Anda di halaman 1dari 114

PERBANDINGAN FIKIH MAZHAB DENGAN HUKUM KELUARGA

DI INDONESIA DAN NEGARA BRUNEI DARUSSALAM


TENTANG PERCERAIAN

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
Lutfah Rohmanah
11140440000035

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
i
ii
iii
ABSTRAK

Lutfah Rohmanah. NIM 11140440000035. PERBANDINGAN FIKIH MAZHAB


DENGAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN NEGARA BRUNEI
DARUSSALAM TENTANG PERCERAIAN. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019
M. ix + 92 Halaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana, Hukum Keluarga di
Indonesia dan Negara Brunei Darussalam mengatur tentang prosedur perceraian, masa
idah qobla dukhûl, hakam atau mediator. Hukum di kedua negara tersebut akan
diperbandingkan secara vertikal, horizontal, dan diagonal.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan yuridis normatif dan library research dengan melakukan pengkajian terhadap
peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan kitab-kitab fikih yang berkaitan dengan
judul skripsi ini.
Apabila dilakukan perbandingan secara vertikal, maka mazhab fikih tidak
menentukan tempat bercerai, sedangkan Indonesia perceraian dapat dilakukan di depan
sidang Pengadilan, berbeda dengan Negara Brunei yang mengikuti aturan mazhab fikih
bahwa melakukan perceraian boleh di luar Pengadilan. Menurut mazhab fikih tidak ada
masa idah untuk cerai qabla al-dukhûl, pernyataan berikut sama seperti aturan yang
terdapat di Indonesia, sedangkan di Negara Brunei Brunei terdapat masa idah. Menurut
mazhab fikih hakam atau mediator dipilih dari keluarga terdekat, berbeda dengan
Indonesia yang memilih mediator dari mediator yang sudah bersertifikat, sedangkan
Negara Brunei sama seperti aturan mazhab fikih. Selanjutnya menurut mazhab fikih jika
terjadi perceraian harus mengikuti proses mediasi, sama seperti aturan yang ada di
Indonesia. Berbeda dengan Negara Brunei, bahwa mediasi terjadi ketika salah satu pihak
tidak setuju bercerai.
Apabila dilakukan perbandingan secara horizontal, maka ketika bercerai
Indonesia dan Negara Brunei sama-sama harus membuktikan perceraian dengan akta
cerai dan sama-sama harus melakukan mediasi, walaupun di Negara Brunei mediasi
dilakukan hanya jika salah satu pihak tidak setuju bercerai. Di Indonesia perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, sedangkan Negara Brunei membolehkan
cerai di luar Pengadilan. Selanjutnya, di Indonesia mengangkat mediator dari mediator
yang sudah bersertifikat, sedangkan Negara Brunei mediator boleh diambil dari keluarga
terdekat. Di Indonesia cerai qabla al-dukhûl tidak ada masa idahnya, sedangkan di
Negara Brunei terdapat masa idah. Selanjutnya peraturan di Indonesia tidak ada sanksi,
sedangkan di Negara Brunei ada.
Dengan diaturnya persoalan sanksi menunjukkan bahwa Negara Brunei lebih
beranjak jauh ke depan daripada Indonesia, dikarenakan di Indonesia tidak terdapat
sanksi. Namun di sisi lain Indonesia juga mempunyai keunggulan bahwa perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, sedangkan Negara Brunei
membolehkan melakukan perceraian di luar Pengadilan. Dengan demikian, kedua negara
tersebut sama dan masih terikat dengan fikih mazhab Syafi’i, namun melakukan
modifikasi dalam beberapa hal.

Kata Kunci: Perceraian, Idah Qabla al-Dukhûl, Mediator.

Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, S.H, M.Ag


Daftar Pustaka : 1957 – 2017

iv
Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunianya kepada umat manusia di muka bimu ini,
khususnya kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi
Muhammad Saw, keluarga serta para sahabatnya yang merupakan suri tauladan
bagi seluruh umat manusia.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil
Dekan I, II dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. H. Abdul Halim, MA. Ketua Program Studi Hukum Keluarga beserta
Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga, Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H
yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam
mengerjakan skripsi ini.
3. Dr. Mesraini, S.H, M.Ag., Dosen pembimbing skripsi penulis yang
senantiasa memberikan bimbingan saran dan banyak ilmu kepada penulis
dalam mengerjakan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa
perkuliahan, yang tidak bisa penulis sebut satu persatu, tanpa menghormati
rasa hormat penulis.
5. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan staf
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
pelayanan kepada penulis serta memberikan fasilitas untuk mengadakan
studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Keluarga yang kucintai, Bapak dan Mama yang selalu memberi dukungan,
semangat dan doa yang tiada henti kepada penulis dalam menempuh

v
pendidikan. Adikku Liana Farikhati dan Arifah Vina Ramadhani yang selalu
memberikan motivasi untuk cepat wisuda.
7. Teman seperjuangan penulis Mawar Diana Putri, Nur Hamidah, Sayidah
Lutfiyah, Legina Nadhilah Qamarani, yang selalu memberi masukan untuk
skripsi ini. Rulia Feriera yang sudah rajin untuk bilang cepetan selesaiin
skripsinya.
8. Sahabat tercinta, Mumtaz Khoirunnisa Iris Prutanti, Dewi Murti Hidayat,
Husnia Laili, Khoirod Daroini, yang selalu bersedia mendengarkan keluh
kesah penulis ketika terdapat masalah selama diperkuliahan.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya untuk
mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.

Jakarta, 21 Januari 2019

Penulis

vi
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i


LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...................................................... iii
ABSTRAK ........................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................1
A. Latar Belakang ...........................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.........................................4
C. Tujuan dan Manfaat Masalah .....................................................5
D. Review Studi Terdahulu .............................................................6
E. Metode Penelitian.......................................................................6
F. Sistematika Penelitian ................................................................9

BAB II PERCERAIAN MENURUT FIKIH MAZHAB


A. Pengertian dan Alasan Perceraian ............................................10
B. Rukun dan Syarat Perceraian ...................................................13
C. Bentuk-bentuk Perceraian ........................................................16
D. Akibat Putusnya Perkawinan ...................................................22
1. Idah ....................................................................................22
2. Nafkah Idah ........................................................................27
3. Mut’ah ................................................................................28
4. Rujuk ..................................................................................29
E. Mediator (Hakam) ....................................................................34

BAB III PERCERAIAN DALAM HUKUM KELUARGA DI


INDONESIA DAN NEGARA BRUNEI DARUSSALAM
A. Indonesia
1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia ..............................36
2. Perceraian dalam Ketentuan Hukum Keluarga di Indonesia

vii
a. Pengertian dan Alasan Perceraian ................................39
b. Syarat Sah Perceraian ...................................................41
c. Bentuk-bentuk Perceraian ............................................41
d. Akibat Putusnya Perkawinan .......................................46
e. Mediator .......................................................................50
B. Negara Brunei Darussalam
1. Sejarah Hukum Keluarga di Negara Brunei Darussalam ...54
2. Perceraian dalam Ketentuan Hukum Keluarga di
Negara Brunei Darussalam
a. Pengertian dan Alasan Perceraian ................................59
b. Syarat Sah Perceraian ...................................................61
c. Bentuk-bentuk Perceraian ............................................61
d. Akibat Putusnya Perkawinan .......................................65
e. Mediator (Hakam) ........................................................68

BAB VI PERBADINGAN PERCERAIAN MENURUT FIKIH


MAZHAB DENGAN PERATURAN DI INDONESIA
DAN NEGARA BRUNEI DARUSSALAM
A. Perbandingan Secara Vertikal Ketentuan Indonesia dan
Negara Brunei Darussalam dengan Fikih Mazhab...................70
B. Perbandingan Secara Horizontal antara Indonesia dengan
Negara Brunei Darussalam ......................................................78
C. Perbandingan Secara Diagonal antara Indonesia dengan
Negara Brunei Darussalam ......................................................83

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................85
B. Saran .........................................................................................87

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

viii
DATA TABEL

Tabel 4.1: Perbandingan vertikal antara Mazhab Fikih dengan Indonesia ............85

Tabel 4.2: Perbandingan Vertikal antara Mazhab Fikih dengan Negara Brunei

Darussalam ............................................................................................86

Tabel 4.3: Perbadingan horizontal antara Indonesia dan Negara Brunei

Darussalam. ...........................................................................................90

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan menurut Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.1 Tujuan dari perkawinan adalah terbentuknya keluarga yang
bahagia, kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dapat
terwujud jika suami isteri saling memahami serta melaksanakan hak dan
kewajiban masing-masing sebagai upaya membangun sebuah keluarga.2
Tidak selamanya di dalam perkawinan berjalan dengan mulus dan lancar,
tentu ada lika-liku kehidupan beserta sejumlah konflik yang akan terjadi di dalam
hubungan dan harus dihadapi. Ketika menghadapi sebuah konflik dengan keluarga
tidak semua pasangan mampu menyelesaikannya dengan cara musyawarah, tak
jarang pasangan-pasangan yang bermasalah tersebut mengakhiri hubungan
perkawinannya dengan cara melalui perceraian.
Menurut peraturan yang berlaku di Indonesia, setiap perceraian harus
dilakukan di depan pengadilan dan setiap perceraian tersebut hanya dapat
dikabulkan jika hakim tidak bisa mendamaikan suami isteri3 dan itupun harus
memenuhi salah satu alasan dari beberapa alasan yang ditentukan, seperti yang
dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam (yang selanjutnya disebut dengan istilah
KHI) pada pasal 116 yaitu sebagai berikut:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pamabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pamabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

1
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi
Hukum Islam, (Jakarta: Qolbun Salim, 2005).
2
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta:
Liberty, 1986), cet ke 2, hal. 96.
3
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39 ayat (1) : “Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”

1
2

3. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
4. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
5. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
6. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
7. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
8. Suami melanggar taklik talak;
9. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.
Dengan demikian apabila talak dilakukan atau diucapkan di luar
pengadilan, maka perceraian sah secara hukum agama saja, tetapi belum sah
secara hukum negara karena belum dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama.
Akibat dari talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan
antara suami istri tersebut belum putus secara hukum, atau dengan kata lain, baik
suami atau istri tersebut masih sah tercatat sebagai suami isteri.4
Berbeda dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia, pada Perintah
Darurat (Undang-Undang Keluarga Islam) Tahun 1999 di Negara Brunei
Darussalam diatur bahwa perceraian boleh dilakukan di luar Sidang Pengadilan
dan perceraian tersebut dinyatakan sah, seorang suami bisa menceraikan istrinya
dengan talak satu, dua, atau tiga menurut hukum muslim. Hanya saja seorang
suami wajib memberitahukan tentang perceraiannya kepada pendaftar dalam
tempo tujuh hari. Seorang perempuan yang sudah menikah bisa juga mengajukan
permohonan cerai kepada Kadi dengan mengikuti hukum muslim. Apabila
suaminya rela, hendaknya ia mengucapkan cerai kemudian didaftarkan, dan Kadi
akan mengeluarkan akta perceraian kepada kedua belah pihak.5 Peraturan tersebut
diatur dalam Pelembagaan Negara Brunei Darussalam pasal 55 yang menyatakan
bahwa:

4
Hukumonline.com/klinik/detail/cl2483/akibat-hukum-talak-di-luar-pengadilan.
5
H. M. Atho’ Muzdhar, Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), cet 1, hal. 188
3

“seorang lelaki yang telah menceraikan isterinya dengan melafazkan talaq


dalam apa-apa bentuk di luar Mahkamah dan tanpa kebenaran Mahkamah,
hendaklah dalam tempo tujuh hari dari talaq itu dilafazkan, melaporkan lafaz talaq
itu kepada Mahkamah.”

Mengenai masalah perceraian dalam peraturan Brunei yang lainnya adalah


masalah mengenai masa idah. Jika perempuan dicerai sebelum disetubuhi, maka
ia tidak boleh dikawinkan dengan orang lain kecuali dengan suaminya yang
terdahulu dalam masa idah kecuali telah dibenarkan oleh Kadi yang berkuasa di
mana ia tinggal.6
Aturan dalam perundang-undangan ini terasa janggal, karena menurut
kesepakatan mazhab Syafi’i bahwa wanita yang ditalak sebelum dicampuri dan
melakukan khalwat, tidak mempunyai iddah.7 Hal tersebut berdasarkan pada
firman Allah SWT. Q.s. Al-Ahzab (33): 24:

ُّ ‫طلَّ ْقت ُ ُمو ُه َّن ِم ْن َق ْب ِل أ َ ْن تَ َم‬


‫سو ُه َّن فَ َما لَ ُك ْم‬ َ ‫ت ث ُ َّم‬ِ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإذَا نَ َك ْحت ُ ُم ْال ُمؤْ ِمنَا‬
ً ‫س َرا ًحا َج ِم‬
‫يًل‬ َ ‫س ِر ُحو ُه َّن‬ َ ‫علَ ْي ِه َّن ِم ْن ِعدَّة ت َ ْعتَدُّو َن َها فَ َم ِتعُو ُه َّن َو‬
َ
Artinya : “Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman kemudia
kamu ceraikan mereka sebelum mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas
mereka idah bagimu yang kamu minta untuk menyempurnakannya”.
Perbedaan antara ketentuan yang ada di Negara Brunei Darussalam dengan
ketentuan yang ada di Indonesia tidak hanya tampak dalam persoalan yang ada di
atas, tetapi juga dalam persoalan lain sebut saja persoalan seperti mediasi. Di
Indonesia apabila suami istri melakukan perceraian, maka sebelum dijalankannya
proses cerai, para pihak diwajibkan mengadakan mediasi. Mediator dapat diambil
dari mediator bersertifikat. Jika para pihak tidak mempunyai mediator, hakim
sendiri yang menentukan mediator untuk memimpin mediasi para pihak. Berbeda
dengan Negara Brunei Darussalam, apabila muncul masalah antara suami istri,
maka Kadi bisa mengangkat seorang, dua orang pendamai atau hakam dari

6
Jurnal Al-Qadau Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015
7
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, terj. Masykur A.B., Cet. IV,
(Jakarta: Lentera Basritama, 1999), h., 464.
4

keluarga yang dekat dari masing-masing pihak yang mengetahui keadaannya.8 Di


dalam bacaan sepintas penulis menemukan beberapa aturan yang berbeda dengan
Indonesia dan juga berbeda dengan pendapat mazhab. Oleh karena itu penulis
tertarik meneliti didua negara yaitu Indonesia dan Negara Brunei Darussalam
untuk mengkaji lebih lanjut terutama yang berkaitan dengan proses perceraian
serta akibatnya yang berlaku di Negara Brunei Darussalam dengan Indonesia.
Mengapa dua Negara tersebut berbeda dan apa yang menyebabkan terjadinya
perbedaan tersebut padahal keduanya berada di wilayah Melayu dan sama-sama
bermazhab syafi’i? hal tersebut akan dikaji di dalam skripsi yang berjudul
“Perbandingan Fikih Mazhab Dengan Hukum Keluarga Di Indonesia Dan
Negara Brunei Darussalam tentang Perceraian.”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah di atas penulis mendapatkan identifikasi
masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana hukum keluarga di Indonesia dan Brunei Darussalam


mengatur tentang perceraian ?
b. Apa perbedaan dan persamaan aturan Hukum Keluarga Indonesia dan
Brunei mengenai masalah perceraian ?
c. Apa yang menyebabkan aturan Hukum Keluarga Indonesia dan Negara
Brunei Darussalam berbeda dalam mengatur tentang Perceraian ?
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas
dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis.
Mengingat akan uraian di atas tentang Hukum Keluarga Indonesia dan
Negara Brunei Darussalam yang mempunyai beberapa perbedaan dalam
aturan-aturan Hukum Keluarga, maka penulis akan membatasi masalah skripsi

8
Perlembagaan Negara Brunei Darussalam Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga
Islam, 1999), Pasal 149 ayat (1)
5

ini bahwa yang dimaksud dengan perceraian di sini hanyalah cerai talak,
sedangkan yang akan dibahas adalah terkait dalam 2 hal yaitu aturan proses
perceraian, seperti perceraian yang dilakukan di depan sidang pengadilan dan
tentang mediator (hakam) dan terkait tentang dampak perceraian, seperti masa
idah qobla al-dukhûl ketika perceraian.
3. Perumusan Masalah
Permasalahan dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana perbandingan Vertikal, Horizontal, dan Diagonal antara
Hukum Keluarga di Indonesia dan Negara Brunei Darussalam mengenai
Syarat Sah Perceraian, Masa Idah Qobla al-Dukhûl, dan Mediator (hakam)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian

Disesuaikan dengan Rumusan penelitian, maka tujuan dari penelitian


ini akan diuraikan sebagai berikut:
Untuk mengetahui perbandingan vertikal, horizontal, dan diagonal
antara Hukum Keluarga di Indonesia dan Negara Brunei Darussalam mengenai
Syarat Sah Perceraian, Masa Idah qobla al-dukhûl, dan Mediator (hakam)

2. Manfaat Penelitian
a. Sebagai referensi bagi mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum,
khususnya bagi Program Studi Hukum Keluarga, untuk mengetahui
beberapa perbedaan dan persamaan mengenai masalah perceraian di
Indonesia dan Negara Brunei Darussalam.
b. Bagi kalangan civitas akademik, diharapkan penelitian akan menambah
khazanah keilmuan yang ada di Syariah dan Hukum dan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
c. Bagi masyarakat pada umumnya, penelitian ini dapat menjadi ilmu
pengetahuan tambahan tentang proses perceraian di berbagai negara
khususnya di Indonesia dan Negara Brunei Darussalam.
6

D. Review Studi Terdahulu


Dalam penulisan skripsi ini penulis juga merujuk kepada skripsi-skripsi
yang sudah terdahulu dengan subtansi pembahasan yang berbeda, diantaranya
sebagai berikut :
1. Skripsi ini berjudul “Sanksi Pelanggaran Terhadap Aturan Poligami dan
Pencatatan Perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei
Drussalam”, ditulis oleh Fajar Devan Afrizon NIM 1112044100081
Fakultas Syariah dan Hukun Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2016. Perbedaan dan persamaan dari skripsi
ini ialah sama-sama membahas di Indonesia dan Negara Brunei
Darussalam, sedangkan perbedaannya adalah pada skripsi tersebut fokus
membahas masalah poligami dan pencatatan perkawinan.
2. Skripsi ini berjudul “Praktek Pengelolaan Zakat di Negara Muslim (Studi
Pada Negara Brunei Darussalam)”, ditulis oleh Febrianti NIM
107046102178 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2011. Perbedaannya dengan skripsi penulis
ialah dalam skripsi tersebut membahas tentang pengelolaan zakat,
sedangkan skripsi yang penulis buat tentang proses perceraian.
Persamaannya ialah sama-sama meneliti di Negara Brunei Darussalam.

E. Metode Penelitian
Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana yang dilakukan
dengan metode ilmiah dengan tujuan untuk mendapatkan data baru guna
membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala.9
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis yang penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan

9
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h.
2.
7

hukum sekunder dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya


dengan masalah yang diteliti.10 Dalam penelitian kualitatif sejak awal ingin
mengungkapkan data secara kualitatif dan disajikan secara naratif.11 Tujuan
penelitian kualitatif ini untuk menggambarkan secara mendalam perbedaan
perceraian menurut fikih mazhab dengan hukum keluarga yang berlaku di
Indonesia dan Negara Brunei Darussalam.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan
penelitian yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan
yang menggunakan konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang hukum
identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh
lembaga atau pejabat yang berwenang. Konsepsi memandang hukum sebagai
suatu sistem normatif yang bersifat mandiri, tertutup, dan terlepas dari
kehidupan masyarakat yang nyata.12
3. Sumber Data dan Teknis Penulisan Data
Penelitian ini menggunakan dua data, yakni data primer dan data
sekunder. Adapun rincian masing-masing sumber adalah :
a. Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek
penelitian dengan menggambarkan alat pengukur atau alat pengambilan
data langsung pada subyek sebagai informasi yang dicari.13 Adapun data
primer yang digunakan dalam penulisan skripsi ini didasarkan dengan
Undang-Undang Hukum keluarga Indonesia, yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Peraturan Negara Brunei Darussalam
yang diatur dalam Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam)
Tahun 1999.

