09
PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI :
SUDAH TERLAMBATKAH?
Setia Asyanti
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
setia_asyanti@yahoo.com
Abstraksi. Berbagai artikel ilmiah maupun populer mengenai pendidikan karakter telah banyak beredar.
Masyarakat makin menyadari pentingnya pendidikan karakter setelah mencermati berbagai peristiwa beruntun
di Indonesia yang menggambarkan perilaku anak, remaja, orang dewasa dari rakyat biasa, aparatur negara,
bahkan elit politik yang dianggap menciderai nilai–nilai luhur. Pendidikan budi pekerti mulai dilirik kembali
untuk diterapkan pada pendidikan tingkat TK hingga SMA. Tujuannya adalah menciptakan generasi muda yang
berkarakter unggul sehingga kehidupan bangsa ini menjadi lebih baik. Dilain pihak, pembahasan dan
implementasi pembentukan karakter mahasiswa di perguruan tinggi masih minim, meskipun keberhasilan
pendidikan karakter di pendidikan sebelumnya belum menampakkan hasil yang signifikan. Perguruan tinggi
masih sangat menekankan pada muatan ilmiah yaitu penguasaan ilmu sebagai jawaban atas kebutuhan pasar
kerja. Hal ini nampak pada isi silabus tiap mata kuliah yang ada. Tak heran jika lulusan perguruan tinggi
mampu menguasai bidangnya namun kurang memiliki karakter yang unggul. Sementara itu, masyarakat
menganggap bahwa mengirimkan anaknya ke perguruan tinggi secara otomatis akan memperbaiki perilaku
anaknya. Tulisan ini akan membahas tentang hal-hal yang bisa dilakukan perguruan tinggi untuk membantu
membentuk karakter unggul pada mahasiswanya.
284
Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi : Sudah Terlambatkah? 285
Asyanti, S (hal. 284-291)
masyarakat mencermati berbagai peristiwa mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
beruntun yang menggambarkan perilaku anak, dan menjadi warga negara yang demokratis
remaja, orang dewasa dari rakyat biasa, serta bertanggung jawab. Dalam kaitannya
aparatur negara, bahkan elit politik yang dengan perguruan tinggi, Peraturan
dianggap menciderai nilai–nilai luhur. Sebagai Pemerintah no 17 tahun 2010 pasal 84 ayat 2,
contoh adanya kecurangan dalam ujian akhir menyebutkan bahwa perguruan tinggi
nasional, tawuran antar pelajar atau memiliki tujuan membentuk insan yang
mahasiswa, vidio mesum, penyalahgunaan beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
narkotika di kalangan remaja maupun Maha Esa, berakhlak mulia, dan
eksekutif muda, perdagangan wanita dan anak, berkepribadian luhur, sehat, berilmu dan
korupsi oleh aparatur negara sampai dengan cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya
perilaku wakil rakyat dalam sidang DPR yang diri, dan berjiwa wirausaha, serta toleran, peka
tidak bisa dijadikan panutan. Meskipun tidak sosial dan lingkungan, demokrtis dan
memungkiri masih banyak yang berperilaku bertanggung jawab.
terpuji, namun berbagai peristiwa yang tidak Berdasarkan UU Sisdiknas tahun 2003 dan
menggambarkan karakter unggul ini makin PP no 17 tahun 2010 diatas, nampak jelas
menguatkan kesadaran pentingnya bahwa pemerintah Indonesia memberikan
mengimplementasikan pendidikan karakter ini dukungan secara konkrit pada pendidikan
secara formal dalam dunia pendidikan. karakter ini. Mengingat keberhasilan institusi
Secara khusus, Pemerintah Indonesia pendidikan terletak tidak saja pada penguasaan
melalui kebijakan nasional pembangunan ilmu pengetahuan namun juga pada
karakter bangsa, menekankan perlunya pembentukan karakter yang baik pada anak
pendidikan karakter bagi bangsa dengan didiknya, maka tanggungjawab pembentukan
beberapa alasan adanya (1) disorientasi dan karakter baik ini terletak tidak hanya pada
belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila; (2) tingkat pendidikan sekolah dasar dan
keterbatasan perangkat kebijakan terpadu menengah namun juga perguruan tinggi.
dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; (3) Meskipun demikian, yang selama ini terjadi
bergesernya nilai etika dalam kehidupan adalah penerapan pendidikan karakter
berbangsa dan bernegara; (4) memudarnya dominan dilakukan pada pendidikan dikedua
kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; level sebelumnya, dan belum pada level
ancaman disintegrasi bangsa; dan (5) perguruan tinggi. Hal ini nampak dari
melemahnya kemandirian bangsa (Buku Induk sedikitnya artikel ilmiah yang membahas
Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter tenteng pembentukan karakter di perguruan
Bangsa 2010-2025, dalam Siswanto 2011). tinggi di Indonesia.
