a. Definisi
Asma adalah penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat penyempitan saluran napas
yang sifatnya reversibel (penyempitan dapat hilang dengan sendirinya) yang di tandai oleh
episode obstruksi pernapasan diantara dua interval asimtomatik.
b. Klasifikasi
Berdasarkan Gambaran Klinis
Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak).
Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6- 7
tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2% (Kartasasmita, 2002)
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi
serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta), dan
pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami
serangan lebih banyak daripada lelaki.
WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan
laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi.
Kematian anak akibat asma jarang.
Etiologi
a. Faktor pencetus
- Makanan tertentu
- Polusi udara
- Cuaca dan lingkungan
- Emosi
- Infeksi saluran pernapasan
- Aktivitas fisik tertentu (ex : olahraga)
- Obat-obatan tertentu
- Wangi-wangian tertentu
- Barbagai alergen lainnya ( bulu binatang )
b. Faktor resiko
- Riwayat keluarga
- Terpajan asap rokok semasa dalam kandungan
- Sering mengalami infeksi saluran pernafasan
- Infeksi respiratory synctitial virus pada masa bayi
- Hidup di daerah perkotaan
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap
alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Degranulasi sel mast mengeluarkan
histamin dan berbagai mediator inflamasi lainnya yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sekresi mukus, dan vasodilatasi. Reaksi fase lambat pada asma timbul sekitar 6-9 jam
setelah fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil,
dan makrofag.
Pada remodeling saluran pernapasan, terjadi serangkaian proses yang menyebabkan
deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori melalui proses
dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Berbagai sel terlibat dalam
proses remodeling seperti sel-sel inflamasi, matriks ekstraseluler, membran retikular basal,
fibrogenic growth factor, pembuluh darah, otot polos dan kelenjar mukus. Perubahan struktur
yang terjadi pada proses remodeling yaitu: hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran napas,
hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, penebalan membran reticular basal, pembuluh darah
meningkat, peningkatan fungsi matriks ekstraselular, perubahan struktur parenkim, dan
peningkatan fibrogenic growth factor. Dengan adanya airway remodeling, terjadi peningkatan
tanda dan gejala asma seperti hipereaktivitas jalan napas, distensibilitas dan obstruksi jalan
napas.
Sumber Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science (USA);2003.
Manifestasi klinis
Keadaan umum : Penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih
nyaman dalam posisi duduk
Jantung : Pekak jantung mengecil, takikardi
Paru
a. Inspeksi : Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong
kebawah
b. Auskultasi : Terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang
c. Perkusi : Hipersonor
d. Palpasi : Fremitus vokal kanan sama dengan kiri
Berdasarkan konsep B6, pemeriksaan fisik untuk asma secara spesifik mencakup :
B1 (Breathing)
a. Inspeksi
Pada klien terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta
penggunaan otot bantu pernapasan. Inspeksi dada terutama melihat postur bentuk
dan kesimetrisan, adanya peningkatan diameter antero posterior, retraksi otot-otot
intercostalis, sifat dan irama pernapasan dan frekuensi napas.
b. Palpasi
Pada palpasi biasanya amati kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus normal
c. Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sama hipersonor sedangkan diafragma
menjadi datar dan rendah.
d. Auskultasi
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih dari 4
detik atau 3 kali ekspirasi, dengan bunyi tambahan napas tambahan utama
wheezing pada akhir ekspirasi.
B2 (Blood)
Monitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi keadaan hemodinamik
seperti nadi, tekanan darah dan CRT.
B3 (Brain)
Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada tidaknya oliguria
sebagai tanda awal gejala syok.
B5 (Bowel)
Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang dapat merangsang
serangan asma. Pengkajian status nutrisi meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan
pemenuhan kebutuhan nutrisi karena pada pasien sesak napas terjadi kekurangan.
Hal ini terjadi karena dispnea saat makan dan kecemasan klien.
