Anda di halaman 1dari 7

bio zoologi

Selasa, 05 Januari 2010

Tahapan pembuatan sarang laba-laba

Laba-laba adalah sejenis hewan berbuku-buku (arthropoda) dengan dua segmen tubuh, empat pasang
kaki, tak bersayap dan tak memiliki mulut pengunyah. Laba-laba merupakan hewan pemangsa
(karnivora), bahkan kadang-kadang kanibal. Mangsa utamanya adalah serangga. Hampir semua jenis
laba-laba, dengan perkecualian sekitar 150 spesies dari suku Uloboridae dan Holarchaeidae, dan
subordo Mesothelae, mampu menginjeksikan bisa melalui sepasang taringnya kepada musuh atau
mangsanya. Meski demikian, dari puluhan ribu spesies yang ada, hanya sekitar 200 spesies yang
gigitannya dapat membahayakan manusia (Anonim, 2009).

Tidak semua laba-laba membuat jaring untuk menangkap mangsa, akan tetapi semuanya mampu
menghasilkan benang sutera yakni helaian serat protein yang tipis namun kuat dari kelenjar (disebut
spinneret) yang terletak di bagian belakang tubuhnya. Serat sutera ini amat berguna untuk membantu
pergerakan laba-laba, berayun dari satu tempat ke tempat lain, menjerat mangsa, membuat kantung
telur, dan melindungi lubang sarang (Anonim, 2009).

Tidak seperti seperti serangga yang memiliki tiga bagian tubuh, laba-laba hanya memiliki dua bagian
tubuh. Segmen bagian depan disebut cephalothorax atau prosoma, yang sebetulnya merupakan
gabungan dari kepala dan dada (thorax). Sedangkan segmen bagian belakang disebut abdomen (perut)
atau opisthosoma. Antara cephalothorax dan abdomen terdapat penghubung tipis yang dinamai pedicle
atau pedicellus. Pada cephalothorax melekat empat pasang kaki, dan satu sampai empat pasang mata.
Selain sepasang rahang bertaring besar (disebut chelicera), terdapat pula sepasang atau beberapa alat
bantu mulut serupa tangan yang disebut pedipalpus. Pada beberapa jenis laba-laba, pedipalpus pada
hewan jantan dewasa membesar dan berubah fungsi sebagai alat bantu dalam perkawinan. Laba-laba
tidak memiliki mulut atau gigi untuk mengunyah. Sebagai gantinya, mulut laba-laba berupa alat pengisap
untuk menyedot cairan tubuh mangsanya (Anonim, 2009).

Mata pada laba-laba umumnya merupakan mata tunggal (mata berlensa tunggal), dan bukan mata
majemuk seperti pada serangga. Kebanyakan laba-laba memiliki penglihatan yang tidak begitu baik, tidak
dapat membedakan warna, atau hanya sensitif pada gelap dan terang. Laba-laba penghuni gua bahkan
ada yang buta. Perkecualiannya terdapat pada beberapa jenis laba-laba pemburu yang mempunyai
penglihatan tajam dan bagus, termasuk dalam mengenali warna. Untuk menandai kehadiran mangsanya
pada umumnya laba-laba mengandalkan getaran, baik pada jaring-jaring suteranya maupun pada tanah,
air, atau tempat yang dihinggapinya. Ada pula laba-laba yang mampu merasai perbedaan tekanan udara.
Indera peraba laba-laba terletak pada rambut-rambut di kakinya (Anonim, 2009).

Laba-laba penenun (misalnya anggota suku Araneidae) membuat jaring-jaring sutera berbentuk kurang
lebih bulat di udara, di antara dedaunan dan ranting-ranting, di muka rekahan batu, di sudut-sudut
bangunan, di antara kawat telepon, dan lain-lain. Jaring ini bersifat lekat, untuk menangkap serangga
terbang yang menjadi mangsanya. Begitu serangga terperangkap jaring, laba-laba segera mendekat dan
menusukkan taringnya kepada mangsa untuk melumpuhkan dan sekaligus mengirimkan enzim pencerna
ke dalam tubuh mangsanya. Laba-laba pemburu (seperti anggota suku Lycosidae) biasanya lebih aktif.
Laba-laba jenis ini biasa menjelajahi pepohonan, sela-sela rumput, atau permukaan dinding berbatu
untuk mencari mangsanya. Laba-laba ini dapat mengejar dan melompat untuk menerkam mangsanya
(Anonim, 2009).

