Anda di halaman 1dari 25

Memahami dan Menjelaskan Asma Pada Anak

Definisi dan Klasifikasi

a. Definisi
Asma adalah penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat penyempitan saluran napas
yang sifatnya reversibel (penyempitan dapat hilang dengan sendirinya) yang di tandai oleh
episode obstruksi pernapasan diantara dua interval asimtomatik.

b. Klasifikasi
 Berdasarkan Gambaran Klinis

Gambaran klinin sebelum terapi


Klasifikasi Gejala Gejala malam hari Fungsi paru
Intermiten ringan  Gejala ≤ 2 ≤ 2 kali/ perbulan  FEV, atau PEV
x/minggu. ≥ 80%
 Asimtomatik  Variabilitas
dan PEF normal PEF 20%
diantara
eksasebasi.
 Serangan
singkat
(beberapa jam-
beberapa hari)
intensitas
mungkin
bervariasi.
Persisten ringan  Gejala ≥ 2x/ >2 kali/ minggu
minggu namun
≤ 2x / hari.
 Serangan
mungkin
mempengaruhi
aktivitas.
 FEV atau PEV
≥ 80% .
 Variabilitas
PEV 20-30%.
Persisten sedang  Gelaja muncul >1 kali/ minggu  FEV atau PEF
setiap hari. > 60-80%.
 Penggunaan  Variabilitas
harian inhalasi PEF >30%
agonis beta 2
kerja singkat.
 Serangan
mempengaruhi
aktivitas.
 Serangan ≥ 2
kali/ minggu
Persisten berat  Gejala muncul Sering  FEV atau PEF
terus-menerus ≤ 60%
 Aktivitas fisik perkiraan
terbatas  Variabilitas
 Sering terjadi PEF > 30%
serangan

 Berdasarkan riwayat pribadi dan riwayat keluarga


Asma ekstrinsik Asma intrinsik
(alergik) (idiosinkratik)
Mulai terjadinya Anak-anak Saat dewasa
Kadar IgE serum meningkat normal
Mekanisme teradinya Mekanisme imun Non-imun

 Klasifikasi menurut Pedoman Nasional Asma Anak Indonesia

Parameter klinis, Asma episodic Asma episodic Asma Presisten


kebutuhan obat jarang (Asma sering (Asma (Asma berat)
dan faal paru ringan) sedang)
1. Frekuensi <1x/bulan >1x/bulan Sering
serangan
2. Lama serangan <1 minggu >1 minggu Hampir
sepanjang tahun
3. Diantara Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
serangan malam
4. Tidur dan Tidak terganggu Sering terganggu
aktivitas Sangat
5. PF diluar Normal Mungkin terganggu
serangan terganggu
6. Obat pengendali Tidak perlu Tidak pernah
Nonsteroid/steroid normal
7. Uji faal paru PEF/FEV1 hirupan dosis
>80% rendah Steroid hirupan/
8. Variabilitas faal PEF/FEP1 60- oral
paru >15% 80%
>30% PEV/FEP1
<60%
Variabilitas 20-
30%
>50%

Epidemiologi

Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak).
Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6- 7
tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2% (Kartasasmita, 2002)

Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi
serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta), dan
pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami
serangan lebih banyak daripada lelaki.
WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan
laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi.
Kematian anak akibat asma jarang.
Etiologi

a. Faktor pencetus
- Makanan tertentu
- Polusi udara
- Cuaca dan lingkungan
- Emosi
- Infeksi saluran pernapasan
- Aktivitas fisik tertentu (ex : olahraga)
- Obat-obatan tertentu
- Wangi-wangian tertentu
- Barbagai alergen lainnya ( bulu binatang )

b. Faktor resiko
- Riwayat keluarga
- Terpajan asap rokok semasa dalam kandungan
- Sering mengalami infeksi saluran pernafasan
- Infeksi respiratory synctitial virus pada masa bayi
- Hidup di daerah perkotaan

Patofisiologi dan patogenesis


patofisiologi
Individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan
mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru.
Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi,
menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin
dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan
mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas,
bronkospasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat
banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf
vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non alergi ketika ujung saraf pada
jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan,
jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung
menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas
diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor α- dan β-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki.
Ketika reseptor α adrenergik dirangsang , terjadi bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika
reseptor β-adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan β-adrenergik
dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor -alfa
mengakibatkan penurunan c-AMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang
dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi respon beta- mengakibatkan
peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan
bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan b-adrenergik terjadi pada
individu dengan asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator
kimiawi dan konstriksi otot polos.
Patogenesis

Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap
alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Degranulasi sel mast mengeluarkan
histamin dan berbagai mediator inflamasi lainnya yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sekresi mukus, dan vasodilatasi. Reaksi fase lambat pada asma timbul sekitar 6-9 jam
setelah fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil,
dan makrofag.
Pada remodeling saluran pernapasan, terjadi serangkaian proses yang menyebabkan
deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori melalui proses
dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Berbagai sel terlibat dalam
proses remodeling seperti sel-sel inflamasi, matriks ekstraseluler, membran retikular basal,
fibrogenic growth factor, pembuluh darah, otot polos dan kelenjar mukus. Perubahan struktur
yang terjadi pada proses remodeling yaitu: hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran napas,
hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, penebalan membran reticular basal, pembuluh darah
meningkat, peningkatan fungsi matriks ekstraselular, perubahan struktur parenkim, dan
peningkatan fibrogenic growth factor. Dengan adanya airway remodeling, terjadi peningkatan
tanda dan gejala asma seperti hipereaktivitas jalan napas, distensibilitas dan obstruksi jalan
napas.
Sumber Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science (USA);2003.
Manifestasi klinis

Gejala yang biasanya timbul berhubungan dengan beratnya hiperreaktivitas bronchus,


obstruksi jalan nafas dapat reversible secara spontan maupun dengan pengobatan. Gejala-
gejala-gejala asma antara lain :

a. Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop


b. Batuk produktif pada malam hari
c. Nafas atau dada seperti ditekan
Gejalanya bersifat paroksismal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada
malam hari. Namun biasanya penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan
gejala klinis, tapi ada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah,
duduk dengan menyangga kedepan serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja
dengan keras.

Pada serangan asma ringan:


 Anak tampak sesak saat berjalan.
 Pada bayi: menangis keras.
 Posisi anak: bisa berbaring.
 Dapat berbicara dengan kalimat.
 Kesadaran: mungkin irritable.
 Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
 Mengi sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi.
 Biasanya tidak menggunakan otot bantu pernafasan.
 Retraksi interkostal dan dangkal.
 Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
 Frekuensi nadi: normal.
 Tidak ada pulsus paradoksus (< 10 mmHg)
 SaO2 % > 95%.
 PaO2 normal, biasanya tidak perlu diperiksa.
 PaCO2 < 45 mmHg

Pada serangan asma sedang:


 Anak tampak sesak saat berbicara.
 Pada bayi: menangis pendek dan lemah, sulit menyusu/makan.
 Posisi anak: lebih suka duduk.
 Dapat berbicara dengan kalimat yang terpenggal/terputus.
 Kesadaran: biasanya irritable.
 Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
 Mengi nyaring, sepanjang ekspirasi ± inspirasi.
 Biasanya menggunakan otot bantu pernafasan.
 Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya sedang.
 Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
 Frekuensi nadi: cepat (takikardi).
 Ada pulsus paradoksus (10-20 mmHg)
 SaO2 % sebesar 91-95%.
 PaO2 > 60 mmHg.
 PaCO2 < 45 mmHg

Pada serangan asma berat tanpa disertai ancaman henti nafas:


 Anak tampak sesak saat beristirahat.
 Pada bayi: tidak mau minum/makan.
 Posisi anak: duduk bertopang lengan.
 Dapat berbicara dengan kata-kata.
 Kesadaran: biasanya irritable.
 Terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
 Mengi sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan inspirasi.
 Menggunakan otot bantu pernafasan.
 Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya dalam, ditambah nafas cuping hidung.
 Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
 Frekuensi nadi: cepat (takikardi).
 Ada pulsus paradoksus (> 20 mmHg)
 SaO2 % sebesar < 90 %.
 PaO2 < 60 mmHg.
 PaCO2 > 45 mmHg

Pada serangan asma berat disertai ancaman henti nafas:


 Kesadaran: kebingungan.
 Nyata terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
 Mengi sulit atau tidak terdengar.
 Penggunaan otot bantu pernafasan: terdapat gerakan paradoks torakoabdominal.
 Retraksi dangkal/hilang.
 Frekuensi nafas: lambat (bradipnea).
 Frekuensi nadi: lambat (bradikardi).
 Tidak ada pulsus paradoksus; tanda kelelahan otot nafas.

Diagnosis dan Diagnosis Banding


 Anamnesa
Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak
yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.Semua keluhan biasanya bersifat
episodic dan reversible. Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau
penyakit alergi yang lain.
 Pemeriksaan Fisik
penggunaan otot-otot bantu pernafasan
Frekuensi nafas > 30 kali per menit
Takikardia > 120 x/menit
Pulsus Parokdoksus >12 mmHg
wheezing ekspiratori.

