Anda di halaman 1dari 30

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori
1. Pembelajaran Informal
Konteks sekolah sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah bahwa pendidikan
merupakan usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya sendiri, masyarakat,
bangsa, dan negara. Istilah pendidikan adalah sistem pembelajaran yang tidak
teroganisir dan merupakan pembelajaran seumur hidup. Dengan kata lain proses
pendidikan adalah proses pembelajaran.
Pendidikan formal, informal dan nonformal merupakan bagian dari
pendidikan Sepanjang Hayat (life long education). Istilah life long education
menunjuk pada suatu kenyataan, kesadaran baru, suatu azas baru dan juga suatu
harapan baru, bahwa: proses pendidikan dan kebutuhan pendidikan berlangsung di
sepanjang h
untuk belajar, sebab dia memang berlangsung dan dapat sengaja diarahkan dan
intensifkan di sepanjang hidup manusia (Faisal, 1981: 47). Ketiga jenis pendidikan
dapat dijelaskan bahwa pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang tersrtuktur
dan berjenjang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi (UU Sisdiknas tahun 2003: pasal 1). Pendidikan nonformal, adalah setiap
kegiatan pendidikan yang terorganisir dan sistematis yang diadakan di luar kerangka
sistem formal guna memberikan materi pembelajaran khusus bagi sebagian kelompok
masyarakat, baik orang dewasa maupun anak-anak (Kamil, 2009: 11). Adapun
pendidikan informal menurut Rogers adalah proses pendidikan sepanjang hayat di
mana setiap individu memperoleh dan mempelajari tingkah laku, norma-norma,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

keterampilan, pengetahuan dari pengalaman sehari-hari, dan pengaruh serta sumber-


sumber pendidikan di lingkungan sekitarnya; dari keluarga, tetangga, dari lingkungan
kerja dan lingkungan bermain. dari tempat belanja, dan dari perpustakaan serta dari
media massa (dalam Kamil, 2009: 12).
Konsep pembelajaran dalam konteks informal menurut pendapat Faisal sama
sekali tidak terdapat perjenjangan kronologis, tidak mengenal adanya kredensial
(surat mandat/keputusan), lebih merupakan hasil pengalaman belajar individual-
-aksi belajar mengajar
i pendidikan
yang terjadi akibat wajar dari fungsi keluarga, media massa, acara-acara kegamaan,
dan lain-lain (1981: 48). Sama halnya dengan pendapat Coombs mengenai konsep
pembelajaran informal di mana proses tersebut berlangsung seumur hidup, yang
dalam proses pembelajaran informal setiap orang memperoleh nilai, sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang berasal dari pengalaman hidup sehari-hari dan
pengaruh sumber-sumber pendidikan dalam lingkungan hidupnya, seperti keluarga,
teman sepermainan, tetangga, pekerjaan, perpustakaan, pasar, media massa, dan
sebagainya (dalam Abdulhak dan Suprayogi, 2012: 18).
Arti pendidikan menurut Hamalik lebih menitikberatkan pada pembentukan
dan pengembangan kepribadian, jadi mengandung pengertian yang lebih luas juga
suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas,
perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan
pembelajaran (2005: 55-57). Pendidikan menurut para antropolog adalah setiap
sistem budaya atau intruksi intelektual yang formal atau semi formal (Mahmud dan
Suntana, 2011: 113). Wiyani mendefinisikan pembelajaran sebagai sebuah proses,
cara, perbuatan yang menjadikan orang belajar. Orang yang belajar disebut pebelajar.
Belajar sendiri berarti berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, latihan, berubah
tingkah laku, atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Jadi, pada
hakikatnya pembelajaran adalah proses menjadikan orang agar mau belajar dan
mampu (kompeten) belajar melalui berbagai pengalamannya agar tingkah lakunya

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dapat berubah menjadi lebih baik lagi. Pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah
proses pembelajaran yang menunjukkan sesuatu untuk dipelajari diluar situasi yang
terencana. (Wiyani, 2013: 17-20). Dengan kata lain, pendidikan informal berperan
besar dalam pembelajaran sepanjang hayat semua orang dan memiliki kaitan sangat
-13). Berikut gambaran
mengenai persamaan antara pendidikan nonformal dan informal (Faisal, 1981: 49).
Persamaan pendidikan informal dan nonformal:
1. Kedua-keduanya terjadi terjadi di luar pendidikan formal
2. Clientele (murid) diterima tidak atas dasar credentials (seperti misalnya ijazah
dan lain sebagainya), juga tidak atas dasar usia
3. Dibanding dengan pendidikan formal, pada keduanya materi pendidikan pada
umumnya lebih banyak yang bersifat praktis
4. Dapat menggunakan metode mengajar yang sama
5. Dapat diselenggarakan atau berlangsung di dalam atau di luar sekolah
Sedangkan perbedaan antara pendidikan nonformal dan informal, yaitu:
No Pendidikan Nonformal Pendidikan Informal
1 Bisa diselenggarakan di dalam Tidak pernah secara khusus
gedung sekolah diselenggarakan di sekolah
2 Medan pendidikan yang Medan pendidikan yang bersangkutan
bersangkutan memang diadakan tidak diadakan pertama-tama dengan
bagi kepentingan penyelenggara maksud penyelenggaraan pendidikan
pendidikan
3 Pendidikan diprogram secara Pendidikan tidak diprogramkan secara
tertentu tertentu
4 Ada waktu belajar yang tertentu Tidak ada waktu belajar yang tertetu
5 Metode pengajarannya lebih formal Metode pengajarannya tidak formal
6 Ada evaluasi yang sistematis Tidak ada evaluasi yang sistematis
7 Diselenggarakan oleh pemerintah Umumnya tidak diselenggrakan
dan pihak swasta pemerintah

Tabel 2.1. Perbedaan pendidikan informal dan nonformal


(Faisal berdasarkan seminar Prof. Dr. Santoso S. Hamijoyo, 1981: 50)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pengetahuan, ketrampilan, kemandirian dan kemampuan untuk menyesuaikan diri


dan bekerjasama. Keempat pilar tersebut, merupakan pilar-pilar belajar yang harus
menjadi basis dari setiap lembaga pendidkan baik Pendidikan Formal (PF),
Pendidikan Non-Formal (PNF), dan Pendidikan Informal (PI) dalam penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran yang bertujuan pada hasil belajar aktual yang diperlukan
dalam kehidupan manusia (Anwar, 2004: 5). Tujuan awal diadakannya
sekolah/lembaga pendidikan adalah untuk membekali peserta didik dengan berbagai
aspek intelektual dan emosional yang fundamental sehingga ia cerdas, bermoral, dan
terampil (Anwar, 2004: 8). Hal ini menjelaskan bahwa pendidikan nonformal adalah
jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur
dan berjenjang. Sedangkan pendidikan informal sendiri adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan (Abdulhak dan Suprayogi, 2012: 17). Sehingga hasil dari
pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah
peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (UU No. 20 tahun
2003: pasal 27).
2. Pembelajaran Informal
Kata Cantrik berasal dari Bahasa Jawa yang berarti siswa atau santri di
padepokan (Mulyono, 2008: 50). Menjadi cantrik atau nyantrik sering dikenal dalam
masayarakat Jawa sebagai sebuah proses yang harus dilalui oleh seseorang sebelum
mereka bersiap menjadi seorang ahli (Haryono, 2013: 51). Model
merupakan salah satu jenis pembelajaran informal bersifat tradisional dengan sistem
kekeluargaan di mana proses pembelajaran tidak selalu terjadi secara vertikal atau
kepada anak-anak cucu mereka, melainkan dapat pula secara horizontal yaitu manusia
yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya, berbagai pengalaman
makhluk manusia dalam rangka kebudayaannya diteruskan dan dikomunikasikan
kepada generasi berikutnya oleh individu lain (Poerwanto, 2006: 50).
Deskripsi dalam jenis pembelajaran tradisional lainnya diartikan:
di mana seorang perempuan yang nyantrik pada seorang jogged tayub terkenal diajari

