Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. DEFINISI
The International Association for the study the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
sebagai berikut nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan. Berdasarkan definisi tersebut nyeri
merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek emosional dan psikologis). Sedangkan
nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit atau akibat fungsi
otot atau visceral yang terganggu. Nyeri tipe inii berkaitan dengan stress neuroendokrin yang
sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umunya
mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan.
Klasifikasi nyeri berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri di bagi :

1. Nyeri somatic luar (nyeri yang stimulasinya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan
membrane mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti tebakar, jatam dan teralokalisasi.
2. Neri somatic dalam (nyeri tumpul (dullness) dan tidak teralokalisasi dengan baik akibat
rangsangan pada otot rangka, tulang, sendo, jaringan ikat.
3. Nyeri viseral : nyeri karena perangsangan organ viseral atau membrane yang menutupinya
(pleura parietalis, pericardium, peritoneum). Nyeri tipe ini di bagi lagi menjadi nyeri viseral
teralokasi dan nyeri pariental teralokasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih pariental.

Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis yaitu: 2
Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya nyeri
Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler, kontinyu)
Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
Aksis V : etiologi nyeri

Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:


a. Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik secara
langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari
jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
b. Nyeri neurogenic
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada system saraf
perifer. Halini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada
serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas dan
seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya sara tidak enak pada
perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi
secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan
sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri kronik.
Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik
konvensional.
c. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri
akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:


1. Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini ditandai dengan
adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan
midriasis dan perubahan wajah, menyeringai atau menangis
Bentuk nyeri akut dapat berupa:
a. Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa
b. Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat
c. Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral
2. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda2 aktivitas otonom kecuali
serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah
penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap
sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh :
a. kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
b. non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll

Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:


1. Nyeri onkologik
2. Nyeri non onkologik

Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:


1. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari dan
menjelang tidur.
2. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang bila
penderita tidur.
3. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur dan
sering terjaga akibat nyeri.

B. FAKTOR RESIKO
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Lingkungan
4. Keadaan umum
5. Endorphin
6. Situasional
7. Status emosi
C. Patofisioligi Nyeri
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti pembedahan akan
menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik
yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. akan terjadi pelepasan beberapa jenis
mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit
eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat menimbulkan efek melalui
mekanisme spesifik.
Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan
nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti suatu proses nosisepsi
yaitu:
1. Tranduksi
Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-
ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin,
leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan
atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-
ujung bebas serat-serat afferent A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai
dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf
afferent A delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi
meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara
zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
2. Transmisi
Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang menyusul
proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral,
yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis. Serat aferent A-delta dan C
yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat
A-delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta
menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5
m/dtk). Sel-sel neuron di medulla spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi
nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi
oleh serat aferent A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di
kornua antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua anterior
medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan menimbulkan
peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek yang dapat
ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua anterior medulla spinalis
akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala
akibatnya.
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan input
nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-
delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medulla spinalis tidak semuanya
diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi
antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun
sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk
lebih dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem
inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks,
termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensibel nyeri.

D. PENENTUAN DIAGNOSIS
1. Tes darah
2. X-ray
3. CT Scan
4. Ultrasound
5. Electromyography
6. Vas (Visual analog skel)

E. TUJUAN PENGOBATAN
Tujuan penatalaksanaan nyeri adalah menghilangkan rasa nyeri yang menyebabkan perasaan
tidak nyaman pada pasien agar bias menjalani aktivitas secara normal dan mencapai kualitas idup
yang baik.
BAB II
KASUS

A. KASUS I
ET. adalah seorang wanita berusia 36 tahun yang sedang pulih dari operasi perbaikan fraktur
tibia kiri setelah kecelakaan motor kendaraan. Ia dinyatakan sehat, tanpa kondisi medis
lainnya. Riwayat pengobatannya mengungkapkan tidak ada alergi obat atau riwayat
penggunaan narkoba, dan sesekali penggunaan ibuprofen oral 400 mgsetiap 6 jam sesuai
kebutuhan untuk kram menstruasi. Pasca operasi, E.T. menerima acetaminophen 325 mg
dengan kodein 30 mg, dua tablet oral setiap 3 jam untuk nyeri; Namun, rejimen analgesik ini
adalah tidak memadai untuk mengendalikan rasa sakitnya. Setelah banyak keluhan,
pengobatan analgesik E.T diganti dengan dua tablet hidrokodon 5 mg dengan asetaminofen
500 mg setiap 4 jam. Meskipun ada perubahan ini, E.T. terus mengeluh sakit. Tanda-tanda
vital menunjukkan hal-hal berikut: laju pernapasan, 24 napas / menit; denyut jantung, 110
detak / menit; tekanan darah (BP), 140/85 mmHg. Dia menilai intensitas rasa sakitnya sebagai
8 pada skala 10 poin.

