SKRIPSI
OLEH:
SKRIPSI
OLEH:
iii
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Muhaimin Hamzah, S.Pi., M.Si Ir. Mat Sardi Hamzah, M.P
NIP. 19750815 200501 1 003 NIP. 19570715 198602 1 009
Mengetahui,
Prof. Ir. H. La Sara, M.S., Ph.D H. Agus Kurnia, S.Pi., M.Si., Ph.D
NIP. 19600422 198703 1 003 NIP. 19700802 199512 1 001
v
vi
PERNYATAAN
vii
viii
RIWAYAT HIDUP
ix
x
KATA PENGANTAR
dengan warna yang eksotis dan digemari oleh berbagai kalangan. Selain dijadikan
sebagai perhiasan, mutiara yang dihasilkan juga dijadikan sebagai alat ritual
keagamaan, dan dijadikan sebagai suatu simbol keindahan oleh beberapa negara
unggulan penting pada sektor budidaya perairan. Selain jenis tersebut, ada pula
beberapa jenis kerang penghasil mutiara seperti kerang mabe (Pteria penguin),
Indonesia jenis Pinctada maxima umumnya yang menjadi andalan industri kerang
Suhu merupakan salah satu parameter kualitas air yang bertanggung jawab
kerang mutiara (P. maxima) sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas
spat yang akan dihasilkan. Beberapa kajian serupa pada larva kerang mutiara
sudah banyak dilakukan, akan tetapi pengaruh suhu terhadap perkembangan stadia
Penulis
xi
xii
UCAPAN TERIMA KASIH
berkat izinnya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun
masih memiliki banyak kekurangan. Karya kecil ini penulis persembahkan kepada
nenekku tercinta Hj. Salma Napirah yang mengasuhku sejak kecil, ibundaku
tercinta Marlia Napirah, S.Pd., ayahandaku tercinta Ir. Mat Sardi Hamzah, M.P.,
Siti Sakinah Maulidtya Aprili Hamzah, Siti Amalia Firdausa Hamzah dan Yulia
Sahupala. Keluarga dan kerabatku yang selalu aku banggakan bapak Ir. Rab Ali
Napirah, bapak Ir. Rahman Napirah, M.Si., bapak Djalaluddin Napirah, SH., ibu
Aida, SH., ibu Yuliana Hadia Nibu, S.Pd., ibu Syamsiah Napirah, S.Ag., ibu
Rosma Napirah (Onco Os), Syahrani Djalal Napirah, Riski Muhammad Akbar
1. Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S., Rektor Universitas Halu Oleo.
2. Prof. Ir. H. La Sara, M.S., Ph.D., Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu
4. Dr. Muhaimin Hamzah, S.Pi., M.Si., Wakil Dekan I FPIK UHO, Dr. Ir.
Wellem H. Muskita, M.Si., Wakil Dekan II FPIK UHO, dan Kadir Sabilu,
xiii
5. H. Agus Kurnia, S.Pi., M.Si., Ph.D., Ketua Jurusan Budidaya Perairan.
6. Dosen Pembimbing Skripsiku Dr. Muhaimin Hamzah, S.Pi., M.Si., dan Ir.
7. Dosen Penguji Skripsiku H. Agus Kurnia, S.Pi., M.Si., Ph.D., dan Ermayanti
8. Bapak Dr. S.A.P. Dwiono yang telah banyak membantu penulis dalam
penelitian dan banyak memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini, Ibu
Prof. Dwi Listyo Rahayu yang banyak memberikan saran dan dukungan
kepada penulis, Bapak Ramli Marzuki, S.Pi., yang banyak membantu penulis
dalam penelitian, Ibu Lisa, Pak Farian, Pak Balkam F. Badi, Pak Idam, Pak
Firdaus, Pak La Ali, Pak Hadi, Pak Fauzan, Pak Wahab, Bang Syakirin, Pak
Alimudin, Bu Evi, Bu Ermi, Bang Alan, Pak Masyum, Pak Sayudin, Pak Ali
Kombal, Idi, Pak Junaedi, dan seluruh staf serta teknisi LPBIL LIPI Mataram.
9. Para dosen-dosenku tercinta Pak Yusnaini, D.E.A., Pak Prof. L.M. Aslan, Bu
Oce Astuti, M.Si., Bu Indri, Ph.D., Pak Prof. Maruf Kasim, Pak Dr. Rahmad
Sofyan Patadjai, Pak Dr. La Anadi, Pak Irwan Djunaedi, M.Sc., Pak Dr.
Muhammad Idris, Pak Dr. Wellem Muskita, Pak Muhammad Fajar Purnama,
M.Si., Pak Ginong, M.Si., Pak La Ode Baytul Abidin, M.Biotec., Pak Kadir
Sabilu, M.Si., Pak Muis Balubi, M.Si., Bu Ermayanti Ishak, M.Si., Pak Dr.
Muhaimin Hamzah, Pak Agus Kurnia, Ph.D., Ibu Dr. Andi Besse Patadjai,
dan seluruh orang tuaku di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Halu Oleo.
xiv
10. Sahabat-sahabatku BDP 011 Muhammad Riszal, Rahmad Budiarfa, Rusdi
Rahmadhani, S.Pi., Alvin, Ulfa Kurniati, S.Pi., Ashar, Windra, S.Pi., Yuliana,
S.Pi., Hasriati, S.Pi., Sulman Hasnur, Desi Febrianti, Hasnah, S.Pi., Hardila
Paala, S.Pi., Abdul Budiatma, S.Pi., Yusrin, Aldin, La Ipu, Misnah, Sarto,
Husein.
11. Keluarga BDP, MSP, Agribisnis, BDP Abalone, IKL, dan PSP seluruh
13. Adik-adikku peserta Magang/PKL di LPBIL LIPI Mataram, Irma, Obi, Yogi,
14. Gazlat Community, Eggy John (Haidir), Zee (Syarifu), Haikal, Imbran,
Randy, Itsar, Nurul, Kemar, Biyan, Berdy dan semuanya tanpa terkecuali.
xv
15. Shultonul Ma’arif, Ibu Gusti, Robin, Andi Yusriadi, Pipi, Ikwal. Beryl, Andi
xvi
Perkembangan dan Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (Pinctada
maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda
ABSTRAK
Penelitian perkembangan dan kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P.
maxima) pada kondisi suhu yang berbeda telah dilaksanakan di Laboratorium Unit
Pelaksana Teknis Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram, Pusat
Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dari 10 Februari -
17 Maret 2016. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kisaran suhu optimum bagi
perkembangan dan kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima). Ukuran
larva kerang mutiara (P. maxima) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 80 x
75µm (AP x DV) yang ditentukan berdasarkan fase awal perkembangan larva (D-
veliger). Larva dipelihara dalam bak kontainer dengan kepadatan 20.000 larva
dalam 80 liter air laut pada kondisi suhu yang berbeda. Penelitian didesain
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga
ulangan. Larva kerang mutiara dipelihara pada lima perlakuan suhu yang berbeda,
yaitu 26,5-28oC (perlakuan Kontrol), 26oC±0,5 (perlakuan A), 28oC±0,5
(perlakuan B), 30oC±0,5 (perlakuan C) dan 32oC±0,5 (perlakuan D). Hasil
penelitian menunjukan bahwa tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan mutlak,
laju pertumbuhan spesifik DV dan AP tertinggi didapatkan pada perlakuan B
(suhu 28oC±0,5) dengan nilai masing-masing 8,00%±0,16, 1458,32µm±32,16,
5,46%±0,03 dan 5,71%±0,04. Perkembangan stadia larva kerang mutiara hingga
mencapai spat tertinggi pada perlakuan B (suhu 28±0,5oC) dengan nilai AP x DV
yaitu D-veliger (80 x 75µm), Umbo (170,67µm±30,11 x 153,67µm±26,76),
Eyespot (209,00µm±9,94 x 196,00µm±9,66), Pediveliger (237,22µm±29,86 x
207,50µm±31,17) dan Spat dengan nilai AP (1510,67µm±155,56). Kesimpulan
pada penilitian ini bahwa suhu air optimum pada pemeliharaan larva kerang
mutiara (P. maxima) yaitu 28oC±0.5.
xvii
xviii
Development and Survival Rate of the Pearl Oyster (Pinctada maxima)
Larvae in Different Temperature Conditions
ABSTRACT
Study of development and survival rate of the pearl oyster (Pinctada maxima)
larvae in different temperature conditions has been conducted in the Laboratory of
Mataram Marine Bio Industry Technical Implementation Unit of Research Center
for Oseanography, Indonesian Institute of Sciences (LIPI) from Pebruary 10th to
March 17th 2016. The aim of the present sudy was determine temperature range
for the development and survival rate of the pearl oyster (P. maxima) larvae. The
size of pearl oyster (P. maxima) larvae that used in the study was 80 x 75µm (AP
x DV) based on the initial phase of larval development (D-veliger). The larvae
were reared in container tanks with a density of 20,000 larvae in 80 liters of sea
water at a different temperature conditions. The study was designed using
completely randomized design (CRD) with five treatments and three replicates.
Pearl oyster larvae was reared in five different temperatures, they were 26,5-28oC
(Control treatment), 26oC±0,5 (treatment A), 28oC±0,5 (treatment B), 30oC±0,5
(treatment C) and 32oC±0,5 (treatment D). The results showed that the highest
survival rate, absolute growth and specific growth rate of DV and AP were
obtained in treatment B (temperature 28oC±0.5) with values 8,00%±0,16,
1458,32μm±32,16, 5,46%±0,03 and 5,71%±0,04, respectively. The development
stage of pearl oyster larvae (AP x DV) in treatment B (temperature of 28°C±0,5)
D-veliger (80x75μm), Umbo (170,67μm±30,11 x 153,67μm±26,76), Eyespot
(209,00μm±9,94 x 196,00μm±9,66), Pediveliger (207,50μm±29.86 x
237,22μm±31,17) and spat with the value of AP was (1510, 67μm ± 155,56). This
study concluded that optimum water temperature to reared pearl oyster (P.
maxima) larvae was 28oC±0,5.
xix
xx
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
HALAMAN SAMPUL ............................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... v
PERNYATAAN.......................................................................................... vii
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ................................................................................ xi
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... xiii
ABSTRAK .................................................................................................. xvii
ABSTRACT ................................................................................................ xix
DAFTAR ISI ............................................................................................... xxi
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xxiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xxv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xxvi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 2
C. Tujuan dan Kegunaan ................................................................... 3
xxi
5. Panjang dan Tinggi Cangkang ................................................ 27
6. Kualitas Air ............................................................................. 28
E. Analisis Data ................................................................................. 28
B. Pembahasan ..................................................................................... 36
1. Tingkat Kelangsungan Hidup................................................. 36
2. Pertumbuhan........................................................................... 38
3. Perkembangan ........................................................................ 43
4. Parameter Kualitas Air ........................................................... 49
xxii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
xxiii
xxiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
xxv
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
xxvii
xxviii
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
perikanan penting yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan menjadi andalan usaha
budidaya di Indonesia. Hal ini didukung oleh perairan nusantara yang berpotensi
mutiara pada mulanya dikuasai oleh tenaga asing (Jepang) khusus untuk hatchery
kelautan, maka pada dekade tahun 1980an telah terjadi alih teknologi dari tenaga
asing ke tenaga kerja Indonesia (Hamzah, 2008a; Hamzah dan Setyono, 2010).
Dewasa ini usaha budidaya kerang mutiara semakin meningkat, seiring dengan
penyedian induk alam yang matang gonad. Penyebab utama kekurangan induk
matang gonad adalah kompetisi antar nelayan penyelam yang menjual kulit
kuantitas kerang yang akan dihasilkan. Pengaruh kualitas air menjadi faktor
penentu bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva. Salah satu parameter
kualitas air adalah suhu yang mempengaruhi laju metabolisme organisme akuatik
khususnya kerang mutiara (P. maxima). Keadaan ini diperkuat hasil penelitian
2
mutiara rerata sebesar 68,57% bersamaan dengan naiknya kondisi suhu harian dari
level 29°C menjadi 31°C dengan gradient 2°C di perairan Buton, Sulawesi
anakan kerang mutiara ukuran lebar cangkang antara 3-4 cm yang terjadi di Laut
adalah diduga kuat disebabkan oleh perubahan kondisi suhu yang terjadi secara
ekstrim pada periode waktu yang singkat. Fase perkembangan stadia larva
khususnya suhu yang tidak sesuai sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
Southgate, 1999; Yukihira et al., 2000; Cataldo et al., 2005; Dove dan O’Connor,
2007).
kerang mutiara sudah banyak dilakukan (Doroudi et al., 1999; Yukihira et al.,
2000; Saucedo et al., 2004; Southgate dan Lucas, 2008; Winanto dkk., 2009;
Winanto, 2009; Hamzah, 2016) akan tetapi percobaan dengan kisaran suhu yang
dan perkembangan stadia larva kerang mutiara (P. maxima) belum banyak
kisaran suhu optimum bagi pemeliharaan larva kerang mutiara (P. maxima).
B. Rumusan Masalah
kendala karena dipicu oleh kondisi suhu yang berubah secara ekstrim terutama
3
pada musim peralihan. Sebagai akibat dari keadaan ini, jumlah dan kualitas benih
pada balai benih yang rendah. Kualitas air khususnya suhu merupakan salah satu
faktor pembatas dan penentu bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva
kerang mutiara (P. maxima) yang berdampak pada proses metabolisme. Southgate
dan Lucas (2008) menjelaskan bahwa suhu rendah yang terjadi pada musim
dingin menyebabkan lambatnya aktivitas makan dan aktivitas lainnya pada larva
kerang mutiara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa setiap spesies maupun populasi
memiliki rentang suhu optimum yang berbeda dan kemungkinan dipengaruhi oleh
faktor genetik. Cáceres-Puig et al. (2007) juga menambahkan bahwa suhu tinggi
mengakibatkan stres fisiologis dan metabolik, serta terjadi denaturasi protein dan
merupakan masa kritis dimana pengaruh lingkungan khususnya suhu yang terlalu
rendah atau terlalu tinggi dapat menghambat laju pertumbuhan dan kelangsungan
hidup larva sehingga berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas benih (juvenil)
yang akan dihasilkan. Selain itu, kerang mutiara juga memiliki toleransi suhu
yang berbeda pada tiap tingkatan stadia dan kadang-kadang toleransi akan suhu
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu yang berbeda
mutiara (P. maxima). Luaran hasil penelitian ini diharapkan menjadi tambahan
A. Klasifikasi
Kerang mutiara (P. maxima) termasuk dalam kelas bivalvia yang merupakan
kelas terbesar kedua dalam filum Moluska (Gosling, 2015) dengan jumlah lebih
dari 7000 spesies yang tersebar di seluruh dunia dengan daerah penyebaran di
Perairan Tawar, Estuari dan Laut (Lewbart, 2012). Southgate dan Lucas (2008)
Phylum : Mollusca
Class : Bivalvia (Linnaeus, 1758)
Subclass : Pteriomorphia (Beurlen, 1944)
Order : Pterioida (Newell, 1965)
Suborder : Pteriina (Newell, 1965)
Superfamily : Pterioidea (Gray, 1847)
Family : Pteriidae (Gray, 1847)
Genus : Pinctada (Roding, 1798)
Species : Pinctada maxima (Jameson, 1901)
cangkang (bentuk dan warna) yang dikenal sebagai karakter yang mudah
spesies sangat sulit pada kerang muda karena bentuk cangkang yang hampir sama
(Cunha et al., 2011). Genera Pteriidae secara tradisional juga ditentukan oleh
bentuk cangkang. Selain perbedaan dalam bentuk cangkang, genera Pteria dan
Pinctada dibedakan oleh pola gigi engsel dan bentuk goresan otot adduktor
posterior. Beberapa karakter anatomi organ lunak, terutama pola melingkar usus
6
serta hubungan ventrikel dan usus, juga telah diusulkan sebagai karakter diagnostik
Bivalvia memiliki dua katup cangkang yang dihubungkan oleh engsel pada
bagian punggung dan terhubung oleh ligamen elastis (Gosling, 2015). Cangkang
2012). Bagian dorsal cangkang berbentuk datar dan panjang serta dihubungkan oleh
semacam engsel berwarna hitam (Takemura dan Kafuku, 1957 dalam Winanto,
2009). Menurut Dame (2012) cangkang pada bivalvia memainkan peranan penting
dalam penentuan dan interpretasi dari kondisi lingkungan masa lalu. Informasi
cangkang lebih besar dari pada di Jepang dan Korea. Perbedaan-perbedaan pada
nilai pertumbuhan dan terutama bentuk morfologi diduga bahwa tiram alami
morfologi anakan kerang mutiara (P. maxima) dewasa yang digantung pada
normal dan sehat dicirikan dengan hasaky yang tumbuh mekar serta tempelan
bysuss pada substrat yang kuat (Hamzah dan Nababan, 2009). Kaki mengeluarkan
kecoklatan dari protein. Benang ini muncul melalui bagian ventral cangkang dan
berfungsi sebagai tali tambat untuk menempelkan kerang pada substrat dan kerang
lainnya (Gosling, 2015). Kaki dan byssus terletak pada daerah anterior, ventral ke
mulut dan dikelilingi oleh labial palps (Southgate dan Lucas, 2008).
Bivalvia umumnya memiliki mantel yang terdiri dari dua jaringan lobus yang
sebagian besar area antara katup membentang dari garis engsel mengelilingi
ekspresi komponen protein sel (Gardner et al., 2011). Menurut Joubert et al. (2014)
oleh kondisi lingkungan, seperti makanan dan suhu serta hal tersebut memodulasi
tingkatan ekspresi gen protein matriks cangkang pada mantel. Hamzah (2015)
8
dalam cangkang berbanding lurus dengan tingginya daya metabolisme reaksi enzim
dan respirasi. Setiap insang memiliki sumbu utama pada bagian dorsal yang berupa
Sebagian besar spesies Pteriidae menghuni zona littoral dangkal dan daerah
cangkang, dan berdampak pada kematian bila tidak cepat dibersihkan (Hamzah dan
Nababan, 2009; Hamzah dan Setyono, 2009). Hamzah (2010) menyatakan bahwa
kerang mabe (P. penguin) juga banyak ditemukan pada daerah teluk-teluk yang
memiliki sonasi hutan bakau dan karang serta menyebar pada kedalaman perairan
antara 20–60m. Tingkah laku sebaran larva kerang mutiara, P. maxima dan P.
martensii lebih condong bersifat phototaxis negatif atau tidak tertarik pada cahaya
dan senang menempel pada substrat yang berwarna gelap (Su et al., 2007; Hamzah,
2013a). Hal ini juga terjadi pada larva kerang mabe (Pteria penguin) yang
cenderung menempel pada kolektor yang berwarna agak gelap (Hamzah, 2007).