B6 (Bone)
Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitas karena
merangsang serangan asma. Pada integumen perlu dikaji permukaan kasar,kering,
kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban, besisik, pruritis, eksim dan adanya
bekas dermatitis. Pada rambut kaji kelembaban dan kusam. Adanya wheezing,
sesak danortopnea saat istirahat. Pola aktivitas olahraga, pekerjaan dan aktivitas
lainnya.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
a. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil
b. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkhus
c. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus
d. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug
2. Pemeriksaan Darah
a. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis
b. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH
c. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi
d. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan
3. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi
3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada emfisema paru, yaitu:
a. Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock
wise rotation
b. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right
bundle branch block)
c. Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES
atau terjadinya depresi segmen ST negative
4. Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara
selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling
cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian
bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1
atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon
aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk
menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek
pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya
menunjukkan obstruksi.
Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma
yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan
yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang
sifatnya hanya singkat, dengan waktu pengamatan antara satu sampai dua jam.
Gambaran Klinis Status Asmatikus
a. Penderita tampak sakit berat dan sianosis
b. Sesak nafas, bicara terputus-putus
c. Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita
sudah jatuh dalam dehidrasi berat
d. Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat
laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh
ke dalam koma
DIAGNOSIS BANDING
1. Bronkitis Kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun paling
sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi pada
penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di pagi hari, lama-lama
disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada stadium lanjut ditemukan
sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.
2. Emfisema Paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya tida
ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada
pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati
menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.
4. Emboli Paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan
tromboflebitis dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura,
keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi,
gagal jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis, dan hipertensi.
Tata laksana
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini
tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang
disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus
menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya
diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai
6 – 8 minggu.
Obat – obat Pereda (Reliever)
1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak. Reseptor
β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung,
pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas(12). Dengan pemberian short acting β2 agonist,
diharapkan terjadi relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi, peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan
berkurangnya pelepasan mediator sel mast. Obat yang sering dipakai adalah salbutamol,
fenoterol, terbutalin.
Dosis salbutamol:
Oral: 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau
nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis fenoterol: 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin:
Oral: 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
nebulisasi: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai dalam
2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset
kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena pada keadaan ini obat
inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih sering
terjadi.9
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15
menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan
0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan
takikardi.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi karena efek
sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan
asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan antikolinergik(12). Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus
dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan
dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi
derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta
dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian besar
dieksresi bersama urin. Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia. Dosis aminofilin IV
inisial bergantung kepada usia : 1–6 bulan: 0,5mg/kgBB/Jam; 6–11 bulan: 1 mg/kgBB/Jam; 1–
9 tahun: 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam; > 10 tahun: 0,9 mg/kgBB/Jam.
2. Antikolinergik
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi β2
agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0,1 ml/kgBB,
nebulisasi tiap 4 jam. Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk
usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah
kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada
terapi asma jangka panjang pada anak.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan: (1) terapi inisial inhalasi β2
agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama; (2) serangan asma tetap terjadi
meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan sebagai kontroler; (3) serangan ringan
yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya. Kortikosteroid sistemik memerlukan
waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan
waktu 12 – 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau
triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali
sehari. Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan
paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis
metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis
Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB
dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam.
Sumber: Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.
Sumber: Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.
Terapi Suportif
Bentuk terapi suportif yang dapat diberikan antara lain terapi oksigen dan terapi cairan.
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui nasal kanul ataupun masker. Perlu
dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal
> 95%).
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya asupan cairan,
peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus
hati-hati karena pada asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yang
memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi
yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali
kebutuhan maintenance.
Sumber: Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring),
jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik.
Sebaliknya, deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek terapeutik yang lebih baik.
Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk
ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.
Sumber: Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam : Manajemen Kasus
Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi pertama. Jakarta : Yapnas Suddharprana;
2007.h. 97-106.
Memahami dan Menjelaskan Terapi Inhalasi
Ukuran partikel akan mempengaruhi sampai sejauh mana partikel menembus saluran
napas. Partikel berukuran > 15 mm tersaring oleh filtrasi rambut hidung sedangkan > 10
mm akan mengendap di hidung dan nasofaring. Partikel yang besar ini terutama
mengendap karena benturan inersial bila terdapat aliran udara yang cepat disertai
perubahan arah atau arus urbulen. Partikel berukuran 0,5 – 5 mm akan mengendap secara
sedimentasi karena gaya gravitasisedangkan partikel berukuran < 0,1 mm
akanmengendap karena gerak Brown. Dengan demikian untuk mendapatkan manfaat
obat yang optimal, obat yang diberikan secara inhalasi harus dapat mencapai tempat
kerjanya di dalam saluran pernapasan. Bentuk aerosol yang digunakan yaitu suspensi
partikel di dalam gas, dan partikel dalam aerosol yang mempunyai ukuran berkisar 2-10
Ïm atau 1-7 Ïm Penelitian lainnya mendapatkan bahwa partikel berukuran 1-8 Ïm
mengalami benturan dan pengendapan di saluran nafas besar, kecil, dan alveoli.
1. Nebuliser
Alat nebuliser dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara
terus menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau
gelombang ultrasonik sehingga dalam prakteknya dikenal 2 jenis alat nebuliser yaitu
ultrasonic nebulizer dan jet nebuliser. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih
banyak bergantung pada jenis nebuliser yangdigunakan. Terdapat nebuliser yang
dapat menghasilkanpartikel aerosol terus menerus ada juga yang dapatdiatur sehingga
aerosol hanya timbul pada saatpenderita melakukan inhalasi sehingga obat
tidakbanyak terbuang.
Kekurangannya adalah karena alat cukup besar, memerlukan sumber tenaga listrik
dan relatif mahal.
• Ultrasonic nebuliser
Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi dari piezo-electric
crystal yang berada dekat larutan dan cairan memecah menjadi aerosol.
Keuntungan jenis nebuliser ini adalah tidak menimbulkan suara bising dan terus
menerus dapat mengubah larutan menjadi aerosol sedangkan kekurangannya alat
ini mahal dan memerlukan biaya perawatan lebih besar.
• Jet nebuliser
Alat ini paling banyak digunakan banyak Negara karena relatif lebih murah
daripada ultrasonicnebuliser. Dengan gas jet berkecepatan tinggi yang berasal
dari udara yang dipadatkan dalam silinder ditiupkan melalui lubang kecil dan
akan dihasilkan tekanan negatif yang selanjutnya akan memecah larutan menjadi
bentuk aerosol. Aerosol yang terbentuk dihisap pasien melalui mouth piece atau
sungkup. Dengan mengisi suatu tempat pada nebuliser sebanyak 4 ml maka
dihasilkan partikel aerosol berukuran < 5 Ïm, sebanyak 60-80% larutan nebulisasi
akan terpakai dan lama nebulisasi dapat dibatasi. Dengan cara yang optimal maka
hanya 12% larutan akan terdeposit di paru-paru.7 Bronkodilator yang diberikan
dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi yang bermakna tanpa
menimbulkan efek samping.
Pada cara inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister dengan
inspirasi napas. Untuk mendapatkan hasil optimal maka pemakaian inhaler ini
hendaklah dikerjakan sebagai berikut:
1. terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup kanister
dibuka
2. inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi maksimal secara
perlahan
3. mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan
inspirasi perlahan sampai maksimal
4. pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat keluar
5. pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan pada
inspirasi maksimal
6. setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang kembali
7. setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek samping.
Easyhaler
Easyhaler adalah inhaler serbuk multidosis yang merupakan alternatif dari MDI.
Komponennya terdiri dari plastik dan cincin stainless steel dan mengandung serbuk
untuk sekurang-kurangnya 200 dosis. Masing-masing dosis obat dihitung secara
akurat dengan cara menekan puncak alat (overcap) yang akan memutari silinder
(metering cylindric) pada bagian bawah alat tersebut. Cekungan dosis berisi sejumlah
obat berhubungan langsung dengan mouthpiece. Saluran udara ke arah mouthpiece
berbentuk corong dengan tujuan untuk mengoptimalkan deposisi obat di saluran
napas. Terdapat takaran dosis yang berguna untuk memberi informasi kepada pasien
mengenai sisa dosis obat. Pelindung penutup berguna untuk mencegah kelembaban.
Partikel obat yang halus (<10 Ï) sulit untuk melayang jauh dan cenderung untuk
menggumpal, oleh karena itu zat aktif tersebut dicampur dengan sejumlah kecil
laktosa yang berperan sebagai pembawa. Pada easyhaler ukuran partikel laktosa
cukup besar untuk deposit di saluran napas bawah sehingga diharapkan akan jatuh di
orofaring. Keadaan ini mempunyai keuntungan untuk memberitahukan pada
penderita bahwa obatnya benar terhisap dengan rasa manis di mulut.