B. ANALISIS KASUS

1. Subyektif (S)
Nama Pasien : E.T
Umur : 36 Tahun
Riwayat Penyakit Pasien :-
Riwayat Penyakit Keluarga : -
Riwayat Pengobatan Pasien : tidak ada alergi obat atau riwayat penggunaan narkoba,
ibuprofen 400 mg setiap 6 jam sesuai kebutuhan kram menstruasi
Riwayat Sosial :-
Riwayat Alergi :-
Keluhan Pasien : mengeluhkan rasa nyeri

2. Obyektif (O)
Usia : 36 tahun
Berat badan :-
Tinggi badan :-
BMI :-
Laju pernapasan : 24 napas/menit
Denyut jantung :110 detak/menit
TD : 140/85 mmHg
3. Assesment (A)
ET. adalah seorang wanita berusia 36 tahun yang sedang pulih dari operasi perbaikan fraktur
tibia kiri setelah motor kecelakaan kendaraan

4. Planning (P)
Rekomendasi terapi farmakologi:
 Morfin 5mg-30mg tiap 3-4 jam
 Acetaminophen 325 mg tiap 4 jam sebagai terapi adjuvant

Rekomendasi terapi non farmakologi :

 Meditasi dzikir, dapat mengurangi rasa sakit karena merangsang keluarnya hormon beta
endorphin dari dalam tubuh sebagai morphin alami
 istirahat
 fisioterapi
 terapi bioelektrik
 mengurangi stress

C. MONITORING
1. Memonitoring skala nyeri
2. Memonitoring tekanan darah
3. Memonitoring kepatuhan pasien dalam meminum obat

D. KIE
Komunikasi:
 Menghindari faktor-faktor yang memperburuk nyeri
 Menjelaskan penggunaan obat minum
 Menjelaskan efek samping morfin
Informasi :
 Pada pasien dengan nyeri berat, jika merasakan nyeri diperhatikan jangan menunda
pemberian analgesic karena dapat mempengaruhi kondisi psikologis pasien.
 Morfin adalah obat lini pertama untuk pengobatan nyeri berat
Edukasi
 Penggunaan morfin sesuai dengan aturan pakai, untuk mencegah ketergantungan
terhadap obat morfin
BAB IV
KESIMPULAN

ET. adalah seorang wanita berusia 36 tahun yang sedang pulih dari operasi perbaikan fraktur
tibia kiri setelah kecelakaan motor kendaraan. Ia dinyatakan sehat, tanpa kondisi medis lainnya.
Riwayat pengobatannya mengungkapkan tidak ada alergi obat atau riwayat penggunaan narkoba, dan
sesekali penggunaan ibuprofen oral 400 mgsetiap 6 jam sesuai kebutuhan untuk kram menstruasi.
Pasca operasi, E.T. menerima acetaminophen 325 mg dengan kodein 30 mg, dua tablet oral setiap 3
jam untuk nyeri; Namun, rejimen analgesik ini adalah tidak memadai untuk mengendalikan rasa
sakitnya. Setelah banyak keluhan, pengobatan analgesik E.T diganti dengan dua tablet hidrokodon 5
mg dengan asetaminofen 500 mg setiap 4 jam. Meskipun ada perubahan ini, E.T. terus mengeluh
sakit. Tanda-tanda vital menunjukkan hal-hal berikut: laju pernapasan, 24 napas / menit; denyut
jantung, 110 detak / menit; tekanan darah (BP), 140/85 mmHg. Dia menilai intensitas rasa sakitnya
sebagai 8 pada skala 10 poin.
Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.
Terapi yang diberikan pada E.T ada dua yaitu terapi farmakologi dan non farmakologi . terapi
farmakologi yang diberikan adalah morfin 5mg tiap 4 jam dan acetaminophen 325 mg sebagai terapi
adjuvant, karena nyeri pada pasien E,T termasuk pada skala 8 yaitu nyeri berat. Sedangkan untuk
terapi non farmakologinya akupuntur .
Efek samping dari morfin sendiri adalah adiksi (ketergantungan) jika diberikan dalam dosis
tinggi sehingga dalam penggunaan obat harus diawasi dan dosisnyanya harus disesuaikan dengan
kondisi pasien.
1. Apa penilaian anda terhadap nyeri ET dan apa tujuan analgesia yang masuk akal untuk ET?
Menurut kami nyeri yang dialami oleh pasien ET termasuk dalam sekala nyeri berat, analgesic
yang diberikan pada pasien ET adalah golongan opioit (morfin)