10
Sri Mamuji, dkk, metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 4.
11
A Muri Yusuf, Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta: Kencana, 2014), h. 331.
12
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta:Ghalia
Indonesia, 1988), h. 13-14.
13
Saifuddin Anwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal. 91.
8

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini didasarkan pada


riset pustaka (Library Research) yakni proses pengidentifikasian secara
sistematis penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang
membuat informasi diperoleh bahan-bahan yang ada di perpustakaan,
baik berupa arsip, dokumen, buku-buku maupun yang lainnya. Analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian komparatif.
Penelitian ini bersifat membandingkan yang dilakukan dengan 3 (tiga)
cara sebagai berikut: 1) perbandingan vertikal yaitu perbandingan yang
dilakukan antara Negara dengan Fikih Mazhab, 2) perbandingan
horizontal yaitu perbandingan yang dilakukan dengan cara
memnbandingkan antara Indonesia dengan Negara Brunei Darussalam
dan 3) perbandingan diagonal yaitu perbandingan yang dilakukan dengan
cara menbandingkan Negara mana yang lebih maju.

b. Data sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan


mengenai bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku yang
berkaitan dengan proses perceraian di Indonesia dan Negara Brunei
Darussalam. Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara studi
dokumen, mempelajari buku-buku lainnya yang berkaitan dengan materi.
4. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh akan diolah, dianalisis dan diinterprestasikan untuk
dapat menggali dan menjawab apa saja yang membedakan proses perceraian di
kalangan fikih mazhab, Indonesia dan Negara Brunei Darussalam.
Metode yang digunakan adalah metode deskripsi-kualitatif yang
menganalisis dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan dokumen-
dokumen yang telah diperoleh, sehingga didapat suatu kesimpulan obyektif,
logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis
dalam penelitian ini.
Teknik penulisan skripsi ini didasarkan pada buku pedoman penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2017.
9

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan mendapatkan gambaran tentang kerangka dan


alur penulisan skripsi ini, serta apa saja yang nanti akan dibahas dalam skripsi ini,
maka penulis mengurai sistematika penulisan skripsi sebagai berikut :
Pada bab I pendahuluan akan di uraikan mengenai latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, teknik penelitian,
dan sistematika penulisan.
Pada bab II berisi tentang ketentuan perceraian menurut fikih mazhab yang
di dalamnya akan dibahas tentang pengertian perceraian, macam-macam
perceraian, dan akibat hukum perceraian.
Pada bab III akan menguraikan tentang perceraian dalam Hukum Keluarga
di Indonesia dan Negara Brunei Darussalam seperti, sejarah Hukum Keluarga di
Indonesia dan Negara Brunei Darussalam, dan perceraian dalam ketentuan
Hukum Keluarga di Indonesia dan Negara Brunei Darussalam.
Pada bab IV berisi tentang perbandingan prosedur perceraian menurut
fikih mazhab dengan Indonesia dan Negara Brunei Darussalam seperti,
perbandingan vertikal, perbandingan horizontal, dan perbandingan diagonal.
Pada bab V berisi tentang beberapa kesimpulan guna menjawab beberapa
pertanyaan yang mendasar dari permasalahan yang ada diskripsi ini. Dan akan
memberikan beberapa saran untuk skripsi ini.
10
BAB II

PERCERAIAN MENURUT FIKIH MAZHAB

A. Pengertian dan Alasan Perceraian

Perceraian dalam istilah ahli fikih disebut thalâq atau furqah. Thalâq
berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Furqah berarti bercerai
lawan dari usyrah yang berarti berkumpul. Al-furqah menurut bahasa memiliki
makna al-iftirâq (berpisah), jamaknya adalah furqah. Sedangkan menurut istilah
adalah terlepasnya ikatan perkawinan, dan terputusnya hubungan di antara suami
istri akibat salah satu dari beberapa sebab.14 Kemudian kedua perkataan ini
dijadikan istilah oleh ahli fikih yang berarti perceraian antara suami istri.15
Thalâq yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ditulis dengan
istilah talak menurut bahasa artinya melepaskan ikatan dan membebaskan.16 Talak
menurut syarak adalah istilah yang diterapkan pada pelepasan ikatan pernikahan.
Lafal talak ini sudah terpakai pada masa jahiliah lalu dikukuhkan pemakaiannya
di dalam syariat Islam.17 Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi
talak. Dalam ensiklopedia Islam disebutkn bahwa menurut mazhab Hanafi dan
Hambali talak ialah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan
ikatan perkawinan di masa yang akan datang.18 Menurut mazhab Maliki, talak
merupakan suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan
suami istri.19 Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, talak ialah pelepasan akad
nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu.20

14
Wahbah Az-Zuhaili. Al-Fiqh Al-Islami wâ Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, Fiqih Islam 9. Jakarta: Gema Insani, 2011, cet.1, h. 311.
15
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 156
16
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. 2016.
17
Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifâyatul Akhyâr fii Alli Ghâyatil Ikhtishâr,
Penerjemah Achmad Zaidun dan A. Ma’ruf Asrori, Terjemahan Kifayatul Akhyar Jilid 2,
Surabaya, 1997, cet.1, h., 466.
18
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2001), h. 53.
19
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam Jilid 5, h. 53.
20
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Jilid 7, (Damsyik: Dar al-Fikr,
1984), h. 343.

10
11

Hadits Nabi Muhammad mengenai talak:

ُ ‫س ْول الل ِه صلى الله عليه وسلم قَسال‬


‫ع َم َر‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ع َم َر قَا َل‬
ُ ‫ع ْن اب ِْن‬
َ
َّ ‫َض ْال َح ًَل ِل ِع ْندَ الل ِه‬
َ‫الطًلَ ُق) َر َواهُ اَبُ ْو ََ ُاو‬ ُ ‫س ْول الل ِه صلى الله عليه وسلم (أ َ ْبغ‬ ُ ‫َر‬
ُ َ ‫َوا‬
‫ب َما َج ْه‬
Artinya: “Dari Ibnu Umar, ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw: “perkara
halal yang sangat dibenci Allah ialah talak”. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Ada 4 (empat) kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah


tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian, yaitu:21
1. Terjadinya nusyuz dari pihak istri
Nusyuz berasal dari bahasa Arab Nusyûz yang secara bahasa berarti
meninggi atau terangkat. Kalau dikatakan istri nusyuz terhadap suami berarti
istri merasa lebih tinggi dari suaminya, sehingga ia tidak lagi merasa
berkewajiban mematuhi suami. Nusyuz istri diartikan kedurhakaan istri
terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan kepadanya.22
Allah SWT. berfirman di dalam Q.s. An-Nisa (4): 43:

‫واجاِ َواُ ِْوربُو ُه َّن فَو ِ ْن‬


ِ ِ َ ‫ُوو ُه َّن َوا ْه ُر ُورو ُه َّن فِوي ْال َم‬
ُ ‫شووََ ُه َّن فَ ِع‬ ُ ُ‫الًلتِي تَخَافُونَ ن‬ َّ ‫َو‬
‫ع َل ْي ِه َّن‬
َ ‫ط ْعنَ ُك ْم فَ ًَل ت َ ْبغُوا‬ َ َ‫أ‬
َ َ‫يًل ۗ ِإ َّن اللَّهَ َكان‬
ً ‫ع ِليًّا َك ِب‬
‫يرا‬ ً ‫س ِب‬
َ
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
2. Terjadinya nusyuz dari pihak suami
Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah
karena meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya. Kemungkinan nusyuz
suami bisa terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi

21
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tariga, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana,
2004), cet.1, h. 209.
22
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 190-191.
12

kewajiban pada pihak istri baik nafkah lahir maupun batin. Penyebab nusyuz
suami yaitu menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan untuk menemaninya,
mengurangi nafkahnya, atau berbagai beban berat lainnya bagi istri. Al-Qur’an
menyebutkan adanya nusyuz dari suami dalam Q.s. An-Nisa (4): 128:

ْ ُ‫علَ ْي ِه َموا أ َ ْن ي‬
‫ِو ِل َحا َب ْينَ ُه َموا‬ ً ‫وَا أ َ ْو ِإع َْرا‬
َ َ ‫ُا فَ َوًل ُجنَوا‬ ً ‫ش‬ ْ َ‫َو ِإ ِن ْام َرأَة ٌ خَاف‬
ُ ُ‫ت ِم ْن َب ْع ِل َها ن‬
ۚ ‫ص ْل ًحا‬
ُ
‫شو َُّ ۚ َو ِإ ْن ت ُ ْحسِونُوا َوتَتَّقُوووا فَو ِ َّن اللَّوهَ َكووانَ ِب َمووا‬ ُ ُُ‫ت ْان َ ْن‬
ُّ ‫ول ال‬ ِ ‫ِ ْول ُُ َخ ْيو ٌور ۗ َوأ ُ ْح‬
ِ ‫ِو َور‬ ُّ ‫َوال‬
‫يرا‬ ً ِ‫ت َ ْع َملُونَ َخب‬
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu
secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

3. Syikak
kata Syikak berasal dari kata bahasa Arab, Syiqâq yang berarti sisi,
perselisihan, al-khilaf artinya: perpecahan, permusuhan, al-adawah:
pertengkaran atau persengketaan. Dalam bahasa Melayu diterjemahkan dengan
perkelahian. Syikak mengandung arti pertengkaran, kata ini biasanya
dihubungkan kepada suami istri sehingga dapat diartikan pertengkaran yang
terjadi antara suami istri yang tidak dapat terselesaikan sendiri oleh keduanya.
Syikak biasanya terjadi apabila suami istri atau keduanya tidak melaksanakan
kewajiban yang dipikul masing-masing.23 Dalam ayat suci Q.s. An-Nisa (4):
35:

ْ ِ‫ون أ َ ْه ِل َهوا إِ ْن ي ُِريودَا إ‬


‫ص َوًل ًحا‬ ْ ‫ون أ َ ْه ِلو ِه َو َح َك ًموا ِم‬
ْ ‫َوإِ ْن ِخ ُْت ُ ْم ِشقَاقَ بَ ْينِ ِه َما فَا ْبعَثُوا َح َك ًما ِم‬
‫ق‬ ِ ِ‫ي َُوف‬
ۗ ‫اللَّهُ َب ْينَ ُه َما‬
َ َ‫ِإ َّن اللَّهَ َكان‬
ً ‫ع ِلي ًما َخ ِب‬
‫يرا‬

Abdul Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia,
23

(Jakarta: Kencana, 2012), h. 304.


13

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,


maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

B. Rukun dan Syarat Talak

Hukum fikih tidak menentukan di mana perceraian itu harus dilakukan.


Berkenaan dengan waktu, hanya menyatakan tidak boleh menceraikan istri ketika
haid atau dalam masa suci yang telah digauli. Ini berati perceraian dapat dilakukan
di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja dengan alasan apapun.24

Beberapa hal yang menjadi rukun talak dengan syarat-syaratnya antara lain
sebagai berikut:25

1. Suami

Suami adalah yang memiliki hak talak. Suami yang menjatuhkan talak
disyaratkan sebagai berikut:26

a. Baligh. Talak yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak sah, sekalipun
dia telah pandai. Demikian kesepakan para ulama mazhab kecuali
mazhab Hambali. Para ulama mazhab Hanbali mengatakan bahwa talak
yang dijatuhkan anak kecil yang mengerti dinyatakan sah, sekalipun
usianya belum mencapai sepuluh tahun.
b. Berakal sehat. Dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh orang gila
tidak sah. Begitu pula dengan talak yang dijatuhkan oleh orang yang
tidak sadar. Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat tentang talak
yang dijatuhkan oleh orang yang tidak sadar. Imamiyah mengatakan
bahwa, talak orang mabuk sama sekali tidak sah. Sementara itu mazhab

24
Yayan Sopyan. Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), cet.1, h. 190.
25
Abdur Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 201.
26
Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqh Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hambali. (Jakarta: Penerbit Lentera Baristama, 2008), cet.4, h. 442.
14

empat berpendapat bahwa talak orang mabuk itu sah manakala dia
mabuk karena minuman yang diharamkan atas dasar keinginan sendiri.
c. Atas kehendak sendiri. Dengan demikian, talak yang dijatuhkan oleh
orang yang dipaksa (menceraikan istrinya) menurut kesepakatan para
ulama mazhab tidak dinyatakan sah.
d. Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak. Dengan demikian, kalau
seorang laki-laki mengucapkan talak karena lupa, keliru, atau main-main,
maka menurut Imamiyah talaknya dinyatakan tidak jatuh.

Abu Zahrah, dalam Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, mengatakan bahwa,


dalam mazhab Hanafi talak semua orang dinyatakan sah kecuali anak kecil,
orang gila, dan orang yang kurang akalnya. Dengan demikian, talak yang
dijatuhkan oleh orang yang mengucapkannya dengan main-main, dalam
keadaan mabuk akibat minuman yang diharamkan, dan orang yang dipaksa,
dinyatakan sah.27

Selanjutnya, Abu Zahrah mengatakan dalam mazhab Hanafi


ditegaskan bahwa talak yang dijatuhkan orang yang melakukannya karena
keliru dan lupa, adalah sah.28 Beliau juga menjelaskan bahwa, mazhab
Maliki dan Syafi’i sependapat dengan Abu Hanifah dan pengikutnya
mengenai talak yang dijatuhkan secara main-main, tapi Ahmad bin Hambal
menentangnya.29 Menurutnya, talak orang yang main-main tidak sah. Imam
Syafi’i dan Abu Hanifah mengatakan bahwa, talak tidak memerlukan niat.30

Mazhab Hanafi, dan Syafi’i mengatakan bahwa, seorang ayah tidak


mempunyai hak untuk menjatuhkan talak untuk anaknya yang masih kecil.
Maliki mengatakan bahwa, seorang ayah berhak memisahkan istri anak laki-
lakinya yang masih kecil. Sedangkan dari Imam Ahmad bin Hambal
terdapat dua riwayat. Imamiyah mengatakan bahwa, apabila si anak kecil

27
Syekh Abu Zahrah, Al-Ahwâl Al-Syakhsiyah, (Kairo Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957),
cet.3, h. 283.
28
Syekh Abu Zahrah, Al-Ahwâl Al-Syakhsiyah, cet.3, h. 286.
29
Syekh Abu Zahrah, Al-Ahwâl Al-Syakhsiyah, cet.3, h. 284.
30
Ibnu Rusyd. Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid Jilid 2. Penerjemah Abdul
Rasyad Shiddiq, Jakarta, 2013, h.74.
15

mengalami gangguan akal ketika dia baligh, maka ayah atau kakeknya (dari
pihak ayah) berhak menjatuhkan talak atas nama si anak bila dipandang ada
maslahat dalam talak tersebut. Kalau si anak tidak mempunyai ayah atau
kakek dari pihak ayah, maka hakim boleh menjatuhkan talak atas nama si
anak. Imamiyah membolehkan istri seorang laki-laki gila untuk mem-fasakh
nikah. Mazhab Hanafi mengatakan bahwa, apabila istri seorang laki-laki
gila merasa terancam bila bergaul dengan suaminya, maka persoalannya
diajukan kepada hakim, dan si istri meminta diceraikan. Di sini, hakim
boleh menjatuhkan talak untuk menghindarkan bahaya yang dihadapi si
istri, sedangkan ayah si istri tidak punya wewenang apapun. Seluruh ulama
mazhab sepakat bahwa seorang safih (idiot) dipandang sah talak dan
khuluknya.31

2. Istri
Wanita yang ditalak, menurut kesepakatan para ulama mazhab,
disyaratkan harus seorang istri. Mengenai istri-istri yang dapat dijatuhkan
talak, para fuqaha sepakat bahwa mereka harus:32

a. Perempuan yang dinikahi dengan sah


b. Perempuan yang masih dalam ikatan nikah yang sah
c. Belum habis masa iddahnya, pada talak raj’i
d. Tidak sedang haid.
3. Shîghat Talak

Shîghat talak adalah kata-kata yang diucapkan pada suami terhadap


istrinya yang menunjukkan talak, baik itu sharîh (jelas) maupun kinâyah
(sindiran), baik berupa ucapan atau lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna
wicara ataupun dengan suruhan orang lain. Jumhur fuqaha telah sepakat bahwa
shîghat itu ada dua yaitu, shîghat yang jelas (sharîh) dan shîghat sindiran
(kinâyah).

31
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hambali, cet.26, h. 443.
32
Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h.
66
16

C. Bentuk-Bentuk Perceraian
1. Talak
Penjelasan tentang talak sudah dibahasa terdahulu, bahwa talak
menurut istilah, seperti yang sudah dituliskan al-Jaziri, talak adalah
melepaskan ikatan (hall al-qaid) atau bisa juga disebut mengurangi pelepasan
ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.33 Menurut Sayyid
Sabiq talak adalah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya
mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.34

Selanjutnya akan diuraikan satu persatu dari macam-macam talak, di


antaranya sebagai berikut:

a. Talak Sunni
Talak sunni yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan
sunnah, yaitu apabila seorang suami mentalak istrinya yang telah disetubuhi
dengan talak satu pada saat suci, sebelum disetubuhi. Allah SWT. berfirman
Q.s. Al-Baqarah (2): 229:

َ ‫ساكٌ ِب َم ْع ُروف أَ ْو تَس ِْري ٌُ ِب ِ ْح‬


ۗ ‫سان‬ َّ
ِ َ ‫الط ًَل ُق َم َّرت‬
َ ‫ان فَ ِ ْم‬
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.

Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat:35

1) Istri yang ditalak sudah pernah digauli. bila talak yang dijatuhkan
terhadap istri yang belum pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.
2) Istri dapat segera melakukan idah suci setelah ditalak yaitu dalam
keadaan suci dari haid. Menurut ulama’ Syafi’iyah, perhitungan iddah
bagi wanita berhaid ialah tiga kali suci, bukan tiga kali haid.

33
Abdurrahman Al-Jaziri. Kitâb al-Fiqh ‘ala Mazâhib al-Arba’ah. Juz IV. Penerjemah
Moh. Zuhri, Fikih Empat Mazhab. Semarang: As-Syifa, 1994. h. 278.
34
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, (Bandung: Dar al-Fikr, 1983), h. 206.
35
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, cet.2, h. 193.
17

3) Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak itu
dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam
keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk talak
sunni.
4) Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak itu
dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam
keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk talak
sunni.
5) Menalak istri harus secara bertahap (dimulai dengan talak satu, dua
dan tiga) dan diselingi rujuk.

Berikutnya talak sunni dibagi menjadi 2, yaitu:

1) Talak Raj’i
Para ulama mazhab sepakat bahwa yang dinamakan talak raj’i
ialah talak dimana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada
istrinya (rujuk) sepanjang istrinya tersebut masih dalam masa idah, baik
istri tersebut bersedia dirujuk maupun tidak. Salah satu diantara
syaratnya adalah bahwa si istri sudah dicampuri, sebab istri yang dicerai
sebelum dicampuri, tidak mempunyai masa idah.

Wanita yang ditalak raj’i hukumnya seperti istri. Mereka masih


mempunyai hak-hak suami istri, seperti hak waris-mewarisi antara suami
istri manakala salah satu diantara keduanya ada yang meninggal sebelum
selesainya masa idah.36

Talak raj’i hanya terjadi pada talak pertama dan kedua saja,
berdasarkan firman Allah dalam Q.s. Al-Baqarah (2): 229:

َ ‫ساكٌ ِب َم ْع ُروف أَ ْو تَس ِْري ٌُ ِب ِ ْح‬


ۗ ‫سان‬ َّ
ِ َ ‫الط ًَل ُق َم َّرت‬
َ ‫ان فَ ِ ْم‬
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.

36
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hambali), cet.26, h. 451.
18

Ayat ini memberi makna bahwa talak yang disyariatkan Allah


ialah talak yang dijatuhkan oleh suami satu demi satu, tidak sekaligus,
dan bahwa suami boleh memelihara kembali bekas istrinya setelah talak
pertama dengan cara yang baik, demikian pula setelah talak kedua. Arti
memelihara kembali ialah dengan merujuknya dan mengembalikannya ke
dalam ikatan perkawinan dan berhak mengumpuli dan mempergaulinya
dengan cara yang baik. Hak merujuk hanya terdapat dalam talak raj’i
saja.37

2) Talak Ba’in
Sedangkan yang dimaksud dengan talak ba’in adalah talak
dimana suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada wanita yang
ditalaknya, yang mencangkup beberapa jenis:38

a) Wanita yang ditalak belum dicampuri.


b) Wanita yang dicerai tiga.
c) Talak khuluk.

Talak bain terbagi menjadi 2, yaitu sebagai berikut:39

a) Talak ba’in sugra

Talak ba’in sugra adalah talak yang menghilangkan hak-hak


rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru
kepada bekas istrinya itu.Yang termasuk talak ba’in sugra adalah:

(1) Talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang terjadi sebelum
dicampuri
(2) Khuluk

Hukum talak ba’in sughra:

37
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet.6, h. 198.
38
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hambali), cet.26, h. 452.
39
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT
Rajawali Pers, 2009), h. 245.
19

(1) Hilangnya ikatan antara suami dan istri.


(2) Hilangnya hak bergaul bagi sumai istri termasuk berkhalwat.
(3) Masing-masing tidak saling mewarisi manakala meninggal.
(4) Bekas istri pada saat masa idah, berhak tinggal dirumah bekas
suaminya dengan berpisah tempat tidur dan mendapat nafkah.
(5) Kembali dengan akad dan mahar yang baru.

b) Talak bain kubra

Talak ba’in kubra adalah talak yang dijatuhkan suami untuk


ketiga kalinya. Talak seperti ini dijelaskan Allah SWT. dalam Q.s. Al-
Baqarah (2): 230:

َ َ ‫طلَّقَ َها فَ ًَل ُجنَا‬


‫علَ ْي ِه َما‬ َ ‫طلَّقَ َها فَ ًَل تَ ِح ُّل لَهُ ِم ْن بَ ْعدُ َحت َّ ٰى تَ ْن ِك َُ ََ ْو ًجا َغي َْرهُ ۗ فَ ِ ْن‬
َ ‫فَ ِ ْن‬
‫أ َ ْن‬

َ‫ظنَّا أ َ ْن يُ ِقي َما ُحدُوََ اللَّ ِه ۗ َوتِ ْل َك ُحدُوَ ُ اللَّ ِه يُ َبيِنُ َها ِلقَ ْوم يَ ْع َل ُمون‬
َ ‫يَتَ َرا َجعَا إِ ْن‬
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain”.

