Anda di halaman 1dari 12

PEMBIAYAAN DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

DENGAN MENGGUNAKAN ANGGUNAN DALAM


PERSPEKTIF FIQH (KONSEP DASAR RAHN)

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas


Mata Kuliah Fiqh Kontemporer

Dosen Pengampu: Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.

Disusun oleh:
Kelompok 8
SRI ANDRIANI
(141273510)

KELAS: B

JURUSAN SI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
(IAIN) METRO

TAHUN 2017
A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak asing dengan kata gadai atau
pegadaian. Dalam agama Islam istilah gadai disebut dengan rahn. Ketika kita
membutuhkan dana dalam kondisi yang mendesak dan cepat, sedangkan kita tidak
memiliki dana cash atau tabungan maka pendanaan pihak ketiga menjadi
alternative pemecahannya. Disitulah kita bisa menggunakan akad rahn agar bisa
mendapatkan dana untuk kebutuhan tersebut. Pegadaian yang ada saat ini tidak
hanya pegadaian konvensional saja, melainkan sudah pegadaian pegadaian syariah
yang terus berkembang hingga saat ini. Pegadaian syariah sudah ada sejak jaman
Rasulullah SAW. Sehingga hukumnya diperbolehkan dalam agama Islam jika
memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan. Jika salah satu rukun dan
syarat tersebut tidak terpenuhi maka rahn tersebut tidak sah dan dilarang, karena
dapat menimbulkan perselisihan antara kedua belah pihak. Dalam Islam juga
mengatur bagaimana pemanfaatan barang gadai tersebut, namun terdapat berbagai
pendapat yang sedikit berbeda dari beberapa ulama.

B. KONSEP DASAR RAHN

1. DEFINISI RAHN

a. Secara etimologi, Rahn berarti ‫( ألثبوت والدوام‬tetap dan lama), yakni


tetap atau berarti ‫( ألحبس واللزوم‬pengekangan dan keharusan).1 Secara
istilah al-Rahn adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.2
b. Menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al Mugni, al-Rahn adalah
sesuatu benda yang di jadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk
dipenuhi dari hargannya, apabila yang berhutang tidak sanggup
membayarnya dari yang berpiutang. Sedangkan menurut Sayyid Sabiq
di dalam bukunya Fikih Sunnah, Rahn yaitu menjadikan barang yang

1
Rachmat Syafei, Fiqh Mu‟amalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), cet. Ke-3, h. 159.
2
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema
Insani, 2011), cet. ke-17, h. 128.

1
mempunyai nilai harta menurut pandangan Syara‟ sebagai jaminan
hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang
atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu.3
c. Menurut istilah syara‟, yang dimaksud dengan al-Rahn ialah akad
yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin
diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.”4

Rahn atau gadai adalah jaminan yang diserahkan oleh pihak


pengutang kepada yang memberi utang. Pemberi utang mempunyai kuasa
penuh untuk menjual barang jaminan tersebut apabila pihak pengutang
tidak mampu membayar utangnya saat jatuh tempo. Apabila uang hasil
penjualan jaminan tersebut melebihi jumlah utang, maka sisanya harus
dikembalikan kepada pengutang, namun bila kurang dari jumlah utang,
pihak pengutang harus menambahinya agar utang tersebut terbayar lunas.5

Berdasarkan beberapa pengertian Rahn diatas, dapat diartikan


bahwa Rahn adalah barang yang berharga yang memiliki nilai guna dan
dapat dimanfaatkan yang diserahkan oleh orang yang berutang kepada
orang yang memberi utang sebagai jaminan atas utangnya tersebut.
Apabila ketika sudah jatuh tempo pembayaran dan orang yang berutang
tidak mampu melunasi utangnya, maka orang yang memberi utang berhak
untuk menjual barang jaminan tersebut untuk melunasi piutangnya, namun
ketika hasil dari penjualan jaminan tersebut melebihi jumlah utang yang
harus dibayar, maka orang yang memberi utang wajib mengembalikan
kelebihannya, dan jika hasilnya kurang, maka yang berutang wajib
melunasi sisanya.

3
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1995), cet. Ke-7, h. 139.
4
Hendi Suhendi, Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), cet. Ke-5,
h. 105.
5
Imam Mustofa, Fiqh Mu‟amalah Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2016), h.193

2
2. DASAR HUKUM RAHN
Yang menjadi dasar hukum Rahn adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur‟an
Ayat Al-Qur‟an yang menjelaskan tentang Rahn terdapat pada surah
Al-Baqarah ayat 283:

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)


sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

2. Hadis
Hadis riwayat „Aisyah yang artinya:
“Dari „Aisyah ra. Sesungguhnya nabi Saw. Pernah membeli
makanan dari seorang Yahudi dengan berutang dengan tempo tertentu, beliau
menjadikan baju perangnya sebagai jaminan utang tersebut.”7

