Anda di halaman 1dari 39

Laporan Kasus

BRONKOPNEUMONIA

Oleh:

Elizza Stella Beladina, S.Ked 04054821820087

Pembimbing:
dr. Isnada, Sp.A.

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. H. MOHAMMAD RABAIN MUARA ENIM
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

BRONKOPNEUMONIA

Oleh:
Elizza Stella Beladina, S.Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
kepaniteraan klinik di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Mohammad
Rabain Muara Enim periode 2 September 2019 – 8 November 2019.

Palembang, Oktober 2019


Pembimbing

dr. Isnada, Sp.A.

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Bronkopneumonia” sebagai salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Umum Daerah H. M. Rabain Muara Enim.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Isnada, Sp.A selaku
pembimbing laporan kasus ini yang telah memberikan bimbingan dan nasihat
dalam penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar laporan kasus ini menjadi lebih baik. Harapan penulis semoga
laporan kasus ini bisa membawa manfaat bagi semua orang dan dapat digunakan
dengan sebaik-baiknya.

Palembang, Oktober 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii


KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II. STATUS PEDIATRIK .............................................................................. 2
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 12
BAB IV. ANALISIS KASUS ............................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 34

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Bronkopneumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang terjadi


pada bronkus sampai dengan alveolus paru. Bronkopneumonia dapat terjadi pada
semua usia, meskipun lebih sering terjadi pada anak-anak yang lebih muda dan
bayi, biasanya sering disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae yang sering ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi.
Pneumonia komunitas (CAP, Community-acquired pneumonia) tetap menjadi
penyebab penting morbiditas dan mortalitas di negara industri dan berkembang. 1
WHO memperkirakan rata-rata kejadian pneumonia klinis global adalah 0,28
episode per anak-tahun. Ini sama dengan kejadian tahunan 150,7 juta kasus baru,
di mana 11-20 juta (7-13%) cukup parah sehingga harus dirawat di rumah sakit.
Sembilan puluh lima persen dari semua episode pneumonia klinis pada anak-anak
di seluruh dunia terjadi di negara-negara berkembang. Sekitar 150 juta kasus
pneumonia baru terjadi setiap tahun di antara anak-anak di bawah 5 tahun di
seluruh dunia, terhitung sekitar 10-20 juta rawat inap. Pneumonia menyumbang
13% dari semua penyakit menular pada bayi di bawah 2 tahun. Dalam sebuah
studi berbasis komunitas besar yang dilakukan oleh Denny dan Clyde, tingkat
kejadian pneumonia tahunan adalah 4 kasus per 100 anak dalam kelompok usia
prasekolah, 2 kasus per 100 anak usia 5-9 tahun, dan 1 kasus per 100 anak usia 9-
15 tahun.Berdasarkan data WHO, kejadian infeksi pneumonia di Indonesia pada
balita diperkirakan antara 10-20% pertahun.2
Bronkopneumonia merupakan masalah kesehatan yang mencolok dengan
tingginya angka kejadian dan banyaknya dampak yang ditimbulkan terutama pada
mortalitas dan morbiditas di Indonesia. Hal ini menarik minat penulis untuk
menulis laporan kasus tentang bronkopneumonia.1

1
BAB II
STATUS PEDIATRIK

I. IDENTIFIKASI
Nama : An. DAM
Umur : 7 bulan/ 05 Maret 2019
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama ayah :Tn. A
Nama ibu : Ny. M
Suku : Sumatera Selatan
Alamat : Muara Enim
No. Rekam Medik : 254166
MRS : 13 Oktober 2019 (09:58 WIB)

II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dilakukan tanggal 14 Oktober 2019 pukul 07.15 WIB di ruang
rawat anak RSUD H. M. Rabain Muara Enim), diberikan oleh orangtua
kandung pasien.
Keluhan utama : Sesak napas
Keluhan tambahan : Batuk
Riwayat Perjalanan Penyakit
± 4 hari SMRS, anak tampak sesak napas disertai batuk kering kadang
disertai dahak warna jernih. Sesak nafas dirasakan baru beberapa hari ini,
tidak memberat pada pagi atau malam hari dan tidak dipengaruhi oleh adanya
aktivitas maupun cuaca. Sesak tidak mereda dengan perubahan posisi seperti
duduk. Nafsu makan dan ASI berkurang. Anak juga mengalami demam tinggi,
terus menerus, suhu tidak diukur beberapa hari ini. Keluhan sering berkeringat
disangkal. Penurunan berat badan maupun berat badan tidak naik disangkal.
Pasien dibawa ke Puskesmas setempat, diberikan obat batuk, obat demam dan
antibiotik, keluhan membaik.
± 1 hari SMRS, pasien kembali sesak napas yang lebih berat, disertai
batuk kering, demam yang tidak terlalu tinggi. Setelah pasien batuk, tampak

2
mual (+), muntah (-). Frekuensi buang air besar dan buang air kecil berkurang,
nafsu makan juga berkurang. Demam masih dirasakan. Keluhan ini dirasakan
untuk pertama kalinya. Pasien dibawa ke klinik dokter dan dirujuk ke RSUD
H. M. Rabain.

Riwayat Penyakit Dahulu


o Riwayat keluhan yang sama disangkal
o Riwayat alergi disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


o Riwayat asma pada nenek pasien
o Riwayat batuk lama pada keluarga disangkal.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


- Perawatan antenatal : Periksa ke bidan (4x)
- Penyakit kehamilan : disangkal
- Masa kehamilan : 38 minggu
- Status persalinan ibu : P1A0
- Partus : spontan
- Ditolong oleh : bidan
- Tanggal : 05 Maret 2019
- BB : 2700 gram
- PB : Tidak diukur
- Lingkar Kepala : Tidak diukur
- Kondisi saat lahir : langsung menangis
- Riwayat ibu demam saat persalinan : tidak ada
- Riwayat KPSW : tidak ada
- Riwayat ketuban hijau,kental, dan bau : tidak ada

Kesan: Riwayat kehamilan dan kelahiran normal.

3
Riwayat Makanan dan Nutrisi
Pasien mendapat ASI sejak lahir hingga saat ini sebanyak 8-10x/hari.
Kondisi ASI eksklusif dijalani pasien hingga usia 6 bulan. Pasien mulai
makan bubur saring sejak usia 6 bulan sebanyak 2-3x kali sehari. Pasien
makan sedikit, lebih suka minum ASI. Konsumsi buah-buahan 2 kali
seminggu. Sejak sakit nafsu makan pasien berkurang.
Kesan: Asupan makanan cukup

Riwayat Sosial dan Ekonomi


Pasien anak tunggal. Ayah penderita bekerja sebagai supit, pendapatan
perbulan ± Rp 1.500.000/bulan. Ibu penderita bekerja sebagai ibu rumah
tangga. Rumah penderita semi permanen, ditinggali pasien, kedua orang tua,
dan nenek kakeknya. Lokasi rumah di daerah dekat jalan raya. Sehari hari
memasak di dapur dengan kompor
Kesan : Sosial ekonomi rendah.