Dalam keadaan ini suami tidak boleh kembali dengan istrinya


itu sampai ia kawin dengan lelaki lain dan telah pernah bergaul dalam
arti yang sesungguhnya. Kemudian lelaki itu menalak wanita itu atau
ia meninggal dunia. Apabila masa idah wanita itu telah habis barulah
suami pertama boleh menikah kembali dengan wanita itu dengan
membayar mahar baru. Menurut Imamiyah dan Maliki mensyaratkan
bahwa, laki-laki yang menjadi muhallil (penyelang) itu haruslah
baligh, sedangkan menurut mazhab Syafi’i dan Hanafi memandang
cukup bila dia (muhallil) mampu melakukan hubungan seksual,
sekalipun dia belum baligh. Imamiyah dan Hanafi mengatakan bahwa,
apabila penyelangan itu diberi syarat yang diucapkan dalam akad,
misalnya muhallil mengatakan, “saya mengawini engkau dengan
20

menjadi penghalang bagi suami lamamu”, maka syarat seperti ini batal
dan akad nikahnya sah. Akan tetapi Hanafi mengatakan bahwa,
“apabila si wanita takut tidak ditalak oleh muhallil, maka dia boleh
mengatakan kepada si muhallil (diwaktu akad): “saya kawinkan diri
saya kepadamu dengan syarat masalah talaknya ada di tangan saya”,
lalu si muhallil menjawab: “saya terima nikah dengan syarat tersebut”.
Dalam kasus seperti ini, akad tersebut sah, dan si wanita memegang
hak untuk menalak dirinya kapan saja dia mau. Akan tetapi bila si
muhallil yang mengatakan: “hendaknya engkau menikahkan dirimu
kepadaku dengan syarat bahwa urusan dirimu (talak berada di
tanganmu”, maka akadnya sah, tetapi syarat tersebut tidak berlaku.40
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan:
“akad tersebut batal sama sekali manakala ada syarat tahlil
(perpisahan) di dalamnya. Bahkan Maliki dan Hambali mengatakan:
“apabila ada kehendak tahlil walaupun tidak diucapkan akad tersebut
batal.41

b. Talak Bid’i
Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau
bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat Talak
Sunni.42 Mengenai Talak Bid’i ini ada beberapa macam keadaan yang mana
seluruh ulama’ telah sepakat menyatakan bahwa talak semacam ini
hukumnya haram. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa talak ini tidak
berlaku. Talak Bid’i ini jelas bertentangan dengan syari’at yang bentuknya
ada beberapa macam yaitu:43

40
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hambali), cet.26, h. 453.
41
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hambali), cet.26, h. 454.
42
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, cet.2, h. 194.
43
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi lengkap, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1998), cet.1, h. 439.
21

1) Apabila seorang suami menceraikan istrinya ketika sedang dalam


keadaan haid atau nifas.
2) Ketika dalam keadaan suci sedang ia telah menyetubuhinya pada masa
suci tersebut, padahal kehamilannya belum jelas.
3) Seorang suami mentalak tiga istrinya dengan satu kalimat dengan tiga
kalimat dalam satu waktu (mentalak tiga sekaligus).Seperti dengan
mengatakan “ia telah aku talak, lalu aku talak dan selanjutnya aku
talak”.
2. Khuluk

Khuluk menurut etimologi berasal dari kata “Al-Khul’u” yang berarti


meninggalkan pakaian, dan dinamakan juga dengan “tebusan”, yaitu istri
menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah
diterimanya (mahar). Istri memisahkan diri dari suaminya dengan memberikan
ganti rugi.44 Khuluk menurut istilah fikih berarti menghilangkan atau membuka
buhul (ikatan) akad nikah dengan kesediaan istri membayar ‫( عوض‬tebusan)
kepada pemilik akad nikah (suami) dengan menggunakan perkataan cerai atau
khuluk. iwad dapat berupa pengembalian mahar atau sejumlah barang, uang
atau sesuatu yang dipandang mempunyai nilai yang telah disepakati oleh suami
istri tersebut.45
Menurut Sayid Sabiq, ketetapan suami menerima tebusan dalam khuluk
merupakan hukum yang adil dan tepat, karena jika sebelumnya suamilah yang
memberikan mahar, biaya perkawinan dan nafkah kepada istrinya. Keadaan
istri yang ingkar dan meminta pisah darinya merupakan hukum yang pantas
dan adil jika istri diharuskan mengembalikan apa yang pernah diterimanya.
Khuluk berarti memutuskan tali perkawinan dengan imbalan harta, sehingga
adanya ganti rugi merupakan syarat mutlak dalam khuluk, jika ganti rugi tidak
ada, maka khuluknya juga tidak sah. Ganti rugi hendaknya secara umum dapat
dinilai dengan barang (uang), di samping syarat umum lainnya dalam akad
nikah yang sama dengan syarat dalam akad jual beli, yaitu dapat

44
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (alih bahasa. Moh. Thalib), jilid 8, cet. 9, h. 95.
45
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h. 87.
22

diserahterimakan dan merupakan hak milik yang sah dan bukan merupakan
barang-barang yang haram.46
Jumhur fuqaha telah sepakat bahwa suami yang menjatuhkan khuluk
tidak dapat merujuk mantan istrinya pada masa idah, kecuali pendapat yang
diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyad dan Ibnu Syihab, keduanya
mengatakan bahwa apabila suami mengembalikan tebusan yang telah diambil
dari istrinya, maka ia dapat mempersaksikan rujuknya itu. Fuqaha berselisih
pendapat tentang idah wanita yang dikhuluk apabila terjadi persengketaan
antara suami dengan istri berkenaan dengan kadar bilangan harta yang dipakai
untuk terjadinya khuluk. Imam Malik berpendapat bahwa yang dijadikan
pegangan adalah kata-kata suami jika tidak ada saksi. Sedang Imam Syafi’i
berpendapat bahwa kedua suami istri saling bersumpah, dan atas istri
dikenakan sebesar mahar mitsli. Beliau mempersamakan persengketaan antara
dua orang yang berjual beli. Adapun Imam Malik memandang istri sebagai
pihak tergugat dan suami sebagai pihak penggugat.47

D. Akibat Putusnya Perkawinan


1. Idah
a. Pengertian Idah

Idah dari kata ‘adad, artinya menghitung. Maksudnya perempuan


(istri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya. Idah dalam istilah
Agama menjadi nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu dan
tidak boleh nikah setelah kematian suaminya , atau setelah pisah dari
suaminya. Idah ini sudah dikenal pula sejak zaman Jahiliyyah. Mereka ini
hampir tidak pernah meninggalkan kebiasaan idah. Tatkala Islam datang
kebiasaan itu diakui dan dijalankan terus, karena ada beberapa kebaikan
padanya.48

46
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (alih bahasa. Moh. Thalib), h. 97-98.
47
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 316.
48
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 8, cet. 7, h. 139-140.
23

Menurut ulama Hanafiah idah adalah masa yang ditentukan syara’


karena sisa-sisa dari pernikahan atau persetubuhan.49 Menurut Malikiyah
idah adalah masa dilarang melakukan pernikahan yang disebabkan
perceraian, ditinggal mati suami atau rusaknya pernikahan. Menurut
Syafi’iyah idah adalah masa penantian seorang wanita untuk mengetahui
kesucian rahim, untuk beribadah atau untuk berkabung atas kematian suami.
Menurut Hambali idah adalah masa penantian yang ditentukan oleh syara.50

b. Macam-macam Idah

Para ulama mazhab membagi macam-macam idah menjadi beberapa


bentuk, yaitu sebagai berikut:51

1) Perempuan yang sedang hamil, apabila diceraikan atau ditinggal mati


oleh suaminya, maka idahnya adalah sampai anak itu lahir dari
kandungan. Dalilnya terdapat dalam firman Allah dalam Q.s. At-
Thalaq (65): 4:
ُ‫ارت َ ْبت ُ ْم فَ ِعدَّت ُ ُه َّن ث َ ًَلثَة‬
ْ ‫سا ِئ ُك ْم ِإ ِن‬
َ ‫يض ِم ْن ِن‬ ِ ‫الًل ِئي َي ِئسْنَ ِمنَ ْال َم ِح‬
َّ ‫َو‬
َ‫ِ ْعن‬ َ ‫وَلتُ ْان َ ْح َما ِل أ َ َجلُ ُه َّن أ َ ْن َي‬ َ ُ ‫الًلئِي لَ ْم َي ِحِْنَ ۚ َوأ‬
َّ ‫أ َ ْش ُهر َو‬
‫ق اللَّهَ َي ْر َع ْل لَهُ ِم ْن أ َ ْم ِر ِه يُس ًْرا‬
ِ َّ ‫َح ْملَ ُه َّن ۚ َو َم ْن َيت‬
Artinya: “Perempuan-perempuan yang sedang hamil idahnya adalah
sampai dia melahikan kandungannya. Siapa yang bertakwa kepada
Allah, Allah akan menjadikan semua urusannya mudah”.
Wanita yang harus menjalani masa idah dalam bentuk hingga
melahirkan, kalau kandungannya ada dua bayi maka idahnya sampai
keluar yang terakhir, (menurut kesepakatan ulama mazhab). Tetapi
jika keguguran, maka mereka berbeda pendapat yaitu sebagai berikut:

a) Imam Hanafi, Syafi’i dan Hambali: wanita tersebut belum keluar


dari idahnya.

49
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wâ Adilatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, Fiqih Islam 9 h. 623.
50
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitâbu Al-Fiqh ‘ala Al-Madzâhibi Al-Arba’ah, h. 516-518.
51
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h. 465.
24

b) Imamiyah dan Maliki: wanita tersebut telah keluar dari idahnya,


sekalipun yang keluar dari rahimnya itu berupa sepotong daging
kecil, selama potongan itu adalah embrio wanita.

Adapun batas maksimal kehamilannya, Menurut Hanafi 2


tahun, menurut Syafi’i dan Hambali 4 tahun, dan menurut Maliki 5
tahun.

2) Idah berdasarkan perhitungan bulan, yakni bagi wanita yang baligh


tetapi tidak pernah haid sama sekali, serta wanita yang menopause.
Idahnya tiga bulan berdasar firman Allah SWT. di dalam Q.s. At-
Talaq (65): 4:

‫ارت َ ْبت ُ ْم فَ ِعدَّت ُ ُه َّن ثًَلثَةُ أ َ ْش ُهر َوالًلئِي لَ ْم‬


ْ ‫سائِ ُك ْم ِإ ِن‬ ِ ‫َوالًلئِي َيئِسْنَ ِمنَ ْال َم ِح‬
َ ِ‫يض ِم ْن ن‬
َ‫يَ ِحِْن‬
Artinya: “Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause)
di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya),
maka idahnya adalah tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haid”.
Menurut Imamiyah, wanita menopause yang pernah
dicampuri tidak wajib melakukan idah. Sedangkan istri yang telah
dicampuri sebelum usianya 9 tahun, menurut imam mazhab sebagai
berikut:52

a) Menurut Hanafi: wajib menjalani iddah sekalipun dia masih


kecil.
b) Menurut Maliki dan Syafi’i : bagi yang belum kuat (layak)
dicampuri maka tidak wajib idah, tetapi wajib bagi yang sudah
bisa dicampuri walaupun belum berusia 9 tahun.
c) Menurut Imamiyah dan Hambali: tidak wajib idah bagi yang
belum berusia 9 tahun sekalipun sudah kuat dicampuri.

52
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h. 501.
25

3) Idah Quru’ yaitu bagi wanita yang telah mancapai usia 9 tahun,
tidak hamil, bukan menopause dan telah mengalami haid.
Berdasarkan firman Allah SWT, di dalam Q.s. Al-Baqarah (2): 228
sebagai berikut:

‫ِنَ ِبأ َ ْنُُ ِس ِه َّن ث َ ًَلثَةَ قُ ُروء ۚ َو ََل َي ِح ُّل لَ ُه َّن أ َ ْن َي ْكت ُ ْمنَ َما َخلَقَ اللَّهُ فِي‬ ْ َّ‫طلَّقَاتُ َيت َ َرب‬َ ‫َو ْال ُم‬
َ ‫وق بِو َور َِ ِه َّن فِووي ٰذَ ِلو‬
‫وك إِ ْن‬ ُّ ‫ون يُووؤْ ِم َّن بِاللَّو ِه َو ْاليَو ْوو ِم ا ْ ِخو ِور ۚ َوبُعُووولَت ُ ُه َّن أ َ َحو‬ ِ ‫أ َ ْر َحو‬
َّ ‫وام ِه َّن إِ ْن ُكو‬
‫أ َ َراَ ُوا‬
ٌ ٌِ ‫ع‬
ٌ‫يو‬ َ ُ‫علَو ْي ِه َّن ََ َر َجوةٌ ۗ َواللَّوه‬ َ ‫وف ۚ َو ِل ِلر َجوا ِل‬ ِ ‫علَ ْي ِه َّن ِب ْال َم ْع ُر‬َ ‫ص ًَل ًحا ۚ َولَ ُه َّن ِمثْ ُل الَّذِي‬ ْ ‫ِإ‬
‫َح ِكي ٌم‬
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’, tidak boleh mereka menyembunyikan
apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhir dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki islah dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dalam kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para
suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Menurut pendapat ulama Madzhab:
a) Imamiyah, Maliki dan Syafi’i menginterprestasikan quru’
dengan masa suci ( tidak haid) sehingga bila wanita tersebut
dicerai pada hari-hari terakhir masa sucinya, maka masa tersebut
dihitung sebagai bagian dari masa idah, yang disempurnakan
dengan 2 masa suci sesudahnya.
b) Hanafi dan Hambali menginterprestasikan dengan masa haid,
sehingga wanita tersebut harus melewati 3 kali masa iddah
(dalam menyelesaikan masa idah). Sesudah di talak tidak
termasuk masa haid ketika ia ditalak.53
4) Idah sebelum dicampuri (qabla al-dukhûl)

Para ulama mazhab sepakat bahwa wanita yang ditalak


sebelum dicampuri dan sebelum melakukan khalwat, tidak

53
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h. 466.
26

mempunyai idah. Namun, jika suami wafat dalam keadaan si istri


belum pernah digauli, maka ia harus menjalani idah wafat.54
Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan
bahwa, apabila suami telah berkhalwat dengannya, tetapi dia tidak
sampai mencampurinya, lalu istrinya tersebut ditalak, maka si istri
harus menjalani idah, persis seperti istri yang telah dicampuri.
Menurut Imamiyah dan Syafi’i mengatakan bahwa, khalwat tidak
membawa akibat apapun.55

Dalilnya adalah sebagaimana dalam firman Allah pada Q.s. al-


Ahzab (33): 49:

‫طلَّ ْقت ُ ُمو ُه َّن ِم ْن َق ْب ِل أ َ ْن‬ ِ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإذَا نَ َك ْحت ُ ُم ْال ُمؤْ ِمنَا‬
َ ‫ت ث ُ َّم‬
َ ‫س ِر ُحو ُه َّن‬
‫س َرا ًحا‬ َ ‫علَ ْي ِه َّن ِم ْن ِعدَّة تَ ْعتَدُّو َن َها فَ َمتِعُو ُه َّن َو‬ َ ‫سو ُه َّن فَ َمالَ ُك ْم‬ ُّ ‫ت َ َم‬
ً ‫َج ِم‬
‫يًل‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman kemudian kamu
menceraikannya sebelum kamu menggaulinya, maka tidak ada
kewajiban baginya untuk beridah terhadapnya”.

Mayoritas ulama memahami ungkapan ُّ ‫قَ ْب ِل أ َ ْن تَ َم‬


‫سو ُه َّن‬
berarti Qabla an tadkhulubiha. Bagi mereka, ayat ini cukup
memberikan dugaan kuat bahwa perempuan yang Ghair al-Madkhul
biha tidak perlu menjalani masa idah. Oleh karena itu, perempuan
tersebut dapat langsung melakukan akad perkawinan dengan laki-laki
lain setelah perceraian. Ada sebab lain menurut beberapa ulama yang
menyebabkan idah tanpa harus melakukan hubungan suami istri, yaitu
ketika laki-laki berduaan dengan perempuan di tempat yang tertutup
(khalwat). Ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa, khalwat tidak
membawa akibat apapun.56 Begitu juga menurut ulama Imamiyyah,

54
Abu Malik, Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahîh Fikih Sunnah, Penerjemah: Darwis,
Derysmono, Shahih Fikih Sunnah (Jilid 4), Jakarta: Darus Sunnah Press, 2017, cet.2, h. 431.
55
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Penerjemah
Masykur A.B, dkk, Fiqih Lima Mazhab. Jakarta, 2011, h. 499.
56
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h., 464.
27

yang berpendapat bahwa tidak ada kewajiban idah bagi perempuan


karena sebab khalwat. Adapun ulama Malikiyyah dan Hanafiyah tetap
mewajibkan idah karena khalwat, meskipun dari perkawinan yang
fasid.57 Alasan yang dikemukakan golongan ini adalah apa yang
diriwayatkan dari Khalifah yang berempat bahwa bila sudah ditutup
gorden atau telah ditutup pintu (maksudnya adalah khalwat) telah
wajib mahar dan telah wajib idah.58
2. Nafkah Idah
Fuqaha telah sepakat bahwa perempuan yang berada dalam masa idah
talak raj’i masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal. Begitu juga
halnya perempuan yang hamil, berdasarkan firman Allah SWT. berkenaan istri
yang ditalak raj’i, dan istri-istri yang ditalak dalam keadaan hamil:

ۚ ‫علَ ْي ِه َّن‬
َ ‫ِيِقُوا‬َ ُ ‫ارو ُه َّن ِلت‬ ُّ َِ ُ ‫س َك ْنت ُ ْم ِم ْن ُو ْج ِد ُك ْم َو ََل ت‬ ُ ‫أ َ ْس ِكنُو ُه َّن ِم ْن َحي‬
َ ‫ْث‬
َ‫ُ ْعن‬ َ ‫ِ ْعنَ َح ْملَ ُه َّن ۚ فَ ِ ْن أ َ ْر‬ َ ‫ت َح ْمل فَأ َ ْن ُِقُوا‬
َ ‫علَ ْي ِه َّن َحت َّ ٰى َي‬ َ ُ ‫َو ِإ ْن ُك َّن أ‬
ِ ‫وَل‬
َ ‫لَ ُك ْم فَآتُو ُه َّن أ ُ ُج‬
‫ور ُه َّن‬
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak)
itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin”.

Kemudian fuqaha berselisih pendapat tentang nafkah idah bagi istri


yang menjalani idah karena talak ba’in. Hanafi mengatakan, “wanita tersebut
berhak atas nafkah, baik dia hamil atau tidak, dengan syarat dia tidak
meninggalkan rumah yang disediakan oleh suaminya yang menceraikannya
guna menjalani idah.59
Maliki berpendapat, “kalau wanita tersebut tidak hamil dia berhak atas
nafkah berupa tempat tinggal saja, tetapi bila sedang hamil dia berhak atas
nafkah dalam segala bentuknya dan haknya atas nafkah tidak menjadi gugur
57
Indar, “Iddah dalam Keadilan Gender”, Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, vol.5,
no.1, (Januari-Juni, 2010), h. 7.
58
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, cet.2, h. 307.
59
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h. 401.
28

dengan keluarnya mereka dari rumah, sebab nafkah tersebut diperuntukan bagi
bayi yang dikandungnya dan bukan lagi wanita yang mengndungnya. Syafi’i
dan Hambali berpendapat, “wanita tersebut tidak berhak atas nefkah idah
maupun tempat tinggal bila dia tidak hamil dan apabila dia hamil maka berhak
atasnya nafkah berupa tempat tinggal dan segala bentuknya. Tetapi syafi’i
mengatakan bahwa kalau wanita tersebut keluar dari rumah tanpa adanya
kebutuhan yang tak terhindarkan, maka gugurlah hak atas nafkah idah itu.
Mazhab Imamiyah tidak mengategorikan fasakh akad sama dengan talak ba’in.
Mereka berpendapat bahwa orang yang menjalani idah akibat fasakh nya akad,
baik dia hamil atau tidak, dia tetap berhak atas nafkah.60
3. Mut’ah
Mut’ah dalam istilah fikih dimaksudkan sebagai suatu pemberian dari
suami kepada istri akibat terjadinya perceraian, sebagai penghibur atau ganti
rugi.61 Menurut jumhur fuqaha, mut‘ah adalah pemberian yang bertujuan untuk
menyenangkan hati istri.62 Mazhab Syafi’i mengartikan mut‘ah sebagai harta
yang wajib dibayar oleh suami untuk istrinya yang diceraikan dalam kehidupan
dengan perceraian serta apa yang memiliki makna yang sama dengan beberapa
persyaratan. Sedangkan mazhab Maliki mengartikan sebagai kebaikan untuk
perempuan yang diceraikan ketika terjadi perceraian dalam kadar sesuai
dengan jumlah sedikit dan banyaknya harta si suami.63
Para ulama sepakat bahwa memberikan mut’ah atau kenang-kenangan
itu tidak diwajibkan untuk setiap istri yang ditalak. Tetapi menurut ulama-
ulama mazhab Zhahiri, memberikan mut’ah wajib untuk setiap istri yang
ditalak. Menurut sebagaian ulama, memberikan mut’ah itu sunah, bukan wajib.
Imam Malik setuju pada pendapat ini. Menurut Imam Abu Hanifah, mut’ah
wajib diberikan kepada setiap wanita yang dicerai sebelum dicampuri, dan
suami belum menentukan maskawin untuknya. Menurut Imam Syafi’i, mut’ah
60
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h. 402.
61
M. Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis (Bandung: Mizan 2002), h. 230.
62
Ibnu Rusyd. Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid Jilid 2. Penerjemah Abdul
Rasyad Shiddiq, h. 551.
63
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wâ Adilatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, Fiqih Islam 9, h. 285.
29

wajib diberikan kepada setiap istri yang dicerai jika pemutusan pernikahan
datang dari pihak suami, kecuali untuk istri yang telah ditentukan
maskawinnya dan ditalak sebelum dicampuri. Mayoritas ulama setuju pada
pendapat ini.64 Imam Abu Hanifah berpedoman pada firman Allah SWT. surat
al-Baqarah )2): 236:

ۚ ً ‫ِة‬ ُ ‫سو ُه َّن أَ ْو تَ ُْ ِر‬


َ ‫ُوا لَ ُه َّن فَ ِري‬ َ ِ‫طلَّ ْقت ُ ُم الن‬
ُّ ‫سا َء َما لَ ْم ت َ َم‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم إِ ْن‬
َ َ ‫ََل ُجنَا‬
َ ‫وف َحقًّا‬
‫ع َلى‬ ِ ‫عا ِب ْال َم ْع ُر‬
ً ‫علَى ْال ُم ْق ِت ِر قَدَ ُرهُ َمتَا‬ َ ‫ع َلى ْال ُمو ِساِ َقدَ ُرهُ َو‬ َ ‫َو َم ِتعُو ُه َّن‬
َ‫ْال ُم ْح ِسنِين‬
Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan
sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu
mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan”.

4. Rujuk
Rujuk atau dalam istilah hukum disebut raja’ah secara arti kata berarti
“kembali”. Orang yang rujuk kepada istrinya berarti kembali kepada istrinya.
Sedangkan definisinya dalam pengertian fikih menurut al-Mahalli ialah:

‫غ ْي َر َبا ِئ ِن ِفى ْال ِعدَّ ِة‬ ِ ‫ْال َرَُّاِلَّى‬


َ ‫الن َكا ِ ِم ْن‬
ِ ‫ط ًَل‬
َ ‫ق‬
Artinya: "kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan ba’in,
selama dalam masa idah".

