Anda di halaman 1dari 23

UNIVERSITAS INDONESIA

“PAJAK DAN DAYA SAING NASIONAL”

MAKALAH KELOMPOK
EKONOMI DAN PERPAJAKAN

ANITARIA RH 1406646313
ARNIS JUNIAR
ASRINA EKA PUTRI 1406646332
RERE KARLINA WIGATI 1406646635

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI FISKAL
PROGRAM STUDI EKSTENSI ILMU ADMINISTRASI FISKAL
DEPOK
2015
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II KERANGKA TEORI 3

2.1 Pajak dan Efisiensi 3


2.2 Konsep Daya Saing Nasional 7

BAB III

a. Deadweight Losses 10

b. Administrative burden 11

c. Marginal Tax Rates Vs Average Tax Rates 12

d. Lump-Sum Taxes 12

3.1 Pajak dan Daya Saing Nasional 13

3.2 Kebijakan Fiskal untuk Mendorong Sektor Maritim 14

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan 19
B. Saran 19

DAFTAR PUSTAKA 20
BAB 1

PENDAHULUAN

Pengenaan pajak merupakan hal yang tidak dapat dihindari mengingat sebagai warga
negara, kita membutuhkan peran pemerintah untuk penyediaan barang dan jasa. Pemerintah
memiliki kendali dalam memperbaiki kualitas outcome dari pasar. Ketika pemerintah
mencoba menanggulangi eksternalitas (seperti polusi udara), menyediakan barang publik
(seperti pertahanan nasional), atau mengatur penggunaan common resource (seperti ikan di
laut), hal tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat. Namun,
aktivitas tersebut membutuhkan biaya. Agar pemerintah dapat menjalankan kegiatan tersebut
beserta fungsi-fungsinya, maka dibutuhkan penerimaan melalui perpajakan.
Alasan mengapa pajak merupakan instrumen penerimaan negara yang memiliki
peranan penting dalam rangka pembiayaan kebutuhan negara karena pemungutan pajak
sifatnya aman, murah dan berkelanjutan. Aman karena mandiri dan tidak ada intervensi
asing, murah karena tidak ada bunga dan biayayang perlu dikeluarkan oleh pemerintah atau
disebut collection cost dalam memungut pajak dapat lebih ditekan, mengingat sistem
pemungutan pajak bukan hanya official assessment tetapi juga self assessment dan
withholding. Berkelanjutan karena pajak dapat dipungut terus menerus secara dalam setiap
aktivitas masyarakat1. Dengan demikian, dari tahun ke tahunnya, porsi penerimaan dari pajak
selalu memiliki porsi yang paling besar di dalam APBN seperti di dalam tabel berikut ini.

Tabel 1.1
Realisasi Penerimaan Negara (Milyar Rupiah) Tahun 2007 – 2013

Sumber Penerimaan 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

(a) Penerimaan Pajak: 490,988 658,701 619,922 723,307 873,874 980,500 1,148,300

(b) Penerimaan Bukan Pajak 215,120 320,604 227,174 268,942 331,472 351,800 349,200

Total Penerimaan (c )=(a)+(b) 706,108 979,305 847,096 992,249 1,205,346 1,332,300 1,497,500
Persentase Penerimaan Pajak
(d)= (a)/(c )x100% 70% 67% 73% 73% 72% 74% 77%

Sumber: http://www .bps.go.id *Diolah lebih lanjut oleh penulis

Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa penerimaan pajak mendominasi total
penerimaan negara, yaitu sebesar 77% (tahun 2013). Pemerintah tentunya perlu tetap me-

1
Haula Rosdiana, Pengantar Ilmu Pajak, 2012, hlm. 46

1 Universitas Indonesia
maintain kelancaran perekonomian negara sehingga potensi penerimaan pajak dapat terus
ditingkatkan.
Jika dilihat dari sisi ekonomi, pajak yang dibebankan terhadap pembelian suatu
barang mempengaruhi penawaran dan permintaan terhadap barang tersebut. Pajak dapat
mengurangi kuantitas barang yang ditawarkan di pasar, dan juga pembebanan pajak tersebut
dibagi antara pembeli dan penjual tergantung dari elastisitas penawaran dan permintaannya.
Pajak mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat salah satunya dikarenakan pajak
dapat menyebabkan deadweight loss, yaitu pengurangan surplus di sisi penjual dan pembeli
yang diakibatkan karena pajak tersebut dipergunakan untuk menambahkan penerimaan
pemerintah. Pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak hendaknya didukung dengan
biaya pemenuhan kewajiban perpajakan yang serendah mungkin dan tidak memberatkan
wajib pajak, serta beban pajak yang timbul harus dapat dibagi secara adil. Maka dari itu,
pemungutan pajak salah satunya harus mempertimbangkan prinsip efisiensi walaupun pada
kenyataannya, mencapai kenyataan tersebut tidak semudah menetapkan tujuan dan prinsip.
Efisiensi pemungutan pajak diharapkan dapat mengurangi biaya yang yang harus
dikeluarkan baik dari sisi fiskus maupun dari sisi wajib. Dengan demikian, maka akan
meningkatkan kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebab
lemahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, dipandang sebagai penyebab
rendahnya pembangun infrastruktur di tanah air. Akibatnya, daya saing Indonesia masih jauh
tertinggal dengan negara lainnya. Kondisi nyata yang menunjukkan masih lemahnya daya
saing Indonesia akibat kurangnya kesadaran sebagian besar masyarakatnya, misalnya masih
ditemuinya pemadaman listrik tanpa pemberitahuan sebelumnya. Hal itu pada akhirnya justru
memberikan dampak negatif bagi masyarakat.
Selain dari sisi efisiensi pemungutan pajak, insentif pajak juga harus diberikan kepada
wajib pajak agar mereka semakin dapat mengembangkan industri atau usaha di bidang
tertentu. Misalnya dalam bentuk insentif pajak dalam hal pengembangan riset dan teknologi
yang mana biaya yang dikeluarkan untuk hal tersebut dapat menjadi kredit pajak di dalam
SPT Badan PPh sehingga mengurangi beban pajak penghasilan yang harus dibayar dan
memicu perusahaan dalam mengembangkan riset dan teknologi dengan lebih maksimal.
Sehingga dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan daya saing bangsa Indonesia.
Adapun pada era pemerintahan saat ini, yang menjadi salah satu perhatian besar adalah sektor
maritim dalam rangka mewujudkan negara Indonesia sebagai poros maritim dunia. Maka dari
itu, pemerintah perlu lebih memperhatikan apa saja insentif pajak yang patut diberikan.

2 Universitas Indonesia
BAB 2

KERANGKA TEORI

2.1 Pajak dan Efisiensi

Soemitro sebagaimana dikutip Brotodihardjo, mendiefinisikan pajak sebagai iuran


rakyatkepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak
mendapat jasa timbal (kontrapretasi ) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum2. Untuk mencapai system perpajakan yang baik maka
ada 3 (tiga) asas yang harus dijaga keseimbangannya yaitu :revenue productivity,
equity/equality, ease of administration. dalam pembahasan selanjutnya akan membahas
tentang asas ease of administration. indikator dalam asas ease of administration 4 (empat)
yaitu : Asas certainty, efficiency, convenience, simplicity. Yang pada pembahasan selanjutnya
akan lebih membahas tentang asas efisiensi. Dengan skema pembahasan yang spesifik akan
dibahas nanti,

Asas Efficiency

Asas efisiensi dapat dilihat dari dua sisi : dari segi fiskus pemungutan pajak dikatakan
efisien jika biaya pemungkutan pajak yang dilakukan oleh kantor pajak ( antara lain dalam
rangka pengawasan kewajiban Wajib Pajak) lebih kecil dari pada jumlah pajak yang nantinya

2
Haula Rosdiana, Pengantar Perpajakan, 2005, hlm3

3 Universitas Indonesia
diterima. Sedangkan dari sisi efisiensi wajib pajak adalah mengeluarkan biaya yang minimum
untuk memenuhi kebutuhan perpajakannya, Dengan kata lain pemungutan pajak dikatakan
efisien jika cost of taxationnya rendah. Dari sisi fiskus istilah yang lebih tepat digunakan
untuk mengukur efisiensi adalah administrative cost. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Cedric yang dikutip oleh Rosdiana, administrative cost merupakan biaya yang harus
dikeluarkan pemerintah untuk menjalankan system administrasi perpajakan. Jadi
administrative cost yang termasuk dalam biaya ini bukan hanya gaji dan pegawai pajak,
tetapi juga biaya operasional lainnya. Termasuk biaya untuk melakukan
penyuluhan/sosiallisasi perpajakan. Termasuk dalam operating cost adalah biaya menegakan
hukum dan keadilan, antara lain :
a. Biaya pelaksanaan pemeriksaan,
b. Biaya pelaksanaan penagihan (termasuk biaya pelaksanaan penagihan pajak
dengan surat paksa)
c. Biaya pelaksanaan penyanderaan, dll biaya yang dikeluarkan dalam menghadapi
keberatan dan atau banding dari wajib Pajak

Salah satu indicator untuk mengukur efisiensi adalah cost collection effiency ratio
(CCER), yaitu rasio perbandingan antara collection cost dengan tax revenue.

CCER = Collection cost X 100%


Tax Revenue

Semakin kecil CCER, berarti pemungutan pajak semakin efisien. Antara asas
efficiency dengan revenue productivitysaling berkaitan erat. Suatu system pemungutan pajak
tidak bias dikatakan berhasil memenuhi asas revenue productivity bila semata-mata hanya
dilihat dari besarnya tax revenue yang dikumpulkan, karena harus dihitung/dikurangkan
dengan biaya pemungutannya. Rosdiana menyitir pernyataan Mankiw yang menyatakan
bahwa suatu system pajak dikatakan lebih efisien dari yang lainnya jika sitem tersebut dapat
menghasilkan penerimaan pajak yang sama dengan system yang lainnya, tetapi dengan biaya
pemungutan yang lebih rendah yang dibebankan kepada Wajib Pajak. Biaya yang dibebankan
kepada wajib Pajak bukan hanya besarnya beban pajak yang terhutang dan dibayar oleh
Wajib Pajak. Perumus kebijakan seharusnya juga dapat mendesign kebijakan pajak yang
dapat meminimalisir deadweight losses dan administrative burdens.

4 Universitas Indonesia
Sandford, Godwin and hardwick menggunakan terminology compliance cost , dengan
definisi bagian dari beban administrative yang harus ditanggung oleh Wajib Pajak untuk
melaksanakan kewajiban perpajakannya. Secara keseluruhan, beban yang ditanggung oleh
wajib Pajak untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perpajakannya
dinotasikan dalam suatu konsep yang disebut cost of taxation.3 Dalam perspektif Slemrod dan
Yitzhaki, cost of taxation bukan hanya pengorbanan dalam bentuk pengurangan penghasilan,
yaitu besarnya marginal tax atau besaran nominal pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak.
Pembayaran pajak mengurangi penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak, misalnya pajak
penghasilan akan mengurangi laba bersih usaha, pajak penghasilan atas gaji (seperti PPh
pasal 21) akan mengurangi take home pay. Begitu juga apabila penjual memilih untuk
melakukan shifting backward, maka adanya pajak penjualan, akan menggurangi gross profi.t4

Pengorbanan sebagian dari penghasilan/pendapatan yang seharusnya bisa


diterima/diperoleh lebih besar jika tidak ada pajak adalah salah satu cost of taxation yang
lebih secara langsung dirasakan karena langsung mengurangi kemampuan ekonomis. Cost of
taxation seperti deadweight efficiency loss from taxation,the excess burden of tax evasion
dapat dikategorisasikan sebagai distortion cost, yaitu biaya yang timbul akibat adanya
pemungutan pajak yang mengharuskan perusahaan mengubah strategi manajemennya (mulai
dari penentuan harga, perubahan strategi pemasaran,, perubahan strategi manajemen
perpajakn (tax planning) serta perubahan perilaku atau pola kebiasaan. Dengan demikian,
dalam menghitung cost of taxation yang dipikul oleh Wajib Pajak, hendaknya digunakan
perspektif yang lebih luas dan komprehensif, yaitu bukan hanya memperhatikan atau
menghitung tax burden dari marginal rate atau effective tax rate.

