Anda di halaman 1dari 5

NAMA MAHASISWA : Rizky Wardhana

NIM : 2182111022

KELAS : Reguler B 2018

PRODI : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

MATA KULIAH : Apresiasi dan Kritik Sastra

SOAL :

1. Jelaskan konsep dasar, fokus pengkajian, dan dasar pijakan dari masing-masing
pendekatan pengkajian karya sastra yang dikemukakan oleh Abrams!
2. Uraikanlah masing-masing pandangan ahli tentang konsep pendekatan sosiologi sastra,
kemudian pilihlah/kombinasikanlah pendapat tersebut untuk Anda buatkah langkah-
langkah mengkaji karya sastra dengan pendekatan sosiologi sastra!

JAWAB :

1. Pendekatan Karya Sastra Menurut M.H Abrams

Dalam bukunya The Mirror and The Lamp (1971), Abrams mengemukakan sebuah
teori universe-nya terhadap sastra. Teori universe tersebut adalah teori yang merujuk pada
alam semesta. Dalam hal tersebut dapat kita ketahui empat hal yakni pertama ada suatu sastra
(karya seni), kedua ada pencipta (pengarang) karya itu sendiri, kemudian yang ketiga ada
semesta alam yang mendasari lahirnya karya sastra (realitas sosial), keempat ada penikmat
karya sastra (pembaca).

Berdasarkan teori itu, karya sastra dapat dipandang dari empat sudut pandang yaitu:
(a) ekspresif, (b) mimetik, (c) pragmatis dan (d) obyektif. Keempat pendekatan ini nantinya
akan saling berhubungan dengan karya sastra. Dalam uraian selanjutnya akan dibahas pula
mengenai hubungan sastra dengan pembaca dan hubungan sastra dengan pengarangnya.
Pendekatan-pendekatan yang telah disebutkan sebelumnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Pendekatan Ekpresif
Secara ekspresif karya sastra merupakan hasil pengungkapan sang pencipta karya
tentang pengalaman, pikiran, perasaan dan sejenisnya. Menurut Lewis, karya sastra bisa
didekati dengan pendekatan ekspresif yakni pendekatan yang berfokus pada diri penulis
(pengarang), imajinasinya, pandangannya, atau kespontanitasnya (1976 : 46).

Dengan kata lain, karya sastra apabila dilihat dari sisi pengarang, karya seni
merupakan karya yang kreatif dan imajiner dan dimaksudkan untuk menghadirkan
keindahan. Dalam kaitannya ini, Esten menyatakan bahwa ada dua hal yang harus dimiliki
oleh seorang pengarang, yakni: daya kreatif dan daya imajinatif. Daya kreatif adalah daya
untuk menciptakan hal-hal yang baru dan asli. Manusia penuh dengan seribu satu
kemungkinan tentang dirinya. Untuk itu, seorang pengarang berusaha memperlihatkan
kemungkinan tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia yang substil (halus) dan
bervariasi dalam karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah kemampuan
pengarang untuk membayangkan, mengkhayalkan, dan menggambarkan sesuatu atau
peristiwa. Seorang pengarang yang memiliki daya imajinatif yang tinggi bila dia mampu
memperlihatkan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan kehidupan, masalah, dan
pilihan alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan berhasil
tidaknya suatu karya sastra (1978 : 9). Jadi, pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang
didasarkan pada pengarang itu sendiri, baik kaitannya dengan pikiran, sudut pandang serta
imajinasinya terhadap karya sastra yang dibuatnya.

b. Pendekatan Mimetik

Secara mimetik dalam proses penciptaan karya sastra, sastrawan atau seniman tentu
telah melakukan pengamatan yang seksama terhadap kehidupan manusia dalam dunia nyata
lalu membuat perenungan dan pada akhirnya merealisasikannya dalam bentuk sastra.
Pandangan seperti merupakan sebuah pandangan yang merujuk pada alam semesta. Artinya
pendekatan ini menghubungan suatu relasi antara sudut pandang pengarang terhadap
lingkungan di sekelilingnya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam yang
diwujudkan dalam bentuk karya imajinatif. Perwujudan dalam bentuk karya sastra
merupakan kritikannya terhadap lingkungan (alam semesta) yang diutarakan melalui bentuk
yang berbeda. Pada akhirnya, refleksi pengarang tersebut merupakan suatu kejadian yang
nyata yang benar-benar terjadi pada saat itu.