Sedangkan rujuk menurut para ulama mazhab ialah sebagai berikut:65


a. Hanafiyah, rujuk adalah tetapnya hak milik suami dengan tanpa adanya
pengganti dalam masa idah, akan tetapi tetapnya hak milik tersebut akan
hilang bila habis masa idah.
b. Malikiyah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak, karena takut
berbuat dosa tanpa akad yang baru, kecuali bila kembalinya tersebut dari

64
Ibnu Rusyd, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid Jilid 2, Penerjemah Abdul
Rasyad Shiddiq, h. 205.
65
Abdurrahman Al-Jaziri. Kitâb al-Fiqh ‘ala Mazâhib al-Arba’ah, Juz IV. Penerjemah
Moh. Zuhri, Fikih Empat Mazhab. h. 377-378.
30

talak ba’in, maka harus dengan akas baru, akan tetapi hal tersebut tidak
bisa dikatan rujuk.
c. Syafi’iyah, rujuk adalah kembalinya istri ke dalam ikatan pernikahan
setelah dijatuhi talak satu atau dua dalam mas aidah. Menurut golongan
ini bahwa istri diharamkan berhubungan dengan suaminya sebagaimana
berhubungan dengan orang lain, meskipun suami berhak merujuknya
dengan tanpa kerelaan. Oleh karena itu rujuk menurut golongan
Syafi’iyah adalah mengembalikan hubungan suami istri ke dalam ikatan
pernikahan sempurna.
d. Hambali, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak selain talak
ba’in kepada suaminya dengan tanpa akad, baik dengan perkataan atau
perbuatan (bersetubuh) dengan niat ataupun tidak.
Dalam satu sisi rujuk itu adalah membangun kembali kehidupan
perkawinan yang terhenti atau memasuki kembali kehidupan pernikahan.
Kalau membangun kehidupan pernikahan pertama kali disebut pernikahan,
maka melanjutkan disebut rujuk. Hukum rujuk demikian ulama berbeda
pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa rujuk itu adalah sunah, 66 dalil
yang digunakan jumhur ulama itu adalah firman Allah SWT. dalam surat al-
Baqarah (2): 229:
‫سان ۗ َو ََل َي ِح ُّل لَ ُك ْم أ َ ْن ت َأ ْ ُخذُوا‬
َ ْ‫ساكٌ ِب َم ْع ُروف أ َ ْو تَس ِْري ٌُ ِب ِح‬ َ ‫َان فَ ِ ْم‬ ِ ‫الط ًَل ُق َم َّرت‬ َّ
‫ش ْيئًا إِ ََّل أ َ ْن َيخَافَا أ َ ََّل يُ ِقي َما ُحدُوََ اللَّ ِه فَ ِ ْن ِخ ُْت ُ ْم أ َ ََّل يُ ِقي َما ُحدُوََ اللَّ ِه‬
َ ‫ِم َّما آت َ ْيت ُ ُمو ُه َّن‬
‫ت ِب ِه ۗ ِت ْلكَ ُحدُوَُ اللَّ ِه فَ ًَل ت َ ْعتَدُوهَا ۚ َو َم ْن َيت َ َعدَّ ُحدُوََ اللَّ ِه‬
ْ َ‫علَ ْي ِه َما ِفي َما ا ْفتَد‬
َ َ ‫فَ ًَل ُجنَا‬
َّ ‫فَأُو ٰلَئِكَ ُه ُم‬
َ‫الُا ِل ُمون‬
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu

66
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-undang Perkawinan, h. 339.
31

melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka


itulah orang-orang yang zalim”.

Ibnu Rusyd membagi hukum rujuk kepada dua, yaitu hukum rujuk
pada talak raj’i dan hukum rujuk pada talak ba’in:
a. Hukum rujuk pada talak raj’i
Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak
merujuk istri pada talak raj’i, selama istri masih berada pada masa idah,
tanpa mempertimbangkan persetujuan istri,67 berdasarkan firman Allah
SWT. pada surat Al-Baqarah (2): 228:

ِ ‫طلَّقَاتُ يَت ََربَِّْنَ ِبأ َ ْنُُ ِس ِه َّن ث َ ًَلثَةَ قُ ُروء ۚ َو ََل يَ ِح ُّل لَ ُه َّن أ َ ْن يَ ْكت ُ ْمنَ َما َخلَقَ اللَّهُ فِي أ َ ْر َح‬
‫ام ِه َّن‬ َ ‫َو ْال ُم‬
‫ِإ ْن ُك َّن‬

ْ ِ‫يُؤْ ِم َّن بِاللَّ ِه َو ْاليَ ْو ِم ا ْ ِخ ِر ۚ َوبُعُولَت ُ ُه َّن أ َ َح ُّق بِ َر َِه َِّن فِي ٰذَلِكَ إِ ْن أ َ َراَُوا إ‬
‫ص ًَل ًحا ۚ َولَ ُه َّن ِمثْ ُل الَّذِي‬
‫علَ ْي ِه َّن‬
َ

َ ُ‫علَ ْي ِه َّن ََ َر َجةٌ ۗ َواللَّه‬


ٌ ٌِ ‫ع‬
‫يٌ َح ِكي ٌم‬ ِ ‫ِب ْال َم ْع ُر‬
َ ‫وف ۚ َو ِل ِلر َجا ِل‬
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi
para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

b. Hukum rujuk pada talak ba’in


Talak ba’in bisa terjadi pada talak yang kurang dari tiga. Semua
ulama sepakat, ini berlaku terhadap istri yang belum digauli. Tetapi mereka
berselisih pendapat jika berlaku pada istri yang menerima khuluk, hukum
rujuk sesudah talak seperti itu sama seperti hukum memulai pernikahan,
yakni menyangkut syarat adanya maskawin, wali, dan persetujuan. Tetapi
dalam hal ini mayoritas ulama tidak memperhitungkan berakhirnya masa
idah. Ada sebagian ulama yang mengemukakan pendapat kontroversial.

67
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 289.
32

Menurut ulama, istri yang dikhuluk tidak boleh dinikahi oleh suami atau
oleh orang lain pada masa idahnya. Seolah-olah menurut para ulama,
larangan menikah pada masa idah adalah suatu ibadah.68
Hukum rujuk setelah talak tersebut sama dengan nikah baru. Mazhab
empat sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain
(bukan istri) yang untuk mengawinkannya kembali disyaratkan adanya
akad. Hanya saja dalam hal ini selesainya idah tidak dianggap sebagai
syarat.69 Berikut adalah beberapa syarat sah rujuk, yaitu:70
a. Rujuk dilakukan setelah jatuhnya talak raj’i (setelah talak pertama dan
kedua), baik berasal dari suami meupun dari hakim.
b. Rujuk terjadi setelah suami menceraikan istrinya yang telah dicampuri
sebelumnya. Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya sebelum
dicampuri dan dia ingin merujuknya maka hal tersebut tidaklah
diperbolehkan menurut kesepakatan ulama mazhab, sebab wanita
tersebut tidak mempunyai idah. Hal ini sebagaimana dalam Q.s. Al-
Ahzab (33): 49:

‫علَ ْي ِه َّن ِم ْن‬ ُّ ‫طلَّ ْقت ُ ُمو ُه َّن ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن ت َ َم‬


َ ‫سو ُه َّن فَ َما لَ ُك ْم‬ ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِي ِإذَ نَ آ َمنُوا ا نَ َكحْ ت ُ ُم ْال ُمؤْ ِمنَا‬
َ ‫ت ث ُ َّم‬
‫يًل‬ً ‫س َرا ًحا َج ِم‬ َ ‫س ِر ُحو ُه َّن‬ َ ‫ِعدَّة ت َ ْعتَدُّونَ َها َف َمتِعُو ُه َّن َو‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas
mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka
berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang
sebaik-baiknya”.

Para ulama mazhab Hambali telah menganggap bahwasannya


hukum berduaan dengan istri yang telah ditalak raj’i kedudukannya sama
dengan hukum mencampurinya, sehingga seorang laki-laki boleh

68
Ibnu Rusyd. Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid. Penerjemah Imam Ghazali
Sa’id, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, h. 188.
69
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, 292.
70
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. Shahîh Fiqih Sunnah. Penerjemah Darwis dan
Derysmono, Shahih Fikih Sunnah Jilid 2, cet.2, h. 709.
33

melakukan rujuk setelah menceraikan istrinya itu. Pendapat ulama


tersebut berbeda dengan pendapat jumhur ulama.
c. Rujuk dilakukan pada masa idah. Jika waktu idah sudah selesai maka
seorang laki-laki tidak diperbolehkan lagi untuk melakukan rujuk kepada
mantan istrinya, sebagaimana yang telah disepakati oleh para ahli fikih.
Landasannya adalah firman Allah SWT. Q.s. Al-Baqarah (2): 228:
َ ‫َو ْال ُم‬
ۚ ‫طلَّقَاتُ يَت ََربَِّْنَ ِبأ َ ْنُُ ِس ِه َّن ث َ ًَلثَةَ قُ ُروء‬
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'”.

Dalam ayat yang sama Allah SWT. juga berfirman:


ْ ‫َوبُعُولَت ُ ُه َّن أ َ َح ُّق ِب َر َِه َِّن ِفي ٰذَلِكَ ِإ ْن أ َ َراَُوا ِإ‬
‫ص ًَل ًحا‬
Artinya: “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah”.

Dikarenakan rujuk merupakan bukti masih berlangsungnya


kepemilikan, sehingga jika idah sudah berakhir, maka tidak terbayangkan
bagaimana kepemilikan tersebut tetap ada.
d. Perpisahan sebelum rujuk itu tidak terjadi karena akad nikahnya
dinyatakan batal (fasakh).
e. Perpisahan tersebut tidak dilakukan dengan penebusan. Jika dilakukan
dengan penebusan maka tidak sah rujuk. Sebab, pada saat itu hukumnya
menjadi talak ba’in. Alasannya, karena karena seorang perempuan telah
menebus drinya dari suaminya dengan harta yang diserahkan kepadanya
untuk mengakhiri ikatan pernikahan tersebut.
Rujuk yang dilakukan adalah rujuk yang terlaksana secara langsung,
tidak sah menggantung rujuk dengan syarat tertentu atau menyandarkannya
dengan waktu yang akan datang. Hal ini menurut jumhur ulama fikih.
Mereka mengatakan, rujuk merupakan bukti keberlangsungan akad nikah
atau merupakan cara untuk mengulangi akad nikah. Akad nikah tidak sah
jika ada pensyaratan atau penyandaran dengan waktu tertentu, maka rujuk
mengikuti hukum nikah.
34

E. Hakam
Perdamaian berasal dari kata as-shulh. Menurut bahasa, perdamaian
berarti mengakhiri pertikaian. Adapun dalam istilah syariat, perdamaian adalah
kesepakatan untuk mengakhiri pertikaian kedua belah pihak antara dua belah
pihak yang bertikai.71 Para ulama sepakat atas kebolehan mengirim dua juru
damai ketika terjadi konflik antara suami istri tanpa diketahui sebab-sebabnya,
dalam arti siapa yang benar dan siapa yang salah. Hal ini berdasarkan firman
Allah SWT. pada surat an-Nisa (4): 35:

ْ ‫َو ِإ ْن ِخ ُْت ُ ْم ِش َقاقَ َب ْي ِن ِه َما فَا ْب َعثُوا َح َك ًما ِم ْن أ َ ْه ِل ِه َو َح َك ًما ِم ْن أ َ ْه ِل َها ِإ ْن ي ُِريدَا ِإ‬
‫ص ًَل ًحا‬
َ َ‫ق اللَّهُ بَ ْينَ ُه َما ۗ ِإ َّن اللَّهَ َكان‬
‫ع ِل ْي ًما َخ ِبي ًْر‬ ِ ِ‫ي َُوف‬
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Para ulama sepakat bahwa kedua juru damai hanya boleh dikirim dari
keluarga pasangan suami istri yang bersangkutan, salah satunya dari pihak suami,
dan lainnya dari pihak istri. Kecuali kalau dari keluarga suami istri itu tidak
terdapat orang yang pantas untuk menjadi juru damai, maka boleh dikirim orang
lain yang bukan berasal dari keluarga mereka berdua. Mereka juga sepakat, kalau
kedua juru damai tersebut berselisih pendapat, maka pendapat keduanya tidak bisa
dilaksanakan. Mereka juga sepakat bahwa pendapat keduanya yang merukunkan
kembali suami istri berlaku tanpa pemberian kuasa dari kedua belah pihak suami
istri.72
Sedangkan menurut As-sya’bi dan Ibn Abbas mengatakan bahwa pihak
ketiga atau Hakam dalam kasus syikak diangkat oleh Hakim atau Pemerintah.73

71
Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah. Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin, Fikih Sunnah 5,
h. 420.
72
Ibnu Rusyd. Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid, Penerjemah Imam Ghazali
Sa’id, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, h. 206.
73
Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-Arba’ah, sebagaimana dikutip oleh
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’at, Hukum Adat dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana, 2009), h. 187.
35

Menurut Imam Nawawi, seorang Hakam atau Mediator harus laki-laki, cakap, dan
saleh. Menurut Wahbah Zuhaili syarat Hakam antara lain adalah berakal, baligh,
adil, dan muslim. Oleh karena itu tidak dibenarkan mengangkat orang kafir
dzimmi, orang yang terhukum hudud karena qazaf, orang fasik, dan anak-anak
untuk menjadi Hakam, karena dilihat dari segi keabsahannya, mereka tidak
termasuk ahliyyah al-aqdha’ (orang yang berkopeten mengadili).74

74
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’at, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, h. 188.
BAB III

PERCERAIAN DALAM HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN


NEGARA BRUNEI DARUSSALAM

A. Indonesia
1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia

Sejarah hukum keluarga Indonesia terbagi dalam dua masa yaitu hukum
keluarga prakemerdekaan, yang dibagi menjadi dua yaitu hukum keluarga
prapenjajahan (prakolonial), dan hukum keluarga zaman penjajahan (kolonial).
Hukum keluarga pascakemerdekaan dibagi dalam tiga yaitu hukum keluarga
awal kemerdekaan, hukum keluarga sesudah 1950, dan terbentuknya Undang-
undang perkawinan baru. Berikut uraiannya:75

a. Kerajaan Islam
Hukum Islam mulai berlaku dan dilaksanakan oleh umat Islam di
Indonesia. Hukum Islam ada ketika pertama kali orang Islam menginjakkan
kakinya di Indonesia (abad XII-XVII M). Penyelesaian perkara masih
dengan cara yang sederhana yaitu melalui hakam (abritase).76
Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara
menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i. Kemudian pada abad ke 15 dan 16
M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak,
Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. Sementara itu, di bagian timur
Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima
dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga
menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.77

75
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandar Lampung: PT Citra
Aditya Bakti, 2010), h. 60-64.
76
Ali Sodikin, Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia,
(Yogyakarta: Beranda, 2012), h. 181.
77
https://kotamad.wordpress.com/2012/01/29/sejarah-lahirnya-undang-undang-no-1-
tahun-1974-tentang-perkawinan/ diakses pada tanggal 31 Januari 2018.

36
37

b. Masa Penjajahan Belanda


Masa awal penjajahan Belanda, hukum perkawinan yang berlaku
adalah hukum perkawinan Islam khususnya yang berasal dari kitab-kitab
fikih berbahasa Arab atau dari kitab UU yang dibuat oleh beberapa kerajaan
Islam. UU Perkawinan yang tercantum dalam staatblad tahun 1929
menempatkan penghulu sebagai pegawai pemerintah yang berada di bawah
kontrol Bupati. Kemudian tahun 1931 keluar UU staatblad No. 53. UU ini
memberikan efek yang serius bagi eksistensi hukum Islam.

c. Masa Kemerdekaan
Memasuki masa kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia telah
menerapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan
Nikah, Talak, dan Rujuk dan Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun
1947 tentang Pegawai Pencatat Nikah.78 Menteri Agama membentuk Panitia
Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk (NTR) yang
berrtugas meninjau RUU (Rancangan Undang-undang) yang selaras dengan
keadaan zaman.79 Pada masa orde baru inilah keinginan untuk mewujudkan
Undang-undang perwakilan bangkit kembali, yang berujung dengan
diajukannya Rancangan Undang-undang (RUU) perkawinan oleh Menteri
Kehakiman sebagai perwakilan dari pemerintah ke DPR pada tahun 1973
terlaksana. Meskipun demikian ternyata draft RUU tersebut menuai banyak
kecaman, terlebih dari kalangan umat Islam yang menilai RUU tersebut
banyak yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Dengan perjalanan yang
berliku dan perjuangan yang keras akhirnya pada tanggal 2 Januari 1974
RUU perkawinan disahkan menjadi Undang-undang. Kehadiran UU No. 1
Tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya beberapa peraturan pelaksana.
Pertama, PP No. 9 Tahun 1975 yang diundangkan tanggal 1 April 1975.

78
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
cet.1, h. 157.
79
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, cet.1, h. 158.
38

Kedua, Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Ketiga,


Petunjuk Mahkamah Agung RI.80
Dalam Pasal 67 PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa: 1.
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975, 2.
Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan secara
efektif dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Bagi umat Islam diatur
dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 dan No. 4 Tahun 1975,
kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1975. Bagi
yang beragama selain Islam diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri
No. 221a Tahun 1975, tanggal 1 Oktober 1975 tentang Pencatatan
Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil. Kemudian pada
tahun 1983 lahir pula PP No. 10 yang mengatur izin Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan pada tanggal 21 April
1983. Selanjutnya disusul lagi dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Kemudian pada tahun 1990 keluar PP No. 45
yang berisi perubahan PP No. 10 Tahun 1983. Kemudian satu tahun
sesudahnya berhasil disusun Kompilasi Hukum Islam mengenai
perkawinan, pewarisan, dan perwakafan.81
Latar belakang penyusunan KHI didasarkan pada konsideran
Keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal
21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tentang
Penunjukan Pelaksanaan Poyek Pembangunan Hukum Islam melalui
yurisprudensi atau yang lebih dikenal sebagai proyek KHI.82 Proses
pembentukan KHI ini mempunyai kaitan yang erat dengan kondisi hukum
Islam di Indonesia selama ini. Dalam membicarakan hukum Islam di

80
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan
Hukum Indonesia di Gunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pebaruan, dan Materi & Status
Perempuan dalam Hukum Perkawinan/Keuarga Islam, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009),
h. 48.
81
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan
Hukum Indonesia di Gunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pebaruan, dan Materi & Status
Perempuan dalam Hukum Perkawinan/Keuarga Islam, h. 49.
82
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
1992), h. 15.
39

Indonesia. Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipegangi/ditaati oleh


mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup
dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan
ada dalam kehidupan hukum nasional dan merupakan bahan dalam
pembinaan dan pengembangannya.83
KHI ini merupakan keberhasilan besar umat Islam Indonesia pada
pemerintahan orde baru. Tujuan perumusan KHI di Indonesia adalah
menyiapkan pedoman fikih yang seragam dan telah menjadi hukum positif
yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam.
Dengan ini diharapkan tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam
lembaga-lembaga peradilan Agama. Apabila tidak ada KHI atau para hakim
di Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara, maka ia berpedoman
kepada referensi kitab fikih yang dibuat oleh para fuqaha terdahulu
berdasarkan situasi dan kondisinya di mana fuqaha itu berada, hakim dalam
menyelesaikan perkara yang sama sering putusannya berbeda sebagai akibat
rujukan yang berbeda.84

2. Perceraian dalam Ketentuan Hukum Keluarga di Indonesia


a. Pengertian dan Alasan Perceraian
“Putusnya Perkawinan” adalah istilah hukum yang digunakan dalam
Undang-undang Perkawinan untuk menjelaskan perceraian atau berakhirnya
hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang telah
hidup sebagai suami istri.85 Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan
antara suami isteri dengan keputusan pengadilan dan ada cukup alasan
bahwa diantara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai
suami isteri.86 Perceraian diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun

83
M. Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), h. 198.
84
Asril, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Hukum Islam, vol. XV, No. 1, (Riau:
Juni, 2015), h. 33.
85
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), cet.3, h. 189.
86
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 12.
40

1974 tentang Perkawinan Pasal 38 dan menurut KHI diatur dalam Pasal 113
sampai 128 yang menerangkan bahwa perkawinan dapat putus karena
kematian, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan.87
Sebab perceraian, Undang-undang Perkawinan memberikan aturan-
aturan yang telah baku, terperinci, dan sangat jelas.88 Bahwa perceraian
harus memiliki salah satu alasan dari beberapa alasan, baik dalam cerai talak
atau gugat, pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 dan
KHI Pasal 116 menyebutkan beberapa alasan yang dapat menyebabkan
perceraian, yaitu berikut ini:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
6) Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukum lagi dalam
rumah.
7) Suami melanggar taklik talak
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.

b. Syarat Sah Perceraian


Syarat untuk melakukan perceraian di Indonesia adalah perceraian
hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan artinya perceraian hanya terjadi,
dan sah jika diucapkan di depan pengadilan. Hal ini sesuai dengan pasal 39
UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI pasal 115 “perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan (Agama) setelah Pengadilan
Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

87
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),
h. 148-149.
88
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1982), h. 291.
41

pihak”. Artinya di Indonesia dalam menyelesaikan perkara perceraian harus


di depan sidang Pengadilan, jika perceraian dilakukan di luar Pengadilan
maka perceraiannya dianggap tidak sah atau statusnya masih suami istri.
Karena dengan ini perempuan akan mendapatkan perlindungan hukum. Dan
perceraian di luar Pengadilan (perceraian liar) jelas-jelas tidak akan
memberikan jaminan dan kepastian hukum untuk perempuan.89
Pengadilan akan menjatuhkan talak apabila memang dipandang
pasangan suami istri itu tidak dapat disatukan lagi. Dan kalaulah tetap
dipertahankan perkawinan itu, akan memberikan kemudharatan kepada
kedua belah pihak, seperti yang tercantum dalam pasal 130 KHI,
“Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut,
dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya banding atau kasasi”.
Namun perlu dicatat disini bahwa untuk menjamin keadilan dan
kewibawaan hukum, Pengadilan Agama memerlukan hakim-hakim yang
berwawasan (khususnya wawasan gender), cakap, jujur, dan bijaksana.90

c. Bentuk-bentuk Perceraian
Dari ketentuan tentang perceraian yang diatur dalam pasal 39 sampai
dengan pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan pasal 14 sampai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah Perkawinan No.
9 Tahun 1975, dapat ditarik kesimpulan adanya dua macam perceraian,
yaitu:91

1) Cerai Talak
Cerai talak adalah perceraian yang terjadi sebagai akibat
dijatuhkannya talak oleh suami terhadap istrinya di muka sidang
pengadilan. Cerai talak ini hanya khusus untuk yang beragama Islam,
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 114 Peraturan Pemerintah No. 9

89
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, cet.1, h. 193.
90
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, cet.1, h. 192-194.
91
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), h.
37.
42

Tahun 1975 bahwa “Seorang suami yang telah melangsungkan


perkawinan menurut agama Islam, yang ada menceraikan istrinya,
mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya yang berisi
pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan
alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang
untuk keperluan itu.”92 Cerai talak menurut Undang-undang Nomor 7
Tahun1989 tentang Peradilan Agama dalam Pasal 66 adalah seorang
suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna
menyaksikan ikrar talak.93
Adapun tata cara seorang suami yang hendak mentalak istrinya
selanjutnya diatur dari Pasal 15 sampai dengan Pasal 18 Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang pada dasarnya adalah sebagai
berikut:

a) Setelah Pengadilan menerima surat pemberitahuan tersebut dan


mempelajarinya, selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima
surat itu, Pengadilan memanggil suami dan istri yang akan bercerai
itu untuk dimintai penjelasan.
b) Setelah Pengadilan mendapat penjelasan dari suami istri tersebut
dan ternyata memang terdapat alasan-alasan untuk bercerai,
kemudian Pengadilan berpendapat pula bahwa antara suami istri
yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup
rukun dalam rumah tangga, maka Pengadilan memutuskan untuk
mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu.
c) Kemudian Ketua Pengadilan memberi surat keterangan tentang
terjadinya perceraian tersebut dan surat keterangan tersebut
dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu
terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
2) Cerai Gugat

92
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet.2, h. 18.
93
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 66, tentang Peradilan Agama.
43

Cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan


yang diajukan oleh seorang istri agar perkawinan dengan suaminya
menjadi putus. Mengenai cerai gugat ini, perundang-undangan
menyebutkan dalam Pasal 73 (1) UU No. 7 Tahun 1989, Pasal 132 (1)
KHI dan Pasal 20 (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang perkawinan.

a) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 73 (1) dan Kompilasi


Hukum Islam Pasal 132 (1) bahwa gugatan perceraian diajukan
istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat
dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin
tergugat.

b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Pasal


20 (1) bahwa gugatan perceraian dapat dilakukan oleh seorang istri
yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan
seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaan itu selain
agama Islam.