6
QS. Al-Baqarah (2): 283
7
Imam Mustofa, Fiqh Mu‟amalah.., h. 194

3
3. Ijma‟
Para ulama sepakat memperbolehkan akad Rahn. Akad Rahn
termasuk kedalam akad yang hampir semua masyarakat dunia
mempraktikkannya. Praktik tersebut dinilai sebagai salah satu metode
penyelesaian masalah dalam kehidupan bermasyarakat.8

4. Kaidah Fiqh
“pada dasarnya segala bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya”.
Kaidah ini adalah salah satu kaidah pokok (qawaid ushul). Bahwa
dalam hal yang bersifat kemuamalatan, segala hal atau tindakan dihukumi
boleh (mubah). Akan menjadi terlarang (haram) jika terdapat dalil/hukum
yang mengharamkan suatu tindakan tersebut. Akad Rahn merupakan akad
dalam dunia kemuamalatan, sehingga hukum asalnya boleh.9

5. Fatwa DSN MUI


Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002
Tentang Rahn.10
Hukum:
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan
utang dalam bentuk Rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.

Ketentuan Umum:
a. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun
(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

8
Habib Wakidatul Ihtiar, “Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:92/DSN-
MUI/IV/2014 Tentang Pembiayaan yang disertai Rahn”, Vol. 03, No. 01, (2016), h. 32
9
Ibid., h. 33
10
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn.

4
b. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya,
marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin,
dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar
pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
c. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
d. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
e. Penjualan marhun:
1) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk
segera melunasi utangnya.
2) Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun
dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
3) Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
4) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya
menjadi kewajiban rahin.

Ketentuan penutup:
a. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
b. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.

5
3. RUKUN DAN SYARAT RAHN
Rukun Rahn ada empat, yaitu pemberi gadai (Rahin), penerima gadai
(Murtahin), barang jaminan (Marhun) dan utang (Marhunbihi).11 Sedangkan
syarat Rahn adalah sebagai berikut:12

4. Aqid (Rahin dan Murtahin)


Pihak-pihak yang melakukan perjanjian Rahn, yakni rahin dan murtahin,
harus mempunyai kemampuan, yaitu berakal sehat. Kemampuan juga
berarti kelayakan seseorang untuk melakukan jual beli, maka ia juga sah
melakukan Rahn, karena gadai seperti jual beli, yang merupakan
pengelola harta.

5. Shighat (akad)
Shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan waktu
di masa mendatang. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan
pemberian utang seperti halnya akad jual beli, sehingga tidak boleh diikat
dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu tertentu atau dengan
waktu di masa depan.

6. Marhunbihi (utang)
Harus merupakan hak yang wajib diberikan dan diserahkan kepada
pemiliknya dan memungkinkan pemanfaatannya. Bila sesuatu yang
menjadi utang itu tidak bisa dimanfaatkan maka tidak sah. Harus
dikuantifikasikan atau dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat diukur atau
tidak dapat dikuantifikasikan, Rahn tidak sah.

7. Marhun (barang)

11
Imam Mustofa, Fiqh Mu‟amalah.., h. 195
12
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghlmia
Indonesia, 2012), h. 199-200

6
Menurut ulama syafi‟iyah,gadai bisa sah dengan dipenuhinya tiga syarat.
Pertama, harus berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan. Kedua,
penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak
terhalang. Ketiga, barang yang dugadaikan bisa dijual manakala sudah
tiba pelunasan utang gadai. Jadi, para ulama sepakat bahwa syarat pada
gadai adalah syarat yang berlaku pada barang yang bisa diperjual belikan.

Berdasarkan pendapat ulama Syafi‟iyah tersebut dapat diambil


kesimpulan bahwa syarat-syarat barang rahn adalah:
1) Harus bisa diperjualbelikan
2) Harus berupa harta bernilai
3) Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah, tidak berupa
barang haram
4) Harus diketahui keadaan fisiknya
5) Harus dimilki oleh rahn, setidaknya harus atas izin
pemiliknya.13

Rahn dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan


syarat tersebut, apabila salah satu rukun syarat tidak terpenuhi maka rahn
tidak sah.

4. PEMANFAATAN BARANG GADAI


Terkait pemanfaatan barang gadaian oleh orang yang menggadaikan, ada
dua pendapat dari kalangan ulama. Mayoritas ulama, selain Syafi‟iyah
berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh memanfaatkan barang
gadaian. Sementara kalangan Syafi‟iyah memperbolehkan pihak yang
menggadaikan memanfaatkan barang gadaian selama tidak menimbulkan
perselisihan dengan pihak penerima gadai.14