Riwayat Vaksinasi
Vaksin 0 I II III IV V
BCG √ Skar (-)
(1 bulan)
DPT √ (2 bulan) √ (3 bulan) √ (4 bulan)
HEPATITIS √ (1 hari) √ (2 bulan) √ (3 bulan) √ (4 bulan)
B
HiB √ (2 bulan) √ (3 bulan) √ (4 bulan)
POLIO √ (1 bulan) √ (2 bulan) √ (3 bulan)
CAMPAK
PCV
INFLUENZA

Buku Kartu Menuju Sehat atau buku catatan imunisasi pasien tidak dibawa.
Menurut keluarga pasien, pasien mendapat semua imunisasi dasar yang
diwajibkan pemerintah, kecuali campak dan polio 4. Pasien pernah
diimunisasi Hepatitis B0 saat lahir, BCG namun tidak ada skar, DPT-HepB-
HiB (PentaBio) sebanyak 3 kali, polio sebanyak 3 kali. Selain itu, imunisasi

4
tambahan terkait pneumonia, yaitu PCV dan influenza tidak didapatkan
pasien.
Kesan: Imunisasi dasar PPI tidak lengkap. Imunisasi tambahan tidak
dilakukan.
Riwayat Tumbuh Kembang
Pertumbuhan
Berat Badan : 7,5 kg
Tinggi Badan : 75 cm
Lingkar Kepala : 45 cm
BB/U : -2 < z < 0 (gizi kurang)
PB/U : 0<z<2
BB/PB : -3<z<-2 (kurus)
LK/U : -1 < LK < 0 (normosefali)
Kesan : Gizi kurang
Perkembangan

5
III. PEMERIKSAAN FISIK (14 Oktober 2019, 07.15 WIB)
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : E4M6V5
Tekanan Darah : Tidak diukur
Nadi : 120 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 46 kali/menit, torakoabdominal
Suhu : 39,0 oC
Saturasi O2 : 97%
Berat badan : 7,5 kg
Tinggi badan : 73 cm

Keadaan Spesifik
Kepala : Normosefali,
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah rontok
Mata : Mata cekung (-), konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-),
refleks cahaya (+/+), pupil bulat, isokor, ø 3 mm/3 mm
Hidung : Napas cuping hidung (+), deviasi septum nasi
(-), rhinorrhea (-), sekret (+) jernih.

6
Telinga : Meatus akustikus eksternus lapang, sekret (-), otorrhea
(-)
Mulut : Sianosis (-), Mukosa kering (-), faring hiperemis (-),
papil lidah (-), typhoid tongue (-), oral thrush (-), tremor
lidah (-)
Tenggorok : Dinding faring hiperemis (-), tonsil T1-T1, tenang
Leher : Pembesaran KGB (-), trakea di tengah, tidak teraba
pembesaran kelenjar tiroid, kaku kuduk (-)

Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Simetris statis dan dinamis, retraksi (+) intercostal minimal
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) meningkat, ronkhi basah halus nyaring (+/+) di
basal kedua paru, wheezing (+) inspirasi.

Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis dan thrill tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR=120 kali/menit, irama reguler, bunyi jantung I dan II
normal, murmur dan gallop tidak ada

Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
ballotement (-)
Perkusi : Timpani

7
Lipat paha dan genitalia
Pembesaran kelenjar getah bening inguinal tidak ada. Fimosis (-), hipospadia
(-), undescensus testis (-).

Ekstremitas
Superior : Akral dingin (-), pucat (-), sianosis (-), edema (-), petechie (-), CRT
<2 detik
Inferior : Akral dingin (-), pucat (-), sianosis (-), edema (-), petechie (-), CRT
<2 detik

Status neurologis
Pemeriksaan Superior Inferior
Motorik Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - - -
Refleks fisiologis Normal Normal Normal Normal
Refleks patologis Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Tanda rangsang meningeal tidak ada
Sensorik : uji sentuhan (+), uji rasa nyeri (+)
Otonom : disfungsi sfingter urine dan retensio alvi tidak ada
Kesan: pemeriksaan neurologis dalam batas normal

Status pubertas
Belum pubertas

IV. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium RSUD H. M. Rabain (2 September 2019)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hb 13,1 gr/dL 14,0-18,0 gr/dL
Eritrosit 4,68 juta/mm3 4,5–6,0 juta/mm3
Leukosit 9,37 ribu/mm3 5,0-10/mm3

8
Trombosit 436.000/µL 150000-450000/µL
Hematokrit 43,7% 40-52%
MCV 81,8 fL 82-92 fL
MCH 28 pg 27-31 pg
MCHC 33,8 g/dL 32-36 g/dL
RDW-SD 42,1 fL 35-47 fL
RDW-CV 13,3% 11,5-14,5%
PDW 9,8 fL 9,0-13,0 fL
MPV 9,9 fL 7,2-11,1 fL
P-LCR 17,1% 15,0-25,0%
PCT 0,32% 0,15-0,4%
Hitung jenis leukosit
- Basofil 2% 0-1%
- Eosinofil 4% 1-3%
- Neutrofil 51,2% 50-70%
- Limfosit 36,0% 20-40%
- Monosit 6,8% 2-8%
Imunoserologi
CRP kualitatif Non reaktif Non reaktif
.
V. DAFTAR MASALAH
1. Sesak napas
2. Batuk
3. Demam

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. Bronkopneumonia
2. Bronkiolitis
3. PJB
4. TB

VII. RENCANA PEMERIKSAAN


 Rontgen toraks

VIII. DIAGNOSIS KERJA


Bronkopneumonia

9
IX. PENATALAKSANAAN
 IVFD KAEN 1B gtt VIII makro
 O2 nasal 0,5 lpm
 Inj. PCT fls. 3x8 cc IV jika T ≥38,5OC
 Inj. Dexamethasone 3x2 mg IV
 Inj. Ampicillin 3x350 mg
 Inj. Gentamicin 1x14
 Lasal syr. 2x2 mg
 Nebulizer ventolin 3x1 ampul
 Ceftriaxone drop 2x0,3 cc

Rekomendasi
 O2 nasal 0,5 lpm jika SpO2 <90%

X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

XI. FOLLOW UP
Tanggal Follow up
15 Oktober S: Sesak (-), batuk (+) tanpa dahak, demam(-)
O: Sens: CM, Nadi: 118x/menit, RR: 39x/menit, Temp: 36,8OC
Kepala: Head bobbimg (-), NCH (-), konjungtiva anemis (-), sklera
ikterik (-)
Thorax: Simetris, retraksi (-)
Cor: Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: Vesikular (+) meningkat, ronkhi kasar (+/+), wheezing (-)
Abdomen: Datar, lemas, BU (+) normal
Ekstremitas: Acral hangat, CRT<2 detik

10
A:Bronkopneumonia
P:
KAEN 1B gtt VIII  750 cc/24 jam
Inj. Ampicillin 3x350mh
Inj. Gentamicin 1x14
Ambroxol 2x3cc
Lasal syr. 2x2 mg
Inj. Dexamethasone 3x1 amp.
Ventolin 3x1 ampul
16 Oktober S: Sesak (-), batuk (-) tanpa dahak, demam(-)
2019 O: Sens: CM, Nadi: 118x/menit, RR: 39x/menit, Temp: 36,8OC
Kepala: Head bobbimg (-), NCH (-), konjungtiva anemis (-), sklera
ikterik (-)
Thorax: Simetris, retraksi (-)
Cor: Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: Vesikular (+) meningkat, ronkhi kasar (-/-), wheezing (-)
Abdomen: Datar, lemas, BU (+) normal
Ekstremitas: Acral hangat, CRT<2 detik
A:Bronkopneumonia
P:
KAEN 1B gtt VIII  750 cc/24 jam
Inj. Ampicillin 3x350mh
Inj. Gentamicin 1x14
Ambroxol 2x3cc
Lasal syr. 2x2 mg
Inj. Dexamethasone 3x1 amp.
Ventolin 3x1 ampul
R/pulang

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Pneumonia adalah peradangan/inflamasi yang mengenai parenkim paru
yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi dimana kuman atau zat (agen)
teraspirasi akan menimbulkan ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi
(ventilation perfusion mismatch) di sistem pernafasan, yang tercermin melalui
gejala klinis, radiologi maupun laboratoris.3