Keadaan umum : Penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih
nyaman dalam posisi duduk
Jantung : Pekak jantung mengecil, takikardi
Paru
a. Inspeksi : Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong
kebawah
b. Auskultasi : Terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang
c. Perkusi : Hipersonor
d. Palpasi : Fremitus vokal kanan sama dengan kiri

Berdasarkan konsep B6, pemeriksaan fisik untuk asma secara spesifik mencakup :
 B1 (Breathing)
a. Inspeksi
Pada klien terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta
penggunaan otot bantu pernapasan. Inspeksi dada terutama melihat postur bentuk
dan kesimetrisan, adanya peningkatan diameter antero posterior, retraksi otot-otot
intercostalis, sifat dan irama pernapasan dan frekuensi napas.
b. Palpasi
Pada palpasi biasanya amati kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus normal
c. Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sama hipersonor sedangkan diafragma
menjadi datar dan rendah.
d. Auskultasi
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih dari 4
detik atau 3 kali ekspirasi, dengan bunyi tambahan napas tambahan utama
wheezing pada akhir ekspirasi.

 B2 (Blood)
Monitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi keadaan hemodinamik
seperti nadi, tekanan darah dan CRT.
 B3 (Brain)
Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran
 B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada tidaknya oliguria
sebagai tanda awal gejala syok.
 B5 (Bowel)
Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang dapat merangsang
serangan asma. Pengkajian status nutrisi meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan
pemenuhan kebutuhan nutrisi karena pada pasien sesak napas terjadi kekurangan.
Hal ini terjadi karena dispnea saat makan dan kecemasan klien.
 B6 (Bone)
Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitas karena
merangsang serangan asma. Pada integumen perlu dikaji permukaan kasar,kering,
kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban, besisik, pruritis, eksim dan adanya
bekas dermatitis. Pada rambut kaji kelembaban dan kusam. Adanya wheezing,
sesak danortopnea saat istirahat. Pola aktivitas olahraga, pekerjaan dan aktivitas
lainnya.

 Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
a. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil
b. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkhus
c. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus
d. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug
2. Pemeriksaan Darah
a. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis
b. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH
c. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi
d. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan

 Pemeriksaan Penunjang Lain


1. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah
dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai
berikut:
a. Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah
b. Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan
semakin bertambah
c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru
d. Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal
e. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium,
maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru

2. Pemeriksaan Tes Kulit


Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.

3. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi
3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada emfisema paru, yaitu:
a. Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock
wise rotation
b. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right
bundle branch block)
c. Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES
atau terjadinya depresi segmen ST negative

4. Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara
selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling
cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian
bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1
atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon
aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk
menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek
pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya
menunjukkan obstruksi.
Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma
yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan
yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang
sifatnya hanya singkat, dengan waktu pengamatan antara satu sampai dua jam.
Gambaran Klinis Status Asmatikus
a. Penderita tampak sakit berat dan sianosis
b. Sesak nafas, bicara terputus-putus
c. Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita
sudah jatuh dalam dehidrasi berat
d. Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat
laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh
ke dalam koma

Peran pemeriksaan lain untuk diagnosis :


Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala
asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji
provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil
negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis
alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan
fibrosis kistik.

Pengukuran Status Alergi


Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau
pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma,
tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol
lingkungan dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan
dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi
juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan
alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE
spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism,
dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE
total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.

DIAGNOSIS BANDING
1. Bronkitis Kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun paling
sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi pada
penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di pagi hari, lama-lama
disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada stadium lanjut ditemukan
sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.
2. Emfisema Paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya tida
ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada
pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati
menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.

3. Gagal Jantung Kiri


Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai
paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi
sesak berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
kardiomegali dan udem paru.

4. Emboli Paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan
tromboflebitis dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura,
keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi,
gagal jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis, dan hipertensi.

Diagnosis banding lainnya :


 Rinosinusitis
 Refluks gastroesofageal
 Infeksi respiratorik bawah viral berulang
 Displasia bronkopulmoner
 Tuberkulosis
 Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik
intratorakal
 Aspirasi benda asing
 Sindrom diskinesia silier primer
 Defisiensi imun
 Penyakit jantung bawaan

Tata laksana
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini
tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang
disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus
menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya
diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai
6 – 8 minggu.
Obat – obat Pereda (Reliever)
1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak. Reseptor
β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung,
pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas(12). Dengan pemberian short acting β2 agonist,
diharapkan terjadi relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi, peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan
berkurangnya pelepasan mediator sel mast. Obat yang sering dipakai adalah salbutamol,
fenoterol, terbutalin.
Dosis salbutamol:
 Oral: 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
 Nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau
nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
 Dosis fenoterol: 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin:
 Oral: 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
 nebulisasi: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai dalam
2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset
kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena pada keadaan ini obat
inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih sering
terjadi.9
 Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15
menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
 Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan
0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan
takikardi.