Pemeriksaan perkara ditingat pertama dilakukan melalui tahap-


tahap pemeriksaan perkara yang dimulai dari:94
a) Pembukaan sidang
Pada sidang pertama yang ditetapkan melalui Penetapan Hari Sidang.

(1) Ketidakhadiran penggugat


Jika penggugat/kuasanya tidak hadir tetapi tergugat hadir,
maka gugatan dapat dinyatakan gugur atau sidang ditunda untuk
memanggil penggugat sekali lagi.

(2) Ketidakhadiran tergugat

94
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet.1, h. 15.
44

Jika prnggugat hadir, tetapi tergugat atau kuasanya tidak


hadir, maka perkaranya akan diputus verstek, yaitu penggugat
dianggap menang dan tergugat dianggap kalah.

b) Penanyaan Identitas para Pihak


Setelah sidang dinyatakan dibuka, untuk menghindari eror in
persona (keliru mengenai orang) maka hal pertama yang dilakukan
oleh majelis hakim adalah menanyakan identitas pihak-pihak, dimulai
dari penggugat dan selanjutnya tergugat meliputi nama, bin/ti,
alias/julukan/gelar, umur, agama, pekerjaan, dan temtpat tinggal
terakhir.

c) Anjuran Damai
Jika kedua belah pihak hadir dan berhasil diakhiri dengan
perdamaian yang dituangkan dalam Akta Perdamaian yang kekuatan
hukumnya sama dengan putusan, tetapi tidak dapat banding atau
diajukan lagi.95 Tetapi jika perdamaian tidak berhasil, maka Hakim
Pemeriksa Perkara segera menerbitkan penetapan untuk melanjutkan
pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang
berlaku.96

d) Pembacaan Gugatan
Setelah gugatan dibacakan, sebelum tahap jawaban tergugat,
penggugat berkesempatan untuk menyatakan sikap sehubungan
dengan gugatannya. Ada tiga kemungkinan sikap penggugat:
mencabut gugatan, mengubat gugatan, dan tetap mempertahankan
gugatan.

95
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada,
2003), cet.10, h. 19.
96
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016, Pasal 32 ayat
(3), tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
45

e) Jawaban Tergugat
Jawaban tergugat dapat diberikan secara tertulis atau lisan
yang harus dihadiri oleh tergugat atau kuasa hukumnya. Jika tidak
dihadiri oleh tergugat atau kuasa hukumnya meskipun ada
mengirimkan surat jawaban tertulis, maka jawaban itu tidak akan
diperhatikan dan dianggap tidak pernah ada, kecuali jika jawaban itu
berisi eksepsi bahwa pengadilan tersebut tidak berwenang mengadili.

f) Replik Penggugat
Setelah tergugat memberikan jawabannya, selanjutnya
kesempatan beralih kepada penggugat untuk memberikan replik yang
menanggapi jawaban tergugat sesuai dengan pendapatnya.

g) Duplik Tergugat
Setelah replik penggugat maka bagi tergugat dapat
membalasnya dengan mengajukan duplik yang kemungkinan sikapnya
sama seperti replik penggugat.

h) Pembuktian
Alat-alat bukti yang dapat dikemukakan di muka sidang terdiri
dari: alat bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah,
pemeriksaan di tempat, saksi ahli, pembukuan dan pengetahuan
hakim.

i) Kesimpulan Para Pihak


Setelah tahap pembuktian berakhir sebelu dibacakan
keputusan, para pihak diberikan kesempatan untuk memberikan
pendapat akhir yang merupakan kesimpulan mereka terhadap hasil
pemeriksaan selama persidangan.

j) Musyawarah Majelis Hakim


Terhadap hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan selanjutnya
majelis hakim akan melakukan sidang tertutp untuk melakukan
46

perundingan dalam merumuskan putusan melalui musyawarah majelis


hakim.

k) Pembacaan Putusan Hakim


Pembacaan putusan dilakukan oleh Ketua Majelis Hakim.
Dalam perkara perceraian putusan perceraian diucapkan dalam sidang
terbuka, dan suatu perceraian berikut akibat-akibatnya dianggap
terjadi terhitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap.

d. Akibat Putusnya Perkawinan


Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam segala
bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya adalah:97
1) Idah
Idah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
masa tunggu (belum boleh menikah) bagi wanita yang berpisah dengan
suami, baik karena ditalak maupun bercerai mati, wanita yang ditalak
oleh suaminya harus menjalani selama tiga kali suci dari menstruasi.98
Undang-undang Perkawinan tampaknya tidak mengatur tentang idah
ataupun waktu tunggu secara rinci. Satu-satunya pasal yang bicara
tentang waktu tunggu adalah Pasal 11 ayat 1 dan 2 sebagai berikut:99
a) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka
waktu tunggu.
b) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur
dalam peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Selanjutnya waktu tunggu ini dimuat di dalam PP No.9 Tahun
1975 Pasal 39 yang berbunyi sebagai berikut:
a) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut:

97
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, cet.2, h. 301.
98
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. 2016.
99
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), h. 252.
47

(1) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu


ditentukan 110 hari.
(2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu
yang masih berdatang bulan ditetapkan tiga kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 hari.
(3) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
b) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya
belum pernah terjadi hubungan.
c) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi
Perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami.
Menurut KHI dalam pasal 153 mengatur tentang masa tunggu
(idah) seorang wanita (janda) yang telah diceraikan atau ditinggal mati
oleh suaminya. Pada ayat (1) berbunyi “bagi seorang istri yang putus
perkawinannya berlaku waktu tunggu atau idah, kecuali qabla al
dukhûl dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami”.
Pasal 153 waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai
berikut:
a) Bagi seorang istri yang putus perceraiannya berlaku waktu tunggu
atau idah, kecuali qabla al-dukhûl dan perkawinannya putus bukan
karena kematian suami.
b) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
(1) Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla
al-dukhûl, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh)
hari.
(2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu
bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang
tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
(3) Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda
tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan.
(4) Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda
tersbeut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan.
48

c) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena


perceraian tersebut dengan bekas suami qabla al-dukhûl.

2) Nafkah idah

Dalam KHI Pasal 149 huruf (b) juga dijelaskan bilamana


perkawinan putuh karena talak, maka bekas suami wajib memberi
nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istrinya selama dalam idah,
kecuali bekas istri telah dijatuhkan talak ba’in atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil. Mengenai ukuran nafkah idah atau kadarnya dalam
peraturan di Indonesia, tidak ditemukan jumlahnya secara pasti. Namun
dalam PP No. 9 Tahun 1975 dan Undang-undang Peradilan Agama No. 7
Tahun 1989 dijelaskan bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian
berdasarkan permohonan pemohon ataupun termohon, pengadilan dapat
menentukan jumlah nafkah yang harus ditanggung suami.

3) Mut’ah
Mut’ah menurut KHI adalah pemberian bekas suami kepada istri,
yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya. Dan menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mut’ah adalah sesuatu (uang,
barang, dan sebagainya) yang diberikan suami kepada istri yang
diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas istrinya.100
Dalam KHI Pasal 149 huruf (a) menyatakan bahwa, “Memberikan
mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda,
kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhûl”.

Berdasarkan Pasal 158 huruf (b) tersebut, jika perceraian tersebut


berasal dari kehendak istri yaitu dengan jalan khuluk, maka suami tidak
wajib untuk membayarkan mut’ah kepada mantan istrinya. Mengenai
ukuran mut’ah yang dibebankan kepada mantan suami tidak terdapat
pedoman khusus dalam peraturan Perundang-undangan. Namun pada
Pasal 160 KHI menjelaskan bahwa ukuran mut’ah ditentukan

100
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. 2016.
49

berdasarkan kemampuan suami, sehingga besar atau kecilnya mut’ah


tergantung kepada kemampuan suami.

4) Rujuk

Rujuk menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah


kembalinya suami kepada isrtinya yang ditalak, yaitu talak satu atau talak
dua, ketika istri masih dimasa idah.101 Baik Undang-undang No. 1 Tahun
1974 maupun Undang-undang No. 7 Tahun 1989, begitu pula Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, secara spesifik tidak mengatur rujuk. KHI
mengatur rujuk dan cara pelaksanaannya secara lengkap yang secara
materril kesemuanya berasal dari kitab fikih dengan rumusan sebagai
berikut:102

Pasal 163

a) Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa idah.


b) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal:
(1) Putusnya perkawinan karena talak, kecuali yang telah jatuh
tiga kali atau talak yang dijatuhkan qabla al-dukhûl
(2) Putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan
alasan atau alasan-alasan zina dan khuluk
Pasal 164

Seorang wanita dalam idah talak raj’i berhak mengajukan keberatan


atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat
Nikah disaksikan dua orang saksi.
Pasal 165

Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat dinyatakan


tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 166

Rujuk harus dapat dilakukan dengan Kutipan buku Pendaftaran Rujuk


dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang
mengeluarkannya.

101
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. 2016.
102
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, cet.1, h. 169.
50

e. Mediator
Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 bahwa
mediator adalah hakim atau pihak lain yang memliki sertifikat mediator
sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan
guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa
menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Mediator harus memenuhi persyaratan-persyaratan agar proses


mediasi yang dilakukan dapat berhasil. Persyaratan bagi seorang mediator
dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi internal dan sisi eksternal. Sisi internal
berupa kemampuan personal dalam menjalankan tugasnya antara lain:
kemampuan membangun kepercayaan para pihak, kemampuan
menunjukkan sikap empati, tidak menghakimi dan memberikan reaksi
positif terhadap sejumlah pernyataan yang disampaikan para pihak dalam
proses mediasi, walaupun ia sendiri tidak setuju dengan pernyataan tersebut.

Sisi eksternal berupa persyaratan lain yang berkaitan dengan para


pihak dan permasalahan yang dipersengketakan oleh mereka. Persyaratan
tersebut adalah sebagai berikut:103
1) Keberadaan mediator disetujui oleh kedua belah pihak
2) Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atay semanda sampai
dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa
3) Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang
bersengketa
4) Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain
terhadap kesepakatan para pihak
5) Tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun
hasilnya

Mediator memiliki peran yang sangat penting agar tercapai


kesepakatan damai diantara pihak-pihak yang bersengketa. Gery Goodpaster

103
Syahrizal Abbas, Mediasi: dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, h. 60-65.
51

sebagaimana dikutip oleh D.Y. Witanto, menyebutkan bahwa mediator


memiliki beberapa peran penting antara lain:104
1) Melakukan diagnosa konflik
2) Mengidentifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis
3) Menyusun agenda
4) Memperlancar dan mengendalikan komunikasi
5) Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar menawar
6) Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting
7) Penyelesaikan masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan
8) Diagnosa sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem

Proses penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi dapat


dilakukan di pengadilan maupun di luar pengadilan.105

1) Mediasi di pengadilan
Bila mediasi dijalankan oleh lembaga formal seperti pengadilan
maupun lembaga penyedia jasa mediasi, maka pengangkatan mediator
mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Para pihak berhak
memilih seorang atau lebih mediator. Mediator dari pengadilan maupun
dari lembaga penyedia jasa mediasi wajib memiliki sertifikat mediator
yang diperoleh setelah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan
sertifikasi mediator yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung atau
lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung. Hal
tersebut sejalan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI Nomor
1 Tahun 2016 pada Pasal 13 yaitu:
“pada ayat (1) dijelaskan bahwa, setiap Mediator wajib memiliki
Sertifikat Mediator yang diperoleh setelah mengikuti dan dinyatakan
lulus dalam pelatihan sertifikasi Mediator yang diselenggarakan
Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari
Mahkamah Agung. Pada ayat (2) menjelaskan bahwa: “berdasarkan surat
keputusan ketua Pengadilan, Hakim tidak bersertifikat dapat menjalankan

104
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak Kedudukan Anak Luar Kawin, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2012), h. 102.
105
Syahrizal Abbaz, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), cet.1, h. 70.
52

fungsi Mediator dalam hal tidak ada atau terdapat keterbatasan jumlah
Mediator bersertifikat.”
2) Mediasi di luar pengadilan
Mediator yang dijalankan di luar pengadilan atau dengan anggota
masyarakat, maka pengangkatan mediator sangat tidak terikat dengan
ketentuan aturan formal. Mediator di luar pengadilan dapat dibagi kepada
dua kategori yaitu mediasi yang dijalankan oleh mediator yang berasal
dari penyedia jasa pelayanan mediasi dan mediator yang berasal dari
anggota masyarakat. Mediator yang berasal dari masyarakat diangkat
oleh para pihak yang bersengketa. Pengangkatan mediator di masyarakat
sangat tergantung pada para pihak. Orang yang diminta para pihak pihak
pada umumnya berasal dari tokoh masyarakat, tokoh adat, atau tokoh
ulama. Karena mereka pada dasarnya memiliki kemampuan interpersonal
dan skill dalam menjalankan mediasi, karena mereka adalah para
pemimpin masyarakat.
Tugas mediator menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2016 pada Pasal 14 yaitu sebagai berikut:
1) Memperkenalkan diri dan memberi kesempatan kepada para pihak
untuk saling memperkenalkan diri
2) Menjalankan maksud, tujuan dan sifat mediasi kepada para pihak
3) Menjelaskan kedudukan dan peran mediator yang netral dan tidak
mengambil keputusan
4) Membuat aturan pelaksanaan mediasi bersama para pihak
5) Menjelaskan bahwa mediator dapat mengadakan pertemuan dengan
satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya (kaukus)
6) Menyusun jadwal mediasi bersama para pihak
7) Mengisi formulir jadwal mediasi
8) Memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan
permasalahan dan usulan perdamaian
9) Menginventarisasi permasalahan dan mengagendakan pembahasan
berdasarkan skala prioitas
53

10) Memfasilitasi dan mendorong para pihak untuk:


a) Menulusuri dan menggali kepentingan para pihak
b) Mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak
c) Bekerja sama mencapai penyelesaian
11) Membantu para pihak dalam membuat dan merumuskan
kesepakatan perdamaian.

B. Negara Brunei Darussalam


1. Sejarah Hukum Keluarga Negara Brunei Darussalam
Brunei berada di bawah kekuasaan Inggris selama 100 tahun, pada
tahun 1963 menolak bergabung dengan negara Malaysia, dan beridir sendiri
dari Inggris pada tahun 1983. Brunei memproklamasikan kemerdekaannya
pada tanggal 1 Januari 1984 dengan ibukota Bandar Seri Begawan. Atas
kemerdekaan dari penjajah Inggris, maka Brunei menjadi sebuah Negara
melayu yang mengamalkan nilai-nilai tradisi atau kebudayaan melayu yang
memiliki unsur-unsur kebaikan dan menguntungkan. Dengan konstitusi yang
berdasar pada aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan bermazhab Syafi’i.
Namun demikian, dalam beberapa aturan hukum lainnya yang tidak diatur
dalam hukum keluarga, warga Negara Brunei tetap mempunyai hak untuk
memilih atas beberapa mazhab fikih lain selain mazhab Syafi’i.106
Sebelum datangnya Inggris, Undang-undang yang dilaksanakan di
Brunei ialah Undang-undang Islam yang telah dikanunkan dengan Hukum
Kanun Brunei. Hukum Kanun Brunei tersebut sudah ditulis pada Pemerintahan
Sultan Hasan (1605-1619M) yang disempurnakan oleh Sultan Jalilul Jabbar
(1619-1652M). Pada tahun 1847 Inggris mulai mencampuri urusan bidang
kekuasaan Mahkamah Kesultanan Brunei karena itu pada tahun inilah semakin
jauh mencampuri urusan hukum Brunei setelah diadakan perjanjian tahun

106
Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam”, Jurnal Al-Qadau, vol.
2, No. 2, 2015, h. 150.
54

1856. Dengan perjanjian ini Inggris merasa mempunyai saluran untuk


intervensi dalam masalah keadilan dan kehakiman Kesultanan Brunei.107
Diperkirakan Islam mulai diperkenalkan di Brunei Darussalam pada
tahun 1977 melalui jalur Timur Asia Tenggara oleh pedagang-pedagang dari
Cina. Islam telah menjadi agama resmi negara semenjak Raja Awang Alak
Betatar masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Shah (1406-
1408). Pada masa Sultan Hassan (Sultan ke-9) dilakukan revisi pada beberapa
hal menyangkut tata pemerintahan yaitu:
a. Menyusun institusi-institusi pemerintahan agama, karena agama
dianggap memainkan peranan penting dalam memadu Negara Brunei
Darussalam ke arah kesejahteraan.
b. Menyusun adat-istiadat yang dipakai dalam semua upacara, baik suka
maupun duka, disamping menciptakan atribut kebesaran dan perhiasan
raja.
c. Menguatkan Undang-undang Islam, yaitu hukum Qanun yang
mengandung 46 pasal dan 6 bagian.
Pada tahun 1888-1983 Negara Brunei Darussalam berada di bawah
penguasa Inggris. Kemudian Brunei memproklamasikan kemerdekaannya
pada tanggal 31 Desember 1983.108
Pemberian kekuasaan dalam bidang hukum secara penuh baru
diberikan kepada Inggris setelah ditandatanganinya. Perjanjian pada 1888
dalam artikel VII yang membuat aturan:
a. Bidang kuasa sivil dan jenayah kepada jawatan kuasa kehakiman Inggris
untuk mengendalikan kes rakyatnya, kes rakyat asing daari negara-negara
jajahan Inggris dan kes rakyat negara lain jika mendapat persetujuan
kerajaan negara mereka.
b. Bidang kuasa untuk menghakimkan kes yang melibatkan rakyat Brunei
jika rakyat Brunei dalam kes tersebut merupakan seorang penuntut atau
pendakwa. Tetapi jika di dalam sesuatu kes itu, rakyat Brunei adalah
107
Atho Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 178.
108
Redaksi Ensiklopedia, Ensiklopedia Islam, h. 250.
55

orang yang dituntut atau didakwa maka kes itu akan diadili oleh
Mahkamah Tempatan.
Sultan telah melakukan usaha penyempurnaan pemerintah, antara
lain dengan membentuk Majelis Agama Islam atas dasar Undang-undang
Agama dan Mahkamah Kadi tahun 1955. Majelis ini bertugas menasehati
sultan dalam masalah agama Islam. Langkah ini yang ditempuh sultan
adalah menjadikan Islam benar-benar berfungsi sebagai pandangan hidup
rakyat Brunei dan satu-satunya ideologi negara.109
Kekuasaan yang lebih luas lagi dalam bidang hukum diberikan
setelah adanya perjanjian tahun 1906. Dengan perjanjian tersebut Inggris
lebih leluasa mendapat kekuasaan yang luas untuk campur tangan dalam
urusan perundang-undangan, pentadbiran keadilan dan kehakiman, masalah
negara dan pemerintah kecuali dalam perkara-perkara agama Islam. Karena
Undang-undang adat dan kedudukan hukum syara dirasa tidak begitu jelas,
Kesultanan Brunei memberi petisi kepada Pesuruhjaya British pada 2 juli
1906 yang isinya menuntut:
a. Setiap kasus yang berkaitan dengan agama Islam diadili oleh hakim-
hakim setempat
b. Meminta agar adat-adat dan undang-undang setempat tidak dirombak,
dipindah dan dilanggar selama-lamanya.
Peraturan dan perundang-undangan di Brunei terus menerus
dirombak, seperti pada tahun 1912 Majlis Mesyuarat Negeri telah
mengundangkan Undang-undang Agama Islam yang dikenal dengan
“Muhammadans Law Enactment yang disempurnakan pada tahun 1913
dengan aturan yang dikenal dengan “Muhammadan’s Marriages and
Divorce Enactment”. Sampai yang terakhir yaitu dengan diundangkannya
Undang-undang Majlis Ugama, Adata Negeri dan Mahkamah Kadi tahun
1955, yang telah berlaku pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah tahun itu