3.2. Epidemiologi
Pneumonia merupakan penyebab utama kematian balita di dunia, yaitu
15% kasus, lebih banyak dibanding dengan gabungan penyakit AIDS, malaria dan
campak. Penyakit ini lebih banyak menyerang pada anak khususnya di bawah usia
5 tahun dan diperkirakan pada tahun 2017 membunuh 808.694 anak balita. Hal ini
setara dengan kematian dua balita setiap menit oleh pneumonia. Penyakit ini
paling umum terjadi di Asia Selatan dan Sub Sahara, dengan lebih dari 99%
kematian terjadi di negara berpenghasilan menengah ke bawah.4
Di Indonesia, pneumonia masih menjadi masalah besar mengingat angka
kematian akibat penyakit ini masih tinggi. Berdasarkan SDKI (Survei Demografi
Kesehatan Indonesia) tahu 2012, angka kematian bayi sekitar 32/1.000 kelahiran
hidup, angka kematian balita 40/1.000 kelahiran hidup, lebih dari 3/4 kematian
balita pada tahun pertama kehidupan, terbanyak saat neonatus. Berdasarkan hasil
survei Sistem Registrasi Sampel (SRS) oleh Balitbangkes tahun 2014
menyebutkan proporsi kematian akibat pneumonia pada balita yaitu 9,4%.5

3.3. Etiologi
Penyebab pneumonia secara umum adalah agen infeksius (bakteri, virus,
mikobakterium, dan jamur) maupun non-infeksius (aspirasi, seperti makanan,
asam lambung, benda asing, hidrokarbon dan substansi lipoid; reaksi
hipersensitivitas; atau pneumonitis yang diinduksi obat atau radiasi). Di negara
berkembang, bakteri adalah penyebab utama pneumonia, antara lain:

12
Streptococcus pneumoniae (30−50%), Haemophilus influenzae type b (Hib),
Staphylococcus aureus dan Klebsiella pneumoniae. Sementara, di negara maju,
virus merupakan penyebab utama pneumonia, yaitu: RSV (15–40%), Virus
Influenza A dan B, Parainfluenza, Human metapneumovirus dan Adenovirus. Di
negara industri, epidemi RSV dan atau influenza mengalami koinsidensi dengan
epidemi S. pneumoniae. Di negara berkembang, infeksi virus sering disertai
infeksi sekunder. Usia merupakan prediktor yang baik untuk memperkirakan
patogen penyebab pneumonia, dimana virus adalah penyebab utama pneumonia
pada anak usia lebih muda (<2 tahun), sementara bakteri adalah penyebab
sebagian besar pneumonia pada anak besar. Penyebab pneumonia berdasarkan
usia dapat dilihat pada tabel di bawah ini.6

Tabel 1. Penyebab Pneumonia berdasarkan usia6


Usia Penyebab sering Penyebab jarang
0-20 hari Escherichia coli Haemophilus influenzae
Group B streptococci Streptococcus pneumoniae
Listeria monocytogenes Ureaplasma urealyticum
Cytomegalovirus
Herpes simplex virus
3 minggu-2 Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis Cytomegalovirus
bulan S. pneumoniae H. influenzae tipe B dan non-typeable
Adenovirus Moraxella catarrhalis
Influenza virus Staphylococcus aureus
Parainfluenza virus 1, 2, U. urealyticum
Respiratory syncytial virus
2-24 bulan Respiratory syncytial virus Mycoplasma pneumoniae
Human metapneumovirus Haemophilus influenzae (type B dan
Parainfluenza viruses nontypable)
Influenza A and B Chlamydophila pneumoniae
Rhinovirus
Adenovirus
Enterovirus
Streptococcus pneumoniae
Chlamydia trachomatis
2-5 tahun Respiratory syncytial virus S. aureus (termasuk methicillin-
Human metapneumovirus resistant S. aureus)
Parainfluenza viruses Group A streptococcus
Influenza A and B
Rhinovirus
Adenovirus
Enterovirus
S. pneumoniae
M. pneumoniae
H. influenzae (B dan nontypable)

13
C. pneumoniae
>5 tahun M. pneumoniae H. influenzae (B dan nontypable)
C. pneumoniae S. aureus (termasuk methicillin-
S. pneumoniae resistant S. aureus)
Rhinovirus Group A streptococcus
Adenovirus Respiratory syncytial virus
Influenza A and B Parainfluenza viruses
Human metapneumovirus
Enterovirus

3.4. Faktor Risiko


Faktor risiko pneumonia pada anak meliputi malnutrisi, berat badan lahir
rendah (BBLR), tidak mendapat ASI eksklusif, tidak mendapat imunisasi campak,
polusi udara dalam rumah, dan kepadatan hunian. Hubungan paparan suatu
kondisi tertentu dan kemungkinan pneumonia akibat agen terkait dapat dilihat
pada tabel di bawah ini. 6
Tabel 2. Riwayat paparan tertentu dan kemungkinan agen penyebab pneumonia6
Riwayat paparan Agen infeksi
Paparan terhadap penyakit di asrama atau barang rumahan Neisseria meningitidis,
Mycoplasma pneumoniae
Paparan terhadap kontaminasi aerosol (seperti pendingin Penyakit Legionnaire
udara, suplai air rumah sakit)
Paparan terhadap rambut domba, wol mentah dan tempat Antraks
tinggal hewan
Konsumsi susu yang tidak terpasteurisasi Brucellosis
Paparan terhadap kotoran kelelawar atau debu dari tanah Histoplasmosis
yang terkena kotoran burung
Paparan terhadap air yang terkontaminasi urine hewan Leptospirosis
Paparan terhadap kotoran, urine dan salive hewan pengerat Hantavirus
Paparan bioterorisme potensial Antraks, plag
Paparan zoonotik
Pekerjaan di rumah potong hewan atau dokter hewan Brucellosis
Paparan terhadap sapi, kambing, babi Antraks, brucellosis
Paparan terhadap tupai tanah, tupai, kelinci, anjing padang Pes
rumput, tikus di Afrika atau AS barat d
Berburu atau paparan terhadap kelinci, rubah, tupi Tularemia
Gigitan lalat atau kutu Tularemia
Paparan terhadap burung (kakaktua, beo, betet, merpati, Psittacosis
kalkun)
Paparan terhadap anjing atau kucing terinfeksi Pasteurella multocida, Q
fever (Coxiella burnetii)
Paparan terhadap kambing, sapi, domba, hewan domestik Q fever (C. burnetii)
dan sekresinya (susu, cairan amnion, plasenta, feses)
Paparan perjalanan
Tinggal atau berwisata ke lembah San Joaquin, California Coccidioidomycosis
selatan, Texas barat daya, Arizona Selatan, New Mexico
Tinggal atau berwisata ke lembah sungai Mississippi atau Histoplasmosis,

14
Ohio, Karibia, Amerika tengah atau Afrika blastomycosis
Tinggal atau berwisata ke Cina selatan SARS, avian influenza
Tinggal atau berwisata ke semenanjung Arab MERS-CoV
Tinggal atau berwisata ke Asia Tenggara Paragonimiasis,
melioidosis
Tinggal atau berwisata ke India barat, Australia atau Guam Melioidosis

