Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Pragmatik merupakan salah satu disiplin ilmu bahasa yang


memfokuskan kajiannya pada makna yang dikaitkan dengan konteks. Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Nababan, bahwa pragmatik merupakan kajian
dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan
pengertian. Lebih jauh, Parker, sebagaimana dikutip oleh Putu Wijaya
menjelaskan bahwa pragmatik merupakan disiplin ilmu yang mengkaji makna
yang dikaitkan dengan konteks dan yang tidak tercakup dalam teori semantik.
Di antara kajian pragmatik yang masih relevan untuk dikaji adalah kajian
tindak tutur (speech arts) atau tindak berbahasa. Dalam hal ini, karena bahasa
mempunyai fungsi yang lebih khusus sesuai dengan keinginan penutur itu
sendiri, termasuk di dalamnya kajian bahasa Al-Qur’an yang bersifat tekstual.
Leech menjelaskan, bahwa tindak berbahasa yang bersifat tekstual memiliki
seperangkat prinsip. Prinsip-prinsip tersebut adalah (1) prinsip prosibilatas,
(2) prinsip kejelasan, (3) prinsip ekonomi, dan (4) prinsip ekspresivitas.

Bahasa al-Qur’an atau yang sering disebut dengan bahasa agama,


memiliki karakteristik dan keistimewaan tersendiri di-banding dengan
bahasa-bahasa yang lain, baik dari struktur maupun dari makna (eksplisit dan
implisit) yang terkandung di dalamnya. Al-Qur’an, Meskipun secara bentuk
ungkapan sudah dianggap selesai, akan tetapi masih bersifat terbuka terhadap
interpretasi beragam yang sesuai dengan konteks. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan munculnya karya-karya yang terkait dengan Al-Qur’an,
seperti tafsir Al-Qur’an, Asbabu al Nuzul, Ma’ani al Fadz Al-Qur’an, I’rabu
Al-Qur’an, dan sejenisnya.

Wacana pragmatik, khususnya yang terkait dengan tindak berbahasa


banyak muncul di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Di antara wacana tersebut
adalah wacana imperatif, yaitu ungkapan perintah untuk memancing responsi
yang berupa tindakan, dan juga sebagai ucapan yang isinya memerintah,
memaksa, menyuruh, mengajak, meminta agar orang yang diperintah itu
melakukan apa yang dimaksudkan.

Makna, dalam proses berkomunikasi baik lisan maupun tulis


merupakan sesuatu yang sangat esensial untuk memperoleh pemahaman antar
pelaku komunikasi. Kajian tentang makna perlu dilakukan karena selain dapat
menumbuhkan proses berfikir kritis, makna merupakan fenomena yang
menjembatani antara linguistik, psikologi, filsafat, dan antropologi.

Fenomena pragmatis di dalam Al-Qur’an yang memfokuskan pada


kajian tindak tutur imperatif ini dikhususkan pada salah satu surah, yakni
surah al-Nur. Ayat-ayat yang terdapat dalam surah ini termasuk ke dalam
ayat-ayat ahkam, yakni ayat-ayat yang berbicara ketetapan hukum dan
tuntutan yang sesuai. Di antaranya adalah hukuman bagi pelaku zina, tuduhan
penyelewengan dan tuntutan hukumnya, etika bertamu, dan tuntutan yang
berkaitan dengan kebutuhan hidup duniawi dan ukhrawi.

B. Rumusan masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apa yang di maksud dengan tindak tutur?


2. Bagaimana gambaran singkat tentang surat an-nur ?
3. Bagaimana bentuk-bentuk penanda tindak tutur imperatif dan maksud
tindak tutur imperatif yang terdapat dalam terjemahan al-Qur’an surat
an-nur?
C. Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini ialah :

1. Untuk mengetahui definisi tindak tutur


2. Untuk mengetahui gambaran singkat tentang surat An-nur
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk penanda tindak tutur imperatif dan
maksud tindak tutur imperatif yang terdapat pada surat an-nur
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tindak tutur

Tindak tutur atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan


yang sangat penting dalam pragmatik karenanya adalah satuan analisisnya.
Uraian berikut memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis tindak tutur.
Menurut pendapat Austin (dikutif Chaer dan Leonie Agustina, 1995:68-69)
merumuskan adanya tiga jenis tindak tutur, yaitu tindak lokusi, tindak
ilokusi, dan tindak perlokusi.