Compliance cost bahkan bahkan bias terjadi juga kepada pihak ketiga yang diberi
kewajiban untuk memungut/memotong pajak (misalnya jika system perpajakan menggunakan
withholding), misalnya pihak pemberi kerja yang harus memotong Pajak penghasilan PPh 21.
Dengan demikian ada 5 (lima) indikator cost of taxation, yaitu :

1. Compliance cost
2. Administrative cost
3. Deadweight efficiency loss from taxation
4. The excess burden og tax evasion

3
Ibid, hlm 113
4
Op cit, hlm 113

5 Universitas Indonesia
5. Avoidance cost5

Compliance cost dibagi menjadi 3 (tiga) elemen menurut Jon Abolins sebagai mana
dikutip kembali oleh rosdiana

a. Fiscal cost
Dari sisi Wajib pajak merupakan biaya atau beban yang dapat diukur dengan nilai
uang yang harus dikeluarkan/ditanggung oleh wajib pajak berkaitan dengan proses
pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan. Yang termasuk dalam
kelompok biaya ini yaitu :
1. Honor/gaji staf/pegawai divisi pajak
2. Jasa konsultan yang disewa Wajib pajak
3. Biaya transportasi pengurusan perpajakan
4. Biaya pencetakan dan penfgadaan formulir
5. Biaya representasi (biaya penjamuan)

b. Time cost
Adalah biaya berupa waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kewajiban-
kewajiban dan hak-hak perpajakan, misalnya :
1. Waktu yang digunakan untuk mengisi formulir perpajakan
2. Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi SPT dan menyampaikan SPT
3. Waktu yang diperlukan untuk mendiskusikan tax management dan tax exposure
dengan pihak konsultan pajak
4. Waktu yang diperlukan untuk membahas laporan hasil pemeriksaan
5. Waktu yang diperlukan untuk melakukan keberatan dan atau banding.

c. Psychological Costs
Merupakan biaya psikologis antara lain berupa stress atau ketidaktenangan,
kegamangan, kegelisahan, ketidakpastian yang terjadi dalam proses pelaksanaan
kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan. Misalnya stress yang terjadi saat
pemeriksaan pajak, saat pengajuan keberatan dan atau banding

5
Op cit, hlm. 115

6 Universitas Indonesia
2.2 Konsep Daya Saing Nasional

Daya saing adalah kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang memenuhi
pengujian internasional dan saat kemampuan daerah menghasilkan tingkat pendapatan dan
kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan eksternal (European
Commission, 1999).Definisi daya saing nasional menurut Institute Of Management
Development (IMD), suatu lembaga yang menerbitkan “World Competitiveness Yearbook”,
mendefinisikan daya saing nasional sebagai kemampuan suatu negara dalam menciptakan
nilai tambah dalam rangka menambah kekayan nasional dengan cara mengelola aset dan
proses, daya tarik dan agresivitas, globality, dan proximity serta dengan mengintegrasikan
hubungan- hubungan tersebut ke dalam suatu model ekonomi dan sosial. Dengan katalain
daya saing nasional merupakan suatu konsep yang diharapkan dapat mengidentifikasi
peranan negara dalam memberikan iklim yang kondusif kepada perusahaan-perusahaan
dalam mempertahankan daya saing domestik dan global. Menurut World Economic Forum
(WEF), daya saing nasional merupakan kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.Bank Dunia menyatakan hal yang sama
dimana daya saing mengacu kepada besaran serta laju perubahan nilai tambah perunit input
yang dicapai oleh perusahaan.
Michael Porter (1990) menyatakan bahwa konsep daya saing yang dapat diterapkan
pada level nasional tidak lain adalah “produktivitas” yang didefinisikannya sebagai nilai
ouput yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja. Menurut Michael Porter (1990), pada
dasarnya ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi daya saing suatu negara, faktor-faktor
tersebut adalah:

1. Strategi, Struktur, dan Tingkat Persaingan Perusahaan, yaitu mencakup bagaimana


unit-unit usaha di dalam suatu negara terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola, serta
bagaimana tingkat persaingan dalam negerinya.
2. Sumber Daya di suatu Negara, yaitu mencakup bagaimana ketersediaan sumber daya
di suatu negara, yakni sumber daya manusia, bahan baku, pengetahuan, modal, dan
infrastruktur. Ketersediaan tersebut menjadi penentu perkembangan industri di suatu
negara. Ketika terjadi kelangkaan pada salah satu jenis faktor tersebut, maka investasi
industri di suatu negara menjadi investasi yang mahal.
3. Permintaan Domestik, yaitu mencakup bagaimana permintaan di dalam negeri
terhadap produk atau layanan industri di negara tersebut. Permintaan hasil industri,
terutama permintaan dalam negeri, merupakan aspek yang mempengaruhi arah