Berbicara mengenai pandangan mimetik terhadap karya sastra, pada dasarnya tidak
dilepaskan dari pikiran Plato. Dalam dialognya Socrates, Plato mengungkapkan bahwa semua
karya seni (termasuk karya sastra) merupakan sebuah tiruan. Tiruan merupakan istilah
relasional yang menyarankan ada dua hal, yakni: yang dapat ditiru dan tiruannya dan
sejumlah hubungan antar keduanya. Meskipun teori ini akhirnya dibantah oleh Aristoteles.

c. Teori Pragmatis

Pendekatan pragmatik menurut Abrams menekankan pada tujuan seniman dan


karakter karya yang sifat dasarnya untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangan penikmatnya
(audience). Dalam kaitannya ini, Horace mengungkapkan bahwa seni harus menghibur dan
bermanfaat. Karya seni yang menghibur dan bermanfaat harus dilihat secara simultan, tidak
secara terpisah antara satu dengan yang lainnya. artinya, bagi seniman, dalam proses
penciptaan karya seni antara aspek hiburan dan kebermanfaatan harus diimbangkan. Seorang
seniman hendaknya tidak hanya menonjolkan sisi menghiburnya saja tetapi juga manfaatnya.

Seperti yang kita ketahui, di dalam karya sastra misalnya novel, mengandung nilai-
nilai moral yang dianut oleh masyarakat tertentu. Refleksi seorang pengarang terhadap norma
atau nilai tersebut dapat memberikan manfaat bagi pembacanya. Pendekatan ini tidak hanya
melalui lingkup pembaca namun juga merujuk pada realitas sosial.

d. Teori Obyektif

Pandangan terhadap karya sastra secara obyektif menyatakan bahwa karya sastra
merupakan dunia otonom, yang dapat dilepaskan dari pencipta dan lingkungan sosial-budaya
zamannya. Dalam hal ini, karya sastra dapat diamati berdasarkan strukturnya. Struktur
tersebut merupakan unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam karya sastra. Unsur intrinsik dapat
berupa perwatakan tokoh, alur, setting dan tema. Sedangkan unsur ekstrinsik dapat berupa
psikologis pengarang, keadaan lingkungan dan struktur sosial masyarakat. Pendekatan ini
lebih mengeksploitasi unsur intrinsik sebuah karya sastra (naratif).

Hubungan Sastra dengan Pembaca

Hal tersebut merupakan suatu pendekatan yang didasarkan pada pendekatan


pragmatis. Sebuah karya sastra yang baik haruslah memberikan kontribusi pada penikmatnya.
Dengan kata lain, karya sastra dan pembacanya memiliki hubungan yang erat. Setiap karya
sastra mengandung nilai-nilai atau norma yang ada di masyarakat. Sedangkan setiap pembaca
yang menikmati karya sastra itu akan mendapatkan transformasi nilai-nilai tersebut sehingga
dapat bermanfaat.
Tak hanya itu, karya sastra juga mencerminkan kebudayaan atau realitas yang terjadi
di masyarakat, sebagai karya sastra yang harus memberikan kontribusi, karya sastra disini
berfungsi sebagai pengembang kebudayaan. Sebagai penikmat karya sastra, tentunya
pembaca berperan sebagai pendukung kebudayaan. Hubungan sastra dan pembaca ini
nantinya akan dibahas lebih lanjut dalam teori resepsi, dimana teori tersebut berdasarkan
tanggapan pembaca.