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

secara langsung mengenai njoged/menari, nembang/menyanyi, dan macak/merias


diri, manajemen pemasaran sampai dengan di antara sang santrik/murid diajak pentas
menerima tanggapan. Dalam hal ini juga terjadi pembelajaran sesama teman
seperguruan sehingga sang murid pada akhirnya mampu mandiri tanpa bantuan sang
empu -temannya (Mulyanto dalam
Rohmadi & Subiyantoro, 2009: 155). Pembelajaran secara informal juga kerap
dilakukan dengan cara-cara tradisional, seperti dongeng sebelum tidur atau dalam
cerita rakyat (folklore) yang disampaikan oleh orang tua kepada anaknya dan bisa
juga disampaikan melalui ritual-ritual keagamaan (Amin, 2010: 23).
Karakteristik model belajar dengan dari aspek rencana
kegiatan maupun sistem pelaksanaan serta model pembelajarannya cenderung tidak
selain berlangsung di
masyarakat, motivasinya cenderung dilandasi oleh motivasi sosial dari pada
komersial semata dan mengarah pada learning by doing (Wahida, 2007: 4). Karena
itu justru proses pembelajaran pada sistem tradisional ini cenderung berlangsung
seumur hidup dan tidak mengenal usia, jenis kelamin, dan status sosial maupun
tingkat pendidikan para peserta didik bahkan pula bagi pendidiknya. Ciri khas lain
yang menonjol dalam transmisi pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dalam konsep
ini adalah belajar sambil bekerja (learning by doing) yang mengarah pada
pengalaman langsung (Wahida, 2007: 7). Dalam proses pembelajaran nyantrik
terdapat peran yang sangat dominan dari Empu atau Begawan yang menjadi tokoh
idola dan tokoh sentral. Seorang cantrik akan selalu hormat, taat, dan patuh terhadap
Empu-nya selama menjalani pendidikannya. Empu atau Begawan adalah orang yang
memiliki keahlian atau kompetensi khusus yang merupakan idola dari si cantrik,
sehingga dengan kesadaran yang tinggi si Cantrik memiliki minat dan motivasi yang
sangat kuat untuk menyerap ilmu dari Empu yang diikutinya. Dengan kondisi ini,
sangatlah mudah bagi Empu untuk menanamkan berbagai jenis kompetensi kepada si
Cantrik (Haryono, 2013: 54). Seorang murid yang nyantrik pada seorang empu keris
bukan hanya sebagai pekerja, melainkan ia belajar membuat keris. Tidak sedikit di

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

antara murid kelak mempunyai keahlian melebihi empu (Mulyanto dalam Rohmadi &
Subiyantoro, 2011: 156). Hal ini ditekankan oleh Sukiman bahwa hakikat tanggung
jawab belajar berada pada diri peserta didik itu sendiri, adapun guru
bertanggungjawab untuk menciptakan sistem lingkungan yang mendorong prakarsa
dan motivasi belajar peserta didik (2012: 11).
Murid/cantrik dan guru/empu merupakan salah satu unsur penting dalam
proses pembelajaran nyantrik. Pembuat keris di Jawa di kenal dengan sebutan empu,
di Bali dikenal dengan nama pande atau wangsa pandie. Sumber-sumber seperti
prasasti dan naskah sastra banyak menyebut kelompok profesi ahli logam dengan
sebutan atau sesuai dengan bidang ilmunya masing-masing. Oleh
karena itu dikenal adanya istilah pande dalam masyarakat. Sebutan empu sendiri
didapat bilamana ia memiliki kesaktian, kepandaian, dan kemampuan batin yang
lebih dari orang kebanyakan. Sebutan empu tidak hanya untuk para ahli membuat
keris, tetapi juga diberikan kepada mereka yang mempunyai kemampuan lebih
dibidangnya (Yuwono, 2011: 58).
Interaksi pebelajar (cantrik) dan orang yang mengajari (empu) yang
berlangsung di kehidupan manusia dapat diubah menjadi interaksi yang bernilai
edukatif, yakni dengan interaksi yang sadar meletakkan tujuan untuk mengubah
tingkah laku dan perbuatan seseorang. Interaksi yang bernilai pendidikan ini dinilai

memunculkan istilah guru di satu pihak dan anak didik di lain pihak. Keduanya
berada dalam interaksi edukatif dengan posisi, tugas, dan tanggung jawab yang
berbeda, namun bersama-sama mecapai tujuan. Guru bertanggungjawab untuk
mengantarkan anak didik kearah kedewasaan susila yang cakap dengan memberikan
sejumlah ilmu pengetahuan dan membimbingnya. Sedangkan anak didik berusaha
untuk mencapai tujuan itu dengan bantuan dan pembinaan dari guru (Djamarah,
2005: 11).
Interaksi edukatif harus menggambarkan hubungan aktif dua arah dengan
sejumlah pengetahuan sebagai mediumnya, sehingga interaksi itu merupakan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

hubungan yang bermakna dan kreatif. Proses edukatif sendiri adalah suatu proses
yang mengandung sejumlah norma. Semua norma itulah yang harus guru transfer
kepada anak didik. Proses seperti ini sebagai jembatan menghidupkan persenyawaan
antara pengetahuan dan perbuatan (Djamarah, 2005: 11).

Proses
Pros

Input Tujuan Output

Isi/materi

Metode

Media

Evaluasi

Bagan 2.1. Komponen Proses Pembelajaran


(Sanjaya, 2014: 59)

Pembelajaran sebagai suatu sistem artinya suatu keseluruhan dari


komponen-komponen yang berinteraksi dan berintegrasi antara satu sama lain dan
dengan keseluruhan itu sendiri untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan sebelumnya (Hamalik, 2005: 12). Pembelajaran menurut Hamruni (2012:
11) berikut komponen di dalamnya merupakan suatu sistem instruksional yang
mengacu pada seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

mencapai tujuan. Sebagai sebuah sistem, pembelajaran meliputi komponen antara lain
tujuan, materi pembelajaran, metode, alat dan sumber, serta evaluasi. Agar tujuan itu
tercapai semua komponen yang ada harus diorganisasikan agar sesama komponen
terjadi kerjasama (Djamarah & Zain, 2006: 41).
Mulyanto menjelaskan berkenaan dengan dunia pendidikan, ruang lingkup
penilaian terletak pada semua aspek yang berkaitan dan yang terjadi dalam dunia
pendidikan. Misalnya, penilaian pendidikan di lingkungan sekolahan, apabila calon
siswa serta aspek-aspeknya yang menunjang lainnya dipandang sebagai bahan
mentah (input), sekolah sebagai tempat terjadinya pengolahan (proses), maka lulusan
siswa merupakan hasil olahan (output dan outcome). Input adalah bahan mentah dari
suatu program, seperti siswa, guru, fasilitas belajar, dan kurikulum. Proses
merupakan tempat berlangsungnya pengolahan input atau bahan mentah guna
menghasilkan suatu lulusan. Unsur-unsur dalam proses belajar mengajar ini meliputi
materi, metode, fasilitas, sistem penilaian , dan administrasi. Sedangkan output
adalah luaran, akibat dari proses yang diharapkan dari sekolah (2006: 1-2).
Tujuan adalah suatu cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan suatu
kegiatan. Dalam tujuan terdapat sejumlah nilai-nilai yang harus ditanamkan kepada
anak didik. Nilai-nilai itu nantinya akan mewarnai cara anak didik bersikap dan
berbuat dalam lingkungan sosialnya, baik di sekolah maupun di luar sekolah
(Djamarah & Zain, 2006: 42). Tujuan pembelajaran menurut Mulyanto

-nilai seni, pendidikan tradisional biasanya cenderung


berkiblat pada sang guru/kyai/empu, oleh sebab itu aspek kreativitas peserta didik
kurang berkembang secara maksimal. Namun tidak sedikit di antara murid kelak
mempunyai keahlian melebihi sang empu (dalam Rohmadi & Subiyantoro, 2011:
156). Sedangkan nyantrik sebagai pembelajaran informal secara umum bertujuan
mendapatkan sejumah hasil belajar yang menunjukkan bahwa siswa telah melakukan
perbuatan belajar, yang umumnya meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap-
sikap yang baru yang diharapkan tercapai oleh siswa (Hamalik, 2005: 13).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