7 Universitas Indonesia
pengembangan faktor awalan keunggulan kompetitif sektor industri. Inovasi dan
kemajuan teknologi dapat terinspirasi oleh kebutuhan dan keinginan konsumen.
4. Keberadaan Industri Terkait dan Pendukung, yaitu keberadaan industri pemasok atau
industri pendukung yang mampu bersaing secara internasional. Faktor ini
menggambarkan hubungan dan dukungan antar industri, dimana ketika suatu
perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, maka industri-industri pendukungnya
juga akan memiliki keunggulan kompetitif.
Porter mencontohkan Negara Italia sebagai Negara yang menerapkan hal
tersebut.Italia tidak hanya sukses dalam industri sepatu dan kulit, namun juga telah berhasil
mendorong industri pendukungnya seperti desain kulit, serta pengolahan kulit sepatu untuk
berkembang sejalan dengan perkembangan industri sepatu dan kulit.Keempat komponen
yang disebut sebagai model Porter’s Diamond tersebut mengkondisikan lingkungan di mana
perusahaan-perusahaan berkompetisi dan mempengaruhi keunggulan daya saing suatu
bangsa.Analisis tersebut menyatakan bahwa pemerintahan suatu negara memiliki peran
penting dalam membentuk ekstensifikasi faktor-faktor yang menentukan tingkat keunggulan
kompetitif industri suatu negara. Hal ini diperjelas dengan adanya 2 (dua) variabel tambahan
yang mempengaruhi daya saing, yaitu: Kesempatan, yaitu perkembangan yang berada di luar
kendali perusahaan-perusahaan (dan biasanya juga di luar kendali pemerintah suatu bangsa),
seperti misalnya penemuan baru, terobosan teknologi dasar, perkembangan politik eksternal,
dan perubahan besar dalam permintaan pasar asing; dan Pemerintah, yakni pemerintah pada
semua tingkatan pemerintahan dapat meningkatkan atau memperlemah keunggulan nasional.
Peran pemerintah terutama dalam membentuk kebijakan yang mempengaruhi komponen-
komponen dalam Porter’s Diamond.Misalnya, kebijakan anti-trust mempengaruhi
persaingan nasional.Regulasi dapat mengubah faktor permintaan (misalnya regulasi terkait
subsidi BBM).Kebijakan pemerintah yang mendukung pendidikan dapat mengubah kondisi
faktor produksi.Belanja pemerintah dapat merangsang industri terkait dan pendukung.
Porter menggarisbawahi bahwa ketersediaan faktor-faktor seperti faktor sumber daya
manusia, bahan baku, pengetahuan, dan infrastruktur, tidak ditentukan oleh perbedaan
karakteristik alamiah suatu negara. Kemampuan suatu negara dalam menyediakan faktor-
faktor sebagian besar ditentukan oleh political will dari pemerintah. Oleh karena itu, variabel
pemerintah memegang peran penting dalam peningkatan daya saing nasional.
Pandangan Porter maupun Bank Dunia, serta literatur-literatur lainnya mengenai
daya saing nasional tidak hanya sebatas tingkat efisiensi suatu perusahaan saja, tetapi
mencakup aspek yang lebih luas, artinya tidak fokus hanya pada level mikro perusahaan,
8 Universitas Indonesia
tetapi juga mencakup aspek diluar perusahaan seperti iklim berusaha (business environment)
yang jelas-jelas diluar kendali suatu perusahaan.
Daya saing menurut Pusat Studi dan Pendidikan Kebanksentralan Bank Indonesia
(2002) harus mempertimbangkan beberapa hal:
1. Daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekedar produktivitas atau efisiensi
pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebih memilih mendefinisikan daya
saing sebagai “kemampuan suatu perekonomian” daripada “kemampuan sektor
swasta”.
2. Pelaku ekonomi (economic agent) bukan hanya perusahaan, tetapi juga rumah tangga,
pemerintah, dan lain-lain. Semuanya berpadu dalam suatu sistem ekonomi yang
sinergis.
3. Tujuan dari hasil akhir meningkatkan daya saing suatu perekonomian adalah
meningkatkan tingkat kesejahteraan penduduk dalan perekonomian tersebut.
Kesejahteraan (level of living) merupakan konsep yang sangat luas yang tidak hanya
tergambarkan dalam sebuah besaran variabel seperti pertumbuhan
ekonomi.Pertumbuhan ekonomi hanya merupakan satu aspek dari pembangunan
ekonomi dalam rangka peningkatan standart kehidupan masyarakat.
4. Kata kunci dari konsep daya saing adalah “kompetisi”., dalam hal ini peran
keterbukaan terhadap kompetisi dengan para kompetitor menjadi relevan. Kata “daya
saing” akan kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang tertutup.

9 Universitas Indonesia
BAB 3
PEMBAHASAN

A. Deadweight losses (Bobot yang hilang)6


Salah satu dari prinsip ekonomi yang menimbulkan respon dari masyaarkat adalah
dengan memberikan insentif, dan ini termasuk pemberian insentif di bidang perpajakan. Jika
pemerintah mengenakan pajak pada konsumsi es krim, masyarakat akan mengurangi
mengkonsumsi es krim. Jika pemerintah mengenakan pajak atas rumah penduduk, maka
masyarakat akan lebih memilih tinggal dirumah yang lebih kecil dan menghabiskan gaji
mereka untuk hal-hal yang lain. Jika pemerintah mengenakan pajak atas gaji yang diterima
masyarakat, maka masyarakat akan sedikit bekerja dan menghabiskan waktu luang.
Karena pajak menghambat insentif, maka pajak itu menghasilkan bobot yang hilang.
Bobot yang hilang dari pajak mengurangi kemampuan ekonomi wajib pajak untuk
meningkatkan pendapatan pemerintah. Deadweight losses inefisiensi yang disebabkan oleh
pajak ketika orang mengalokasikan sumber daya sesuai dengan insentif pajak dari pada harga
yang sebenarnya dan keuntungan barang dan jasa yang mereka jual dan beli. Contoh : harga
yang dikeluarkan bagi Joe adalah $8 dan harga yang akan dikeluarkan oleh Jane adalah $6
untuk memperoleh sebuah pizza. Jika harga pizza itu dihargai $5 maka Joe dan Janne akan
membeli 1 pizza masing-masing. Kedua konsumen memperoleh keuntungan (joe
memperoleh keuntungan $3 dan jane memperoleh keuntungan $1) dan total keuntungan
adalah $4.
Namun jika kondisinya pemerintah menetapkan pajak atas pizza sebesar $2, dan harga
pizza menjadi $7. Maka Joe masih membeli pizza dan dia hanya memperoleh surplus
$1.Sedangkan Jane memilih untuk tidak membeli pizza karna harganya lebih tinggi dari
jumlah uang yang dimiliki Jane. Fiskus memungut pajak $2 dari pizza yang dibeli oleh si Joe,
total keuntungan dari konsumen menjadi turun sebesar $3 (dari $4 menjadi $1). Karena total
surplus turun karena adanya pajak, maka pajak menyebabkan timbulnya beban yang hilang.
Dalam kasus ini beban yang hilang adalah sebesar $1.Dan beban yang hilang itu bukan
berasal dari Joe namun berasal dari Jane, orang yang tidak membeli pizza.

