Anda di halaman 1dari 4

NAMA : Hasyifa Tazkiya Rani

KELAS : 18 ips 10

Setiap Muslim Wajib Mempelajari Agama

Salah satu fenomena yang cukup memprihatinkan pada zaman kita saat ini adalah
rendahnya semangat dan motivasi untuk menuntut ilmu agama. Ilmu agama seakan
menjadi suatu hal yang remeh dan terpinggirkan bagi mayoritas kaum muslimin.
Berbeda halnya dengan semangat untuk mencari ilmu dunia. Seseorang bisa jadi
mengorbankan apa saja untuk meraihnya. Kita begitu bersabar menempuh pendidikan
mulai dari awal di sekolah dasar hingga puncaknya di perguruan tinggi demi mencari
pekerjaan dan penghidupan yang layak. Mayoritas umur, waktu dan harta kita,
dihabiskan untuk menuntut ilmu dunia di bangku sekolah. Bagi yang menuntut ilmu
sampai ke luar negeri, mereka mengorbankan segala-galanya demi meraih ilmu dunia:
jauh dari keluarga, jauh dari kampung halaman, dan sebagainya. Lalu, bagaimana
dengan ilmu agama? Terlintas dalam benak kita untuk serius mempelajarinya pun
mungkin tidak. Apalagi sampai mengorbankan waktu, harta dan tenaga untuk
meraihnya. Tulisan ini kami maksudkan untuk mengingatkan diri kami pribadi dan para
pembaca bahwa menuntut ilmu agama adalah kewajiban yang melekat atas setiap diri
kita, apa pun latar belakang profesi dan pekerjaan kita.

Kewajiban Menuntut Ilmu Agama

Sebagian di antara kita mungkin menganggap bahwa hukum menuntut ilmu agama
sekedar sunnah saja, yang diberi pahala bagi yang melakukannya dan tidak berdosa
bagi siapa saja yang meninggalkannya. Padahal, terdapat beberapa kondisi di mana
hukum menuntut ilmu agama adalah wajib atas setiap muslim (fardhu ‘ain) sehingga
berdosalah setiap orang yang meninggalkannya. Sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

َ ٌ‫ب ا ْل ِع ْل ِم فَ ِريضَة‬
ْ ‫علَى ك ُِل ُم‬
‫س ِلم‬ َ
ُ َ‫ط ل‬

”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh
Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224)
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan
bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebagian
orang muslim saja. Lalu, “ilmu” apakah yang dimaksud dalam hadits ini? Penting untuk
diketahui bahwa ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an atau As-Sunnah, maka ilmu
yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama), termasuk kata “ilmu” yang terdapat
dalam hadits di atas.

Dari penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah di atas, jelaslah bawa ketika hanya disebutkan
kata “ilmu” saja, maka yang dimaksud adalah ilmu syar’i. Oleh karena itu, merupakan
sebuah kesalahan sebagian orang yang membawakan dalil-dalil tentang kewajiban dan
keutamaan menuntut ilmu dari Al Qur’an dan As-Sunnah, namun yang mereka maksud
adalah untuk memotivasi belajar ilmu duniawi. Meskipun demikian, bukan berarti kita
mengingkari manfaat belajar ilmu duniawi. Karena hukum mempelajari ilmu duniawi
itu tergantung pada tujuannya. Apabila digunakan dalam kebaikan, maka baik. Dan
apabila digunakan dalam kejelekan, maka jelek.

Ilmu Apa Saja yang Wajib Kita Pelajari?

Setelah kita mengetahui bahwa hukum menuntut ilmu agama adalah wajib, maka
apakah kita wajib mempelajari semua cabang ilmu dalam agama? Tidaklah demikian.
Kita tidak diwajibkan untuk mempelajari semua cabang dalam ilmu agama, seperti
ilmu jarh wa ta’dil sehingga kita mengetahui mana riwayat hadits yang bisa diterima
dan mana yang tidak. Demikian pula, kita tidak diwajibkan untuk mempelajari rincian
setiap pendapat dan perselisihan ulama di bidang ilmu fiqh. Meskipun bisa jadi ilmu
semacam itu wajib dipelajari sebagian orang (fardhu kifayah), yaitu para ulama yang
Allah Ta’ala berikan kemampuan dan kecerdasan untuk mempelajarinya demi menjaga
kemurnian agama.

Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah di atas, kita “hanya”
wajib mempelajari sebagian dari ilmu agama, yaitu ilmu yang berkaitan dengan ibadah
dan muamalah, sehingga kita dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan benar. Kita
juga wajib mempelajari ilmu tentang aqidah dan tauhid, sehingga kita menjadi seorang
muslim yang beraqidah dan mentauhidkan Allah Ta’ala dengan benar dan selamat dari
hal-hal yang merusak aqidah kita atau bahkan membatalkan keislaman kita.
Ibnul Qoyyim rahimahullah telah menjelaskan ilmu apa saja yang wajib dipelajari oleh
setiap muslim. Artinya, tidak boleh ada seorang muslim pun yang tidak
mempelajarinya. Ilmu tersebut di antaranya:

Pertama, ilmu tentang pokok-pokok keimanan, yaitu keimanan kepada Allah Ta’ala,
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.

Ke dua, ilmu tentang syariat-syariat Islam. Di antara yang wajib adalah ilmu tentang
hal-hal yang khusus dilakukan sebagai seorang hamba seperti ilmu tentang wudhu,
shalat, puasa, haji, zakat. Kita wajib untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan
ibadah-ibadah tersebut, misalnya tentang syarat, rukun dan pembatalnya.

Ke tiga, ilmu tentang lima hal yang diharamkan yang disepakati oleh para Rasul dan
syariat sebelumnya. Kelima hal ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala yang artinya:

“Katakanlah,’Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak


maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan
yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui’”. (QS. Al-A’raf [7]: 33)

Kelima hal ini adalah haram atas setiap orang pada setiap keadaan. Maka wajib bagi
kita untuk mempelajari larangan-larangan Allah Ta’ala, seperti haramnya zina, riba,
minum khamr, dan sebagainya, sehingga kita tidak melanggar larangan-larangan
tersebut karena kebodohan kita.

Ke empat, ilmu yang berkaitan dengan interaksi yang terjadi antara seseorang dengan
orang lain secara khusus (misalnya istri, anak, dan keluarga dekatnya) atau dengan
orang lain secara umum. Ilmu yang wajib menurut jenis yang ke empat ini berbeda-
beda sesuai dengan perbedaan keadaan dan kedudukan seseorang. Misalnya, seorang
pedagang wajib mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan perdagangan atau
transaksi jual-beli. Ilmu yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan masing-masing. (Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/156)

Dari penjelasan Ibnul Qoyyim rahimahullah di atas, jelaslah bahwa apa pun latar
belakang pekerjaan dan profesi kita, wajib bagi kita untuk mempelajari ilmu-ilmu
tersebut di atas. Menuntut ilmu agama tidak hanya diwajibkan kepada ustadz atau
ulama. Demikian pula kewajiban berdakwah dan memberikan nasihat kepada kebaikan,
tidak hanya dikhususkan bagi para ustadz atau para da’i.
Terahir, jangan sampai kita menjadi orang yang sangat pandai tentang seluk-beluk ilmu
dunia dengan segala permasalahannya, namun lalai terhadap ilmu agama. Hendaknya
kita merenungkan firman Allah Ta’ala, yng artinya:

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedangkan mereka
lalai tentang (kehidupan) akhirat”. (QS. Ar-Ruum [30]: 7)

Anda mungkin juga menyukai