13
Ibid., h. 200
14
Imam Mustofa, Fiqh Mu‟amalah.., h. 199

7
Biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang diagunkan adalah milik
orang yang menggadaikan (rahin), sedangkan penerima barang (murtahin) tidak
boleh mengambil manfaat dari barang gadaian tersebut karena barang itu bukan
miliknya secara penuh. Penerima barang gadai hanya sebagai jaminan piutang,
dan apabila orang yang memiliki utang tidak mampu melunasinya, ia boleh
menjual atau menghargai barang tersebut untuk melunasi piutangnya.
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang
digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin). Adapun murtahin, ia
tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang
tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh
menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam
arti pemeliharaan barang tersebut). Hal ini dikarenakan jumhur ulama beralasan
dengan sabda Rasulullah Saw, yang artinya:
“Agunan itu tidak boleh dihalangi pemiliknya yang telah
menggunakannya, ia berhak atas kelebihan (manfaat)-nya dan wajib menanggung
kerugian (penyusutan)-nya” (HR as-Syafii, al-Baihaqi, al Hakim, Ibn Hibban dan
ad-Daraquthni).

Sebagian ulama Hanafiyyah memperbolehkan barang agunan


dimanfaatkan apabila pemilik barang telah mengijinkan, maka tidak ada halangan
bagi pemegang barang agunan untuk memanfaatkannya. Akan tetapi sebagian
ulama Hanafiiyah lainnya, ulama Malikiyah dan ulama Syafi‟iyah berpendapat
sekalipun pemilik barang agunan itu mengijinkan, karena jika barang agunan itu
dimanfaatkan itu merupakan riba yang dilarang syara‟.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa apabila dijadikan barang agunan
tersebut adalah hewan, maka pemegang barang agunan berhak untuk mengambil
susunya dan mempergunakannya sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaannya
yang dikeluarkan pemegang barang gadai.15

15
Rokhmat Subagiyo, “Tinjauan Syariah tentang Pegadaian Syariah (Rahn)”, Vol. 01,
No. 01 (2014) , h. 176

8
Dalam kondisi sekarang, maka apabila marhun berupa hewan itu di-
qiyas-kan dengan kendaraan, illat-nya yang disamakan adalah hewan dan
kendaraan sama-sama memiliki fungsi yang dapat dinaiki, dan diperah susunya
dapat di-illat-kan dengan digunakannya kendaraan itu untuk hal yang
“menghasilkan”, dengan syarat tidak merusak kendaraan itu. Hal yang dapat
dipersamakan illat-nya adalah ”hasilnya”, yaitu apabila hewan hasilnya susu,
maka kendaraan hasilnya adalah uang. Selanjutnya syarat bagi murtahin untuk
mengambil manfaat marhun yang bukan berupa hewan yaitu adanya izin dari
penggadai rahin dan adanya gadai bukan sebab mengutangkan.
Kebolehan murtahin mengambil manfaat dari marhun yang dapat
ditunggangi dan diperah ialah berdasarkan hadist Nabi yang artinya:
“Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah Saw bersabda,
“Punggung hewan ditunggangi sesuai dengan biayanya apabila digadaikan. Air
susu hewan diminum sesuai biayanya apabila diagdaikan. Bagi yang
menunggang dan meminum wajib menanggung biayanya.” (HR. Bukhari)16

Dari hadis tersebut membolehkan murtahin untuk memanfaatkan marhun


atas seizing pihak rahin, dan nilai pemanfaatannya harus disesuaikan dengan
biaya yang telah dikeluarkannya untuk marhun tersebut.

16
Ibid., h. 177

9
DAFTAR PUSTAKA

Fadlan. “Gadai Syariah; Perspektif Fiqih Muamalah dan Aplikasinya dalam


Perbankan”. Iqtishadia. Vol. 1, No. 1/Juni 2014
Ghufran A. Mas‟adi. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2002
Habib Wakidatul Ihtiar, “Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional
Nomor:92/DSN-MUI/IV/2014 Tentang Pembiayaan yang disertai
Rahn”, Vol. 03, No. 01, (2016).
Hendi Suhendi, Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), cet. Ke-
5.
Imam Mustofa, Fiqh Mu‟amalah Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2016).
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghlmia
Indonesia, 2012).
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema
Insani, 2011), cet. ke-17.
Naida Nur Alfisyahril; Dodik Siswantoro. “Praktik dan Karakteristik Gadai
Syariah di Indonesia”. SHARE. Vol. 1, No. 2/Juli-Desember 2012
Rachmat Syafei, Fiqh Mu‟amalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), cet. Ke-3.
Rokhmat Subagiyo, “Tinjauan Syariah tentang Pegadaian Syariah (Rahn)”, Vol.
01, No. 01 (2014).
Rosdalina Bukido dan Faradila Hasan. “Penerapan Akad Ijarah Pada Produk Rahn
di Cabang Pegadaian Syariah Istiqlal Manado”. Jurnal Ilmiah Al-Syari‟i.
Vol. 14, No 1/2016

10
Salsi Rais. Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian
Kontemporer. Jakarta: UII Press. 2006
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1995), cet. Ke-7.
Warkum Sumitro. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait
(BAMUI, Takaful, dan Pasar Modal Syariah) di Indonesia. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. 2004.

11

Anda mungkin juga menyukai