6
Gregory Mankiw, Principle of Microeconomics 6th Edition, 2009, hlm. 242-243

10 Universitas Indonesia
B. Administrative Burden (Beban Administrasi)7

Beban administrasi dalam perpajakan merupakan suatu bagian dari inefisiensi .beban
ini tidak hanya termasuk waktu yang dipakai diawal april saja untuk mengisi formulir tapi
juga waktu yang dihabiskan dalam sepanjang tahun untuk pencatatan untuk tujuan pajak dan
merupakan penghasilan bagi pemerintah yang sifatnya hukum pajak memaksa. Banyak Wajib
pajak khususnya yang mempunyai jumlah pembayaran pajak yang besar menggunakan
konsultan pajak dan akuntan untuk membantu mereka tentang pajaknya. Ahli (konsultan
pajak) dalam perpajakan yang kompleks mereka mengisi formulir pajak Wajib pajak dan
membantu menyusun kembali jumlah pajak yang akan dibayar dengan berusaha untuk
mengurangi jumlah pajak yang seharusnya dibayar. Manajemen pajak yang dilakukan oleh
konsultan ini merupaka sesuatu kebiasaan yang legal dalam penghindaran pajak asalkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kritik dari sitem perpajakan advisersmembantu klient mereka untuk menghindari
pajak dengan menyalahgunakan ketentuan perpajakan yang ada dalam manajemen pajak
untuk mencari jalan keluar. Dalam beberapa kasus jalan keluar merupakan kesalahan
congressional. Contohnya : AS memberikan perlakuan istimewa untuk investor municipal
bonds untuk mempermudah transaksinya dinegara dan mempermudah pemerintah dalam
meminjam uang. Maka ini akan menimbulkan keuntungan bagi Wajib Pajak. Dari banyak
jalan keluar yang digunakan oleh Wajib Pajak ada yang dapat digunakan sebagai potongan
pajak nantinya.
Sumber penghasilan yang tetap yang memenuhi hukum pajak merupakan tipe dari
deadweight losses. Fiskus memperoleh jumlah pajak dari pembayaran dari wajib Pajak., disisi
lain Wajib Pajak tidak hanya kehilangan amount tapi juga harus kehilangan uang dan waktu
untuk mengurus dokumentasi,komputerisasi dalam pemghindaran pajak. Beban
administrative dari sitem perpajakan dapat dikurangi dengan menyederhanakan peraturan
perpajakan.namun dalam membuat peraturan pajak yang klebih sederhana ini merupakan
kesulitan politik. Banyak orang telah siap dengan system perpajakan yang lebih sederhana
dengan mengurangi keuntungan satu dengan yg pihak lainnya. Dan sedikit sekali pasrah
dengan jalan keluar untuk mereka. Kerumitan hasil peraturan/kebijakan perpajakan dari
proses politik wajib pajak dengan kepentingan masing-masing (kasus) Wajib Pajak.

7
Ibid, hlm. 244

11 Universitas Indonesia
C. Marginal Tax Rates versus Average Tax Rates8

Ketika membicarakan tentang efisiensi dan equitas pajak penghasilan, para ekonom
membedakan nya dalam dua gagasan tarif pajak , yaitu tarif pajak rata-rata dan tarif pajak
marginal. Tarif pajak rata-rata adalah total pajak yang dibayar dikali total penghasilan.
Tarif pajak marginal adalah pajak tambahan yang dibayar atas adanya tambahan
penghasilan. Contoh, misalnya pemerintah mengenakan tarif 20% pada penghasilan tingkat
pertama sebesar $50.000 dari penghasilan dan 50% dari seluruh penghasilan diatas $50.000.
Berdasarkan ketentuan tersebut seseorang yang berpenghasilan $60.000 membayar pajak
sebesar $15.000 : 20% dikenakan atas penghasilan sebesar $50.000 ( 0.20 x $50.000 =
$10.000) ditambah 50% yang dikenakan atas penghasilan $10.000 selanjutnya (0.50 x
$10.000 = $5.000). Tarif pajak rata-rata untuk orang tersebut adalah $15.000/$60.000 atau
sebesar 25%. Tetapi tarif pajak marginal adalah 50%. Jika pembayar pajak memperoleh
mendapatkan tambahan penghasilan, penghasilan yang diperoleh tersebut merupakan objek
pajak dengan tarif sebesar 50%, jadi nilai pajak terutang kepada pemerintah akan naik sebesar
$0.50.

Tarif pajak marginal dan tarif pajak rata-rata masing-masing mengandung informasi
yang berguna. Jika kita mencoba mengukur pengorbanan yang dilakukan pembayar pajak,
tarif pajak rata-rata lebih sesuai karena tarif pajak rata-rata mengukur besarnya bagian
penghasilan yang digunakan untuk membayar pajak. Di sisi lain, jika kita mencoba mengukur
berapa banyak sistem perpajakan mendistorsi insentif, tarif pajak marginal lebih tepat
digunakan. Satu dari Ten Principles of Economics pada Chapter 1 adalah apa yang orang-
orang rasional pikirkan mengenai margin. Akibat dari prinsip ini adalah tarif pajak marginal
mengukur seberapa besar sistem perpajakan mempengaruhi hati orang-orang dalam bekerja.
Jika kamu berpikir mengenai bekerja lembur, tarif pajak marginal menentukan berapa besar
penghasilan yang akan diambil pemerintah dari penghasilan tersebut. Itu adalah tarif pajak
marginal, oleh karena itu, itu menentukan kerugian dari pajak penghasilan.

D. Lump-Sum Taxes9

Kira-kira pemerintah menyebabkan utang pajak sebesar $4.000 per orang. Dengan
kata lain, setiap orang memiliki nilai yang sama, tanpa memperhatikan pendapatan atau
pekerjaan yang dilakukan. Hal seperti ini disebut sebuah lump-sum tax.Lump-sum tax

8
Op cit, hlm.245
9
Op cit, hlm.245-246

12 Universitas Indonesia
menunjukan dengan jelas perbedaan antara tarif pajak rata-rata dan tarif pajak marginal.
Untuk seorang pembayar pajak dengan pendapatan $20.000, tarif pajak rata-rata dari $4.000
lump-sum tax adalah 20%; untuk seorang pembayar pajak dengan penghasilan $40.000, tarif
pajak rata-rata nya adalah 10%. Untuk kedua pembayar pajak, tarif pajak marginalnya adalah
nol karena tidak ada pajak terutang dari penghasilan tersebut.