Melalui UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional ditegaskan komitmen Implementasi pendidikan karakter
tentang pendidikan karakter sebagaimana Implementasi pendidikan karakter di
termuat dalam rumusan fungsi dan tujuan berbagai sekolah pun nampaknya menemui
pendidikan nasional. Pendidikan nasional tantangan tersendiri karena muatan kurikulum
berfungsi mengembangkan kemampuan dan di Indonesia yang sangat menekankan pada
membentuk watak serta peradaban bangsa aspek kognitif. Hal ini disebabkan oleh kriteria
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kelulusan dalam ujian sekolah maupun ujian
kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk nasional yang menekankan pada nilai
berkembangnya potensi peserta didik agar penguasaan ilmu secara kognitif selama ini,
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa mau tidak mau menjadikan pendidik lebih
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak fokus pada upaya mendorong siswa menguasai
pelajaran dan kurang memberi porsi pada Tolak ukur keberhasilan pendidikan
pembentukan karakter baik yang menjadi karakter
amanat UU sisdiknas. Pendidik memandang Pendidikan karakter bukan sekedar
nilai lebih utama untuk dicapai, sedangkan mengajarkan mana yang benar dan mana yang
karakter yang baik itu meskipun dianggap salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter
penting dalam kehidupan tidak mendapatkan menanamkan kebiasaan (habituation) tentang
porsi seimbang. Masalah karakter, lebih hal mana yang baik sehingga peserta didik
diserahkan pada orangtua, sebagai pendidik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang
utama di keluarga, sementara orangtua benar dan salah, mampu merasakan (afektif)
mengharapkan guru ikut mendidik anak- nilai yang baik dan biasa melakukannya
anaknya menjadi lebih baik. Kondisi ini jika (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan
diibaratkan seperti gayung tak bersambut. karakter yang baik harus melibatkan bukan
Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri saja aspek “pengetahuan yang baik (moral
bahwa sebagian sekolah telah berupaya untuk knowing), akan tetapi juga “merasakan dengan
mengimplementasikan pembentukan karakter, baik atau loving good (moral feeling), dan
hanya saja selama ini upaya tersebut belum perilaku yang baik (moral action). Pendidikan
menjadi upaya yang komprehensif dan integral karakter menekankan pada habit atau
dari level pendidikan dasar, menengah dan kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan
tinggi. Masing-masing sekolah nampaknya dan dilakukan (Lickona, dalam Siswanto
masih memilih karakter tersendiri yang 2011).
dianggap penting untuk dikembangkan dan Keberhasilan pendidikan karakter akan
belum ada pengelompokan karakter apa saja memiliki dampak jangka pendek dan jangka
yang akan dikembangkan pada tingkat panjang. Dalan jangka pendek, Ellias (2010)
pendidikan dasar, menengah dan tinggi secara menyatatakan melalui pengembangkan
berkelanjutan. Kondisi ini terjadi karena karakter moral, sekolah dapat menciptakan
pemerintah Indonesia melalui kementrian lingkungan belajar yang aman, mencegah
pendidikan nasionalnya memang memberikan bullying dan viktimisasi oleh teman sebaya,
kebebasan pada institusi sekolah memilih menurunkan problem disiplin, mengurangi
karakter yang akan dikembangkan berdasarkan ketidakjujuran, mendukung pengembangan
kondisi masing-masing sekolah. Ke 18 nilai etika, dan menghasilkan warga negara yang
yang bisa dikembangkan di sekolah menurut baik. Sedangkan dalam jangka panjang, Bier
Kementrian Pendidikan Nasional bersumber dan Berkowitz (2005) menyebutkan penerapan
dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan karakter dengan serius dan
pendidikan nasional. Nilai-nilai tersebut berkualitas akan membentuk generasi yang
adalah (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) memiliki etika, bertanggung jawab dan
Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) menjadi warga negara yang baik.
Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, Keberhasilan pendidikan karakter di
(10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Indonesia belum terukur secara objektif. Studi
Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) komprehensif dari tingkat pendidikan dasar
Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, hingga perguruan tinggi dan meliputi seluruh
(15) Gemar Membaca, (16) Peduli wilayah Indonesia belum penulis dapatkan.
Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18) Yang menjadi pertanyaan adalah apakah
Tanggung Jawab (Puskur. Pengembangan pendidikan karakter ini bisa diukur
dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: keberhasilannya? Melinda dan Berkowitz
Pedoman Sekolah. 2009:9-10). (2005) menelaah 78 artikel ilmiah yang
merepresentasikan 39 program/ metode
pendidikan karakter yang disebut efektif dan mendukung pembelajaran akademis dan
menyimpulkan bahwa mengukur keberhasillan pencapaian prestasi.
pendidikan karakter itu tidak mudah, namun i. Pendekatan strategi yang beragam,
yang bisa disimpulkan adalah program artinya jarang sekali program yang
pendidikan karakter bisa berjalan dengan berhasil hanya mengandalkan 1 strategi.
sukses. Berikut ini beberapa komponen yang Dari 33 program yang efektif ini semua
menentukan kesuksesan program pendidikan menggunakan lebih dari 7 komponen
karakter, antara lain : strategi.
a. Pengembangan profesional. Semua Selain itu, Melinda dan Berkowitz (2005)
program yang efektif telah menjadi satu mengungkapkan beberapa kondisi di sekolah
bagian yang tidak terpisahkan dari yang bersifat non kurikulum yang mendukung
struktur pengalaman latihan profesional keberhasilan implementasi pendidikan
yang terus menerus berlangsung selama karakter yaitu : 1) budaya kampus dan
penerapan pendidikan karakter. praktik-praktik interpersonal yang menjamin
b. Interaksi kelompok sebaya baik dikelas bahwa mahasiswa diperlakukan dengan
maupun dalam kelompok kecil misalnya perhatian dan hormat. 2) Dosen, staf menjadi
engan bermain peran atau cooperative model karakter yang baik bagi mahasiswa,
learning. menghidupkan nilai-nilai dalam interaksi
c. Direct teaching atau instruksi langsung keseharian dengan mahasiswa, 3) memberikan
tentang karakter. kesempatan pada mahasiswa memiliki
d. Skill training. Program yang dibentuk otonomi dan pengaruh dalam pengelolaan
adalah mendukung dan bahkan perguruan tinggi seperti memberikan wadah
mengajarkan secara langsung untuk menampung aspirasi mahasiswa, 4)
ketrampilan sosial-emosional, seperti memberikan kesempatan mahasiswa untuk
ketrampilan interpersonal-intrapersonal. reflesi, berdebat maupun berkolaborasi
e. Explisit agenda. Lebih dari separuh mencari pemecahan masalah isu-isu moral, 5)
program yang efektif menyatakan sharing visi dan sense of collectivity and
fokusnya secara eksplisit tentang responsibility, 6) social skill training artinya
moralitas, nilai-nilai, nilai kebenaran dan kampus menyelenggarakan pelatihan bagi
etik yang akan dicapai. mahasiswa yang tujuannya agar mahasiswa
f. Family and community involvement, dapat melakuan penyesuaian jangka panjang
dapat ditempuh dengan mengirimkan dengan memperkuat ketrampilan pemecahan
newsletter ke komunitas sehingga masalah interpersonal, 7) memberi kesempatan
komunitas dapat menerapkan inisiatif lebih pada mahasiswa untuk berpartisipasi
pendidikan karakter ini. dalam dalam kegiatan pelayanan masyarakat
g. Ketersediaan model yang akan menjadi oleh kampus yang bisa menaikkan perilaku
contoh baik model kelompok sebaya moral.
maupun dewasa dan ketersediaan mentor
dalam membentuk karakter. Pendidikan karakter di perguruan tinggi :
h. Integrasi pendidikan karakter ke dalam masihkah diperlukan ?