3.5. Patogenesis
Pneumonia adalah invasi saluran pernapasan bawah, di bawah laring oleh
patogen baik melalui inhalasi, aspirasi, invasi epitel respiratorius atau penyebaran
hematogen.7 Terdapat penghalang terhadap infeksi yang meliputi struktur
anatomis (rambut hidung, epiglotis, silia) serta imunitas humoral dan
seluler.7 Ketika penghalang ini rusak, infeksi yang disebarkan melalui droplet
(terutama virus) atau kolonisasi nasofaring (terutama bakteri) menyebabkan
inflamasi dan jejas atau kematian epitel dan alveoli sekitar. Hal ini umumnya
diikuti migrasi sel inflamasi ke lokasi infeksi, menyebabkan proses eksudatif yang
mengganggu oksigenasi.8 Pada kebanyakan kasus, mikroba tidak diidentifikasi
dan umumnya disebabkan virus.
Pneumonia virus umumnya disebabkan penyebaran infeksi sepanjang
saluran pernapasan, diikuti kerusakan langsung pada epitel respiratorius, yang
menimbulkan obstruksi saluran napas akibat pembengkakan, sekresi abnormal
dan debris seluler. Kaliber saluran pernapasan yang kecil pada bayi muda
menyebabkan pasien tersebut rentan terhadap infeksi berat. Atelektasis, edema
interstisial dan hipoksemia akibat mismatch ventilasi-perfusi terkadang mengikuti
obstruksi saluran napas. Infeksi virus pada saluran napas juga dapat membuka
jalan untuk infeksi bakteri sekunder dengan gangguan mekanisme pertahanan host
normal, mengganggu sekresi dan disrupsi mikrobiota respiratorik.6
Pneumonia bakterial umumnya terjadi ketika organisme traktus
respiratorius mengkolonisasi trakea dan memberi akses ke paru-paru, namun
pneumonia juga dapat disebabkan perlekatan langsung pada jaringan paru setelah
bakteremia. Ketika infeksi bakteri ditegakkan pada parenkim paru, proses
patologis terjadi bervariasi tergantung organisme yang mengivasi. M. pneumoniae
melekat pada epitel respiratorius, menghambat aksi siliaris, dan mengarah pada
destruksi seluler serta respon inflamasi pada submukosa. Dengan perkembangan

15
infeksi, sumbatan akibat debris seluler, sel inflamasi, dan mukus menyebabkan
obstruksi saluran napas, dengan penyebaran infeksi yang terjadi sepanjang cabang
bronkus, seperti ditemukan pada pneumonia virus. S. pneumoniae memproduksi
edema lokal yang membantu proliferasi organisme dan penyebarannya ke bagian
tertentu pada paru, kadang menyebabkan keterlibatan lobus karakteristik. Infeksi
Streptococcus grup A menyebabkan keterlibatan paru-paru yang lebih luas dengan
pneumonia interstisial. Proses patologis meliputi nekrosis mukosa trakeobronkial;
pembentukan eksudat dalam jumlah besar, edema dan perdarahan lokal, dengan
ekstensi ke septum interalveolaris; dan keterlibatan pembuluh limfatik dengan
keterlibatan pleura yang sering. Pneumonia S. aureus bermanifestasi sebagai
bronkopneumonia konfluen, yang umumnya unilateral dan dicirikan dengan area
nekrosis hemoragik ekstensif dan area ireguler kavitasi pada parenkim paru,
menyebabkan pneumatokel, empiema dan fistula bronkopulmoner.6
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu:9
a. Stadium I:4-12 jam pertama atau stadium kongesti
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yangberlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatanaliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadiakibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelahpengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakuphistamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalurkomplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untukmelemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru.Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstisiumsehingga terjadi pembengkakan
dan edema antar kapiler dan alveolus.Penimbunan cairan di antara kapiler dan
alveolus meningkatkan jarak yang harusditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darahpaling berpengaruh dan
sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigenhemoglobin.
b. Stadium II: 48 jam berikutnya
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai

16
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena
adanyapenumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru
menjadi merahdan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak,
stadium ini berlangsungsangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III: 3-8 hari berikutnya
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah
putihmengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel.Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapilerdarah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV: 7-11 hari berikutnya
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun
danperadangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi
oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

3.6. Diagnosis
3.6.1. Anamnesis10
a. Batuk yang awalnya kering, namun kemudian menjadi produktif dengan
dahak purulen bahkan bisa berdarah
b. Sesak napas
c. Demam
d. Kesulitan makan/minum
e. Tampak lemah
f. Serangan pertama atau berulang, untuk membedakan dengan kondisi
imunokompromais, kelainan anatomi bronkus atau asma

3.6.2. Pemeriksaan fisik10,11


Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok
usia tertentu.

17
a. Penilaian keadaan umum anak, frekuensi napas, dan nadi harus dilakukan
saat awal pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain yang dapat membuat
anak menjadi rewel dan gelisah
b. Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan kemampuan
makan/minum
c. Gejala distres pernapasan seperti takipnea, retraksi subkostal, batuk,
krepitasi, dan penurunan suara paru. Takipnea berdasarkan WHO: Usia <2
bulan ( ≥60×/mnt), usia 2–<12 bulan (≥50×/mnt), usia 1–5 th (≥40×/mnt).
Takipnea terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam
mendiagnosis pneumonia
d. Demam dan sianosis
e. Anak <5 tahun mungkin tidak menunjukkan gejala pneumonia klasik.
Pada neonatus: sering dijumpai takipnea, grunting, pernapasan cuping
hidung, retraksi dinding dada, sianosis, dan malas menetek. Bayi yang
lebih besar: jarang ditemukan grunting. Gejala lain yang sering terlihat
adalah batuk, panas, dan iritabel. Pada anak prasekolah, selain gejala di
atas, dapat ditemukan batuk produktif/nonproduktif, dan dispnea. Anak
sekolah dan remaja, gejala lainnya yang dapat dijumpai yaitu nyeri dada,
nyeri kepala, dehidrasi, dan letargi. Pada anak yang demam dan sakit akut,
terdapat gejala nyeri yang diproyeksikan ke abdomen. Pada bayi muda ,
terdapat pernapasan tidak teratur dan hipopnea.
f. Auskultasi dapat ditemukan fine crackles (ronki basah halus) yang khas
pada anak besar, mungkin tidak ditemukan pada bayi
g. Iritasi pleura akan menyebabkan nyeri dada; bila berat gerakan dada
tertinggal waktu inspirasi, anak berbaring ke arah yang sakit dengan kaki
fleksi. Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu, dan perut

3.6.3. Pemeriksaan Penunjang11


Radiologis
a. Foto Rontgen toraks proyeksi posterior-anterior (PA) merupakan dasar
diagnosis utama pneumonia. Foto lateral dibuat bila diperlukan informasi
tambahan (tidak rutin dilakukan). Untuk negara berkembang foto Rontgen

18
toraks secara rutin tidak direkomendasikan terutama pneumonia yang tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit (pneumonia ringan tanpa
komplikasi).
b. Indikasi spesifik foto Rontgen toraks adalah pneumonia sangat berat,
dugaan komplikasi pneumonia (misal efusi pleura), atau tidak berespons
terhadap terapi yang diberikan, dan kecurigaan LTBI. Indikasi tambahan
lainnya adalah gejala atipikal dan pemantauan pada anak dengan kolaps
lobar atau gejala yang berlanjut
c. Pemeriksaan foto Rontgen toraks ulang hanya dilakukan bila pada foto
sebelumnya didapatkan lobar collapse, gambaran round pneumonia, atau
bila gejala menetap atau memburuk
d. Pada bayi dan anak yang kecil, gambaran radiologis sering tidak sesuai
dengan gambaran klinis. Foto Rontgen toraks tidak dapat membedakan
antara pneumonia bakteri dan pneumonia virus
e. Gambaran radiologis yang klasik dapat berupa: Konsolidasi lobar atau
segmental disertai air bronchogram, biasanya disebabkan infeksi
Pneumoccocus spp. atau bakteri lain pneumonia interstisial, biasanya
karena virus atau mikoplasma; gambaran berupa corakan bronkovaskular
bertambah, peribronchial cuffing, dan overaeration; bila berat terjadi
patchy consolidation karena atelektasis Gambaran difus bilateral, corakan
peribronkial bertambah, dan infiltrat halus sampai ke perifer. Gambaran
pneumonia karena S. aureus biasanya menunjukkan pneumatokel

Laboratorium
a. Pemeriksaan darah perifer lengkap, dapat terjadi leukositosis dengan
hitung jenis bergeser ke kiri. LED meningkat pada infeksi bakterial namun
banyak di pengaruhi oleh faktor faktor lainnya. CRP meningkat pada
infeksi bakterial, procalsitonin dianggap lebih baik dari pada CRP. Analisa
gas darah, menunjukkan keadaan hipoksemia, kadar PaCO2 dapat rendah,
normal atau meningkat tergantung kelainannya, dapat terjadi asidosis
respiratorik maupun metabolik dan gagal nafas. Jumlah leukosit

19
>15.000/μL dengan dominasi neutrofil sering didapatkan pada pneumonia
bakteri, tetapi dapat pula karena pneumonia nonbakteri3
b. Diagnosis pasti pneumonia bakterial yaitu dengan isolasi mikroorganisme
dari paru, cairan pleura, atau darah. Pengambilan spesimen dari paru
sangat invasif dan tidak rutin diindikasikan dan dilakukan
c. Kultur darah hanya (+) pada 10−30% kasus, harus dilakukan pada semua
anak yang dicurigai menderita pneumonia bakteri, pneumonia berat,
pneumonia dengan komplikasi.
d. Pemeriksaan C-reactive protein perlu dipertimbangkan pada pneumonia
dengan komplikasi dan dapat bermanfaat untuk melihat respons antibiotik
e. Tidak dapat membedakan pneumonia akibat virus atau bakteri

Pulse oxymetry
Pengukuran saturasi O2 merupakan pemeriksaan noninvasif yang dapat
memperkirakan oksigenasi arteri. Semua anak yang dirawat inap karena
pneumonia seharusnya diperiksa pulse oxymetry. Pemeriksaan ini sangat
dianjurkan untuk negara berkembang dengan keterbatasan sarana untuk
mendeteksi hipoksemia

Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis dapat dari dari sputum dan swab
nasopharyngeal, spesimen dari bronchoalveolar lavage, aspirasi jaringan
paru.

Pemeriksaan sputum
Walaupun kurang berguna, tetapi jika anak memungkinkan untuk
mengeluarkan sputum, periksa preparat gram. Rapid test untuk deteksi
antigen bakteri mempunyai spesifisitas dan sensitivitas rendah.

3.6.4 Penilaian dalam Praktik Klinis


Meskipun penyebab pneumonia sulit ditentukan, tetapi ada beberapa gejala
dan tanda yang dapat dikenali secara klinis, yaitu:

20
a. Staphylococcus aureus:
Progresivitas penyakit sangat cepat dengan gejala respiratori sangat berat:
grunting, sianosis, takipnea, dan gambaran radiologis necrotizing
pneumonia, pneumonia dengan komplikasi (efusi pleura, empiema,
piopneumotoraks), perburukan klinis dan radiologis yang sangat cepat,
atau pada keadaan pascainfeksi campak (saat ini atau 4 minggu
sebelumnya). Pada kulit penderita dapat dijumpai bisul atau abses.
b. Streptococcus grup A:
Penyebab tersering faringitis, tonsilitis dengan limfadenitis koli, demam,
malaise, sakit kepala, dan gejala pada abdomen Sering merupakan
komplikasi infeksi kulit pada anak dengan varisela. Penyakit memburuk
dalam 24 jam, sering diikuti dengan syok septik, empiema, dan
pneumatokel yang terjadi dalam beberapa hari sampai 1 minggu sesudah
pengobatan.

3.6.5 Klasifikasi
Berdasarkan keparahan penyakit
Klasifikasi pneumonia didasarkan pada derajat keparahan penyakit.
Terdapat dua versi klasifikasi baik oleh Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
dan World Health Organization (WHO). Pada dasarnya, pneumonia dicurigai
pada anak usia 2 -59 bulan yang menderita batuk dan atau kesulitan bernapas,
yang kemudian didapati napas cepat menurut usia (2-<12 bulan: 50 kali/menit; 12
bulan-<5 tahun: 40 kali/menit), disertai tarikan dinding dada, mungkin dengan
wheezing dan jika ada diperiksa saturasi oksigennya. Klasifikasi berdasarkan
derajat keparahan dapat dilihat di bawah ini.

21
Tabel 3. klasifikasi pneumonia menurut MTBS 12,13
Klasifikasi MTBS (2015)
Gejala Klasifikasi Tindakan
Tarikan dinding dada ke Pneumonia Beri O2 maksimal 2-3 L/menit
dalam ATAU berat Beri dosis pertama antibiotik yang sesuai
Saturasi oksigen 90% RUJUK
Tanda bahaya berat
Nafas cepat Pneumonia  Beri amoksisilin 2x sehari selama 3 atau 5 hari
 Beri pelega tenggorokan dan pereda batuk yang aman
 Obati wheezing jika ada
 Apabila batuk>14 hari RUJUK untuk pemeriksaan
lanjutan
 Nasehati kapan kembali segera
 Kunjungan ulang 2 hari
Tidak ada tanda-tanda Batuk  Beri pelega tenggorokan dan pereda batuk yang aman
pneumonia berat maupun bukan  Obati wheezing jika ada
pneumonia pneumonia  Apabila batuk>14 hari RUJUK untuk pemeriksaan TB
dan sebab lain
 Nasehati kapan kembali segera
 Kunjungan ulang 2 hari jika tidak ada perbaikan
*
Tanda bahaya berat: Tidak bisa minum, muntah persisten, kejang, letargik atau tidak
sadar, stridor pada anak tenang atau malnutrisi berat

22
Berdasarkan lokasi
Klasifikasi pneumonia dapat didasarkan pada area yang terdampak, yaitu sebagai
berikut:14
a. Pneumonia lobaris: Terjadi karena infeksi bakteri akut pada bagian suatu
lobus atau keseluruhan lobus. Lobus utuh sering terpengaruh sejalan
penyebaran proses peradangan melalui pori-pori saluran Khon dan Lambert.
Pneumonia lobaris umumnya disebabkan Streptococcus pneumoniae,
Staphylococcus aureus, streptokokus β Hemolitik dan pada kasus yang
kurang umum, Haemophilus influenzae serta Klebsiella pneumoniae.
b. Bronkopneumonia: Infeksi bakteri akut pada terminal bronkiolus ditandai
dengan eksudat purulen yang memanjang ke alveoli di sekitarnya melalui rute
endobronkial yang menimbulkan konsolidasi merata. Hal ini biasanya terlihat
dalam usia ekstrem dan dalam kaitannya dengan kondisi kronis yang
melemahkan. Kasus ini biasanya disebabkan Streptococcus, Staphylococcus
aureus, Streptococcus β Hemolitikum, Haemophilus influenzae, Klebsiella
pneumoniae dan Pseudomonas.
c. Pneumonia interstitial: Perubahan inflamasi yang merata, disebabkan oleh
infeksi virus atau mikoplasma, sebagian besar terbatas pada jaringan
interstitial paru-paru tanpa eksudat alveolar. Penyakit ini ditandai oleh edema
septum alveolar dan infiltrat mononuklear. Umumnya Mycoplasma
pneumoniae, Respiratory syncytial virus, virus Influenza, adenovirus,
cytomegalovirus dan pada kasus tidak umum Chlamydia serta Coxiella
bertanggung jawab untuk pneumonia interstitial.

3.7. Diagnosis Banding


Tabel 4. Diagnosis Banding Pneumonia15–17
Diagnosis Gejala klinis
banding
Penyakit Sianosis sentral, kesulitan makan atau menyusui, pembesaran
jantung bawaan hepar, murmur jantung..
Gagal jantung Distensi vena jugular, edema perifer, suara jantung tiga atau
empat (gallop), ronkhi halus di basal, displasia apeks jantung,

23
pembesaran hepar, murmur jantung.
Pertussis Batuk paroksismal yang diikuti whooping, muntah, sianosis
atau apnea, tanpa demam. Biasa dikaitkan dengan tidak
diimunisasi DPT.
Bronkiolitis Umumnya demam derajat rendah, terdapat batuk bernada
akut tinggi dan wheezing, usia umumnya dari lahir-12 bulan.
Bronkitis akut Durasi transien (<15 hari) pada pasien tanpa penyakit paru
kronik, batuk dengan atau tanpa sputum, ketidaknyamanan
substernal, tidak takipnea, tidak ada konsolidasi pada
auskultasi dan gambaran radiologis tidak menyokong
pneumonia.
Croup Umumnya demam derajat rendah, terdapat batuk
menggonggong, mungkin terdapat stridor.
Asma Batuk, wheezing, respon terhadap bronkodilator. Sering
dikaitkan dengan faktor genetik.
Aspirasi benda Riwayat tersedak, suara stridor atau distres napas tiba-tiba, area
asing fokal wheezing atau penurunan suara napas.

3.8. Tatalaksana 5,10


Tatalaksana Pneumonia Berat
e. Rawat di rumah sakit
f. Pemberian oksigen bila saturasi O2 <90%
g. Tatalaksana patensi jalan napas
h. Pemberian antibiotik
i. Terapi demam

Perawatan Umum di Rumah Sakit


Terapi oksigen
a. Bayi dan anak yang mengalami hipoksia mungkin tidak tampak sianosis
b. Agitasi mungkin menjadi indikasi hipoksia

24
c. Oksigen diberikan pada penderita dengan saturasi oksigen <90% pada
udara kamar untuk mempertahankan saturasi oksigen ≥90%, dan pada
penderita dengan distres napas

Analgetik antipiretik
a. Anak yang terkena infeksi saluran respiratori bagian bawah akut umumnya
mengalami pireksia dan dapat merasakan nyeri seperti nyeri kepala, nyeri
dada, nyeri sendi, nyeri perut, dan nyeri telinga.

Terapi Cairan
a. Anak yang tidak mampu mempertahankan asupan cairan akibat sesak atau
kelelahan memerlukan terapi cairan. Pipa nasogastrik dapat memengaruhi
pernapasan dan karena itu harus dihindari pada anak yang sakit berat,
terutama bayi dengan lubang hidung yang kecil. Bila sesak tidak terlalu
hebat dapat dimulai diet enteral bertahap melalui selang
nasogastrik,orogastrik maupun per oral.
b. Penderita yang muntah-muntah atau sakit berat memerlukan cairan i.v.
c. Bila diperlukan, cairan i.v. diberikan 80% dari kebutuhan basal dan perlu
dipantau elektrolit serum
d. Pemberian cairan dan kalori yang cukup, sesuai dengan berat badan,
peningkatan suhu dan status hidrasi.

Pemberian antibiotik
a. Antibiotik empiris diberikan berdasarkan usia penderita dan derajat
penyakit
b. Antibiotik yang sesuai harus diberikan segera sesudah penderita masuk
rumah sakit
c. Untuk pneumonia atau bukan pneumonia berat dapat diberikan
kotrimoksazol (8 mg/kgBB/dosis trimetoprim dalam 2 dosis p.o.) atau
amoksisilin 80 mg/kgBB/hari diberikan tiap 12 jam p.o. (penelitian
menunjukkan amoksisilin dua dosis sehari memiliki konsentrasi dalam
darah yang sama dengan amoksisilin 3 dosis/hari) selama 5 hari. Selain itu

25
juga dapat diberikan Amoksisilin+asam klavulanat 50 mg/kgbb peroral
dibagi dalam 3 dosis
d. Efikasi kedua obat sama, kecuali di daerah yang mengalami resistensi
pada salah satu obat.
e. Antibiotik parenteral harus diberikan pada anak dengan pneumonia berat

Pilihan pemberian antibiotik inisial pada pneumonia anak yang dirawat inap
a. Ampicilin sulbactam 200 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis
atau Ampicilin sulbactam 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4
dosis
b. Pneumonia yang memerlukan rawat inap yang disertai penyakit penyerta
yang menular tanpa disertai sepsis (ISK, gastroenteritis, morbili):
Ampicilin sulbactam 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis
c. Pneumonia yang memerlukan rawat inap yang disertai sepsis:
Ampicilin sulbactam 200 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis
d. Bila keadaan klinis berat, pengobatan inisial berupa kombinasi ampisilin-
gentamisin
e. Bayi usia <2 bulan atau pneumonia sangat berat, ampisilin dosis di atas
ditambah gentamisin 7,5 mg/kgBB i.v. atau i.m. sekali sehari
f. Pada keadaan dicurigai meningitis (malas menetek, letargis, kejang,
menangis lemah, fontanel menojol) dan septikemia, maka obat pilihan
pertama adalah sefotaksim atau seftriakson i.v.
g. Bila sesudah 48 jam pengobatan pneumonia sangat berat tidak tampak
perbaikan, antibiotik diubah menjadi sefalosporin generasi ketiga, seperti
seftriakson dan sefotaksim

Pilihan antibiotika untuk penderita pneumonia yang dirujuk dari RS lain 3


a. Pernah mendapatkan perawatan di RS lain kurang dari 72 jam
Ampicilin sulbactam 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis
b. Pernah mendapatkan perawatan RS lain lebih dari 72 jam
- Cefotaxim 200 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 3 dosis, atau

26
- Ceftriaxon 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 2 dosis, atau
sesuai dengan kultur dahak/darah yang ada, atau pertimbangan lain

Pilihan antibiotika untuk penderita penumonia dengan penyakit penyerta yang


tidak menular (non-infectious) seperti kelainan jantung bawaan sianotik atau non
sianotik, kelainan hematologi, kelainan kongenital, dan sebagainya sesuai dengan
poin 1.
Pilihan antibiotika untuk penderita pneumonia yang diduga disebabkan oleh
infeksi kuman atipik (pneumonia atipik) dapat diberikan salah satu antibiotik di
bawah ini:
- Spiramisin 50 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis (10-14 hari)
- Eritromisin 30-50 mg/kgbb/hari dibagi 3-4 dosis (10-14 hari)
- Azitromisin 10mg/kgbbsekali sehari (5 hari)
- Klaritromisin 15-30 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis (7-10 hari)

Rekomendasi UKK Respirologi


Antibiotik untuk community acquiredpneumonia: 3
 Neonatus - 2 bulan: Ampisilin + gentamisin
 > 2 bulan : Lini pertama Ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat
ditambahkan kloramfenikol. Lini kedua Seftriakson, bila klinis membaik,
antibiotik intravena dapat diganti preparat oral dengan antibiotik golongan
yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya.

Tabel 5. Jenis obat dan dosis yang dapat digunakan untuk terapi pneumonia 3
Obat Dosis/kgBB/hari Cara Pemberian
Ampisilin 200 mg IM/IV, dibagi 4 kali pemberian
Amoksisilin 50-80 mg PO/IM/IV, dibagi 3-4 kali pemberian
Amoksisilin+Asam 30-75 mg PO, dibagi 3-4 kali pemberian
Klavulanat IV, dibagi 4 kali pemberian
Ampisilin Sulbactam 100 mg IM/IV, 1kali sehari
Amikasin 15 mg PO/IV, 1 kali sehari
Azitromisin 7,5-15 mg IV, dibagi 3-4 kali pemberian

27
Cefotaksim 50-100 mg IV, dibagi 1-2 kali pemberian
Ceftriaxon 50-100 mg IV, dibagi 2-3 kali pemberian
Ceftazidim 50-100 mg IV, dibagi 3-4 kali pemberian
Cefuroxim 25-50 mg PO, dibagi 2 kali pemberian
Cefixim 5 mg PO, dibagi 3-4 kali pemberian
Eritromisin 30-50 mg IM/IV, dibagi 1-2 kali pemberian
Gentamisin 5-7 mg PO, dibagi 2 kali pemberian
Klaritromisin 15-30 mg IV/PO, dibagi 3-4 kali pemberian
Kloramphenikol 50-100 mg IM/IV, dibagi 4 kali pemberian
Kloksasilin 50 mg PO, dibagi 2 kali pemberian
Kotrimoksazol 6 mg (TMP) IV, dibagi 3 kali pemberian
Meropenem 30-50mg PO, dibagi 3 kali pemberian
Spiramisin 50mg

Terapi suportif
- Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
- Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi

Pemantauan
Sesudah pemberian antibiotik inisial, pantau dalam 24 jam sekali selama 48–72
jam pertama. Apabila kondisi klinis membaik; tidak didapatkan tanda sepsis,
empiema, necrotizing pneumonia, dan abses paru; tanda vital stabil selama
minimal 48 jam; biakan darah tidak menunjukkan pertumbuhan kuman; dan dapat
makan/minum p.o. maka:
a. Antibiotik i.v dapat diganti dengan antibiotik oral. Umumnya peralihan ke
antibiotik oral dilakukan sesudah 2–4 hari pemberian antibiotik i.v.
Selanjutnya, terapi dilanjutkan di rumah dengan amoksisilin p.o. (15
mg/kgBB/kali 3×/hr).
b. Pemberian antibiotik pada pneumonia berat dilanjutkan sampai 5–7 hari
atau kepustakaan lain menyatakan 7−10 hari, dan pada pneumonia sangat

28
berat diberikan selama 7–10 hari atau kepustakaan lain menyatakan 10–14
hari
Apabila:
Demam atau manifestasi klinis lainnya menetap sesudah 48 jam pemberian
antibiotik, atau keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan
yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat)
maka terapi harus dievaluasi kembali dan dipertimbangkan foto Rontgen toraks
ulang. Tambahkan kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali i.m. atau i.v. setiap 8 jam atau
gentamisin 7,5 mg/kgBB i.v. atau i.m. 1×/hari Apabila terjadi kegagalan terapi
pada penderita yang diberi kotrimoksazol, diganti dengan amoksisilin. Jika obat
pertama yang diberikan adalah amoksisilin, maka bila terjadi kegagalan terapi
dapat ditambahkan gentamisin atau diganti dengan amoksisilin-asam klavulanat
(80−90 mg/kgBB/hr amoksisilin dalam dosis terbagi dengan maks. 6,4
mg/kgBB/hr asam klavulanat) untuk meningkatkan aktivitas terhadap
Haemophilus influenzae penghasil β-laktamase dan S. pneumoniae yang resisten.
Bila terjadi kegagalan terapi berikutnya, sefalosporin generasi ke-2 (sefuroksim)
atau generasi ke-3 (seftriakson, sefopodoksim) dapat digunakan untuk
memperluas cakupan terhadap organisme penghasil β-laktamase. Apabila diduga
pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin (7,5 mg/kgBB i.m.
1×/hr) dan kloksasilin (50 mg/kgBB i.m. atau i.v. setiap 6 jam). Bila keadaan anak
membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral 4×/hari sampai
mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu Pilihan
antibiotik selanjutnya berdasarkan hasil pemeriksaan pola kepekaan antibiotik.

Indikasi Penderita Dipulangkan


Perbaikan secara klinis, nafsu makan membaik, bebas demam 12–24 jam, stabil,
saturasi O2 >92% dalam udara ruangan selama 12–24 jam (tanpa O2 tambahan),
orangtua sudah mengerti untuk melanjutkan pemberian antibiotik oral.

29
3.9. Komplikasi
Beberapa komplikasi penting dapat terjadi akibat pneumonia pada anak.
Komplikasi tersebut antara lain empiema dan efusi parapneumonia, abses paru,
necrotizing pneumonia, pneumatokel, fistula bronkopleura, pneumotoraks,
hiponatremia, sepsis atau systemic inflammatory response system, meningitis,
perikarditis, endokarditis, osteomyelitis, arthritis septik, abses otak dan Hemolytic
Uremic Syndrome atipikal.18

3.10. Prognosis
Pada umumnya prognosis baik, tergantung dari faktor pasien, bakteri penyebab
dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan
intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada pasien yang dirawat. 19

30
BAB IV
ANALISIS KASUS

± 4 hari SMRS, anak tampak sesak napas disertai batuk kering kadang
disertai dahak warna jernih. Sesak nafas dirasakan baru beberapa hari ini, tidak
memberat pada pagi atau malam hari dan tidak dipengaruhi oleh adanya aktivitas
maupun cuaca. Sesak tidak mereda dengan perubahan posisi seperti duduk. Nafsu
makan dan ASI berkurang. Anak juga mengalami demam tinggi, terus menerus,
suhu tidak diukur beberapa hari ini. Keluhan sering berkeringat disangkal.
Penurunan berat badan maupun berat badan tidak naik disangkal. Pasien dibawa
ke Puskesmas setempat, diberikan obat batuk, obat demam dan antibiotik, keluhan
membaik.
± 1 hari SMRS, pasien kembali sesak napas yang lebih berat, disertai
batuk kering, demam yang tidak terlalu tinggi. Setelah pasien batuk, tampak mual
(+), muntah (-). Frekuensi buang air besar dan buang air kecil berkurang, nafsu
makan juga berkurang. Demam masih dirasakan. Keluhan ini dirasakan untuk
pertama kalinya. Pasien dibawa ke klinik dokter dan dirujuk ke RSUD H. M.
Rabain.
Berdasarkan anamnesis perjalanan penyakit, pasien datang dengan keluhan
sesak nafas. Pada pasien dengan keluhan sesak nafas maka yang harus kita
pikirkan setelah melakukan penanganan awal stabilisasi adalah etiologi yang
mendasarinya. Beberapa penyakit yang dapat kita pikirkan adalah asma
bronchiale, penyakit jantung bawaan, TB, Bronkiolitis, dan Bronkopneumonia.
Dapat juga kita pikirkan bronkitis, namun bronkitis jarang menyebabkan terjadi
sesak. Dari identifikasi pasien usia tujuh bulan memenuhi kriteria diagnosis
bronkopneumonia secara klinis, yaitu anak berusia 2 bulan-59 bulan dengan batuk
dan napas cepat serta bronkiolitis yang dapat terjadi pada anak usia kurang dari
dua tahun. Dalam penegakan diagnosisnya penyakit jantung bawaan dapat kita
singkirkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dimana sesak pada anak ini
tidak dipengaruhi oleh aktivitas, keluhan sering berkeringat disangkal, sesak tidak
mereda dengan perubahan posisi yang umumnya ditemukan pada anak dengan
decomp cordis, riwayat sianosis pada saat baru lahir juga disangkal. Pada

31
pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan jantung baik pembesaran
jantung maupun adanya bunyi tambahan sehingga kita bisa hapuskan
kemungkinan sesak disebabkan oleh gangguan jantung.
Anamnesis juga dapat menghapuskan kemungkinan sesak dan batuk yang
disebabkan oleh karena TB, keluhan batuk dan demam dirasakan baru empat harI,
pada pasien TB umumnya ditemukan adanya batuk lama/persisten, demam lama,
penurunan BB, dan adanya kontak dengan penderita TB, pada pasien ini tidak
memenuhi. Selain itu, kemungkinan disebabkan oleh asma bronchiale dapat
disingkirkan, keluhan tidak terjadi berulang, sesak tidak memberat pada malam
hari, sesak tidak dipengaruhi cuaca, riwayat alergi pada anak disangkal, riwayat
alergi maupun asma pada keluarga disangkal, pada pemeriksaan fisik tidak
didapatkan adanya allergic shiners, geographic tongue maupun wheezing
ekspirasi.
Bronkiolitis sebagai etiologi masih dapat dipikirkan, dimana umumnya
terjadi pada anak usia <2 tahun dengan gejala batuk kering disertai sesak nafas.
Namun demam pada anak ini tinggi, sedangkan pada anak dengan bronkiolitis
umumnya subfebris. Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapati adanya usaha napas
tambahan berupa napas cuping hidung dan retraksi intercostal minimal. Pada
auskultasi paru-paru didapati suara nafas vesikuler meningkat dan adanya suara
nafas tambahan berupa ronkhi basah halus nyaring sebagai tanda khas
bronkopneumonia. Tidak didapatkan adanya ekspirasi memanjang, hiperinflasi
dada, wheezing ekspirasi maupun intercostal space yang melebar yang umumnya
ditemukan pada bronkiolitis.
Pasien ini kemungkinan mengalami bronkopneumonia yang bersifat
community-acquired (didapat dari lingkungan). Terdapat faktor risiko lingkungan
tempat tinggal yang sering terpapar debu karena letak tempat tinggal dipinggir
jalan lintas. Selain itu, kondisi sosioekonomi pasien yang tergolong rendah dan
kepadatan hunian yang terlalu tinggi, dimana pasien tinggal enam orang dalam
satu rumah dengan luas rumah yang kurang. Selain itu, riwayat imunisasi pasien
yang kurang lengkap, yaitu belum diimunisasi campak atau MR memiliki
hubungan dengan kemungkinan terjadinya bronkopneumonia. Hal ini karena
pneumonia dapat terjadi sebagai komplikasi virus campak yang melemahkan

32
sistem imun. Pada pemeriksaan status gizi didapatkan pasien memiliki kesan gizi
kurang, hal ini juga dikaitkan dengan fungsi imun yang tidak begitu baik akibat
kurangnya asupan gizi sehingga memudahkan pasien terkena penyakit, salah
satunya bronkopneumonia.
Pada pasien ini diberikan terapi KAEN 1B gtt VIII/menit  750 cc/24
jam, hal ini bertujuan untuk memberikan tambahan nutrisi karena pada anak
didapati penurunan nafsu makan, dan pemberian maintenance cairan yang
diberikan sudah cukup. Terapi kausatif pada pasien berupa injeksi Ampisilin
3x350mg dan injeksi Gentamisin 1x14mg dirasa telah sesuai, disarankan untuk
pemberian ampicillin dengan dosis 50-100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
(dalam kasus ini perlu diberikan 375mg-750mg/6jam) dan Gentamisin: 7.5 mg/kg
IM/IV sekali sehari selama setidaknya lima hari (dalam kasus ini dapat diberikan
1x60mg). Pada kasus yang gagal diterapi, dapat diberikan Seftriakson selama 5
hari pada dosis 100 mg/kgBB/hari. Pemberian sirup Lasal 2x2 mg (kombinasi
Salbutamol-guaifenesin) dan nebulisasi Ventolin 3x1ampul (Salbutamol)
sebenarnya kurang tepat bila diberikan pada kasus bronkopneumonia yang tidak
dikaitkan dengan proses bronkokonstriksi. Sesak napas akibat proses non
obstruktif bukan menjadi indikasi pemberian bronkodilator seperti di atas, karena
tidak ada data perbaikan oksigenasi setelah terapi tersebut pada kasus
bronkopneumonia, walaupun pada kasus yang tidak biasa, bila pneumonia diikuti
bronkospasme mungkin dapat mendapat manfaat dari pemberian bronkodilator
seperti salbutamol, selain juga efek pengeluaran dahak akibat pemberian
nebulisasi salbutamol, pada kasus ini direkomendasikan untuk tetap dilakukan
nebulisasi mengingat banyaknya sekret yang ada dengan menggunakan larutan
normal salin karena adanya sekresi sekret berlebih.20 Pemberian kortikosteroid
berupa dexamethasone ditujukan untuk mengurangi proses inflamasi yang terjadi
akibat peningkatan sitokin serum pada anak dengan pneumonia komunitas
(community-acquired pneumonia), hal ini dapat tergambar dengan perbaikan
gejala klinis.21 Namun demikian, berdasarkan pedoman WHO, kasus ini termasuk
klasifikasi pneumonia dan cukup diberikan amoksisilin oral minimal 40
mg/kgBB/dosis sebanyak 2 kali sehari, atau sekitar 2x6 mL selama 5 hari.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Samuel A. Bronkopneumonia on Pediatric Patient. J Agromed Unila.


2014;1(2):185–9.
2. Liu L, Oza S, Hogan D, Perin J, Rudan I, Lawn J, dkk. Global, regional,
and national causes of child mortality in 2000-13, with projections to
inform post-2015 priorities: an updated systematic analysis. Lancet.
2015;385:430–440.
3. Yangtjik K, Sofiah F, Aruf A. Bronkhopneumonia. In: Panduan Praktik
Klinis Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Palembang: Rumah Sakit
Mohammad Hoesin; 2016.
4. World Health Organization. Pneumonia [Internet]. 2019 [dikutip 11
September 2019]. Tersedia pada: https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/pneumonia
5. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2015.
6. Kelly MS, Sandora TJ. Community-Acquired Pneumonia. In: Kliegman
RM, Blum NJ, Shah SS, Tasker RC, Wilson KM, Behrman RE, editor.
Nelson Textbook of Pediatrics. 21 ed. Philadelphia: Elsevier; 2019.
7. GBD 2016 Lower Respiratory Infections Collaborators. Estimates of the
global, regional, and national morbidity, mortality, and aetiologies of lower
respiratory infections in 195 countries, 1990-2016: a systematic analysis for
the Global Burden of Disease Study 2016. Lancet Infect Dis.
2018;18(11):1191–210.
8. Bengoechea J, Sa Pessoa J. Klebsiella pneumoniae infection biology: living
to counteract host defences. FEMS Microbiol Rev. 2019;43(2):123–44.
9. Bradley JS, Byington CL, Shah S., Alverson B, Carter E, Harrison C, dkk.
The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and
Children Older than3 Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the
Pediatric Infectious Diseases Societyand the Infectious Diseases Society of
America. Clin Infect Dis. 2011;53(7):617–30.
10. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009. 250–255 hal.
11. Garna H, Nataprawira HM. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. 5 ed. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP
Dr. Hasan Sadikin; 2014. 932–943 hal.
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Bagan Manajemen
Terpadu Balit Sakit (MTBS). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2015.
13. World Health Organization. Revised WHO classification and treatment of
childhood pneumonia at health facilities. Geneva: World Health
Organization; 2014.
14. Singh YD. Pathophysiology of Community Acquired Pneumonia. JAPI.
2012;60:7–9.
15. File TM, Hadley JA. Rational Use of Antibiotics to Treat Respiratory Tract

34
Infections. Am J Manag Care. 2002;8(8):713–27.
16. Bokade CM, Madhura AD, Bagul AS, Thakre SB. Predictors of mortality
in children due to severe and very severe pneumonia. J Nigeria Med Assoc.
2016;56(4):287–91.
17. Saguil A, Fargo M. Acute Respiratory Distress Syndrome: Diagnosis and
Management. Am Fam Physician. 2012;85(4):352–8.
18. Gereige RS, Laufer PM. Pneumonia. Pediatr Rev. 2013;34(10):438–55.
19. Zusway’uda P, Soepandi, Burhan E, Nawas A, Giriputro S, Isbaniah F,
dkk. Pneumonia Komunitas: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di
Indonesia. 2 ed. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2014. 35–36
hal.
20. Yaxley JP. Prescribing patterns of nebulized bronchodilators: A
prospective chart review. J Fam Med Prim Care. 2016;5(2):J Fam. Med
Prim Care.
21. Weiss AK, Hall M, Lee GE, Kronman MP, Sheffler-Collins S, Shah SS.
Adjunct Corticosteroids in Children Hospitalized With Community-
Acquired Pneumonia. Pediatrics. 2011;127(2):e255–e263.

35

Anda mungkin juga menyukai