Lump-sum tax adalah pajak yang mungkin paling efisien. Karena keputusan
seseorang tidak mengubah nilai terutang, pajak tidak mengubah insentif dan, oleh karena itu,
tidak mengakibatkan kerugian. Karena setiap orang dapat dengan mudah menhitung nilai
terutang dan karena tidak ada keuntungan dari mempekerjakan tax lawyer dan akuntan, lump-
sum tax menyebabkan beban administrasi minimal untuk para pembayar pajak.Jika lump-sum
tax sangat efisien, kenapa kita tidak melihat nya di dunia nyata? Alasannya adalah efisiensi
hanya merupakan tujuan dari sistem perpajakan. Lump-sum tax mungkin mengenakan nilai
yang sama bagi orang yang miskin dan kaya. Untuk memahami sebuah sistem perpajakan
yang sedang diamati, kita harus mempertimbangkan tujuan utama pajak : keadilan.

3.1 Pajak dan Daya Saing Nasional


Pemerintah telah membuat kebijakan stimulus untuk meningkatkan investasi
korporasi dan daya saing produk dalam negeri. Kebijakan tersebut berupa pemberian fasilitas
fiskal. Pemberian fasilitas fiskal merupakan merupakan terobosan dari sisi Kebijakan Fiskal.
Alat-alat Kebijakan Fiskal dirancang untuk mendukung kebijakan perekonomian nasional
dengan memperhatikan beberapa perspektif kepentingan seperti Kepentingan Masyarakat,
Arah Kebijakan Industri Nasional, Arah Kebijakan Sektor Nasional yang lain, dan
Penerimaan Negara (sebagai upaya pencapaian fiscal sustainability). Untuk menjamin
ketepatan, konsistensi, dan sinergi kebijakan fiskal dibidang sektor industri, Pemerintah harus
fokus pada peta panduan (roadmap) klaster industri prioritas yang dibangun berdasarkan
pada pemilihan industri berdaya saing tinggi, pemilihan produk-produk unggulan daerah, dan
mendorong tumbuhnya industri andalan masa depan.
Kebijakan Fiskal diharapkan dapat mendukung terwujudnya tujuan pembangunan
industri nasional, yaitu (28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional) :
a. Jangka Panjang : “membangun industri dengan konsep pembangungan yang
berkelanjutan yang didasarkan pada pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan
ingkungan hidup”

13 Universitas Indonesia
b. Jangka menengah :tumbuh dan berkembang memberikan sumbangan nilai tambah
yang berarti bagi perekonomian dan menyerap tenaga kerja; menguasai pasar dalam
negeri dan meningkatkan ekspor; mendukung perkembangan sektor infrastruktur;
memberikan sumbangan terhadap penguasaan teknologi nasional; meningkatkan
pendalaman struktur industri dan mendiversifikasi jenis-jenis produksinya; tumbuh
menyebar ke luar Pulau Jawa.
Alat Kebijakan Fiskal dalam kebijakan industrimeliputi :
1. Insentif/ Disinsentif
Kebijakan Pendapatan Negara, yaitu : Pembebasan Bea Masuk, Bea Keluar, PPN
tidak dipungut/dibebaskan, dan Fasilitas PPh Badan. Sedangkan Kebijakan Belanja
Negara, yaitu :Subsidi sektor tertentu, dan Pajak Ditanggung Permerintah.
2. Protektif
Kebijakan Pendapatan Negara, yaitu : Tarif Bea Masuk BMAD, dan Safeguard A
Insentif Pajak Penghasilan Penghasilan Penghasilan Untuk Penanaman Penanaman.

Industri yang memanfaatkan Insentif Pembebasan Bea Masuk Dalam Rangka


Pembangunan atau Pengembangan Industri, yaitu :
1. Industri yang menghasilkan barang
2. 7 (tujuh) kategori Industri Penghasil Jasa, yaitu Pariwisata dan kebudayaan,
transportasi atau perhubungan, pelayanan kesehatan, pertambangan, konstruksi,
telekomunikasi, dan kepelabuhan .
Jadi Efektifitas Alat Kebijakan Fiskal dalam upaya peningkatan daya saing sangat
ditentukan dengan penentuan tujuan dan subyek kebijakan serta pilihan bauran kebijakan
fiskal yang cocok. Untuk azas transparansi dan akuntabilitas, kebijakan fiskal dirumuskan
dalam bentuk produk hukum yang harus selalu berada pada koridor hukum sesuai peraturan
perundangundangan yang berlaku.

3.2 Kebijakan Fiskal untuk Mendorong Sektor Maritim


Perairan Indonesia pada posisi silang dunia dan sejak dulu telah digunakan sebagai
jalur pelayaran dan perdaganggan internasional. Frekuensi kapal asing yang melintasi
wilayah laut yurisdiksi nasional lndonesia juga semakin meningkat seiring bergesernya pusat
kegiatan ekonomi dunia dari Atlantik ke Pasifik. Sekitar 70 % angkutan barang dari Eropa,
Timur Tengah dan Asia Selatan ke wilayah Pasifik dan sebaliknya melalui perairan