Materi pembelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses


belajar mengajar. Tanpa bahan mengajar proses belajar tidak akan berjalan. Guru
yang mengajar pasti memiliki dan menguasai bahan pelajaran yang akan
disampaikannya pada anak didik. Ada dua persoalan dalam penguasaan bahan
pelajaran ini, yakni penguasaan bahan pelajaran pokok dan bahan pelajaran
pelengkap. Bahan pelajaran pokok adalah bahan pelajaran yang menyangkut bidang
studi yang pegang oleh guru sesuai dengan profesinya (disiplin keilmuannya).
Sedangkan bahan pelajaran pelengkap atau penunjang adalah bahan pelajaran yang
dapat membuka wawasan guru agar dapat menunjang penyampaian bahan pelajaran
pokok. Pemakaian bahan pelajaran penunjang ini harus disesuaikan dengan bahan
pelajaran pokok yang dipegang agar dapat memberikan motivasi kepada sebagian
besar atau semua anak didik (Djamarah & Zain, 2006: 43).
Kegiatan belajar mengajar adalah inti kegiatan pendidikan. Dalam kegiatan
belajar mengajar melibatkan semua komponen pembelajaran, kegiatan belajar akan
mennentukan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Guru
sebaiknya memperhatikan perbedaaan individual anak didik, yaitu pada aspek
biologis, intelektual, dan psikologis. Kerangka berpikir demikian dimaksudkan agar
guru mudah dalam pendekatan kepada setiap anak didik secara individual (Djamarah
& Zain, 2006: 45). Selain dari pada itu kegiatan belajarnya tidak terlepas dari
kejatidirian (authenticy) yang diperoleh melalui belajar reflektif (reflective learning)
dan berusaha membantu orang lain menjadi diri sendiri (Anwar, 2004: 93). Metode
adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun
dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal (Sanjaya,
2014: 147). Guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya apabila tidak menguasai
satu pun metode mengajar yang dirumuskan dan dikemukakan ahli psikolog dan
pendidikan. Guru tidak harus terpaku dengan menggunakan satu metode, tetapi
sebaiknya guru menggunakan metode yang bervariasi agar jalannnya pengajaran
tidak membosankan, tetap menarik perhatian anak didik. Tetapi juga penggunaan
metode yang bervariasi tidak akan menguntungkan kegiatan belajar mengajar bila

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

penggunaannya tidak tepat dan sesuai dengan kondisi psikologis anak didik.
Sehingga kompetensi guru diperlukan dalam pemilihan metode yang tepat (Djamarah
& Zain, 2006: 46). Macam-macam metode menurut Sri Anitah (2009, 85-120):
a) Metode ceramah
Adalah penuturan dan penerangan secara lisan oleh guru terhadap kelas. Alat
kemungkinan guru
menyelipkan pertanyaan-pertanyaan, akan tetapi kegiatan utama peserta didik
yang utama adalah mendengarkan dengan teliti dan mencatat pokok-pokok
penting yang dikemukakan guru. Dalam situai tertentu metode ceramah
merupakan metode yang paling baik, tetapi dalam situasi lain mungkin tidak
efisien. Grur dituntut agar bijaksana menyadari kondisi-kondisi situasi
pembelajaran yang dihadapinya.
b) Metode Tanya jawab
Metode ini mencakup pertanyaan-pertanyaan dan penyumbangan ide-ide dan
pihak peserta didik. Dengan metode ini, guru bisa mengetahui tingkat-tingkat
proses pemikiran peserta didik, guru dapat memberi kesempatan peserta didik
untuk bertanya sehingga guru mengetahui hal-hal yang belum diketahui peserta
didik, dan kelas menjadi lebih aktif karena peserta didik tidka sekedar
mendengarkan.
c) Metode diskusi
Adalah cara penyampaian bahan pelajaran yang memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk mengumpulkan pendapat, mumbeuat kesimpulan atau
menyususn berbagai alternatif pemecahan masalah.
d) Metode kerja kelompok
Dapat diartikan sebagai suatu kegiatan pembelajaran yang memandang peserta
didik dalam suatu kelas sebagai kelompok, sehingga memupuk kerjasama antar
individu dan dapat memunculkan persaingan yang sehat.
e) Metode demonstrasi dan metode eksperimen

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

Antara metode demonstrasi dan eksperimen sebenarnya berbeda, akan tetapi


dalam praktek sering dipergunakan silih berganti atau saling melengkapi. Metode
demonstrasi adalah metode mengajar yang dilakukan guru, orang luar atau
manusia sumber yang disengaja diminta atau peserta didik menunjukkan pada
kelas suatu benda aslinya, tiruan, atau suatu proses, misalnya bagaimana cara
membuat peta timbul, dan sebagainya. Sedangkan metode eksperimen adalah
metode menagajar yang melibatkan guru bersama peserta didik mencoba
mengerjakan sesuatu dan mencoba mengamati proses dan hasil percobaan itu.
Metode demonstrasi menjadi tidak efektif bila tidak dilanjutkan dengan
eksperimen karena tidak menjadikan pengalam bagi peserta didik.
f) Metode sosiodrama atau bermain peran
Yaitu metode belajar dengan cara mempertunjukkan kepada peserta didik tentang
masalah-masalah sosial, untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Maslah
hubungan tersebut didramatisasikan oleh peserta didik di bawah pimpinan guru.
g) Metode pemberian tugas
Adalah metode menagajar dengan cara guru memberikan tugas, kemudian
peserta didik harus mempertanggungjawabkan tugas tersebut. Tugas yang
diberikan guru bisa dikerjakan di rumah, perpustakaan, laboratorium atau tempat
lain yang ada hubungannya dengan tugas/pelajaran yang diberikan agar peserta
didik lebih memahami, melatih peserta didik kea rah belajar mandiri, dan dapat
memanfaatkan waktu luang untuk mengerjakan tugas.
h) Metode drill (latihan)
Merupakan cara mengajar dengan memberikan latihan berulang-ulanag terhadap
apa yang dilakukan peserta didik.
i) Metode karyawisata
Adalah gruru mengajak peserta didik ke suatu tempat atau objek tertentu untuk
mempelajari sesuatu dalam rangka suatu pelajaran di sekolah dan untuk
membantu kehidupan riil dalam lingkungan dengan segala masalahnya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

Media pembelajaran menurut Sri Anitah (2009: 124) adalah setiap orang,
bahan, alat, atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan
pebelajar menerima pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Dengan pengertian itu,
guru atau dosen, buku ajar, lingkungan adalah media pembelajaran. Setiap media
adalah sarana untuk mencapai tujuan. Di dalamnya terkandung informasi yang dapat
dikomunikasikan kepada orang lain, seperti dari buku-buku, rekaman, internet, film,
microfilm, dsb. Media terbagi menjadi tiga yaitu media audio adalah media yang isi
pesannya disampaikan dan diterima melalui indera pendengaran seperti radio,
cassette recorder, dan lain-lain, media visual adalah media yang isi pesannya
disampaikan dan diterima melalui indera penglihatan seperti foto, lukisan, gambar,
slides, dll, dan media audio-visual media yang isi pesannya disampaikan dan diterima
melalui indera pendengaran dan penglihatan. Dalam konteks ini tidak selalu
dirancang khusus untuk tujuan pembelajaran, melainkan sebagai alat dan proses
produksi yang secara kebetulan pengoperasiaannya sering digunakan sebagai saluran
informasi yang dapat mempermudah pemahaman warga belajar (murid/cantrik)
terhadap bahan ajar yang tersaji (Anwar, 136-137). Alat adalah segala sesuatu yang
dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan pengajaran, sebagai perlengkapan,
mempermudah mencapai tujuan, dan alat sebagai tujuan. Alat dapat dibagi menjadi
dua macam, yaitu alat dan alat bantu pengajaran. Alat adalah berupa suruhan,
perintah, larangan, dan sebagainya. Sedangkan alat bantu pengajaran adalah berupa
globe, papan tulis, batu tulis, batu kapur, gambar, diagram, slide, video, dan
sebagainya (Djamarah & Zain, 2006: 47). Kegiatan pembelajaran dalam nyantrik
tidak terlepas dari komponen media pembelajaran.
Sumber-sumber bahan dan belajar adalah sesuatu yang dapat dipergunakan
sebagai tempat di mana bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang.
Sumber belajar merupakan bahan/materi untuk menambah ilmu pengetahuan yang
mengandung hal-hal baru bagi si pelajar. Sebab pada hakikatnya belajar adalah untuk
mendapat hal baru (perubahan). Sumber belajar banyak terdapat di mana-mana: di
sekolah, di halaman, di pusat kota, di pedesaan, dan sebagainya. Pemanfaatan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

