μm±31,17) and spat with the value of AP was (1510, 67μm ± 155,56). This
study concluded that optimum water temperature to reared pearl oyster (P.
maxima) larvae was 28oC±0,5.

Key Word: Pearl Oyster Larvae, Pinctada maxima, Temperature,


Development and Survival Rate

xix
xx
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
HALAMAN SAMPUL ............................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... v
PERNYATAAN.......................................................................................... vii
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ................................................................................ xi
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... xiii
ABSTRAK .................................................................................................. xvii
ABSTRACT ................................................................................................ xix
DAFTAR ISI ............................................................................................... xxi
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xxiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xxv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xxvi

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 2
C. Tujuan dan Kegunaan ................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Klasifikasi ..................................................................................... 5
B. Morfologi dan Anatomi ................................................................ 6
C. Habitat dan Penyebaran ................................................................ 8
D. Kualitas Air ................................................................................... 9
E. Cara Makan dan Kebiasaan Makan .............................................. 11
F. Biologi dan Fisiologi..................................................................... 13
G. Reproduksi dan Siklus Hidup ....................................................... 15

III. METODE PENELITIAN


A. Waktu dan Tempat ........................................................................ 21
B. Alat dan Bahan .............................................................................. 21
C. Prosedur Penelitian ....................................................................... 22
1. Pemijahan Induk dan Perawatan Larva................................... 22
2. Pemberian Pakan ..................................................................... 24
3. Pergantian Air ......................................................................... 25
D. Parameter yang Diamati ................................................................ 26
1. Kelangsungan Hidup ............................................................... 26
2. Pertumbuhan Mutlak ............................................................... 26
3. Laju Pertumbuhan Spesifik ..................................................... 26
4. Perkembangan ......................................................................... 27

xxi
5. Panjang dan Tinggi Cangkang ................................................ 27
6. Kualitas Air ............................................................................. 28
E. Analisis Data ................................................................................. 28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil............................................................................................... 31
1. Tingkat Kelangsungan Hidup................................................. 31
2. Pertumbuhan........................................................................... 32
3. Perkembangan ........................................................................ 35
4. Parameter Kualitas Air ........................................................... 36

B. Pembahasan ..................................................................................... 36
1. Tingkat Kelangsungan Hidup................................................. 36
2. Pertumbuhan........................................................................... 38
3. Perkembangan ........................................................................ 43
4. Parameter Kualitas Air ........................................................... 49

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan.................................................................................... 51
B. Saran .............................................................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xxii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Alat dan Bahan Beserta Kegunaan .................................................. 21


2. Perlakuan dan Ulangan pada Penelitian .......................................... 23
3. Kualitas Air dan Peralatan yang Digunakan dalam Penelitian ....... 28
4. Perkembangan Stadia Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Hingga
Mencapai Spat (Juvenil) .................................................................. 35
5. Parameter Kualitas Air yang Diukur Selama Penelitian ................. 36

xxiii
xxiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Morfologi dan Anatomi Kerang Mutiara (Pinctada sp.)................. 7


2. Siklus Hidup Kerang Mutiara (Pinctada maxima) .......................... 17
3. Morfologi Tahapan Perkembangan Larva (P. maxima) .................. 18
4. Tata Letak Media Penelitian ........................................................... 24
5. Persentase Dosis Campuran Pakan Berdasarkan Fase
Perkembangan Larva Hingga Menempel pada Kolektor ................ 25
6. Pengukuran Panjang Anterio-Posterior (AP) dan Dorso-Ventral
(DV) Larva Kerang Mutiara (P. maxima) ....................................... 27
7. Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (P. maxima) pada
Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) ........................................ 31
8. Pertumbuhan Mutlak Kerang Mutiara (P. maxima) pada
Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) ........................................ 32
9. Laju Pertumbuhan Spesifik DV Larva Kerang Mutiara (P. maxima)
pada Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) ............................... 33
10. Laju Pertumbuhan Spesifik AP Larva Kerang Mutiara (P. maxima)
pada Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) ............................... 34
11. Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia D-Veliger dan Umbo .. 45
12. Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia Eyespot Tampak
Atas dan Samping............................................................................ 46
13. Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia Pediveliger dan Spat.............. 47

xxv
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Data Rata-Rata Pertumbuhan .......................................................... 59


2. Data Kelangsungan Hidup .............................................................. 60
3. Data Rata-Rata Parameter Kualitas Air .......................................... 61
4. Analisis Statistik Tingkat Kelangsungan Hidup ............................. 62
5. Analisis Statistik Pertumbuhan Mutlak ........................................... 63
6. Analisis Statistik LPS DV ............................................................... 64
7. Analisis Statistik LPS AP ................................................................ 65
8. Analisis Statistik dengan Menggunakan SPSS ............................... 66
9. Analisis Deskriptif Kualitas Air SPSS ............................................ 73
10. Data Perkembangan Larva .............................................................. 74
11. Surat Keterangan Penelitian ............................................................ 75
12. Dokumentasi Kegiatan .................................................................... 76

xxvii
xxviii
1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerang mutiara (Pinctada maxima) merupakan salah satu komoditas

perikanan penting yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan menjadi andalan usaha

budidaya di Indonesia. Hal ini didukung oleh perairan nusantara yang berpotensi

dalam pengembangan usaha budidaya kerang mutiara. Teknik budidaya kerang

mutiara pada mulanya dikuasai oleh tenaga asing (Jepang) khusus untuk hatchery

dan operasi penyuntikan. Namun seiring dengan perkembangan teknologi bidang

kelautan, maka pada dekade tahun 1980an telah terjadi alih teknologi dari tenaga

asing ke tenaga kerja Indonesia (Hamzah, 2008a; Hamzah dan Setyono, 2010).

Dewasa ini usaha budidaya kerang mutiara semakin meningkat, seiring dengan

permintaan butiran mutiara baik pasar domestik maupun mancanegara. Namun

para pengusaha terutama skala industri sering mengalami kendala dalam

penyedian induk alam yang matang gonad. Penyebab utama kekurangan induk

matang gonad adalah kompetisi antar nelayan penyelam yang menjual kulit

cangkang untuk industri kerajinan perhiasan dan penyedian induk untuk

perusahaan budidaya kerang mutiara.

Budidaya kerang mutiara (P. maxima) sangat ditentukan oleh proses

pembenihan, yang dimana proses pembenihan sangat menentukan kualitas dan

kuantitas kerang yang akan dihasilkan. Pengaruh kualitas air menjadi faktor

penentu bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva. Salah satu parameter

kualitas air adalah suhu yang mempengaruhi laju metabolisme organisme akuatik

khususnya kerang mutiara (P. maxima). Keadaan ini diperkuat hasil penelitian
2

Hamzah (2008b) yang mengemukakan bahwa kematian massal anakan kerang

mutiara rerata sebesar 68,57% bersamaan dengan naiknya kondisi suhu harian dari

level 29°C menjadi 31°C dengan gradient 2°C di perairan Buton, Sulawesi

Tenggara. Kemudian Hamzah (2009) menyimpulkan bahwa kematian massal

anakan kerang mutiara ukuran lebar cangkang antara 3-4 cm yang terjadi di Laut

adalah diduga kuat disebabkan oleh perubahan kondisi suhu yang terjadi secara

ekstrim pada periode waktu yang singkat. Fase perkembangan stadia larva

merupakan masa kritis yang dimana pengaruh perubahan parameter lingkungan

khususnya suhu yang tidak sesuai sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan

kelangsungan hidup larva sehingga dapat menyebabkan kematian (Doroudi dan

Southgate, 1999; Yukihira et al., 2000; Cataldo et al., 2005; Dove dan O’Connor,

2007).

Kajian terdahulu mengenai pengaruh suhu terhadap pemeliharaan larva

kerang mutiara sudah banyak dilakukan (Doroudi et al., 1999; Yukihira et al.,

2000; Saucedo et al., 2004; Southgate dan Lucas, 2008; Winanto dkk., 2009;

Winanto, 2009; Hamzah, 2016) akan tetapi percobaan dengan kisaran suhu yang

luas yaitu 26-32oC serta dampaknya terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup

dan perkembangan stadia larva kerang mutiara (P. maxima) belum banyak

diungkapkan, sehingga penelitian ini perlu dilaksanakan agar dapat diketahui

kisaran suhu optimum bagi pemeliharaan larva kerang mutiara (P. maxima).

B. Rumusan Masalah

Proses pemijahan dan perawatan larva kerang mutiara sering mengalami

kendala karena dipicu oleh kondisi suhu yang berubah secara ekstrim terutama
3

pada musim peralihan. Sebagai akibat dari keadaan ini, jumlah dan kualitas benih

yang menempel pada kolektor rendah sehingga berdampak terhadap produksi

pada balai benih yang rendah. Kualitas air khususnya suhu merupakan salah satu

faktor pembatas dan penentu bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva

kerang mutiara (P. maxima) yang berdampak pada proses metabolisme. Southgate

dan Lucas (2008) menjelaskan bahwa suhu rendah yang terjadi pada musim

dingin menyebabkan lambatnya aktivitas makan dan aktivitas lainnya pada larva

kerang mutiara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa setiap spesies maupun populasi

memiliki rentang suhu optimum yang berbeda dan kemungkinan dipengaruhi oleh

faktor genetik. Cáceres-Puig et al. (2007) juga menambahkan bahwa suhu tinggi

mengakibatkan stres fisiologis dan metabolik, serta terjadi denaturasi protein dan

enzim pada keluarga kerang Mytilidae dan Pectinidae. Perkembangan larva

merupakan masa kritis dimana pengaruh lingkungan khususnya suhu yang terlalu

rendah atau terlalu tinggi dapat menghambat laju pertumbuhan dan kelangsungan

hidup larva sehingga berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas benih (juvenil)

yang akan dihasilkan. Selain itu, kerang mutiara juga memiliki toleransi suhu

yang berbeda pada tiap tingkatan stadia dan kadang-kadang toleransi akan suhu

meningkat selama masa perkembangan (Southgate dan Lucas, 2008).

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu yang berbeda

terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan stadia larva

kerang mutiara (P. maxima).


4

Kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui kisaran suhu optimum

bagi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan stadia larva kerang

mutiara (P. maxima). Luaran hasil penelitian ini diharapkan menjadi tambahan

informasi bagi penelitian lanjut terutama pembenihan dan pemeliharaan larva

kerang mutiara (P. maxima) di Laboratorium.


5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi

Kerang mutiara (P. maxima) termasuk dalam kelas bivalvia yang merupakan

kelas terbesar kedua dalam filum Moluska (Gosling, 2015) dengan jumlah lebih

dari 7000 spesies yang tersebar di seluruh dunia dengan daerah penyebaran di

Perairan Tawar, Estuari dan Laut (Lewbart, 2012). Southgate dan Lucas (2008)

mengklasifikasikan kerang mutiara (P. maxima) sebagai berikut:

Phylum : Mollusca
Class : Bivalvia (Linnaeus, 1758)
Subclass : Pteriomorphia (Beurlen, 1944)
Order : Pterioida (Newell, 1965)
Suborder : Pteriina (Newell, 1965)
Superfamily : Pterioidea (Gray, 1847)
Family : Pteriidae (Gray, 1847)
Genus : Pinctada (Roding, 1798)
Species : Pinctada maxima (Jameson, 1901)

Secara tradisional taksonomi kerang mutiara ditentukan berdasarkan tampilan

cangkang (bentuk dan warna) yang dikenal sebagai karakter yang mudah

dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan heterogenitas antara habitat. Identifikasi

spesies sangat sulit pada kerang muda karena bentuk cangkang yang hampir sama

(Cunha et al., 2011). Genera Pteriidae secara tradisional juga ditentukan oleh

bentuk cangkang. Selain perbedaan dalam bentuk cangkang, genera Pteria dan

Pinctada dibedakan oleh pola gigi engsel dan bentuk goresan otot adduktor

posterior. Beberapa karakter anatomi organ lunak, terutama pola melingkar usus
6

serta hubungan ventrikel dan usus, juga telah diusulkan sebagai karakter diagnostik

dalam tingkatan genus (Southgate dan Lucas, 2008).

B. Morfologi dan Anatomi

Bivalvia memiliki dua katup cangkang yang dihubungkan oleh engsel pada

bagian punggung dan terhubung oleh ligamen elastis (Gosling, 2015). Cangkang

tertutup melawan air dengan lapisan organik mengeluarkan scleroprotein dari

pinggiran mantel, yang merupakan suatu periostracum yang jarang (Lewbart,

2012). Bagian dorsal cangkang berbentuk datar dan panjang serta dihubungkan oleh

semacam engsel berwarna hitam (Takemura dan Kafuku, 1957 dalam Winanto,

2009). Menurut Dame (2012) cangkang pada bivalvia memainkan peranan penting

dalam penentuan dan interpretasi dari kondisi lingkungan masa lalu. Informasi

lingkungan tersimpan ketika pembentukan kristal kalsium karbonat dalam

pembentukan cangkang kerang. Pinctada fucata di Taiwan memiliki lebar

cangkang lebih besar dari pada di Jepang dan Korea. Perbedaan-perbedaan pada

nilai pertumbuhan dan terutama bentuk morfologi diduga bahwa tiram alami

Taiwan mungkin menyimpan ciri genetik asli (Hwang et al., 2007).

Hamzah dan Nababan (2011) melaporkan bahwa dilihat dari bentuk

morfologi anakan kerang mutiara (P. maxima) dewasa yang digantung pada

kedalaman 2m memiliki warna cangkang merah-coklat tua yang merupakan warna

aslinya dan ditumbuhi lumut-lumut halus. Pertumbuhan kerang dalam keadaan

normal dan sehat dicirikan dengan hasaky yang tumbuh mekar serta tempelan

bysuss pada substrat yang kuat (Hamzah dan Nababan, 2009). Kaki mengeluarkan

sebuah byssus, yang merupakan seikat benang-benang yang kuat berwarna


7

kecoklatan dari protein. Benang ini muncul melalui bagian ventral cangkang dan

berfungsi sebagai tali tambat untuk menempelkan kerang pada substrat dan kerang

lainnya (Gosling, 2015). Kaki dan byssus terletak pada daerah anterior, ventral ke

mulut dan dikelilingi oleh labial palps (Southgate dan Lucas, 2008).

Gambar 1. Morfologi dan Anatomi Kerang Mutiara (Pinctada sp.) (Sumber:


Southgate dan Lucas, 2008)

Bivalvia umumnya memiliki mantel yang terdiri dari dua jaringan lobus yang

menutupi hewan dalam cangkang (Gosling, 2015). Lobus mantel menempati

sebagian besar area antara katup membentang dari garis engsel mengelilingi

pinggiran nacreous cangkang (Southgate dan Lucas, 2008). Mantel merupakan

organ penting yang berfungsi dalam pembentukan cangkang moluska melalui

ekspresi komponen protein sel (Gardner et al., 2011). Menurut Joubert et al. (2014)

pertumbuhan cangkang kerang mutiara (P. margaritifera) dipengaruhi langsung

oleh kondisi lingkungan, seperti makanan dan suhu serta hal tersebut memodulasi

tingkatan ekspresi gen protein matriks cangkang pada mantel. Hamzah (2015)
8

menambahkan bahwa semakin tinggi kadar kalsium karbonat yang terkandung

dalam cangkang berbanding lurus dengan tingginya daya metabolisme reaksi enzim

dalam mencerna protein untuk pertumbuhan. Bivalvia dengan lamellibranch juga

memiliki karakteristik pada insang. Insang berfungsi dalam menyaring makanan

dan respirasi. Setiap insang memiliki sumbu utama pada bagian dorsal yang berupa

pembuluh darah dan otot (Southgate dan Lucas, 2008).

C. Habitat dan Penyebaran

Sebagian besar spesies Pteriidae menghuni zona littoral dangkal dan daerah

sublittoral landas kontinen. Beberapa spesies ditemukan pada dasar perairan

berpasir dengan kedalaman maksimal sekitar 100-120m (Southgate dan Lucas,

2008). Pada kedalaman 2m kulit cangkang ditumbuhi lumut halus yang

mengindikasikan pertumbuhan kerang dalam keadaan normal. Sementara kerang

yang diletakan pada kedalaman dibawahnya dominan ditumbuhi teritip (biofouling)

yang bersifat parasit dan menghambat pertumbuhan, merusak susunan kulit

cangkang, dan berdampak pada kematian bila tidak cepat dibersihkan (Hamzah dan

Nababan, 2009; Hamzah dan Setyono, 2009). Hamzah (2010) menyatakan bahwa

kerang mabe (P. penguin) juga banyak ditemukan pada daerah teluk-teluk yang

memiliki sonasi hutan bakau dan karang serta menyebar pada kedalaman perairan

antara 20–60m. Tingkah laku sebaran larva kerang mutiara, P. maxima dan P.

martensii lebih condong bersifat phototaxis negatif atau tidak tertarik pada cahaya

dan senang menempel pada substrat yang berwarna gelap (Su et al., 2007; Hamzah,

2013a). Hal ini juga terjadi pada larva kerang mabe (Pteria penguin) yang

cenderung menempel pada kolektor yang berwarna agak gelap (Hamzah, 2007).
9

Kerang mutiara (P. maxima) tersebar pada pertengahan daerah Indo-Pasifik,

termasuk Asia Tenggara, daerah perairan Pilipina, Laut China Selatan, Thailand,

Australia, dari Myanmar ke Pulau Solomon, Papua New Guinea, Polynesia,

Micronesia, Jepang Selatan, Fillipina dan Indonesia, Sementara di Indonesia

umumnya banyak ditemukan di wilayah Indonesia bagian timur seperti Irian jaya,

Sulawesi dan Maluku terutama gugus kepulauan Arafura (Lind et al., 2007;

Southgate dan Lucas, 2008).

D. Kualitas Air

Hamzah dan Sumadhiharga (2002) mengemukakan bahwa kisaran ambang

toleransi variasi musiman kondisi suhu dan salinitas yang ideal untuk pertumbuhan

dan kelangsungan hidup anakan kerang mutiara ukuran stadia kritis (lebar cangkang

antara 3-4cm) adalah antara 28-290C dan salinitas antara 30-33ppt. Tidak ada

pengaruh sinergi antara suhu dan salinitas, tetapi keduanya memberikan pengaruh

yang nyata terhadap lama waktu pencapaian stadia. Pada suhu optimum aktivitas

metabolisme berjalan maksimum, sehingga larva berkembang dengan baik.

Sedangkan suhu 260C diduga relatif rendah untuk perkembangan larva dan

sebaliknya suhu 300C relatif tinggi untuk perkembangan larva (Winanto dkk.,

2009). Suhu air sangat berperan dalam mengendalikan proses metabolisme, pada

kisaran suhu antara 26-290C kerang mutiara sangat aktif melakukan kegiatan

metabolisme dan mampu tumbuh dengan baik (Susilowati dan Sumantadinata,

2011). Loncatan suhu dengan gradien 10C masih dalam batas ambang toleransi

kehidupan kerang mutiara kecuali sudah mencapai gradient 20C (Hamzah dkk.,

2005). Tingkat penetasan telur kerang mutiara (P. maxima) pada salinitas 28ppt dan
10

25ppt menunjukan persentasi yang lebih rendah dibandingkan dengan salinitas

34ppt dan 31ppt, hal ini diduga bahwa tekanan osmotik dalam sel telur berbeda

dengan lingkungannya. Selain itu, pada salinitas 34ppt menunjukan tingkat

kelangsungan hidup larva tertinggi dan diduga salinitas tersebut merupakan

salinitas optimum dalam mendukung aktivitas metabolisme larva kerang mutiara

(Awaluddin dkk., 2013). Salinitas umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor,

diantaranya oleh pola sirkulasi air, penguapan (evaporasi), curah hujan (presipitasi)

dan adanya aliran sungai (run off) (Patty, 2013).

Nilai derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter kimia penting

yang dapat dijadikan sebagai indikator pemantau kestabilan perairan, perubahan

nilai pH dalam suatu perairan terhadap organisme akuatik mempunyai batasan

tertentu dengan nilai pH yang bervariasi (Simanjuntak, 2012). Habitat kerang

mutiara berbeda pada perairan dengan pH lebih tinggi dari 6,75 namun kerang

mutiara tidak dapat bereproduksi bila pH lebih tinggi dari 9. Perubahan pH sedikit

saja dari pH alami akan menyebabkan terganggunya sistem penyangga yang dapat

menimbulkan perubahan dan ketidak seimbangan kadar CO2 sehingga dapat

membahayakan kehidupan biota laut. pH air yang cocok untuk tumbuh dan

berkembang biak kerang mutiara (P. maxima) adalah berkisar antara 7,9-8,2 (Nayar

dan Mahadevan, 1987 dalam Susilowati dan Sumantadinata, 2011). Menurut

Matsui (1960) dalam Winanto (2009) pH air yang layak untuk kehidupan kerang

mutiara (P. maxima) berkisar antara 7,8-8,6. Sedangkan pada pH 7,9-8,2 kerang

mutiara dapat berkembang baik dan tumbuh dengan baik (Winanto, 2009).
11

Oksigen terlarut merupakan salah satu penunjang utama kehidupan di laut

dan indikator kesuburan perairan. Kadar oksigen terlarut semakin menurun seiring

dengan semakin meningkatnya limbah organik di perairan dan kadar oksigen

terlarut berkurang dengan bertambahnya kedalaman (Simanjuntak, 2012). Kerang

dapat hidup dengan baik pada perairan dengan kandungan oksigen terlarut berkisar

antara 5,20-6,60 (Imai, 1982 dalam Winanto 2009). Dhivya dan Lipton (2015)

menemukan bahwa Perna indica dengan panjang rata-rata 20mm menunjukkan laju

konsumsi oksigen lebih tinggi pada suhu tinggi yaitu 35°C.

E. Cara Makan dan Kebiasaan Makan

Kerang mutiara (P. maxima) termasuk biota laut bersifat plankton feeder,

sehingga dipercaya akan membersihkan air dari kemungkinan terjadinya blooming

plankton yang tidak dikehendaki. Beberapa jenis alga yang umum diberikan untuk

pakan antara lain Isochrysis galbana, Pavlova lutheri/, Monochrysis lutheri,

Chromulina sp., Chaetoceros sp., Nannochloropsis sp., dan Dicrateria sp., Untuk

fase pertumbuhan sampai menjelang spat dapat diberi variasi berbagai jenis alga

tersebut. Namun untuk stadia awal larva, jenis fitoplankton flagelata yang paling

penting untuk pakan adalah Isochrysis galbana dengan ukuran sekitar 7 µm.

Adakalanya digunakan jenis Tetraselmis tetrathele dan Chlorella sp., terutama

untuk stadia spat atau sebagai pakan campuran induk (Winanto, 2004; dan Winanto,

2009). Menurut Marshall et al. (2010) secara umum, kombinasi dari spesies alga I.

galbana dan C. calcitrans sangat berhasil untuk pemeliharaan larva kerang.

Penggunaan C. calcitrans terbukti menghasilkan hasil yang baik dalam hal


12

pertumbuhan dan kelangsungan hidup untuk Crassostrea gigas, Venerupis

philippinarum dan Pecten maximus, sedangkan hanya pakan I. galbana saja tidak.

Menurut CMFRI (1991) dalam Supii (2007) menyatakan bahwa budidaya

pada stadia awal larva (D shape) sampai stadia umbo diberi pakan fitoplankton jenis

Isochrysis galbana dengan kepadatan 5000 sel/ekor/hari. Beberapa jenis mikroalga

yang digunakan sebagai pakan larva Pteria sterna antara lain Nannochloris sp.,

Pavlova lutheri, Isochrysis galbana, Phaeodactilum tricornutum, Chaetoceros

meulleri, Chaetoceros calcitran, Thalassiosira weisflogii, Dunaliella salina,

Tetraselmis tetrathele, Tetraselmis suecica, namun mikroalga yang dapat dicerna

oleh larva hanya Nannochloris sp., Pavlova lutheri dan Isochrysis galbana

(Winanto, 2009). Isochrysis galbana dan Pavlova lutheri memiliki kandungan

lemak yang tinggi (Martinez-Fernandez, 2006). Larva kerang mutiara (P. maxima)

lebih efektif diberikan pakan alami jenis Isochrisis galbana sebagai bahan pakan

utama sehingga memberikan perkembangan yang cenderung lebih cepat mencapai

fase spat (hari ke 18) (Hamzah, 2008a). Menurut Brown (1991) dalam Hermawan

dkk. (2007) I. galbana memiliki kandungan gizi yang lebih lengkap yaitu protein

29%, karbohidrat 12,9% dan lemak 23% serta mempunyai kandungan EPA sebesar

1,88% dan DHA sebesar 6,76% sedangkan kandungan gizi Chaetoceros sp. adalah

protein 29%, karbohidrat 9% dan lemak 12%.

Kerang mutiara (P. maxima) merupakan filter feeder yang menyaring

plankton dengan menggerakan silia, sehingga menimbulkan arus dan kemudian

masuk kedalam rongga mantel. Gerakan silia akan memindahkan fitoplankton yang

berada di sekeliling insang dan dengan bantuan labial palp atau melalui simpul bibir
13

yang bergerak-gerak akan membawa masuk makanan ke dalam mulut (Velayudhan

dan Gandhi, 1987 dalam Winanto, 2009). Kerang hijau bersifat filter feeder

(penyaring makanan) sehingga kebutuhan makanan tergantung pada perairan

sekitarnya terutama makanan yang terbawa oleh arus (Hermawan dkk., 2007). Pada

prinsipnya mikro alga yang digunakan sebagai pakan larva kerang atau organisme

laut lainnya adalah mempunyai ukuran yang tepat untuk dimakan atau sesuai

dengan bukaan mulut larva/spat, mudah dibudidayakan, cepat tumbuh dengan

kepadatan tinggi dan tidak menghasilkan substansi racun (Ponis et al., 2006).

Makanan yang ditelan masuk dari mulut kemudian melalui kerongkongan yang

pendek langsung masuk perut, atau saluran kantong tipis pada perut dengan kulit

luar (cuticle) kasar yang berfungsi untuk memisah-misahkan makanan. Sisa

makanan akan dibuang melalui saluran usus yang relatif pendek dan bentuknya

seperti huruf S kemudian keluar lewat anus (Velayudhan dan Gandhi, 1987 dalam

Winanto, 2009).

F. Biologi dan Fisiologi

Salah satu faktor yang mempengaruhi laju konsumsi oksigen adalah suhu air.

Suhu akan mempengaruhi mekanisme transport ion yang berimplikasi pada

osmoregulasi dengan melibatkan berbagai reaksi kimia (Winanto dkk., 2009). Pada

tiram, metabolisme biasanya tergantung pada suhu, peningkatan suhu

menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen. Hal yang sama juga terjadi pada

bivalvia tropis, seperti kerang mutiara Calafia Pinctada mazatlanica. Tingkat

respirasi biasanya meningkat dengan meningkatnya suhu, hingga luar batas

maksimum atau optimum yang cepat menurun (Chavez-Villalba et al., 2013). Pada
14

P. fucata laju konsumsi oksigen meningkat tinggi selama jam pertama kerang

dimasukkan kembali ke dalam air dan laju konsumsi normal dicatat setelah waktu

tersebut. Kebutuhan oksigen terlarut kerang mutiara (P. fucata) menunjukan bahwa

kerang berukuran 40-50 mm mengkonsumsi oksigen 1,339 µl/l; ukuran 50-60 mm

mengkonsumsi 1, 650 µl/l dan ukuran 60-70 mm mengkonsumsi 1,810 µl/l

(Darmaraj, 1983 dalam Winanto, 2009).

Osmoregulasi adalah proses yang dilakukan oleh hewan laut untuk mengatur

keseimbangan konsentrasi cairan tubuh dan ion-ion agar seimbangan dengan

konsentrasi mediumnya. Osmoregulasi dipengaruhi oleh konsentrasi kadar garam

(salinitas) dalam perairan, jika kosentrasi salinitas terlalu rendah atau terlalu tinggi

maka akan berdampak terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup kerang

mutiara (P. maxima). Kerang mutiara merupakan osmokonformer, dengan

menggunakan penutupan katup berkelanjutan untuk menyangga perubahan

salinitas yang cepat (Southgate dan Lucas, 2008). Beberapa kerang mutiara hidup

pada habitat pesisir dimana salinitas menurun akibat runoff terestrial. Larva P.

imbricata mempunyai toleransi yang rendah terhadap salinitas, apalagi jika salinitas

turun sampai kurang dari 29‰. Pada kisaran salinitas 29–35‰, persentase

perkembangan embrio sampai stadia D-veliger meningkat signifikan seiring dengan

meningkatnya salinitas (Winanto dkk., 2009). Beberapa spesies kerang mutiara

cukup eurihalin dalam menoleransi kisaran salinitas yang besar. Kerang mutiara (P.

margaritifera) memiliki kisaran salinitas pada fase embrio yaitu <25-39 ppt, fase

larva yaitu <25-32 ppt dan spat 25-45 ppt. Sedangkan pada kerang mutiara (P.
15

maxima) memiliki kisaran salinitas pada fase spat yaitu 30-34 ppt (Southgate dan

Lucas, 2008).

Nutrisi adalah proses dimana hewan memperoleh kebutuhan energi untuk

metabolisme dari kandungan bahan kimia, seperti asam amino, asam lemak,

vitamin dan mineral, yang semuanya diperlukan untuk pertumbuhan dan

kesejahteraan. Kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi bahan makanan yang

cocok, yang kemudian mengalami proses pencernaan dan penyerapan (Lucas dan

Southgate, 2008). Pengunaan energi untuk metabolisme rutin spat P. maxima umur

35 hari lebih rendah jika dibandingkan umur 25 hari. Hal ini diduga, spat umur 25

hari lebih banyak membutuhkan energi karena masih berada pada masa transisi

hidup sebagai bentik, sehingga harus memproduksi banyak bysuss untuk

menempelkan diri pada substrat. Sebaliknya pada umur 35 hari kondisi relatif sudah

lebih stabil, spat sudah menetap, jika ada produksi bysuss hanya untuk

mengimbangi pertambahan berat, sehingga membutuhkan energi yang lebih kecil

(Winanto, 2009). Suhu merupakan salah satu parameter lingkungan yang

mempengaruhi metabolisme larva kerang mutiara (P. maxima), semakin rendah

suhu maka laju metabolisme semakin menurun, sehingga laju pertumbuhan larva

jadi lambat. Sebaliknya semakin tinggi suhu maka laju metabolisme makin

meningkat dan akan diikuti dengan meningkatnya laju pertumbuhan larva (Winanto

dkk., 2009).

G. Reproduksi dan Siklus Hidup

Kerang mutiara bersifat hermaprodit dan salah satu faktor yang

mempengaruhi perubahan sel kelamin kerang mutiara (P. maxima) yaitu


16

ketersediaan jumlah makanan di sekitar tempat hidupnya. Jika persediaan makanan

cukup, maka alat reproduksinya betina, sedangkan apabila persediaan makanan

kurang maka alat reproduksinya jantan (Winanto, 2004). Kerang mutiara (P.

maxima) telah mencapai kematangan gonad akhir pada tahun pertama, ditandai

kecenderungan protandrous dengan pemijahan terjadi semua berentetan tahun,

dengan suatu puncak pada bulan September-November dengan suhu antara 27oC

dan 29oC (Southgate dan Lucas, 2008). Menurut Gomez-Robles et al. (2005)

puncak reproduksi P. margaritifera terjadi pada musim panas yaitu pada bulan

Agustus dengan suhu air 29,5°C. Tingginya tingkat kematangan gonad dan pasca

vitellogenik oosit selama musim dingin, berkaitan dengan suhu laut yang hangat

yaitu 23-24°C. Selain itu, selama musim dingin, oosit mengalami artesia.

Pemijahan kerang mutiara biasanya dipicu oleh perubahan kondisi

lingkungan, seperti kenaikan atau penurunan suhu air atau perubahan salinitas, dan

perubahan serupa digunakan untuk menginduksi pemijahan dalam kondisi

budidaya (Southgate dan Lucas, 2008). Proses reproduksi diawali dengan fertilisasi

eksternal yang terjadi di dalam air. Selama proses pemijahan biasanya induk jantan

memijah lebih duluan, kemudian sekitar 30-35 menit baru induk betina

mengelurkan sel-sel telurnya (Southgate dan Lucas, 2008; Saoruddin, 2004 dalam

Susilowati dan Sumantadinata, 2011; dan Hamzah, 2013a). Narita et al. (2008)

menambahkan bahwa bentuk morfologi spermatozoa dari kerang mutiara, P. fucata

martensii dibagi dalam 3 bagian yaitu acrosoma, nucleus, mitochondrion dan

flagellum. Kemudian telur yang telah dibuahi berbentuk bulat dengan diameter 55-

65 µm (Supii, 2007). Menurut Southgate dan Lucas (2008) bahwa perkembangan


17

larva kerang mutiara membutuhkan 16-30 hari dan dipengaruhi oleh beberapa

faktor seperti suhu air, nutrisi dan ketersediaan substrat yang tepat untuk proses

menempel. Lebih lanjut Hermawan dkk. (2007) menjelaskan bahwa pada kondisi

normal yaitu suhu berkisar antara 28–300C, larva akan menempatkan diri untuk

menetap dan melekat pada substrat setelah berumur 20–22 hari dengan ukuran 200–

250µm sedangkan pada rentang suhu 24,3–27,20C, larva baru akan menetap dan

melekat pada spat kolektor setelah berumur 32 hari dan berukuran 250–300µm.

c d
2 e

b
f

a
g
h 2
2

Gambar 2. Siklus Hidup Kerang Mutiara (P. maxima) (Keterangan: a. telur dan
sperma; b. telur dibuahi; c. pembelahan sel; d. gastrula; e. larva bentuk-
d; f. stadia umbo; g. spat; h. dewasa) (Sumber: Winanto, 2009)

Siklus hidup kerang dimulai dengan fertilisasi telur, biasanya dalam perairan

terjadi disekeliling kerang dewasa (Dame, 2012). Fase kehidupan awal kerang

mutiara dimulai dengan penonjolan polar, kemudian membentuk polar lube II yang

merupakan awal proses pembelahan sel. Setelah terjadi fertilisasi, maka akan terjadi

fase pembelahan menjadi 2, 4, 8, 16, dan 32 sel dengan kisaran waktu ±45 menit
18

sampai ±2 jam kemudian mencapai fase morula (multi sel) pada waktu ± 2,5 jam,

fase blastula dicapai pada umur ±3,5 jam dan mulai bergerak berputar-putar

selanjutnya pada waktu ± 7 jam mencapai fase gastrula yang dimana pada fase ini

bersifat fotonegatif serta bergerak dengan silia, kemudian pembentukan granula

setelah pembelahan sel terakhir sudah bersilia setelah berumur antara 7-9 jam

(Hamzah, 2008a; dan Hamzah, 2013a).

Gambar 3. Morfologi Tahapan Perkembangan Larva (P. maxima) (Keterangan: a.


D-veliger; b. umbo awal; c. umbo tengah; d. eye-spot; e. umbo akhir
(pediveliger); f. plantigrade) (Sumber: Winanto, 2009)
19

Stadia awal larva P. maxima (bentuk D) dijumpai setelah 24 jam, larva

mempunyai cangkang prodissocanch I dengan ukuran kira-kira 70 x 60µm (panjang

x tinggi) (Southgate dan Lucas, 2008). Larva stadia veliger bersifat poto-positif,

sehingga nampak berenang-renang disekitar permukaan air (Brusca, 1990 dalam

Winanto, 2009). Southgate dan Lucas (2008) menambahkan bahwa fase D-veligers

menunjukan pertumbuhan awal cangkang sekitar 1-2 hari setelah fertilisasi dan

setelah itu bagian umbo mulai timbul pada bagian dorsal cangkang. Fase eye spot

ditandai dengan bintik hitam pada dua sisi cangkang serta mulai menempel pada

kolektor setelah mencapai 15-17 hari. Pada larva P. fucata stadia eye-spot

berkembang pada hari ke-15 dengan ukuran 190 x 180 µm (Alagarswami et al.,

1987 dalam Winanto 2009). Pada fase pedi-veliger (umbo akhir) yang dicapai pada

18–20 hari terlihat mulai terbentuk kaki (byssus) yang menonjol pada bagian dorsal

yang digunakan untuk menepel. Gerakan larva mulai melambat dan nampak adanya

pertumbuhan organ penempel seperti lidah yang keluar dari dalam tubuh larva.

Beberapa larva yang belum mendapatkan tempat untuk menempel masih

melakukan gerakan memutar lambat dengan terus mencari tempat untuk menempel

(Wardana dkk., 2014).

Fase plantigrade yaitu akhir planktonik dengan ditandai pembentukan

cangkang telah sempurna lengkap dengan anterior, posterior dan byssus, fase ini

terjadi setelah berumur antara 20–22 hari. Selanjutnya pada fase post-larva yang

dicirikan dengan berkembang dan tumbuh dalam keadaan menempel pada kolektor,

berumur antara 22-24 hari. Fase spat (juvenil) berkembang dan tumbuh menjadi

fase juvenil berumur antara 29-30 hari. Saat menjadi spat bentuk morfologi telah
20

lengkap menyerupai anakan kerang mutiara berumur antara 33-40 hari (Hamzah,

2008; dan Hamzah, 2013a). Stadia spat pada perkembangan larva kerang,

khususnya jenis Pinctada sp., secara normal dapat terbentuk pada umur 30 hari

(Evans et al., 2007). Benih kerang mutiara dapat dikatakan memasuki stadia

juvenil, apabila benih memiliki ukuran panjang cangkang luar berkisar antara 0,8-

1 cm. Ukuran tersebut dapat dicapai pada benih umur 60 hari atau 3-4 minggu

pemeliharaan dilaut (Wardana dkk., 2014). Menurut Winanto (2004) bahwa selama

pertumbuhan larva mengalami 3 kali periode kritis yaitu pertama pada fase D yaitu

larva pertama kali mulai makan, kedua pada fase umbo dan terakhir pada fase

plantigrade yaitu pada saat larva mengalami perubahan kebiasaan hidup dari

planktonis menjadi spat yang hidupnya menetap di dasar. Kematian larva tertinggi

terjadi pada periode plantonik yaitu dari fase umbo-veliger ke fase pediveliger, dan

kematian kedua terjadi pada periode bentik yaitu fase plantigrade ke fase spat

(Supii, 2007; Hamzah, 2008a).


III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada 10 Februari – 17 Maret 2016 di

Laboratorium Unit Pelaksana Teknis Loka Pengembangan Bio Industri Laut

Mataram, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan beserta kegunaan yang digunakan dalam penelitian ini dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat dan Bahan Beserta Kegunaan


No. Alat dan Bahan Satuan Kegunaan
A. Alat
0
1. Termometer batang C Mengukur suhu
2. Hand refraktometer ppt Mengukur salinitas
3. pH meter digital - Mengukur pH air
4. Pipet tetes - Mengambil sampel
5. Lup - Mengamati spat
0
6. Heater C Menstabilkan suhu perlakuan
-
7. Pendingin/es batu Mendinginkan suhu air
8. Mikrometer okuler µm Mengukur panjang larva
9. Kamera digital - Dukumentasi
10. Net plankton (screen net) µm Menyaring larva kerang mutiara
11. Wadah container unit Media penelitian
12. Wadah plastik unit Tempat menyimpan pakan
13. Arloji jam Menghitung waktu pengamatan
14. Mikroskop cahaya - Mengamati larva
15. Ember plastk - Menampung air saringan larva
16. Aerasi - Menyuplai oksigen
17. Sedgewick rafter - Menghitung jumlah larva
18. Senter - Mengamati larva
19. Gelas ukur plastik - Mengukur jumlah pakan
20. Filter bag - Menyaring air laut
21. Spat kolektor - Media penempelan spat
22. Hand counter - Mengkitung jumlah larva
23. Kantong plastik hitam - Membungkus wadah penelitian
24. Kuas - Membersihkan spat
22

No. Alat dan Bahan Satuan Kegunaan


B. Bahan
1. Larva kerang mutiara (P. individu Organisme uji
maxima)
2. Isochrysis galbana sel/ml Pakan yang diberikan
3. Pavlova lutheri sel/ml Pakan yang diberikan
4. Chaetoceros sp. sel/ml Pakan yang diberikan

C. Prosedur Penelitian

1. Pemijahan induk dan Perawatan Larva

Seleksi induk kerang mutiara yaitu dengan melihat Tingkat Kematangan

Gonad (TKG) induk kerang mutiara yaitu ≥70% dengan perbandingan jumlah

jantan dan betina adalah 4:4 (4 ekor induk jantan dan 4 ekor induk betina) dengan

ukuran panjang cangkang sekitar 12cm. Selanjutnya dilakukan pemijahan induk

dengan metode kejutan suhu (thermal shock) atau proses pheromon bila sulit

memijah yang bertujuan untuk mempercepat proses rangsangan. Setelah selesai

memijah dilakukan pengadukan air dalam bak tersebut agar terjadi fertilisasi

(pembuahan) merata.

Penyaringan larva dilakukan dengan menggunakan screen net (plankton net)

dengan ukuran mata 100µm, 80µm, 60µm, 40µm dan 25µm. Saringan ini disusun

berdasarkan besaran ukuran mata yaitu ukuran yang besar di bagian atas dan

disusul ukuran berikutnya. Ukuran mata menunjukkan satuan besaran

pertumbuhan larva yang tidak tersaring pada setiap ukuran mata screen net..

Indikator penentuan ukuran besar larva fase D-veliger dapat diketahui berdasarkan

ukuran mata saringan larva (screen net) yaitu antara 40-60 µm. Sebelum

dilakukan pendederan, larva D-veliger diukur menggunakan mikrometer okuler

dengan parameter panjang cangkang yaitu bagian anterior-posterior (AP) dan


23

tinggi cangkang yaitu bagian dorsal-ventral (DV) sebagai data ukuran larva awal

pengamatan.

Kualitas air yang dijadikan sebagai media percobaan disterilisasi mulai dari

penampungan air (tower) hingga dialirkan masuk ke dalam bak uji melalui UV

dan pada ujung selang air dipasang kantung saringan (filter bag). Sehingga media

air yang digunakan untuk pemeliharaan hewan uji bersih dan terhindar dari

kotoran atau partikel-partikel yang dapat mengganggu kehidupan larva. Larva

yang telah mencapai fase D-veliger, didederkan pada setiap bak uji yang telah

disiapkan dengan padat tebar 20.000 larva/80 liter air sesuai dengan jumlah

perlakuan suhu.

Wadah penelitian diberi perlakuan suhu 28-32oC diatur menggunakan

heater dan pada perlakuan suhu rendah yaitu 26oC ditambahkan pendingin berupa

media yang berisi es sejumlah 3 buah/bak uji yang berfungsi untuk menurunkan

suhu media uji sesuai nilai perlakuan serta ditambahkan heater untuk

menstabilkan suhu media tersebut.

Perlakuan dan ulangan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat

pada Tabel 2.

Tabel 2. Perlakuan dan Ulangan Penelitian


Faktor Suhu (0C) Ulangan
1 2 3
Kontrol (26,5-28) K1=n K2=n K3=n
A (260C±0,5) A1=n A2=n A3=n
B (280C±0,5) B1=n B2=n B3=n
C (300C±0,5) C1=n C2=n C3=n
D (320C±0,5) D1=n D2=n D3=n
24

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan 15

media percobaan yang terdiri atas 5 perlakuan suhu yang berbeda dan diulang

sebanyak 3 kali. Selanjutnya media percobaan yang terdiri atas 15 unit selanjutnya

diacak. Tata letak media penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Tata Letak Media Penelitian (Keterangan: K. Kontrol (suhu 26,5-


280C); A. suhu 260C±0,5; B. suhu 280C±0,5; C. suhu 300C±0,5; D.
suhu 320C±0,5; 1. ulangan ke-1; 2. ulangan ke-2 dan 3. ulangan ke-3)

2. Pemberian Pakan

Pemberian komposisi pakan campuran dilakukan 2 kali sehari (pagi dan

sore) seperti terlihat pada Gambar 5 yaitu pada fase D-veliger diberikan pakan

campuran Isochrysis galbana dan Pavlova lutheri dengan jumlah total 2000

sel/larva; fase Umbo-Veliger diberikan pakan campuran I. galbana dan P. lutheri

dengan jumlah total 3000 sel/larva; fase Eyespot diberikan pakan campuran I.

galbana dan P. lutheri dengan jumlah total 3500 sel/larva; fase Pediveliger diberi

pakan campuran Chaetoceros sp., I. galbana dan P. lutheri dengan jumlah total

4000 sel/larva; fase Plantigrade diberi pakan campuran Chaetoceros sp., I.

galbana dan P. lutheri dengan jumlah total 4500 sel/larva. Fase Spat diberi pakan

campuran Chaetoceros sp., I. galbana dan P. lutheri dengan jumlah total 5000

sel/larva.
25

Pemberian dosis pakan didasarkan pada pemeriksaan isi lambung larva.

Indikator warna yang menunjukkan keadaan lambung larva yaitu jika berwarna

kuning muda, maka kondisi larva kurang makan dan dosis pakan ditambah 50%

dari jumlah dosis awal, selanjutnya bila lambung berwana coklat tua

menggambarkan bahwa lambung berisi makanan dan tidak perlu ditambah pakan.

Gambar 5. Persentase Dosis Campuran Pakan Berdasarkan Fase Perkembangan


Larva Hingga Menempel pada Kolektor (Sumber: SOP UPT. LPBIL-
LIPI Mataram dan PT. Autore Pearl Oyster)

3. Pergantian Air

Pergantian air dilakukan setiap 2 hari sekali, jika larva dalam keadaan sehat

dilakukan pergantian air 50% kemudian melakukan pergantian air 100% setiap 4

hari. Jika larva tenggelam ke dasar bak atau menyebar tidak merata

(berkelompok) dilakukan pergantian air total (100%). Pergantian air dilakukan

dengan menyaring larva terlebih dahulu dengan menggunakan screen net

kemudian larva dimasukan ke dalam wadah yang telah diisi air. Air yang
26

digunakan disterilkan dengan cara disaring menggunakan filter bag sehingga air

bebas dari partikel maupun organisme yang tidak diinginkan.

D. Parameter Yang Diamati

1. Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup larva atau anakan kerang dihitung dengan

menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Winanto (2009) yaitu :

𝐍𝟏
𝐒𝐑 = 𝐍𝟎 × 𝟏𝟎𝟎% ......................................................................... (1)

Keterangan :
SR = kelangsungan hidup (%)
N1 = jumlah larva akhir pengamatan (individu)
N0 = jumlah larva awal pengamatan (individu)

2. Pertumbuhan Mutlak

Pertumbuhan mutlak larva atau anakan kerang dihitung dengan

menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Bhujel (2008) yaitu :

PM = L1 - L0 .............................................................................. (2)

Keterangan :
PM = pertumbuhan mutlak (µm)
L1 = panjang larva pada akhir pengamatan (µm)
L0 = panjang larva pada awal pengamatan (µm)

3. Laju Pertumbuhan Spesifik

Laju pertumbuhan spesifik larva atau anakan kerang dihitung dengan

menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Bhujel (2008) yaitu :

SGR = 100(Ln L1 – Ln L0)/ T .......................................................... (3)

Keterangan :
SGR = laju pertumbuhan spesifik (%)
L1 = panjang rerata pada akhir pengamatan (µm)
27

L0 = panjang rerata pada awal pengamatan (µm)


T = waktu pengamatan (hari)
Ln = logaritma natural

4. Perkembangan Stadia

Pengamatan perkembangan stadia larva pada setiap perlakuan digunakan

mikroskop yang dilengkapi dengan kamera digital dan bisa diakses dalam bentuk

gambar (foto larva). Perkembangan stadia larva didokumetasi dengan kamera.

Kemudian mencatat ukuran AP x DV dan tingkat perkembangan stadia.

5. Panjang dan Tinggi Cangkang

Pengukuran larva meliputi pengukuran panjang dan tinggi cangkang

berdasarkan metode yang digunakan oleh Winanto (2009) dapat dilihat pada

Gambar 6.

Gambar 6. Pengukuran Panjang dan Tinggi Larva Kerang Mutiara (P. maxima)
(Keterangan: AP. panjang cangkang bagian anterior-posterior dan DV.
tinggi cangkang bagian dorso-ventral)

6. Kualitas Air

Pengamatan kualitas air yang meliputi salinitas, pH dan suhu dilakukan

pada setiap unit satuan media organisme uji dengan menggunakan alat termometer

batang, hand refraktometer dan pH meter digital. Pengamatan kualitas air pada
28

bak pendederan larva hingga mencapai spat (juvenil) yang meliputi salinitas, pH

dan oksigen terlarut dilakukan saat tidak ganti air.

Untuk mendapatkan nilai suhu rendah sesuai dengan nilai perlakuan, maka

wadah percobaan dimasukan es dengan dilengkapi oleh pipa paralon yang

dimodifikasi agar tidak terkontaminasi langsung dengan air media uji serta

dipasang Heater untuk mengatur suhu, sehingga suhunya secara otomatis sesuai

dengan kisaran nilai perlakuan. Sistem kerja alat pemanas otomatis (heater) yaitu

dengan memutar tombol secara otomatis, sehingga kualitas suhu air media

pengamatan tetap berada pada kisaran suhu perlakuan yang telah ditetapkan.

Tabel 3. Kualitas Air dan Peralatan yang Digunakan dalam Pengukuran


No. Kualitas Air Satuan Alat
1. Salinitas ppt Hand refraktometer
2. pH - pH meter digital
0
3. Suhu C Termometer

E. Analisis Data

Data hasil penelitian di laboraorium yang merupakan metoda eksperimen

dengan lima perlakuan suhu yang berbeda diulang 3 kali (sebagai ulangan

perlakuan) yaitu digunakan rancangan acak lengkap (Hanafiah, 2014).

Selanjutnya bila perlakuan suhu memberikan respons yang berpengaruh nyata,

maka dilanjutkan uji Duncan. Data pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva

kerang mutiara (P. maxima) dianalisis dengan menggunakan analisis ragam

(ANOVA). Data perkembangan larva dan kualitas air dianalisis secara deskriptif.

Analisis data penelitian dibantu dengan menggunakan program IBM SPSS

Statistics Version 23.


29

Model matematika dari rancangan percobaan dan Uji Duncan adalah terlihat

sebagai berikut:

Yij = µ + ƒi + ϵij ............................................................................... (6)


Keterangan :
Yij = variabel yang akan dianalisis, dimisalkan berdistribusi
normal
µ = rata-rata umum atau rata-rata sebenarnya
ƒi = efek perlakuan ke- i
€ij = kekeliruan, berupa efek acak yang berasal dari unit
eksperimen ke j karena dikenai perlakuan ke i

𝑼𝒋𝒊 𝑫𝒖𝒏𝒄𝒂𝒏 ∶ 𝑹𝒑 = 𝒒𝜶′ . 𝑺𝒆 ......................................................... (7)

Keterangan :
Rp = wilayah nyata terkecil Duncan
qα’ = sebaran wilayah di-student-kan untuk uji Duncan pada
α, p dan dbf
30

HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup larva kerang mutiara (Pinctada maxima)

merupakan persentase dari jumlah spat (akhir pengamatan) umur 35 hari setelah

pemijahan dibanding dengan jumlah larva awal pengamatan. Hasil penelitian

tingkat kelangsungan hidup selama penelitian disajikan pada Gambar 7.

9.00
b
Tingkat Kelangsungan Hidup (%)

8.00 b
a
7.00
6.00
5.00 a a
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
Perlakuan
Kontrol A B C D

Gambar 7. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (P. maxima) pada
Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) (Keterangan: notasi yang sama
menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata)

Pada Gambar 7 terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup tertinggi

didapatkan pada perlakuan B yaitu 8,00%±0,16 dan diikuti secara berturut-turut

oleh perlakuan Kontrol yaitu 7,53%±0,20, perlakuan C yaitu 5,25%±1,81,

perlakuan A yaitu 3,99%±0,57 dan terendah pada perlakuan D yaitu 3,98%±0,53.

Hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukan bahwa perlakuan suhu memberikan


32

pengaruh yang sangat nyata (Sig.≤0,01) terhadap kelangsungan hidup larva kerang

mutiara (P. maxima).

2. Pertumbuhan

Pertumbuhan larva kerang mutiara (P. maxima) merupakan perubahan ukuran

cangkang dari waktu ke waktu. Pertumbuhan larva kerang mutiara (P. maxima)

pada penelitian ini meliputi pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan spesifik

(pertumbuhan harian).

2.1. Pertumbuhan Mutlak

Pertumbuhan mutlak dihitung berdasarkan data ukuran anterior-posterior

(AP) larva awal pengamatan (fase D-veliger) sampai menempel pada kolektor

(spat) umur 35 hari setelah pemijahan. Hasil penelitian pertumbuhan mutlak selama

penelitian disajikan pada Gambar 8.

1600.00
c
1400.00 bc
b
Pertumbuhan Mutlak (µm)

1200.00
a
a
1000.00
800.00
600.00
400.00
200.00
0.00
Perlakuan
Kontrol A B C D

Gambar 8. Pertumbuhan Mutlak Kerang Mutiara (P. maxima) pada Kondisi Suhu
yang Berbeda (Mean±SD) (Keterangan: notasi yang sama menunjukan
pengaruh yang tidak berbeda nyata)
33

Pada Gambar 8 terlihat bahwa pertumbuhan mutlak tertinggi didapatkan pada

perlakuan B yaitu 1458,32µm±32,16 dan diikuti secara berturut-turut oleh

perlakuan C yaitu 1379,71µm±15,47, perlakuan Kontrol yaitu 1258,21µm±67,45,

perlakuan D yaitu 1072,40µm±51,13 dan terendah pada perlakuan A yaitu

1031,31µm±158,49. Hasil analisis ragam (Lampiran 5) menunjukan bahwa

perlakuan suhu memberikan pengaruh yang sangat nyata (Sig.≤0,01) terhadap

pertumbuhan mutlak larva kerang mutiara (P. maxima) hingga mencapai spat.

2.2. Laju Pertumbuhan Spesifik

2.2.1. Laju Pertumbuhan Spesifik Dorsal-Ventral

Laju pertumbuhan spesifik larva dihitung berdasarkan data ukuran dorsal-

ventral larva awal pengamatan hingga mencapai 20 hari setelah pemijahan. Hasil

penelitian laju pertumbuhan spesifik dorsal-ventral selama penelitian disajikan

pada Gambar 9.

5.60
c
5.40 b
b
5.20 b
LPS DV (%)

a
5.00

4.80

4.60

4.40
Perlakuan
Kontrol A B C D

Gambar 9. Laju Pertumbuhan Spesifik DV Larva Kerang Mutiara (P. maxima) pada
Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) (Keterangan: notasi yang sama
menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata)
34

Pada Gambar 9 terlihat bahwa laju pertumbuhan spesifik dorsal-ventral

tertinggi didapatkan pada perlakuan B yaitu 5,46%±0,03 dan diikuti secara

berturut-turut oleh perlakuan C yaitu 5,27%±0,09, perlakuan Kontrol yaitu

5,25%±0,08, perlakuan A yaitu 5,12%±0,08 dan terendah pada perlakuan D yaitu

4,91%±0,12. Hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukan bahwa perlakuan suhu

memberikan pengaruh yang sangat nyata (Sig.≤0,01) terhadap laju pertumbuhan

spesifik dorsal-ventral larva kerang mutiara (P. maxima).

2.2.2.Laju Pertumbuhan Spesifik Anterior-Posterior

Laju pertumbuhan spesifik larva dihitung berdasarkan data ukuran anterior-

posterior larva awal pengamatan hingga mencapai 20 hari setelah pemijahan. Hasil

penelitian laju pertumbuhan spesifik anterior-posterior selama penelitian disajikan

pada Gambar 10.

6.00

5.80 b b

5.60
LPS AP (%)

5.40 a
a a
5.20

5.00

4.80

4.60
Perlakuan
Kontrol A B C D

Gambar 10. Laju Pertumbuhan Spesifik AP Larva Kerang Mutiara (P. maxima)
pada Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) (Keterangan: notasi
yang sama menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata)
35

Pada Gambar 9 terlihat bahwa laju pertumbuhan spesifik anterior-posterior

tertinggi didapatkan pada perlakuan B yaitu 5,71%±0,04 dan diikuti secara

berturut-turut oleh perlakuan C yaitu 5,54%±0,23, perlakuan D yaitu 5,21%±0,11,

perlakuan Kontrol yaitu 5,15%±0,08 dan terendah pada perlakuan A yaitu

5,14%±0,05. Hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukan bahwa perlakuan suhu

memberikan pengaruh yang sangat nyata (Sig.≤0,01) terhadap laju pertumbuhan

spesifik anterior-posterior larva kerang mutiara (P. maxima).

3. Perkembangan

Data perkembangan stadia larva kerang mutiara (P. maxima) hingga

mencapai spat berdasarkan pengaruh suhu yang berbeda terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Stadia Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Hingga


Mencapai Spat (Juvenil)
No. Stadia Waktu Keterangan
1. D-Veliger 24 jam-12 Larva berbentuk D dengan ukuran AP x DV
hari yaitu sekitar 80 x 75µm

2. Umbo 12-18 hari Muncul tonjolan dibagian dorsal cangkang


dengan masing-masing ukuran AP±SD x
DV±SD pada masing-masing perlakuan yaitu
kontrol (162,50µm±17,25 x
151,67µm±16,02), A (159,55µm±18,64 x
148,18µm± 22,28), B (170,67µm±30,11 x
153,67µm±26,76), C (158,46µm±12,14 x
142,31µm±10,13) dan D (157,50µm±10,35 x
143,75µm±10,61)
3. Eyespot 18-22 hari Terlihat bintik hitam pada cangkang dengan
masing-masing ukuran AP±SD x DV±SD
pada masing-masing perlakuan yaitu Kontrol
(206,67µm±8,16 x 196,67µm±8,16), A
(194,00µm±16,73 x 178,00µm±14,83), B
(209,00µm±9,94 x 196,00µm±9,66), C
(203,00µm±8,23 x 187,00µm±16,36) dan D
(204,00µm±8,94 x 184,00µm±21,91)
36

No. Stadia Waktu Keterangan


4. Pediveliger 22-24 hari Terlihat kaki yang keluar pada bagian dorsal
cangkang dengan masing-masing ukuran
AP±SD x DV±SD pada masing-masing
perlakuan yaitu kontrol (227,14µm±14,68 x
203,57µm±9,45), A (227,27µm±20,90 x
196,82µm±19,53), B (237,22µm±29,86 x
207,50µm±31,17), C (234,33µm±23,67 x
201,67µm±26,57) dan D (227,14µm±19,76 x
199,29µm±18,35)
5. Spat >26 hari Menyerupai bentuk anakan kerang dengan
masing-masing ukuran AP±SD pada masing-
masing perlakuan yaitu Kontrol (1382,11µm
± 198,81), A (1196,25µm ± 343,66), B
(1510,67µm ± 155,56), C (1231,46µm ±
322,24) dan D (1152,40µm ± 296,19)

4. Parameter Kualitas Air

Kisaran parameter kualitas air yang terukur selama penelitian berdasarkan

perlakuan suhu yang berbeda terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Parameter Kualitas Air yang Diukur Selama Penelitian


No. Parameter Kisaran Referensi
1. Salinitas 32 - 34 ppt 30-34 ppt (Taylor et al., 2004; Southgate
dan Lucas, 2008; Winanto dkk., 2009)
2. pH 8,11 - 8,35 7,8-8,6 (Matsui, 1960 dalam Winanto,
2009)

B. Pembahasan

1. Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup merupakan salah satu faktor terpenting dalam

suatu usaha pembenihan kerang mutiara (P. maxima) karena berpengaruh terhadap

jumlah spat (juvenil) yang akan dihasilkan. Kelangsungan hidup larva kerang

mutiara (P. maxima) diestimasi dari data jumlah larva awal pangamatan (larva D-
37

veliger) hingga mencapai stadia spat (juvenil) yang berumur 35 hari setelah

pemijahan. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa suhu memberikan

pengaruh yang sangat nyata (Sig.<0,01) bagi kelangsungan hidup larva kerang

mutiara (P. maxima) dari stadia D-veliger hingga mencapai spat (juvenil). Hal ini

didukung oleh pernyataan Southgate dan Lucas (2008) bahwa suhu terlalu rendah

dan terlalu tinggi memberikan pengaruh terhadap kelangsungan hidup kerang

mutiara (P. maxima). Lebih lanjut O’Connor dan Lawler (2004) menyatakan bahwa

perbedaan toleransi suhu tidak hanya terjadi pada masa embrio hingga juvenil,

tetapi juga berpengaruh pada spat hingga mencapai kerang dewasa, terutama pada

suhu rendah.

Berdasarkan uji Duncan pengaruh suhu yang berbeda terhadap kelangsungan

hidup larva kerang mutiara (P. maxima) pada awal pengamatan hingga mencapai

spat (juvenil) menunjukan bahwa perlakuan B (suhu 28±0,5oC) memberikan

persentasi nilai yang tertinggi yaitu 8,00%±0,16 dan disusul perlakuan Kontrol

(26,5-28oC) yaitu 7,53%±0,20. Kedua perlakuan ini menunjukan pengaruh yang

tidak signifikan, hal ini diduga bahwa kondisi suhu tersebut masih dalam kisaran

toleransi kelangsungan hidup larva kerang mutiara sampai stadia spat (juvenil). Hal

ini didukung oleh hasil penelitian Winanto dkk. (2009) yang mengemukakan bahwa

sintasan larva kerang mutiara (P. maxima) tertinggi terjadi pada perlakuan suhu

28oC dengan salinitas 32 ppt dan 34 ppt. Doroudi et al. (1999) menambahkan bahwa

kondisi fisiologis optimal untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva kerang

mutiara yaitu pada suhu 26-29oC. Lebih lanjut Southgate dan Lucas (2008)

menjelaskan bahwa kerang mutiara memiliki kisaran suhu yang beragam seperti
38

larva kerang mutiara Akoya (India) hidup dengan baik pada kisaran suhu 24-29oC

dan Pteria sterna pada kisaran suhu 21-28oC.