14 Universitas Indonesia
lndonesia10. Oleh karena itu secara geografis sesungguhnya Indonesia memiliki posisi yang
sangat strategis sebagai poros atau sumbu jalur pelayaran dan perdagangan dunia. Namun
demikian posisi strategis tersebut meskipun telah dimanfaatkan oleh pengguna laut, tidak
serta merta lndonesia dapat memperoleh manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan
rakyat, apabila tidak didukung oleh kemampuan memanfaatkan peluang yang ada.
Memanfaatkan posisi strategis lndonesia sebagai poros maritim dunia sesungguhnya
merupakan keharusan karena akan ikut meningkatkan kesejahteraan bangsa, oleh karena itu
diperlukan kemampuan maritim yaitu kemampuan ekonomi, politik dan militer dari suatu
bangsa yang diwujudkan pada pengaruhnya dalam menggunakan laut untuk
kepentingansendiri, serta mencegah penggunaan laut oleh pihak lain yang merugikan pihak
sendiri.
Salah satu upaya pemerintahan Presiden Jokowi dalam mengembangkan Indonesia
sebagai poros maritim dunia adalah dengan merencanakan pembangunan tol laut selama lima
tahun ke depan. Konsep tol laut diantaranya mencakup pembangunan dan pengembangan 24
pelabuhan strategis termasuk pengerukan, pengembangan terminal kontainer serta lahannya
yang nilai investasinya sebesar Rp 243,69 triliun.Adapun 24 pelabuhan itu, yakni Pelabuhan
Banda Aceh, Belawan, Kuala Tanjung, Dumai, Batam, Padang, Pangkal Pinang, Pelabuhan
Panjang, Pelabuhan Tanjung Priok, Cilacap, Tanjung Perak, Lombok, Kupang, Pontianak,
Palangkaraya, Banjarmasin, Maloy, Makassar, Bitung, Halmahera, Ambon, Sorong, Merauke
dan Jayapura.
Proyek kedua, yaitushort sea shipping seperti pengadaan kapal, pelabuhan sumur,
Bojanegara, Kenal, Pacitan dan Cirebon dengan kebutuhan anggaran Rp 7,50 triliun. Lalu ada
fasilitas kargo umum dan bulk sebagai rencana induk pelabuhan nasional yang dianggarkan
sebesar Rp 40,61 triliun. Sedangkan proyek keempat dan kelima yaitu pengembangan
pelabuhan non komersial sebanyak 1.481 pelabuhan dengan total nilai investasi Rp 198,10
triliun dan proyek pengembangan pelabuhan komersial lainnya sebanyak 83 pelabuhan
senilai Rp 41,50 triliun. Proyek keenam, transportasi multimoda untuk mencapai pelabuhan
dengan membangun akses jalan, kereta pelabuhan, kereta pesisir senilai Rp 50 triliun. Proyek
ketujuh, revitalisasi industri galangan kapal. Ada 12 galangan kapal secara menyeluruh
dengan investasi sebesar Rp 10,80 triliun. Ada pula proyek pengadaan kapal untuk lima tahun
ke depan seperti kapal kontainer, barang perintis, bulk carrier, tug & barge, tanker dan kapal
rakyat. Kebutuhan anggarannya mencapai Rp 101,74 triliun. Serta pengadaan kapal patroli

10
Indonesia Poros Maritim Dunia, Laksamana TNI (Purn) Agus Suhartono, hlm.2

15 Universitas Indonesia
dari kelas IA sampai dengan kelas V senilai Rp 6,04 triliun sebagai proyek kesembilan. Jika
ditotal, investasi yang dibutuhkan mencapai Rp 699,99 triliun di mana perhitungan kasar oleh
presiden Jokowi bisa mencapai 780 triliun11.
Pembangunan besar-besaran dalam sektor maritim ini tentunya diikuti oleh sejumlah
kebijakan fiskal yang banyak berupa insentif guna meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam sektor ini, terutama adalah kebijakan fiskal yang dapat mengurangi beban pajak kapal-
kapal domestik agar dapat bersaing dengan kapal-kapal internasional yang berlalu lintas di
wilayah perairan Indonesia. Jenis industri yang sudah mendapatkan insentif pajak adalah
industri galangan kapal. Pada kenyataanya, jumlah galangan kapal di Indonesia menjadi
masalah krusial. Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai garis pantai
panjang kedua di dunia yakni 54.716 km² setelah Kanada. Untuk itu ketersediaan galangan
kapal dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan mewujudkan Indonesia
sebagai poros maritim dunia. Saat ini, terdapat 250 industri galangan kapal di Indonesia12.
Dari jumlah tersebut, terdapat empat perusahaan negara, yaitu PT Industri Kapal Indonesia
yang berlokasi di Makassar, PT Dok dan Perkapalan Koja Bahari di Jakarta, PT PAL
Indonesia di Surabaya, serta PT Dok & Perkapalan di Surabaya. Indonesia masih kekurangan
galangan kapal mengingat jumlah dari kapal yang beroperasi di Indonesia. Dari 141
pelabuhan di Indonesia hanya 25% yang memiliki galangan kapal. Dengan kurangnya tempat
pembuatan dan reparasi maka akan menghambat perekonomian sehingga tujuan tol laut yang
dicanangkan pemerintah mempunyai hambatan jika kondisi itu tetap dibiarkan.
Diantara insentif pajak yang telah diberikan oleh pemerintah dalam mendorong
industri galangan kapal nasional adalah:

1. Insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Insentif Pajak Pertambahan Nilai terbaru yang diberikan pemerintah terkait industri
ini adalah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2015 (PP
69/15) tentang Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan Penyerahan Jasa
Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu Yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan
Nilai (PPN). Di dalam PP ini mengatur bahwa biaya impor komponen atau suku
cadang kapal tidak dipungut PPN sehingga akan membuat biaya produksi dari segala
jenis kapal di Indonesia yang bisa dibuat, terutama untuk kapal tangkap ikan sampai
kapal patroli AL, bea cukai, perhubungan, KKP itu bisa disediakan di dalam negeri

11
http://bisnis.liputan6.com/read/2138321/melongok-tol-laut-jokowi-modal-ri-jadi-poros-maritim-dunia
12
http://www.beritasatu.com/ekonomi/297342-diterapkan-kebijakan-khusus-industri-kapal-untuk-dukung-poros-
maritim.html

16 Universitas Indonesia
dengan biaya kompetitif. Selain tidak dikenakan PPN atas impornya, keempat jenis
alat angkutan tertentu di atas juga tidak dikenakan PPN atas penyerahannya.
2. Insentif Pajak Penghasilan (PPh)
Industri galangan kapal merupakan salah satu industri penting yang diperlukan di
Indonesia. Dengan memiliki indistri galangan kapal yang kuat, Indonesia akan
mampu mengoptimalkan potensi kelautannya. Namun, hingga saat ini industri
galangan kapal di Indonesia masih sepi peminat. Salah satu penyebabnya adalah
kurangnya fasilitas dan insentif terkait Pajak Penghasilan (PPh) untuk penanaman
modal yang diterapkan pemerintah Indonesia.
Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) untuk penanaman modal diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2011 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di
Daerah-daerah Tertentu. (Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 52 Tahun 2011) Pengenaan Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal industri galangan kapal adalah sebagai berikut13:
1. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah
Penanaman Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5%
(lima persen) per tahun;
2. Penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujud dan amortisasi yang dipercepat
atas aktiva tak berwujud yang diperoleh dalam rangka Penanaman Modal baru
dan/atau perluasan usaha
3. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak
luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen),
atau tarif yang lebih rendah menurut perjanjian penghindaran pajakberganda yang
berlaku;
4. kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10
(sepuluh) tahun