tersebut tergantung pada kreativitas guru, waktu, biaya, serta kebijkaan-kebijakan


lainnya (Djamarah & Zain, 2006: 48). Sumber belajar terdiri atas manusia dan non
manusia. Manusia sebagai sumber belajar seperti pembelajaran keterampilan terdiri
atas tutor (empu/tukang), warga belajar yang telah terampil, tutor sebaya, dan
pembeli. Sumber belajar non manusia terdiri atas lingkungan bengkel sendiri (tempat
yang bersangkutan bekerja) dan lingkungan bengkel orang lain. Di antara sumber
belajar tersebut, tutor memiliki tanggung jawab lebih besar dalam membantu warga
belajar memenuhi kebutuhan belajarnya. Meski demikian, tutor tidak secara monoton
menggiring warga belajar sesuka hatinya. Ia hanya terlibat dalam pembelajaran dalam
kondisi yang dianggap perlu, baik sebelum, selama, maupun setelah kegiatan bekerja
dan belajar berlangsung (Anwar, 2004: 91).
Evaluasi merupakan komponen terakhir dalam sistem proses pembelajaran.
Evaluasi bukan hanya berfungsi untuk melihat keberhasilan siswa dalam proses
pembelajaran, tetapi juga berfungsi sebagai umpan balik bagi guru atas kinerjanya
dalam pengelolaan pembelajaran. Melalui evaluasi kita dapat melihat kekurangan
dalam pemanfaatan berbagai komponen dalam sistem pembelajaran (Sanjaya, 2014:
61). Pelaksanaan evaluasi diarahkan kepada evaluasi proses dan evaluasi produk.
Evaluasi proses diarahkan untuk menilai bagaimana pelaksanaan proses belajar
mengajar yang telah dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Evaluasi produk dimaksud,
adalah suatu evaluasi yang diarahkan kepada bagaimana hasil belajar yang telah
dilakukan oleh siswa, dan bagaimana penguasaan siswa terhadap bahan/materi
pelajaran yang telah guru berikan ketika proses belajar mengajar berlangsung
(Djamarah & Zain, 2006: 51).
Secara deskriptif mengajar diartikan sebagai proses penyampaian informasi
atau pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses penyampaian itu dianggap sebagai
proses mentransfer ilmu. Proses mengajar sebagai proses menyampaikan
pengetahuan, akan lebih tepat diartikan dengan menanamkan ilmu pengetahuan atau
keterampilan (teaching is imparting knowledge and skill) (Sanjaya, 2014: 96). Sama
halnya dengan sekolah-sekolah formal, dalam pembelajaran guru/empu

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

memosisikan dirinya sebagai fasiltator yang memberikan motivasi dan bimbingan


kepada peserta didiknya agar mereka mau belajar dan membantu kesulitan-kesulitan
anak didik supaya mereka mampu belajar melalui pengalaman. Itulah sebabnya dalam
proses pembelajaran berlangsung transformasi pengetahuan (transfer of knowledges),
transformasi nilai-nilai (transfer of values), dan transformasi keterampilan-
keterampilan (transfer of skills) (Wiyani, 2013: 20).
Proses transformasi pengetahuan, nilai-nilai, dan ketrampilan-ketrampilan
juga merupakan transformasi materi dan kompetensi yang harus dimiliki peserta didik
melalui suatu proses belajar mengajar. Menurut Salim & Salim (dalam Haryono,
2013: 63) proses transformasi kompetensi dan materi yang dialami para
cantrik/pesetra didik meliputi 4 tahapan, yaitu: (1) imitasi; (2) identifikasi; (3)
internalisasi; dan (4) eksternalisasi atau aktualisasi dari apa yang telah diiimitasi,
diidentifikasi, serta diinternalisasikan dalam dirinya dalam bentuk tingkah laku.
Awal mula proses transformasi dimulai dari tingkah laku baru dikuasai atau
dipelajari mula-mula dengan mengamati dan meniru suatu model/contoh/teladan
(Slameto, 2003: 21). Proses demikian dinamakan imitasi, yaitu meniru tindakan
orang lain yang seakan-akan sama dengan yang ditiru. Pada imitasi hanya
mengadopsi atau menduplikasi satu macam aspek atau satu macam tingkah laku
sederhana dari idolanya (Haryono, 2013: 64).
Identifikasi merupakan imitasi atau meniru secara keseluruhan, yaitu
kecenderungan meniru berbagai macam sifat dan tingkah laku orang lain. Identifikasi
berbeda denga imitasi, karena imitasi hanya mengadopsi satu macam aspek atau satu
macam tingkah laku, sedangkan identifikasi mengadopsi secara keseluruhan (Wahida,
2007: 10).
Sedangkan internalisasi adalah usaha menyatukan nilai-nilai yang
ditanamkan ke dalam dirinya sebagai bagian dari pribadinya. Ada beberapa bentuk
dari internalisasi, yaitu tingkah laku yang diarahkan oleh (1) akibat yang berasal dari
dirinya sendiri; (2) kekhawatiran akibat negatif atau adanya harapan akan akibat yang
positif; (3) keinginan yang menyenangkan atau tidak mengecewakan orang lain; dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

(4) akibat yang ditanggung sendiri untuk menyimpang atau kepatuhan terhadap atran
tingkah laku. Sedangkan untuk menilai proses internalisasi sebagian melalui
pernyataan seseorang tentang pikiran maupun perasaannya, dan sebagian lagi dengan
mengetahui bagaimana seorang bertindak tanpa pengawasan dari pihak lain
(Haryono, 2013: 65). Hal-hal penting yang harus diketahui mengenai proses
internalisasi, yaitu bahwa di dalam internalisasi: (1) mempunyai komponen kognitif,
berupa pengetahuan mengenai ukuran dan cara berfikir tentang mana yang baik dan
mana yang buruk; (2) memiliki komponen afektif, yaitu ungkapan perasaan negative
mengenai kesalahan tertentu, berupa pelanggaran yang dipertentangkan dengan
perasaan khawatir terhadap akibat lain; (3) dimanifestasikan dalam bentuk tingkah
laku atau psikomotor, berupa kepatuhan yang standart dan ukurannya moral (Staub
dalam Wahida, 2007: 11). Dalam bentuk perlakuan lebih kongkrit, dari segi pendidik
kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan cara seperti: (1) memberikan contoh;
(2) mengajar didaktis (bersifat mendidik); (3) hukuman ganjaran. Segi didaktik
merupakan cara pembelajaran yang menekankan pada usaha memberikan bimbingan,
membentuk kepribadian, menanamkan nilai-nilai dengan cara ceramah atau
penjelasan dan pengertian-pengertian (Djamarah, 2005: 43). Sedangkan cara
pembelajaran dengan memberikan contoh adalah metode yang diterapkan agar terjadi
proses membiasakan peniruan (Vembiarto dalam Wahida, 2007: 11). Cara-cara
pembelajaran seperti pemberian hukuman, pada umumnya dilakukan terhadap orang
yang sedang belajar melakukan kesalahan dan diberikan sebagai akibat pelanggaran,
sebaliknya apabila yang dilakukan keberhasilan maka pihak pendidik memberikan
ganjaran dan hadiah (Djamarah, 2005: 193-197).
Adapun eksternalisasi atau aktualisasi dari apa yang diimitasi, diidentifikasi
serta diinternalisasikan dalam diri seseorang diwujudkan dalam bentuk tingkah laku.
Tingkah laku sebagai bentuk aktualisasi diri ini merupakan cerminan hasil belajar
yang dialami oleh terdidik baik dari proses imitasi, identifikasi maupun internalisasi
(Haryono, 2013: 67). Eksternalisasi yang diwujudkan oleh terdidik ini diharapkan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

mengandung nilai-nilai dan kompetensi positif sesuai dengan tujuan pendidikan pada
umumya.
Dalam proses transformasi kompetensi seperti ini, bahan ajar yang
digunakan berupa informasi yang disampaikan dalam bentuk pengetahuan,
ketrampilan dan sikap untuk mencapai tujuan. Bahan ajar dalam konteks tulisan ini
tidak ditemukan dalam bentuk tertulis, melainkan dalam bentuk symbol dan gerakan.
Bahan ajar disajikan lebih dominan ketrampilan motorik, tetapi pengetahuan, sikap,
dan ketrampilan intelektual tidak dilupakan. Hal ini berarti bahwa bahan ajar yang
(Davies dalam Anwar, 2004: 92).
Sistem nyantrik sebagai pembelajaran yang dilakukan di luar sekolah,
berupa kegiatan belajar yang tidak terlepas dari kejatidirian (authenticy). Ditekankan
kembali oleh Anwar bahwa pembelajaran diperoleh melalui belajar reflektif
(reflective learning) dan berusaha membantu orang lain menjadi diri sendiri. Teknik
pembelajaran yang digunakan hampir sama untuk semua format pembelajaran, yaitu
demonstrasi, pelatihan, ceramah, dan Tanya jawab. Teknik ini tidak dirancang
sebelumnya untuk tujuan pembelajaran, melainkan terjadi secara alamiah sesuai
dengan kondisi kegiatan pembelajaran/produksi di bengkel. (2004: 93).
3. Keris
Kata kris
pengertian keris dari aspek bentuk menurut Yuwono memiliki karakter bentuk khas
sehingga bisa dibedakan dengan tosan aji lainnya. Keris bagi masyarakat Jawa
disebut sebagai yang artinya

(hulu) (Yuwono, 2011: 17). Menurut Haryoguritno, bilah keris memiliki ragam
bentuk atau tipologi yang sangat banyak, dikenal dengan istilah dhapur. Dari segi
bentuk, keris tergolong senjata tikam yang berukuran relative pendek, asimetris (baik
lurus maupun berlekuk), dan terbuat dari beberapa macam logam yang ditempa
menjadi satu (2006: 1511).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

Sebagai salah satu benda tradisi karya Adiluhung bangsa Indonesia, keris
termasuk produk budaya yang tangible atau yang dapat disentuh, yaitu berupa benda
konkret yang umumnya berupa benda yang merupakan buatan manusia dan dibuat
untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Namun suatu benda budaya yang bersifat
tangible memiliki sifat budaya atau sejumlah aspek intangible (tak dapat diraba) yang

terhadap unsur (-unsur) intangible pada suatu benda umumnya memerlukan suatu
keahlian khusus (Sedyawati, 2007: 160-162).
Selain itu bilah keris harus selalu membuat sudut tertentu terhadap ganja,
tidak tegak lurus. Kedudukan bilah keris yang miring atau condong ini adalah
perlambang dari sifat orang Jawa, dan suku bangsa Indonesia lainnya. Bahwa
seseorang, apapun pangkat dan kedudukannya harus senantiasa tuunduk dan hormat,
bukan saja pada Sang Pencipta tetapi juga pada semuanya. Kata pepatah ilmu padi,
makin berilmu seseorang makin tunduk orang itu (Harsrinuksmo, 2004: 9).
Harsrinuksmo memberikan penjelesan lebih rinci bahwa ukuran panjang bilah keris
yang lazim adalah antara 33-38 cm. Beberapa keris luar Jawa bisa mencapai 58 cm.
Bahkan keris buatan Filipina Selatan panjangnya ada yang mencapai 64 cm. Yang
terpendek adalah keris Budha dan keris buatan Nyi Sombo Padjajaran, yakni sekitar
16-18 cm. Sesungguhnya keris yang amat kecil dan pendek, misalnya hanya 12 cm,
atau bahkan ada yang lebih kecil dari ukuran pulpen. Sehingga tidak dapat di
golongkan sebagai keris, melainkan semacam jimat berbentuk keris-kerisan (2004: 9).
Selain itu Menurut Harsrinuksmo (2004: 9) sebuah benda dapat dikatakan
keris apabila terdiri dari dua bagian utama, yakni bagian bilah keris dan ganja.
Bagian bilah melambangkan ujud lingga, sedangkan bagian ganja melambangkan
ujud yoni. Dalam falsafah Jawa yang bisa dikatakan sama dengan falsafah Hindu,
persatuan antara lingga dan yoni merupakan perlambangan harapan atas kesuburan,
keabadian (kelestarian), dan kekuatan. Pada bilah keris terdapat pamor, yaitu berupa
hiasan ornamentik baik abstrak maupun figuratif dari hasil penempaan berbagai jenis
logam besi, baja, dan meteorit. Bilah keris juga dilengkapi dengan warangka sebagai

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

penutup bilah dan hulu keris sebagai pegangan bilahnya. Menurut Yuwono (2011:
19) bilah keris merupakan karya seni yang dibuat untuk memenuhi nilai estetika
tertentu tanpa kehilangan aspek fungsinya sebagai senjata tikam. Teknik pelipatan
dan penempaan berbagai jenis bahan logam tersebut membuatnya menghasilkan

tiga bagaian pokok, yaitu bilah, hulu, dan warangka.

Gambar 2.1. Ciri dhapur keris


(Haryoguritno, 2006: 174)

Menurut Haryoguritno bilah keris memiliki aspek visual utama, yakni


dhapur, ricikan dan pamor. Dhapur adalah tipologi bentuk bilah keris, baik
berbentuk lurus maupun luk. jumlah luk pada setiap keris selalu gasal, kecuali pada
keris Umyang. Jumlah lekukan yang lazim ditemui adalah luk 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 17
hingga 31. Pamor adalah gambar atau hiasan yang terdapat di dalam bilah keris dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

tosan aji lainnya. Hiasan ini terbentuk pada saat pembuatan keris. ricikan adalah
bagian dan bentuk penghias bilah keris (2006: 151).
Bahan bilah keris menurut Wirahadidarsana & Pusposukadgo (1995: 47)
terbuat dari tiga jenis logam, yaitu besi, nikel, dan baja. Pencampuran dengan cara
pembakaran dan penempaan. Bahan bakar yang baik adalah arang kayu jati. Sedang
bahan penolong lainnya kawat, untuk mengikat pada waktu hendak
mencampur/membuat lapisan. Besi yang digunakan adalah jenis besi putih dengan
kandungan karbon yang rendah. Ini pun masih harus dibersihkan dari bahan-bahan
lain. Cara membersihkan disebut membesot. Sebilah keris memerlukan besi seberat
15 kg, setelah dibesot menjadi 8 kg. Nikel merupakan logam untuk bahan pamor.
Warnanya putih kebiru-biruan. Sifatnya keras dan mudah kusam . Nikel dijual dalam
bentuk batangan, lempengan, dan kawat. Untuk sebilah keris memerlukan kurang
lebih 1 ons. Baja diperlukan untuk penguat bilah keris. Selain itu, juga untuk
membuat bilah yang tajam. Baja yang baik untuk keris adalah baja yang bersifat ulet.
Sebilah keris memerlukan kurang lebih baja 1 kg.
Keris yang baik menurut Hansrinuksmo (2004: 9) harus dibuat dan ditempa
dari tiga macam logam. Minimal dua, yakni besi, baja, dan bahan pamor. Keris-keris
tua, semisal keris Budha tidak menggunakan baja. Dengan demikian keris yang
dibuat dari kuningan, seng, dan bahan logam lainnya tidak dapat digolongkan sebagai

atau yang dibuat dari guntingan drum bekas aspal bukan tergolong keris, melainkan
hanya keris-kerisan. Pembuatan bilah keris menurut Wirahadidarsana &
Pusposukadgo (1995: 49-55) meliputi membesot, mencampur besi dan nikel menjadi
lapisan pamor, membentuk kodokan, membentuk bakalan keris, grabahi,
menghaluskan, dan menyepuh.
Mengenai bagian hulu biasa disebut ukiran atau deder merupakan bagian
pegangan dari bilah keris yang terhubung melalui pesi atau peksi yang berada di
bagian bawah bilah. Hulu keris di Jawa juga popular disebut dengan istilah ukiran,
jejeran, atau deder. Hulu keris umumnya juga dilengkapi dan dihias dengan mendak

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

atau selut (cincin penguat sekaligus penghias pada pangkal ukiran yang terhubung
dengan wilahan) yang dibuat dari bahan logam mulia. Hulu keris bisanya terbuat dari
bahan kayu yang memiliki warna dan pola tertentu untuk meningkatkan nilai
estetiknya. namun juga ada yang dibuat dari bahan gading atau gigi geraham gajah,
tulang ikan paus, tanduk kerbau, tanduk rusa, atau cula badak dengan maksud yang
sama. Bentuk keris di Jawa merupakan stilasi dari bentuk manusia. Bentuk keris di
Jawa yang paling popular berupa bentuk nunggak semi (stilasi dari ruh manusia)
(Haryoguritno, 2006: 268-269)
Bagian keris yang ketiga dalah warangka. Serat Centini menjelaskan bahwa
warangka merupakan pakaian keris. Warangka dibuat dari kayu, dalam bahasa Arab
sesungguhnya kayun sajaratil yakni art
warangka dibagi menjadi tiga, yaitu warangka ladrang, warangka gayaman, dan
warangka sandang walikat. (Yuwono, 2011: 20).
Menurut Hayoguritno, ditinjau dari mutu serta garapnya, terdapat dua
golongan jenis baru, yakni (1) Golongan pertama adalah keris-keris yang dihasilkan
dari komunitas perajin keris seperti gramen (komoditi) tanpa pesanan siapapun.
Biasanya dipasarkan di kios atau dijadikan souvenir, dan (2) Golongan kedua adalah
keris-keris baru yang dibuat oleh seseorang (baik yang berdarah empu maupun tidak)
dan pada umumnya berdasarkan suatu rencana atau ide tertentu dari dirinya atau
pemesan kerisnya (2006: 145).
Nyantrik termasuk pembelajaran seni rupa dalam konteks budaya. Pada
konteks budaya membahas faktor-faktor yang mempengaruhi sifat/karakter karya
termasuk seniman pencipta karya. Tanggal, periode, lokasi asal karya itu, dan gaya
serta nama yang diberikan pada karya yang memilii kesamaan karakter dibahas pula.
Setiap unsur dari aspek ini berisi hubungan dengan bidang sejarah seni sebagai
pengetahuan yang menjelaskan mengapa karya seni memiliki sifat-sifat tertentu. Juga
bagaimana katya diciptakan, peranan faktor budaya pada karya seni dan faktor
pribadi yang mempengaruhi sifat bagian karya seni yang menjadikan karya seni unik
(Muharram & Sundaryati, 1991: 72).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

4. Kriteria Penilaian Visual Keris


Pada dasarnya landasan dalam penilaian keris tidak sama dengan disiplin
ilmu lainnya, karena keris itu lebih ke benda non bendawinya. Seperti halnya
penghayat seni dan para historian, penilai memiliki cara pandang yang beragam
dalam karya seni khususnya karya keris. Menurut Haryoguritno (2006: 364-365)
penilaian keris secara visual dapat dilakukan melalui TUH-SI-RAP-PUH-MOR-JA-
NGUN-NGGUH, yang merupakan akronim dari kata wutuh, wesi, garap, sepuh,
pamor, waja, wangun, dan tangguh. Adapun maksudnya dari akronim ini adalah:
a) Wutuh (utuh)/ Keutuhan bentuk dan kelengkapan bilah.
Untuk keris yang tergolong tua misalnya dari zaman Mataram atau sebelumnya
yang masih utuh. Keris golongan ini mutu bahannya tergolong sangat baik dan
harus dirawat dengan baik dan kriteria keausan bilahnya maksimal 5%. Untuk
keris nom-noman (muda) dilihat dari bentuk bilah yang baru dan benar-benar
dibuat dari pamor yang biasa digunakan pada masa sekerang yaitu besi, baja, dan
nikel. Kelengkapan bilah dapat dilihat dari keaslian setiap bagian bilah keris.
misalnya keris dengan kembang kacang lebih mudah patah dibandingkan ricikan
lainnya.
b) Wesi (wesi)/Mutu bahan besi.
Bahan yang terbaik adalah besi yang belum mengalami fase cair atau lebur,
kecuali pada waktu diolah dari bijih besi sehingga kristalnya masih heterogen.
Karena hal ini kelak akan menimbulkan tekstur yang indah pada bilah keris. Pada
awal proses pembuatan keris harus dilakukan pemurnian dengan penempaan dan
lipatan yang berulang-ulang, dan hasilnya adalah wesi wasuhan yaitu besi yang
tidak mudah berkarat, keropos, dan patah karena penempaan dan pembakaran
yang lama.
c) Garap
Mutu garapan termasuk faktor yang harus diperhatikan. Sebuah keris mungkin
saja dibuat dari bahan besi dan pamor yang prima, tetapi menjadi kurang bernilai
karena bentuknya kurang indah. Sebaliknya jika keris dibuat dari bahan yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

tidak terlalu baik tetapi sempurna garapannya akan menjadi mudah aus atau
keropos. Yang terbaik tentu yang baik bahannya dan indah hasil garapannya.
d) Sepuh
Di antara keris yang baik dan yang paling diutamakan adalah keris yang paling
tua umurnya. Nilai menjadi lebih penting apabila keris dianggap sebagai benda
pusaka atau jimat.
e) Pamor/ Nilai keharmonisan bentuk bilah
Pamor merrupakan objek visual paling utama pada bilah keris. Mulai dari bahan
hingga pola gambarnya menjadi kajian yang sangat penting untuk menilai mutu
bilah keris secara keseluruhan. Dalam keris sendiri memiliki 151 lebih bentuk
dan jenis pamor. Bahan pamor meteorit secara teknis memang yang terkuat.
Namun bahan pamor tersebut sangat sulit didapat, dan biasanya terdapat pada
keris sepuh.
f) Waja/ Mutu bahan baja
Agar mempunyai sifat kaku, keras, dan tajam keris harus menggunakan bahan
baja sebagai inti bilahnya. Ketiga sifat ini merupakan syarat utama. Hanya saja
saat ini syarat ketajaman hanya sebagai konsekwensi saja dan bukan syarat
fungsional
g) Wangun
Nilai keserasian anatomis. Pada kenyataannya memang banyak keris yang
ditemukan bentuknya wagu (janggal). Namun hal ini bersifat relative, mengingat
pecinta keris memiliki kriteria penialaian berbeda pada bilah keris.
h) Tangguh
Tangguh adalah konsep penarihan dan waktu pembuatan keris berdasarkan
bahan, bentuk, dan garapan.
Kriteria penilaian dalam seni tempa logam keris secara visual dapat dinilai
dari unsur-unsur tersebut. Namun tidak seluruhnya berlaku, dan tergantung pada
tangguh keris karena keris yang dibuat saat ini bukanlah jenis keris sepuh. Hanya saja

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

dalam mengevaluasi karya seni tempa logam keris yang diperlukan tolak ukur. Tolak
ukur dalam seni tempa logam ini dapat
5. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi dan penilaian adalah serangkaian kegiatan untuk memperoleh,
menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar siswa yang
dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang
bermakna dalam mengambil keputusan. Untuk dapat mengambil keputusan secara
tepat tentang hasil belajar tersebut perlu didukung oleh data secara akurat dan
terpercaya. Data ini dikumpulkan dengan melalui kegiatan pengukuran terhadap hasil
belajar baik dengan menggunakan instrument tes maupun non tes (Sukiman, 2012: 4).
Penilaian merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar.
Kegiatan penilaian berperan dan berfungsi sejak proses belajar dimulai sampai
berakhir. Di dalam proses belajar mengajar terdapat tiga komponen yang saling
mempengaruhi, yaitu (1) tujuan intruksional; (2) proses belajar mengajar itu sendiri;
dan (3) penilaian (Mulyanto, 2006: 4). Hubungan ketiga komponen tersebut dapat
digambar sebagai berikut:

Tujuan
Pembelajaran

Proses Belajar
Penilaian
Mengajar

Bagan 2.2. Hubungan antara tujuan, proses belajar, dan penilaian


(Mulyanto, 2006: 5)
Proses belajar mengajar dilaksanakan untuk mencapai tujuan pengajaran,
sedangkan sejauhmana tingkat pencapaian tujuan pengajaran tersebut akan diukur
dengan melakukan penilaian. Tujuan pengajaran disusun untuk memberikan arah atau
petunjuk bagi pelaksanaan proses belajar mengajar, serta sebagai pedoman

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

penyususnan dan pelaksanaan penilaian. Penilaian dapat dilaksanakan dengan tepat


apabila bertumpu pada pengalaman belajar yang telah dilaksanakan (Mulyanto,
2006:5).
Menurut Mulyanto bahwa (1) prinsip komprehensif artinya di dalam
pelaksanaan penialaian hasil belajar siswa, maka keseluruhan materi ajar yang
disampaikan oleh guru juga harus dijadikan kriteria penilaian, (2) prinsip kontinuitas
artinya pendidikan dan pengajaran merupakan proses berkelanjutan, oleh sebab itu di
dalam pelaksanaan penilaian harus berkesinambungan, dan (3) prinsip objektivitas
artinya hasil penialaian harus berdasarkan kenyataan yang ada atau objetif, harus
dihindarai perasaan like and dislike (2006: 8-9)
Fungsi hasil evaluasi belajar menurut Sukiman (2012: 12-14) dapat ditilik
dari tiga segi, yaitu: (1) segi psikologis; (2) segi didaktik; dan (3) segi administratif.
Secara psikologis, kegiatan evaluasi belajar dapat disorot dari dua sisi, yaitu dari sisi
peserta didik pendidik/guru dan. Bagi peserta didik hasil evaluasi belajar secara
psikologis akan memberikan pedoman atau pegangan batin kepada mereka untuk
mengenal kapasitas dan status dirinya di tengah-tengah kelas dan kelompoknya.
Sedangkan bagi pendidik, evaluasi hasil belajar akan memberikan kepastian dan
ketetapan hati kepada diri pendidik tersebut guna menuntun langkah apa saja yang
perlu dilakukan selanjutnya.
Secara didaktik, fungsi evaluasi belajar bagi peserta didik dapat menjadi
penghargaan bagi yang telah berhasil dan motivasi bagi yang kurang/belum untuk
dapat memperbaiki, meningkatkan dan mempertahankan prestasinya. Bagi pendidik
setidaknya memiliki empat fungsi, yaitu fungsi diagnosis, fungsi penempatan, fungsi
selektif, dan fungsi instruksional. Fungsi diagnosis adalah bahwa evaluasi diarahkan
untuk memeriksa kesulitan belajar peserta didik. Fungsi penempatan adalah bahwa
hasil evaluasi belajar dijadikan dasar untuk mengelompokkan peserta didik sesuai
tingkat kemampuan dan perkembangan mereka sehingga memudahkan dalam proses
pembelajaran dan pemberian bantuan kepada mereka yang memerlukan. Fungsi
selektif adalah bahwa evaluasi belajar digunakan untuk memberi putusan kepada

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

peserta didik terhadap tahapan-tahapan pembelajaran. Sedangkan fungsi instruksional


digunakan untuk memperbaiki program dan proses pembelajaran yang digunakan.
Objek atau sasaran evaluasi hasil belajar menurut Sukiman (2012: 55) adalah
aspek atau ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah kognitif adalah ranah
yang mencakup kegiatan mental (otak). Ranah kognitif berhubungan dengan
kemampuan berfikir, termasuk di dalamnya kemampuan menghafal, memamhami,
mengaplikasi, menganalisis, menyintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Hasil
belajar afektif adalah hasil belajar yang berkaitan dengan minat, sikap, dan nilai-nilai.
Ranah afektif meliputi kepekaan dalam menerima, menaggapi, menilai, organisasi,
dan karakterisasi dengan nilai atau nilai yang kompleks. Sedangkan hasil belajar
psikomotor adalah hasil belajar yang berkaitan dengan ketrampilan motoric dan
kemampuan bertindak individu. Hasil belajar psikomotor menunjuk pada gerakan-
gerakan jasmaniah yang dapat berupa pola-pola gerakan atau ketrampilan fisik yang
khusus atau urutan ketrampilan (Hamalik, 2005: 82).
Keberhasilan peserta didik dalam belajar tidak selalu diukur dengan alat
penilaian tes. Sebab banyak ragam kemampuan yang sukar diukur secara kuantitatif
dan objektif. Sama halnya pada pembelajaran nyantrik, di mana para cantrik tidak
dinilai berdasarkan kemampuan kognitifnya saja, melainkan aspek afektif dan
psikomotoriknya menjadi penilaian tersendiri. Alat penilaian menurut Mulyanto
(2006: 23-28) yang tergolong non tes, yaitu pengamatan (observation), wawancara
(interview), angket (questionair), daftar cek (check list), skala penilaian (rating
scale), anekdota, dan sosiometri. Masing-masing dijelaskan sebagai berikut:
a) Pengamatan (observation)
Pengamatan dibagi menjadi tiga jenis, yaitu (1) pengamatan partisipatif di mana
pengaamat ikut serta selama dalam kegiatan yang diamati; (2) pengamatan
sistematis yaitu pengamatan berdasarkan aspek-aspek yang telah ditetapkan
sebelumya dan dicatat menurut kategorinya; dan (3) pengamatan eksperimental
yaitu pengamatan yang dilakukan pengamat untuk mengetahui gejala-gejala
ataupun perubahan-perubahan akibat suatu yang sengaja dikondisikan. Observasi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

banyak digunakan untuk mengukur tingkah laku individu ataupun proses


terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati, baik dalam situasi yang sebenarnya
maupun dalam situasi buatan (Sudjana, 2009: 84).
b) Wawancara
Wawancara dapat digunakan untuk menilai hasil dan proses belajar. Kelebihan
wawancara adalah bisa kontak langsung dengan siswa sehingga dapat
mengungkapkan jawaban yang lebih bebas dan mendala (Sudjana, 2009: 68).
Sedangkan pada alat penilaian wawancara, dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu, secara bebas dan terpimpin. Wawancara bebas dilakukan dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan terbuka, sehingga orang yang diwawancarai
(responden) mempunyai kebebasan mengutarakan gagasannya tanpa dibatasi
oleh patokan tertentu. Sedangkan wawancara terpimpin dilakukan dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan yang tellah disusun terlebih dahulu, sehingga
tanggapan responden terarah sesuai pertanyaan.
c) Angket
Angket yaitu alat dan atau teknik untuk memperoleh informasi dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan kepada responden secara tertulis.ditinjau dari
pengambilan data, angket dapat dibedakan menjadi angket langsung dan tidak
langsung. Angket langsung yaitu angket yang dikirimkan kepada responden dan
diisi oleh responden untuk memberi informasi kepada dirinya sendiri. Sedangkan
angket tidak langsung, yaitu angket yang dikirimkan dan diisi oleh responden
untuk diberikan informasi mengenai diri orang lain.
d) Daftar Cek
Sebagai suatu alat penilaian, daftar cek digunakan untuk memperoleh informasi
dengan ciri tertentu, namun tidak ada perbedaaan tingktan secara kuantitatif.
Dalam pengisian daftar cek, responden diminta untuk membubuhkan tanda cek