Kelangsungan hidup terendah didapatkan pada perlakuan D (suhu 32oC±0,5)

dengan nilai 3,98%±0,53 dan menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata dengan

perlakuan A (suhu 26oC±0,5) dan perlakuan C (suhu 30oC±0,5) dengan nilai

persentasi masing-masing yaitu 3,99%±0,57 dan 5,25%±1,81. Rendahnya nilai

kelangsungan hidup yang terjadi pada perlakuan tersebut diduga bahwa larva

kerang mutiara (P. maxima) tidak dapat mentolelir suhu tersebut sehingga terjadi

mortalitas yang cukup tinggi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Winanto (2009)

yang mengemukakan bahwa suhu 26oC dan 30oC memberikan hasil kelangsungan

hidup yang rendah dibandingkan suhu 28oC dengan salinitas 30-34ppt. Nair dan

Appukuttan (2003) juga menambahkan bahwa suhu >33oC menyebabkan mortalitas

yang tinggi pada larva kerang. Peningkatan suhu menyebabkan perubahan

signifikan pada aktivitas fisiologis yang akan mempengaruhi kemampuan

organisme untuk bertahan hidup pada kondisi yang tidak menguntungkan

(Rajagopal et al., 2005). Saucedo et al. (2004) menjelaskan bahwa beberapa jenis

bivalvia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan suhu

air dalam bertahan hidup dan bereproduksi.

2. Pertumbuhan

Pertumbuhan larva kerang mutiara (P. maxima) yang diukur meliputi

pertumbuhan lebar cangkang (Anterior-Posterior) dan pertumbuhan tinggi

cangkang (Dorsal-Ventral) berdasarkan pengaruh suhu yang berbeda. Menurut


39

Southgate dan Lucas (2008) pengukuran cangkang merupakan metode yang paling

umum digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan pada kerang mutiara.

2.1. Pertumbuhan Mutlak

Pertumbuhan mutlak merupakan pertumbuhan larva awal pengamatan hingga

mencapai spat (akhir pengamatan). Laju pertumbuhan mutlak merupakan parameter

yang menentukan laju peningkatan ukuran maupun bobot pada waktu tertentu,

umumnya digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan bivalvia yang

dibudidayakan dan sangat berperan penting dalam membandingkan antara

perlakuan dalam studi yang sama. Umumnya pertumbuhan mutlak kerang mutiara

dipengaruhi oleh ukuran dan usia bivalvia serta variasi musiman dalam

memperoleh makanan, suhu air dan lokasi budidaya (Southgate dan Lucas, 2008).

Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukan bahwa suhu memberikan pengaruh

yang sangat nyata (Sig.<0,01) bagi pertumbuhan mutlak larva kerang mutiara (P.

maxima) hingga mencapai spat (juvenil) dengan taraf kepercayaan 99%. Hal ini

didukung oleh hasil penelitian Doroudi et al. (1999) bahwa dalam kisaran salinitas

yang cocok, pertumbuhan larva P. margaritifera tergantung pada suhu. Lebih lanjut

Yukihira et al. (2000) menjelaskan bahwa tingkat metabolisme moluska khususnya

kerang mutiara dan organisme poikilothermic lainnya biasanya meningkat seiring

dengan peningkatan suhu hingga titik maksimal.

Berdasarkan hasil uji Duncan, rata-rata pertumbuhan mutlak tertinggi yaitu

pada perlakuan B (suhu 28oC±0,5) dengan nilai 1458,32µm±32,16 dan menunjukan

nilai yang tidak signifikan dengan perlakuan C (suhu 30oC±0,5) yaitu

1379,71µm±15,47. Kemudian disusul oleh perlakuan Kontrol (suhu 26,5-28oC)


40

dengan nilai 1258,21µm±67,45. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh

Saucedo et al. (2009) bahwa P. mazatlanica secara signifikan mencapai ukuran

yang lebih besar, tingkat pertumbuhan yang lebih besar dan lebih berat (basah dan

kering) terjadi pada suhu 29oC, dan diberi pakan campuran Isochrysis-Chaetoceros

(untuk berat) serta Pavlova-Chaetoceros (untuk tinggi cangkang). Cáceres-Puig et

al. (2007) juga menambahkan bahwa kerang subtropis Crassostrea corteziensis

merupakan spesies eurythermal dengan kisaran toleransi suhu yang luas yaitu 16-

32°C. Akan tetapi spesies ini sangat tergantung pada suhu antara 24-30°C dan

tumbuh dengan baik pada suhu optimal yaitu suhu 28oC. Terlepas dari faktor

tersebut, ternyata pertumbuhan panjang mutlak Dorsal-Ventral dan Anterior–

Posterior P. maxima tertinggi mulai dari veliger sampai spat umur 30 hari yang

diberi pakan alami kombinasi I. galbana 25% dan C. amami 75% dengan mencapai

ukuran masing-masing yaitu 1623,72µm dan 2217,11µm (Taufiq dkk., 2010).

Pertumbuhan terendah terjadi pada perlakuan A (suhu 26oC±0,5) yaitu

1031,31µm±158,49 dan menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata dengan

perlakuan D (suhu 32oC±0,5) yaitu 1072,40µm±51,13. Pertumbuhan yang rendah

pada perlakuan tersebut diduga bahwa suhu 26oC±0,5 terlalu rendah dan suhu

32oC±0,5 terlalu tinggi dalam mendukung pertumbuhan larva kerang mutiara (P.

maxima) hingga mencapai spat (juvenil). Yukihira et al. (2000) dan Yukihira et al.

(2006) menjelaskan perbedaan suhu selama pemeliharaan walaupun kecil atau

sekitar 1–2oC berpengaruh kuat terhadap laju pertumbuhan. Lebih lanjut dijelaskan

bahwa suhu berpengaruh terhadap proses metabolisme larva, semakin rendah suhu

maka laju metabolisme semakin menurun, sehingga laju pertumbuhan larva jadi
41

lambat. Pada bivalvia umumnya pertumbuhan terjadi melalui deposisi kalsit

jaringan mantel dan aragonit pada garis cangkang sehingga pada kerang mutiara,

dimensi cangkang merupakan ciri-ciri yang paling sering diukur untuk mengetahui

tingkat pertumbuhan (Rose dan Baker, 1994 dalam Kvingedal et al., 2010).

2.2. Laju Pertumbuhan Spesifik

Larva bivalvia memiliki pertumbuhan eksponensial (Gosling, 2007) dan

tingkat pertumbuhan kemungkinan akan dipengaruhi oleh faktor genetik, nutrisi

endogen dan eksogen, dan kondisi lingkungan budaya (Doroudi dan Southgate,

2003). Laju pertumbuhan spesifik larva kerang mutiara (P. maxima) yang diukur

pada awal pengamatan hingga hari ke 20 setelah pemijahan ternyata sangat

dipengaruhi oleh suhu. Hal ini dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan spesifik

anterior-posterior maupun dorsal-ventral ternyata sangat dipengaruhi oleh suhu

dengan nilai Sig.<0,01 yang menunjukan bahwa suhu memberikan pengaruh yang

sangat nyata pada taraf kepercayaan 99% terhadap pertumbuhan DV maupun AP.

Hal ini didukung oleh pernyataan Southgate dan Lucas (2008) yang mengemukakan

bahwa pertumbuhan kerang mutiara dipengaruhi oleh ukuran, usia, serta variasi

musiman dalam ketersediaan makanan, suhu air dan lokasi budidaya. Lebih lanjut

Yukihira et al. (2006) juga menambahkan bahwa suhu memberikan pengaruh

signifikan pada pertumbuhan dan pada suhu rendah juvenil kerang mutiara (P.

maxima) akan mengalami kematian.

Berdasarkan hasil uji Duncan, laju pertumbuhan spesifik Dorsal-Ventral

(DV) menunjukan bahwa perlakuan B (suhu 28oC±0,5) adalah yang terbaik dengan

nilai 5,46%±0,03 dan menunjukan hasil yang berbeda nyata dengan semua
42

perlakuan. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Winanto dkk. (2009) bahwa laju

metabolisme meningkat dengan meningkatnya suhu sehingga mencapai batas

optimum (28oC), selanjutnya akan menurun seiring dengan meningkatnya suhu.

Perlakuan yang memberikan hasil terendah yaitu perlakuan D (suhu 32oC±0,5)

dengan nilai 4,91%±0,12. Pertumbuhan yang rendah pada perlakuan D (suhu

32oC±0,5) diduga bahwa suhu media tersebut terlalu tinggi sehingga menyebabkan

aktifitas fisiologis larva terganggu sehingga berdampak pada pertumbuhan

cangkang yang lambat. Hal ini didukung oleh Hamzah (2016) yang mengemukakan

bahwa kondisi lingkungan merupakan faktor penting dalam proses aktivitas enzim

dalam pencerna protein. Lebih lanjut dijelaskan bahwa semakin tinggi kadar

kalsium karbonat yang terkandung dalam cangkang adalah berbanding lurus dengan

tingginya daya metabolisme reaksi enzim dalam mencerna protein untuk

pertumbuhan.

Pertumbuhan Anterior-Posterior pada larva kerang mutiara (P. maxima) juga

dipengaruhi oleh suhu air walaupun menunjukan hasil yang sedikit berbeda dari

pertumbuhan DV. Berdasarkan hasil uji Duncan, perlakuan B (suhu 28oC±0,5)

menunjukan nilai yang tertinggi yaitu 5,71µm±0,04 dan menunjukan hasil yang

tidak berbeda nyata dengan perlakuan C (suhu 30oC±0,5) yaitu 5,54µm±0,23. Hal

ini didukung oleh pernyaataan Dove dan O’Connor (2007) bahwa suhu secara

signifikan mempengaruhi pertumbuhan larva pediveliger kerang batu Sydney

(Saccostrea glomerata) dengan suhu >26oC mengakibatkan tingkat pertumbuhan

terbaik, terutama pada salinitas >20 ppt. Hal yang hampir sama juga dikemukakan

oleh Li dan Li (2010) yang menyatakan bahwa suhu 27oC memberikan


43

pertumbuhan yang cepat namun kelangsungan hidup lebih rendah dan hal ini juga

ditemukan pada spesies invertebrata lainnya. Perlakuan yang memberikan hasil

pertumbuhan terendah yaitu perlakuan A (suhu 26oC±0,5) yaitu 5,14µm±0,05 dan

menunjukan nilai yang tidak signifikan dengan perlakuan Kontrol (suhu 26,5-28oC)

dan perlakuan D (suhu 32oC±0,5) yaitu 5,15µm±0,08 dan 5,21µm±0,11. Hal ini

diduga bahwa suhu 26oC±0,5 terlalu rendah dan suhu 32oC±0,5 terlalu tinggi dalam

mendukung pertumbuhan larva kerang mutiara. Hal serupa juga dilaporkan oleh

Winanto (2009) bahwa suhu 26oC relatif rendah untuk perkembangan larva dan

sebaliknya suhu 30oC relatif tinggi untuk perkembangan larva. Lebih lanjut

Hamzah (2016) menjelelaskan bahwa kisaran kondisi suhu dan salinitas yang

rendah, mengakibatkan pertumbuhan larva menjadi lambat dan lebih lama

menempel pada kolektor.

3. Perkembangan

Induk kerang mutiara (P. maxima) merupakan induk alam yang berasal dari

Pulau Sumbawa dan dipijahkan di Laboratorium Basah Kerang Mutiara LPBIL

LIPI Mataram pada tanggal 10 Februari 2016. Perbandingan induk jantan dan induk

betina yang digunakan yaitu 4:4 dengan ukuran panjang cangkang sekitar 12cm.

Berdasarkan data sekunder yang diperoleh bahwa kerang mutiara (P. maxima) di

Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur matang gonad pada bulan

September sampai bulan Maret sehingga pemijahan dilakukan pada bulan-bulan

tersebut. Hal ini hampir sama dengan kerang mutiara (P. maxima) di Australia yang

mengalami kematangan seksual pada akhir tahun pertama dan ditandai

kecenderungan protandrous. Pemijahan terjadi sepanjang tahun, dengan puncaknya


44

pada bulan September-November dengan suhu 27°C dan 29°C. Musim kawin

terjadi pada September hingga April, dengan puncak pada bulan Oktober dan hanya

sedikit pada bulan April (Southgate dan Lucas, 2008).

Fujimura et al. (1995) dalam Miyazaki et al. (2010) menjelaskan bahwa

proses perkembangan P. fucata diklasifikasikan ke dalam enam tahap yaitu telur

yang telah dibuahi, trochophore, veliger (larva bentuk D), pediveliger (tahap

umbonal), juvenil dan tahap dewasa. Lebih lanjut dijelaskan bahwa cangkang

pertama yang disebut prodissoconch I, disekresikan sepasang kelenjar cangkang

dari sel-sel larva planktonik selama tahap trochophore (6-24 jam setelah

pembuahan). Pengamatan perkembangan larva kerang mutiara (P. maxima) dimulai

pada saat larva mencapai fase D-veliger yang dicapai sekitar 24 jam setelah

fertilisasi hingga mencapai stadia spat (juvenil) umur 35 hari. Berdasarkan hasil

pengamatan, suhu memberikan pengaruh yang beragam terhadap ukuran larva

kerang mutiara (P. maxima). Hal ini sejalan dengan pernyataan Winanto (2009)

yang menyatakan bahwa suhu memberikan pengaruh signifikan terhadap

perkembangan larva, selisih perlakuan suhu (2oC) ternyata memberikan efek yang

signifikan pada sintasan dan pertumbuhan larva. Cataldo et al. (2005) juga

menambahkan bahwa waktu perkembangan larva Mytilidae laut lainnya juga

dipengaruhi oleh suhu. Lebih lanjut Gervais dan Sims (1992) dalam Southgate dan

Lucas (2008) menjelaskan bahwa perkembangan larva kerang mutiara

membutuhkan 16-30 hari dan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suhu air, nutrisi

dan ketersediaan substrat yang tepat.


45

A B
Gambar 11. Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia D-Veliger dan Umbo
(Keterangan: A. D-Veliger; dan B. Umbo)

Stadia D-veliger dicapai pada 24 jam setelah pemijahan dengan larva yang

berbentuk huruf D dengan ukuran sekitar 80 x 75µm (AP x DV). Hal ini hampir

sama dengan Doroudi dan Southgate (2003) bahwa larva D-Veliger P.

margaritifera dicapai sekitar 24 jam setelah pembuahan dengan ukuran panjang

cangkang 79,7±2,3 (n = 40). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Larva D menunjukkan

lingkaran pertumbuhan awal setelah 2 hari dan cangkang menunjukkan sedikit

pertumbuhan umbonal setelah berkembang selama 6 hari serta prodissoconch I dan

II bisa diidentifikasi secara jelas. Tahap veliger ditandai dengan bentuk engsel yang

lurus dan cangkang berbentuk huruf “D”. Pada tahap ini, larva semi-transparan dan

menunjukan bagian velum yang menonjol, larva veliger berenang di permukaan air

serta menciptakan arus yang kuat dengan menggunakan sillia (Acarli dan Lok,

2009).

Stadia umbo dicapai pada umur 12-18 hari dengan bagian umbo yang

kelihatan jelas pada bagian dorsal. Acarli dan Lok (2009) menjelaskan bahwa pada

kerang Ostrea edulis, larva berenang lebih lambat daripada tahap-tahap awal. Pada

bagian velum silia juga kurang aktif dan hanya sebagian larva yang mencapai tahap
46

umbo pada hari ke 14. Rata-rata ukuran panjang x tinggi cangkang (AP±SD x

DV±SD) tertinggi pada stadia umbo yaitu pada perlakuan B (suhu 28oC±0,5) yaitu

170,67µm±30,11 x 153,67µm±26,76 dan terendah pada perlakuan D (suhu

32oC±0,5) yaitu 157,50µm±10,35 x 143,75µm±10,61. Hal ini sedikit berbeda

dengan Doroudi dan Southgate (2003) yang menjelaskan bahwa larva P.

margaritifera membutuhkan waktu 8 hari untuk mencapai tahap umbo awal dengan

panjang cangkang 110µm dan menunjukkan tingkat pertumbuhan harian rata-rata

3,7µm. Pada larva P. margaritifera, suhu 20oC memberikan perkembangan stadia

umbo yang lambat, bahkan setelah mencapai 15 hari (Doroudi et al., 1999).

Gambar 12. Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia Eyespot Tampak Atas dan
Samping

Stadia Eyespot dicapai sekitar 18-22 hari dengan ditandai bintik hitam (spot)

yang tampak jelas. Bintik hitam kecil pada kedua sisi cangkang tampak setelah

berumur 16-17 hari. Bintik hitam ini menggambarkan larva mulai menempel dan

kolektor segera ditebarkan dalam bak pemeliharaan (Hamzah, 2015). Berdasarkan

hasil pengamatan, rata-rata ukuran larva tertinggi pada perlakuan B (suhu

28oC±0,5) yaitu 209,00µm±9,94 x 196,00µm±9,66 dan terendah pada perlakuan A

(suhu 26oC±0,5) yaitu 194,00µm±16.73 x 178,00µm±14,83. Pada suhu 26oC laju

pertumbuhan larva lebih rendah dibanding pada suhu 28oC dan 30oC, diduga suhu
47

26oC relatif rendah dan kurang efektif untuk proses metabolisme, sehingga

berimplikasi pada perkembangan dan pertumbuhan larva (Winanto, 2009). Lebih

lanjut Kheder and Robert (2010) menyatakan bahwa suhu ≥27°C memiliki efek

positif pada laju metamorfosis dan sebaliknya suhu ≤22°C memberikan efek yang

rendah, sehingga menyebabkan lambatnya pencapaian stadia berikutnya.

Sedikitnya pertumbuhan yang dialami dari tahap perkembangan awal kemungkinan

disebabkan oleh penurunan dari proses kalsifikasi (Parker et al., 2010).

A B
Gambar 13. Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia Pediveliger dan Spat (Keterangan:
A. Pediveliger; dan B. Spat)

Berdasarkan hasil penelitian, stadia Pediveliger dicapai sekitar 22-24 hari

setelah fertilisasi dengan ditandai munculnya kaki yang keluar pada bagian dorsal

cangkang serta bintik hitam pada stadia Eyespot telah menghilang. Gerakan larva

mulai melambat dan nampak adanya pertumbuhan organ penempel seperti lidah

yang keluar dari dalam tubuh larva (Wardana dkk., 2009). Lebih lanjut Acarli dan

Lok (2009) menjelaskan bahwa pada stadia Pediveliger, larva berkumpul pada

kolom air yang lebih dalam dan mulai mendekati substrat serta bergerak sepanjang

permukaan dengan didorong oleh kaki yang menonjol dan mulai mencari substrat

yang sesuai untuk menempel. Rata-rata ukuran larva tertinggi yaitu pada perlakuan
48

B (suhu 28oC±0,5) yaitu 237,22µm±29,86 x 207,50µm±31,17 dan terendah pada

perlakuan D (suhu 32oC±0,5) yaitu 227,14µm±19,76 x 199,29µm±18,35. Hal ini

hampir sama dengan pernyataan Rose dan Baker (1994) dalam Doroudi dan

Southgate (2003) bahwa pada usia sekitar 20-23 hari setelah fertilisasi larva P.

margaritifera, P. fucata dan P. maxima menempel pada ukuran panjang cangkang

yang hampir sama yaitu sekitar 230-266µm. Lebih lanjut Taufiq dkk. (2010)

menambahkan bahwa larva akan menempatkan diri untuk menetap dan melekat

pada substrat setelah berumur 24 hari pada suhu 28,2-29,8oC. Selanjutnya pada

rentang suhu 24,3-27,2oC larva baru akan melekat setelah berumur 32 hari.

Stadia Spat (juvenil) mulai terlihat >26 hari setelah pemijahan dengan

ditandai bentuk morfologi yang sudah mulai sempurna dan mulai menyerupai

bentuk anakan kerang. Hamzah (2015) menyatakan bahwa pada fase ini, juvenil

tumbuh pada keadaan menempel di kolektor. Lebih lanjut Miyazaki et al. (2010)

menambahkan bahwa pada usia 31 hari, permukaan luar cangkang ditutupi oleh

lapisan kalsit prismatik dan pada tahap ini larva tersuspensi dalam air dengan silia

yang melekat pada mantel. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata ukuran Anterior-

Posterior (AP) tertinggi pada perlakuan B (suhu 28oC±0,5) yaitu

1510,67µm±155,56 dan terendah pada perlakuan D (suhu 32oC±0,5) yaitu

1152.40µm±296.19. Perbedaan ukuran pada fase ini diduga bahwa suhu

berpengaruh dalam proses enzimatik (Yukihira et al., 2000) sehingga berdampak

pada pertumbuhan cangkang. Cáceres-Puig et al. (2007) menambahkan bahwa pada

keluarga kerang Mytilidae dan Pectinidae, suhu tinggi menyebabkan stress

fisiologis dan metabolik, serta denaturasi protein dan enzim, sehingga cadangan
49

energi dialokasikan untuk bertahan hidup daripada untuk pertumbuhan. Hal serupa

juga disampaikan oleh Hamzah (2016) bahwa daya reaksi enzim protease dan

kandungan kadar kalsium karbonat turut dipengaruhi oleh interkasi suhu-salinitas

sebesar 71,7%, sementara siasanya sebesar 28,7% adalah dipengaruh oleh faktor

lain. Hal berbeda disampaikan oleh Cataldo et al. (2005) bahwa suhu mungkin tidak

bertanggung jawab atas perbedaan-perbedaan dalam ukuran. Lebih lanjut

O’Connor dan Lawler (2004) mengemukakan bahwa berkaitan dengan ontogeni

atau perkembangan organisme dari sigot sampai dewasa, ternyata pada suhu dan

salinitas optimum tidak tampak adanya pengaruh perbedaan yang besar.

4. Parameter Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian ini meliputi salinitas dan

pH serta menunjukan kisaran yang masih mendukung pertumbuhan, perkembangan

maupun kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima) hingga mencapai

fase spat. Menurut Southgate dan Lucas (2008) bahwa pengaruh kondisi lingkungan

memberikan dampak yang berbeda sesuai dengan tahap perkembangan maupun

kondisi fisiologis kerang mutiara. Berdasarkan hasil pengamatan, kisaran salinitas

yang diperoleh dari awal hingga akhir penelitian yaitu berkisar antara 32-34 ppt.

Salinitas yang diperoleh masih dalam kisaran salinitas optimum dalam mendukung

pemeliharaan larva kerang mutiara (P. maxima) hingga mencapai spat (Taylor et

al., 2004; Southgate dan Lucas, 2008; Winanto dkk., 2009). Hal serupa juga

disampaikan oleh Awaludin dkk. (2013) bahwa pada kerang mutiara (P. maxima)

salinitas 34ppt dan 31ppt menghasilkan tingkat penetasan telur yang tinggi dan

salinitas 34ppt merupakan salinitas optimum dalam mendukung kelangsungan


50

hidup maupun metabolisme larva kerang mutiara. Lebih lanjut O’Connor dan

Lawler (2004) menambahkan bahwa pada salinitas 17ppt beberapa juvenil P.

imbricata terlihat memproduksi byssus meskipun tidak bertahan pada salinitas ini

selama lebih dari 1 minggu.

Kisaran derajat keasaman (pH) yang diperoleh pada penelitian ini yaitu 8,11–

8,35 dan masih dalam kisaran yang layak dalam pemeliharaan larva kerang mutiara

(P. maxima). Hal ini didukung oleh pendapat Matsui (1960) dalam Winanto (2009)

bahwa pH air yang layak untuk kehidupan kerang mutiara P. maxima berkisar

antara 7,8-8,6. Lebih lanjut Areekijseree et al. (2004) menyatakan bahwa kisaran

pH dan suhu yang optimum pada perairan berperan penting dalam proses

pencernaan makanan. Selain itu, pada pH netral menunjukan kondisi yang paling

cocok untuk aktivitas enzim amilase. Menurut Welladsen et al. (2010) bahwa

keasaman air laut dapat menyebabkan penurunan proses kalsifikasi dengan

terputusnya struktur kalsium karbonat pada beberapa spesies biota laut. Lebih lanjut

dijelaskan bahwa kalsifikasi pada cangkang kerang mutiara P. fucata pada pH 7,8

dan pH 7,6 selama 28 hari menunjukan persentasi masing-masing yaitu 25,9% dan

26,8% serta menunjukan persentase nilai yang lebih rendah dari perlakuan kontrol

yaitu pH 8,1-8,2. Akan tetapi pada perlakuan tersebut tidak menunjukan penurunan

kandungan organik pada cangkang kerang.


V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa suhu

optimum bagi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan larva kerang

mutiara (Pinctada maxima) adalah 28oC±0,5.

B. Saran

Saran yang dapat penulis berikan yaitu sebaiknya suhu yang digunakan pada

pemeliharaan larva kerang mutiara (Pinctada maxima) yaitu suhu 28oC±0,5. Selain

itu, bagi kajian serupa kedepannya sebaiknya dilakukan uji pembesaran di Laut

sehingga dapat diketahui dampak suhu pemeliharaan larva terhadap pembesaran

kerang mutiara.
52
53

DAFTAR PUSTAKA

Acarli, S., and Lok, A. 2009. Larvae Development Stages of the European Flat
Oyster (Ostrea edulis). The Israeli Journal of Aquaculture - Bamidgeh,
61(2): 114-120.
Areekijseree, M., Engkagul, A., Kovitvadhi, U., Thongpan, A., Mingmuang, M.,
Pakkong, P., and Rungruangsak-Torrissen, K. 2004. Temperature and pH
Characteristics of Amylase and Proteinase of Adult Freshwater Pearl
Mussel, Hyriopsis (Hyriopsis) bialatus Simpson 1900. Aquaculture, 234:
575-587.
Awaluddin, M., Yuniarti, S.L., dan Mukhlis, A. 2013. Tingkat Penetasan Telur
dan Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (Pinctada maxima) pada
Salinitas yang Berbeda. Jurnal Kelautan, 6(2): 142-149.
Bhujel, R.C. 2008. Statistics for Aquaculture. Wiley-Blackwell, 376p.
Cáceres-Puig, J.I., Abasolo-Pacheco, F., Mazón-Suastegui, J.M., Maeda-Martínez,
A.N., and Saucedo, P.E. 2007. Effect of Temperature on Growth and
Survival of Crassostrea corteziensis Spat During Late-Nursery Culturing at
The Hatchery. Aquaculture, 272: 417-422.
Cataldo, D., Boltovskoy, D., Hermosa, J.L., and Canzi, C. 2005. Temperature-
Dependent Rates of Larval Development in Limnoperna fortunei (Bivalvia:
Mytilidae). J. Moll. Stud., 71(1): 41-46.
Chavez-Villalba, J., Soyez, C., Aurentz, H., and Le Moullac, G. 2013.
Physiological Responses of Female and Male Black-Lip Pearl Oysters
(Pinctada margaritifera) to Different Temperatures and Concentrations of
Food. Aquatic Living Resources, 26: 263-271.
Cunha, R.L., Blanc, F., Bonhomme, F., and Arnaud-Haond, S. 2011. Evolutionary
Patterns in Pearl Oysters of the Genus Pinctada (Bivalvia: Pteriidae). Mar
Biotechnol, 13: 181-192.
Dame, R.F. 2012. Ecology of Marine Bivalves An Ecosystem Approach Second
Edition. Taylor & Francis Group, LLC. 274p.
Dhivya, R.S., and Lipton, A.P. 2015. Physiological Responses of Perna. Sp.
(Various Size, 20 to 50mm) Towards Alternations in Marine Temperature.
International Journal of Fisheries and Aquatic Studies, 2(6): 416-419.
Doroudi, M.S., and Southgate, P.C. 2003. Embryonic and Larval Development of
Pinctada margaritifera (Linnaeus, 1758). Molluscan Research, 23: 101-107.
Doroudi, M.S., Southgate, P.C., and Mayer, R.J. 1999. The Combine Effect of
Temperature and Salinity on Embryos and Larvae of the Black-Lip Pearl
Oyster, Pinctada margaritifera (L.). Aquaculture Research, 30: 271-277.
54

Dove, M.C., and O'Connor, W.A. 2007. Salinity and Temperature Tolerance of
Sydney Rock Oyster Saccostrea glomerata During Early Ontogeny. Journal
of Shellfish Research, 26(4): 939-947.
Evans, B.S., Kanuer, J., Taylor, J.J.U., and Jerry, D.R. 2007. Progress Towards a
Selective Breeding Program for Silver or Gold-Lip Pearl Oysters Pinctada
maxima in Indonesia. Aquaculture, 272. Suppl. 1 : S254.
Gardner, L.D., D. Nills, A. Wiegand, D. Leavesley, and A. Euzur. 2011. Spatial
Analysis of Biomineralization Associated Gene Expression From The
Mantle Organ of The Pearl Oyster, Pinctada maxima. BMC Genomics.
Gomez-Robles, E., Rodríguez-Jaramillo, C., and Saucedo, P.E. 2005. Digital
Image Analysis of Lipid and Protein Histochemical Markers for Measuring
Oocyte Development and Quality in Pearl Oyster Pinctada mazatlanica
(Hanley, 1856). Journal of Shellfish Research, 24(4): 1197–1202.
Gosling E. 2007. Bivalve Molluscs: Biology, Ecology and Culture. Fishing News
Books, Oxford. 443 pp.
Gosling, E. 2015. Marine Bivalve Molluscs Second Edition. Wiley Blackwell,
537pp.
Hamzah, M.S. 2007. Pengaruh Warna Jaring Sebagai Spat Kolektor Terhadap
Daya Tempel Larva Kerang Mabe (Pteria penguin) di Teluk Kapontori,
Pulau Buton–Sulawesi Tenggara. Prosiding Seminar Nasional Kelautan III.
Dalam: Taufiqurrohman, M., Prayogi, U., Giman., dan Winarno, A. (eds.).
Pembangunan Kelautan Berbasis IPTEK dalam Rangka Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat Pesisir. 80-86hal.
Hamzah, M.S. 2008a. Kelangsungan Hidup dan Perkembangan Larva Kerang
Mutiara (Pinctada maxima) dengan Pemberian Jenis Pakan Alami yang
Berbeda. Dalam: Hardianto et al. (eds.). Prosiding Seminar Nasional
Kelautan IV. Universitas Hangtuah, Surabaya. Hal.:179-183.
Hamzah, M.S. 2008b. Pengaruh Level Kedalaman Terhadap Daya Tempel Larva
Kerang Mabe (Pteria penguin) dengan Jaring Sebagai Kolektor Spat di
Teluk Kapontori, Pulau Buton-Sulawesi Tenggara. Dalam: Prosiding
Seminar Nasional Moluska dalam penelitian, konservasi dan ekonomi.
BRKP DKP RI bekerja sama dengan Jur. Ilmu Kelautan, FPIK Undip,
Semarang. Hal.:134-141.
Hamzah, M.S. 2009. Studi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Anakan
Kerang Mutiara (Pinctada maxima) dengan Menggunakan Keranjang Tento
pada Kedalaman yang Berbeda di Teluk Kodek, Lombok barat. Dalam:
Mutiara et al. (eds.). Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan ISOI 2008,
Bandung. Hal: 232-239.
Hamzah, M.S. 2010. Standarisasi Padat Tebar Dalam Upaya Menekan Tingkat
Mortalitas Anakan Kerang Mabe (Pteria penguin) Dengan Rakit. Ilmu
Kelautan, 2 (Edisi Khusus): 338-344.
55

Hamzah, M.S. 2013a. Intensitas Cahaya Lampu Pijar Terhadap Perkembangan


Embriogenesis dan Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (Pinctada
maxima). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 5(2): 391-399.
Hamzah, M.S. 2013b. Daya Penempelan Larva Kerang Mutiara (Pinctada
maxima) Pada Kolektor Dengan Posisi Tebar dan Kedalaman Berbeda.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 5(1): 60-68.
Hamzah, M.S. 2015. Perubahan Tekanan Media Pemeliharaan Larva Kerang
Mutiara (Pinctada maxima) Terhadap Daya Reaksi Enzim Protease dalam
Memacu Pertumbuhan dan Sintasan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis, 7(2): 655-669.
Hamzah, M.S. 2016. Dinamika Suhu dan Salinitas Media Pemeliharaan Larva
Untuk Produksi Kualitas Benih Kerang Mutiara (Pinctada maxima).
Disertasi. Program Doktor Ilmu Perikanan dan Kelautan, Universitas
Brawijaya, Malang: 131hal. (in Press.).
Hamzah, M.S., dan Nababan, B. 2009. Studi Pertumbuhan dan Kelangsungan
Hidup Anakan Kerang Mutiara (Pinctara maxima) pada Kedalaman Yang
Berbeda di Teluk Kapontori, Pulau Buton. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis, 1(2): 22-32.
Hamzah, M.S., dan Nababan, B. 2011. Pengaruh Musim dan Kedalaman Terhadap
Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Kerang Mutiara (Pinctada maxima)
di Teluk Kodek, Lombok Utara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis, 3(2): 48-61.
Hamzah, M.S., dan Setyono, D.E.D. 2010. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Anakan Kerang Mutiara (Pinctada maxima) pada Kondisi Suhu dan Volume
Pakan Alami yang Berbeda. Indonesian Journal of Marine Sciences, 2
(Edisis Khusus): 330-337.
Hamzah, M.S., dan Sumadhiharga, K. 2002. Studi Laju Pertumbuhan dan
Kelangsungan Hidup Anakan Kerang Mutiara (Pinctada maxima) pada
Kedalaman yang Berbeda di Perairan Teluk Kombal-Lombok Barat. Dalam:
Kongres Nasional III, 21-24 Mei 2002, Bali.
Hamzah, M.S., Kaplale, A.B., Sangkala., dan Rustam. 2005. Kelangsungan Hidup
Anakan Kerang Mutiara (Pinctada maxima) dan Fenomena Arus Dingin di
Perairan Teluk Kombal, Lombok Barat. Dalam: Prosiding Pertemuan Ilmiah
Tahunan ISOI, 2003. Nontji, A., Setiawan, W.B., Setiono, D.E.D., Pradina,
P., dan Supangat, A. (eds.). Ikatan Serjana Oseanologi Indonesia: 171-177.
Hanafiah, K.A. 2014. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi Edisi Ketiga.
Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Palembang. Divisi Buku
Perguruan Tinggi PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 260hal.
Hermawan, A., Yulianti, Y., dan Sudjiharno. 2007. Pemeliharaan Larva Kerang
Hijau (Perna viridis L) dengan Pakan Campuran Beberapa Jenis
Phytoplankton. Prosiding Seminar Nasional kelautan III. Dalam:
Taufiqurrohman, M., Prayogi, U., Giman., dan Winarno, A. (eds.).
56

Pembangunan Kelautan Berbasis IPTEK dalam Rangka Peningkatan


Kesejahteraan Masyarakat Pesisir. 29-37hal.
Hwang, J.J., Yamakawa, T., and Aoki, I. 2007. Growth of Wild Pearl Oysters
Pinctada fucata, Pinctada margaritifera and Pinctada sugillata (Bivalvia:
Pteriidae) in Taiwan. Fisheries Science, 73: 132-141.
Joubert, C., Linard, C., Moullac, G.L., Soyez, C., Saulnier, D.,
Teaniniuraitemoan, V., Ky, C.L., and Gueguen, Y. 2014. Temperature and
Food Influence Shell Growth and Mantle Gene Expression of Shell Matrix
Proteins in the Pearl Oyster Pinctada margaritifera. Plos One, 9(8): 1-9.
Kheder, R.B., Moal, J., and Robert, R. 2010. Impact of Temperature on Larval
Development and Evolution of Physiological Indices in Crassostrea gigas.
Aquaculture, 309: 286-289.
Kvingedal, R., Evans, B.S., Lind, C.E., Taylor, J.J.U., Dupont-Nivet, M., and
Jerry, D.R. 2010. Population and Family Growth Response to Different
Rearing Location, Heritability Estimates and Genotype X Environment
Interaction in The Silver-Lip Pearl Oyster (Pinctada maxima). Aquaculture,
304: 1-6.
Lewbart, G.A. 2012. Invertebrate Medicine, Second Edition. Wiley Blackwell.
502p.
Li, L., and Li, Q. 2010. Effects of Stocking Density, Temperature, and Salinity on
Larval Survival and Growth of The Red Race of The Sea Cucumber
Apostichopus japonicus (Selenka). Aquacult. Int., 18: 447-460.
Lind, C.E., Evans, B.S., Taylor, J.J.U., and Jerry, D.R. 2007. Population Genetics
of a Marine Bivalve, Pinctada maxima, Throughout The Indo-Australian
Archipelago Shows Differentiation and Decreased Diversity at Range
Limits. Molecular Ecology, 16: 5193-5203.
Lucas, J.S., and Southgate, P.C. 2012. Aquaculture Farming Aquatic Animals and
Plants Second Edition. Wiley-Blackwell, 643p.
Mamangkey, N.G.F., and Southgate, P.C. 2009. Regeneration of Exised Mantle
Tissue by the Silver-Lip Pearl Oyster, Pinctada maxima (Jameson). Pearl
Oyster Research Group, School of Marine and Tropical Biology, James
Cook University. Townsville, Queensland 4811. Fish and Shellfish
Immunology, Australia 27: 164-174.
Marshall, R., McKinley, S., and Pearce, C.M. 2010. Effects of Nutrition on Larval
Growth and Survival in Bivalves. Reviews in Aquaculture, 2: 33–55.
Martinez-Fernandez, E., Acosta-Salmon, H., Southgate, P.C. 2006. The
Nutritional Value of Seven Species of Tropical Microalgae for Black-Lip
Pearl Oyster (Pinctada margaritifera, L.) Larvae. Aquaculture, 257: 491-
503.
57

Miyazaki, Y., Nishida, T., Aoki, A., and Samata, T. 2010. Expression of Genes
Responsible for Biomineralization of Pinctada fucata During Development.
Comparative Biochemistry and Physiology, Part B: 241–248.
Nair, M.R., and Appukuttan, K.K. 2003. Effect of Temperature on the
Development, Growth, Survival and Settlement of Green Mussel Perna
viridis (Linnaeus, 1758). Aquaculture Research, 34: 1037-1045.
Narita, T., T. Kamamoto, K. Isowa, H. Aoki, M. Hayashi, H. Ohta., and A.
Komaru, 2008. Effects of Cryopreservation on Sperm Structure in Japanese
Pearl Oyster Pinctada fucata martensii. Japense Society of
Fisheries Science, 78: 1069-1074.
O'Connor., and Lawler, N.F. 2004. Salinity and Temperature Tolerance of
Embryos and Juveniles of The Pearl Oyster, Pinctada imbricata Roding.
Aquaculture, 229: 493-506.
Parker, L.M., Ross, P.M., and O'Connor, W.A. 2010. Comparing the Effect of
Elevated pCO2 and Temperature on the Fertilization and Early Development
of Two Species of Oysters. Mar. Biol., 157: 2435-2452.
Patty, S.I. 2013. Distribusi Suhu, Salinitas dan Oksigen Terlarut di Perairan
Kema, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax, 1(3): 148-157.
Ponis, E., Probert, I., Veron, B., Le Coz, J.R., Mathieu, M., and Robert, R. 2006.
Nutritional Value of Six Pavlovaceae for Crassostrea gigas and Pecten
maximus Larvae. Aquaculture, 254: 544-553.
Rajagopal, S., Gaag, V.D., Velde, V.D., and Jenner, H.A. 2005. Upper
Temperature Tolerances of Exotic Brackish-Water Mussel, Mytilopsis
leucophaeata (Conrad): An Experimental Study. Marine Environmental
Research, 60: 512-530.
Saucedo, P.E., Ocampo, L., Monteforte, M., and Bervera, H. 2004. Effect of
Temperature on Oxygen Consumption and Ammonia Excretion in the
Calafia Mother-of-Pearl Oyster, Pinctada mazatlanica (Hanley, 1856).
Aquaculture, 229: 377-387.
Simanjuntak, M. 2012. Kualitas Air Laut Ditinjau dari Spek Zat Hara, Oksigen
Terlarut dan pH di Perairan Banggai, Sulawesi Tengah. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis, 4(2):290-303.
Southgate, P.C., and Lucas, J.S. 2008. The Pearl Oyster. Elsevier, Amsterdam.
542p.
Su, Z.X., Huang, L., Yan, Y., and Li, H.X. 2007. The Effect of Different Substrate
on Pearl Oyster, Pinctada martensii (Dunker) Larvae Settlement.
Aquaculture, 271: 377-383.
Supii, A.I. 2007. Uji Coba Pembenihan Kerang Mutiara (Pinctada maxima) pada
Hatchery Skala Rumah Tangga/Backyard (HSRT). Dalam: Prosiding
Seminar Nasional Kelautan III, Univ. Hang Tuah. Muh Taufiqurrohman,
Urip Prayogi, Giman dan A. Winarno (eds.). Pembangunan Kelautan
58

Berbasisi IPTEK Dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat


Pesisir. Surabaya: 49-58 Hal.
Susilowati, R., dan Sumantadinata, K. 2011. Keragaman Genetik Tiram Mutiara
Sebagai Informasi Dasar untuk Pemuliaan Tiram Mutiara. Prosiding
Refleksi Pengembangan Budidaya Kekerangan di Indonesia. dalam: Sugadi,
M.F., Giri, I.N.A., and Pringgenies, D. (eds.). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelaulatan dan Perikanan, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan Budidaya, Jakarta: 53-67.
Taufiq, N., Rachmawati, D., Cullen, J., dan Yuwono. 2010. Aplikasi Isochrysis
galbana dan Chaetoceros amami serta Kombinasinya Terhadap
Pertumbuhan dan Kelulushidupan Veliger–Spat Tiram Mutiara (Pinctada
maxima). Ilmu Kelautan, 15(3): 119-125.
Taylor, J.J., Southgate, P.C., and Rose, R.A. 2004. Effects of Salinity on Growth
and Survival of Silver-lip Pearl Oyster, Pinctada maxima, Spat. Journal of
Shellfish Research, 23(2): 375-378.
Wardana, I.K., Sudewi., Muzaki, A., dan Moria, S.B. 2014. Profil Benih Tiram
Mutiara (Pinctada maxima) dari Hasil Pemijahan yang Terkontrol. Jurnal
Oseanologi Indonesia, 1(1): 6-11.
Welladsen, H.M., Southgate, P.C., and Heimann, K. 2010. The Effects of
Exposure to Near-Future Levels of Ocean Acidification on Shell
Characteristics of Pinctada fucata (Bivalvia: Pteriidae). Molluscan
Research, 30(3): 125-130.
Winanto, T. 2004. Memproduksi Benih Kerang Mutiara. Penebar Swadaya.
Jakarta. 95 hal.
Winanto, T. 2009. Kajian Perkembangan Larva dan Pertumbuhan Spat Tiram
Mutiara Pinctada maxima (Jameson) pada Kondisi Lingkungan
Pemeliharaan Berbeda. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Winanto, T., Soedharma, D., Affandi, R., dan Sanusi, H.S. 2009. Pengaruh Suhu
dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi Larva Tiram Mutiara Pinctada
maxima (Jameson). Jurnal Biologi Indonesia, 6(1): 51-69.
Yukihira, H., Lucas, J.S., and Klumpp, D.W. 2000. Comparative Effect of
Temperature on Suspension Feeding and Energy Budgets of the Pearl
Oyster Pinctada margaritifera and P. maxima. Marine Ecology Progress
Series, 195: 179-188.
Yukihira, H., Lucas, J.S., and Klumpp, D.W. 2006. The Pearl Oysters, Pinctada
maxima and P. margaritifera, Respon in Different Ways to Culture in
Dissimilar Environments. Aquaculture, 252: 208-224.
59

Lampiran 1. Data Rata-Rata Pertumbuhan

Perlakuan Ulangan PM (µm) LPS DV (%) LPS AP (%)


Kontrol 1 1195.68 5.20 5.10
2 1329.68 5.34 5.24
3 1249.28 5.20 5.10
Rata-Rata 1258.21 5.25 5.15
SD 67.45 0.08 0.08
A 1 1018.80 5.20 5.10
2 879.44 5.10 5.19
3 1195.68 5.05 5.13
Rata-Rata 1031.31 5.12 5.14
SD 158.49 0.08 0.05
B 1 1426.16 5.43 5.68
2 1458.32 5.49 5.70
3 1490.48 5.47 5.76
Rata-Rata 1458.32 5.46 5.71
SD 32.16 0.03 0.04
C 1 1361.84 5.38 5.78
2 1388.64 5.24 5.53
3 1388.64 5.20 5.32
Rata-Rata 1379.71 5.27 5.54
SD 15.47 0.09 0.23
D 1 1018.80 5.05 5.32
2 1120.64 4.83 5.10
3 1077.76 4.85 5.21
Rata-Rata 1072.40 4.91 5.21
SD 51.13 0.12 0.11
Keterangan: PM = Pertumbuhan Mutlak
LPS AP = Laju Pertumbuhan Spesifik Anterior-Posterior
LPS DV = Laju Pertumbuhan Spesifik Dorsal-Ventral
SD = Standar Deviasi
60

Lampiran 2. Data Kelangsungan Hidup

Perlakuan Ulangan Tingkat Kelangsungan Hidup (%)SR


Kontrol 1 7.73
2 7.53
3 7.33
Rata-Rata 7.53
SD 0.20
A 1 4.63
2 3.53
3 3.80
Rata-Rata 3.99
SD 0.57
B 1 7.88
2 8.18
3 7.95
Rata-Rata 8.00
SD 0.16
C 1 6.93
2 5.48
3 3.33
Rata-Rata 5.25
SD 1.81
D 1 3.58
2 3.78
3 4.58
Rata-Rata 3.98
SD 0.53
Keterangan: SD = Standar Deviasi
61

Lampiran 3. Data Rata-Rata Parameter Kualitas Air

Perlakuan Ulangan Salinitas pH


Kontrol 1 33 8.33
2 32 8.16
3 33 8.29
Rata-Rata 33 8.26
SD 0.39 0.09
A 1 33 8.26
2 32 8.26
3 33 8.35
Rata-Rata 33 8.29
SD 0.49 0.05
B 1 33 8.28
2 33 8.32
3 33 8.33
Rata-Rata 33 8.31
SD 0.00 0.02
C 1 33 8.12
2 33 8.11
3 34 8.15
Rata-Rata 33 8.13
SD 0.28 0.02
D 1 34 8.29
2 34 8.21
3 34 8.19
Rata-Rata 34 8.23
SD 0.06 0.05
Keterangan: SD = Standar Deviasi
62

Lampiran 4. Analisis Statistik Tingkat Kelangsungan Hidup

4.1. Analisis Ragam Pengaruh Suhu Terhadap Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara
(P. maxima)

Sumber Keragaman DB JK KT F Sig.