Adapun industri galangan kapal yang memeroleh fasilitas-fasilitas tersebut


adalah yang melakukan usaha pembuatan atau perakitan macam-macam kapal dan
perahu komersil yang terbuat dari baja, fiber glass, kayu atau ferro cement, baik yang
bermotor maupun tidak bermotor, seperti kapal penumpang, kapal ferry, kapal kargo,
kapal tanker, kapal penyeret, kapal layar untuk komersil, kapal perang, kapal untuk

13
http://www.fmeindonesia.org/kebijakan-fiskal-dalam-menyokong-industri-galangan-nasional/

17 Universitas Indonesia
penelitian, kapal penangkap ikan dan kapal untuk pabrik pengolahan ikan yang
memiliki syarat sebagai berikut:

 Investasi ≥ Rp 50 M
 Tenaga Kerja ≥ 300 orang
 Kapal diatas 50.000 DWT

Kebijakan terkait fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) untuk penanaman modal di atas
belum cukup mampu mengundang banyak investor membangun industri galangan kapal di
Indonesia. Pemerintah seharusnya segera merevisi PP tersebut dengan menghapuskan syarat
‘kapal diatas 50.000 DWT’ untuk mempermudah industri mendapatkan fasilitas Pajak
Penghasilan.
Adapun pemerintah sedang mempertimbangkan kebijakan fiskal lebih lanjut di dalam
industri galangan kapal yaitu pembebasan bea masuk impor komponen bagi industri galangan
kapal di Tanah Air. Tetapi, pembebasan bea masuk impor komponen tersebut dikhususkan
untuk komponen-komponen yang belum diproduksi di dalam negeridan penerapan bea masuk
ditanggung pemerintah (BMDTP) untuk komponen yang berhubungan dengan industri lain.14

14
http://www.kemenperin.go.id/artikel/12183/Pemerintah-Kaji-Bea-Masuk-Komponen-Galangan-Kapal-0

18 Universitas Indonesia
BAB 4
PENUTUP

4.1 Simpulan
1. Asas efisiensi dalam pemungutan pajak dapat kita lihat dari dua sisi yang berbeda
 Dari segi fiskus, pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya pemungkutan pajak
yang dilakukan oleh kantor pajak lebih kecil dari pada jumlah pajak yang akan
diterima
 Dari segi Wajib Pajak, Pemungutan pajak dikatakan efisien jika Wajib Pajak
mengeluarkan biaya yang minimum untuk memenuhi kebutuhan
perpajakannya.sehingga banyak Wajib Pajak melakukan manajemen pajak untuk
memperkecil jumlah pajak yang seharusnya dibayar dengan sesuai aturan, namun ada
beberapa Wajib Pajak yang melakukan manajen pajak yang tidak sesuai dengan
aturang yang berlaku (untuk menghindari beban pajak)
2. Melalui pengaturan kebijakan fiskal, pemerintah membuat insentif-insentif dalam
sektor industri dalam negeri agar memiliki daya saing yang tinggi. Yang menjadi
salah satu fokus utama pemerintah adalah kebijakan fiskal dalam sektor maritim
mengingat Indonesia ingin mewujudkan negara sebagai poros maritim dunia yang
didukung dengan pembangunan tol laut, yakni penerapan PPN tidak dipungut untuk
impor komponen oleh industri galangan kapal serta untuk penyerahan galangan kapal
dan juga insentif PPh untuk menjaring investasi di dalam industri galangan kapal.

4.2 Saran

Adapun saran yang akan kami berikan terkait dengan pembahasan yang telah
dilakukan adalah:

1. Beban administratif sitem perpajakan dapat dikurangi dengan menyederhanakan


peraturan perpajakan.
2. Demi mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, pemerintah layaknya
segara mengesahkan segala peraturan maupun kebijakan fiskal yang memudahkan
industri maritim domestik agar memiliki daya saing yang tinggi. misalnya saja
wacana mengenai pembebasan bea masuk terhadap impor komponen perusahaan
galangan kapal dalam negeri dan penerapan BMDTP (Bea Masuk ditanggung
pemerintah) untuk impor alat yang berhubungan dengan industri lain.

19 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak, Jakarta: Rajawali Pers, 2012
Mankiw, Gregory N, Principles of Microeconomics, 6th Edition, Mason: South-Western
Cengage Learning, 2012

Peraturan-Peraturan:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-
Daerah Tertentu

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2015 Tentang Impor Dan
Penyerahan Alat Angkutan Tertentu Dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Terkait Alat
Angkutan Tertentu Yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai

Artikel:

Suhartono, Agus, “Indonesia Poros Maritim Dunia”

Sumber Lainnya:

“http://ekbis.sindonews.com/read/808410/33/daya-saing-lemah-karena-kesadaran-bayar-
pajak-minim-1385009479”, diakses pada 1 Oktober 2015
“http://www.beritasatu.com/ekonomi/174342-insentif-pajak-riset-tingkatkan-daya-saing-
bangsa.html”, diakses pada 1 Oktober 2015
“http://m.tribunnews.com/bisnis/2015/08/05/insa-usung-empat-agenda-insentif-fiskal-untuk-
kemajuan-industri-maritim”, diakses pada 1 Oktober 2015
“http://bisnis.liputan6.com/read/2138321/melongok-tol-laut-jokowi-modal-ri-jadi-poros-
maritim-dunia”, diakses pada 1 Oktober 2015

20 Universitas Indonesia
“http://www.beritasatu.com/ekonomi/297342-diterapkan-kebijakan-khusus-industri-kapal-
untuk-dukung-poros-maritim.html”, diakses pada 1 Oktober 2015
“http://www.fmeindonesia.org/kebijakan-fiskal-dalam-menyokong-industri-galangan-
nasional/”, diakses pada 1 Oktober 2015
“http://repository.usu.ac.id”, diakses pada 1 Oktober 2015
“http://kemenperin.go.id”, diakses pada 1 Oktober 2015

21 Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai