Anda di halaman 1dari 9

JENIS JADWAL

No. TUJUAN SASARAN LOKASI PELAKSANA


KEGIATAN KEGIATAN
Pemeriksaan
terhadap bayi dan P2 ISPA
1 balita Deteksi dinI penyakit ISPA Bayi, Balita Posyandu Kader
Kesehatan

Melatih Kader Kepala


Pelatihan Kader
2 untukmengenal penyakit Kader Kesehatan Puskesmas Puskesmas
Kesehatan
ISPA P2 ISPA
Kepala
Memberikan pengetahuan
Puskesmas
Penyuluhan kepada ibu-ibu tentang
3 Ibu-ibu Puskesmas P2 ISPA
tentang ISPA gejala dan pencegahan
Kader
penyakit ISPA
Kesehatan
Memberikan pelatihan
kepada petugas kesehatan Petugas
Pelatihan Puskesmas Pembantu dan Kesehatan P2 ISPA
4 Puskesmas
pengobatan ISPA Poskesdes yang diberikan Pustu dan Dokter
wewenang untuk Poskesdes
mengobati ISPA
Kunjungan Rumah
Pelayanan
Kesehatan Pemberian imunisasi untuk Rumah
5 Bayi dan Balita P2 ISPA
ISPA/Pneumonia mencegah penyakit ISPA Warga

Memantau pelaksanaan Bayi /Balita


Wilayah
6 Monitoring program penanganan Kader P2ISPA
Kerja
penyakit ISPA Kesehatan
Mengukur tingkat
Petugas
keberhasilan program dan
Kesehatan
7 Evaluasi mengidentifikasi
hambatan-hambatan
pelaksanaan
KADER ISPA
ISPA : INFEKSI SALURAN PERNAPASAN SELAMA 14 HARI. (
VIRUS,BAKTERI,JAMUR )
Gejala : Batuk, Pilek, Sesak nafas
Tanda tanda bahaya pada anak :
a. Tidak mau minum
b. Kejang
c. Susah dibangunkan
d. Mengi
e. Stridor pada saat tenang
f. Gizi buruk
g. Demam
h. Teraba dingin
Dapatkan pertolongan segera !! ke puskesmas.
Yang diberikan : antibiotic,obat batuk/sesak
Perawatan dirumah :
a. Berikan ASI
b. Makanan yang cukup dan seimbang
c. Pastikan bayi anda tetap hangat
d. Berikan antibiotic sesuai waktu dan dosisnya.
JENIS RUJUKAN
 Menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri dari : rujukan internal dan rujukan
eksternal
a. Rujukan internal adalah rujukan horizontal yang terjadi antar unit pelayanan di
dalam institusi tersebut. Misalnya dari jejaring puskesmas (puskesmas pembantu) ke
puskesmas induk
b. Rujukan eksternal adalah rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang
pelayanan kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas ke puskesmas rawat inap)
maupun vertikal (dari puskesmas ke rumah sakit umum daerah)
 Menurut lingkup pelayanannya, sistem rujukan terdiri dari : rujukan medik dan rujukan
kesehatan
a. Rujukan kesehatan
 Rujukan kesehatan meliputi pencegahan dan peningkatan kesehatan
 Rujukan kesehatan dilaksanakan secara bertahap yaitu pada tingkat dasar di
masyarakat melalui Puskesmas → Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Provinsi,
misalnya :
• Penanganan wabah
• Bantuan sarana, misalnya, obat-obatan dan vaksin
• Bantuan teknologi, misalnya, pemeriksaan limbah rujukan medis
b. Rujukan medik
Rujukan medis meliputi pelayanan kesehatan untuk meningkatkan pemulihan dan
pengobatan.
 Konsultasi penderita, untuk keperluan diagnostik, pengobatan dan tindakan
 Pengiriman bahan (spesimen) pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap
 Mendatangkan atau mengirimkan tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk
meningkatkan pelayanan pengobatan setempat.
Tuberkulosis pada ODHA

