NIM : 2182111022
Soal :
1. Jelaskan pandangan masyarakat Minangkabau pada novel Siti Nurbaya karya Marah
Rusli tentang: Seorang laki-laki yang memilih mempunyai istri (berasal dari
kalangan orang biasa) hanya satu, di saat lelaki itu mempunyai banyak harta dan
berasal dari golongan
2. Deskripsikanlah bentuk kritik Marah Rusli terhadap kebiasaan masyarakat
Minangkabau tentang anak perempuan!
Jawab :
1. Membaca roman Sitti Nurbaya, menurut pemikiran penulis juga tidak terlepas dari
siapa yang mengarangnya. Hal ini penulis landaskan karena dengan melihat latar
belakang dari penulis atau pengarang sasrta serta keadaan lingkungan pada saat itu,
maka kita akan mendapat ‘bayangan’ terhadap apa yang melatar belakangi lahirnya
karya- karya tersebut serta interpretasi pembaca terhadap pesan yang ingin
disampaikannya.
Sebuah novel tidak hanya mencerminkan 'realitas' tetapi lebih dari itu memberikan
kepada kita ‘sebuah refleksirealitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan
lebih dinamik’ yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra
tidak hanya mencerminkan fenomena idividual secara tertutup melainkan lebih
merupakan sebuah 'proses yang hidup'. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai
semacam fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan
realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan
objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektif (Selden, 1991:27).
Lelaki kelahiran Padang 7 Agustus 1889 yang bernama Marah Roesli atau biasa dieja
dengan Marah Rusli secara geneologis adalah seseorang yang dilahirkan dari keluarga
terpandang yaitu keturunan seorang Demang pada masa pemerintahan kolonial
Belanda yaitu anak dari Abu Bakar Sultan Pangeran. Artinya, secara genetik Marah
Rusli merupakan anak dari seorang lekaki yang ‘hebat’ dan terpandang di Padang
(Sumatera Barat).
Dalam sebuah wawancara dengan Bapak Marah Rosmali (76) menceritakan bahwa
dalam budaya masyarakat Padang pada waktu itu, gelar Sultan adalah sebuah gelar
kebangsawanan, dimana diharapkan juga nantinya apabila melakukan perkawinan
idealnya agar status sosial tidak turun maka Si Sultan tersebut harus mengawini
seorang wanita yang terhormat pula yaitu seorang Puti (putri). Apabila itu terjadi
maka si anak keturunannya jika laki- laki akan mewarisi gelar ayahnya yang juga
Sultan dan jika anak keturunannya perempuan maka akan mewarisi gelar yang sama
yaitu sebagai Puti.
Sedangkan apabila seorang Sultan menikahi wanita biasa (tidak Puti) maka status
sosialnya akan “jatuh” dan apabila anaknya laki- laki diberi sebutan Marah, dan inilah
yang terjadi kepada Marah Rusli. Tahun 1911 Marah Rusli juga mengawini seorang
perempuan Sunda kelahiran Buitenzorg (kini Bogor). Hal inipun tentu menjadi suatu
“permasalahan” tersendiri dalam sejarah hidup Marah Rusli, tersebab perkawinan ini
dalam masyarakat Padang (Ranah Minangkabau) merupakan hal yang tabu yaitu
“lompek paga” (lompek paga atau lompat pagar dapat diartikan dengan melakukan
perkawinan di luar wilayah kampung atau luar wilayah adat Minangkabau) sehingga
perkawinan Marah Rusli tentu perkawianan yang “tidak diharapkan” oleh
keluarganya waktu itu.
“Katanya, adat Padang ini, adalah adat keibuan, dimana ibu lebih berkuasa daripada
ayah, sedangkan aku seorang ibu Melayu. Mengapa kau disuruh ke negeri Belanda
tidak dimufakatkan lebih dulu denganku, bahkan ditanya pun tidak. Tentang anakku,
hakku, diputuskan, di belakangku, tidak bersama-sama dan sepakat denganku. Di
mana letaknya kekuasaan perempuan atas anaknya, menurut adat Padang ini?” (Rusli,
2013, hlm. 53).
Dari kutipan di atas, tersirat ketidaksetujuan Marah Rusli melalui tokoh Siti Anjani
terhadap sistem matrilineal yang berlaku di Padang yang tidak memberi kekuasaan
seimbang antara ayah dan ibu. Kekuasaan seorang ibu terhadap anaknya lebih besar
daripada seorang ayah. Siti Anjani merasa hak yang dimiliki oleh seorang ibu telah
diambil alih oleh mantan suaminya. Marah Rusli melalui tokoh Siti Anjani juga
mempertanyakan peran seorang ibu Padang.