9
termasuk Asia Tenggara, daerah perairan Pilipina, Laut China Selatan, Thailand,
umumnya banyak ditemukan di wilayah Indonesia bagian timur seperti Irian jaya,
Sulawesi dan Maluku terutama gugus kepulauan Arafura (Lind et al., 2007;
D. Kualitas Air
toleransi variasi musiman kondisi suhu dan salinitas yang ideal untuk pertumbuhan
dan kelangsungan hidup anakan kerang mutiara ukuran stadia kritis (lebar cangkang
antara 3-4cm) adalah antara 28-290C dan salinitas antara 30-33ppt. Tidak ada
pengaruh sinergi antara suhu dan salinitas, tetapi keduanya memberikan pengaruh
yang nyata terhadap lama waktu pencapaian stadia. Pada suhu optimum aktivitas
Sedangkan suhu 260C diduga relatif rendah untuk perkembangan larva dan
sebaliknya suhu 300C relatif tinggi untuk perkembangan larva (Winanto dkk.,
2009). Suhu air sangat berperan dalam mengendalikan proses metabolisme, pada
kisaran suhu antara 26-290C kerang mutiara sangat aktif melakukan kegiatan
2011). Loncatan suhu dengan gradien 10C masih dalam batas ambang toleransi
kehidupan kerang mutiara kecuali sudah mencapai gradient 20C (Hamzah dkk.,
2005). Tingkat penetasan telur kerang mutiara (P. maxima) pada salinitas 28ppt dan
10
34ppt dan 31ppt, hal ini diduga bahwa tekanan osmotik dalam sel telur berbeda
diantaranya oleh pola sirkulasi air, penguapan (evaporasi), curah hujan (presipitasi)
Nilai derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter kimia penting
mutiara berbeda pada perairan dengan pH lebih tinggi dari 6,75 namun kerang
mutiara tidak dapat bereproduksi bila pH lebih tinggi dari 9. Perubahan pH sedikit
saja dari pH alami akan menyebabkan terganggunya sistem penyangga yang dapat
membahayakan kehidupan biota laut. pH air yang cocok untuk tumbuh dan
berkembang biak kerang mutiara (P. maxima) adalah berkisar antara 7,9-8,2 (Nayar
Matsui (1960) dalam Winanto (2009) pH air yang layak untuk kehidupan kerang
mutiara (P. maxima) berkisar antara 7,8-8,6. Sedangkan pada pH 7,9-8,2 kerang
mutiara dapat berkembang baik dan tumbuh dengan baik (Winanto, 2009).
11
dan indikator kesuburan perairan. Kadar oksigen terlarut semakin menurun seiring
dapat hidup dengan baik pada perairan dengan kandungan oksigen terlarut berkisar
antara 5,20-6,60 (Imai, 1982 dalam Winanto 2009). Dhivya dan Lipton (2015)
menemukan bahwa Perna indica dengan panjang rata-rata 20mm menunjukkan laju
Kerang mutiara (P. maxima) termasuk biota laut bersifat plankton feeder,
plankton yang tidak dikehendaki. Beberapa jenis alga yang umum diberikan untuk
Chromulina sp., Chaetoceros sp., Nannochloropsis sp., dan Dicrateria sp., Untuk
fase pertumbuhan sampai menjelang spat dapat diberi variasi berbagai jenis alga
tersebut. Namun untuk stadia awal larva, jenis fitoplankton flagelata yang paling
penting untuk pakan adalah Isochrysis galbana dengan ukuran sekitar 7 µm.
untuk stadia spat atau sebagai pakan campuran induk (Winanto, 2004; dan Winanto,
2009). Menurut Marshall et al. (2010) secara umum, kombinasi dari spesies alga I.
philippinarum dan Pecten maximus, sedangkan hanya pakan I. galbana saja tidak.
pada stadia awal larva (D shape) sampai stadia umbo diberi pakan fitoplankton jenis
yang digunakan sebagai pakan larva Pteria sterna antara lain Nannochloris sp.,
oleh larva hanya Nannochloris sp., Pavlova lutheri dan Isochrysis galbana
lemak yang tinggi (Martinez-Fernandez, 2006). Larva kerang mutiara (P. maxima)
lebih efektif diberikan pakan alami jenis Isochrisis galbana sebagai bahan pakan
fase spat (hari ke 18) (Hamzah, 2008a). Menurut Brown (1991) dalam Hermawan
dkk. (2007) I. galbana memiliki kandungan gizi yang lebih lengkap yaitu protein
29%, karbohidrat 12,9% dan lemak 23% serta mempunyai kandungan EPA sebesar
1,88% dan DHA sebesar 6,76% sedangkan kandungan gizi Chaetoceros sp. adalah
masuk kedalam rongga mantel. Gerakan silia akan memindahkan fitoplankton yang
berada di sekeliling insang dan dengan bantuan labial palp atau melalui simpul bibir
13
dan Gandhi, 1987 dalam Winanto, 2009). Kerang hijau bersifat filter feeder
sekitarnya terutama makanan yang terbawa oleh arus (Hermawan dkk., 2007). Pada
prinsipnya mikro alga yang digunakan sebagai pakan larva kerang atau organisme
laut lainnya adalah mempunyai ukuran yang tepat untuk dimakan atau sesuai
kepadatan tinggi dan tidak menghasilkan substansi racun (Ponis et al., 2006).
Makanan yang ditelan masuk dari mulut kemudian melalui kerongkongan yang
pendek langsung masuk perut, atau saluran kantong tipis pada perut dengan kulit
makanan akan dibuang melalui saluran usus yang relatif pendek dan bentuknya
seperti huruf S kemudian keluar lewat anus (Velayudhan dan Gandhi, 1987 dalam
Winanto, 2009).
Salah satu faktor yang mempengaruhi laju konsumsi oksigen adalah suhu air.
osmoregulasi dengan melibatkan berbagai reaksi kimia (Winanto dkk., 2009). Pada
menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen. Hal yang sama juga terjadi pada
maksimum atau optimum yang cepat menurun (Chavez-Villalba et al., 2013). Pada
14
P. fucata laju konsumsi oksigen meningkat tinggi selama jam pertama kerang
dimasukkan kembali ke dalam air dan laju konsumsi normal dicatat setelah waktu
tersebut. Kebutuhan oksigen terlarut kerang mutiara (P. fucata) menunjukan bahwa
Osmoregulasi adalah proses yang dilakukan oleh hewan laut untuk mengatur
(salinitas) dalam perairan, jika kosentrasi salinitas terlalu rendah atau terlalu tinggi
salinitas yang cepat (Southgate dan Lucas, 2008). Beberapa kerang mutiara hidup
pada habitat pesisir dimana salinitas menurun akibat runoff terestrial. Larva P.
imbricata mempunyai toleransi yang rendah terhadap salinitas, apalagi jika salinitas
turun sampai kurang dari 29‰. Pada kisaran salinitas 29–35‰, persentase
cukup eurihalin dalam menoleransi kisaran salinitas yang besar. Kerang mutiara (P.
margaritifera) memiliki kisaran salinitas pada fase embrio yaitu <25-39 ppt, fase
larva yaitu <25-32 ppt dan spat 25-45 ppt. Sedangkan pada kerang mutiara (P.
15
maxima) memiliki kisaran salinitas pada fase spat yaitu 30-34 ppt (Southgate dan
Lucas, 2008).
metabolisme dari kandungan bahan kimia, seperti asam amino, asam lemak,
cocok, yang kemudian mengalami proses pencernaan dan penyerapan (Lucas dan
Southgate, 2008). Pengunaan energi untuk metabolisme rutin spat P. maxima umur
35 hari lebih rendah jika dibandingkan umur 25 hari. Hal ini diduga, spat umur 25
hari lebih banyak membutuhkan energi karena masih berada pada masa transisi
menempelkan diri pada substrat. Sebaliknya pada umur 35 hari kondisi relatif sudah
lebih stabil, spat sudah menetap, jika ada produksi bysuss hanya untuk
suhu maka laju metabolisme semakin menurun, sehingga laju pertumbuhan larva
jadi lambat. Sebaliknya semakin tinggi suhu maka laju metabolisme makin
meningkat dan akan diikuti dengan meningkatnya laju pertumbuhan larva (Winanto
dkk., 2009).
kurang maka alat reproduksinya jantan (Winanto, 2004). Kerang mutiara (P.
maxima) telah mencapai kematangan gonad akhir pada tahun pertama, ditandai
dengan suatu puncak pada bulan September-November dengan suhu antara 27oC
dan 29oC (Southgate dan Lucas, 2008). Menurut Gomez-Robles et al. (2005)
puncak reproduksi P. margaritifera terjadi pada musim panas yaitu pada bulan
Agustus dengan suhu air 29,5°C. Tingginya tingkat kematangan gonad dan pasca
vitellogenik oosit selama musim dingin, berkaitan dengan suhu laut yang hangat
yaitu 23-24°C. Selain itu, selama musim dingin, oosit mengalami artesia.