e) Skala Bertingkat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

Yaitu alat penilaian untuk menentukan sejauhmana tingkat atau kualitas yang
dicapai responden. Menururt bentuknya skala bertingkat dibedakan atas skala
bertingkat kuantitatif (perbedaan tingkatan dinyatakan dalam angka), deskriptif
(skala bertingkat deskriptif perbedaan tingkatan tidak jelas), dan grafis
(perbedaaan tingkatan dinyatakan dalam bentuk kolom).
f) Anekdota
Beerbentuk catatan tentang kejadian-kejadian khusus mengenai objek, misalnya
siswa. Anekdota biasa digunakan dalam studi kasus dan penelaahan tentang
perkembangan individu ataupun kelompok. Anekdota yang baik memenuhi
beberapa ketentuan sebagai berikut: (1) objektif, artinya catatan-catatn yang
dibuat dilakukan pada saat kejadian berlangsung, dan catatatan bersifat deskriptif
bukan tafsiran; (2) deskriptif, artinya pencatatan selengkap mungkin dan secara
kronologis; dan (3) selektif, artinya apa yang diamati dicatat berhunbungan
dengan tujuan.
g) Sosiometri
Sosiometri sebagai alat evaluasi untuk mengetahui kedudukan dengan
mengelompokkan dan menentukan hubungan individu atau siswa yang lain
dalam satu kelompok. Dengan demikian guru dapat mengetahui kedudukan siswa
dalam suatu kelompok mengenai satu hal. Hasil sosiometri dapat disajikan dalam
matrik dan grafis.
B. Penelitian Relevan
1. Penelitian Adam Wahida (2007) dengan judul

Kemampuan Membuat Seni Keraj Pada


penelitian ini menekankan pada (1) Latar belakang sejarah dibentuknya cantrik
berdasarkan alasan pelestarian tradisi membuat tosan aji keris; (2) Materi ajar
yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik; (3) Proses pembelajaran
empu yang bersifat terbuka; (4) Metode yang digunakan meliputi ceramah,
demonstrasi, dan penugasan; dan (5) Pola kecenderungan pembelajaran yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

demokratis. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian


yang dilakukan Adam Wahida memiliki keterekaitan dengan penelitian yang akan
dilakukan. Hanya saja penelitian ini dilakukan terfokus pada satu tempat tertentu
dan dengan evaluasi hasil karya peserta didik, sehiingga berbeda dengan
penilitian yang dilakukan Adam Wahida. Dengan adanya penelitian ini
diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran terhadap pelaksanaan proses
pembelajaran dan evaluasi hasil karya dijalur informal.
2. Penelitian milik Novi Verga Sari (2014) dengan judul
di Padepokan Brojobuwono Desa Wonosari Kecamatan Gondangrejo
Penelitian ini menekankan pada proses pembuatan keris di
Padepokan Brojobuwono. Hasil dari penelitian ini adalah (1) Latar belakang
Padepokan Brojobuwono, (2) Alat dan bahan dan yang digunakan dalam
pembuatan keris di Padepokan Brojobuwono, dan (3) Proses pembuatan keris di
Padepokan Brojobuwono. Berdasarkan ulasan di atas, skripsi milik Novi Verga
Sari memiliki keterkaitan yang sama, yaitu di tempat yang sama. Namun
penelitian yang akan dilaksanakan, peneliti akan melaksanakan pada objek
penelitian yang berbeda yaitu menekankan pada proses pembelajaran keris dan
penilaian hasil karya murid di Padepokan Brojobuwono. Sehingga diharapkan
penelitian ini memberikan gambaran terhadap proses pembelajaran dan dapat
menjadi pelengkap penelitian sebelumnya.
3. Penelitian Teguh Triatmojo (2011) dengan judul
Penelitian ini
menekankan evaluasi belajar di pendidikan informal dengan sistem magang.
Simpulan dari penelitian ini adalah (1) Langkah pelaksanaan evaluasi hasil belajar
pada pendidikan mmagang ukir logam di Tumang tidak disusun secara sistematis
seperti pendidikan formal dan nonformal, (2) Objek yang dijadikan evaluasi
adalah aspek kognitif (pengetahuan, aspek afektif (siap, dan psikomotor
(ketrampilan). Porsi terbesar dalam evaluasi adalah aspek psikomotor, (3) Teknik
yang digunakan adalah teknik non tes, pengamatan, dan wawancara. Porsi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

terbesar adalah pengamatan, karena evaluasi dilaksanakan di saat proses


pembelajaran, dan (4) Kriteria penilaian yaitu apabila siswa mampu
menggunakan alat dengan baik dan menggunkan teknik dengan benar, (5) Prinsip
yang digunakan dalam evaluasi yaitu prisnsip keseluruhan, yaitu peengevaluasian
dilakukan satu persatu, prinsip kesinambungann, yaitu pengevaluasian dilakukan
setiap ada kesempatan, (6) prinsip objektivitas, yaitu tidak memandang siapa yang
dievaluasi. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian memiliki
relevansi terhadap yang akan peneliti lakukan. Hanya saja peneliti akan
melaksanakan pada objek yang berbeda yaitu menekankan pada proses
pembelajaran keris, sehingga berbeda dengan penelitian tersebut. Dengan adanya
penelitian ini diharapkan dapat menjadi pelengkap penelitian sebelumnya dan
memberikan sumbangan pemikiran terhadap pelaksanaan penilaian hasil belajar
di sekolah informal.
Berdasarkan uraaian di atas, topik yang diteliti sebelumnya memiliki
relevansi yang sama yaitu dalam bidang proses pembelajaran, hanya saja segi sasaran
dan pembahasan penelitian memiliki perbedaan. Dengan demikian, maka peneliti
akan melaksanakan penelitian untuk mengetahui proses pembelajaran dan evaluasi
hasil belajar peserta didik di lembaga pendidikan informal.

C. Kerangka Berpikir
Tahap awal dari penelitian ini adalah mengetahui latar belakang berdirinya
padepokan. Padepokan ini tentunya memiliki latar belakang pendirian tertentu dalam
pengembangan keilmuan keris. Sebagai padepokan yang melestarikan keris, di
dalamnya terdapat proses interaksi antara pengajar dan yang diajar sebagai salah satu
interaksi dalam upaya pelestarian dan pengembangan keris. Proses pembelajaran akan
maksimal manakala komponen pembelajarannya saling mendukung agar tujuan
pembelajaran tercapai. Proses pembelajaran nyantrik sebagai sebuah sistem,
pembelajaran meliputi komponen tujuan, materi, metode, media, serta evaluasi.
Proses pembelajaran nyantrik berlangsung saat empu mentransformasikan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

pengetahuan, sikap, dan ketrampilan kepada peserta didik. Hasil transformasi tersebut
berupa perubahan kea rah yang lebih baik. Setelah proses pembelajaran selesai, maka
evaluasi berperan menentukan bagaimana proses transformasi kemampuan apakah
sampai kepada murid/cantrik dengan baik atau tidak, sehingga peserta didik yang
dihasilkan pun sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Kemampuan peserta didik
dalam pembelajaran nyantrik sangat tergantung bagaimana proses pembelajaran
tersebut dilakukan. Kemampuan peserta didik meliputi pengetahuan keris, nilai
simbolis keris, dan keterampilan pembuatan keris, sehingga hasil atau lulusan melalui
proses yang diharapkan adalah menjadi seorang ahli di bidang keris.

Padepokan Keris Brojobuwono

Latar Belakang Berdirinya Padepokan

Tujuan Proses Pembelajaran Informal Hasil


Pembelajaran Nyantrik Belajar

Tujuan
Materi

Metode
Media
Sumber

Bagan 2.3. Kerangka Berpikir

commit to user

Anda mungkin juga menyukai