kurikulum. Hampir setengah program Perguruan tinggi, menurut Flexner (dalam
yang efektif mengintegrasikan Syukri 2009) merupakan tempat pencarian
pendidikan karakter dengan kurikulum ilmu pengetahuan, pemecahan berbagai
dan hasil yang mencengangkan adalah masalah, tempat mengkritisi karya-karya yang
pendidikan karakter benar-benar dihasilkan, dan sebagai pusat pelatihan
manusia. Senada dengan Flexner, Syukri
(2009) menyatakan dunia perguruan tinggi melepaskan diri dari agama atau idiologi
merupakan tempat menyemai, mendidik dan tertentu.
melatih mahasiswa agar menjadi mahasiswa Keengganan perguruan tinggi di barat
yang memiliki daya nalar tinggi, analisis tajam seperti Inggris dan Amerika Serikat, mengurus
dan luas. Sayangnya perguruan tinggi kurang masalah moral antara lain karena masalah
memberikan porsi pada pembentukan karakter moral merupakan wilayah pribadi dan mereka
mahasiswa. Bahkan Arthur (dalam Syukri, dipengaruhi oleh idiologi liberal yang telah
2009) menyatakan jika perguruan tinggi menjadi gaya hidup. Selain itu, ada empat
menjanjikan pembentukan dan pengembangan alasan perguruan tinggi, khususnya di Inggris
karakter mahasiswa seperti yang terjadi di yang tidak menaruh perhatian pada
Inggris, semua itu hanya retorika institusi pembentukan moral mahasisiwa : 1) takut
universitas modern. Sementara itu, menurut dengan tuntutan berbagai macam karakter dan
Syukri (2009) masyarakat Indonesia masih perilaku mahasiswa untuk mendapatkan
menaruh harapan pada perguruan tinggi pembinaan, 2) menjalankan pendidikan sesuai
sebagai tempat latihan dan pendidikan putra dengan kebijakan politik pemerintah, 3)
putrinya menjadi kaum intelektual yang mahasiswa diarahkan menjadi warga negara
memiliki ilmu tinggi dan perilaku terpuji. yang demokratis, 4) perguruan tinggi
Ironisnya tak ada perguruan tinggi yang mengembangkan karakter sesuai dengan
menjamin lulusannya memiliki moral etika tuntutan pasar dan jaringan (Arthur, dalam
yang baik. Syukri 2009).
Disisi lain, misi perguruan tinggi adalah Uraian diatas menggambarkan bahwa
pengajaran, penelitian dan aplikasi ilmu meskipun pendidikan karakter di perguruan
pengetahuan (Arthur, dalam Syukri 2009), tinggi bisa melengkapi puzzle karakter yang
sehingga secara eksplisit pembentukan belum terbentuk pada tingkatan pendidikan
karakter dianggap bukan merupakan tugas sebelumnya, namun hal tersebut tidak akan
perguruan tinggi. Oleh karena itu berjalan dengan mudah. Schwartz (2000) juga
implementasi pendidikan karakter di menyatakan hanya ada relatif sedikit institusi,
perguruan tinggi akan menemui tantangan biasanya institusi kecil yang berafiliasi agama
tersendiri. Schwartz (2000) menyatakan atau berjuang untuk menginspirasi, yang
beberapa hal yang menyebabkan pendidikan memiliki komitmen luas dan komprehensif
karakter di perguruan tinggi akan menemui terhadap perkembangan karakter dalam semua
kendala karena adanya pendapat yang keliru dimensi kehidupan perguruan tinggi.
yaitu : Meskipun demikian, perguruan tinggi
1. Karakter seseorang sudah terbentuk tidak boleh lepas tangan atau lepas tanggung
sebelum masuk ke perguruan tinggi dan jawab dengan alasan apapun termasuk
merupakan tanggung jawab orangtua menganggap bahwa karakter sudah terbentuk
untuk membentuk karakter anaknya. sebelum mahasiswa masuk perguruan tinggi,
2. Perguruan tinggi, khususnya dosen, merupakan tanggung jawab orangtua dan
tidak memiliki kepentingan dengan institusi pendidikan di tingkat bawahnya,
pembentukan karakter, karena mereka apalagi dengan alasan beban berat
direkrut bukan untuk melakukan hal menghasilkan lulusan sesuai tuntutan pasar.
tersebut Sebagai institusi pencetak sumber daya
3. Karakter merupakan istilah yang manusia yang akan menjadi penyokong utama
mengacu pada agama atau idiologi kualitas sumber daya manusia Indonesia,
konservatif tertentu, sementara itu perguruan tinggi memikul tanggung jawab
perguruan tinggi di barat secara umum mewujudkan amanat UU sistem pendidikan
nasional tahun 2003 dan PP no 17 tahun 2010 intelectual habits namun juga moral habits
tentang perguruan tinggi. Apalagi jika mahasiswa.