2. Apakah pilihan acetaminophen dengan hydrocodone sesuai untuk ET?


Tidak, karena acetaminophen dan hydrocodone termasuk dalam terapi nyeri stage 2 yaitu
nyeri sedang, sehingga efek terapi yang ditimbulkan kurang efektif

3. Apa efek samping dari morfin yang harus dipantau pada ET?
Efek samping yang harus dipantau dalam penggunaan morfin adalah adiksi atau
ketergantungan

4. Apa tindakan pencegahan yang harus dipertimbangkan?


Jawab : Nyeri dapat terjadi akibat trauma ataupun akibat pembedahan. Nyeri yang diakibatka
dari pembedahan biasanya membuat pasien merasa sangat kesakitan. Pembedahan merupakan
suatu kekerasan dan trauma bagi penderita, sedangkan anesthesia dapat menyebabkan
kelainan yang dapat menimbulkan berbagai keluhan gejala. Kelainan harus di diagnosis agar
atas dasar penyebab dan patologinya dapat dilakukan pengobatan. Keluhan dan gejala yang
sering dikemukakan adalah nyeri, demam, takikardi, batuk dan/atau sesak nafas, kolaps dan
memburuknya keadaan umum, mual dan / atau muntah, serta gangguan penyembuhan luka
operasi (Jong, 2002). Nyeri pasca operasi mungkin sekali disebabkan oleh luka operasi,
tetapi kemungkinan sebab lain harus dipertimbangkan. Sebaiknya pencegahan nyeri sebelum
operasi direncanakan agar penderita tidak terganggu oleh nyeri setelah pembedahan. Cara
pencegahan tergantung pada penyebab dan letak nyeri dan keadaan penderitanya
(Sjamsuhidajat, 2002).

5. Jika E.T. memiliki riwayat asma, apakah NSAID aman untuk digunakan?
Jawab: NSAID yaang aman adalah asam mefenamat karena asam mefenamat berkerja
menghambat pembentukan rasanyeri, namum pada penyakit asma dapat dilihat dahulu
terjadinya kapan memungkinkan asmanya kambuh penggunaan obat harus dihentikan

6. Bisa parenteral ketorolac (Toradol) diberikan kepada E.T. bukannya morfin?


Jawab: penetral keterolak (toradol) merupaka obat golongan NSAID yang dapat mengobati
nyeri ringan sampai berat, keterolak juga mempunyai efek analgesik yang sama seperti
morfin, namun pada keterolak meberikan efeknya terapinya lebihlama dibandingkan morfin,
keuntungan dari keterolak sendiri adalah tidak menimbulkan ngantuk, sedangkan morfin
dapat menimbulkan rasa ngantuk
Pertanyaan pada saat diskusi

a. Imas estiningsih : alasan menggunakan terapi tunggal saja ?


Firda Jihan : karena menurut referensi dari iso farmakoterapi jilid 1, buku
farmakoterapi system saraf pusat dan buku obat-obat penting. Karena nyeri yang dialami
pasien pada skala 8(berat) sehingga kami memberikan morfin sebagai pilihan pertama.
Tetapi sebaiknya pada terapi nyeri berat morfin ditambahkan acetaminophen 325mg tiap
4 jam sebagai terapi adjuvant

b. Husnatun nisa : mediasi dzikir itu seperti apa ? dan bioelektrik itu seperti apa ?
Firda Jihan : mediasi dzikir seperti pada umumnya orang berdzikir. Karena dengan
berdzikir membuat pikiran pasien menjadi tenang dan juga dapat menghilangkan stress.
Karena pada kasus ini pasien harus menghilangkan factor penyebab stress. Apabila pasien
selalu memikirkan peyakit yang diderita meskipun sudah di terapi dengan obat tidak akan
sembuh jika dalam diri pasien tidak ada keyakinan atau dorongan untuk sembuh.
Sedangkan terapi bioelektrik menggunakaan stimulasi elektrik local.

c. Geby ariskha : gaya hidupp sehat apa yang harus diterapkan kepada pasien, selain
olahraga ?
Firda Jihan : gaya hidup ehat yang diterapkan yaitu makanan seperti sayur-
sayuran, buah-buahan yang banyak mengandung vitamin serta olahraga yang teratur dan
support dari keluarga juga diperlukan untuk proses kesembuhan pasien.
Daftar Pustaka

R, N., L, S., & M, A. (2016). Kombinasi Edukasi Nyeri dan Meditasi Dzikir Meningkatkan Adaptasi Nyeri
Pasien Pasca Operasi Fraktur. Yoyakarta: MuhamMadiyah Journal Of Nursing.

Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. A., & Kusnandar. (2013). Iso
Farmakoterapi. Jakarta Barat: ISFI Penerbitan.

Tjay, T. H., & Rahardja, K. (2015). Obat-Obat Penting. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Wati, Z. I. (2014). Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat. Yogyakarta: Bursa Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai