Anda di halaman 1dari 14

PROJECT FARMASI KLINIS

Disusun Oleh:
Kelompok 6
1. Yeremia Brian Anthony 1943700053
2. Farhanah Fauziah 1943799119
3. Muhammad Lutfi 1943700220
4. Astria Imelda Sirait 1943700226
5. Sri Dwi Wulandari 1943700227
6. Fuad Alhadi 1943700228
7. Septia Nugraha 1943700229
8. Runggu Natalia 1943700232
9. Mutia Khomsah 1943700236

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA


PROGRAM STUDI FARMASI JURUSAN APOTEKER
2019

BAB 1

PENDAHULUAN

Tuberkulosis yang selanjutnya disingkat TB adalah penyakit menular yang


disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang paru dan organ lainnya.
Penanggulangan Tuberkulosis yang selanjutnya disebut Penanggulangan TB adalah segala
upaya kesehatan yang mengutamakan aspek promotif dan preventif, tanpa mengabaikan
aspek kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk melindungi kesehatan masyarakat,
menurunkan angka kesakitan, kecacatan atau kematian, memutuskan penularan, mencegah
resistensi obat dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat Tuberkulosis.(PMK
67 th 2016)

Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta kasus TB
baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan 1,5 juta kematian karena
TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus TB tersebut ditemukan 1,1 juta
(12%) HIV positif dengan kematian 320.000 orang (140.000 orang adalah perempuan) dan
480.000 TB Resistan Obat (TB-RO) dengan kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB
baru, diperkirakan 1 juta kasus TB Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000
kematian/tahun.

Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015, diperkirakan ada 1
juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan 100.000 kematian pertahun
(41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan 63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per
100.000 penduduk). Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR) dari semua kasus,
dilaporkan sebanyak 129 per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus,
diantaranya 314.965 adalah kasus baru. Meskipun jumlah kematian akibat tuberkulosis
menurun 22% antara tahun 2000 dan 2015, namun tuberkulosis masih menepati peringkat ke-
10 penyebab kematian tertinggi di dunia pada tahun 2016 berdasarkan laporan
WHO(www.who.int/gho/mortality_burden_disease/cause_death/top10/en/).

Oleh sebab itu hingga saat ini TBC masih menjadi prioritas utama di dunia dan
menjadi salah satu tujuan dalam SDGs (Sustainability Development Goals). Angka
prevalensi TBC Indonesia pada tahun 2014 sebesar 297 per 100.000 penduduk. Eliminasi
TBC juga menjadi salah satu dari 3 fokus utama pemerintah di bidang kesehatan selain
penurunan stunting dan peningkatan cakupan dan mutu imunisasi. Visi yang dibangun terkait
penyakit ini yaitu dunia bebas dari tuberkulosis, nol kematian, penyakit, dan penderitaan
yang disebabkan oleh TBC. Tema Hari TBC Sedunia tahun 2018 yaitu “Wanted: Leader for a
TB Free World” yang bertujuan pada pembangunan komitmen dalam mengakhiri TBC, tidak
hanya pada kepala negara dan menteri tetapi juga di semua level baik bupati, gubernur,
parlemen, pemimpin suatu komunitas, jajaran kesehatan, NGO, dan partner lainnya. Setiap
orang dapat menjadi pemimpin dalam upaya mengakhiri TBC baik di tempat kerja maupun di
wilayah tempat tinggal masing-masing. Walaupun setiap orang dapat mengidap TBC,
penyakit tersebut berkembang pesat pada orang yang hidup dalam kemiskinan, kelompok
terpinggirkan, dan populasi rentan lainnya. Kepadatan penduduk di Indonesia sebesar 136,9
per 2 km dengan jumlah penduduk miskin pada September 2017 sebesar 10,12% (Susenas,
2017).