mengingat data dari Badan Perencana Perguruan tinggi memiliki pilihan dalam
Pembangunan Nasional (Bappenas) mengajarkan pembentukan karakter yaitu
mengklaim indeks pembangunan manusia dapat mengintegrasikannya secara alami
(IPM), alias kualitas sumber daya manusia dengan kurikulum standar maupun
(SDM) Indonesia pada 2011 yang masih mengajarkan beriringan dengan kurikulum
menempatkan indonesia di bawah Malaysia standar. Dibandingkan dengan menambahkan
(61), Singapura (26) dan Brunei Darussalam serangkaian pertemuan terpisah pada
(33) (neraca.co.id, 17 April 2012) dan juga kurikulum yang sesungguhnya sudah padat,
kerusakan moral bangsa ini telah membawa pilihan yang mudah adalah mengintegrasikan
perjalanan bangsa ini mencapai masyarakat dengan mata pelajaran/mata kuliah pada
madani menjadi terseok-seok. semua kelas oleh semua pendidik (Stiff-
Selain itu, jika pun pendidikan karakter William, 2010). Hal ini sesuai dengan salah
sudah ada atau dilaksanakan pada tingkat satu pilar pendidikan yang digariskan
pendidikan sebelumnya maka pendidikan UNESCO dalam memberikan rambu-rambu
karakter di perguruan tinggi akan menjadi menyusun kurikulum untuk pengembangan
pelengkap, untuk rebuild dan reshape, kepribadian mahasiswa yaitu learning to be
mengingat karakter bukanlah suatu hal yang (belajar memahami diri sendiri). Perguruan
menetap dan sama sekali tidak bisa berubah tinggi di Indonesia, menggunakan istilah
atau baik kearah yang lebih baik atau malah khusus berkaitan dengan hal tersebut yaitu
kearah kemerosotan karena pengaruh Mata Kuliah Pengembangan kepribadian
lingkungan. Selain itu, ketiadaan koordinasi (Syukri, 2009).
mengenai karakter apa yang akan dibentuk Dengan demikian jika perguruan tinggi
pada tingkat pendidikan dasar, menengah tidak menyusun program pendidikan karakter
pertama maupun menengah atas, menjadikan tersendiri namun mengintegrasikannya
kedudukan perguruan tinggi sebagai institusi kedalam kurikulum standar yang sudah ada,
pendidikan yang paling akhir untuk maka yang perlu dilakukan adalah meninjau
melengkapi puzzle karakter yang belum ada kembali muatan mata kuliah pengembangan
dan membentuk karakter menjadi “bangunan kepribadian dan mengembalikannya ke arah
moral yang sudah jadi dan kokoh” pada pembentukan karakter sesuai amanat Undang-
mahasiswa. Dengan demikian, lulusan undang Sisdiknas. Tentu saja hal ini membawa
perguruan tinggi akan menjadi manusia konsekuensi cara pengajaran yang berbeda dan
dengan kualitas ganda baik kualitas cara pemberian nilai yang berbeda, tidak lagi
profesional sesuai keilmuannya dan kualitas mengevaluasi penguasaan teori atau
moral yang tinggi, sehingga dapat berkiprah kemampuan kognitif mahasiswa namun lebih
sebagai warga negara yang baik sesuai bidang jauh mengevaluasi implementasi karakter atau
pekerjaannya. nilai-nilai luhur. Adapun bentuk evaluasi
Untuk mewujudkan pembentukan karakter maupun formula penilaiannya dapat
Schwartz (2000) menyatakan universitas, baik didiskusikan lebih lanjut dengan dosen-dosen
yang berlatarbelakang religius maupun yang sehingga kepemilikan program ini menjadi ada
sekuler, dapat menggunakan kekuatan pada seluruh civitas akademika.
kurikulumnya, khususnya efek baiknya, untuk Selain melalui mata kuliah pengembangan
membentuk pemikiran tetapi juga karakternya. kepribadian, semua dosen pada semua mata
Kurikulum ini tidak saja membentuk kuliah hendaknya menjadi figur yang
mempraktekkan pembentukan karakter ini
DAFTAR PUSTAKA