lingkungan, seperti kenaikan atau penurunan suhu air atau perubahan salinitas, dan
budidaya (Southgate dan Lucas, 2008). Proses reproduksi diawali dengan fertilisasi
eksternal yang terjadi di dalam air. Selama proses pemijahan biasanya induk jantan
memijah lebih duluan, kemudian sekitar 30-35 menit baru induk betina
mengelurkan sel-sel telurnya (Southgate dan Lucas, 2008; Saoruddin, 2004 dalam
Susilowati dan Sumantadinata, 2011; dan Hamzah, 2013a). Narita et al. (2008)
flagellum. Kemudian telur yang telah dibuahi berbentuk bulat dengan diameter 55-
larva kerang mutiara membutuhkan 16-30 hari dan dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti suhu air, nutrisi dan ketersediaan substrat yang tepat untuk proses
menempel. Lebih lanjut Hermawan dkk. (2007) menjelaskan bahwa pada kondisi
normal yaitu suhu berkisar antara 28–300C, larva akan menempatkan diri untuk
menetap dan melekat pada substrat setelah berumur 20–22 hari dengan ukuran 200–
250µm sedangkan pada rentang suhu 24,3–27,20C, larva baru akan menetap dan
melekat pada spat kolektor setelah berumur 32 hari dan berukuran 250–300µm.
c d
2 e
b
f
a
g
h 2
2
Gambar 2. Siklus Hidup Kerang Mutiara (P. maxima) (Keterangan: a. telur dan
sperma; b. telur dibuahi; c. pembelahan sel; d. gastrula; e. larva bentuk-
d; f. stadia umbo; g. spat; h. dewasa) (Sumber: Winanto, 2009)
Siklus hidup kerang dimulai dengan fertilisasi telur, biasanya dalam perairan
terjadi disekeliling kerang dewasa (Dame, 2012). Fase kehidupan awal kerang
mutiara dimulai dengan penonjolan polar, kemudian membentuk polar lube II yang
merupakan awal proses pembelahan sel. Setelah terjadi fertilisasi, maka akan terjadi
fase pembelahan menjadi 2, 4, 8, 16, dan 32 sel dengan kisaran waktu ±45 menit
18
sampai ±2 jam kemudian mencapai fase morula (multi sel) pada waktu ± 2,5 jam,
fase blastula dicapai pada umur ±3,5 jam dan mulai bergerak berputar-putar
selanjutnya pada waktu ± 7 jam mencapai fase gastrula yang dimana pada fase ini
setelah pembelahan sel terakhir sudah bersilia setelah berumur antara 7-9 jam
x tinggi) (Southgate dan Lucas, 2008). Larva stadia veliger bersifat poto-positif,
Winanto, 2009). Southgate dan Lucas (2008) menambahkan bahwa fase D-veligers
menunjukan pertumbuhan awal cangkang sekitar 1-2 hari setelah fertilisasi dan
setelah itu bagian umbo mulai timbul pada bagian dorsal cangkang. Fase eye spot
ditandai dengan bintik hitam pada dua sisi cangkang serta mulai menempel pada
kolektor setelah mencapai 15-17 hari. Pada larva P. fucata stadia eye-spot
berkembang pada hari ke-15 dengan ukuran 190 x 180 µm (Alagarswami et al.,
1987 dalam Winanto 2009). Pada fase pedi-veliger (umbo akhir) yang dicapai pada
18–20 hari terlihat mulai terbentuk kaki (byssus) yang menonjol pada bagian dorsal
yang digunakan untuk menepel. Gerakan larva mulai melambat dan nampak adanya
pertumbuhan organ penempel seperti lidah yang keluar dari dalam tubuh larva.
melakukan gerakan memutar lambat dengan terus mencari tempat untuk menempel
cangkang telah sempurna lengkap dengan anterior, posterior dan byssus, fase ini
terjadi setelah berumur antara 20–22 hari. Selanjutnya pada fase post-larva yang
dicirikan dengan berkembang dan tumbuh dalam keadaan menempel pada kolektor,
berumur antara 22-24 hari. Fase spat (juvenil) berkembang dan tumbuh menjadi
fase juvenil berumur antara 29-30 hari. Saat menjadi spat bentuk morfologi telah
20
lengkap menyerupai anakan kerang mutiara berumur antara 33-40 hari (Hamzah,
2008; dan Hamzah, 2013a). Stadia spat pada perkembangan larva kerang,
khususnya jenis Pinctada sp., secara normal dapat terbentuk pada umur 30 hari
(Evans et al., 2007). Benih kerang mutiara dapat dikatakan memasuki stadia
juvenil, apabila benih memiliki ukuran panjang cangkang luar berkisar antara 0,8-
1 cm. Ukuran tersebut dapat dicapai pada benih umur 60 hari atau 3-4 minggu
pemeliharaan dilaut (Wardana dkk., 2014). Menurut Winanto (2004) bahwa selama
pertumbuhan larva mengalami 3 kali periode kritis yaitu pertama pada fase D yaitu
larva pertama kali mulai makan, kedua pada fase umbo dan terakhir pada fase
plantigrade yaitu pada saat larva mengalami perubahan kebiasaan hidup dari
planktonis menjadi spat yang hidupnya menetap di dasar. Kematian larva tertinggi
terjadi pada periode plantonik yaitu dari fase umbo-veliger ke fase pediveliger, dan
kematian kedua terjadi pada periode bentik yaitu fase plantigrade ke fase spat
Alat dan bahan beserta kegunaan yang digunakan dalam penelitian ini dapat
C. Prosedur Penelitian
Gonad (TKG) induk kerang mutiara yaitu ≥70% dengan perbandingan jumlah
jantan dan betina adalah 4:4 (4 ekor induk jantan dan 4 ekor induk betina) dengan
dengan metode kejutan suhu (thermal shock) atau proses pheromon bila sulit
memijah dilakukan pengadukan air dalam bak tersebut agar terjadi fertilisasi
(pembuahan) merata.
dengan ukuran mata 100µm, 80µm, 60µm, 40µm dan 25µm. Saringan ini disusun
berdasarkan besaran ukuran mata yaitu ukuran yang besar di bagian atas dan
pertumbuhan larva yang tidak tersaring pada setiap ukuran mata screen net..
Indikator penentuan ukuran besar larva fase D-veliger dapat diketahui berdasarkan
ukuran mata saringan larva (screen net) yaitu antara 40-60 µm. Sebelum
tinggi cangkang yaitu bagian dorsal-ventral (DV) sebagai data ukuran larva awal
pengamatan.
Kualitas air yang dijadikan sebagai media percobaan disterilisasi mulai dari
penampungan air (tower) hingga dialirkan masuk ke dalam bak uji melalui UV
dan pada ujung selang air dipasang kantung saringan (filter bag). Sehingga media
air yang digunakan untuk pemeliharaan hewan uji bersih dan terhindar dari
yang telah mencapai fase D-veliger, didederkan pada setiap bak uji yang telah
disiapkan dengan padat tebar 20.000 larva/80 liter air sesuai dengan jumlah
perlakuan suhu.
heater dan pada perlakuan suhu rendah yaitu 26oC ditambahkan pendingin berupa
media yang berisi es sejumlah 3 buah/bak uji yang berfungsi untuk menurunkan
suhu media uji sesuai nilai perlakuan serta ditambahkan heater untuk
Perlakuan dan ulangan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat
pada Tabel 2.
media percobaan yang terdiri atas 5 perlakuan suhu yang berbeda dan diulang
sebanyak 3 kali. Selanjutnya media percobaan yang terdiri atas 15 unit selanjutnya
2. Pemberian Pakan
sore) seperti terlihat pada Gambar 5 yaitu pada fase D-veliger diberikan pakan
campuran Isochrysis galbana dan Pavlova lutheri dengan jumlah total 2000
dengan jumlah total 3000 sel/larva; fase Eyespot diberikan pakan campuran I.
galbana dan P. lutheri dengan jumlah total 3500 sel/larva; fase Pediveliger diberi
pakan campuran Chaetoceros sp., I. galbana dan P. lutheri dengan jumlah total
galbana dan P. lutheri dengan jumlah total 4500 sel/larva. Fase Spat diberi pakan
campuran Chaetoceros sp., I. galbana dan P. lutheri dengan jumlah total 5000
sel/larva.
25
Indikator warna yang menunjukkan keadaan lambung larva yaitu jika berwarna
kuning muda, maka kondisi larva kurang makan dan dosis pakan ditambah 50%
dari jumlah dosis awal, selanjutnya bila lambung berwana coklat tua
menggambarkan bahwa lambung berisi makanan dan tidak perlu ditambah pakan.
3. Pergantian Air
Pergantian air dilakukan setiap 2 hari sekali, jika larva dalam keadaan sehat
dilakukan pergantian air 50% kemudian melakukan pergantian air 100% setiap 4
hari. Jika larva tenggelam ke dasar bak atau menyebar tidak merata
kemudian larva dimasukan ke dalam wadah yang telah diisi air. Air yang
26
digunakan disterilkan dengan cara disaring menggunakan filter bag sehingga air
1. Kelangsungan Hidup
𝐍𝟏
𝐒𝐑 = 𝐍𝟎 × 𝟏𝟎𝟎% ......................................................................... (1)
Keterangan :
SR = kelangsungan hidup (%)
N1 = jumlah larva akhir pengamatan (individu)
N0 = jumlah larva awal pengamatan (individu)
2. Pertumbuhan Mutlak
PM = L1 - L0 .............................................................................. (2)
Keterangan :
PM = pertumbuhan mutlak (µm)
L1 = panjang larva pada akhir pengamatan (µm)
L0 = panjang larva pada awal pengamatan (µm)
Keterangan :
SGR = laju pertumbuhan spesifik (%)
L1 = panjang rerata pada akhir pengamatan (µm)
27
4. Perkembangan Stadia
mikroskop yang dilengkapi dengan kamera digital dan bisa diakses dalam bentuk
berdasarkan metode yang digunakan oleh Winanto (2009) dapat dilihat pada
Gambar 6.
Gambar 6. Pengukuran Panjang dan Tinggi Larva Kerang Mutiara (P. maxima)
(Keterangan: AP. panjang cangkang bagian anterior-posterior dan DV.
tinggi cangkang bagian dorso-ventral)
6. Kualitas Air
pada setiap unit satuan media organisme uji dengan menggunakan alat termometer
batang, hand refraktometer dan pH meter digital. Pengamatan kualitas air pada
28
bak pendederan larva hingga mencapai spat (juvenil) yang meliputi salinitas, pH
Untuk mendapatkan nilai suhu rendah sesuai dengan nilai perlakuan, maka
dimodifikasi agar tidak terkontaminasi langsung dengan air media uji serta
dipasang Heater untuk mengatur suhu, sehingga suhunya secara otomatis sesuai
dengan kisaran nilai perlakuan. Sistem kerja alat pemanas otomatis (heater) yaitu
dengan memutar tombol secara otomatis, sehingga kualitas suhu air media
pengamatan tetap berada pada kisaran suhu perlakuan yang telah ditetapkan.
E. Analisis Data
dengan lima perlakuan suhu yang berbeda diulang 3 kali (sebagai ulangan
maka dilanjutkan uji Duncan. Data pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva
(ANOVA). Data perkembangan larva dan kualitas air dianalisis secara deskriptif.
Model matematika dari rancangan percobaan dan Uji Duncan adalah terlihat
sebagai berikut:
Keterangan :
Rp = wilayah nyata terkecil Duncan
qα’ = sebaran wilayah di-student-kan untuk uji Duncan pada
α, p dan dbf
30
A. Hasil
merupakan persentase dari jumlah spat (akhir pengamatan) umur 35 hari setelah
9.00
b
Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
8.00 b
a
7.00
6.00
5.00 a a
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
Perlakuan
Kontrol A B C D
Gambar 7. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (P. maxima) pada
Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) (Keterangan: notasi yang sama
menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata)
pengaruh yang sangat nyata (Sig.≤0,01) terhadap kelangsungan hidup larva kerang
2. Pertumbuhan
cangkang dari waktu ke waktu. Pertumbuhan larva kerang mutiara (P. maxima)
pada penelitian ini meliputi pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan spesifik
(pertumbuhan harian).
(AP) larva awal pengamatan (fase D-veliger) sampai menempel pada kolektor
(spat) umur 35 hari setelah pemijahan. Hasil penelitian pertumbuhan mutlak selama
1600.00
c
1400.00 bc
b
Pertumbuhan Mutlak (µm)
1200.00
a
a
1000.00
800.00
600.00
400.00
200.00
0.00
Perlakuan
Kontrol A B C D
Gambar 8. Pertumbuhan Mutlak Kerang Mutiara (P. maxima) pada Kondisi Suhu
yang Berbeda (Mean±SD) (Keterangan: notasi yang sama menunjukan
pengaruh yang tidak berbeda nyata)
33
pertumbuhan mutlak larva kerang mutiara (P. maxima) hingga mencapai spat.
ventral larva awal pengamatan hingga mencapai 20 hari setelah pemijahan. Hasil
pada Gambar 9.
5.60
c
5.40 b
b
5.20 b
LPS DV (%)
a
5.00
4.80
4.60
4.40
Perlakuan
Kontrol A B C D
Gambar 9. Laju Pertumbuhan Spesifik DV Larva Kerang Mutiara (P. maxima) pada
Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) (Keterangan: notasi yang sama
menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata)
34
posterior larva awal pengamatan hingga mencapai 20 hari setelah pemijahan. Hasil
6.00
5.80 b b
5.60
LPS AP (%)
5.40 a
a a
5.20
5.00
4.80
4.60
Perlakuan
Kontrol A B C D
Gambar 10. Laju Pertumbuhan Spesifik AP Larva Kerang Mutiara (P. maxima)
pada Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) (Keterangan: notasi
yang sama menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata)
35
3. Perkembangan
mencapai spat berdasarkan pengaruh suhu yang berbeda terlihat pada Tabel 4.
B. Pembahasan
suatu usaha pembenihan kerang mutiara (P. maxima) karena berpengaruh terhadap
jumlah spat (juvenil) yang akan dihasilkan. Kelangsungan hidup larva kerang
mutiara (P. maxima) diestimasi dari data jumlah larva awal pangamatan (larva D-
37
veliger) hingga mencapai stadia spat (juvenil) yang berumur 35 hari setelah
pengaruh yang sangat nyata (Sig.<0,01) bagi kelangsungan hidup larva kerang
mutiara (P. maxima) dari stadia D-veliger hingga mencapai spat (juvenil). Hal ini
didukung oleh pernyataan Southgate dan Lucas (2008) bahwa suhu terlalu rendah
mutiara (P. maxima). Lebih lanjut O’Connor dan Lawler (2004) menyatakan bahwa
perbedaan toleransi suhu tidak hanya terjadi pada masa embrio hingga juvenil,
tetapi juga berpengaruh pada spat hingga mencapai kerang dewasa, terutama pada
suhu rendah.
hidup larva kerang mutiara (P. maxima) pada awal pengamatan hingga mencapai
persentasi nilai yang tertinggi yaitu 8,00%±0,16 dan disusul perlakuan Kontrol
tidak signifikan, hal ini diduga bahwa kondisi suhu tersebut masih dalam kisaran
toleransi kelangsungan hidup larva kerang mutiara sampai stadia spat (juvenil). Hal
ini didukung oleh hasil penelitian Winanto dkk. (2009) yang mengemukakan bahwa
sintasan larva kerang mutiara (P. maxima) tertinggi terjadi pada perlakuan suhu
28oC dengan salinitas 32 ppt dan 34 ppt. Doroudi et al. (1999) menambahkan bahwa
kondisi fisiologis optimal untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva kerang
mutiara yaitu pada suhu 26-29oC. Lebih lanjut Southgate dan Lucas (2008)
menjelaskan bahwa kerang mutiara memiliki kisaran suhu yang beragam seperti
38
larva kerang mutiara Akoya (India) hidup dengan baik pada kisaran suhu 24-29oC
dengan nilai 3,98%±0,53 dan menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata dengan
kelangsungan hidup yang terjadi pada perlakuan tersebut diduga bahwa larva
kerang mutiara (P. maxima) tidak dapat mentolelir suhu tersebut sehingga terjadi
mortalitas yang cukup tinggi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Winanto (2009)
yang mengemukakan bahwa suhu 26oC dan 30oC memberikan hasil kelangsungan
hidup yang rendah dibandingkan suhu 28oC dengan salinitas 30-34ppt. Nair dan
(Rajagopal et al., 2005). Saucedo et al. (2004) menjelaskan bahwa beberapa jenis
2. Pertumbuhan
Southgate dan Lucas (2008) pengukuran cangkang merupakan metode yang paling
yang menentukan laju peningkatan ukuran maupun bobot pada waktu tertentu,
perlakuan dalam studi yang sama. Umumnya pertumbuhan mutlak kerang mutiara
dipengaruhi oleh ukuran dan usia bivalvia serta variasi musiman dalam
memperoleh makanan, suhu air dan lokasi budidaya (Southgate dan Lucas, 2008).
yang sangat nyata (Sig.<0,01) bagi pertumbuhan mutlak larva kerang mutiara (P.
maxima) hingga mencapai spat (juvenil) dengan taraf kepercayaan 99%. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian Doroudi et al. (1999) bahwa dalam kisaran salinitas
yang cocok, pertumbuhan larva P. margaritifera tergantung pada suhu. Lebih lanjut
dengan nilai 1258,21µm±67,45. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh
yang lebih besar, tingkat pertumbuhan yang lebih besar dan lebih berat (basah dan
kering) terjadi pada suhu 29oC, dan diberi pakan campuran Isochrysis-Chaetoceros
merupakan spesies eurythermal dengan kisaran toleransi suhu yang luas yaitu 16-
32°C. Akan tetapi spesies ini sangat tergantung pada suhu antara 24-30°C dan
tumbuh dengan baik pada suhu optimal yaitu suhu 28oC. Terlepas dari faktor
Posterior P. maxima tertinggi mulai dari veliger sampai spat umur 30 hari yang
diberi pakan alami kombinasi I. galbana 25% dan C. amami 75% dengan mencapai
pada perlakuan tersebut diduga bahwa suhu 26oC±0,5 terlalu rendah dan suhu
32oC±0,5 terlalu tinggi dalam mendukung pertumbuhan larva kerang mutiara (P.