Hubungan Sastra dengan Pengarangnya

Menurut teori ekspresif yang telah dijelaskan sebelumnya, hubungan sastra dengan
pengarangnya merupakan suatu relasi dimana seorang pengarang tidak hanya
mengungkapkan keindahan dalam karya sastra tetapi juga mengungkapkan bagaimana
dirinya melihat fenomena sosial. Fenomena sosial itu dapat berupa kesenjangan sosial,
penyimpangan sosial dan kondisi masyarakat. Seorang pengarang berusaha mengungkapkan
apa yang dirasakan, dipikirtan tentang suatu fenomena sosial seperti kekecawaan,
ketidaksetujuan bahkan kritikannya terhadap pemerintah.

Kaitannya dalam hal ini, karya sastra juga merupakan tempat bagi sastrawan dalam
menuangkan ide, gagasan, pemikiran, ideologi bahkan sudut pandang mereka terhadap
realitas sosial. Bahkan seorang pengarang juga menggunakan karya sastra untuk mengkritik
suatu fenomena sosial. Seorang pengarang juga bermaksud untuk menyampaikan nilai-nilai
moral di masyarakat sehingga nantinya masyarakat memperoleh manfaat dari karya sastra.

2. Pendapat para ahli, mengenai sosiologi sastra ini beranekaragam adanya. Diantarany
pendapat tersebut adalah sebagai berikut;

Wolff

Definisi sosiologi sastra adalah cabang dari disiplin ilmu sosiologi dan sastra yang terbentuk
dan terdentifikasi dengan baik antara kesenian atau kesastraan dengan hubungan masyarakat
yang ada di dalamnya.

Faruk (2010)

Pengertian sosiologi sastra adalah ilmu pengetahuan yang mampu menghubungkan antara
hasil karya manusia dengan kehidupan yang ada dalam masyarakat. Dengan menggunakan
teori dan juga metodologi yang berbeda tapi pada prinsipnya memiliki banyak kesamaan di
dalamnya.
Wellek dan Warren (1956)

Pengertian tentang sosiolgi sastra adalah pendekatan terhadap karya sastra yang mampu
mempertimbangkan dengan segi sosial, baik perubahan sosial, lembaga sosial dan lain
sebagainya. Sehingga karya tersebut mampu hidup dan dipertahankan oleh masyarakat.

Ratna (2003)

Arti sosiologi sastra adalah ilmu pengetahuan yang memberikan keterkaitan erat antara
kehidupan dalam masyarakat dengan hasil karya yang dihasilkannya. Baik berupa karya
nyata atapun karya yang tidak nyata (abstrak).

Eagleton (1983)

Pengertian sosiologi sastra adalah ilmu pengetahuan yang mampu menonjolkan tengan
hubungan manusia dengan hasil karya yang diciptakan. Sehingga karya ini sendiri mampu
diadaptasi oleh masyarakat dan bentuk yang nyata.

Jadi dapat saya tarik kesimpulan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan
untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah hubungan antara pengarang dengan
masyarakat, hasil berupa karya sastra dengan masyarakat, dan hubungan pengaruh karya
sastra terhadap pembaca. Namun dalam kajian ini hanya dibatasi dalam kajian mengenai
gambaran pengarang melalui karya sastra mengenai kondisi suatu masyarakat.

Terdapat tiga aspek yang digunakan dalam penelitian sastra menggunakan pendekatan
sosiologi sastra , yang pertama adalah konteks sosial pengarang. Kedua, adalah sastra sebagai
cermin masyarakat. Ketiga, adalah fungsi sosila sastra apakah berfungsi sebagai penghibur
saja atau sebagai perombak masyarakat, dan sejauh mana terjadi sintesis kemungkinan antara
keduanya.

Anda mungkin juga menyukai