a. Tuberkulosis pada ODHA Dewasa 1) Diagnosis Gejala klinis TB pada ODHA tidak
spesifik. Pada sebagian besar ODHA gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam
dan penurunan berat badan yang signifikan, sedangkan keluhan batuk pada ODHA
seringkali tidak spesifik seperti yang dialami terduga TB pada umumnya. Oleh karena itu
direkomendasikan bila ODHA datang dengan keluhan batuk berapapun lamanya harus
dievaluasi untuk diagnosis TB. Baik deteksi dini TB pada ODHA maupun deteksi dini
HIV pada pasien TB keduanya penting untuk meningkatkan penemuan dini koinfeksi
TB-HIV, sehingga dapat memulai pengobatan lebih cepat agar keberhasilan pengobatan
akan lebih baik. Formulir Skrining Gejala dan Tanda TB pada ODHA dapat dilihat pada
Formulir 2.
Diagnosis TB paru Penegakkan diagnosis TB paru pada ODHA tidak terlalu berbeda
dengan orang dengan HIV negatif. Diagnosis harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
konfirmasi bakteriologis, yaitu pemeriksaan mikroskopis langsung, tes cepat dan biakan.
Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis
TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang
(setidaktidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB paru pada
ODHA, antara lain:

(1) Pemeriksaan mikroskopis langsung Pemeriksaan mikroskopik dahak dilakukan


melalui pemeriksaan uji dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS). Apabila minimal satu dari
pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya positif maka ditetapkan sebagai pasien TB.
(2) Pemeriksaan tes cepat TB Oleh karena pemeriksaan mikroskopik dahak pada ODHA
sering memberikan hasil negatif maka diperlukan penegakkan diagnosis TB dengan
menggunakan tes cepat TB yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan (paralel)
dengan menggunakan sediaan dahak sewaktu pertama di fasyankes yang memiliki
fasilitas/jejaring tes cepat TB. Pemeriksaan tes cepat TB dilakukan dengan pemeriksaan
MTB/RIF. Selain ditemukan adanya Mycobacterium tuberculosis juga menentukan
apakah M. tuberculosis tersebut sensitif atau resistan terhadap Rifampisin.
(3) Pemeriksaan biakan dahak Pemeriksaan biakan dahak dimaksudkan untuk
menegakkan diagnosis, namun harus dilakukan di sarana laboratorium yang sudah
tersertifikasi. Mengingat bahwa pemeriksaan ini membutuhkan waktu, maka
pemeriksaan biakan dahak hanya dilakukan jika tidak tersedia fasilitas tes cepat TB.
(4) Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis pada ODHA tidak direkomendasi
lagi Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur
diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB
terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu,
pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasikan lagi. Namun
antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan infeksi oportunistik yang mungkin
disebabkan oleh infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud
pemberian antibiotik tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB, tetapi sebagai
pengobatan infeksi bakteri lain. Jangan menggunakan antibiotik golongan fluorokuinolon
karena memberikan respons terhadap M. tuberculosis dan dapat memicu terjadinya
resistansi terhadap obat tersebut.
(5)Pemeriksaan foto toraks Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam
membantu diagnosis TB paru pada ODHA khususnya dengan bakteriologis negatif dan
ODHA yang tidak dapat mengeluarkan dahak setelah dilakukan berbagai upaya untuk
menginduksi dahak. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan
foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik untuk TB
paru pada ODHA sehingga dapat menyebabkan over-diagnosis atau underdiagnosis. Pada
pemeriksaan foto toraks infiltrat umumnya terdapat di apeks, namun pada ODHA dengan
TB infiltrat seringkali ditemukan di basal, terutama pada HIV stadium lanjut. Pada HIV
stadium awal gambaran foto toraks dapat sama dengan gambaran foto toraks pada pasien
TB umumnya. Pada ODHA dengan TB tidak jarang ditemukan gambaran TB milier.
Dengan adanya akses tes cepat TB di berbagai tempat di Indonesia, alur diagnosis TB
pada ODHA dibagi menjadi alur pada fasyankes dengan akses ke tes cepat dan tanpa
akses seperti pada bagan 6 dan 7.
PWS-KIA
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA) merupakan program
nasional yang telah dilaksanakan sejak tahun 1990-an. Sampai saat ini seluruh
kabupaten/kota telah melaksanakan secara rutin dan melaporkan ke pusat melalui propinsi.

Tujuan yang ada dalam PWS-KIA yaitu sebagai alat pemantauan pelaksanaan
program KIA.
Pws kia memiliki tujuan agar berjalannya program KIA dan menurunkan AKI

Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) adalah alat
manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA di suatu wilayah kerja secara terus
menerus, agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat. Program KIA yang
dimaksud meliputi pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi
kebidanan, keluarga berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan komplikasi, bayi, dan
balita. Kegiatan PWS KIA terdiri dari pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi
data serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak/instansi terkait
untuk tindak lanjut.

Definisi dan kegiatan PWS tersebut sama dengan definisi Surveilens. Menurut WHO,
Surveilens adalah suatu kegiatan sistematis berkesinambungan, mulai dari kegiatan
mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan
landasan yang esensial dalam membuat rencana, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan
kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan surveilens dalam kesehatan ibu dan anak
adalah dengan melaksanakan PWS KIA.

Dengan PWS KIA diharapkan cakupan pelayanan dapat ditingkatkan dengan menjangkau
seluruh sasaran di suatu wilayah kerja. Dengan terjangkaunya seluruh sasaran maka
diharapkan seluruh kasus dengan faktor risiko atau komplikasi dapat ditemukan sedini
mungkin agar dapat memperoleh penanganan yang memadai. Penyajian PWS KIA juga dapat
dipakai sebagai alat advokasi, informasi dan komunikasi kepada sektor terkait, khususnya
aparat setempat yang berperan dalam pendataan dan penggerakan sasaran.
Dengan demikian PWS KIA dapat digunakan untuk memecahkan masalah teknis dan non
teknis. Pelaksanaan PWS KIA akan lebih bermakna bila ditindaklanjuti dengan upaya
perbaikan dalam pelaksanaan pelayanan KIA, intensifikasi manajemen program, penggerakan
sasaran dan sumber daya yang diperlukan dalam rangka meningkatkan jangkauan dan mutu
pelayanan KIA. Hasil analisis PWS KIA di tingkat puskesmas dan kabupaten/kota dapat
digunakan untuk menentukan puskesmas dan desa/kelurahan yang rawan. Demikian pula
hasil analisis PWS KIA di tingkat propinsi dapat digunakan untuk menentukan
kabupaten/kota yang rawan.

C. Tujuan
Tujuan umum :
Terpantaunya cakupan dan mutu pelayanan KIA secara terus-menerus
di setiap wilayah kerja.
Tujuan Khusus :
1. Memantau pelayanan KIA secara Individu melalui Kohort
2. Memantau kemajuan pelayanan KIA dan cakupan indikator KIA
secara teratur (bulanan) dan terus menerus.
3. Menilai kesenjangan pelayanan KIA terhadap standar pelayanan
KIA.
4. Menilai kesenjangan pencapaian cakupan indikator KIA terhadap
target yang ditetapkan.
5. Menentukan sasaran individu dan wilayah prioritas yang akan
ditangani secara intensif berdasarkan besarnya kesenjangan.
6. Merencanakan tindak lanjut dengan menggunakan sumber daya
yang tersedia dan yang potensial untuk digunakan.
7. Meningkatkan peran aparat setempat dalam penggerakan sasaran
dan mobilisasi sumber daya.
8. Meningkatkan peran serta dan kesadaran masyarakat untuk
memanfaatkan pelayanan KIA.
Pembuatan Grafik PWS KIA

PWS KIA disajikan dalam bentuk grafik dari tiap indikator yang
dipakai, yang juga menggambarkan pencapaian tiap desa/kelurahan
dalam tiap bulan.
Dengan demikian tiap bulannya dibuat 13 grafik, yaitu :
1. Grafik cakupan kunjungan antenatal ke-1 (K1).
2. Grafik cakupan kunjungan antenatal ke-4 (K4).
3. Grafik cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn).
4. Grafik cakupan kunjungan nifas (KF).
5. Grafik deteksi faktor risiko/komplikasi oleh masyarakat.
6. Grafik penanganan komplikasi obsetrik (PK).
7. Grafik cakupan kunjungan neonatal pertama (KN1).
8. Grafik cakupan kunjungan neonatal lengkap (KNL).
9. Grafik penanganan komplikasi neonatal (NK).
10. Grafik cakupan kunjungan bayi (KBy).
11. Grafik cakupan pelayanan anak balita (KBal).
12. Grafik cakupan pelayanan anak balita sakit (BS).
13. Grafik cakupan pelayanan KB (CPR).
Mengapa diperlukan VITAMIN A
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3936685/
Vitamin A merupakan Vitamin Essensial yang artinya tidak dapat dibentuk secara
mandiri oleh tubuh maka dari itu harus mengandalkan diet yang masuk kedalam tubuh.

Vitamin A merupakan "suplementasi" artinya konsumsi vitamin A kembali kepada


masing-masing daya tahan Bayi. Karena kasus defisiensi vitamin A diseluruh dunia
tinggi, maka dari itu dibentuk pedoman dari WHO dan Indonesia sendiri.

0-6 bulan pertama mendapatkan Vit A dari ASI ibu (ASI EKSKLUSIF)
bulan ke-7 sampai 59 didapatkan dari kapsul merah

Anda mungkin juga menyukai