Obat-obat ini dapat digunakan secara oral, parenteral, dan inhalasi, tetapi untuk
metilsantin pemberian secara oral dan intravena lebih dipilih daripada inhalasi karena
obat ini menyebabkan iritasi saluran napas.Telah diketahui secara luas bahwa obat
antiinflamasi yang sering digunakan adalah golongan steroid. Mekanisme dasar asma
adalah terjadinya reaksi inflamasi sehingga pengendalian dengan obat antiinflamasi
sangat dianjurkan pada asma episodik sering dan persisten. Namun harus disadari
penggunaan kortikosteroid jangka panjang peroral atau parenteral dapat mengganggu
tumbuh kembang anak secara keseluruhan selain efek samping lain yang mungkin timbul
seperti hipertensi dan moon-face. Untuk itu pemberian inhalasi sangat dianjurkan. Jenis
terapi inhalasi yang diberikan dapat disesuaikan dengan usia pasien dan patokan ini tidak
berlaku secara kaku. Patokan yang diajukan oleh Dolovich dan Everard di bawah ini
dapat dipakai sebagai acuan.
Bagaimana sebenarnya penggunaan obat inhalasi pada asma anak dapat diterangkan
sebagai berikut:
Tata laksana saat serangan Pada saat serangan obat yang digunakan adalah obat golongan
bronkodilator dan yang sering digunakan yaitu β2 agonis yang dapat diberikan sendiri
atau bersama-sama dengar ́ipratropium bromid. Pada serangan asma yang ringan obat
inhalasi yang diberikan hanya β2 agonis saja meskipun ada juga yang menambahkan
dengan ipratropium bromida. Schuch dkk dalam penelitiannya mendapatkan bahwa
dengan menggunakan β2 agonis saja dapat meningkatkan FEV dan menghilangkan gejala
serangannya, sedangkan penambahan ipratropium bromida akan meningkatkan FEV1
yang lebih tinggi lagi. Pada serangan asma yang berat, KNAA menganjurkan pemberian
β2 agonis bersama-sama dengan ipratropium bromid.Pemberian cara nebulizer untuk usia
18 bulan- 4 tahun dianjurkan menggunakan mouthpiece daripada masker muka untuk
menghindarkan deposisi obat di muka dan mata.
Golongan b-agonis
Golongan antikolinergik
Ipratropium Atroven Solution 0,025% > 6 thn : 8-20 tetes
bromide
£ 6 thn : 4-10 tetes
Golongan steroid
Steroid Injeksi :
Corsona Ampul 5 mg
Ditunjukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan resiko asma (orang tua asma ),
dengan cara :
Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak
Diet hipoalergenik pada ibu hamil, dengan syarat tidak menganggu asupan janin
Pemberian asi eksklusif sampai usia 6 bulan
Diet hipoalergenik ibu menyusui
Pencegahan sekunder
Ditunjukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersentisasi dengan cara
menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah
Pencegahan Tersier
Ditunjukan utnuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah menunjukan
manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal sebagai ETAC
study (Early Treatment of Atopic Children) mendapatkan bahwa pemberian Setirizine
selama 18 bulan pada anak yang atopi dengan dermatitis atopi dn IgE spesifik terhadap
serbuk rumput (pollen) dan tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50 %
perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penilitian ini bukan sebagai pengendali
asma (controller)
Komplikasi
Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi berat
dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin suntikan dapat
digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif.
Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan
saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat
dangkal.
Hipoksemia adalah suatu kondisi dimana tubuh dapat kekurangan oksigen secara
sistemik akibat inadekuatnya intake oksigen ke paru oleh serangan asma.
Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan
kolapsnya paru.
Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi)
saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan
mengalami kerusakan yang luas.
Prognosis
Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian besar asma anak
hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar 50% asma episodik jarang sudah
menghilang pada umur 10-14 tahun dan hanya 15% yang menjadi asma kronik pada umur
21 tahun.
Sebaliknya, anak dengan asma berat, yang ditandai denga penyakit kronis tergantung
steroid dengan riwayat inap dirumah sakit yang sering, jarang membaik dan sekitar 95%
menjadi orang dewasa asmatikus