Anda di halaman 1dari 2

Dulu (sampai dengan tahun 1970-an, bahkan sampai dengan sekarang juga

masih) orang sangat percaya pada kemampuan umum, yang biasanya dinyatakan
dalam IQ (Intelligence Quotient). Anak anak dengan IQ yang tinggi (di atas 120)
dianggap punya potensi yang lebih besar untuk berhasil dalam pelajaran dan
karenanya punya masa depan yang lebih baik. Karena itu sekolah sekolah berlomba
lomba mensyaratkan calon muridnya untuk di tes IQ dulu dan yang IQ nya di atas
120 langsung diterima. Bahkan di sekolah pada tahun 2000-an, dibina kelas akselerasi
, yaitu kelas khusus anak anak berbakat. Dari penelitian dan pengamatan sehari hari,
justru yang mempunyai IQ tinggi dan pandai di kelas saat ini tidak terdengar
kabarnya. Namun sebaliknya yang biasa saja, justru saat ini menduduki jabatan
penting atau jadi professional kelas nasional, bahkan kelas dunia.

Oleh karena itu, saat ini Ilmu Psikologi tidak lagi mengandalkan teori faktor
“G”, tetapi beralih ke apa yang dinamakan “Kecerdasan Majemuk” yang ditemukan
oleh Gardner. Dalam bukunya dinyatakan bahwa kecerdasan tidak terdiri dari satu
yang umum dan beberapa inteligensi yang khusus, melainkan memang benar benar
ada beberapa inteligensi khusus yaitu kecerdasan bahasa, logika matematika, ruang,
gerak tubuh, music, antar pribadi, dan ke dalam diri.

Teori MI dari Howard Gardner menjelaskan bahwa setiap orang memiliki bakat
masing masing di bidang yang berbeda beda. Seperti contohnya Penyanyi Titik Puspa
yang sekolahnya terbatas namun jenius di bidang music, sementara jangan suruh BJ
Habibie menyanyi. Itulah mengapa AS menerapkan pelajaran wajib hanya 4-5,
sisanya adalah pelajaran sesuai dengan bidang ketrampilan yang dipilih.

Namun teori ini pun menuai kritik karena dianggap kurang mendasarkan dalam
teorinya.pada penelitian melainkan hanya berdasarkan pada pengamatan dan
intuisinya

Kembali pada taraf kecerdasan umum. Teori lama menyatakan bahwa


perrbedaan tingkat kecerdasan itu sudah bawaan sejak lahir. Ada orang yang terlahir
pintar, maupun biasa saja. Setelah melalui beberapa eksperimen, mengukur taraf
inteligensi secara langsung tidaklah mungkin. Karena konsep inteligensi tidak pernah
jelas. Namun beberapa sarjana percaya bahwa dapat diukur berdasarkan aspek
kemampuan tertentu.

Normalnya seorang anak yang berusia kalender enam tahun, harus mampu
melakukan hal hal yang biasa dilakukan oleh anak berusia enam tahun pada
umumnya.

Dan pengukuran inteligensi untuk orang dewasa dilakukan dengan alat alat
psikodiagnotik, yang oleh orang awam disebut dengan psikotes, yaitu serangkaian
pertanyaan atau tugas untuk mengukur aneka kemampuan, mulai dari analisis verbal
sampai dengan logika numerik.

Yang menjadi perdebatan oleh para pakar psikologi adalah apakah IQ masing
masing individu benar benar diperoleh sejak lahir dan tidak bisa diubah-ubah lagi
atau justru lebih banyak dipengaruhi oelh lingkungan sosial, kebudayaan, dan
pendidikan. Kaum nativis berpendapat bahwa sekali orang sudah mengalami
keterbelakangan mental maka seumur hidupnya tidak mungkin dapat memahami hal
abstrak sejenis menghitung, menghafal seperti orang pada umumnya. Sedangkan
kaum empiris, berpendapat bahwa orang dengan IQ rata rata apabila diasah
sedemikian rupa maka akan berprestasi luar biasa. Maka jelaslah faktor budaya
sangat berperan dalam menentukan inteligensi seseorang.

Anda mungkin juga menyukai