Secara nasional perkiraan prevalensi HIV diantara pasien TB diperkirakan sebesar


6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus
TBRO dari kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang.
Penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban TB antara lain:
1. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini diakibatkan karena
masih kurangnya komitmen pelaksana pelayanan, pengambil kebijakan,
dan pendanaan untuk operasional, bahan serta sarana prasarana.
2. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang belum
menerapkan layanan TB sesuai dengan standar pedoman nasional dan ISTC
seperti penemuan kasus/diagnosis yang tidak baku, paduan obat yang tidak
baku, tidak dilakukan pemantauan pengobatan, tidak dilakukan pencatatan
dan pelaporan yang baku.
3. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dalam
penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.
4. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB khususnya di
Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), serta daerah risiko
tinggi seperti daerah kumuh di perkotaan, pelabuhan, industri, lokasi
permukiman padat seperti pondok pesantren, asrama, barak dan lapas/rutan.
5. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam
penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan,
pencatatan dan pelaporan.
6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadap risiko
terjadinya TB secara signifikan seperti HIV, gizi buruk, diabetes mellitus,
merokok, serta keadaan lain yang menyebabkan penurunan daya tahan
tubuh.
7. Meningkatnya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang akan
meningkatkan pembiayaan program TB.
8. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya tingkat
pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang dan
pangan yang tidak memadai yang berakibat pada tingginya risiko
masyarakat terjangkit TB.

Menurut laporan WHO tahun 2015, Indonesia sudah berhasil menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat TB di tahun 2015 jika dibandingkan dengan tahun 1990.
Angka prevalensi TB yang pada tahun 1990 sebesar > 900 per 100.000 penduduk, pada tahun
2015 menjadi 647 per 100.000 penduduk. Dari semua indikator MDG’s untuk TB di
Indonesia saat ini baru target penurunan angka insidens yang sudah tercapai. Untuk itu perlu
upaya yang lebih besar dan terintegrasi supaya Indonesia bisa mencapai target SDG’s pada
tahun 2030 yang akan datang.

a. Pathogenesis dan Penularan TB

Kuman Penyebab TB Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan


oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara
lain: M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai
Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium
tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT
(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan
diagnosis dan pengobatan TB.

Secara umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah sebagai
berikut:

 Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron.
 Bersifat tahan asam dalam perwanraan dengan metode Ziehl Neelsen,
berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop.
 Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,
Ogawa.
 Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.
 Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet.
Paparan langsung terhada sinar ultra violet, sebagian besar kuman akan mati
dalam waktu beberapa menit. Dalam dahak pada suhu antara 30-37°C akan
mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu.
 Kuman dapat bersifat dorman.

Sumber penularan adalah pasien TB terutama pasien yang mengandung kuman TB


dalam dahaknya. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Infeksi akan terjadi apabila seseorang
menghirup udara yang mengandung percikan dahak yang infeksius. Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak yang mengandung kuman sebanyak 0-3500
M.tuberculosis. Sedangkan kalau bersin dapat mengeluarkan sebanyak 4500 – 1.000.000
M.tuberculosis.

Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia. Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah


penyakit.Tahapan tersebut meliputi tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal
dunia, sebagai berikut:

1) Paparan Peluang peningkatan paparan terkait dengan:


• Jumlah kasus menular di masyarakat.
• Peluang kontak dengan kasus menular.
• Tingkat daya tular dahak sumber penularan.
• Intensitas batuk sumber penularan.
• Kedekatan kontak dengan sumber penularan.
• Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan.
2) Infeksi Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14 minggu setelah infeksi.
Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi
tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali tergantung dari daya tahun
tubuh manusia. Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi
sebelum penyembuhan lesi.
3) Faktor Risiko Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari:
• Konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup Lamanya waktu sejak terinfeksi
• Usia seseorang yang terinfeksi
• Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya tahan tubuh yang
rendah diantaranya infeksi HIV AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan
memudahkan berkembangnya TB Aktif (sakit TB).
• Infeksi HIV. Pada seseorang yang terinfeksi TB, 10% diantaranya akan menjadi
sakit TB. Namun pada seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian
TB. Orang dengan HIV berisiko 20-37 kali untuk sakit TB dibandingkan dengan
orang yang tidak terinfeksi HIV, dengan demikian penularan TB di masyarakat
akan meningkat pula.
4) Meninggal dunia Faktor risiko kematian karena TB:
• Akibat dari keterlambatan diagnosis
• Pengobatan tidak adekuat.
• Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit penyerta.
• Pada pasien TB tanpa pengobatan, 50% diantaranya akan meninggal dan risiko
ini meningkat pada pasien dengan HIV positif. Begitu pula pada ODHA, 25%
kematian disebabkan oleh TB.

b. Upaya dan Pengendalian


 Pencegahan dan pengendalian faktor risiko TBC dilakukan dengan cara:
Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat;
 Membudayakan perilaku etika berbatuk;
 Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan
lingkungannya sesuai dengan standar rumah sehat;
 Peningkatan daya tahan tubuh;
 Penanganan penyakit penyerta TBC;
 Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan, dan di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

c. Pilar dan Komponen Penanggulangan TBC


1. Integrasi layanan TBC berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TBC.
a. Diagnosis TBC sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan
penapisan TBC secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi berisiko
tinggi.
b. Pengobatan untuk semua pasien TBC, termasuk untuk penderita resistan obat
dengan disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient-centred
support).
c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TBC yang lain.
d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan berisiko
tinggi serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TBC.
2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.
a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan dan
pencegahan TBC.
b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan pemberi
layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) dan kerangka
kebijakan lain yang mendukung pengendalian TBC seperti wajib lapor, registrasi
vital, tata kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi.
d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk mengurangi
dampak determinan sosial terhadap TBC.
3. Intensifikasi riset dan inovasi
a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode intervensi dan
strategi baru pengendalian TB.
b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan merangsang
inovasiinovasi baru untuk mempercepat pengembangan program pengendalian
TB.
BAB II
METODE PENELITIAN

2.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian survei, yang didukung oleh data primer
yaitu data yang diperoleh langsung melalui pengisian kuesioner, dan data sekunder yang
diperoleh dari kartu identitas pasien berisi tanggal perjanjian kedatangan.

2.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada tanggal 22 Oktober 2019 di Puskesmas Kecamatan Setiabudi,
Jakarta Selatan.

2.3 Populasi dan Sampel


2.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah pasien yang melakukan pengobatan tuberkulosis paru di
Puskesmas Kecamatan Setiabudi.

2.3.2Sampel penelitian
Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dapat mewakili seluruh populasi. Subjek
dalam penelitian ini adalah pasien yang melakukan pengobatan tuberkulosis paru di
Puskesmas Kecamatan Setiabudi yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria
eksklusi.
Kriteria inklusi adalah :
a. Pasien yang mengidap penyakit tuberkulosis paru dan sedang melakukan pengobatan di
Puskesmas Kecamatan Setiabudi.
b. Pasien yang sedang menjalani pengobatan tuberkulosis paru lebih dari 2 minggu.

Kriteria eksklusi adalah :


a. Pasien tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
b. Pasien yang sudah selesai menjalani pengobatan.
c. Pasien tidak bersedia bekerjasama dalam penelitian.

3.4 Instrumen Penelitian


3.4.1 Sumber Data
Sumber data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data primer berupa kuesioner
yang telah diisi oleh pasien dan data sekunder yang diperoleh dari kartu identitas pasien berisi
tanggal perjanjian kedatangan.

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data


Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer
adalah data yang diambil langsung dari responden dengan cara membagikan kuesioner
kepada pasien yang berobat di Puskesmas Kecamatan Setiabudi, data sekunder yang
diperoleh dari kartu identitas pasien berisi tanggal perjanjian kedatangan.
Kuesioner terdiri dari 2 bagian yaitu:
a. Data demografi pasien berupa biodata pasien yang terdiri dari 4 poin, yaitu jenis kelamin,
umur, pendidikan, dan pekerjaan.

b. Pengetahuan pasien terdiri dari 15 poin pertanyaan yang meliputi pengetahuan umum
mengenai tuberkulosis paru, yakni pengertian, penyebab, gejala, penularan, dan
pencegahan.

3.4.3 Prosedur Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan dengan prosedurseperti berikut :
a. Menyiapkan kuesioner penelitian yang akan diisi oleh responden.
b. Meminta surat permohonan izin Dekan Fakultas Farmasi Prodi Apoteker UTA 45 Jakarta,
untuk melakukan penelitian dengan responden di Puskesmas Kecamatan Setiabudi, Jakarta.
c. Menghubungi Kepala Puskesmas tersebut untuk mendapatkan izin melakukan penelitian.
d. Membagikan kuesioner penelitian kepada responden dan informasi dari kartu identitas pasien
berisi tanggal perjanjian kedatangan.
e. Mengumpulkan data penelitian.
f. Mengolah data penelitian.

4.1 Operational

Operasional kegiatan dapat dilihat pada beberapa table berikut.

Tabel berdasarkan umur pasien TBC

Umur Jumlah
20- 40 5
30- 50 3
>50 1

Tabel berdasarkan pekerjaan pasien TBC

Pekerjaan Jumlah
Tidak bekerja 1
Bekerja 8

Tabel Berdasarkan jenis kelamin pasien TBC

Jenis kelamin Jumlah


Laki-laki 7
Perempuan 2
Tabel berdasarkan tingkat pendidikan

Pendidikan Jumlah
SMP-SMA 7
D3-S1 2

Variabel Definisi Pengamatan Alat ukur Parameter


operasional
Tingkat Penilaian Observasi Lembar a. baik
pengetahuan pengetahuan kuesioner b. tidak baik
pasien tentang
tuberkulosis
Tingkat Penilaian Observasi Hitung jumlah
kepatuhan perilaku dalam sisa obat pasien a. Patuh 100%
mengkonsumsi b. Tidak patuh
obat <100%
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara karakteristik dari pasien (jenis kelamin,
usia, pendidikan, dan pekerjaan) dengan tingkat pengetahuan dan kepatuhan, serta melihat
hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap kepatuhan minum obat pada pasien.

3.1 Data Demografi


Data demografi pasien terdiri dari jenis kelamin, umur, pendidikan, dan pengetahuan
terhadap 9 orang pasien.

Demografi Pasien Jumlah


Jenis kelamin Laki-laki 7
Perempuan 2

Umur 20- 40 5
30- 50 3
>50 1

Pendidikan SMP-SMA 7
D3-S1 2

Pekerjaan Tidak bekerja 1


Bekerja 8

Berdasarkan data demografi diatas menunjukkan frekuensi pasien tuberkulosis paru


berdasarkan jenis kelamin adalah lebih banyak diderita oleh laki-laki yaitu sebanyak 7 pasien
atau dibandingkan dengan jumlah penderita tuberkulosis paru pada perempuan sebanyak 2
pasien. Hal ini dikarenakan sebagian besar laki-laki merokok pada setiap harinya, sehingga
laki-laki banyak menderita penyakit tuberkulosis paru. Merokok dapat menurunkan daya
tahan dari paru-paru sehingga relatif akan mudah terkena tuberkulosis paru (Depkes RI,
2011).

Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh berbagai macam umur dari
responden maka dikelompokkan menjadi tiga kelompok, dan kelompok umur yang paling
tinggi menderita tuberkulosis paru adalah kelompok umur 20-40 tahun sebanyak 5 orang. Hal
ini dapat disebabkan karena pada kelompok umur tersebut lebih banyak menghabiskan waktu
diluar rumah untuk melaksanakan aktivitas sehinggadengan kondisi lingkungan yang kurang
baik maka dapat menjadi faktor pendukung untuk seseorang terpapar penyakit tuberkulosis
(DepkesRI, 2011).

Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa rata-rata pasien dengan
tingkat pendidikan yang paling tinggi di Puskesmas Kecamatan Setiabudi adalah SMP-SMA
sebanyak 7 orang dan pendidikan D3-S1 sebanyak 2 orang. Berdasarkan pekerjaan maka
diperoleh kesimpulan bahwa bila dilihat dari karakteristik responden maka, penderita tuberkulosis
paru di Puskesmas Kecamatan Setiabudi paling banyak diderita pekerja dan pelajar yaitu
sebanyak 8 orang.

