Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Lutfah Rohmanah
11140440000035
iv
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunianya kepada umat manusia di muka bimu ini,
khususnya kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi
Muhammad Saw, keluarga serta para sahabatnya yang merupakan suri tauladan
bagi seluruh umat manusia.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil
Dekan I, II dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. H. Abdul Halim, MA. Ketua Program Studi Hukum Keluarga beserta
Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga, Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H
yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam
mengerjakan skripsi ini.
3. Dr. Mesraini, S.H, M.Ag., Dosen pembimbing skripsi penulis yang
senantiasa memberikan bimbingan saran dan banyak ilmu kepada penulis
dalam mengerjakan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa
perkuliahan, yang tidak bisa penulis sebut satu persatu, tanpa menghormati
rasa hormat penulis.
5. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan staf
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
pelayanan kepada penulis serta memberikan fasilitas untuk mengadakan
studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Keluarga yang kucintai, Bapak dan Mama yang selalu memberi dukungan,
semangat dan doa yang tiada henti kepada penulis dalam menempuh
v
pendidikan. Adikku Liana Farikhati dan Arifah Vina Ramadhani yang selalu
memberikan motivasi untuk cepat wisuda.
7. Teman seperjuangan penulis Mawar Diana Putri, Nur Hamidah, Sayidah
Lutfiyah, Legina Nadhilah Qamarani, yang selalu memberi masukan untuk
skripsi ini. Rulia Feriera yang sudah rajin untuk bilang cepetan selesaiin
skripsinya.
8. Sahabat tercinta, Mumtaz Khoirunnisa Iris Prutanti, Dewi Murti Hidayat,
Husnia Laili, Khoirod Daroini, yang selalu bersedia mendengarkan keluh
kesah penulis ketika terdapat masalah selama diperkuliahan.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya untuk
mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.
Penulis
vi
DAFTAR ISI
vii
a. Pengertian dan Alasan Perceraian ................................39
b. Syarat Sah Perceraian ...................................................41
c. Bentuk-bentuk Perceraian ............................................41
d. Akibat Putusnya Perkawinan .......................................46
e. Mediator .......................................................................50
B. Negara Brunei Darussalam
1. Sejarah Hukum Keluarga di Negara Brunei Darussalam ...54
2. Perceraian dalam Ketentuan Hukum Keluarga di
Negara Brunei Darussalam
a. Pengertian dan Alasan Perceraian ................................59
b. Syarat Sah Perceraian ...................................................61
c. Bentuk-bentuk Perceraian ............................................61
d. Akibat Putusnya Perkawinan .......................................65
e. Mediator (Hakam) ........................................................68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................85
B. Saran .........................................................................................87
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
viii
DATA TABEL
Tabel 4.1: Perbandingan vertikal antara Mazhab Fikih dengan Indonesia ............85
Tabel 4.2: Perbandingan Vertikal antara Mazhab Fikih dengan Negara Brunei
Darussalam ............................................................................................86
Darussalam. ...........................................................................................90
ix
BAB I
PENDAHULUAN
Perkawinan menurut Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.1 Tujuan dari perkawinan adalah terbentuknya keluarga yang
bahagia, kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dapat
terwujud jika suami isteri saling memahami serta melaksanakan hak dan
kewajiban masing-masing sebagai upaya membangun sebuah keluarga.2
Tidak selamanya di dalam perkawinan berjalan dengan mulus dan lancar,
tentu ada lika-liku kehidupan beserta sejumlah konflik yang akan terjadi di dalam
hubungan dan harus dihadapi. Ketika menghadapi sebuah konflik dengan keluarga
tidak semua pasangan mampu menyelesaikannya dengan cara musyawarah, tak
jarang pasangan-pasangan yang bermasalah tersebut mengakhiri hubungan
perkawinannya dengan cara melalui perceraian.
Menurut peraturan yang berlaku di Indonesia, setiap perceraian harus
dilakukan di depan pengadilan dan setiap perceraian tersebut hanya dapat
dikabulkan jika hakim tidak bisa mendamaikan suami isteri3 dan itupun harus
memenuhi salah satu alasan dari beberapa alasan yang ditentukan, seperti yang
dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam (yang selanjutnya disebut dengan istilah
KHI) pada pasal 116 yaitu sebagai berikut:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pamabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pamabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
1
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi
Hukum Islam, (Jakarta: Qolbun Salim, 2005).
2
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta:
Liberty, 1986), cet ke 2, hal. 96.
3
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39 ayat (1) : “Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
1
2
3. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
4. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
5. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
6. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
7. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
8. Suami melanggar taklik talak;
9. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.
Dengan demikian apabila talak dilakukan atau diucapkan di luar
pengadilan, maka perceraian sah secara hukum agama saja, tetapi belum sah
secara hukum negara karena belum dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama.
Akibat dari talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan
antara suami istri tersebut belum putus secara hukum, atau dengan kata lain, baik
suami atau istri tersebut masih sah tercatat sebagai suami isteri.4
Berbeda dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia, pada Perintah
Darurat (Undang-Undang Keluarga Islam) Tahun 1999 di Negara Brunei
Darussalam diatur bahwa perceraian boleh dilakukan di luar Sidang Pengadilan
dan perceraian tersebut dinyatakan sah, seorang suami bisa menceraikan istrinya
dengan talak satu, dua, atau tiga menurut hukum muslim. Hanya saja seorang
suami wajib memberitahukan tentang perceraiannya kepada pendaftar dalam
tempo tujuh hari. Seorang perempuan yang sudah menikah bisa juga mengajukan
permohonan cerai kepada Kadi dengan mengikuti hukum muslim. Apabila
suaminya rela, hendaknya ia mengucapkan cerai kemudian didaftarkan, dan Kadi
akan mengeluarkan akta perceraian kepada kedua belah pihak.5 Peraturan tersebut
diatur dalam Pelembagaan Negara Brunei Darussalam pasal 55 yang menyatakan
bahwa:
4
Hukumonline.com/klinik/detail/cl2483/akibat-hukum-talak-di-luar-pengadilan.
5
H. M. Atho’ Muzdhar, Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), cet 1, hal. 188
3
6
Jurnal Al-Qadau Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015
7
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, terj. Masykur A.B., Cet. IV,
(Jakarta: Lentera Basritama, 1999), h., 464.
4
8
Perlembagaan Negara Brunei Darussalam Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga
Islam, 1999), Pasal 149 ayat (1)
5
ini bahwa yang dimaksud dengan perceraian di sini hanyalah cerai talak,
sedangkan yang akan dibahas adalah terkait dalam 2 hal yaitu aturan proses
perceraian, seperti perceraian yang dilakukan di depan sidang pengadilan dan
tentang mediator (hakam) dan terkait tentang dampak perceraian, seperti masa
idah qobla al-dukhûl ketika perceraian.
3. Perumusan Masalah
Permasalahan dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana perbandingan Vertikal, Horizontal, dan Diagonal antara
Hukum Keluarga di Indonesia dan Negara Brunei Darussalam mengenai
Syarat Sah Perceraian, Masa Idah Qobla al-Dukhûl, dan Mediator (hakam)?
2. Manfaat Penelitian
a. Sebagai referensi bagi mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum,
khususnya bagi Program Studi Hukum Keluarga, untuk mengetahui
beberapa perbedaan dan persamaan mengenai masalah perceraian di
Indonesia dan Negara Brunei Darussalam.
b. Bagi kalangan civitas akademik, diharapkan penelitian akan menambah
khazanah keilmuan yang ada di Syariah dan Hukum dan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
c. Bagi masyarakat pada umumnya, penelitian ini dapat menjadi ilmu
pengetahuan tambahan tentang proses perceraian di berbagai negara
khususnya di Indonesia dan Negara Brunei Darussalam.
6
E. Metode Penelitian
Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana yang dilakukan
dengan metode ilmiah dengan tujuan untuk mendapatkan data baru guna
membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala.9
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis yang penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan
9
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h.
2.
7
10
Sri Mamuji, dkk, metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 4.
11
A Muri Yusuf, Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta: Kencana, 2014), h. 331.
12
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta:Ghalia
Indonesia, 1988), h. 13-14.
13
Saifuddin Anwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal. 91.
8
F. Sistematika Penulisan
Perceraian dalam istilah ahli fikih disebut thalâq atau furqah. Thalâq
berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Furqah berarti bercerai
lawan dari usyrah yang berarti berkumpul. Al-furqah menurut bahasa memiliki
makna al-iftirâq (berpisah), jamaknya adalah furqah. Sedangkan menurut istilah
adalah terlepasnya ikatan perkawinan, dan terputusnya hubungan di antara suami
istri akibat salah satu dari beberapa sebab.14 Kemudian kedua perkataan ini
dijadikan istilah oleh ahli fikih yang berarti perceraian antara suami istri.15
Thalâq yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ditulis dengan
istilah talak menurut bahasa artinya melepaskan ikatan dan membebaskan.16 Talak
menurut syarak adalah istilah yang diterapkan pada pelepasan ikatan pernikahan.
Lafal talak ini sudah terpakai pada masa jahiliah lalu dikukuhkan pemakaiannya
di dalam syariat Islam.17 Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi
talak. Dalam ensiklopedia Islam disebutkn bahwa menurut mazhab Hanafi dan
Hambali talak ialah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan
ikatan perkawinan di masa yang akan datang.18 Menurut mazhab Maliki, talak
merupakan suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan
suami istri.19 Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, talak ialah pelepasan akad
nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu.20
14
Wahbah Az-Zuhaili. Al-Fiqh Al-Islami wâ Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, Fiqih Islam 9. Jakarta: Gema Insani, 2011, cet.1, h. 311.
15
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 156
16
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. 2016.
17
Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifâyatul Akhyâr fii Alli Ghâyatil Ikhtishâr,
Penerjemah Achmad Zaidun dan A. Ma’ruf Asrori, Terjemahan Kifayatul Akhyar Jilid 2,
Surabaya, 1997, cet.1, h., 466.
18
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2001), h. 53.
19
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam Jilid 5, h. 53.
20
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Jilid 7, (Damsyik: Dar al-Fikr,
1984), h. 343.
10
11
21
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tariga, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana,
2004), cet.1, h. 209.
22
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 190-191.
12
kewajiban pada pihak istri baik nafkah lahir maupun batin. Penyebab nusyuz
suami yaitu menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan untuk menemaninya,
mengurangi nafkahnya, atau berbagai beban berat lainnya bagi istri. Al-Qur’an
menyebutkan adanya nusyuz dari suami dalam Q.s. An-Nisa (4): 128:
ْ ُعلَ ْي ِه َموا أ َ ْن ي
ِو ِل َحا َب ْينَ ُه َموا ً وَا أ َ ْو ِإع َْرا
َ َ ُا فَ َوًل ُجنَوا ً ش ْ ََو ِإ ِن ْام َرأَة ٌ خَاف
ُ ُت ِم ْن َب ْع ِل َها ن
ۚ ص ْل ًحا
ُ
شو َُّ ۚ َو ِإ ْن ت ُ ْحسِونُوا َوتَتَّقُوووا فَو ِ َّن اللَّوهَ َكووانَ ِب َمووا ُ ُُت ْان َ ْن
ُّ ول ال ِ ِ ْول ُُ َخ ْيو ٌور ۗ َوأ ُ ْح
ِ ِو َور ُّ َوال
يرا ً ِت َ ْع َملُونَ َخب
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu
secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
3. Syikak
kata Syikak berasal dari kata bahasa Arab, Syiqâq yang berarti sisi,
perselisihan, al-khilaf artinya: perpecahan, permusuhan, al-adawah:
pertengkaran atau persengketaan. Dalam bahasa Melayu diterjemahkan dengan
perkelahian. Syikak mengandung arti pertengkaran, kata ini biasanya
dihubungkan kepada suami istri sehingga dapat diartikan pertengkaran yang
terjadi antara suami istri yang tidak dapat terselesaikan sendiri oleh keduanya.
Syikak biasanya terjadi apabila suami istri atau keduanya tidak melaksanakan
kewajiban yang dipikul masing-masing.23 Dalam ayat suci Q.s. An-Nisa (4):
35:
Abdul Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia,
23
Beberapa hal yang menjadi rukun talak dengan syarat-syaratnya antara lain
sebagai berikut:25
1. Suami
Suami adalah yang memiliki hak talak. Suami yang menjatuhkan talak
disyaratkan sebagai berikut:26
a. Baligh. Talak yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak sah, sekalipun
dia telah pandai. Demikian kesepakan para ulama mazhab kecuali
mazhab Hambali. Para ulama mazhab Hanbali mengatakan bahwa talak
yang dijatuhkan anak kecil yang mengerti dinyatakan sah, sekalipun
usianya belum mencapai sepuluh tahun.
b. Berakal sehat. Dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh orang gila
tidak sah. Begitu pula dengan talak yang dijatuhkan oleh orang yang
tidak sadar. Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat tentang talak
yang dijatuhkan oleh orang yang tidak sadar. Imamiyah mengatakan
bahwa, talak orang mabuk sama sekali tidak sah. Sementara itu mazhab
24
Yayan Sopyan. Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), cet.1, h. 190.
25
Abdur Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 201.
26
Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqh Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hambali. (Jakarta: Penerbit Lentera Baristama, 2008), cet.4, h. 442.
14
empat berpendapat bahwa talak orang mabuk itu sah manakala dia
mabuk karena minuman yang diharamkan atas dasar keinginan sendiri.
c. Atas kehendak sendiri. Dengan demikian, talak yang dijatuhkan oleh
orang yang dipaksa (menceraikan istrinya) menurut kesepakatan para
ulama mazhab tidak dinyatakan sah.
d. Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak. Dengan demikian, kalau
seorang laki-laki mengucapkan talak karena lupa, keliru, atau main-main,
maka menurut Imamiyah talaknya dinyatakan tidak jatuh.
27
Syekh Abu Zahrah, Al-Ahwâl Al-Syakhsiyah, (Kairo Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957),
cet.3, h. 283.
28
Syekh Abu Zahrah, Al-Ahwâl Al-Syakhsiyah, cet.3, h. 286.
29
Syekh Abu Zahrah, Al-Ahwâl Al-Syakhsiyah, cet.3, h. 284.
30
Ibnu Rusyd. Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid Jilid 2. Penerjemah Abdul
Rasyad Shiddiq, Jakarta, 2013, h.74.
15
mengalami gangguan akal ketika dia baligh, maka ayah atau kakeknya (dari
pihak ayah) berhak menjatuhkan talak atas nama si anak bila dipandang ada
maslahat dalam talak tersebut. Kalau si anak tidak mempunyai ayah atau
kakek dari pihak ayah, maka hakim boleh menjatuhkan talak atas nama si
anak. Imamiyah membolehkan istri seorang laki-laki gila untuk mem-fasakh
nikah. Mazhab Hanafi mengatakan bahwa, apabila istri seorang laki-laki
gila merasa terancam bila bergaul dengan suaminya, maka persoalannya
diajukan kepada hakim, dan si istri meminta diceraikan. Di sini, hakim
boleh menjatuhkan talak untuk menghindarkan bahaya yang dihadapi si
istri, sedangkan ayah si istri tidak punya wewenang apapun. Seluruh ulama
mazhab sepakat bahwa seorang safih (idiot) dipandang sah talak dan
khuluknya.31
2. Istri
Wanita yang ditalak, menurut kesepakatan para ulama mazhab,
disyaratkan harus seorang istri. Mengenai istri-istri yang dapat dijatuhkan
talak, para fuqaha sepakat bahwa mereka harus:32
31
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hambali, cet.26, h. 443.
32
Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h.
66
16
C. Bentuk-Bentuk Perceraian
1. Talak
Penjelasan tentang talak sudah dibahasa terdahulu, bahwa talak
menurut istilah, seperti yang sudah dituliskan al-Jaziri, talak adalah
melepaskan ikatan (hall al-qaid) atau bisa juga disebut mengurangi pelepasan
ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.33 Menurut Sayyid
Sabiq talak adalah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya
mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.34
a. Talak Sunni
Talak sunni yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan
sunnah, yaitu apabila seorang suami mentalak istrinya yang telah disetubuhi
dengan talak satu pada saat suci, sebelum disetubuhi. Allah SWT. berfirman
Q.s. Al-Baqarah (2): 229:
1) Istri yang ditalak sudah pernah digauli. bila talak yang dijatuhkan
terhadap istri yang belum pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.
2) Istri dapat segera melakukan idah suci setelah ditalak yaitu dalam
keadaan suci dari haid. Menurut ulama’ Syafi’iyah, perhitungan iddah
bagi wanita berhaid ialah tiga kali suci, bukan tiga kali haid.
33
Abdurrahman Al-Jaziri. Kitâb al-Fiqh ‘ala Mazâhib al-Arba’ah. Juz IV. Penerjemah
Moh. Zuhri, Fikih Empat Mazhab. Semarang: As-Syifa, 1994. h. 278.
34
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, (Bandung: Dar al-Fikr, 1983), h. 206.
35
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, cet.2, h. 193.
17
3) Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak itu
dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam
keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk talak
sunni.
4) Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak itu
dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam
keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk talak
sunni.
5) Menalak istri harus secara bertahap (dimulai dengan talak satu, dua
dan tiga) dan diselingi rujuk.
1) Talak Raj’i
Para ulama mazhab sepakat bahwa yang dinamakan talak raj’i
ialah talak dimana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada
istrinya (rujuk) sepanjang istrinya tersebut masih dalam masa idah, baik
istri tersebut bersedia dirujuk maupun tidak. Salah satu diantara
syaratnya adalah bahwa si istri sudah dicampuri, sebab istri yang dicerai
sebelum dicampuri, tidak mempunyai masa idah.
Talak raj’i hanya terjadi pada talak pertama dan kedua saja,
berdasarkan firman Allah dalam Q.s. Al-Baqarah (2): 229:
36
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hambali), cet.26, h. 451.
18
2) Talak Ba’in
Sedangkan yang dimaksud dengan talak ba’in adalah talak
dimana suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada wanita yang
ditalaknya, yang mencangkup beberapa jenis:38
(1) Talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang terjadi sebelum
dicampuri
(2) Khuluk
37
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet.6, h. 198.
38
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hambali), cet.26, h. 452.
39
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT
Rajawali Pers, 2009), h. 245.
19
َظنَّا أ َ ْن يُ ِقي َما ُحدُوََ اللَّ ِه ۗ َوتِ ْل َك ُحدُوَ ُ اللَّ ِه يُ َبيِنُ َها ِلقَ ْوم يَ ْع َل ُمون
َ يَتَ َرا َجعَا إِ ْن
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain”.
menjadi penghalang bagi suami lamamu”, maka syarat seperti ini batal
dan akad nikahnya sah. Akan tetapi Hanafi mengatakan bahwa,
“apabila si wanita takut tidak ditalak oleh muhallil, maka dia boleh
mengatakan kepada si muhallil (diwaktu akad): “saya kawinkan diri
saya kepadamu dengan syarat masalah talaknya ada di tangan saya”,
lalu si muhallil menjawab: “saya terima nikah dengan syarat tersebut”.
Dalam kasus seperti ini, akad tersebut sah, dan si wanita memegang
hak untuk menalak dirinya kapan saja dia mau. Akan tetapi bila si
muhallil yang mengatakan: “hendaknya engkau menikahkan dirimu
kepadaku dengan syarat bahwa urusan dirimu (talak berada di
tanganmu”, maka akadnya sah, tetapi syarat tersebut tidak berlaku.40
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan:
“akad tersebut batal sama sekali manakala ada syarat tahlil
(perpisahan) di dalamnya. Bahkan Maliki dan Hambali mengatakan:
“apabila ada kehendak tahlil walaupun tidak diucapkan akad tersebut
batal.41
b. Talak Bid’i
Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau
bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat Talak
Sunni.42 Mengenai Talak Bid’i ini ada beberapa macam keadaan yang mana
seluruh ulama’ telah sepakat menyatakan bahwa talak semacam ini
hukumnya haram. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa talak ini tidak
berlaku. Talak Bid’i ini jelas bertentangan dengan syari’at yang bentuknya
ada beberapa macam yaitu:43
40
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hambali), cet.26, h. 453.
41
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hambali), cet.26, h. 454.
42
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, cet.2, h. 194.
43
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi lengkap, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1998), cet.1, h. 439.
21
44
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (alih bahasa. Moh. Thalib), jilid 8, cet. 9, h. 95.
45
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h. 87.
22
diserahterimakan dan merupakan hak milik yang sah dan bukan merupakan
barang-barang yang haram.46
Jumhur fuqaha telah sepakat bahwa suami yang menjatuhkan khuluk
tidak dapat merujuk mantan istrinya pada masa idah, kecuali pendapat yang
diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyad dan Ibnu Syihab, keduanya
mengatakan bahwa apabila suami mengembalikan tebusan yang telah diambil
dari istrinya, maka ia dapat mempersaksikan rujuknya itu. Fuqaha berselisih
pendapat tentang idah wanita yang dikhuluk apabila terjadi persengketaan
antara suami dengan istri berkenaan dengan kadar bilangan harta yang dipakai
untuk terjadinya khuluk. Imam Malik berpendapat bahwa yang dijadikan
pegangan adalah kata-kata suami jika tidak ada saksi. Sedang Imam Syafi’i
berpendapat bahwa kedua suami istri saling bersumpah, dan atas istri
dikenakan sebesar mahar mitsli. Beliau mempersamakan persengketaan antara
dua orang yang berjual beli. Adapun Imam Malik memandang istri sebagai
pihak tergugat dan suami sebagai pihak penggugat.47
46
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (alih bahasa. Moh. Thalib), h. 97-98.
47
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 316.
48
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 8, cet. 7, h. 139-140.
23
b. Macam-macam Idah
49
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wâ Adilatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, Fiqih Islam 9 h. 623.
50
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitâbu Al-Fiqh ‘ala Al-Madzâhibi Al-Arba’ah, h. 516-518.
51
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h. 465.
24
52
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h. 501.
25
3) Idah Quru’ yaitu bagi wanita yang telah mancapai usia 9 tahun,
tidak hamil, bukan menopause dan telah mengalami haid.
Berdasarkan firman Allah SWT, di dalam Q.s. Al-Baqarah (2): 228
sebagai berikut:
ِنَ ِبأ َ ْنُُ ِس ِه َّن ث َ ًَلثَةَ قُ ُروء ۚ َو ََل َي ِح ُّل لَ ُه َّن أ َ ْن َي ْكت ُ ْمنَ َما َخلَقَ اللَّهُ فِي ْ َّطلَّقَاتُ َيت َ َربَ َو ْال ُم
َ وق بِو َور َِ ِه َّن فِووي ٰذَ ِلو
وك إِ ْن ُّ ون يُووؤْ ِم َّن بِاللَّو ِه َو ْاليَو ْوو ِم ا ْ ِخو ِور ۚ َوبُعُووولَت ُ ُه َّن أ َ َحو ِ أ َ ْر َحو
َّ وام ِه َّن إِ ْن ُكو
أ َ َراَ ُوا
ٌ ٌِ ع
ٌيو َ ُعلَو ْي ِه َّن ََ َر َجوةٌ ۗ َواللَّوه َ وف ۚ َو ِل ِلر َجوا ِل ِ علَ ْي ِه َّن ِب ْال َم ْع ُرَ ص ًَل ًحا ۚ َولَ ُه َّن ِمثْ ُل الَّذِي ْ ِإ
َح ِكي ٌم
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’, tidak boleh mereka menyembunyikan
apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhir dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki islah dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dalam kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para
suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Menurut pendapat ulama Madzhab:
a) Imamiyah, Maliki dan Syafi’i menginterprestasikan quru’
dengan masa suci ( tidak haid) sehingga bila wanita tersebut
dicerai pada hari-hari terakhir masa sucinya, maka masa tersebut
dihitung sebagai bagian dari masa idah, yang disempurnakan
dengan 2 masa suci sesudahnya.
b) Hanafi dan Hambali menginterprestasikan dengan masa haid,
sehingga wanita tersebut harus melewati 3 kali masa iddah
(dalam menyelesaikan masa idah). Sesudah di talak tidak
termasuk masa haid ketika ia ditalak.53
4) Idah sebelum dicampuri (qabla al-dukhûl)
53
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h. 466.
26
طلَّ ْقت ُ ُمو ُه َّن ِم ْن َق ْب ِل أ َ ْن ِ َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإذَا نَ َك ْحت ُ ُم ْال ُمؤْ ِمنَا
َ ت ث ُ َّم
َ س ِر ُحو ُه َّن
س َرا ًحا َ علَ ْي ِه َّن ِم ْن ِعدَّة تَ ْعتَدُّو َن َها فَ َمتِعُو ُه َّن َو َ سو ُه َّن فَ َمالَ ُك ْم ُّ ت َ َم
ً َج ِم
يًل
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman kemudian kamu
menceraikannya sebelum kamu menggaulinya, maka tidak ada
kewajiban baginya untuk beridah terhadapnya”.
54
Abu Malik, Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahîh Fikih Sunnah, Penerjemah: Darwis,
Derysmono, Shahih Fikih Sunnah (Jilid 4), Jakarta: Darus Sunnah Press, 2017, cet.2, h. 431.
55
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Penerjemah
Masykur A.B, dkk, Fiqih Lima Mazhab. Jakarta, 2011, h. 499.
56
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h., 464.
27
ۚ علَ ْي ِه َّن
َ ِيِقُواَ ُ ارو ُه َّن ِلت ُّ َِ ُ س َك ْنت ُ ْم ِم ْن ُو ْج ِد ُك ْم َو ََل ت ُ أ َ ْس ِكنُو ُه َّن ِم ْن َحي
َ ْث
َُ ْعن َ ِ ْعنَ َح ْملَ ُه َّن ۚ فَ ِ ْن أ َ ْر َ ت َح ْمل فَأ َ ْن ُِقُوا
َ علَ ْي ِه َّن َحت َّ ٰى َي َ ُ َو ِإ ْن ُك َّن أ
ِ وَل
َ لَ ُك ْم فَآتُو ُه َّن أ ُ ُج
ور ُه َّن
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak)
itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin”.
dengan keluarnya mereka dari rumah, sebab nafkah tersebut diperuntukan bagi
bayi yang dikandungnya dan bukan lagi wanita yang mengndungnya. Syafi’i
dan Hambali berpendapat, “wanita tersebut tidak berhak atas nefkah idah
maupun tempat tinggal bila dia tidak hamil dan apabila dia hamil maka berhak
atasnya nafkah berupa tempat tinggal dan segala bentuknya. Tetapi syafi’i
mengatakan bahwa kalau wanita tersebut keluar dari rumah tanpa adanya
kebutuhan yang tak terhindarkan, maka gugurlah hak atas nafkah idah itu.
Mazhab Imamiyah tidak mengategorikan fasakh akad sama dengan talak ba’in.
Mereka berpendapat bahwa orang yang menjalani idah akibat fasakh nya akad,
baik dia hamil atau tidak, dia tetap berhak atas nafkah.60
3. Mut’ah
Mut’ah dalam istilah fikih dimaksudkan sebagai suatu pemberian dari
suami kepada istri akibat terjadinya perceraian, sebagai penghibur atau ganti
rugi.61 Menurut jumhur fuqaha, mut‘ah adalah pemberian yang bertujuan untuk
menyenangkan hati istri.62 Mazhab Syafi’i mengartikan mut‘ah sebagai harta
yang wajib dibayar oleh suami untuk istrinya yang diceraikan dalam kehidupan
dengan perceraian serta apa yang memiliki makna yang sama dengan beberapa
persyaratan. Sedangkan mazhab Maliki mengartikan sebagai kebaikan untuk
perempuan yang diceraikan ketika terjadi perceraian dalam kadar sesuai
dengan jumlah sedikit dan banyaknya harta si suami.63
Para ulama sepakat bahwa memberikan mut’ah atau kenang-kenangan
itu tidak diwajibkan untuk setiap istri yang ditalak. Tetapi menurut ulama-
ulama mazhab Zhahiri, memberikan mut’ah wajib untuk setiap istri yang
ditalak. Menurut sebagaian ulama, memberikan mut’ah itu sunah, bukan wajib.
Imam Malik setuju pada pendapat ini. Menurut Imam Abu Hanifah, mut’ah
wajib diberikan kepada setiap wanita yang dicerai sebelum dicampuri, dan
suami belum menentukan maskawin untuknya. Menurut Imam Syafi’i, mut’ah
60
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h. 402.
61
M. Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis (Bandung: Mizan 2002), h. 230.
62
Ibnu Rusyd. Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid Jilid 2. Penerjemah Abdul
Rasyad Shiddiq, h. 551.
63
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wâ Adilatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, Fiqih Islam 9, h. 285.
29
wajib diberikan kepada setiap istri yang dicerai jika pemutusan pernikahan
datang dari pihak suami, kecuali untuk istri yang telah ditentukan
maskawinnya dan ditalak sebelum dicampuri. Mayoritas ulama setuju pada
pendapat ini.64 Imam Abu Hanifah berpedoman pada firman Allah SWT. surat
al-Baqarah )2): 236:
4. Rujuk
Rujuk atau dalam istilah hukum disebut raja’ah secara arti kata berarti
“kembali”. Orang yang rujuk kepada istrinya berarti kembali kepada istrinya.
Sedangkan definisinya dalam pengertian fikih menurut al-Mahalli ialah:
64
Ibnu Rusyd, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid Jilid 2, Penerjemah Abdul
Rasyad Shiddiq, h. 205.
65
Abdurrahman Al-Jaziri. Kitâb al-Fiqh ‘ala Mazâhib al-Arba’ah, Juz IV. Penerjemah
Moh. Zuhri, Fikih Empat Mazhab. h. 377-378.
30
talak ba’in, maka harus dengan akas baru, akan tetapi hal tersebut tidak
bisa dikatan rujuk.
c. Syafi’iyah, rujuk adalah kembalinya istri ke dalam ikatan pernikahan
setelah dijatuhi talak satu atau dua dalam mas aidah. Menurut golongan
ini bahwa istri diharamkan berhubungan dengan suaminya sebagaimana
berhubungan dengan orang lain, meskipun suami berhak merujuknya
dengan tanpa kerelaan. Oleh karena itu rujuk menurut golongan
Syafi’iyah adalah mengembalikan hubungan suami istri ke dalam ikatan
pernikahan sempurna.
d. Hambali, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak selain talak
ba’in kepada suaminya dengan tanpa akad, baik dengan perkataan atau
perbuatan (bersetubuh) dengan niat ataupun tidak.
Dalam satu sisi rujuk itu adalah membangun kembali kehidupan
perkawinan yang terhenti atau memasuki kembali kehidupan pernikahan.
Kalau membangun kehidupan pernikahan pertama kali disebut pernikahan,
maka melanjutkan disebut rujuk. Hukum rujuk demikian ulama berbeda
pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa rujuk itu adalah sunah, 66 dalil
yang digunakan jumhur ulama itu adalah firman Allah SWT. dalam surat al-
Baqarah (2): 229:
سان ۗ َو ََل َي ِح ُّل لَ ُك ْم أ َ ْن ت َأ ْ ُخذُوا
َ ْساكٌ ِب َم ْع ُروف أ َ ْو تَس ِْري ٌُ ِب ِح َ َان فَ ِ ْم ِ الط ًَل ُق َم َّرت َّ
ش ْيئًا إِ ََّل أ َ ْن َيخَافَا أ َ ََّل يُ ِقي َما ُحدُوََ اللَّ ِه فَ ِ ْن ِخ ُْت ُ ْم أ َ ََّل يُ ِقي َما ُحدُوََ اللَّ ِه
َ ِم َّما آت َ ْيت ُ ُمو ُه َّن
ت ِب ِه ۗ ِت ْلكَ ُحدُوَُ اللَّ ِه فَ ًَل ت َ ْعتَدُوهَا ۚ َو َم ْن َيت َ َعدَّ ُحدُوََ اللَّ ِه
ْ َعلَ ْي ِه َما ِفي َما ا ْفتَد
َ َ فَ ًَل ُجنَا
َّ فَأُو ٰلَئِكَ ُه ُم
َالُا ِل ُمون
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
66
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-undang Perkawinan, h. 339.
31
Ibnu Rusyd membagi hukum rujuk kepada dua, yaitu hukum rujuk
pada talak raj’i dan hukum rujuk pada talak ba’in:
a. Hukum rujuk pada talak raj’i
Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak
merujuk istri pada talak raj’i, selama istri masih berada pada masa idah,
tanpa mempertimbangkan persetujuan istri,67 berdasarkan firman Allah
SWT. pada surat Al-Baqarah (2): 228:
ِ طلَّقَاتُ يَت ََربَِّْنَ ِبأ َ ْنُُ ِس ِه َّن ث َ ًَلثَةَ قُ ُروء ۚ َو ََل يَ ِح ُّل لَ ُه َّن أ َ ْن يَ ْكت ُ ْمنَ َما َخلَقَ اللَّهُ فِي أ َ ْر َح
ام ِه َّن َ َو ْال ُم
ِإ ْن ُك َّن
ْ ِيُؤْ ِم َّن بِاللَّ ِه َو ْاليَ ْو ِم ا ْ ِخ ِر ۚ َوبُعُولَت ُ ُه َّن أ َ َح ُّق بِ َر َِه َِّن فِي ٰذَلِكَ إِ ْن أ َ َراَُوا إ
ص ًَل ًحا ۚ َولَ ُه َّن ِمثْ ُل الَّذِي
علَ ْي ِه َّن
َ
67
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 289.
32
Menurut ulama, istri yang dikhuluk tidak boleh dinikahi oleh suami atau
oleh orang lain pada masa idahnya. Seolah-olah menurut para ulama,
larangan menikah pada masa idah adalah suatu ibadah.68
Hukum rujuk setelah talak tersebut sama dengan nikah baru. Mazhab
empat sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain
(bukan istri) yang untuk mengawinkannya kembali disyaratkan adanya
akad. Hanya saja dalam hal ini selesainya idah tidak dianggap sebagai
syarat.69 Berikut adalah beberapa syarat sah rujuk, yaitu:70
a. Rujuk dilakukan setelah jatuhnya talak raj’i (setelah talak pertama dan
kedua), baik berasal dari suami meupun dari hakim.
b. Rujuk terjadi setelah suami menceraikan istrinya yang telah dicampuri
sebelumnya. Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya sebelum
dicampuri dan dia ingin merujuknya maka hal tersebut tidaklah
diperbolehkan menurut kesepakatan ulama mazhab, sebab wanita
tersebut tidak mempunyai idah. Hal ini sebagaimana dalam Q.s. Al-
Ahzab (33): 49:
68
Ibnu Rusyd. Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid. Penerjemah Imam Ghazali
Sa’id, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, h. 188.
69
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, 292.
70
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. Shahîh Fiqih Sunnah. Penerjemah Darwis dan
Derysmono, Shahih Fikih Sunnah Jilid 2, cet.2, h. 709.
33
E. Hakam
Perdamaian berasal dari kata as-shulh. Menurut bahasa, perdamaian
berarti mengakhiri pertikaian. Adapun dalam istilah syariat, perdamaian adalah
kesepakatan untuk mengakhiri pertikaian kedua belah pihak antara dua belah
pihak yang bertikai.71 Para ulama sepakat atas kebolehan mengirim dua juru
damai ketika terjadi konflik antara suami istri tanpa diketahui sebab-sebabnya,
dalam arti siapa yang benar dan siapa yang salah. Hal ini berdasarkan firman
Allah SWT. pada surat an-Nisa (4): 35:
ْ َو ِإ ْن ِخ ُْت ُ ْم ِش َقاقَ َب ْي ِن ِه َما فَا ْب َعثُوا َح َك ًما ِم ْن أ َ ْه ِل ِه َو َح َك ًما ِم ْن أ َ ْه ِل َها ِإ ْن ي ُِريدَا ِإ
ص ًَل ًحا
َ َق اللَّهُ بَ ْينَ ُه َما ۗ ِإ َّن اللَّهَ َكان
ع ِل ْي ًما َخ ِبي ًْر ِ ِي َُوف
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Para ulama sepakat bahwa kedua juru damai hanya boleh dikirim dari
keluarga pasangan suami istri yang bersangkutan, salah satunya dari pihak suami,
dan lainnya dari pihak istri. Kecuali kalau dari keluarga suami istri itu tidak
terdapat orang yang pantas untuk menjadi juru damai, maka boleh dikirim orang
lain yang bukan berasal dari keluarga mereka berdua. Mereka juga sepakat, kalau
kedua juru damai tersebut berselisih pendapat, maka pendapat keduanya tidak bisa
dilaksanakan. Mereka juga sepakat bahwa pendapat keduanya yang merukunkan
kembali suami istri berlaku tanpa pemberian kuasa dari kedua belah pihak suami
istri.72
Sedangkan menurut As-sya’bi dan Ibn Abbas mengatakan bahwa pihak
ketiga atau Hakam dalam kasus syikak diangkat oleh Hakim atau Pemerintah.73
71
Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah. Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin, Fikih Sunnah 5,
h. 420.
72
Ibnu Rusyd. Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid, Penerjemah Imam Ghazali
Sa’id, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, h. 206.
73
Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-Arba’ah, sebagaimana dikutip oleh
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’at, Hukum Adat dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana, 2009), h. 187.
35
Menurut Imam Nawawi, seorang Hakam atau Mediator harus laki-laki, cakap, dan
saleh. Menurut Wahbah Zuhaili syarat Hakam antara lain adalah berakal, baligh,
adil, dan muslim. Oleh karena itu tidak dibenarkan mengangkat orang kafir
dzimmi, orang yang terhukum hudud karena qazaf, orang fasik, dan anak-anak
untuk menjadi Hakam, karena dilihat dari segi keabsahannya, mereka tidak
termasuk ahliyyah al-aqdha’ (orang yang berkopeten mengadili).74
74
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’at, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, h. 188.
BAB III
A. Indonesia
1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia
Sejarah hukum keluarga Indonesia terbagi dalam dua masa yaitu hukum
keluarga prakemerdekaan, yang dibagi menjadi dua yaitu hukum keluarga
prapenjajahan (prakolonial), dan hukum keluarga zaman penjajahan (kolonial).
Hukum keluarga pascakemerdekaan dibagi dalam tiga yaitu hukum keluarga
awal kemerdekaan, hukum keluarga sesudah 1950, dan terbentuknya Undang-
undang perkawinan baru. Berikut uraiannya:75
a. Kerajaan Islam
Hukum Islam mulai berlaku dan dilaksanakan oleh umat Islam di
Indonesia. Hukum Islam ada ketika pertama kali orang Islam menginjakkan
kakinya di Indonesia (abad XII-XVII M). Penyelesaian perkara masih
dengan cara yang sederhana yaitu melalui hakam (abritase).76
Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara
menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i. Kemudian pada abad ke 15 dan 16
M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak,
Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. Sementara itu, di bagian timur
Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima
dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga
menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.77
75
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandar Lampung: PT Citra
Aditya Bakti, 2010), h. 60-64.
76
Ali Sodikin, Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia,
(Yogyakarta: Beranda, 2012), h. 181.
77
https://kotamad.wordpress.com/2012/01/29/sejarah-lahirnya-undang-undang-no-1-
tahun-1974-tentang-perkawinan/ diakses pada tanggal 31 Januari 2018.
36
37
c. Masa Kemerdekaan
Memasuki masa kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia telah
menerapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan
Nikah, Talak, dan Rujuk dan Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun
1947 tentang Pegawai Pencatat Nikah.78 Menteri Agama membentuk Panitia
Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk (NTR) yang
berrtugas meninjau RUU (Rancangan Undang-undang) yang selaras dengan
keadaan zaman.79 Pada masa orde baru inilah keinginan untuk mewujudkan
Undang-undang perwakilan bangkit kembali, yang berujung dengan
diajukannya Rancangan Undang-undang (RUU) perkawinan oleh Menteri
Kehakiman sebagai perwakilan dari pemerintah ke DPR pada tahun 1973
terlaksana. Meskipun demikian ternyata draft RUU tersebut menuai banyak
kecaman, terlebih dari kalangan umat Islam yang menilai RUU tersebut
banyak yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Dengan perjalanan yang
berliku dan perjuangan yang keras akhirnya pada tanggal 2 Januari 1974
RUU perkawinan disahkan menjadi Undang-undang. Kehadiran UU No. 1
Tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya beberapa peraturan pelaksana.
Pertama, PP No. 9 Tahun 1975 yang diundangkan tanggal 1 April 1975.
78
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
cet.1, h. 157.
79
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, cet.1, h. 158.
38
80
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan
Hukum Indonesia di Gunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pebaruan, dan Materi & Status
Perempuan dalam Hukum Perkawinan/Keuarga Islam, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009),
h. 48.
81
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan
Hukum Indonesia di Gunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pebaruan, dan Materi & Status
Perempuan dalam Hukum Perkawinan/Keuarga Islam, h. 49.
82
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
1992), h. 15.
39
83
M. Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), h. 198.
84
Asril, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Hukum Islam, vol. XV, No. 1, (Riau:
Juni, 2015), h. 33.
85
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), cet.3, h. 189.
86
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 12.
40
1974 tentang Perkawinan Pasal 38 dan menurut KHI diatur dalam Pasal 113
sampai 128 yang menerangkan bahwa perkawinan dapat putus karena
kematian, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan.87
Sebab perceraian, Undang-undang Perkawinan memberikan aturan-
aturan yang telah baku, terperinci, dan sangat jelas.88 Bahwa perceraian
harus memiliki salah satu alasan dari beberapa alasan, baik dalam cerai talak
atau gugat, pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 dan
KHI Pasal 116 menyebutkan beberapa alasan yang dapat menyebabkan
perceraian, yaitu berikut ini:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
6) Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukum lagi dalam
rumah.
7) Suami melanggar taklik talak
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.
87
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),
h. 148-149.
88
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1982), h. 291.
41
c. Bentuk-bentuk Perceraian
Dari ketentuan tentang perceraian yang diatur dalam pasal 39 sampai
dengan pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan pasal 14 sampai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah Perkawinan No.
9 Tahun 1975, dapat ditarik kesimpulan adanya dua macam perceraian,
yaitu:91
1) Cerai Talak
Cerai talak adalah perceraian yang terjadi sebagai akibat
dijatuhkannya talak oleh suami terhadap istrinya di muka sidang
pengadilan. Cerai talak ini hanya khusus untuk yang beragama Islam,
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 114 Peraturan Pemerintah No. 9
89
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, cet.1, h. 193.
90
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, cet.1, h. 192-194.
91
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), h.
37.
42
92
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet.2, h. 18.
93
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 66, tentang Peradilan Agama.
43
94
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet.1, h. 15.
44
c) Anjuran Damai
Jika kedua belah pihak hadir dan berhasil diakhiri dengan
perdamaian yang dituangkan dalam Akta Perdamaian yang kekuatan
hukumnya sama dengan putusan, tetapi tidak dapat banding atau
diajukan lagi.95 Tetapi jika perdamaian tidak berhasil, maka Hakim
Pemeriksa Perkara segera menerbitkan penetapan untuk melanjutkan
pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang
berlaku.96
d) Pembacaan Gugatan
Setelah gugatan dibacakan, sebelum tahap jawaban tergugat,
penggugat berkesempatan untuk menyatakan sikap sehubungan
dengan gugatannya. Ada tiga kemungkinan sikap penggugat:
mencabut gugatan, mengubat gugatan, dan tetap mempertahankan
gugatan.
95
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada,
2003), cet.10, h. 19.
96
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016, Pasal 32 ayat
(3), tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
45
e) Jawaban Tergugat
Jawaban tergugat dapat diberikan secara tertulis atau lisan
yang harus dihadiri oleh tergugat atau kuasa hukumnya. Jika tidak
dihadiri oleh tergugat atau kuasa hukumnya meskipun ada
mengirimkan surat jawaban tertulis, maka jawaban itu tidak akan
diperhatikan dan dianggap tidak pernah ada, kecuali jika jawaban itu
berisi eksepsi bahwa pengadilan tersebut tidak berwenang mengadili.
f) Replik Penggugat
Setelah tergugat memberikan jawabannya, selanjutnya
kesempatan beralih kepada penggugat untuk memberikan replik yang
menanggapi jawaban tergugat sesuai dengan pendapatnya.
g) Duplik Tergugat
Setelah replik penggugat maka bagi tergugat dapat
membalasnya dengan mengajukan duplik yang kemungkinan sikapnya
sama seperti replik penggugat.
h) Pembuktian
Alat-alat bukti yang dapat dikemukakan di muka sidang terdiri
dari: alat bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah,
pemeriksaan di tempat, saksi ahli, pembukuan dan pengetahuan
hakim.
97
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, cet.2, h. 301.
98
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. 2016.
99
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), h. 252.
47
2) Nafkah idah
3) Mut’ah
Mut’ah menurut KHI adalah pemberian bekas suami kepada istri,
yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya. Dan menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mut’ah adalah sesuatu (uang,
barang, dan sebagainya) yang diberikan suami kepada istri yang
diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas istrinya.100
Dalam KHI Pasal 149 huruf (a) menyatakan bahwa, “Memberikan
mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda,
kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhûl”.
100
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. 2016.
49
4) Rujuk
Pasal 163
101
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. 2016.
102
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, cet.1, h. 169.
50
e. Mediator
Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 bahwa
mediator adalah hakim atau pihak lain yang memliki sertifikat mediator
sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan
guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa
menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
103
Syahrizal Abbas, Mediasi: dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, h. 60-65.
51
1) Mediasi di pengadilan
Bila mediasi dijalankan oleh lembaga formal seperti pengadilan
maupun lembaga penyedia jasa mediasi, maka pengangkatan mediator
mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Para pihak berhak
memilih seorang atau lebih mediator. Mediator dari pengadilan maupun
dari lembaga penyedia jasa mediasi wajib memiliki sertifikat mediator
yang diperoleh setelah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan
sertifikasi mediator yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung atau
lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung. Hal
tersebut sejalan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI Nomor
1 Tahun 2016 pada Pasal 13 yaitu:
“pada ayat (1) dijelaskan bahwa, setiap Mediator wajib memiliki
Sertifikat Mediator yang diperoleh setelah mengikuti dan dinyatakan
lulus dalam pelatihan sertifikasi Mediator yang diselenggarakan
Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari
Mahkamah Agung. Pada ayat (2) menjelaskan bahwa: “berdasarkan surat
keputusan ketua Pengadilan, Hakim tidak bersertifikat dapat menjalankan
104
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak Kedudukan Anak Luar Kawin, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2012), h. 102.
105
Syahrizal Abbaz, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), cet.1, h. 70.
52
fungsi Mediator dalam hal tidak ada atau terdapat keterbatasan jumlah
Mediator bersertifikat.”
2) Mediasi di luar pengadilan
Mediator yang dijalankan di luar pengadilan atau dengan anggota
masyarakat, maka pengangkatan mediator sangat tidak terikat dengan
ketentuan aturan formal. Mediator di luar pengadilan dapat dibagi kepada
dua kategori yaitu mediasi yang dijalankan oleh mediator yang berasal
dari penyedia jasa pelayanan mediasi dan mediator yang berasal dari
anggota masyarakat. Mediator yang berasal dari masyarakat diangkat
oleh para pihak yang bersengketa. Pengangkatan mediator di masyarakat
sangat tergantung pada para pihak. Orang yang diminta para pihak pihak
pada umumnya berasal dari tokoh masyarakat, tokoh adat, atau tokoh
ulama. Karena mereka pada dasarnya memiliki kemampuan interpersonal
dan skill dalam menjalankan mediasi, karena mereka adalah para
pemimpin masyarakat.
Tugas mediator menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2016 pada Pasal 14 yaitu sebagai berikut:
1) Memperkenalkan diri dan memberi kesempatan kepada para pihak
untuk saling memperkenalkan diri
2) Menjalankan maksud, tujuan dan sifat mediasi kepada para pihak
3) Menjelaskan kedudukan dan peran mediator yang netral dan tidak
mengambil keputusan
4) Membuat aturan pelaksanaan mediasi bersama para pihak
5) Menjelaskan bahwa mediator dapat mengadakan pertemuan dengan
satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya (kaukus)
6) Menyusun jadwal mediasi bersama para pihak
7) Mengisi formulir jadwal mediasi
8) Memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan
permasalahan dan usulan perdamaian
9) Menginventarisasi permasalahan dan mengagendakan pembahasan
berdasarkan skala prioitas
53
106
Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam”, Jurnal Al-Qadau, vol.
2, No. 2, 2015, h. 150.
54
orang yang dituntut atau didakwa maka kes itu akan diadili oleh
Mahkamah Tempatan.
Sultan telah melakukan usaha penyempurnaan pemerintah, antara
lain dengan membentuk Majelis Agama Islam atas dasar Undang-undang
Agama dan Mahkamah Kadi tahun 1955. Majelis ini bertugas menasehati
sultan dalam masalah agama Islam. Langkah ini yang ditempuh sultan
adalah menjadikan Islam benar-benar berfungsi sebagai pandangan hidup
rakyat Brunei dan satu-satunya ideologi negara.109
Kekuasaan yang lebih luas lagi dalam bidang hukum diberikan
setelah adanya perjanjian tahun 1906. Dengan perjanjian tersebut Inggris
lebih leluasa mendapat kekuasaan yang luas untuk campur tangan dalam
urusan perundang-undangan, pentadbiran keadilan dan kehakiman, masalah
negara dan pemerintah kecuali dalam perkara-perkara agama Islam. Karena
Undang-undang adat dan kedudukan hukum syara dirasa tidak begitu jelas,
Kesultanan Brunei memberi petisi kepada Pesuruhjaya British pada 2 juli
1906 yang isinya menuntut:
a. Setiap kasus yang berkaitan dengan agama Islam diadili oleh hakim-
hakim setempat
b. Meminta agar adat-adat dan undang-undang setempat tidak dirombak,
dipindah dan dilanggar selama-lamanya.
Peraturan dan perundang-undangan di Brunei terus menerus
dirombak, seperti pada tahun 1912 Majlis Mesyuarat Negeri telah
mengundangkan Undang-undang Agama Islam yang dikenal dengan
“Muhammadans Law Enactment yang disempurnakan pada tahun 1913
dengan aturan yang dikenal dengan “Muhammadan’s Marriages and
Divorce Enactment”. Sampai yang terakhir yaitu dengan diundangkannya
Undang-undang Majlis Ugama, Adata Negeri dan Mahkamah Kadi tahun
1955, yang telah berlaku pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah tahun itu
109
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 110.
56
112
Moh. Afandi, “Hukum Perceraian di Indonesia: Studi Komparatif antara Fikih
Konvensional, UU Kontemporer di Indonesia dan Negara-negara Muslim Perspektif HAM dan
CEDAW”, Al-Ahwal, Vol. 7, No. 2, (2014), h. 195.
60
perceraian kepada kedua belah pihak.113 Hal ini tertuang di Perintah Darurat
(Undang-undang Keluarga Islam), 1999 pada Pasal 55 yaitu:
“Seseorang lelaki yang telah menceraikan isterinya dengan
melafazkan talaq dalam apa-apa bentuk di luar Mahkamah dan tanpa
kebenaran Mahkamah hendaklah, dalam tempoh tujuh hari dari talaq itu
dilafazkan, melaporkan lafaz talaq itu kepada Mahkamah”.
Selanjutnya Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam),
1999 pada Pasal 124 tentang hukuman bagi para pihak yang tidak
melaporkan talaknya kepada Mahkamah, yaitu:
“Seseorang lelaki yang menceraikan isterinya dengan melafazkan
talaq dengan apa-apa bentuk di luar Mahkamah tanpa kebenaran Mahkamah
adalah melakukan suatu kesalahan dan jika disabitkan kesalahan hendaklah
dihukum denda tidak melebihi dua ribu ringgit atau penjara tidak melebihi
enam bulan atau kedua-duanya sekali”.
c. Bentuk-bentuk Perceraian
Di dalam Undang-undang Negara Brunei Darussalam terdapat
beberapa bentuk-bentuk perceraian, yaitu sebagai berikut:
1) Talak
Peraturan di Negara Brunei tidak menjelaskan tentang apa
pengertian dari talak. Adapun di dalam Perintah Darurat (Undang-undang
Keluarga Islam), 1999 Pasal 42 menjelaskan tentang prosedur talak, yaitu
sebagai berikut:114
a) Seorang suami atau seseorang istri yang akan melakukan
perceraian, maka hendaknya menyerahkan suatu permohonan
perceraian kepada Mahkamah dalam formulir yang ditetapkan.
b) Setelah menerima suatu permohonan perceraian, Mahkamah akan
menyampaikan somasi kepada pihak termohon dengan salinan
permohonan tertulis yang dbuat oleh pemohon, dan somasi tersebut
disampaikan untuk menyampaikan pihak termohon agar hadir di
113
M. Atho’ Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, cet.1, h. 189.
114
Prosedur talak di Negara Brunei Darussalam. Sebagaimana diuraikan di atas, penulis
sari dari Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999 pada Pasal 42 ayat (1) –
ayat (10).
61
b) Talak raj’i adalah perceraian dengan 1 atau 2 talak yang mana tidak
diikuti dengan habis idah. Pada talak raj'i ini jika talak raj'i telah
berlaku dan si istri tidak mengetahuinya, akmaka suami tidak boleh
memintanya untuk rujuk seperti sedia kala tanpa menjatuhkan talak
terlebih dahulu. Hal ini terdapat pada Perintah Daurat (Undang-
undang Keluarga Islam), 1999, Pasal 52 ayat (6) yang berbunyi:
"Jika talaq raj'ie telah berlaku tanpa diketahui oleh isteri,
suami tidaklah boleh menghendaki atau meminta isteri supaya ruju'
semula dengannya tanpa menzahikan kepadanya hal perceraian
itu".
2) Cerai Talak Tebus (Khuluk)
Di Negara Brunei diberlakukan juga aturan yang menyatakan
cerai tebus talak. Yang mana jika istri menggugat cerai, Hakim akan
meminta penjelasan suami apakah dia mengizinkan perceraian tersebut
63
dan jika suami memberi izin, Hakim akan meminta kepada suaminya,
untuk mengucapkan cerai, segera didaftarakan dan mengeluarkan surat
cerai kepada keluarganya. Sebaliknya, jika suami tidak setuju, tetapi
keluarga istri setuju untuk bercerai dengan tebusan atau cerai tebus talak,
Hakim boleh membantu masalah pembayaran (tebusan) istri kepada
suami dengan status dan keluarga istri. Hakim pun akan meminta kepada
suami untuk mengucapkan cerai dengan tebusan,115 kemudian Hakim
akan menilai jumlah yang perlu dibayar sesuai degan taraf kemampuan
kedua belah pihak tersebut serta mendaftarkan perceraian itu.116 Hal
tersebut tertuang dalam Pasal 48 menyatakan bahwa,
a) Jika suami tidak bersetuju menjatuhkan talak dengan kerelaannya
sendiri, tetapi pihak-pihak itu bersetuju bercerai dengan cara tebus
talak (khulu’), Mahkamah hendaklah, selepas jumlah bayaran tebus
talak dipersetujui dan telah dijelaskan oleh pihak istri itu,
mengarahkan suami melafalkan perceraian dengan cara cerai tebus
talak dan perceraian itu adalah baain sughra.
b) Jika jumlah bayaran tebus talak tidak dipersetujui oleh pihak-pihak
itu, Mahkamah boleh mentaksirkan jumlah itu mengikut Hukum
Syara’ dengan memberi perhatian kepada taraf, sumber kewangan
pihak-pihak itu dan mas kawin. Jika Mahkamah telah menetapkan
jumlah tebus talak dan Mahkamah telah mengarahkan supaya
suami itu melafalkan talak dan didapati suami enggan berbuat
demikian, maka Mahkamah boleh menjatuhkan talak.
c) Mahkamah hendaklah merekodkan cerai tebus talak itu dengan
sewajarnya dan menghantar satu kalimat rekod itu yang diperakui
kepada Pendaftar yang berkenaan dan kepada Ketua Pendaftar
untuk didaftarkan.
115
Dedi Supriyadi, Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,
(Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009), h. 149.
116
M. Atho’ Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, cet.1, h. 190.
117
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1)
tentang Permulaan.
64
3) Mut’ah
Mut’ah adalah pemberian yang wajib ke atas suami kepada
jandanya mengikuti hukum syara’.118 Di dalam Undang-undang Negara
Brunei Darussalam telah dijelaskan tentang mut’ah bahwa, jika seorang
istri sudah diceraikan suaminya, si istri berhak untuk meminta mut’ah
kepada Mahkamah. Dalam pembagian mut’ah, Mahkamah
memerintahkan kepada suami untuk membayar sejumlah uang sesuai
dengan Hukum Syara’. Hal ini sesuai pada Undang-undang Negara
Brunei pada Pasal 57 yaitu sebagai berikut:
“selain dari haknya untuk memohon nafkah, seseorang
perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya boleh memohon
pemberian sagu hati (mut’ah) kepada Mahkamah, dan Mahkamah boleh,
selepas mendengar pihak-pihak itu dan apabila berpuas hati bahawa
perempuan itu telah diceraikan, memerintahkan suami supaya membayar
sejumlah wang sebagaimana yang mungkin wajar dan patut mengikut
Hukum Syara’”.
4) Rujuk
Pada Undang-undang Negara Brunei Darussalam, rujuk adalah
perkembangan seseorang perempuan yang ditalak oleh suaminya bukan
secara ba’in kepada nikah asal dengan tidak memerlukan nikah baru.119
118
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1)
tentang Permulaan.
119
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1)
tentang Permulaan.
66
b) Jika selepas talaq raj’i suami melafazkan ruju’ dan isteri telah
bersetuju terhadap ruju’ itu, isteri boleh, atas permohonan suami,
diperintahkan oleh Mahkamah supaya berbaik semula sebagai
suami isteri, melainkan jika isteri itu menunjukkan sebab-sebab
yang munasabah sebaliknya mengikut Hukum Syara’ dan, jika
demikian halnya, Mahkamah perkara itu kepada Pegawai Khidmat
Nasihat Keluarga.
e. Hakam (Arbitrator)
Undang-undang di Negara Brunei juga mengatur mengenai hakam
(arbitrator). Apabila selalu muncul masalah antara suami dan istri, maka
kadi bisa mengangkat seorang, dua orang pendamai atau hakam dari
keluarga yang dekat dari masing-masing pihak yang mengetahui
keadaanya.120 Undang-undang Negara Brunei mengatur bahwa, ketika
terjadi perceraian dan kedua pihak (suami istri) setuju untuk bercerai, dan
Pengadilan telah puas setelah melakukan penyelidikan bahwa
perkawinannya tersebut telah diputus dan tidak dapat dipersatukan lagi.
Maka tidak ada tahapan mediasi, karena diaturan tersebut setelah Pengadilan
yakin bahwa pernikahannya tidak dapat bersatu lagi, si suami diperintahkan
120
A. Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam”, Al-Qadau, Vol. 2,
No. 2, (2015), h. 157.
67
lagi atau bercerai apabila kedua hakam itu berpendapat demikian. Demikian
pula jika hakam berpendapat bahwa pihak-pihak ini layak bercerai tetapi
dengan tanpa adanya alasan untuk menyatakan perceraian, maka kadi akan
mengangkat hakam yang lain dan akan memberikan otoritas untuk
mempengaruhi perceraian.121
121
M. Atho’ Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, cet.1, h. 193.
BAB IV
122
Yayan Sopyan. Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), cet.1, h., 190.
123
Abdur Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 201.
69
70
125
ِ َسائِ ِل ُح ْك ُم ْال َمق
اص ِد َ ِل ْل َو
Artinya: Hukum wasilah atau sarana adalah sama dengan hukum tujuan.
124
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, cet.1, h., 193.
125
H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014),
cet.5, h., 96.
126
http://Konsultasi-hukum-online.com/2013/05/kaidah-kaidah-fiqhiyyah-tentang-
pencatatan-perkawinan-di-KUA-dan-perceraian-di-pengadilan-agama/
71
Perubahan hukum itu sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi suatu
zaman asalkan tetap dalam garis-garis ketentuan syariat yang telah ditetapkan.
Petunjuk tentang adanya perubahan itu termuat dalam kaidah fikih yang
berbunyi:
127
ان َ ْ ََليُ ْن َك َر تَغَي ُُّر
ِ اَل ْح َك ِام ِبتَغَي ُِّر الٌَ َم
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.
127
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar
Jaya Offset, 2004), cet.1, h. 192.
128
H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, h., 9.
72
Dalilnya adalah sebagaimana dalam firman Allah pada Q.s. al-Ahzab (33): 49:
129
H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, h. 19.
130
Abu Malik, Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Penerjemah: Darwis,
Derysmono, Shahih Fikih Sunnah (Jilid 4), (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2017), cet.2, h., 431.
73
131
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.2, h. 325.
74
suaminya yang dahulu itu, kecuali dengan kebenaran Hakim Srar’ie yang
mempunyai bidang kuasa di tempat di mana perempuan itu bermastautin”.
Peraturan tersebut sangat bertolak belakang dengan kesepakatan ulama
mazhab fikih bahwa wanita yang ditalak sebelum dicampuri dan sebelum
melakukan khalwat, tidak mempunyai idah. Dari kenyataan tersebut, dapatlah
penulis katakan bahwa sepertinya untuk aturan yang satu ini, Negara Brunei
sangat jauh melenceng dari substansi hukum yang ada dalam kitab fikih Syafi’i
yang menjadi kitab rujukan utamanya dan bahkan terhadap Q.s. Al-Ahzab yang
sudah dijelaskan terdahulu.
Menurut peneliti bahwa diberlakukannya idah bagi wanita yang dicerai
qabla al-dukhûl dalam peraturan Negara Brunei didasarkan atas pertimbangan
kemaslahatan. Karena kegadisan seorang wanita adalah hak sepenuhnya
seorang suami yang akhirnya menetapkan masa idah bagi istri yang dicerai
sebelum terjadi hubungan badan, sesuai hal tersebut terdapat kaidah fikih yang
berbunyi:
132
ع ْال َمَُا ِس ِد َ ب ْال َم
ُ ِا ِلُِ َوََ ْر ُ َج ْل
Artinya: Meraih kemaslahatan dan menolak kemudharatan.
Selain itu menurut Intan Cahyani pada jurnalnya yang berjudul Hukum
keluarga Islam di Brunei Darussalam, bahwa ditelusuri secara mendalam dalam
peraturan yang telah ada atau dalam hukum perceraian yang terdapat di Negara
Brunei Darussalam mengikuti hukum adat yang berlaku di masyarakat Negara
Brunei,133 padahal dalam hukum Islam, adat dapat dijadikan sebagai dalil
hukum, sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi:
134ٌ
العَاََة ُ ُم َح َّك َمة
Artinya: Adat dapat dijadikan (pertimbangan dalam menetapkan) hukum.
132
H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, h., 8.
133
Intan Cahyani, “Hukum Keluarga di Brunei Darussalam”, Jurnal Al-Qadau, vol. 2, no.
2, 2015, h., 156.
134
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, cet.1, h. 155.
75
3. Hakam (mediator)
َو ِإ ْن ِخ ُْت ُ ْم ِشقَاقَ َب ْي ِن ِه َما فَا ْب َعثُوا َح َك ًما ِم ْن أ َ ْه ِل ِه َو َح َك ًما ِم ْن أ َ ْه ِل َها ِإ ْن
ً ِع ِلي ًما َخب
ير َ َق اللَّهُ بَ ْينَ ُه َما ۗ إِ َّن اللَّهَ َكان
ِ ص ًَل ًحا ي َُو ِف
ْ ِي ُِريدَا إ
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
135
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’at, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 187.
136
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’at, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, h. 188.
76
Negara Brunei
No. Materi Mazhab Fikih Darussalam
Membolehkan cerai di
Tidak menentukan luar Pengadilan.
Syarat Sah Walaupun harus
1. dimana cerai harus
Perceraian mendaftarkan dalam
dilakukan.
jangka waktu 7 hari.
“Jika pihak yang satu lagi tidak bersetuju terhadap perceraian itu
atau jika Mahkamah berpendapat bahawa ada kemungkinan yang
munasabah bagi suatu perdamaian antara pihak-pihak itu, Mahkamah
bolehlah merujukkan kes itu kepada Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga”.
2. Perbedaan
Berikut akan dijelaskan beberapa perbedaan peraturan yang terdapat di
Indonesia dengan Negara Brunei Darussalam, yaitu sebagai berikut:
a. Tentang sahnya perceraian diluar Pengadilan. Di Indonesia tidak mengatur
tentang perceraian di luar Pengadilan karena perceraian di Indonesia hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan. Hal tersebut terdapat pada
Undang-undang Perkawinan Pasal 39 dan KHI Pasal 115. Sedangkan peraturan
79
Terdapat mediasi
Terdapat ketika salah satu Tidak ada
2. mediasi 2. Terdapat sanksi
pihak tidak sanksi
setuju bercerai
Tidak ada
idah cerai Ada idah cerai
3.
qabla al- qabla al-dukhûl
dukhûl
Tidak ada
Terdapat mediasi ketika
4.
mediasi semua pihak
setuju bercerai
Hakam atau
mediator
diangkat dari
Hakam atau
Pegawai
mediator
Khidmat
5. diangkat dari
Nasihat
mediator
Keluarga atau
bersertifikat
Keuarga dekat
(jika alasannya
syikak)
mendamaikan para pihak, jika perdamaian ini tidak berhasil maka barulah
hakim memeriksa perkara yang ada. Jika diteliti proses mediasi ini diadakan
agar para pihak mempertimbangkan akan perceraian tersebut. Hal ini tidak
terdapat di Negara Brunei karena di Negara Brunei mediasi hanya diadakan
apabila salah satu pihak tidak bersetuju atas perceraian tersebut.
Di sisi lain dalam menangani masalah perceraian Negara Brunei juga
mempunyai keunggulan. Keunggulan di Negara Brunei terdapat pada sanksi
perceraian, sebagaimana jika terdapat para pihak yang melakukan perceraian di
luar Pengadilan dan dalam selama 7 (tujuh) hari tidak mendaftarkan lafaz cerai
itu kepada Pengadilan. Sanksi tersebut berupa membayar maksimal 2 (dua)
ringgit atau di penjara maksimal 6 (enam) bulan lamanya. Begitu juga jika
terdapat salah satu pasangan meningggalkan pasangannya dan apabila
terjadinya penganiayaan dari salah satu pihak, maka akan mendapat hukuman
yang sama. Hukuman denda tersebut diadakan agar para pihak jera dan tidak
akan melakukannya. Hal tersebut tidak dilakukan di Indonesia.
Selanjutnya dari kedua negara tersebut sama dan masih terikat dengan
fikih mazhab Syafi’i, namun melakukan beberapa modifikasi dalam beberapa
hal.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
83
84
a. Persamaan
Indonesia dan Negara Brunei sama-sama harus mendaftarkan
perceraian di Pengadilan, hanya saja di Negara Brunei perceraian boleh
didaftarkan selama jangka waktu 7 hari setelah menjatuhkan perceraian di
luar Pengadilan. Selanjutnya dalam mengatur tentang hakam atau mediator
Indonesia dan Negara Brunei sama-sama terdapat peran hakam dalam
perceraian, walaupun di Negara Brunei adanya peran hakam jika salah satu
pihak tidak setuju dengan perceraian.
b. Perbedaan
Di Indonesia perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan,
tetapi di Negara Brunei memperbolehkan melakukan perceraian di luar
Pengadilan. Berbeda juga dalam mengatur tentang masa idah qabla al-
dukhûl, Indonesia tidak ada idah qabla al-dukhûl, sedangkan di Negara
Brunei terdapat idah qabla al-dukhûl. Ketentuan di Indonesia hakam atau
mediator diwajibkan yang memiliki sertifikat, sedangkan di Brunei hakam
atau mediator boleh dari pihak keluarga. Di Indonesia tidak terdapat sanksi
pada peraturan perceraian, sedangkan di Negara Brunei terdapat sanksi jika
melanggar peraturan yang sudah diatur di Undang-undang Negara Brunei.
Selanjutnya di Indonesia dalam perceraian wajib mengikuti proses mediasi,
sedangkan di Negara Brunei terdapat mediasi hanya jika salah satu pihak
tidak bersetuju dengan perceraian.
3. Apabila dilakukan perbandingan secara diagonal maka,
a. Indonesia mempunyai keunggulan dalam hal perceraian yang harus
dilakukan di depan sidang Pengadilan, karena hal tersebut dapat
mempersulit dalam melakukan perceraian. Di sisi lain Negara Brunei
juga memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh Indonesia, Negara
Brunei terdapat sanksi, jika tidak mendaftarkan perceraiannya di
Pengadilan. Sedangkan Indonesia tidak terdapat sanksi.
b. Dalam ketentuan perceraian, kedua negara tersebut sama dan masih
terikat dengan fikih mazhab Syafi’i, namun melakukan modifikasi
beberapa hal.
85
B. Saran
Semoga skripsi ini dapat menjadi masukan yang membangun dan dapat
diterima. Adapun saran lainnya yang dapat penulis berikan sebagai berikut:
86
87
Datin Dr Hajah Saadiah binti Datu Derma Wijaya Haji Tamit, Instituti
Keluarga dan Undang-Undang. Bandar Seri Begawan: Pusat Da’wah
Islamiah, 2012.
Djalil, A. Basiq, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqih dan
Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Qolbun Salim, 2005.
Ghozali, Abdur Rahman, Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2003.
H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan masalah-masalah yang praktis. cet.5. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014.
Ibnu Rusyd, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid Jilid 2, Penerjemah
Abdul Rasyad Shiddiq, Jakarta, 2013.
Indar, “Iddah dalam Keadilan Gender”, Pusat Studi Gender STAIN
Purwokerto, vol.5, no.1, Januari-Juni, 2010.
Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam”, Jurnal Al-
Qadau, vol. 2, No. 2, 2015.
Kharlie, Ahmad Tholabi, Hukum Keluarga Indonesia. cet.1. Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Malik, Abu, Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahîh Fikih Sunnah, Penerjemah:
Darwis, Derysmono, Shahih Fikih Sunnah (Jilid 4), Jakarta: Darus
Sunnah Press, 2017.
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group,
2016.
Moh. Afandi, “Hukum Perceraian di Indonesia: Studi Komparatif antara
Fikih Konvensional, UU Kontemporer di Indonesia dan Negara-negara
Muslim Perspektif HAM dan CEDAW”, Al-Ahwal, vol. 7, No. 2. 2014.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fikih Lima Mazhab, diterjemahkan oleh
Masykur A.B, Cet.IV. Jakarta: Lentera Basritama, 1999.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia. Bandar Lampung: PT
Citra Aditya Bakti, 2010.
Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta:
Bulan Bintang, 1974.
88
2. Peraturan Perundang-Undangan
3. Website