Bisa yang disuntikkan laba-laba melalui taringnya biasanya sekaligus mencerna dan menghancurkan
bagian dalam tubuh mangsa. Kemudian perlahan-lahan cairan tubuh beserta hancuran organ dalam itu
dihisap oleh pemangsa. Berjam-jam laba-laba menyedot cairan itu hingga bangkai mangsanya
mengering. Laba-laba yang memiliki rahang (chelicera) kuat, bisa lebih cepat menghabiskan makanannya
dengan cara merusak dan meremuk tubuh mangsa dengan rahang dan taringnya itu. Tinggal sisanya
berupa bola-bola kecil yang merupakan remukan tubuh mangsa yang telah mengisut. Beberapa laba-
laba penenun memiliki kemampuan membungkus tubuh mangsanya dengan lilitan benang-benang
sutera. Kemampuan ini sangat berguna terutama jika si mangsa memiliki alat pembela diri yang
berbahaya, seperti lebah yang mempunyai sengat atau jika laba-laba ingin menyimpan mangsanya
beberapa waktu (Anonim, 2009).

Dari penelitian yang dilakukan Vollrath (1998), laba-laba mengeraskan suteranya dengan
mengasamkannya. Vollrath memusatkan penelitiannya pada laba-laba taman yang dikenal sebagai
Araneus diadematus, dan memeriksa saluran yang dilalui sutera sebelum keluar dari tubuhnya. Sebelum
memasuki saluran ini, sutera terdiri dari protein-protein sutera. Di dalam saluran ini, sel-sel khusus
mengeluarkan air dari protein-protein sutera tersebut. Atom-atom hidrogen yang diambil dari air
tersebut dipompakan ke bagian lain dari saluran dan menghasilkan bak asam. Ketika protein-protein
sutera bersentuhan dengan asam tersebut, protein-protein ini melipat dan saling membentuk jembatan-
jembatan yang mengeraskan suteranya. Agar sutera terbentuk, diperlukan bahan-bahan lain dengan
segudang sifat yang beragam (Yahya, 2004).

Menurut Scheibel (2004), kelenjar sutera menghasilkan suatu transisi dari 'gel' yang disimpan ke serabut
padat akhir. Gel yang dihasilkan oleh kelenjar dimasukkan ke dalam spinneret. Laba-laba memiliki
delapan spinneret, pada umumnya tersusun berpasangan. Tekanan serabut protein di dalam suatu
lingkungan mengandung air dikenal sebagai ' wet-spinning'. Proses ini mampu memproduksi serabut
sutera dengan diameter 2.5-4 m pada laba-laba alami. Spinneret pada laba-laba merupakan suatu bagian
yang sangat maju sebagai alat untuk mengorganisir protein sutera. Secara rinci, spinneret menciptakan
suatu gradien konsentrasi protein, pH, dan tekanan, yang mendorong protein sutera dalam bentuk gel
untuk menjadi fase kristal. Permulaan kelenjar pada spinneret kaya akan thiol dan tyrosine. Ketika proses
pembuatan sutera mulai, ampulla bertindak sebagai suatu kantung (gudang penyimpanan) untuk
serabut yang baru dihasilkan. Dari bagian ampulla, memutar saluran pipa yang secara efektif
memindahkan air dari sutera yang dihasilkan. Pengeluaran sutera pada ujung distal saluran pipa, dan
terdapat suatu klep. Klep tersebut berfungsi untuk membantu menggabungkan lagi sutera yang patah
atau rusak.
Spinneret pada Araneus diadematus terdiri dari beberapa kelenjar, yaitu sebagai berikut:

 500 buah glandulae piriformes, berfungi untuk penunjuk pemasangan jaring.

 4 buah glandulae ampullaceae, berfungsi untuk menghasilkan bingkai jaring.

 300 buah glandulae aciniformes, untuk lapisan kantung telur yang luar dan untuk memperdaya
mangsa.

 4 glandulae tubuliformes, untuk sutera kantung telur.

 4 glandulae aggregatae, berfungsi sebagai lem untuk saling menempelkan jaring.

 2 glandulae coronatae, berfungsi sebagai lem dalam bentuk benang (Anonim, 2009).

Beberapa jenis laba-laba mempunyai kelenjar yang berbeda-beda untuk menghasilkan sutera, misalnya
untuk konstruksi sarang, pertahanan terhadap predator, menangkap mangsa, atau mobilitas. Komponen
dan material sutera berbeda-beda antara satu bentuk dengan bentuk yang lain, disesuaikan khusus
untuk penggunaannya agar optimal. Sebagai contoh, Argiope argentata mempunyai lima jenis sutera
yang berbeda, masing-masing jenis sutera untuk suatu tujuan yang berbeda, yaitu:

 Dragline sutera, digunakan untuk komunikasi dan sarang. Memiliki ciri sekuat baja dan tahan lama.

 Capture spiral sutera, yang digunakan untuk menangkap mangsa, memiliki ciri lengket, sangat kuat dan
elastis.

 Tubiliform sutera, digunakan dalam pembuatan kantung telur. Bersifat melindungi, terdiri dari sutera
paling kaku.

 Aciniform sutera, digunakan untuk menangkap dan membungkus mangsa. Memiliki ciri 3 kali lebih kuat
daripada sutera yang lain.

 Minor ampullate sutera, digunakan untuk perancah selama pembuatan konstruksi jaring (Tadashi, dkk.,
2004).

7 tahapan laba-laba membuat sarang, yaitu:

1. Laba-laba menghasilkan satu benang ulir yang lengket pada bagian ujungnya dan membiarkannya
tertiup angin sampai menempel pada suatu tempat. Setelah benang pertama menempel pada suatu
tempat, laba-laba menyeberang melewati benang dan menguatkan benang jembatan dengan benang
ulir sampai benar-benar kuat.

2. Selanjutnya, dari benang jembatan dibuat suatu konstruksi yang berbentuk seperti huruf Y. Konstruksi
ini berfungsi sebagai garis radial pertama untuk konstruksi dasar sarang.

3. Konstruksi seperti huruf Y dikelilingi oleh benang bingkai. Benang bingkai ini berfungsi sebagai benang
penahan beban dan benang yang mempertahankan struktur jaring.
4. Langkah selanjutnya yaitu menambah garis radial lain diantara garis radial pertama yang saling
berdekatan, sampai memenuhi sarang. Laba-laba menggunakan panjang kakinya untuk menandai jarak
antar garis, sehingga garis radial yang dihasilkan berjarak hampir sama.

5. Setelah benang radial lengkap, laba-laba memintal benang ulir yang tersusun melingkar pada pusat
sarang. Hal ini bertujuan untuk saling menguatkan antar benang-benang radial. Laba-laba menggunakan
bagia kaki belakangnya untuk membantu memintal benang.

6. Laba-laba membuat benang ulir yang tersusun melingkar yang dibuat bertolak dari dalam keluar.
Benang ulir yang disusun ini merupakan benang ulir yang tidak lengket dan jarak antar lingkaran lebar,
tersusun seperti bentuk spiral.

7. Setelah benang ulir melingkar pertama selesai, dilanjutkan dengan membuat benang ulir kedua.
Benang ulir melingkar kedua merupakan benang yang sangat lengket. Benang ulir ini dibuat dari arah
luar ke dalam. Sehingga jarak antar lingkaran sekarang menjadi semakin sempit.

Lama waktu yang digunakan laba-laba untuk membuat sarang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan
karena tingkat kerumitan dari masing-masing sarang yang dibuat dan ukuran diameter sarang juga
berbeda. Apabila sarang yang dibuat merupakan struktur 2 dimensi dan berukuran kecil, maka waktu
yang digunakan untuk pembuatan sarang juga semakin cepat daripada struktur sarang yang 2 dimensi
tetapi berukuran besar. Begitu juga apabila struktur sarang yang dibuat tiga dimensi, semakin rumit
struktur tiga dimensi yang dibuat dan semakin besar ukurannya, maka waktu yang digunakan untuk
membuat sarang juga semakin lama. Hal tersebut terbukti dari hasil pengamatan dari kedua jenis laba-
laba yang membuat sarang, waktu yang digunakan untuk membuat sarang hampir sama, yaitu pada
laba-laba spesies 1 selama 30 menit dan laba-laba spesies 2 selama 27 menit. Namun, hasil sarang yang
dibuat berbeda, pada laba-laba spesies 1 menghasilkan sarang dengan struktur 2 dimensi dan berukuran
besar. Sedangkan laba-laba spesies 2 menghasilkan struktur sarang 3 dimensi namun berukuran kecil.
Karena strukur yang dibuat oleh laba-laba spesies 2 lebih rumit daripada sarang yang dibuat oleh laba-
laba spesies, meskipun ukurannya lebih kecil daripada sarang laba-laba spesies1waktu yang digunakan
untuk membuat sarang juga lama.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi laba-laba dalam hal pemilihan lokasi untuk membuat sarang.
Menurut Uetz (1991), struktur fisik habitat menjadi pertimbangan pertama bagi laba-laba pembuat
jaring untuk menginvasi suatu habitat selain faktor lain seperti ketersediaan mangsa pada habitat
tersebut. Struktur fisik habitat secara garis besar meliputi keragaman tipe habitat, dan arsitektur
vegetasi. Menurut Suana dan Haryanto (tanpa tahun), dalam penelitiannya yang berkaitan dengan
keanekaragaman laba-laba pada ekosistem sawah monokultur dan polikultur, keragaman tipe habitat
dicontohkan dari kedua ekosistem sawah yang digunakan, yaitu monokultur dan polikultur. Ekosistem
sawah polikultur lebih banyak menyediakan beragam tipe habitat daripada ekosistem sawah monokultur,
sehingga semakin banyak spesies laba-laba dapat berkoeksistensi di dalamnya. Habitat pinggir (edge
habitat) yang terdiri atas rerumputan serta semak-semak pada ekosistem sawah polikultur diduga turut
mempengaruhi keberadaan laba-laba pada ekosistem tersebut. Perbedaan arsitektur vegetasi
dicontohkan bahwa padi yang ditanam pada ekosistem sawah polikultur, lebih memiliki habitus tinggi
dan rumpunnya tidak terlalu rapat. Sedangkan pada ekosistem sawah monokultur, padi yang ditanam
memiliki habitus pendek serta pertumbuhan rumpunnya sangat rapat, sehingga jarak antar tanaman
lebih sempit. Menurut Rypstra (1983) dalam Suana dan Haryanto (tanpa tahun), laba-laba pembuat
jaring lebih menyukai rumpun padi yang tidak terlalu rapat karena tersedia cukup ruang untuk
menempatkan jaring perangkapnya. Dari hal tersebut terlihat bahwa struktur fisik habitat mempunyai
peranan penting dalam pemilihan habitat oleh laba-laba, khususnya bagi laba-laba pembuat jaring.

Berdasarkan dari hasil pengamatan, selain faktor keragaman tipe habitat, arsitektur vegetasi, dan
ketersediaan mangsa, faktor lain yang mempengaruhi laba-laba dalam pembuatan jaring yaitu arah angin
dan predator. Dari hasil pengamatan, ketika laba-laba akan membuat sarang, laba-laba akan melepaskan
satu helai benang sutera yang nantinya akan digunakan sebagai benang jembatan. Benang pertama ini
akan tertiup angin dan pada akhirnya akan menempel pada suatu ranting atau daun. Ketika benang
tersebut menempel pada suatu tempat dan arah benang jembatan sejajar dengan arah angin, maka
pembuatan sarang atau jaring akan dilanjutkan, namun ketika arah dari benang jembatan tegak lurus
dengan arah angin, maka laba-laba tidak melanjutkan pembuatan sarang, melainkan mencari lokasi lain
yang lebih terlindung dari tiupan angin. Hal ini bertujuan meskipun benang laba-laba kuat dan elastis,
ketika tiupan angin yang kuat terjadi secara terus-menerus, maka kemungkinan jaring untuk robek juga
semakin besar. Begitu juga dengan faktor predator, apabila pada suatu habitat jumlah predator lebih
banyak, misalnya burung atau predator yang lain, laba-laba tidak akan membuat sarang dihabitat
tersebut meskipun faktor yang lain mendukung. Kecuali suatu spesies laba-laba memiliki suatu penanda
khusus pada sarangnya agar predator tidak mendekati sarang, misalnya pada laba-laba jenis Argiope
yang menghias bagian pusat sarang dengan membentuk pola ekstra berbentuk lingkaran yang bergerigi
dan berwarna putih tebal. Pola ekstra ini dibuat supaya ketika laba-laba berada pada titik pusat sarang,
terlihat tubuhnya memelar, sehingga tersamar dari predator (Juandry, 2009).

Laba-laba yang termasuk ke dalam anggota suku Araneidae, semuanya membuat jaring untuk
menangkap mangsa yang terletak pada ranting pohon, rerumputan, rekahan batu atau pojokan
bangunan. Namun, tidak semua jenis laba-laba memiliki pola struktur jaring yang sama. Misalnya dari
hasil pengamatan yang dilakukan, terdapat 2 spesies laba-laba yang memiliki pola struktur jaring yang
berbeda, pada laba-laba spesies 1 memiliki pola struktur jaring 2 dimensi. Sedangkan laba-laba spesies 2
memiliki pola struktur jaring 3 dimensi. Namun, kami belum dapat mengidentifikasi nama ilmiah dari
kedua spesies laba-laba yang kami amati. Meskipun dari kedua spesies laba-laba tersebut memiliki
perbedaan pola jaring, namun pada dasarnya juga memiliki struktur yang sama, yaitu pola perulangan-
perulangan yang tampak dari setiap ruasnya bertemu pada pusat jaring sebagai pusat perhatian, yang
digunakan untuk menarik perhatian mangsa. Jika dilihat sepintas, memang sarang laba-laba terlihat
simetris, namun jika diperhatikan lebih lanjut, akan terlihat keragaman ukuran yang membuat desain
dari jaring tersebut terlihat dinamis namun tetap membentuk satu kesatuan. Menurut Uetz (1991),
terdapat beberapa pola jaring laba-laba yang pada umumnya adalah struktur dua dimensi dapat
bertransformasi menjadi struktur jaring tiga dimensi. Namun, meskipun struktur jaring telah mengalami
transformasi, antara satu spesies dengan spesies yang tetap dapat dibedakan berdasarkan pola struktur
jaring dua dimensi. Adapun bentuk dari sarang laba-laba tampak serupa kubah, bola, corong, ikan pari
atau kurva-kurva yang menggantung di sela-sela tanaman.
Berdasarkan penelitian yan dilakukan oleh Jelinski dan koleganya dari Cornell University, Itacha, New
York, ditemukan bahwa jaring laba-laba yang diproduksi dari tubuh binatang itu sendiri, terbuat dari
molekul-molekul berbentuk serat, yang tersusun dari residu asam amino glisin 42%, alanin 25%, dan 33%
sisinya glutamin, serin dan triosin. Analisis Resonansi Magnetik Serat terhadap jaring laba-laba yang
mengandung 40% alanin menunjukkan suatu struktur yang terorganisir sangat rapi seperti kristal. Jaring
laba-laba ternyata tahan air dan memiliki 5 kali lebih besar dari pada baja dengan ukuran sama, dan 2
kali lentur daripada serat nilon. Menurut Scheibel (2004), benang sutera laba-laba dibuat oleh kelenjar
sutera yang menghasilkan suatu transisi dari 'gel' yang disimpan ke serabut padat akhir. Gel yang
dihasilkan oleh kelenjar dimasukkan ke dalam spinneret dan terjadi proses wet-spinning. Proses ini
mampu memproduksi serabut sutera dengan diameter 2.5-4 m pada laba-laba alami. Spinneret pada
laba-laba merupakan suatu bagian yang sangat maju sebagai alat untuk mengorganisir protein sutera.
Secara rinci, spinneret menciptakan suatu gradien konsentrasi protein, pH, dan tekanan, yang
mendorong protein sutera dalam bentuk gel untuk menjadi fase kristal. Permulaan kelenjar pada
spinneret kaya akan thiol dan tyrosine. Ketika proses pembuatan sutera mulai, serabut sutera yang baru
terbentuk disimpan di dalam ampula. Dari bagian ampula, memutar saluran pipa yang secara efektif
memindahkan air dari sutera yang dihasilkan. Tiap ujung sisir yang dikenal sebagi cerat pemintal ditutupi
oleh ratusan spigot. Sutera cair yang dihasilkan kelenjar-kelenjar dalam perut laba-laba, dikeluarkan dari
tubuh melalui cerat tersebut dan dipintal dalam bentuk sutera.Pengeluaran sutera pada ujung distal
saluran pipa terdapat suatu klep. Klep tersebut berfungsi untuk membantu menggabungkan kembali
apabila terdapat sutera yang patah atau rusak. Sehingga dengan mekanisme tersebut, apabila jaring
rusak, maka laba-laba dapat mencerna kembali benang penyusun sarang yang rusak untuk diolah
kembali menjadi benang sarang yang baru.

Indera penglihatan laba-laba pada umumnya tidak berkembang, sehingga laba-laba hanya dapat melihat
pada jarak yang cukup dekat. Namun, meskipun laba-laba memiliki pengihatan yang lemah, indera
peraba pada laba-laba sangat berkembang menggantikan fungsi indera penglihatan untuk mendeteksi
keadaan disekitarnya. Indera peraba tersebut berupa rambut-rambut sangat sensitive terhadap getaran
yang terdapat pada permukaan tubuhnya. Setiap rambut terhubung ke ujung syaraf. Getaran-getaran
akibat sentuhan, atau bahkan suara dan bau, dapat merangsang rambut-rambut ini. Getaran dari
rambut-rambut tersebut selanjutnya mengaktifkan ujung-ujung syaraf yang terhubung ke otak untuk
menyampaikan pesan. Dengan cara ini laba-laba dapat waspada bahkan terhadap getaran paling kecil
sekalipun. Selain itu, pada rambut kaki laba-laba terdapat sistem pengindera lain yang sensitif terhadap
temperatur. Juga ada bintik-bintik pitak di permukaan tubuhnya dengan ujung syaraf yang sangat sensitif
di bawahnya. Karena semuanya ini, laba-laba dapat merasakan setiap gerakan yang terjadi di sekitarnya,
atau setiap benda yang mendekatinya, bahkan yang terjadi pada kulitnya sendiri (Anonim, 2009).

Untuk mengetahui apakah pada jaring terdapat mangsa atau tidak, laba-laba dapat mendeteksi
keberadaan mangsanya dengan cara mendeteksi getaran-getaran yang disebabkan oleh mangsa. Jika
mangsa tidak melakukan suatu gerakan, hal tersebut mempersulit laba-laba untuk mendeteksi posisi
mangsa, untuk itu laba-laba melakukan gerakan mengetuk-ngetuk dan dengan menggoyangkan
jaringnya. Dari getaran-getaran yang dihasilkan, ia dapat menentukan lokasi mangsanya. Getaran pada
jaring diterima oleh rambut-rambut peraba yang terdapat pada organ kaki yang disebut “scopula”.
Rambut-rambut ini berongga dan kaku. Laba-laba dapat mengindera getaran yang timbul dari sumber
getaran hingga sejauh satu meter. Ketajaman indera laba-laba terhadap getaran sangat tinggi, sehingga
laba-laba dapat mengetahui apakah sumber getaran itu berasal dari mangsa yang tertangkap jaring,
predator, ataukah laba-laba yang akan kawin.

DAFTAR RUJUKAN

Anonim. 2009. Laba-Laba. (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Laba-laba, diakses tanggal 5 Desember


2009)

Anonim. 2009. Spider silk. (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/Spider_silk, diakses tanggal 5


Desember 2009)

Juandry. 2009. Pola Jaring Laba-Laba Unik. (Online), (http://lh5.ggpht.com/_iRCt-


m6tg6Y/StSfpO6kROI/AAAAAAAAL5Y/qM3O67njA8U/laba-laba-01.jpg, diakses tanggal 4 Desember
2009)

Miyashita, Tadashi, dkk. 2004. Silk feeding as an alternative foraging tactic in a kleptoparasitic spider
under seasonally changing environments. (Online),
(http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract;jsessionid=E5F9929D3300E3C4E54DF68FB169AD
62.tomcat1?fromPage=online&aid=204739, diakses tanggal 5 Desember 2009)

Scheibel, T. 2004. Spider silks: Recombinant Synthesis, Assembly, Spinning, and Engineering of Synthetic
Proteins. (Online), (http://hubcap.clemson.edu/~ellisom/biomimeticmaterials/files/spiderbiology.htm,
diakses tanggal 5 Desember 2009)

Suana dan Haryanto. Tanpa tahun. Keanekaragaman Laba-Laba Pada Ekosistem Sawah Monokultur dan
Polikultur di Pulau Lombok. (Online), (http://naskah suana laba-laba_1_rtf.pdf, diakses tanggal 4
Desember 2009)

Susilowati, dkk. 1999. Petunjuk Praktikum Tingkah Laku Hewan. Malang: FMIPA UM

Susilowati, dan Rahayu Sofia Ery. 2007. Petunjuk Kegiatan Praktikum Tingkah Laku Hewan. Malang:
FMIPA UM

Uetz, G.W. 1991. Habitat Structure and Spider Foraging. London: Chapman & Hall.

Yahya, Harun. 2004. Keajaiban Laba-Laba. (Online), (http://www.keajaibanlabalaba.com/, diakses tanggal


5 Desember 2009)

lya vita di 01.10

Anda mungkin juga menyukai