maxima) hingga mencapai spat (juvenil). Yukihira et al. (2000) dan Yukihira et al.
sekitar 1–2oC berpengaruh kuat terhadap laju pertumbuhan. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa suhu berpengaruh terhadap proses metabolisme larva, semakin rendah suhu
maka laju metabolisme semakin menurun, sehingga laju pertumbuhan larva jadi
41
jaringan mantel dan aragonit pada garis cangkang sehingga pada kerang mutiara,
dimensi cangkang merupakan ciri-ciri yang paling sering diukur untuk mengetahui
tingkat pertumbuhan (Rose dan Baker, 1994 dalam Kvingedal et al., 2010).
endogen dan eksogen, dan kondisi lingkungan budaya (Doroudi dan Southgate,
2003). Laju pertumbuhan spesifik larva kerang mutiara (P. maxima) yang diukur
dipengaruhi oleh suhu. Hal ini dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan spesifik
dengan nilai Sig.<0,01 yang menunjukan bahwa suhu memberikan pengaruh yang
sangat nyata pada taraf kepercayaan 99% terhadap pertumbuhan DV maupun AP.
Hal ini didukung oleh pernyataan Southgate dan Lucas (2008) yang mengemukakan
bahwa pertumbuhan kerang mutiara dipengaruhi oleh ukuran, usia, serta variasi
musiman dalam ketersediaan makanan, suhu air dan lokasi budidaya. Lebih lanjut
signifikan pada pertumbuhan dan pada suhu rendah juvenil kerang mutiara (P.
(DV) menunjukan bahwa perlakuan B (suhu 28oC±0,5) adalah yang terbaik dengan
nilai 5,46%±0,03 dan menunjukan hasil yang berbeda nyata dengan semua
42
perlakuan. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Winanto dkk. (2009) bahwa laju
32oC±0,5) diduga bahwa suhu media tersebut terlalu tinggi sehingga menyebabkan
cangkang yang lambat. Hal ini didukung oleh Hamzah (2016) yang mengemukakan
bahwa kondisi lingkungan merupakan faktor penting dalam proses aktivitas enzim
dalam pencerna protein. Lebih lanjut dijelaskan bahwa semakin tinggi kadar
kalsium karbonat yang terkandung dalam cangkang adalah berbanding lurus dengan
pertumbuhan.
dipengaruhi oleh suhu air walaupun menunjukan hasil yang sedikit berbeda dari
menunjukan nilai yang tertinggi yaitu 5,71µm±0,04 dan menunjukan hasil yang
tidak berbeda nyata dengan perlakuan C (suhu 30oC±0,5) yaitu 5,54µm±0,23. Hal
ini didukung oleh pernyaataan Dove dan O’Connor (2007) bahwa suhu secara
terbaik, terutama pada salinitas >20 ppt. Hal yang hampir sama juga dikemukakan
pertumbuhan yang cepat namun kelangsungan hidup lebih rendah dan hal ini juga
menunjukan nilai yang tidak signifikan dengan perlakuan Kontrol (suhu 26,5-28oC)
dan perlakuan D (suhu 32oC±0,5) yaitu 5,15µm±0,08 dan 5,21µm±0,11. Hal ini
diduga bahwa suhu 26oC±0,5 terlalu rendah dan suhu 32oC±0,5 terlalu tinggi dalam
mendukung pertumbuhan larva kerang mutiara. Hal serupa juga dilaporkan oleh
Winanto (2009) bahwa suhu 26oC relatif rendah untuk perkembangan larva dan
sebaliknya suhu 30oC relatif tinggi untuk perkembangan larva. Lebih lanjut
Hamzah (2016) menjelelaskan bahwa kisaran kondisi suhu dan salinitas yang
3. Perkembangan
Induk kerang mutiara (P. maxima) merupakan induk alam yang berasal dari
LIPI Mataram pada tanggal 10 Februari 2016. Perbandingan induk jantan dan induk
betina yang digunakan yaitu 4:4 dengan ukuran panjang cangkang sekitar 12cm.
Berdasarkan data sekunder yang diperoleh bahwa kerang mutiara (P. maxima) di
Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur matang gonad pada bulan
tersebut. Hal ini hampir sama dengan kerang mutiara (P. maxima) di Australia yang
pada bulan September-November dengan suhu 27°C dan 29°C. Musim kawin
terjadi pada September hingga April, dengan puncak pada bulan Oktober dan hanya
yang telah dibuahi, trochophore, veliger (larva bentuk D), pediveliger (tahap
umbonal), juvenil dan tahap dewasa. Lebih lanjut dijelaskan bahwa cangkang
dari sel-sel larva planktonik selama tahap trochophore (6-24 jam setelah
pada saat larva mencapai fase D-veliger yang dicapai sekitar 24 jam setelah
fertilisasi hingga mencapai stadia spat (juvenil) umur 35 hari. Berdasarkan hasil
kerang mutiara (P. maxima). Hal ini sejalan dengan pernyataan Winanto (2009)
perkembangan larva, selisih perlakuan suhu (2oC) ternyata memberikan efek yang
signifikan pada sintasan dan pertumbuhan larva. Cataldo et al. (2005) juga
dipengaruhi oleh suhu. Lebih lanjut Gervais dan Sims (1992) dalam Southgate dan
membutuhkan 16-30 hari dan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suhu air, nutrisi
A B
Gambar 11. Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia D-Veliger dan Umbo
(Keterangan: A. D-Veliger; dan B. Umbo)
Stadia D-veliger dicapai pada 24 jam setelah pemijahan dengan larva yang
berbentuk huruf D dengan ukuran sekitar 80 x 75µm (AP x DV). Hal ini hampir
II bisa diidentifikasi secara jelas. Tahap veliger ditandai dengan bentuk engsel yang
lurus dan cangkang berbentuk huruf “D”. Pada tahap ini, larva semi-transparan dan
menunjukan bagian velum yang menonjol, larva veliger berenang di permukaan air
serta menciptakan arus yang kuat dengan menggunakan sillia (Acarli dan Lok,
2009).
Stadia umbo dicapai pada umur 12-18 hari dengan bagian umbo yang
kelihatan jelas pada bagian dorsal. Acarli dan Lok (2009) menjelaskan bahwa pada
kerang Ostrea edulis, larva berenang lebih lambat daripada tahap-tahap awal. Pada
bagian velum silia juga kurang aktif dan hanya sebagian larva yang mencapai tahap
46
umbo pada hari ke 14. Rata-rata ukuran panjang x tinggi cangkang (AP±SD x
DV±SD) tertinggi pada stadia umbo yaitu pada perlakuan B (suhu 28oC±0,5) yaitu
margaritifera membutuhkan waktu 8 hari untuk mencapai tahap umbo awal dengan
umbo yang lambat, bahkan setelah mencapai 15 hari (Doroudi et al., 1999).
Gambar 12. Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia Eyespot Tampak Atas dan
Samping
Stadia Eyespot dicapai sekitar 18-22 hari dengan ditandai bintik hitam (spot)
yang tampak jelas. Bintik hitam kecil pada kedua sisi cangkang tampak setelah
berumur 16-17 hari. Bintik hitam ini menggambarkan larva mulai menempel dan
pertumbuhan larva lebih rendah dibanding pada suhu 28oC dan 30oC, diduga suhu
47
26oC relatif rendah dan kurang efektif untuk proses metabolisme, sehingga
lanjut Kheder and Robert (2010) menyatakan bahwa suhu ≥27°C memiliki efek
positif pada laju metamorfosis dan sebaliknya suhu ≤22°C memberikan efek yang
A B
Gambar 13. Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia Pediveliger dan Spat (Keterangan:
A. Pediveliger; dan B. Spat)
setelah fertilisasi dengan ditandai munculnya kaki yang keluar pada bagian dorsal
cangkang serta bintik hitam pada stadia Eyespot telah menghilang. Gerakan larva
mulai melambat dan nampak adanya pertumbuhan organ penempel seperti lidah
yang keluar dari dalam tubuh larva (Wardana dkk., 2009). Lebih lanjut Acarli dan
Lok (2009) menjelaskan bahwa pada stadia Pediveliger, larva berkumpul pada
kolom air yang lebih dalam dan mulai mendekati substrat serta bergerak sepanjang
permukaan dengan didorong oleh kaki yang menonjol dan mulai mencari substrat
yang sesuai untuk menempel. Rata-rata ukuran larva tertinggi yaitu pada perlakuan
48
hampir sama dengan pernyataan Rose dan Baker (1994) dalam Doroudi dan
Southgate (2003) bahwa pada usia sekitar 20-23 hari setelah fertilisasi larva P.
yang hampir sama yaitu sekitar 230-266µm. Lebih lanjut Taufiq dkk. (2010)
menambahkan bahwa larva akan menempatkan diri untuk menetap dan melekat
pada substrat setelah berumur 24 hari pada suhu 28,2-29,8oC. Selanjutnya pada
rentang suhu 24,3-27,2oC larva baru akan melekat setelah berumur 32 hari.
Stadia Spat (juvenil) mulai terlihat >26 hari setelah pemijahan dengan
ditandai bentuk morfologi yang sudah mulai sempurna dan mulai menyerupai
bentuk anakan kerang. Hamzah (2015) menyatakan bahwa pada fase ini, juvenil
tumbuh pada keadaan menempel di kolektor. Lebih lanjut Miyazaki et al. (2010)
menambahkan bahwa pada usia 31 hari, permukaan luar cangkang ditutupi oleh
lapisan kalsit prismatik dan pada tahap ini larva tersuspensi dalam air dengan silia
yang melekat pada mantel. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata ukuran Anterior-
fisiologis dan metabolik, serta denaturasi protein dan enzim, sehingga cadangan
49
energi dialokasikan untuk bertahan hidup daripada untuk pertumbuhan. Hal serupa
juga disampaikan oleh Hamzah (2016) bahwa daya reaksi enzim protease dan
sebesar 71,7%, sementara siasanya sebesar 28,7% adalah dipengaruh oleh faktor
lain. Hal berbeda disampaikan oleh Cataldo et al. (2005) bahwa suhu mungkin tidak
atau perkembangan organisme dari sigot sampai dewasa, ternyata pada suhu dan
Parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian ini meliputi salinitas dan
maupun kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima) hingga mencapai
fase spat. Menurut Southgate dan Lucas (2008) bahwa pengaruh kondisi lingkungan
yang diperoleh dari awal hingga akhir penelitian yaitu berkisar antara 32-34 ppt.
Salinitas yang diperoleh masih dalam kisaran salinitas optimum dalam mendukung
pemeliharaan larva kerang mutiara (P. maxima) hingga mencapai spat (Taylor et
al., 2004; Southgate dan Lucas, 2008; Winanto dkk., 2009). Hal serupa juga
disampaikan oleh Awaludin dkk. (2013) bahwa pada kerang mutiara (P. maxima)
salinitas 34ppt dan 31ppt menghasilkan tingkat penetasan telur yang tinggi dan
hidup maupun metabolisme larva kerang mutiara. Lebih lanjut O’Connor dan
imbricata terlihat memproduksi byssus meskipun tidak bertahan pada salinitas ini
Kisaran derajat keasaman (pH) yang diperoleh pada penelitian ini yaitu 8,11–
8,35 dan masih dalam kisaran yang layak dalam pemeliharaan larva kerang mutiara
(P. maxima). Hal ini didukung oleh pendapat Matsui (1960) dalam Winanto (2009)
bahwa pH air yang layak untuk kehidupan kerang mutiara P. maxima berkisar
antara 7,8-8,6. Lebih lanjut Areekijseree et al. (2004) menyatakan bahwa kisaran
pH dan suhu yang optimum pada perairan berperan penting dalam proses
pencernaan makanan. Selain itu, pada pH netral menunjukan kondisi yang paling
cocok untuk aktivitas enzim amilase. Menurut Welladsen et al. (2010) bahwa
terputusnya struktur kalsium karbonat pada beberapa spesies biota laut. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa kalsifikasi pada cangkang kerang mutiara P. fucata pada pH 7,8
dan pH 7,6 selama 28 hari menunjukan persentasi masing-masing yaitu 25,9% dan
26,8% serta menunjukan persentase nilai yang lebih rendah dari perlakuan kontrol
yaitu pH 8,1-8,2. Akan tetapi pada perlakuan tersebut tidak menunjukan penurunan
A. Kesimpulan
B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan yaitu sebaiknya suhu yang digunakan pada
pemeliharaan larva kerang mutiara (Pinctada maxima) yaitu suhu 28oC±0,5. Selain
itu, bagi kajian serupa kedepannya sebaiknya dilakukan uji pembesaran di Laut
kerang mutiara.
52
53
DAFTAR PUSTAKA
Acarli, S., and Lok, A. 2009. Larvae Development Stages of the European Flat
Oyster (Ostrea edulis). The Israeli Journal of Aquaculture - Bamidgeh,
61(2): 114-120.
Areekijseree, M., Engkagul, A., Kovitvadhi, U., Thongpan, A., Mingmuang, M.,
Pakkong, P., and Rungruangsak-Torrissen, K. 2004. Temperature and pH
Characteristics of Amylase and Proteinase of Adult Freshwater Pearl
Mussel, Hyriopsis (Hyriopsis) bialatus Simpson 1900. Aquaculture, 234:
575-587.
Awaluddin, M., Yuniarti, S.L., dan Mukhlis, A. 2013. Tingkat Penetasan Telur
dan Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (Pinctada maxima) pada
Salinitas yang Berbeda. Jurnal Kelautan, 6(2): 142-149.
Bhujel, R.C. 2008. Statistics for Aquaculture. Wiley-Blackwell, 376p.
Cáceres-Puig, J.I., Abasolo-Pacheco, F., Mazón-Suastegui, J.M., Maeda-Martínez,
A.N., and Saucedo, P.E. 2007. Effect of Temperature on Growth and
Survival of Crassostrea corteziensis Spat During Late-Nursery Culturing at
The Hatchery. Aquaculture, 272: 417-422.
Cataldo, D., Boltovskoy, D., Hermosa, J.L., and Canzi, C. 2005. Temperature-
Dependent Rates of Larval Development in Limnoperna fortunei (Bivalvia:
Mytilidae). J. Moll. Stud., 71(1): 41-46.
Chavez-Villalba, J., Soyez, C., Aurentz, H., and Le Moullac, G. 2013.
Physiological Responses of Female and Male Black-Lip Pearl Oysters
(Pinctada margaritifera) to Different Temperatures and Concentrations of
Food. Aquatic Living Resources, 26: 263-271.
Cunha, R.L., Blanc, F., Bonhomme, F., and Arnaud-Haond, S. 2011. Evolutionary
Patterns in Pearl Oysters of the Genus Pinctada (Bivalvia: Pteriidae). Mar
Biotechnol, 13: 181-192.
Dame, R.F. 2012. Ecology of Marine Bivalves An Ecosystem Approach Second
Edition. Taylor & Francis Group, LLC. 274p.
Dhivya, R.S., and Lipton, A.P. 2015. Physiological Responses of Perna. Sp.
(Various Size, 20 to 50mm) Towards Alternations in Marine Temperature.
International Journal of Fisheries and Aquatic Studies, 2(6): 416-419.
Doroudi, M.S., and Southgate, P.C. 2003. Embryonic and Larval Development of
Pinctada margaritifera (Linnaeus, 1758). Molluscan Research, 23: 101-107.
Doroudi, M.S., Southgate, P.C., and Mayer, R.J. 1999. The Combine Effect of
Temperature and Salinity on Embryos and Larvae of the Black-Lip Pearl
Oyster, Pinctada margaritifera (L.). Aquaculture Research, 30: 271-277.
54
Dove, M.C., and O'Connor, W.A. 2007. Salinity and Temperature Tolerance of
Sydney Rock Oyster Saccostrea glomerata During Early Ontogeny. Journal
of Shellfish Research, 26(4): 939-947.
Evans, B.S., Kanuer, J., Taylor, J.J.U., and Jerry, D.R. 2007. Progress Towards a
Selective Breeding Program for Silver or Gold-Lip Pearl Oysters Pinctada
maxima in Indonesia. Aquaculture, 272. Suppl. 1 : S254.
Gardner, L.D., D. Nills, A. Wiegand, D. Leavesley, and A. Euzur. 2011. Spatial
Analysis of Biomineralization Associated Gene Expression From The
Mantle Organ of The Pearl Oyster, Pinctada maxima. BMC Genomics.
Gomez-Robles, E., Rodríguez-Jaramillo, C., and Saucedo, P.E. 2005. Digital
Image Analysis of Lipid and Protein Histochemical Markers for Measuring
Oocyte Development and Quality in Pearl Oyster Pinctada mazatlanica
(Hanley, 1856). Journal of Shellfish Research, 24(4): 1197–1202.
Gosling E. 2007. Bivalve Molluscs: Biology, Ecology and Culture. Fishing News
Books, Oxford. 443 pp.
Gosling, E. 2015. Marine Bivalve Molluscs Second Edition. Wiley Blackwell,
537pp.
Hamzah, M.S. 2007. Pengaruh Warna Jaring Sebagai Spat Kolektor Terhadap
Daya Tempel Larva Kerang Mabe (Pteria penguin) di Teluk Kapontori,
Pulau Buton–Sulawesi Tenggara. Prosiding Seminar Nasional Kelautan III.
Dalam: Taufiqurrohman, M., Prayogi, U., Giman., dan Winarno, A. (eds.).
Pembangunan Kelautan Berbasis IPTEK dalam Rangka Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat Pesisir. 80-86hal.
Hamzah, M.S. 2008a. Kelangsungan Hidup dan Perkembangan Larva Kerang
Mutiara (Pinctada maxima) dengan Pemberian Jenis Pakan Alami yang
Berbeda. Dalam: Hardianto et al. (eds.). Prosiding Seminar Nasional
Kelautan IV. Universitas Hangtuah, Surabaya. Hal.:179-183.