109
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 110.
56

berturut-turut undang-undang mengalami amandemen yaitu mulai tahun


1957, 1960, 1961 dan 1967.
Ketika terjadi Revision Laws of Brunei pada tahun 1984, Undang-
undang inipun mengalami revisi tapi hanya tapi hanya sedikit saja di
samping namanya ditukar dengan Akta Majlis Ugama dan Mahkamah Kadi
Penggal 77. Secara umum akta ini merupakan akta yang menyatukan
Undang-undang yang ditadbir oleh Makamah Kadi dan juga bagi
membolehkan penubuhan institusi-institusi yang mengurus dan mentadbir
perjalanan agama Islam di Negara Brunei Darussalam. antara ciri utama
akta ini ialah merangkumi Undang-undang substantif yang berkaitan dengan
kekeluargaan, jenayah Islam, mualaf, murtad, wakaf, wasiat, prosedur,
keterangan, kesalahan jenayah Syari’ah, dan lain-lain lagi. Salah satu
perkara yang penting yang perlu dinyatakan dalam kajian ini adalah Akta
Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-mahkamah Kadi ini wujud sebelum
termaktubnya Undang-undang Perlembagaan Brunei. Akta ini kemudian
telah mengalami beberapa pindaan apabila tertubuhnya Mahkamah-
mahkamah Syari’ah pada 26 Mac 2011 melalui satu akta yang dinamakan
sebagai Perintah Darurat (Mahkamah-mahkamah Syariah) 1998. Beberapa
peruntukan yang terkandung dalam Akta Majlis Ugama dan Mahkamah-
mahkamah Kadi tersebut telah dimansuhkan dan sebahagiaannya masih lagi
terpakai dan berkuat kuasa. Antara peruntukan yang masih terpakai dan
berkuat kuasa adalah berkenaan pemelukan Islam yang kandungannya
sangat ringkas dan kurang jelas. Manakala peruntukan yang menyentuh hal-
hal kekeluargaan telah dimansuh dan digantikan dengan Perintah Darurat
Undang-undang Keluarga Islam.
Menurut Hooker, Undang-undang ini didasarkan pada perundangan
yang berlaku di negeri Kelantan dengan mengalami penyesuaian-
penyesuaian dengan kondisi Brunei. Peraturan ini membuat peraturan
tentang.
a. Pendahuluan (Bagian I Pasal 1-4)
b. Majlis Ugama Islam (Bagian II Pasal 5-44)
57

c. Mahkamah Syari’ah (Bagian III Pasal 45-96)


d. Masalah Keuangan (Bagian IV Pasal 134-122)
e. Masjid (Bagian V Pasal 123-133)
f. Perkawinan dan Perkawinan (Bagian VI Pasal 134-156)
g. Nafkah Tanggungan (Bagian VII Pasal 157-163)
h. Mualaf (Bagian VIII Pasal 164-168)
i. Kesalahan (Bagian IX Pasal 169-195)
j. Perkara Umum (Bagian X Pasal 196-204)
Pada tahun 1999 satu lagi undang-undang telah diluluskan yaitu
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) 1999, yang menjadi
rujukan kepada hal ehwal yang berhubung dengan institusi keluarga seperti
perkahwinan dan perceraian. Perintah ini juga dikenali sebagai “suatu
perintah bagi menggubal peruntukan-peruntukan tertentu mengenai Undang-
undang Keluarga Islam berkaitan dengan perkahwinan, perceraian, nafkah,
penjagaan dan perkara-perkara lain berhubungan dengan kehidupan
keluarga”. Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999
merupakan Undang-undang Keluarga yang mempunyai peruntukan yang
lebih kemas dan menyeluruh. Perintah ini tidak memnansuhkan peruntukan
dalam Akta Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-mahkamah Kadi Penggal
77 pada keseluruhannya, hanya bahagian VI (pernikahan dan perceraian)
dan bahagian VII (nafkah orang-orang dalam tanggungan) telah
dimansuhkan. Begitu juga bab 175, 176, 178 (1), 178 (2), 179 dan 180 telah
dimansuhkan. Perintah ini juga membuat pindaan dalam ceraian (1), dengan
memasukkan “selain dari satu perkahwinan di mana kedua belah pihak pada
masa perkahwinan tersebut menganut agama Islam”, sejurus selepas
“Negara Brunei Darussalam” dalam baris kedua.110
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 ini
mengandung sepuluh bahagian, yaitu sebagai berikut:111
a. Gekaran dan Tafsiran (bab 1 – bab 7)
110
Saaidah binti Derma Wijaya Haji Tamit, Instituti Keluarga dan Undang-Undang,
(Bandar Seri Begawan: Pusat Da’wah Islamiah, 2012), h. 4
111
Saaidah binti Derma Wijaya Haji Tamit, Institusi Keluarga dan Undang-Undang, h. 5.
58

b. Perkahwinan dan orang yang boleh mengakad nikahkan perkahwinan


(bab 8 – bab 23)
c. Pendaftaran perkahwinan (bab 24 – bab 32)
d. Hukuman dan Peruntukan rampaian berhubung dengan akad nikah dan
pendaftaran perkahwinan (bab 33 – bab 39)
e. Pembubaran Perkahwinan (bab 40 – bab 60)
f. Nafkah istri, Anak, dan Lain-lain (bab 61 – bab 87)
g. Penjagaan (bab 88 –bab 94)
h. Rampaian (bab 113 – bab 122)
i. Hukuman (bab 123- bab 139)
j. Perkara-perkara AM (bab 140 – bab 147)
Perkara am yaitu membetulkan kesilapan-kesilapan, pemeriksaan
daftar dan indeks, bukti, kuasa untuk membuat aturan-aturan, Hukum Syara’
hendaklah dikenakan jika tiada peruntukan, pengecualian, pemansuhan dan
pindaan bab 5 dari Penggal 124.

2. Perceraian dalam Ketentuan Hukum Keluarga di Negara Brunei


Darussalam
a. Pengertian dan Alasan Perceraian
Pengertian perceraian ini sudah dijelaskan di pembahasan-
pembahasan sebelumnya, bahwa perceraian merupakan suatu peristiwa
perpisahan secara resmi antara pasangan suami istri dan mereka
berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami
istri. Pada Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 ayat 43,
44, dan 45 menyebutkan bahwa ada beberapa alasan yang dapat
memutuskan perkawinan, yaitu:
1) Syiqaq adalah suami telah melakukan sebarang penganiayaan ke atas
istrinya atau menyakiti atau melakukan sebarang mendarat kepada
tubuh badan atau kehormatan atau harta istrinya sama ada dengan
perkataan atau perbuatan dan istrinya itu tidak sanggup untuk hidup
bersama dan meneruskan perhubungan suami istri.
2) Dharar syar’i yang mana dengan alasan-alasan sebagai berikut:
a) Lazimnya menyakiti atau menjadikan kehidupan istri menderita
disebabkan oleh kelakuan aniaya;
59

b) Berkawan dan bergaul dengan perempuan-perempuan jahat atau


hidup berperangai keji mengikuti pandangan Hukum Syar’i;
c) Melupuskan harta istri atau melarang istri dari menggunakan hak-
haknya di sisi Undang-undang terhadap harta itu;
d) Menghalang istri dari menunaikan atau menjalankan kewajipan
atau amalan agamanya; atau
e) Jika dia mempunyai istri lebih daripada seorang, dia tidak melayani
istri yang berkenaan secara adil mengikuti kehendak-kehendak
Hukum Syar’i.

3) Perceraian di bawah ta’liq talak.


Di Undang-undang Negara Brunei dijelaskan bahwa jika seorang
suami atau istri menyakiti pasangannya, maka akan mendapat hukuman
denda. Hukuman denda tersebut tidak ditentukan jumlahnya, hanya saja
dijelaskan maksimal dua ribu ringgit atau maksimal enam bulan penjara.
Hal tersebut terdapat pada Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga
Islam), 1999 Pasal 127 yang berbunyi:
“Seseorang suami atau isteri setelah diperintahkan oleh
Mahkamah supaya hidup bersama semula dengan isteri atau suaminya
dengan sengaja tidak mematuhi perintah itu adalah melakukan suatu
kesalahan dan jika disabitkan kesalahan hendaklah dihukum denda tidak
melebihi dua ribu ringgit atau penjara tidak melebihi enam bulan atau
kedua-duanya sekali”.
b. Syarat Sah Perceraian
Negara Brunei Darussalam masih mengakui perceraian di luar
Pengadilan.112 Meski seorang suami memberitahukan tentang perceraiannya
kepada pendaftar dalam tempo tujuh hari, seorang perempuan yang sudah
menikah bisa juga mengajukan permohonan cerai kepada kadi dengan
mengikuti hukum muslim. Apabila suaminya rela, hendaknya ia
mengucapkan cerai kemudian didaftarkan dan kadi akan mengeluarkan akta

112
Moh. Afandi, “Hukum Perceraian di Indonesia: Studi Komparatif antara Fikih
Konvensional, UU Kontemporer di Indonesia dan Negara-negara Muslim Perspektif HAM dan
CEDAW”, Al-Ahwal, Vol. 7, No. 2, (2014), h. 195.
60

perceraian kepada kedua belah pihak.113 Hal ini tertuang di Perintah Darurat
(Undang-undang Keluarga Islam), 1999 pada Pasal 55 yaitu:
“Seseorang lelaki yang telah menceraikan isterinya dengan
melafazkan talaq dalam apa-apa bentuk di luar Mahkamah dan tanpa
kebenaran Mahkamah hendaklah, dalam tempoh tujuh hari dari talaq itu
dilafazkan, melaporkan lafaz talaq itu kepada Mahkamah”.
Selanjutnya Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam),
1999 pada Pasal 124 tentang hukuman bagi para pihak yang tidak
melaporkan talaknya kepada Mahkamah, yaitu:
“Seseorang lelaki yang menceraikan isterinya dengan melafazkan
talaq dengan apa-apa bentuk di luar Mahkamah tanpa kebenaran Mahkamah
adalah melakukan suatu kesalahan dan jika disabitkan kesalahan hendaklah
dihukum denda tidak melebihi dua ribu ringgit atau penjara tidak melebihi
enam bulan atau kedua-duanya sekali”.
c. Bentuk-bentuk Perceraian
Di dalam Undang-undang Negara Brunei Darussalam terdapat
beberapa bentuk-bentuk perceraian, yaitu sebagai berikut:

1) Talak
Peraturan di Negara Brunei tidak menjelaskan tentang apa
pengertian dari talak. Adapun di dalam Perintah Darurat (Undang-undang
Keluarga Islam), 1999 Pasal 42 menjelaskan tentang prosedur talak, yaitu
sebagai berikut:114
a) Seorang suami atau seseorang istri yang akan melakukan
perceraian, maka hendaknya menyerahkan suatu permohonan
perceraian kepada Mahkamah dalam formulir yang ditetapkan.
b) Setelah menerima suatu permohonan perceraian, Mahkamah akan
menyampaikan somasi kepada pihak termohon dengan salinan
permohonan tertulis yang dbuat oleh pemohon, dan somasi tersebut
disampaikan untuk menyampaikan pihak termohon agar hadir di

113
M. Atho’ Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, cet.1, h. 189.
114
Prosedur talak di Negara Brunei Darussalam. Sebagaimana diuraikan di atas, penulis
sari dari Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999 pada Pasal 42 ayat (1) –
ayat (10).
61

hadapan Mahkamah untuk melakukan penyelidikan dan


mencaritahu apakah pihak yang satu lagi bersetuju atau tidak
dengan perceraian ini.
c) Jika pihak yang satu lagi setuju dengan perceraian tersebut, maka
Mahkamah puas dalam melakukan penyelidikan dengan hasil
perkawinan itu sah terpecah belah dan tidak dapat dikembalikan
lagi. Selanjutnya Mahkamah mengarahkan suami untuk
megucapkan lafaz talak di hadapan Mahkamah.
d) Mahkamah hendaklah memutuskan lafaz talak tersebut dan
hendaklah mengantarkan satu salinan putusan yang telah
bersertifikat kepada pendaftar yang bersangkutan dan ketua
pendaftar untuk didaftarkan.
e) Jika salah satu pihak tidak setuju untuk bercerai dan ada niatan
untuk berdamai, maka Mahkamah berhak mengusulkan para pihak
untuk berdamai kepada Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga.
f) Jika Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga tidak dapat mendamaikan
para pihak, maka pegawai tersebut berhak mengeluarkan sertifikat
yang berkenaan dengan perceraian, nafkah, penjagaan anak yaang
masih dibawah umur.

Talak dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:

a) Talak ba’in adalah talak yang tidak boleh dirujuk, melainkan


dengan akad nikah yang baru.talak ba’in kubra ada dua macam,
yaitu:
(1) Talak Ba’in Kubra
Dapat dikatakan talak ba'in kubra jika talak tersebut sudah
jatuh sebanyak tiga kali kepada istri, maka dia tidak boleh kembali
kepada bekas suaminya tersebut, kecuali dia sudah menikah secara
sah dengan orang lain, bersetubuh dengan orang lain, dan
pernikahan tersebut dibubarkan dengan sah setelah waktu idahnya
habis. Hal tersebut terdapat pada Perintah Darurat (Undang-undang
62

Keluarga Islam), 1999 pada Pasal 13 huruf (c) yang menyebutkan


bahwa,
“jika perceraian itu adalah dengan talak baain kubra, iaitu
tiga talak, dia tidaklah boleh berkahwin semula dengan suaminya
yang dahulu itu melainkan jika dia telah berkahwin dengan sah
dengan seorang lain dan dia telah disetubuhi oleh orang lain itu
dalam perkahwinan itu dan perkahwinan itu sah dan setelah habis
‘iddahnya”.

(2) Talak Ba’in Sugra


Talak ba’in sugra itu talak yang dijatuhkan oleh istri dengan
cara cerai tebus talak (khuluk) dikarenakan suami tidak setuju
dengan perceraian tersebut. Hal ini terdapat di dalam Perintah
Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 Pasal 48 (1) yang
menyebutkan bahwa:
“Jika suami tidak bersetuju menjatuhkan talak dengan
kerelaannya sendiri, tetapi pihak-pihak itu bersetuju bercerai
dengan cara tebus talak (khulu’), Mahkamah hendaklah, selepas
jumlah bayaran tebus talak dipersetujui dan telah dijelaskan oleh
pihak istri itu, mengarahkan suami melafalkan perceraian dengan
cara cerai tebus talak dan perceraian itu adalah baain sughra”.

b) Talak raj’i adalah perceraian dengan 1 atau 2 talak yang mana tidak
diikuti dengan habis idah. Pada talak raj'i ini jika talak raj'i telah
berlaku dan si istri tidak mengetahuinya, akmaka suami tidak boleh
memintanya untuk rujuk seperti sedia kala tanpa menjatuhkan talak
terlebih dahulu. Hal ini terdapat pada Perintah Daurat (Undang-
undang Keluarga Islam), 1999, Pasal 52 ayat (6) yang berbunyi:
"Jika talaq raj'ie telah berlaku tanpa diketahui oleh isteri,
suami tidaklah boleh menghendaki atau meminta isteri supaya ruju'
semula dengannya tanpa menzahikan kepadanya hal perceraian
itu".
2) Cerai Talak Tebus (Khuluk)
Di Negara Brunei diberlakukan juga aturan yang menyatakan
cerai tebus talak. Yang mana jika istri menggugat cerai, Hakim akan
meminta penjelasan suami apakah dia mengizinkan perceraian tersebut
63

dan jika suami memberi izin, Hakim akan meminta kepada suaminya,
untuk mengucapkan cerai, segera didaftarakan dan mengeluarkan surat
cerai kepada keluarganya. Sebaliknya, jika suami tidak setuju, tetapi
keluarga istri setuju untuk bercerai dengan tebusan atau cerai tebus talak,
Hakim boleh membantu masalah pembayaran (tebusan) istri kepada
suami dengan status dan keluarga istri. Hakim pun akan meminta kepada
suami untuk mengucapkan cerai dengan tebusan,115 kemudian Hakim
akan menilai jumlah yang perlu dibayar sesuai degan taraf kemampuan
kedua belah pihak tersebut serta mendaftarkan perceraian itu.116 Hal
tersebut tertuang dalam Pasal 48 menyatakan bahwa,
a) Jika suami tidak bersetuju menjatuhkan talak dengan kerelaannya
sendiri, tetapi pihak-pihak itu bersetuju bercerai dengan cara tebus
talak (khulu’), Mahkamah hendaklah, selepas jumlah bayaran tebus
talak dipersetujui dan telah dijelaskan oleh pihak istri itu,
mengarahkan suami melafalkan perceraian dengan cara cerai tebus
talak dan perceraian itu adalah baain sughra.
b) Jika jumlah bayaran tebus talak tidak dipersetujui oleh pihak-pihak
itu, Mahkamah boleh mentaksirkan jumlah itu mengikut Hukum
Syara’ dengan memberi perhatian kepada taraf, sumber kewangan
pihak-pihak itu dan mas kawin. Jika Mahkamah telah menetapkan
jumlah tebus talak dan Mahkamah telah mengarahkan supaya
suami itu melafalkan talak dan didapati suami enggan berbuat
demikian, maka Mahkamah boleh menjatuhkan talak.
c) Mahkamah hendaklah merekodkan cerai tebus talak itu dengan
sewajarnya dan menghantar satu kalimat rekod itu yang diperakui
kepada Pendaftar yang berkenaan dan kepada Ketua Pendaftar
untuk didaftarkan.

d. Akibat Hukum Setelah Perceraian


1) Idah
Idah adalah tempoh atau masa bagi seseorang perempuan di
tengah bernikah.117 Pada peraturan Undang-undang di Negara Brunei
tidak menjelaskan tentang batas waktu lamanya idah, hanya saja di

115
Dedi Supriyadi, Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,
(Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009), h. 149.
116
M. Atho’ Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, cet.1, h. 190.
117
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1)
tentang Permulaan.
64

Negara Brunei batas waktu idah mengikuti Hukum Syara'. di Negara


Brunei hanya menjelaskan tentang masa idah qabla dukhul yaitu jika
perempuan dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak boleh dikawinkan
dengan orang lain kecuali dengan suaminya yang terdahulu dalam masa
idah kecuali telah dibenarkan oleh kadi yang berkuasa dimana ia tinggal.
Pernyataan tersebut terdapat dalam Perintah Darurat (Undang-undang
keluarga Islam), 1999 pada Pasal 13 ayat (3) yang menyatakan bahwa,
“Jika perempuan itu mendakwa telah bercerai sebelum dia telah
disetubuhi oleh suaminya dalam perkahwinan itu, dia tidaklah boleh,
dalam masa ‘iddah perceraian biasa, berkahwin dengan seseorang selain
daripada suaminya yang dahulu itu, kecuali dengan kebenaran Hakim
Syar’ie yang mempunyai bidang kuasa di tempat di mana perempuan itu
bermastautin”.
2) Nafkah Idah
Nafkah idah berasal dari kata nafkah yang artinya perbelanjaan
yang wajib mengenai makanan, pakaian, dan tempat tinggal bagi istri,
anak-anak, janda, dan orang-orang lain di bawah tanggungan seorang
suami atau bekas suami dan mana-mana orang termasuk bapak, ibu, dan
bapak angkat mengikuti hukum syara’. Sedangkan idah adalah tempoh
atau masa bagi seseorang perempuan di tengah bernikah mengikuti
hukum syara’. Jadi nafkah idah yaitu kebutuhan yang berbentuk pakaian,
makanan, dan pakaian yang ditanggung oleh suami atau bekas suami
dalam tempoh bagi seseorang perempuan di tengah bernikah. Di dalam
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 Pasal 72
menjelaskan bahwa,
“Seseorang istri yang telah diceraikan oleh suaminya boleh atas
permohonannya di Mahkamah mendapatkan suatu perintah terhadap
bekas suaminya kerana bayaran di dalam ‘iddahnya, jika perceraian itu
dengan talaq satu atau dua atau pun di dalam tempoh dia mengandung
dengan bekas suaminya sebanyak mana nafkah yang dia boleh berhak
menerimanya dan perbelanjaan lain yang munasabah mengikuti Hukum
Syara’”.
65

Pada peraturan Negara Brunei pembayaran nafkah idah dibayar


sesuai perintah Mahkamah. Hal ini sesuai pada Perintah Darurat
(Undang-undang Keluarga Islam), 1999 Pasal 73 ayat (1) dan (2), yaitu:

a) Jika Mahkamah berpuas hati bahawa terdapat alasan-alasan untuk


pembayaran nafkah, Mahkamah boleh membuat suatu perintah
terhadap suami bagi membayar nafkah sementara yang akan
berkuatkuasa dengan serta-merta dan terus berkuatkuasa sehingga
suatu perintah Mahkamah dibuat atas permohonan untuk nafkah.
b) Suami boleh menyelaraskan nafkah sementara yang dibayar dengan
jumlah yang diperintahkan supaya dibayar untuk nafkah di bawah
perintah Mahkamah.

3) Mut’ah
Mut’ah adalah pemberian yang wajib ke atas suami kepada
jandanya mengikuti hukum syara’.118 Di dalam Undang-undang Negara
Brunei Darussalam telah dijelaskan tentang mut’ah bahwa, jika seorang
istri sudah diceraikan suaminya, si istri berhak untuk meminta mut’ah
kepada Mahkamah. Dalam pembagian mut’ah, Mahkamah
memerintahkan kepada suami untuk membayar sejumlah uang sesuai
dengan Hukum Syara’. Hal ini sesuai pada Undang-undang Negara
Brunei pada Pasal 57 yaitu sebagai berikut:
“selain dari haknya untuk memohon nafkah, seseorang
perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya boleh memohon
pemberian sagu hati (mut’ah) kepada Mahkamah, dan Mahkamah boleh,
selepas mendengar pihak-pihak itu dan apabila berpuas hati bahawa
perempuan itu telah diceraikan, memerintahkan suami supaya membayar
sejumlah wang sebagaimana yang mungkin wajar dan patut mengikut
Hukum Syara’”.
4) Rujuk
Pada Undang-undang Negara Brunei Darussalam, rujuk adalah
perkembangan seseorang perempuan yang ditalak oleh suaminya bukan
secara ba’in kepada nikah asal dengan tidak memerlukan nikah baru.119

118
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1)
tentang Permulaan.
119
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1)
tentang Permulaan.
66

Apabila perceraian yang bisa dirujuk kembali dilakukan dengan tanpa


sepengetahuan istri, maka ia tidak dapat diminta untuk tinggal bersama
sampai diberitahukan tentang perkara itu. Kemudian jika setelah
menjatuhkan talak yang masih bisa dirujuk kembali, pihak suami
mengucapkan rujuk dan pihak istri menerimanya, maka istri dapat
diperintahkan oleh kadi untuk tinggal bersama, tetapi perintah tersebut
tidak bisa dibuat sekiranya pihak istri tidak memberi kerelaan. Hal ini
sesuai dengan Undang-undang Negara Brunei Darussalam pada Pasal 52
ayat (6) dan (7) yang menyatakan bahwa,
a) Jika talaq raj’i telah berlaku tanpa sepengetahuan oleh istri, suami
tidaklah boleh menghendaki atau meminta isteri supaya ruju’
semula dengannya tanpa menzahirkan kepadanya hal perceraian
itu.

b) Jika selepas talaq raj’i suami melafazkan ruju’ dan isteri telah
bersetuju terhadap ruju’ itu, isteri boleh, atas permohonan suami,
diperintahkan oleh Mahkamah supaya berbaik semula sebagai
suami isteri, melainkan jika isteri itu menunjukkan sebab-sebab
yang munasabah sebaliknya mengikut Hukum Syara’ dan, jika
demikian halnya, Mahkamah perkara itu kepada Pegawai Khidmat
Nasihat Keluarga.

e. Hakam (Arbitrator)
Undang-undang di Negara Brunei juga mengatur mengenai hakam
(arbitrator). Apabila selalu muncul masalah antara suami dan istri, maka
kadi bisa mengangkat seorang, dua orang pendamai atau hakam dari
keluarga yang dekat dari masing-masing pihak yang mengetahui
keadaanya.120 Undang-undang Negara Brunei mengatur bahwa, ketika
terjadi perceraian dan kedua pihak (suami istri) setuju untuk bercerai, dan
Pengadilan telah puas setelah melakukan penyelidikan bahwa
perkawinannya tersebut telah diputus dan tidak dapat dipersatukan lagi.
Maka tidak ada tahapan mediasi, karena diaturan tersebut setelah Pengadilan
yakin bahwa pernikahannya tidak dapat bersatu lagi, si suami diperintahkan

120
A. Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam”, Al-Qadau, Vol. 2,
No. 2, (2015), h. 157.
67

untuk mengucapkan lafaz talak. Sejalan dengan Perintah Darurat (Undang-


undang Keluarga Islam), 1999 Pasal 42 ayat (3) yang berbunyi:
“Jika pihak yang satu lagi bersetuju terhadap perceraian itu dan
Mahkamah berpuas hati selepas menjalankan penyiasatan yang sewajarnya
bahawa perkahwinan itu telah pecah belah dengan tidak dapat dipulihkan,
maka Mahkamah hendaklah menasihatkan suami supaya melafazkan satu
talaq di hadapan Mahkamah”.
Sedangkan jika salah satu pihak tidak setuju dengan perceraian
tersebut, dan menurut Mahkamah ada niat baik dari para pihak berperkara
untuk berdamai, barulah Mahkamah bertugas untuk mengusulkan para pihak
berperkara kepada Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga atau Mediator. Hal
tersebut dijelaskan pada Peraturan Darurat (Undang-undang Keluarga
Islam), 1999 Pasal 42 ayat (6) yang berbunyi sebagai berikut:
“Jika pihak yang satu lagi tidak bersetuju terhadap perceraian itu
atau jika Mahkamah berpendapat bahawa ada kemungkinan yang
munasabah bagi suatu perdamaian antara pihak-pihak itu, Mahkamah
bolehlah merujukkan kes itu kepada Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga”.
Apabila terjadi perceraian karena syiqaq antara suami istri, maka
kadi bisa mengangkat seorang, dua orang pendamai atau hakam dari
keluarga yang dekat dari masing-masing pihak yang mengetahui
keadaannya. Hal ini diatur dalam peraturan perintah darurat (Undang-
Undang Keluarga Islam), 1999 Pasal 43 ayat 3 mengatakan bahwa,
“apabila melantik Hakam di bawah ceraian, Mahkamah hendaklah,
jika boleh, memberi keutamaan kepada qarabah qarib pihak-pihak yang
berkenaan itu yang tahu akan hal keadaan kes itu”. Artinya: “ketika
menunjuk hakam dalam perceraian, Pengadilan akan, jika memungkinkan,
memberikan prioritas kepada pengasuh terdekat pihak yang berkenaan itu
yang tahu tentang kasus yang dialami para pihak”.
Kadi memberikan petunjuk kepada hakam untuk melaksanakan
arbitrasi sesuai dengan hukum muslim. Apabila kadi tidak sanggup atau
kadi tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh hakam, kadi akan mengganti
hakam yang lain. Haruslah diangkat seorang hakam dari keluarga laki-laki
dan seorang hakam dari keluarga perempuan, kedua hakam yang diangkat
itu adalah orang orang yang terpercaya dengan persetujuan suami istri dan
kedua suami suami istri itu mewakilkan kepada kedua hakam untuk kumpul
68

lagi atau bercerai apabila kedua hakam itu berpendapat demikian. Demikian
pula jika hakam berpendapat bahwa pihak-pihak ini layak bercerai tetapi
dengan tanpa adanya alasan untuk menyatakan perceraian, maka kadi akan
mengangkat hakam yang lain dan akan memberikan otoritas untuk
mempengaruhi perceraian.121

121
M. Atho’ Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, cet.1, h. 193.
BAB IV

PERBANDINGAN PROSEDUR PERCERAIAN MENURUT FIKIH


MAZHAB DENGAN PERATURAN DI NEGARA BRUNEI DARUSSALAM
DAN INDONESIA

A. Perbandingan Secara Vertikal Ketentuan Indonesia dan Negara Brunei


Darussalam dengan Fikih Mazhab
1. Syarat Sah Perceraian
Hukum fikih tidak menentukan di mana perceraian itu harus dilakukan.
Berkenaan dengan waktu, hanya menyatakan tidak boleh menceraikan istri
ketika haid atau dalam masa suci yang telah digauli. Ini berarti perceraian
dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja dengan alasan
apapun.122 Hanya saja di dalam fikih menjelaskan rukun dan syarat-syarat
ketika akan melakukan perceraian, antara lain yaitu:123
a. Suami, syaratnya: baligh, berakal sehat, atas kemauan sendiri, dan betul-betul
bermaksud menjatuhkan talak.
b. Istri, syaratnya: Perempuan yang dinikahi dengan sah, perempuan yang masih
dalam ikatan nikah yang sah, belum habis masa iddahnya, pada talak raj’i, dan
tidak sedang haid.
c. Shîghat talak.
Di Indonesia mempunyai persyaratan yang berbeda dengan fikih, yaitu
ketika suami istri akan melakukan perceraian hendaknya dilakukan di depan
sidang Pengadilan. Hal ini sesuai dengan pasal 39 UU Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 dan KHI pasal 115 “perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Artinya di Indonesia dalam
menyelesaikan perkara perceraian harus di depan sidang Pengadilan,

122
Yayan Sopyan. Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), cet.1, h., 190.
123
Abdur Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 201.

69
70

tujuannya agar perempuan mendapat perlindungan hukum. Karena jika


perceraian dilakukan di luar Pengadilan maka perceraiannya dianggap tidak
sah atau statusnya masih suami istri. Perceraian di luar Pengadilan (perceraian
liar) jelas-jelas tidak akan memberikan jaminan dan kepastian hukum untuk
perempuan.124 Perceraian di depan sidang Pengadilan diperlukan agar setelah
perceraian diputuskan oleh majelis hakim untuk menyatakan ikrar talak, maka
para pihak akan mendapatkan akta cerai, pentingnya akta cerai itu sebagai
bukti adanya sebuah perceraian dan bekas istri mendapatkan hak-haknya dari
bekas suami sebagaimana diputuskan dalam proses persidangan cerai. Dalam
hal ini akta cerai sesungguhnya hukum acara formil untuk memelihara hukum-
hukum materil Islam di dalam bidang perceraian. Berkaitan dengan akta cerai
sebagai hukum formil sesungguhnya adalah sarana atau wasilah untuk
memelihara berlakunya hukum materil, sedangkan dalam kaidah fikih
disebutkan:

125
ِ َ‫سائِ ِل ُح ْك ُم ْال َمق‬
‫اص ِد‬ َ ‫ِل ْل َو‬
Artinya: Hukum wasilah atau sarana adalah sama dengan hukum tujuan.

Memang hukum pencatatan perceraian belum ada pada masa Rasullah


saw. Pada masa itu perceraian cukup dengan syarat dan rukun terpenuhi maka
sah lah perceraian itu secara hukum Islam. Tetapi zaman sekarang walaupun
syarat dan rukunnya terpenuhi, namun diperlukan lagi bukti-bukti lain yang
berkekuatan hukum agar kepentingan-kepentingan yang timbul sesudahnya
seperti pemeliharaan anak, penyelesaian harta bersama dan masalah-masalah
keluarga lainnya yang memerlukan bukti berupa akta cerai haruslah dibuat
peraturannya.126

124
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, cet.1, h., 193.
125
H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014),
cet.5, h., 96.
126
http://Konsultasi-hukum-online.com/2013/05/kaidah-kaidah-fiqhiyyah-tentang-
pencatatan-perkawinan-di-KUA-dan-perceraian-di-pengadilan-agama/
71

Perubahan hukum itu sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi suatu
zaman asalkan tetap dalam garis-garis ketentuan syariat yang telah ditetapkan.
Petunjuk tentang adanya perubahan itu termuat dalam kaidah fikih yang
berbunyi:

127
‫ان‬ َ ْ ‫ََليُ ْن َك َر تَغَي ُُّر‬
ِ ‫اَل ْح َك ِام ِبتَغَي ُِّر الٌَ َم‬
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.

Selanjutnya kewajiban para pihak melakukan perceraian itu untuk


menghindari mudharat, karena jika perceraian dilakukan di luar Persidangan
akan menimbulkan beberapa resiko yakni, jika terjadi permasalahan terhadap
para pihak dapat sewenang-wenangnya menjatuhkan talak. Terkait dengan hal
tersebut terdapat kaidah fikih yang berbunyi:
128 ُ
‫الِ ََّر ُر يٌَُ ال‬
Artinya: Kesulitan harus dihilangkan.

Sedangkan dalam peraturan di Negara Brunei terdapat persamaan dan


perbedaan mengenai syarat perceraian, yaitu sama-sama membolehkan
melakukan perceraian di luar Pengadilan, perbedaannya di Negara Brunei
harus melaporkan lafal cerai tersebut dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari. Jika
dalam jangka waktu yang telah ditentukan tidak melaporkannya, maka akan
dikenakan hukuman. Hukumannya berupa uang yaitu tidak lebih dari 2 (dua)
ribu ringgit atau penjara tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau keduanya. Hal ini
sesuai pada aturan Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999
Pasal 55 ayat (1) yang menjelaskan bahwa,
“Dengan tidak menghiraukan bab 54, seseorang lelaki yang telah
menceraikan istrinya dengan melafazkan talaq dalam apa-apa bentuk di luar
Mahkamah dan tanpa kebenaran Mahkamah hendaklah, dalam tempoh tujuh
hari talaq itu dilafazkan, melaporkan lafaz talaq itu kepada Mahkamah”.

127
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar
Jaya Offset, 2004), cet.1, h. 192.
128
H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, h., 9.
72

Kemudian pada Pasal 124 menjelaskan tentang hukuman perceraian di


luar Mahkamah tanpa kebenaran Mahkamah bahwa,
“Seseorang lelaki yang menceraikan istrinya dengan melafazkan talaq
dengan apa-apa bentuk di luar Mahkamah tanpa kebenaran Mahkamah adalah
melakukan suatu kesalahan dan jika disabitkan kesalahan hendaklah dihukum
denda tidak melebihi dua ribu ringgit atau penjara tidak melebihi enam bulan
atau kedua-duanya sekali”.
Dalam masalah pendaftaran di Negara Brunei tidak sama dengan fikih
mazhab, dikarenakan tujuan pencatatan atau pendaftaran di sini adalah untuk
kepentingan administrasi negara, agar akibat-akibat yang timbul setelah
perceraian itu misalnya hak asuh anak, nafkah idah, mut’ah, rujuk dan lain
sebagainya yang memerlukan akta cerai sebagai bukti adanya suatu
perkawinan dapat terjamin. Perceraian itu perlu diatur agar tidak terjadi
kesewenang-wenangan. Oleh sebab itu untuk menghindari kemudaratan yang
demikian diperlukan adanya sebuah pencatatan, hal tersebut memang tidak
sama seperti mazhab fikih, dikarenakan terdapat perubahan aturan agar akibat-
akibat yang timbul setelah perceraian lebih terjaga sesuai dengan kaidah fikih
yang berbunyi:
129
ْ َ ‫ِا ِلُِ َو ْان َ ْخذ ُ ِب ْال َر ِد ْي ِد ْان‬
َُِ‫صل‬ َّ ‫علَى ْالقَ ِدي ِْم ْال‬ َ َ‫ْال ُم َحاف‬
َ ُ ‫ُة‬
Artinya: Memelihara keadaan yang lama yang maslahat dan mengambil yang
baru yang lebih maslahat.

2. Masa Idah (Qabla Dukhûl)


Para ulama mazhab sepakat bahwa wanita yang ditalak sebelum
dicampuri dan sebelum melakukan khalwat, tidak mempunyai idah. Namun,
jika suami wafat dalam keadaan si istri belum pernah digauli, maka ia harus
menjalani idah wafat.130

Dalilnya adalah sebagaimana dalam firman Allah pada Q.s. al-Ahzab (33): 49:

129
H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, h. 19.
130
Abu Malik, Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Penerjemah: Darwis,
Derysmono, Shahih Fikih Sunnah (Jilid 4), (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2017), cet.2, h., 431.
73

‫وون قَبْوو ِل أ َ ْن‬


ْ ‫طلَّ ْقت ُ ُمووو ُه َّن ِم‬ ِ ‫َيووا أَيُّ َهووا الَّووذِينَ آ َمنُوووا ِإذَا نَ َك ْحووت ُ ُم ْال ُمؤْ ِمنَووا‬
َ ‫ت ثُوو َّم‬
‫س َورا ًحا‬ َ ‫س ِر ُحو ُه َّن‬ َ ‫علَ ْي ِه َّن ِم ْن ِعدَّة ت َ ْعتَدُّونَ َها فَ َمتِعُو ُه َّن َو‬ َ ‫سو ُه َّن فَ َمالَ ُك ْم‬ ُّ ‫ت َ َم‬
ً ‫َج ِم‬
‫يًل‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman kemudian kamu menceraikannya sebelum kamu
menggaulinya, maka tidak ada kewajiban baginya untuk beridah terhadapnya”.
Pada Peraturan yang terdapat di Indonesia tentang masa idah qabla al-
dukhûl sama dengan peraturan yang diatur oleh mazhab fikih yaitu ketika
perempuan dicerai dalam keadaan belum digauli, maka sama-sama tidak ada
masa idahnya. Hal tersebut sejalan dengan peraturan yang terdapat di KHI
Pasal 153 yang menjelaskan tentang masa idah sebelum dicampuri (qabla al-
dukhûl), yaitu sebagai berikut:131
a. Bagi seorang istri yang putus perceraiannya berlaku waktu tunggu atau idah,
kecuali qabla al-dukhûl dan perkawinannya putus bukan karena kematian
suami.
b. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
1) Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al-dukhûl,
waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih
haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
3) Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
4) Apabila perkawinan putus karena kematian, sesang janda tersbeut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
c. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian tersebut
dengan bekas suami qabla al-dukhûl.
Berbeda dengan peraturan yang terdapat di Negara Brunei Darussalam.
Peraturan di Negara Brunei, jika istri dicerai suaminya dengan keadaan belum
disetubuhi, maka istri tersebut tidak boleh menikah dengan lelaki lain sebelum
masa idahnya selesai, kecuali dengan suaminya terdahulu. Peraturan tersebut
terdapat pada Perauran Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 pada
Pasal 13 ayat (3) yang berbunyi,
“Jika perempuan itu mendakwa telah bercerai sebelum dia telah
disetubuhi oleh suaminya dalam perkahwinan itu, dia tidaklah boleh, dalam
masa ‘iddah perceraian biasa, berkahwin dengan seseorang selain daripada

131
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.2, h. 325.
74

suaminya yang dahulu itu, kecuali dengan kebenaran Hakim Srar’ie yang
mempunyai bidang kuasa di tempat di mana perempuan itu bermastautin”.
Peraturan tersebut sangat bertolak belakang dengan kesepakatan ulama
mazhab fikih bahwa wanita yang ditalak sebelum dicampuri dan sebelum
melakukan khalwat, tidak mempunyai idah. Dari kenyataan tersebut, dapatlah
penulis katakan bahwa sepertinya untuk aturan yang satu ini, Negara Brunei
sangat jauh melenceng dari substansi hukum yang ada dalam kitab fikih Syafi’i
yang menjadi kitab rujukan utamanya dan bahkan terhadap Q.s. Al-Ahzab yang
sudah dijelaskan terdahulu.
Menurut peneliti bahwa diberlakukannya idah bagi wanita yang dicerai
qabla al-dukhûl dalam peraturan Negara Brunei didasarkan atas pertimbangan
kemaslahatan. Karena kegadisan seorang wanita adalah hak sepenuhnya
seorang suami yang akhirnya menetapkan masa idah bagi istri yang dicerai
sebelum terjadi hubungan badan, sesuai hal tersebut terdapat kaidah fikih yang
berbunyi:
132
‫ع ْال َمَُا ِس ِد‬ َ ‫ب ْال َم‬
ُ ‫ِا ِلُِ َوََ ْر‬ ُ ‫َج ْل‬
Artinya: Meraih kemaslahatan dan menolak kemudharatan.

Selain itu menurut Intan Cahyani pada jurnalnya yang berjudul Hukum
keluarga Islam di Brunei Darussalam, bahwa ditelusuri secara mendalam dalam
peraturan yang telah ada atau dalam hukum perceraian yang terdapat di Negara
Brunei Darussalam mengikuti hukum adat yang berlaku di masyarakat Negara
Brunei,133 padahal dalam hukum Islam, adat dapat dijadikan sebagai dalil
hukum, sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi:

134ٌ
‫العَاََة ُ ُم َح َّك َمة‬
Artinya: Adat dapat dijadikan (pertimbangan dalam menetapkan) hukum.

132
H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, h., 8.
133
Intan Cahyani, “Hukum Keluarga di Brunei Darussalam”, Jurnal Al-Qadau, vol. 2, no.
2, 2015, h., 156.
134
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, cet.1, h. 155.
75

3. Hakam (mediator)

Menurut Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali berpendapat bahwa


hakam atau mediator diangkat dari pihak keluarga suami atau istri, dan dan
bukan suami atau istri secara langsung. Pendapat tersebut didasarkan pada
surat an-Nisa (4): 35:

‫َو ِإ ْن ِخ ُْت ُ ْم ِشقَاقَ َب ْي ِن ِه َما فَا ْب َعثُوا َح َك ًما ِم ْن أ َ ْه ِل ِه َو َح َك ًما ِم ْن أ َ ْه ِل َها ِإ ْن‬
ً ِ‫ع ِلي ًما َخب‬
‫ير‬ َ َ‫ق اللَّهُ بَ ْينَ ُه َما ۗ إِ َّن اللَّهَ َكان‬
ِ ‫ص ًَل ًحا ي َُو ِف‬
ْ ِ‫ي ُِريدَا إ‬
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Pandangan ini berbeda pandangan dengan Wahbah az-Zuhaili dan


Sayyid Sabiq bahwa Hakam dapat diangkat oleh suami istri yang disetujui oleh
mereka.135 Menurut Imam Nawawi, seorang hakam atau mediator harus laki-
laki, cakap, dan saleh. Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili syarat Hakam
antara lain adalah berakal, baligh, adil, dan muslim.136

Peraturan di Indonesia dan mazhab fikih dalam mengatur masalah


hakam atau mediator ini terdapat perbedaan dan persamaan. Perbedaannya
dengan fikih mazhab, hakam atau mediator di Indonesia diambil dari Mediator
yang telah mempunyai sertifikat Mediator yang diperoleh setelah mengikuti
dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertfikasi mediator yang diadakan oleh
Mahkamah Agung. Pernyataan ini terdapat pada Peraturan Mahkamah Agung
Pasal 13 tentang Prosedur Mediasi. Menurut penulis ketentuan di Indonesia
bahwa mediator diangkat dari mediator yang sudah memiliki sertifikat
mediator, karena jika mediasi dilakukan oleh pihak keluarga dikhawatirkan
akan terdapat ketidak adilan dalam mendamaikan para pihak. Selanjutnya
terdapat persamaan dalam mazhab fikih dan Indonesia. Mazhab fikih dan

135
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’at, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 187.
136
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’at, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, h. 188.
76

Indonesia sama-sama mewajibkan adanya mediasi (Peraturan Mahkamah


Agung No. 1 Tahun 2016 Pasal 6).

Pada peraturan di Negara Brunei juga mempunyai persamaan dengan


mazhab fikih. Persamaan yang dimiliki Negara Brunei dengan mazhab fikih
ialah Mediator yang dipilih sama-sama dari keluarga, 1 orang dari keluarga
suami dan 1 orang dari pihak keluarga istri. Hal tersebut sejalan dengan
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 pada Pasal 43 ayat 3
mengatakan bahwa,
“Apabila melantik Hakam di bawah ceraian, Mahkamah hendaklah,
jika boleh, memberi keutamaan kepada qarabah qarib pihak-pihak yang
berkenaan itu yang tahu akan hal keadaan kes itu”. Artinya: “ketika menunjuk
hakam dalam perceraian, Pengadilan akan, jika memungkinkan, memberikan
prioritas kepada pengasuh terdekat pihak yang berkenaan itu yang tahu tentang
kasus yang dialami para pihak”.