b. Methyl xanthine

Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi karena efek
sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan
asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan antikolinergik(12). Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus
dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan
dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi
derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta
dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian besar
dieksresi bersama urin. Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia. Dosis aminofilin IV
inisial bergantung kepada usia : 1–6 bulan: 0,5mg/kgBB/Jam; 6–11 bulan: 1 mg/kgBB/Jam; 1–
9 tahun: 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam; > 10 tahun: 0,9 mg/kgBB/Jam.

2. Antikolinergik
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi β2
agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0,1 ml/kgBB,
nebulisasi tiap 4 jam. Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk
usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah
kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada
terapi asma jangka panjang pada anak.

3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan: (1) terapi inisial inhalasi β2
agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama; (2) serangan asma tetap terjadi
meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan sebagai kontroler; (3) serangan ringan
yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya. Kortikosteroid sistemik memerlukan
waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan
waktu 12 – 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau
triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali
sehari. Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan
paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis
metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis
Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB
dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam.

Sumber: Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.

Obat – obat Pengontrol


Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik yaitu:
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, teofilin, kromolin, dan
long acting oral β2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan
inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi
penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini
mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah
rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial,
dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan. Dosis yang dapat digunakan sampai
400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan
sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya
lebih baik. LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil leukotriane.
Selain itu LTRA mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor
dan dapat mencegah early asma reaction dan late asthma reaction. LTRA dapat diberikan per
oral, penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati. Preparat LTRA yaitu
montelukas dan zafirlukas. Preparat yang tersedia di Indonesia hanya zafirlukas. Zafirlukas
digunakan untuk anak usia > 7 tahun dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.
3. Long acting β2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS 400ug
dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore,
penggunaan steroid oral, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS
dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol
(Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort
dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan
memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan
untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi
teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Terapi dimulai pada
dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

Sumber: Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.

Terapi Suportif

Bentuk terapi suportif yang dapat diberikan antara lain terapi oksigen dan terapi cairan.
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui nasal kanul ataupun masker. Perlu
dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal
> 95%).
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya asupan cairan,
peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus
hati-hati karena pada asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yang
memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi
yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali
kebutuhan maintenance.

Sumber: Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.

4.7.2. Cara Pemberian Obat

UMUR ALAT INHALASI


< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat
perenggang (spacer)
5-8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,
Turbuhaler)
>8 tahun Nebuliser
MDI (metered dose inhaler)
Alat Hirupan Bubuk
Autohaler

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring),
jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik.
Sebaliknya, deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek terapeutik yang lebih baik.
Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk
ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.
Sumber: Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam : Manajemen Kasus
Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi pertama. Jakarta : Yapnas Suddharprana;
2007.h. 97-106.
Memahami dan Menjelaskan Terapi Inhalasi

Prinsip terapi inhalasi


Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang ideal untuk penyakit saluran napas adalah obat
dapat sampai pada organ target dengan menghasilkan partikel aerosol berukuran optimal
agar terdeposisi di paru, onset kerjanya cepat, dosis obat kecil, efek samping minimal
karena konsentrasi obat di dalam darah sedikit atau rendah, mudah digunakan, serta efek
terapeutik tercapai yang ditandai dengan tampaknya perbaikan klinis. Meskipun saluran
napas mempunyai beberapa mekanisme antara lain refleks batuk, bersin serta klirens
mukosilier yang akan melindungi terhadap masuk dan mengendapnya partikel obat
sehingga akan mengeliminasi obat inhalasi. Namun dengan memperhatikan metode
untuk menghasilkan aerosol serta cara penyampaian/delivery obat yang akan
mempengaruhi ukuran partikel yang dihasilkan dan jumlah obat yang mencapai berbagai
tempat di saluran napas maka diharapkan obat terdeposisi secara efektif.

Ukuran partikel akan mempengaruhi sampai sejauh mana partikel menembus saluran
napas. Partikel berukuran > 15 mm tersaring oleh filtrasi rambut hidung sedangkan > 10
mm akan mengendap di hidung dan nasofaring. Partikel yang besar ini terutama
mengendap karena benturan inersial bila terdapat aliran udara yang cepat disertai
perubahan arah atau arus urbulen. Partikel berukuran 0,5 – 5 mm akan mengendap secara
sedimentasi karena gaya gravitasisedangkan partikel berukuran < 0,1 mm
akanmengendap karena gerak Brown. Dengan demikian untuk mendapatkan manfaat
obat yang optimal, obat yang diberikan secara inhalasi harus dapat mencapai tempat
kerjanya di dalam saluran pernapasan. Bentuk aerosol yang digunakan yaitu suspensi
partikel di dalam gas, dan partikel dalam aerosol yang mempunyai ukuran berkisar 2-10
Ïm atau 1-7 Ïm Penelitian lainnya mendapatkan bahwa partikel berukuran 1-8 Ïm
mengalami benturan dan pengendapan di saluran nafas besar, kecil, dan alveoli.