Hamzah, M.S. 2008b. Pengaruh Level Kedalaman Terhadap Daya Tempel Larva
Kerang Mabe (Pteria penguin) dengan Jaring Sebagai Kolektor Spat di
Teluk Kapontori, Pulau Buton-Sulawesi Tenggara. Dalam: Prosiding
Seminar Nasional Moluska dalam penelitian, konservasi dan ekonomi.
BRKP DKP RI bekerja sama dengan Jur. Ilmu Kelautan, FPIK Undip,
Semarang. Hal.:134-141.
Hamzah, M.S. 2009. Studi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Anakan
Kerang Mutiara (Pinctada maxima) dengan Menggunakan Keranjang Tento
pada Kedalaman yang Berbeda di Teluk Kodek, Lombok barat. Dalam:
Mutiara et al. (eds.). Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan ISOI 2008,
Bandung. Hal: 232-239.
Hamzah, M.S. 2010. Standarisasi Padat Tebar Dalam Upaya Menekan Tingkat
Mortalitas Anakan Kerang Mabe (Pteria penguin) Dengan Rakit. Ilmu
Kelautan, 2 (Edisi Khusus): 338-344.
55
Miyazaki, Y., Nishida, T., Aoki, A., and Samata, T. 2010. Expression of Genes
Responsible for Biomineralization of Pinctada fucata During Development.
Comparative Biochemistry and Physiology, Part B: 241–248.
Nair, M.R., and Appukuttan, K.K. 2003. Effect of Temperature on the
Development, Growth, Survival and Settlement of Green Mussel Perna
viridis (Linnaeus, 1758). Aquaculture Research, 34: 1037-1045.
Narita, T., T. Kamamoto, K. Isowa, H. Aoki, M. Hayashi, H. Ohta., and A.
Komaru, 2008. Effects of Cryopreservation on Sperm Structure in Japanese
Pearl Oyster Pinctada fucata martensii. Japense Society of
Fisheries Science, 78: 1069-1074.
O'Connor., and Lawler, N.F. 2004. Salinity and Temperature Tolerance of
Embryos and Juveniles of The Pearl Oyster, Pinctada imbricata Roding.
Aquaculture, 229: 493-506.
Parker, L.M., Ross, P.M., and O'Connor, W.A. 2010. Comparing the Effect of
Elevated pCO2 and Temperature on the Fertilization and Early Development
of Two Species of Oysters. Mar. Biol., 157: 2435-2452.
Patty, S.I. 2013. Distribusi Suhu, Salinitas dan Oksigen Terlarut di Perairan
Kema, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax, 1(3): 148-157.
Ponis, E., Probert, I., Veron, B., Le Coz, J.R., Mathieu, M., and Robert, R. 2006.
Nutritional Value of Six Pavlovaceae for Crassostrea gigas and Pecten
maximus Larvae. Aquaculture, 254: 544-553.
Rajagopal, S., Gaag, V.D., Velde, V.D., and Jenner, H.A. 2005. Upper
Temperature Tolerances of Exotic Brackish-Water Mussel, Mytilopsis
leucophaeata (Conrad): An Experimental Study. Marine Environmental
Research, 60: 512-530.
Saucedo, P.E., Ocampo, L., Monteforte, M., and Bervera, H. 2004. Effect of
Temperature on Oxygen Consumption and Ammonia Excretion in the
Calafia Mother-of-Pearl Oyster, Pinctada mazatlanica (Hanley, 1856).
Aquaculture, 229: 377-387.
Simanjuntak, M. 2012. Kualitas Air Laut Ditinjau dari Spek Zat Hara, Oksigen
Terlarut dan pH di Perairan Banggai, Sulawesi Tengah. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis, 4(2):290-303.
Southgate, P.C., and Lucas, J.S. 2008. The Pearl Oyster. Elsevier, Amsterdam.
542p.
Su, Z.X., Huang, L., Yan, Y., and Li, H.X. 2007. The Effect of Different Substrate
on Pearl Oyster, Pinctada martensii (Dunker) Larvae Settlement.
Aquaculture, 271: 377-383.
Supii, A.I. 2007. Uji Coba Pembenihan Kerang Mutiara (Pinctada maxima) pada
Hatchery Skala Rumah Tangga/Backyard (HSRT). Dalam: Prosiding
Seminar Nasional Kelautan III, Univ. Hang Tuah. Muh Taufiqurrohman,
Urip Prayogi, Giman dan A. Winarno (eds.). Pembangunan Kelautan
58
4.1. Analisis Ragam Pengaruh Suhu Terhadap Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara
(P. maxima)
4.2. Uji Duncan Pengaruh Suhu Terhadap Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (P.
maxima)
5.1. Analisis Ragam Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan Mutlak Kerang Mutiara (P.
maxima)
5.2. Uji Duncan Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan Mutlak Kerang Mutiara (P.
maxima)
6.1. Analisis Ragam Pengaruh Suhu Terhadap Laju Pertumbuhan Spesifik Dorsal-Ventral
Larva Kerang Mutiara (P. maxima)
6.2. Uji Duncan Pengaruh Suhu Terhadap Laju Pertumbuhan Spesifik Dorsal-Ventral
Larva Kerang Mutiara (P. maxima)
7.1. Analisis Ragam Pengaruh Suhu Terhadap Laju Pertumbuhan Spesifik Anterior-
Posterior Larva Kerang Mutiara (P. maxima)
7.2. Uji Duncan Pengaruh Suhu Terhadap Laju Pertumbuhan Spesifik Anterior-Posterior
Larva Kerang Mutiara (P. maxima)
Between-Subjects Factors
Value Label N
Suhu 1 Kontrol 3
2 A 3
3 B 3
4 C 3
67
5 D 3
Descriptive Statistics
A 3.9867 .57327 3
B 8.0033 .15695 3
C 5.2467 1.81131 3
D 3.9800 .52915 3
A 5.1400 .04583 3
B 5.7133 .04163 3
C 5.5433 .23029 3
D 5.2100 .11000 3
Multivariate Testsa
b. Exact statistic
c. The statistic is an upper bound on F that yields a lower bound on the significance level.
Type III
Sum of Mean
Source Dependent Variable Squares df Square
Corrected Tingkat
44.224a 4 11.056
Model Kelangsungan Hidup
LPS Anterior-
.823d 4 .206
Posterior
Intercept Tingkat
495.823 1 495.823
Kelangsungan Hidup
Pertumbuhan Mutlak 23063603.2 23063603.2
1
02 02
LPS Dorsal-Ventral 405.912 1 405.912
LPS Anterior-
429.445 1 429.445
Posterior
Perlakuan Tingkat
44.224 4 11.056
Kelangsungan Hidup
Pertumbuhan Mutlak 417467.902 4 104366.976
LPS Dorsal-Ventral .504 4 .126
LPS Anterior-
.823 4 .206
Posterior
Error Tingkat
7.908 10 .791
Kelangsungan Hidup
Pertumbuhan Mutlak 67112.346 10 6711.235
LPS Dorsal-Ventral .074 10 .007
LPS Anterior-
.151 10 .015
Posterior
Total Tingkat
547.955 15
Kelangsungan Hidup
Pertumbuhan Mutlak 23548183.4
15
50
LPS Dorsal-Ventral 406.490 15
69
LPS Anterior-
430.419 15
Posterior
Corrected Tingkat
52.133 14
Total Kelangsungan Hidup
LPS Anterior-
.974 14
Posterior
Pertumbuhan Mutlak
LPS Dorsal-Ventral
LPS Anterior-Posterior
Transformed Variable
Tingkat
Kelangsungan Pertumbuhan LPS Dorsal- LPS Anterior-
Dependent Variable Hidup Mutlak Ventral Posterior
Tingkat Kelangsungan
1 0 0 0
Hidup
Pertumbuhan Mutlak 0 1 0 0
LPS Dorsal-Ventral 0 0 1 0
LPS Anterior-Posterior 0 0 0 1
Tingkat
Kelangsungan Pertumbuhan LPS Dorsal- LPS Anterior-
Dependent Variable Hidup Mutlak Ventral Posterior
Tingkat Kelangsungan
1 0 0 0
Hidup
Pertumbuhan Mutlak 0 1 0 0
LPS Dorsal-Ventral 0 0 1 0
LPS Anterior-Posterior 0 0 0 1
Estimates
Dependent Variable Suhu Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound
Subset
Suhu N 1 2
D 3 3.9800
A 3 3.9867
C 3 5.2467
Kontrol 3 7.5300
B 3 8.0033
Sig. .126 .529
Subset
Suhu N 1 2 3
A 3 1031.3067
D 3 1072.4000
Kontrol 3 1258.2133
C 3 1379.7067 1379.7067
B 3 1458.3200
Sig. .553 .099 .267
Subset
Suhu N 1 2 3
D 3 4.9100
A 3 5.1167
Kontrol 3 5.2467
C 3 5.2733
B 3 5.4633
Sig. 1.000 .059 1.000
LPS Anterior-Posterior
Duncana,b
Subset
Suhu N 1 2
A 3 5.1400
Kontrol 3 5.1467
D 3 5.2100
C 3 5.5433
B 3 5.7133
Sig. .521 .121
Descriptives
Notes
Descriptive Statistics
Mencampur Pakan
Pemberian Pakan
Pengukuran Salinitas
Pengukuran pH Air
81
Spat