Perlakuan 4 44.224 11.056 13.981 0.000
Galat 10 7.908 0.791
Total 14 52.133
Keterangan: Sig.≤0,01 memberikan pengaruh yang sangat nyata

4.2. Uji Duncan Pengaruh Suhu Terhadap Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (P.
maxima)

Suhu Jumlah 1 2 Notasi


D 3 3.9800 A
A 3 3.9867 A
C 3 5.2467 A
Kontrol 3 7.5300 B
B 3 8.0033 B
Sig. 0.126 0.529
Keterangan: notasi yang sama menunjukan tidak berbeda nyata
63

Lampiran 5. Analisis Statistik Pertumbuhan Mutlak

5.1. Analisis Ragam Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan Mutlak Kerang Mutiara (P.
maxima)

Sumber Keragaman DB JK KT F Sig.


Perlakuan 4 417467.902 104366.976 15.551 0.000
Galat 10 67112.346 6711.235
Total 14 484580.248
Keterangan: Sig.≤0,01 memberikan pengaruh yang sangat nyata

5.2. Uji Duncan Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan Mutlak Kerang Mutiara (P.
maxima)

Suhu Jumlah 1 2 3 Notasi


A 3 1031.3067 a
D 3 1072.4000 a
Kontrol 3 1258.2133 b
C 3 1379.7067 1379.7067 bc
B 3 1458.3200 c
Sig. 0.553 0.099 0.267
Keterangan: notasi yang sama menunjukan tidak berbeda nyata
64

Lampiran 6. Analisis Statistik LPS DV

6.1. Analisis Ragam Pengaruh Suhu Terhadap Laju Pertumbuhan Spesifik Dorsal-Ventral
Larva Kerang Mutiara (P. maxima)

Sumber Keragaman DB JK KT F Sig.


Perlakuan 4 0.504 0.126 17.004 0.000
Galat 10 0.074 0.007
Total 14 0.578
Keterangan: Sig.≤0,01 memberikan pengaruh yang sangat nyata

6.2. Uji Duncan Pengaruh Suhu Terhadap Laju Pertumbuhan Spesifik Dorsal-Ventral
Larva Kerang Mutiara (P. maxima)

Suhu Jumlah 1 2 3 Notasi


D 3 4.9100 a
A 3 5.1167 b
Kontrol 3 5.2467 b
C 3 5.2733 b
B 3 5.4633 c
Sig. 1.000 0.059 1.000
Keterangan: notasi yang sama menunjukan tidak berbeda nyata
65

Lampiran 7. Analisis Statistik LPS AP

7.1. Analisis Ragam Pengaruh Suhu Terhadap Laju Pertumbuhan Spesifik Anterior-
Posterior Larva Kerang Mutiara (P. maxima)

Sumber Keragaman DB JK KT F Sig.


Perlakuan 4 0.823 0.206 13.631 0.000
Galat 10 0.151 0.015
Total 14 0.974
Keterangan: Sig.≤0,01 memberikan pengaruh yang sangat nyata

7.2. Uji Duncan Pengaruh Suhu Terhadap Laju Pertumbuhan Spesifik Anterior-Posterior
Larva Kerang Mutiara (P. maxima)

Suhu Jumlah 1 2 Notasi


A 3 5.1400 a
Kontrol 3 5.1467 a
D 3 5.2100 a
C 3 5.5433 b
B 3 5.7133 b
Sig. 0.521 0.121
Keterangan: notasi yang sama menunjukan tidak berbeda nyata
66

Lampiran 8. Analisis Statistik dengan Menggunakan Spss


GLM SR PM LPS_DV LPS_AP BY Perlakuan
/METHOD=SSTYPE(3)
/INTERCEPT=INCLUDE
/POSTHOC=Perlakuan(DUNCAN)
/EMMEANS=TABLES(Perlakuan)
/PRINT=DESCRIPTIVE TEST(MMATRIX)
/CRITERIA=ALPHA(.05)
/DESIGN= Perlakuan.
General Linear Model
Notes

Output Created 13-APR-2016 14:39:59


Comments
Input Data D:\Bl4ck\skripsi
baru\Skripsi\bc\Dataku.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
150
File
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are
treated as missing.
Cases Used Statistics are based on all cases with
valid data for all variables in the model.
Syntax GLM SR PM LPS_DV LPS_AP BY
Perlakuan
/METHOD=SSTYPE(3)
/INTERCEPT=INCLUDE
/POSTHOC=Perlakuan(DUNCAN)
/EMMEANS=TABLES(Perlakuan)
/PRINT=DESCRIPTIVE
TEST(MMATRIX)
/CRITERIA=ALPHA(.05)
/DESIGN= Perlakuan.
Resources Processor Time 00:00:00.19

Elapsed Time 00:00:00.21

Between-Subjects Factors

Value Label N

Suhu 1 Kontrol 3

2 A 3

3 B 3

4 C 3
67

5 D 3
Descriptive Statistics

Suhu Mean Std. Deviation N

Tingkat Kelangsungan Hidup Kontrol 7.5300 .20000 3

A 3.9867 .57327 3

B 8.0033 .15695 3

C 5.2467 1.81131 3

D 3.9800 .52915 3

Total 5.7493 1.92971 15


Pertumbuhan Mutlak Kontrol 1258.2133 67.44519 3
A 1031.3067 158.49053 3
B 1458.3200 32.16000 3
C 1379.7067 15.47299 3
D 1072.4000 51.13114 3
Total 1239.9893 186.04536 15
LPS Dorsal-Ventral Kontrol 5.2467 .08083 3
A 5.1167 .07638 3
B 5.4633 .03055 3
C 5.2733 .09452 3
D 4.9100 .12166 3
Total 5.2020 .20316 15
LPS Anterior-Posterior Kontrol 5.1467 .08083 3

A 5.1400 .04583 3

B 5.7133 .04163 3

C 5.5433 .23029 3

D 5.2100 .11000 3

Total 5.3507 .26380 15

Multivariate Testsa

Effect Value F Hypothesis df Error df Sig.

Intercept Pillai's Trace 1.000 13554.854b 4.000 7.000 .000

Wilks' Lambda .000 13554.854b 4.000 7.000 .000

Hotelling's Trace 7745.631 13554.854b 4.000 7.000 .000

Roy's Largest Root 7745.631 13554.854b 4.000 7.000 .000


Perlakuan Pillai's Trace 2.591 4.596 16.000 40.000 .000

Wilks' Lambda .001 10.253 16.000 22.023 .000

Hotelling's Trace 31.599 10.862 16.000 22.000 .000

Roy's Largest Root 17.605 44.012c 4.000 10.000 .000


68

a. Design: Intercept + Perlakuan

b. Exact statistic

c. The statistic is an upper bound on F that yields a lower bound on the significance level.

Tests of Between-Subjects Effects

Type III
Sum of Mean
Source Dependent Variable Squares df Square

Corrected Tingkat
44.224a 4 11.056
Model Kelangsungan Hidup

Pertumbuhan Mutlak 417467.902


4 104366.976
b

LPS Dorsal-Ventral .504c 4 .126

LPS Anterior-
.823d 4 .206
Posterior
Intercept Tingkat
495.823 1 495.823
Kelangsungan Hidup
Pertumbuhan Mutlak 23063603.2 23063603.2
1
02 02
LPS Dorsal-Ventral 405.912 1 405.912
LPS Anterior-
429.445 1 429.445
Posterior
Perlakuan Tingkat
44.224 4 11.056
Kelangsungan Hidup
Pertumbuhan Mutlak 417467.902 4 104366.976
LPS Dorsal-Ventral .504 4 .126
LPS Anterior-
.823 4 .206
Posterior
Error Tingkat
7.908 10 .791
Kelangsungan Hidup
Pertumbuhan Mutlak 67112.346 10 6711.235
LPS Dorsal-Ventral .074 10 .007
LPS Anterior-
.151 10 .015
Posterior
Total Tingkat
547.955 15
Kelangsungan Hidup
Pertumbuhan Mutlak 23548183.4
15
50
LPS Dorsal-Ventral 406.490 15
69

LPS Anterior-
430.419 15
Posterior
Corrected Tingkat
52.133 14
Total Kelangsungan Hidup

Pertumbuhan Mutlak 484580.248 14

LPS Dorsal-Ventral .578 14

LPS Anterior-
.974 14
Posterior

Tests of Between-Subjects Effects

Source Dependent Variable F Sig.

Corrected Model Tingkat Kelangsungan Hidup 13.981 .000

Pertumbuhan Mutlak 15.551 .000

LPS Dorsal-Ventral 17.004 .000

LPS Anterior-Posterior 13.631 .000


Intercept Tingkat Kelangsungan Hidup 626.973 .000
Pertumbuhan Mutlak 3436.566 .000
LPS Dorsal-Ventral 54803.608 .000
LPS Anterior-Posterior 28440.034 .000
Perlakuan Tingkat Kelangsungan Hidup 13.981 .000
Pertumbuhan Mutlak 15.551 .000
LPS Dorsal-Ventral 17.004 .000
LPS Anterior-Posterior 13.631 .000
Error Tingkat Kelangsungan Hidup
Pertumbuhan Mutlak
LPS Dorsal-Ventral
LPS Anterior-Posterior
Total Tingkat Kelangsungan Hidup
Pertumbuhan Mutlak
LPS Dorsal-Ventral
LPS Anterior-Posterior
Corrected Total Tingkat Kelangsungan Hidup

Pertumbuhan Mutlak

LPS Dorsal-Ventral

LPS Anterior-Posterior

a. R Squared = .848 (Adjusted R Squared = .788)


b. R Squared = .862 (Adjusted R Squared = .806)
c. R Squared = .872 (Adjusted R Squared = .821)
d. R Squared = .845 (Adjusted R Squared = .783)
70

Transformation Coefficients (M Matrix)

Transformed Variable

Tingkat
Kelangsungan Pertumbuhan LPS Dorsal- LPS Anterior-
Dependent Variable Hidup Mutlak Ventral Posterior

Tingkat Kelangsungan
1 0 0 0
Hidup
Pertumbuhan Mutlak 0 1 0 0
LPS Dorsal-Ventral 0 0 1 0
LPS Anterior-Posterior 0 0 0 1

Estimated Marginal Means


Suhu
Transformation Coefficients (M Matrix)

Tingkat
Kelangsungan Pertumbuhan LPS Dorsal- LPS Anterior-
Dependent Variable Hidup Mutlak Ventral Posterior

Tingkat Kelangsungan
1 0 0 0
Hidup
Pertumbuhan Mutlak 0 1 0 0
LPS Dorsal-Ventral 0 0 1 0
LPS Anterior-Posterior 0 0 0 1
Estimates

95% Confidence Interval

Dependent Variable Suhu Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound

Tingkat Kelangsungan Hidup Kontrol 7.530 .513 6.386 8.674

A 3.987 .513 2.843 5.131

B 8.003 .513 6.859 9.147

C 5.247 .513 4.103 6.391

D 3.980 .513 2.836 5.124


Pertumbuhan Mutlak Kontrol 1258.213 47.298 1152.827 1363.599
A 1031.307 47.298 925.921 1136.693
B 1458.320 47.298 1352.934 1563.706
C 1379.707 47.298 1274.321 1485.093
D 1072.400 47.298 967.014 1177.786
LPS Dorsal-Ventral Kontrol 5.247 .050 5.136 5.357
A 5.117 .050 5.006 5.227
B 5.463 .050 5.353 5.574
C 5.273 .050 5.163 5.384
D 4.910 .050 4.799 5.021
71

LPS Anterior-Posterior Kontrol 5.147 .071 4.989 5.305

A 5.140 .071 4.982 5.298

B 5.713 .071 5.555 5.871

C 5.543 .071 5.385 5.701

D 5.210 .071 5.052 5.368


Post Hoc Tests
Suhu
Homogeneous Subsets

Tingkat Kelangsungan Hidup


Duncana,b

Subset

Suhu N 1 2

D 3 3.9800
A 3 3.9867
C 3 5.2467
Kontrol 3 7.5300
B 3 8.0033
Sig. .126 .529

Means for groups in homogeneous subsets are


displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .791.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
b. Alpha = .05.
Pertumbuhan Mutlak
Duncana,b

Subset

Suhu N 1 2 3

A 3 1031.3067
D 3 1072.4000
Kontrol 3 1258.2133
C 3 1379.7067 1379.7067
B 3 1458.3200
Sig. .553 .099 .267

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 6711.235.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
b. Alpha = .05.
LPS Dorsal-Ventral
Duncana,b
72

Subset

Suhu N 1 2 3

D 3 4.9100
A 3 5.1167
Kontrol 3 5.2467
C 3 5.2733
B 3 5.4633
Sig. 1.000 .059 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .007.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
b. Alpha = .05.

LPS Anterior-Posterior
Duncana,b

Subset

Suhu N 1 2

A 3 5.1400
Kontrol 3 5.1467
D 3 5.2100
C 3 5.5433
B 3 5.7133
Sig. .521 .121

Means for groups in homogeneous subsets are


displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .015.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
b. Alpha = .05.
73

Lampiran 9. Analisis Deskriptif Kualitas Air SPSS


DESCRIPTIVES VARIABLES=Salinitas pH
/STATISTICS=MEAN STDDEV MIN MAX.

Descriptives
Notes

Output Created 13-APR-2016 04:18:43


Comments
Input Data D:\Bl4ck\skripsi
baru\Skripsi\bc\Dataku.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
150
File
Missing Value Handling Definition of Missing User defined missing values are
treated as missing.
Cases Used All non-missing data are used.
Syntax DESCRIPTIVES
VARIABLES=Salinitas pH
/STATISTICS=MEAN STDDEV MIN
MAX.
Resources Processor Time 00:00:00.00

Elapsed Time 00:00:00.02

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Salinitas 15 32 34 33.13 .640


pH 15 8.11 8.35 8.2433 .08068
Valid N (listwise) 15
74

Lampiran 10. Data Rata-Rata Ukuran Perkembangan Larva

Perlakuan Umbo Eyespot Pediveliger Spat


AP DV AP DV AP DV AP
Kontrol 162.50 151.67 206.67 196.67 227.14 203.57 1382.11
SD 17.25 16.02 8.16 8.16 14.68 9.45 198.81
A 159.55 148.18 194.00 178.00 227.27 196.82 1196.25
SD 18.64 22.28 16.73 14.83 20.90 19.53 343.66
B 170.67 153.67 209.00 196.00 237.22 207.50 1510.67
SD 30.11 26.76 9.94 9.66 29.86 31.17 155.56
C 158.46 142.31 203.00 187.00 234.33 201.67 1231.46
SD 12.14 10.13 8.23 16.36 23.67 26.57 322.24
D 157.50 143.75 204.00 184.00 227.14 199.29 1152.40
SD 10.35 10.61 8.94 21.91 19.76 18.35 296.19
Keterangan: AP = Anterior-Posterior
DV = Dorsal-Ventral
SD = Standar Deviasi
75

Lampiran 11. Surat Keterangan Penelitian


76

Lampiran 12. Dokumentasi Kegiatan

Presentasi Proposal Penelitian di LPBIL LIPI Mataram

Sterilisasi Media Penelitian

Pengisian dan Penyaringan Air Pertama


77

Mencampur Pakan

Pemberian Pakan

Memilih Screen Net


78

Ganti Air dan Penyaringan Larva

Larva yang Tersaring

Pengamatan Larva di Mikroskop


79

Bersama Tim Sukses Penelitian

Larva pada Mikroskop Okuler Pembesaran 10x

Spat pada Mikroskop Okuler Pembesaran 5x


80

Pengukuran dan Monitoring Suhu Air

Pengukuran Salinitas

Pengukuran pH Air
81

Spat

Alat untuk Menghitung Jumlah Spat

Perlakuan Suhu Dingin


82

Alat Ukur Kualitas Air

Menghitung Jumlah Spat

Spat Kolektor yang Siap Digantung

Anda mungkin juga menyukai