3.2 Pengetahuan PasienTentang Tuberkulosis Paru


Hasil Kuesioner Pasien Tbc Dipuskesmas Kecamatan Setiabudi

A. Tabel Pertanyaan pre-konseling

No Pertanyaan Jawaban
Apakah bapak/ibu mengetahui pengertian Ya =8 Tidak=1
1
penyakit TBC?
Apakah bapak/ibu mengetahui penyebab Ya=9 Tidak= -
2
penyakit TBC?
Apakah bapak/ibu mengetahui gejala yang Ya=9 Tidak=-
3
muncul pada penyakit TBC?
Apakah ketika batuk atau bersin bapak/ibu Ya=9 Tidak=-
4
menutup mulut ?
Jika menutup mulut, penutup mulut apa Tissu=1 Masker=8
5
yang bapak/ibu gunakan?
Apakah bapak/ibu selalu mengenakan Ya=7 Tidak=2
6
masker ketika bepergian?
Apakah bapak/ibu mengetahui cara Ya=8 Tidak=1
7
penyakit TBC?
Apakah bapak/ibu mengetahui cara Ya=9 Tidak=-
8
pencegahan TBC?
Apakah bapak/ibu pernah saat bangun tidur Ya=7 Tidak=2
lupa minum obat. Dan sudah terlanjur
9
makan nasi. Apakah tetap minum obat TBC
nya?
Dimana bapak/ibu bisa mendapatkan obat Apotek=9 Puskesmas=-
10
TBC dengan gratis?
Apakah bapak/ibu mengetahui bagian mana Ya=9 Tidak=-
11
yang terkena TBC?
Kapan bapak/ibu meminum obat TBC nya ? Setiap hari=6 Senin,rabu,jumat
12
=3
Apakah bapak/ibu mengetahui efek Ya=8 Tidak=1
13
samping dari minum obat TBC ?
Apakah menurut bapak/ibu penyembuhan Biasa saja=9 Sangat penting=
14
TBC penting untuk dilakukan ? -
Ketika bapak /ibu lupa minum obat di jam Tidak Tetap minum= 1
15 yang telah dianjurkan, apa yang anda minum=8
lakukan?
16 Minum obat dengan teratur? Ya=8 Tidak= 1
17 Pernah membuang obat TBC ? Ya=8 Tidak= 1
18 Minum obat dengan tepat waktu ? Ya=8 Tidak= 1
Apakah saat minum obat TBC dan obat lain Ya=5 Tidak= 4
19
diberi jarak?
20 Tidak minum obat lain disaat yang sama? Ya=6 Tidak=3

B. Pertanyaan post-konselling

No Pertanyaan Jawaban
1 Menurut bapak/ibu apa penyebab TBC? Kuman TB=9 Virus=-
Apakah gejala utama yang bapak/ibu ketahui Batuk dahak Batuk dahak
2 tentang TBC ? selama 2 selama 1
minggu ... =7 minggu ...=2
Apakah bapak/ibu mengetahui jika TBC Ya=9 Tidak=-
3
merupakan penyakit menular ?
Melalui apa bapak/ibu ketahui cara penularan Melalui Melalui
4
TBC? sentuhan=- udara=9
Dimana bapak/ibu menyimpan obat TBC? Kulkas=- Dilemari
5 dalam kotak
obat=9
Apakah bapak/ibu pernah tidak mengambil Ya=6 Tidak=3
6 obat ke puskesmas pada waktu yang telah
ditentukan ?
7 Apakah bapak/ibu pernah lupa minum obat? Ya=2 Tidak=7
Apakah bapak/ibu pernah mengurangi atau Ya=8 Tidak=1
8 melebihkan jumlah butir obat dari jumlah
obat yang seharusnya ?
Apakah bapak/ibu pernah minum obat TBC Ya=4 Tidak=5
9
tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan?
Kemasan obat yang bapak/ibu minum warna Merah=7 Kuning=2
10
apa?

Berdasarkan hasil kuisioner pre dan post konseling diatas didapat bahwa tingkat pengetahuan
responden tentang tuberculosis adalah pasien memiliki pengetahuan yang baik tentang gejala,
penyebab dan penularan TBC, hal ini dikarenakan petugas Puskesmas selalu memberikan
pengarahan seputar penyakit tuberkulosis dan pengobatannya kepada penderita tuberkulosis
paru.

3.3 Perilaku Kepatuhan Minum Obat Pasien Tuberkulosis Paru


Berdasarkan hasil kuisioner dan wawancara seputar kepatuhan minum obat di Puskesmas
Kecamatan Setiabudi, menunjukkan bahwa 2 responden pernah lupa minum obat, 6 responden
pernah tidak mengambil obat ke puskesmas pada waktu yang telah ditentukan, 8 responden
pernah mengurangi atau melebihkan jumlah butir obat dari jumlah obat yang seharusnya, 4
responden pernah minum obat TBC tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan, 8 responden
tidak minum obat apabila lupa minum obat di jam yang telah ditentukan. Ada beberapa hal
yang menyebabkan perilaku ketidakpatuhan minum obat pasien tuberkulosis paru yaitu karena
obat TB paru harus dikonsumsi dalam jangka waktu yang panjang, penderita akan merasakan
sembuh karena berkurang atau hilangnya gejala penyakit setelah menjalani terapi 1-2 bulan atau
lebih sehingga penderita malas untuk meneruskan pengobatan kembali, serta menghindari efek
samping yang ditimbulkan oleh obat tuberkulosis paru tersebut.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan :

5.1 Kesimpulan
a. Karakteristik pasien (jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan) tidak
mempengaruhi tingkat pengetahuan pasien.
b. Karakteristik pasien (jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan) tidak
mempengaruhi kepatuhan pasien dalam minum obat.

Anda mungkin juga menyukai