Tabel 4.1: perbandingan vertikal antara mazhab fikih dengan Indonesia:

No. Materi Mazhab Fikih Indonesia


Tidak menentukan Perceraian sah jika
Syarat Sah
1. dimana cerai harus dilakukan di depan
Perceraian
dilakukan. sidang Persidangan.
Masa idah
2. qabla al- Tidak ada masa idah Tidak ada masa idah
dukhûl
- Harus ada
mediasi
- Harus ada - Diangkat dari
Hakam atau mediasi mediator yang
3. sudah memiliki
Mediator - Diangkat dari
keluarga sertifikat
mediator

Tabel 4.2: perbandingan vertikal antara Mazhab Fikih dengan Negara


Brunei Darussalam:
77

Negara Brunei
No. Materi Mazhab Fikih Darussalam

Membolehkan cerai di
Tidak menentukan luar Pengadilan.
Syarat Sah Walaupun harus
1. dimana cerai harus
Perceraian mendaftarkan dalam
dilakukan.
jangka waktu 7 hari.

Masa idah qabla Ada masa idah


2. Tidak ada masa idah
al-dukhûl
- Terdapat hakam
atau mediator jika
salah satu pihak
tidak setuju
dengan
- Harus ada hakam perceraian.
Hakam atau atau mediator - Hakam atau
3. mediator diangkat
Mediator - Diangkat dari
keluarga. dari Pegawai
Khidmat Nasihat
Keluarga atau
Keluarga dekat
(jika alasannya
syikak)

B. Perbandingan Secara Horizontal ketentuan Indonesia dan Negara Brunei


Darussalam
Dari uraian yang sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, dapat
dipahami bahwa di dalam peraturan Indonesia dan Negara Brunei Darussalam
mempunyai persamaan dan perbedaan. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa
persamaan dan perbedaan aturan yang terdapat di Indonesia dan Negara Brunei
Darussalam, yaitu sebagai berikut:
1. Persamaan
Ketentuan dalam masalah perceraian Indonesia dan Negara Brunei
Darussalam mempunyai persamaan yaitu perceraian sama-sama harus
didaftarkan di Pengadilan. Di Indonesia hal ini sejalan dengan Undang-
undang Perkawinan Pasal 39 yang bernbunyi:
“perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak”.
78

Begitupun pada peraturan di Negara Brunei, jika melakukan


perceraian di luar Pengadilan, maka para pihak harus mendaftarakan lafaz
perceraian tersebut kepada Pengadilan dengan waktu 7 (tujuh) hari.
Pernyataan tersebut telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya yaitu
terdapat pada Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga islam), 1999 pada
Pasal 55 ayat (1).
Selanjutnya terdapat kesamaan antara aturan di Indonesia dengan
Negara Brunei tentang hakam atau mediator. Kesamaan antara peraturan di
Indonesia dengan Negara Brunei adalah sama-sama menghadirkan mediator
ketika terjadi perceraian, walaupun di Negara Brunei adanya mediator hanya
ketika salah satu pihak tidak menyetujui akan terjadinya perceraian. Di
Indonesia hal tersebut terdapat pada PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 4
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang isinya berbunyi:
“semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk
perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak
berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap
pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih
dahulu diupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali ditentukan lain
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini”.
Sedangkan pada peraturan yang terdapat di Negara Brunei tentang
Mediasi dijelaskan pada Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam),
1999 Pasal 42 ayat (6) yang berbunyi:

“Jika pihak yang satu lagi tidak bersetuju terhadap perceraian itu
atau jika Mahkamah berpendapat bahawa ada kemungkinan yang
munasabah bagi suatu perdamaian antara pihak-pihak itu, Mahkamah
bolehlah merujukkan kes itu kepada Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga”.
2. Perbedaan
Berikut akan dijelaskan beberapa perbedaan peraturan yang terdapat di
Indonesia dengan Negara Brunei Darussalam, yaitu sebagai berikut:
a. Tentang sahnya perceraian diluar Pengadilan. Di Indonesia tidak mengatur
tentang perceraian di luar Pengadilan karena perceraian di Indonesia hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan. Hal tersebut terdapat pada
Undang-undang Perkawinan Pasal 39 dan KHI Pasal 115. Sedangkan peraturan
79

yang terdapat di Negara Brunei Darussalam membolehkan menjatuhkan talak di


luar Pengadilan, tetapi dengan persyaratan dalam waktu 7(tujuh) hari harus
mendaftarkan lafaz perceraian ke Pengadilan. Pernyataan tersebut terdapat
dalam Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Pasal 55 ayat (1).
b. Sanksi dalam perceraian di luar Pengadilan. Peraturan di Indonesia tidak
terdapat sanksi untuk suami istri yang melakukan perceraian di luar Pengadilan.
Sedangkan di Negara Brunei, jika terdapat suami istri yang melakukan
perceraian di luar Pengadilan, maka akan dikenai sanksi berupa membayar tidak
melebihi 2 (dua) ribu ringgit atau penajara tidak melebihi daripada 6 (enam)
bulan. Pernyataan tersebut terdapat pada Perintah Darurat (Undang-undang
Keluarga Islam) Pasal 124.
c. Pada peraturan yang terdapat di Indonesia terkait masalah istri yang diceraikan
suaminya sebelum disetubuhi, maka bekas istri ini tidak mendapat waktu
tunggu. Hal tersebut dijelaskan pada KHI Pasal 153 ayat (3), yaitu:
“tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena
perceraian sedang tersebut dengan bekas suaminya qobla al-dukhûl”.

Berbeda dengan peraturan yang terdapat di Negara Brunei. Di Negara


Brunei ketika perempuan yang diceraikan sebelum disetubuhi tidak
diperbolehkan menikah sebelum masa idahnya selesai, kecuali dengan
suaminya yang terdahulu. Penjelasan tersebut terdapat pada Undang-
undang Negara Brunei Darussalam pada Pasal 13 ayat (3) yang berbunyi:
“Jika perempuan itu mendakwa telah bercerai sebelum dia telah
disetubuhi oleh suaminya dalam perkahwinan itu, dia tidaklah boleh,
dalam masa ‘iddah perceraian biasa, berkahwin dengan seseorang selain
daripada suaminya yang dahulu itu, kecuali dengan kebenaran Hakim
Syar’ie yang mempunyai bidang kuasa di tempat di mana perempuan itu
bermastautin”
d. Perbedaan hakam atau mediator di Indonesia dengan Negara Brunei yakni
berbeda pada kondisional dari kedua belah pihak yang bersengketa. Di
Indonesia mediator diperlukan ketika terjadinya perceraian, hal tersebut terdapat
pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 4 tentang
Prosedur Mediasi. Sedangkan di Negara Brunei mediator diperlukan jika salah
satu pihak berperkara keberatan untuk melakukan perceraian, jika kedua belah
pihak setuju dan Pengadilan yakin dengan perceraian tersebut, maka Mahkamah
80

langsung memerintahkan agar suami melafazkan satu talak di hadapan


Pengadilan. Sesuai dengan Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam)
Pasal 43 ayat (2) yang berbunyi:
“Jika didapati bahawa aduan isterinya itu tidak sabit dan ditolak oleh
Mahkamah dengan sebab dia tidak dapat membuktikan kebenarannya dan
kemudian daripada itu isterinya itu berulang-ulang membuat aduan yang sama
dan Mahkamah mendapati pertikaian senantiasa berlaku di antara suami isteri
tersebut, Mahkamah boleh melantik dua orang Hakam yang layak dan
berkebolehan dalam perkara timbangtara, seorang bagi pihak suami dan seorang
bagi pihak istri, mengikut hukum syara’”.

e. Di Indonesia mengangkat Mediator harus dengan syarat salah satunya mediator


wajib mempunyai sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti dan
dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi mediator yang diselenggarakan oleh
Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari
Mahkamah Agung, hal tersebut terdapat pada Peraturan Mahkamah Agung
tentang Proses Mediasi pada Pasal 13. Sedangkan di Negara Brunei terdapat
pengecualian pada perkara syiqaq. Jika perceraian terjadi karena suami
menyakiti anggota tubuh istri, maka Mahkamah menganjurkan untuk mengganti
peranan hakam kepada salah satu keluarga dari kedua belah pihak. Peraturan
tersebut terdapat pada Undang-undang Negara Brunei Pasal 43 ayat (2) dan (3)
yang berbunyi:
“Apabila melantik Hakam di bawah ceraian (2), Mahkamah
hendaklah, jika boleh, memberik keutamaan kepada qarabah qarib
pihak-pihak yang berkenaan itu yang tahu akan hal keadaan kes itu”.
Tabel 4.3: persamaan dan perbedaan antara Indonesia dan Negara
Brunei Darussalam:
No Persamaan No Perbedaan
Negara Brunei Negara Brunei
Indonesia Indonesia
Darussalam Darussalam
Perceraian Perceraian
hanya dapat Perceraian hanya hanya dapat Perceraian boleh
1. dibuktikan dapat dibuktikan 1. dilakukan di dilakukan di
dengan akta dnegan akta cerai depan sidang luar Pengadilan
cerai Pengadilan
81

Terdapat mediasi
Terdapat ketika salah satu Tidak ada
2. mediasi 2. Terdapat sanksi
pihak tidak sanksi
setuju bercerai

Tidak ada
idah cerai Ada idah cerai
3.
qabla al- qabla al-dukhûl
dukhûl
Tidak ada
Terdapat mediasi ketika
4.
mediasi semua pihak
setuju bercerai
Hakam atau
mediator
diangkat dari
Hakam atau
Pegawai
mediator
Khidmat
5. diangkat dari
Nasihat
mediator
Keluarga atau
bersertifikat
Keuarga dekat
(jika alasannya
syikak)

C. Perbandingan Secara Diagonal antara Indonesia dengan Negara Brunei


Darussalam
Dari pembahasan yang sudah dibahas di bab-bab sebelumnya, penulis
menyimpulkan bahwa dari kedua negara yaitu Indonesia dan Negara Brunei
Darussalam mempunyai keunggulan masing-masing dalam menangani masalah
perceraian.
Indonesia mempunyai keunggulan dalam menangani masalah
perceraian ini. Di Indonesia ketika akan melakukan perceraian harus mengikuti
proses perceraian yang berlaku, seperti perceraian harus dilakukan di depan
sidang Pengadilan, karena dikhawatirkan jika perceraian dilakukan di luar
Pengadilan, suami atau istri dapat sewenang-wenangnya menjatuhkan talak dan
dikhawatirkan juga jika perempuan tidak akan mendapatkan perlindungan
hukum, di dalam proses perceraian terdapat proses mediasi, yang mana proses
mediasi ini wajib untuk diikuti. Proses mediasi ini dilakukan untuk
82

mendamaikan para pihak, jika perdamaian ini tidak berhasil maka barulah
hakim memeriksa perkara yang ada. Jika diteliti proses mediasi ini diadakan
agar para pihak mempertimbangkan akan perceraian tersebut. Hal ini tidak
terdapat di Negara Brunei karena di Negara Brunei mediasi hanya diadakan
apabila salah satu pihak tidak bersetuju atas perceraian tersebut.
Di sisi lain dalam menangani masalah perceraian Negara Brunei juga
mempunyai keunggulan. Keunggulan di Negara Brunei terdapat pada sanksi
perceraian, sebagaimana jika terdapat para pihak yang melakukan perceraian di
luar Pengadilan dan dalam selama 7 (tujuh) hari tidak mendaftarkan lafaz cerai
itu kepada Pengadilan. Sanksi tersebut berupa membayar maksimal 2 (dua)
ringgit atau di penjara maksimal 6 (enam) bulan lamanya. Begitu juga jika
terdapat salah satu pasangan meningggalkan pasangannya dan apabila
terjadinya penganiayaan dari salah satu pihak, maka akan mendapat hukuman
yang sama. Hukuman denda tersebut diadakan agar para pihak jera dan tidak
akan melakukannya. Hal tersebut tidak dilakukan di Indonesia.
Selanjutnya dari kedua negara tersebut sama dan masih terikat dengan
fikih mazhab Syafi’i, namun melakukan beberapa modifikasi dalam beberapa
hal.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari pemaparan dan pembahasan hasil penelitian kepustakaan


yang penulis susun tentang Perbandingan Fikih Mazhab dengan Hukum Keluarga
di Indonesia dan Negara Brunei Darussalam tentang Perceraian, maka dapat
diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Apabila dilakukan perbandingan secara vertikal maka,
a. Fikih mazhab tidak menentukan dimana suami istri harus melakukan
perceraian, berbeda dengan Indonesia yang mana perceraian harus
dilakukan di depan sidang Pengadilan, sedangkan Negara Brunei sama
dengan mazhab fikih, membolehkan cerai di luar Pengadilan.
b. Tentang aturan masa idah qabla al-dukhûl, fikih mazhab tidak ada idah
perceraian dilakukan qabla al-dukhûl, begitu juga aturan di Indonesia,
berbeda dengan Negara Brunei Darussalam yang terdapat idah jika
perceraian dilakukan qabla al-dukhûl.
c. Aturan tentang hakam atau mediator, fikih mazhab mengangkat mediator
dari pihak keluarga suami maupun istri. Berbeda dengan Indonesia, para
pihak memilih mediator harus yang sudah mempunyai sertifikat
mediator. Sedangkan Negara Brunei aturannya sama seperti mazhab
Syafi’i, yang mana mediator diangkat dari Pegawai Khidmat Nasihat
Keluarga atau Keluarga terdekat dari kedua para pihak. Selanjutnya fikih
mazhab mewajibkan tentang adanya mediator ketika terjadi perceraian
untuk mendamaikan para pihak, begitupun dengan aturan di Indonesia,
lain halnya dengan Negara Brunei. Di Negara Brunei Darussalam tidak
diwajibkan untuk melakukan perceraian, karena mediator dihadirkan
ketika salah satu pihak tidak ada itikad baik.
2. Apabila dilakukan perbandingan secara horizontal maka, terdapat
persamaan dan perbedaan, sebagai berikut:

83
84

a. Persamaan
Indonesia dan Negara Brunei sama-sama harus mendaftarkan
perceraian di Pengadilan, hanya saja di Negara Brunei perceraian boleh
didaftarkan selama jangka waktu 7 hari setelah menjatuhkan perceraian di
luar Pengadilan. Selanjutnya dalam mengatur tentang hakam atau mediator
Indonesia dan Negara Brunei sama-sama terdapat peran hakam dalam
perceraian, walaupun di Negara Brunei adanya peran hakam jika salah satu
pihak tidak setuju dengan perceraian.

b. Perbedaan
Di Indonesia perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan,
tetapi di Negara Brunei memperbolehkan melakukan perceraian di luar
Pengadilan. Berbeda juga dalam mengatur tentang masa idah qabla al-
dukhûl, Indonesia tidak ada idah qabla al-dukhûl, sedangkan di Negara
Brunei terdapat idah qabla al-dukhûl. Ketentuan di Indonesia hakam atau
mediator diwajibkan yang memiliki sertifikat, sedangkan di Brunei hakam
atau mediator boleh dari pihak keluarga. Di Indonesia tidak terdapat sanksi
pada peraturan perceraian, sedangkan di Negara Brunei terdapat sanksi jika
melanggar peraturan yang sudah diatur di Undang-undang Negara Brunei.
Selanjutnya di Indonesia dalam perceraian wajib mengikuti proses mediasi,
sedangkan di Negara Brunei terdapat mediasi hanya jika salah satu pihak
tidak bersetuju dengan perceraian.
3. Apabila dilakukan perbandingan secara diagonal maka,
a. Indonesia mempunyai keunggulan dalam hal perceraian yang harus
dilakukan di depan sidang Pengadilan, karena hal tersebut dapat
mempersulit dalam melakukan perceraian. Di sisi lain Negara Brunei
juga memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh Indonesia, Negara
Brunei terdapat sanksi, jika tidak mendaftarkan perceraiannya di
Pengadilan. Sedangkan Indonesia tidak terdapat sanksi.
b. Dalam ketentuan perceraian, kedua negara tersebut sama dan masih
terikat dengan fikih mazhab Syafi’i, namun melakukan modifikasi
beberapa hal.
85

B. Saran

Semoga skripsi ini dapat menjadi masukan yang membangun dan dapat
diterima. Adapun saran lainnya yang dapat penulis berikan sebagai berikut:

1. Dari hasil penelitian kepustakaan ini penulis telah berusaha menyusun


secara maksimal dan optimal. Adapun terhadap kekurangan yang terdapat
dalam skripsi ini memang disadari karena keterbatasan referensi terkait.
2. Hasil akhir dari terselesaikannya skripsi komparatif tentang proses
perceraian (Perbandingan fikih mazhab dengan hukum keluarga di
Indonesia dan Negara Brunei Darussalam) diharapkan selain sebagai
penambah khasanah keilmuan juga berguna sebagai bahan acuan terhadap
penelitian yang akan datang sehingga melahirkan hasil-hasil penelitian yang
lebih baik.
Daftar Pustaka

1. Buku dan Jurnal


‘Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita Edisi lengkap. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 1998.
Abbaz, Syahrizal, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat,
dan Hukum Nasional. Cet.1, (Jakarta: Kencana, 2009.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992.
Abidin, Slamet, Aminuddin, Fiqh Munakahat. Bandung: CV Pustaka Setia,
1999.
Al-Habsyi, M. Bagir, Fiqih Praktis. Bandung: Mizan 2002.
Al-Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar, Kifâyatul Akhyâr fii Alli Ghâyatil
Ikhtishâr, Penerjemah Achmad Zaidun dan A. Ma’ruf Asrori,
Terjemahan Kifayatul Akhyar Jilid 2, cet.1. Surabaya, 1997.
Ali, Daud, Asas-asas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1986.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitâb al-Fiqh ‘ala Mazâhib al-Arba’ah, Juz IV.
Kairo: Dar al-Pikr, t.t.
al-Jaziry, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-Arba’ah, sebagaimana
dikutip oleh Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum
Syari’at, Hukum Adat dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana, 2009.
Anwar, Saifuddin, Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Asril, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam menurut Undang-undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Hukum Islam, vol. XV, No. 1, Riau: Juni, 2015.
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wâ Adillatuhu, Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani, Fiqih Islam 9. cet.1. Jakarta: Gema Insani, 2011.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press,
1999.
Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-
Qadha. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

86
87

Datin Dr Hajah Saadiah binti Datu Derma Wijaya Haji Tamit, Instituti
Keluarga dan Undang-Undang. Bandar Seri Begawan: Pusat Da’wah
Islamiah, 2012.
Djalil, A. Basiq, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqih dan
Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Qolbun Salim, 2005.
Ghozali, Abdur Rahman, Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2003.
H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan masalah-masalah yang praktis. cet.5. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014.
Ibnu Rusyd, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid Jilid 2, Penerjemah
Abdul Rasyad Shiddiq, Jakarta, 2013.
Indar, “Iddah dalam Keadilan Gender”, Pusat Studi Gender STAIN
Purwokerto, vol.5, no.1, Januari-Juni, 2010.
Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam”, Jurnal Al-
Qadau, vol. 2, No. 2, 2015.
Kharlie, Ahmad Tholabi, Hukum Keluarga Indonesia. cet.1. Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Malik, Abu, Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahîh Fikih Sunnah, Penerjemah:
Darwis, Derysmono, Shahih Fikih Sunnah (Jilid 4), Jakarta: Darus
Sunnah Press, 2017.
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group,
2016.
Moh. Afandi, “Hukum Perceraian di Indonesia: Studi Komparatif antara
Fikih Konvensional, UU Kontemporer di Indonesia dan Negara-negara
Muslim Perspektif HAM dan CEDAW”, Al-Ahwal, vol. 7, No. 2. 2014.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fikih Lima Mazhab, diterjemahkan oleh
Masykur A.B, Cet.IV. Jakarta: Lentera Basritama, 1999.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia. Bandar Lampung: PT
Citra Aditya Bakti, 2010.
Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta:
Bulan Bintang, 1974.
88

Muzdhar, H. M. Atho’, Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia


Islam Modern. Cet.1. Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum Indonesia di Gunia Muslim: Studi Sejarah,
Metode Pebaruan, dan Materi & Status Perempuan dalam Hukum
Perkawinan/Keuarga Islam. Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009.
Nuruddin, Amiur, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974
sampai KHI. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Rasjidi, Lili, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia.
Bandung: Alumni, 1982.
Rasyid, Roihan A, Hukum Acara Peradilan Agama. cet.10. Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2003.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz II. Bandung: Dar al-Fikr, 1983.
Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1980.
Shomad, Abdul, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2012.
Sodikin, Ali, Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di
Indonesia. Yogyakarta: Beranda, 2012.
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.
Jakarta:Ghalia Indonesia, 1988.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
(Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan).
Yogyakarta: Liberty, 1982.
Sopyan, Yayan. Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam
dalam Hukum Nasional. Cet.1. Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah, 2011.
Sri Mamuji, dkk, metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Supriyadi, Dedi, dkk, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam.
Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009.
89

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih


Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2009.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2009.
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Dunia Islam.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta: PT Rajawali Pers, 2009.
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika,
1991.
Witanto D.Y, Hukum Keluarga: Hak Kedudukan Anak Luar Kawin. Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2012.
Yusuf, A Muri, Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan. Jakarta: Kencana, 2014.
Zahrah, Syekh Abu, Al-Ahwâl Al-Syakhsiyah. cet.3. Kairo Mesir: Dar al-Fikr
al-Arabi, 1957.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam Jilid 5. Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.

2. Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016


tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Perlembagaan Negara Brunei Darussalam Perintah Darurat (Undang-undang
Keluarga Islam), 1999.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
90

3. Website

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Talak. Diakses pada tanggal 7 agustus 2018.


Hukumonline.com/klinik/detail/cl2483/akibat-hukum-talak-di-luar-
pengadilan, diakses pada tanggal 7 Agustus 2018.
Redaksi Ensiklopedia, Ensiklopedia Islam. Diakses pada tanggal 12
september 2018.
https://kotamad.wordpress.com/2012/01/29/sejarah-lahirnya-undang-undang-
no-1-tahun-1974-tentang-perkawinan/ diakses pada tanggal 31 Januari
2018.
http://Konsultasi-hukum-online.com/2013/05/kaidah-kaidah-fiqhiyyah-
tentang-pencatatan-perkawinan-di-KUA-dan-perceraian-di-pengadilan-
agama/

Anda mungkin juga menyukai