1. Tindak tutur lokusi atau apa yang dikatakan (locutionary act)


adalah tindak tutur yang untuk menyatakan sesuatu. Misal; kakinya
dua, pohon punya daun. Tindak tutur yang dilakukan oleh penutur
berkaitan dengan perbuatan dalam hubungannya tentang sesuatu
dengan mengatakan sesuatu (an act of saying something), seperti
memutuskan, mendoakan, merestui dan menuntut.
2. Tindak tutur ilokusi (illocutionary act) yaitu, tindak tutur yang
didepinisikan tidak tutur ilokusi sebagi sebuah tuturan selain
berfungsi untuk mengatakan atau mengimformasikan sesuatu dapat
juga digunakan untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, tindak
tutur yang dilakukan oleh penutur berkaitan dengan perbuatan
hubungan dengan menyatakan sesuatu. Tindak tutur ilokusi
berkaitana dengan nilai yang ada dalam proposisinya. Contoh,
“Saya tidak dapat datang”. Kalimat ini oleh seseorang kepada
temannya yang baru melaksanakan resepsi pernikahan anaknya,
tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi juga
melakukan sesuatu yakni meminta maaf karena tidak datang.
3. Tindak tutur perlokusi: Austin, Searle, perbuatan yang dilakukan
dengan mengujarkan sesuatu, membuat orang lain percaya akan
sesuatu dengan mendesak orang lain untuk berbuat sesuatu, dll.
atau mempengaruhi orang lain (perlocutionary speech act).

Tiga kalimat tersebut masing-masing memiliki daya pengaruh yaitu


menakut-nakuti, mendorong, dan melegakan (Rustono, 1999).

Sehubungan dengan pengertian tindak tutur di atas, tindak tutur


digolongkan menjadi lima jenis oleh Searle (Rohmadi, 2004:32; Rustono,
1999: 39). Kelima jenis itu adalah tindak tutur representatif, direktif,
ekspresif, komisif, dan deklarasi. Berikut penjelasan kelimanya.

B. Surat An-nur

Surah al-Nur merupakan surah madaniyah, yakni ayat-ayatnya turun


setelah nabi Muhammad saw. berhijrah ke Madinah. Nama al-Nur dikenal
sejak zaman nabi saw. diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. berpesan:
“Ajarkan surah al-Nur kepada keluarga kamu”. Sementara riwayat lain
menyatakan bahwa surah ini merupakan surah yang ke seratus dalam
perurutan surah Al-Qur’an yang turun. Namun, ia tidak turun sekaligus.
Kisah kebohongan dan isu negatif yang dilontarkan kepada istri Nabi
Muhammad saw., Aisyah ra., yang diuraikan pada ayat 11-26 pada surah ini
turun beberapa saat setelah terjadinya perang bani al Musthalaq yang terjadi
tahun IV Hijrah. Sedang, uraian tentang hukum Allah ter-hadap yang
menuduh istrinya berzina (ayat 4-10) turun jauh setelah itu, yakni pada bulan
Sya’ban tahun IX, yakni setelah perang Tabuk.

Sayyid Quthub sebagaimana dikuti oleh Quraish Shihab menulis


bahwa surah ini adalah surah al-Nur. Kata nur ( ) atau cahaya itu dikaitkan
dengan Allah: “Allah adalah cahaya langit dan bumi”. Nur juga disebut
melalui dampak dan manifestasinya dalam hati dan jiwa, yaitu yang tercermin
dampaknya pada etika dan akhlak yang menjadi dasar uraian surah ini.
Akhlak tersebut berkaitan dengan jiwa pribadi demi pribadi, dikaitkan dengan
cahaya alam raya, cahaya jiwa dan terangnya hati, serta ketulusan nurani,
yang semuanya bersumber dari cahaya Allah yang menerangi jagad raya.
Surah al-Nur terdiri dari 64 ayat. Dari ke 64 ayat tersebut, M. Quraish
Shihab membagi ke dalam enam (6) kelompok. Kelompok pertama (ayat 1-
10) berbicara mengenai ketetapan hukum yang bersifat pasti, di antaranya
adalah hukum zina, baik yang dilakukan oleh gadis atau jejaka, maupun yang
dilakukan oleh mereka yang telah berkeluarga. Kelompok kedua, yakni ayat
11-26 berisi ancaman terhadap mereka yang menuduh berbuat zina, baik itu
tuduhan yang ditujukan kepada istri Nabi Muhammad saw., atau tuduhan
terhadap wanita-wanita yang suci.

Selanjutnya, kelompok ketiga, yakni ayat 27-34 menjelaskan etika


kunjung-mengunjungi yang merupakan bagian dari tuntunan illahi yang
berkaitan dengan pergaulan sesama manusia. Seperti apa yang diuraikan pada
awal uraian, surah ini mengandung sekian banyak ketetapan hukum-hukum
dan tuntutan-tuntutan yang

sesuai, antara lain dengan pergaulan antarmanusia –pria dan wanita.


Kelompok keempat, yakni ayat 35-46 menjelaskan keterkaitannya dengan
ayat-ayat sebelumnya, yang menjelaskan bahwa Allah menurunkan ayat-ayat
yang demikian jelas serta menjelaskan segala tuntunan yang berkaitan dengan
kebutuhan hidup duniawi dan ukhrawi manusia. Ayat ini seakan-akan
berkata: diturunkannya oleh Allah ayat-ayat yang berfungsi seperti
dikemukakan itu disebabkan karena Allah adalah Pemberi cahaya kepada
langit dan bumi, baik cahaya yang bersifat material yang dapat dilihat mata
kepala, maupun immaterial berupa cahaya kebenaran, keimanan,
pengetahuan, dan lain-lain yang dirasakan oleh mata hati.

Kelompok kelima, yakni ayat 47-57 menjelaskan akan kemunafikan,


yaitu mereka yang menolak ayat-ayat itu dengan hati dan lidah mereka yang
senantiasa berkata: kami telah beriman kepada Allah Yang Maha Esa, yakni:
hati kami telah kami kukuhkan untuk menerima agama yang diturunkan Allah
dan kami pun telah beriman kepada Rasulullah Muhammad saw. Di akhir
kelompok ayat ini Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan
beramal saleh untuk menjadi penguasa di muka bumi. Adapun kelompok
keenam, yakni ayat 58-64 berbicara tentang tuntunan-tuntunan yang
dikemukakan pada awal surah ini, khususnya yang berkaitan dengan sopan
santun pergaulan.

Singkatnya, Muhammad Ali Asshobuni menjelaskan bahwa surah al-


Nur ini merupakan salah satu surah madainah yang sarat akan hukum-hukum
syariat dan permasalahan yang terkait dengan etika. Di antara hukum-hukum
atau ketetapan yang pasti adalah terkait dengan ketetapan hukum bagi pelaku
zina ( ), hukum qadaf ( ), dan hukum li’an ( ). Di
samping itu, surah ini juga mengandung beberapa etika bermasyarakat yang
harus dijadikan pedoman bagi setiap mukmin dan mukminat dalam
menunaikan kehidupannya baik secara khusus maupun umum. Di antaranya
adalah etika izin ketika mamasuki rumah, menahan pandangan, menjaga
kemaluan, etika bergaul antara laki-laki dan perempuan, dan segala sesuatu
yang seharusnya dipedomani oleh keluarga muslim.

C. Imperatif dalam surah An-nur


1. Ini adalah satu surat yang kami turunkan dan kami wajibkan
(menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya) dan kami turunkan di
dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatnya. (An-Nur
24:1)

Kalimat di atas termasuk ke dalam kalimat imperatif halus yang mana


allah SWT, menurunkan surat an-nur yang mengandung hukum-hukum
syariat didalamnya, dan kita sebagai manusia di wajibkan melaksanakan
hukum-hukum tersebut dan juga dapat mengambil pelajaran dari padanya.

2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang
yang beriman. (An-Nur 24:2)

Imperatif pada ayat diatas adalah implikatur larangan, yang mana allah
SWT melarang kita untuk berbelas kasih kepada penzina sehingga kita
tidak menjalnkan hukuman yang telah di tetapkan oleh allah SWT.

3. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang


berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mukmin. (An-Nur 24:3)
Imperatif di atas juga merupakan implikatur larangan, dengan di tandai
kata tidak. Makna dari kata di atas adalah larangan bagi seorang muslim
untuk menikahi perempuan yang telah berzina karena derajatnya sama
dengan orang musrik, begitupun sebaliknya.
4. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-
orang yang fasik. (An-Nur 24:4)
Imperatif yang terdapat pada ayat ini adalah implikatur intransitif yaitu
pada kalimat’deralah mereka’ yang mana allah SWT memerintahkan
kepada kita untuk menghukum bagi siapa saja yang menuduh seseorang
yang berbuat zina sedangkan ia tidak bisa menghadirkan saksimata, ini di
maksudkan agar tidak terjadinya fitnah terutama yang di tujukan kepada
perempuan baik-baik.
5. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-
langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan,
maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang
keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan
rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu
bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya,
tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (An-Nur 24:21)
Imperatif pada ayat ini adalah larangan yang mana kita sebagai anusia
jangan sapai mengikuti langkah-langkah syaitan, karena pasti akan
menjerumuskan kita kepada keburukan atau perbuatan-perbuatan keji dan
mungkar.

Anda mungkin juga menyukai