Jenis terapi inhalasi


Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak
mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di
saluran napas atas serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, atau orang tua. Namun
keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai dan masing-masing jenis alat
terapi inhalasi mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian. Hingga saat ini dikenal 3
sistem inhalasi yang digunakan dalam klinik sehari-hari yaitu,:
1. Nebuliser
2. Metered dosed inhaler aerosol ( dengan atau tanpa spacer / alat penyambung)
3. Dry powder inhaler

1. Nebuliser
Alat nebuliser dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara
terus menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau
gelombang ultrasonik sehingga dalam prakteknya dikenal 2 jenis alat nebuliser yaitu
ultrasonic nebulizer dan jet nebuliser. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih
banyak bergantung pada jenis nebuliser yangdigunakan. Terdapat nebuliser yang
dapat menghasilkanpartikel aerosol terus menerus ada juga yang dapatdiatur sehingga
aerosol hanya timbul pada saatpenderita melakukan inhalasi sehingga obat
tidakbanyak terbuang.

Keuntungan terapi inhalasimenggunakan nebuliser adalah tidak atau


sedikitmemerlukan koordinasi pasien, hanya memerlukanpernafasan tidal, beberapa
jenis obat dapat dicampur(misalnya salbutamol dan natrium kromoglikat).

Kekurangannya adalah karena alat cukup besar, memerlukan sumber tenaga listrik
dan relatif mahal.

• Ultrasonic nebuliser
Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi dari piezo-electric
crystal yang berada dekat larutan dan cairan memecah menjadi aerosol.
Keuntungan jenis nebuliser ini adalah tidak menimbulkan suara bising dan terus
menerus dapat mengubah larutan menjadi aerosol sedangkan kekurangannya alat
ini mahal dan memerlukan biaya perawatan lebih besar.

• Jet nebuliser
Alat ini paling banyak digunakan banyak Negara karena relatif lebih murah
daripada ultrasonicnebuliser. Dengan gas jet berkecepatan tinggi yang berasal
dari udara yang dipadatkan dalam silinder ditiupkan melalui lubang kecil dan
akan dihasilkan tekanan negatif yang selanjutnya akan memecah larutan menjadi
bentuk aerosol. Aerosol yang terbentuk dihisap pasien melalui mouth piece atau
sungkup. Dengan mengisi suatu tempat pada nebuliser sebanyak 4 ml maka
dihasilkan partikel aerosol berukuran < 5 Ïm, sebanyak 60-80% larutan nebulisasi
akan terpakai dan lama nebulisasi dapat dibatasi. Dengan cara yang optimal maka
hanya 12% larutan akan terdeposit di paru-paru.7 Bronkodilator yang diberikan
dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi yang bermakna tanpa
menimbulkan efek samping.

2. Metered dose inhaler (MDI)


Metered dose inhaler (MDI) atau inhaler dosis terukur merupakan cara inhalasi yang
memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis obat mencapai saluran
pernafasan. Pada inhaler ini bahan aktif obat disuspensikan dalam kurang lebih 10 ml
cairan pendorong (propelan) dan yang biasa digunakan adalah kloroflurokarbon
(chlorofluorocarbon = CFC) pada tekanan tinggi. Akhir-akhir ini mulai
dikembangkan penggunaan bahan non-CFC yaitu hidrofluroalkana (HFA) yang tidak
merusak lapisan ozon. Propelan mempunyai tekanan uap tinggi sehingga di dalam
tabung (kanister) tetap berbentuk cairan. Bila canister ditekan, aerosol disemprotkan
keluar dengan kecepatan tinggi yaitu 30 m/detik dalam bentuk droplet dengan dosis
tertentu melalui aktuator (lubang). Pada ujung aktuator ukuran partikel berkisar 35
Ïm, pada jarak 10 cm dari kanister besarnya menjadi 14 Ïm, dan setelah propelan
mengalami evaporasi seluruhnya ukuran partikel menjadi 2,8-4,3 Ïm. Dengan teknik
inhalasi yang benar maka 80% aerosol akan mengendap di mulut dan orofarings
karena kecepatan yang tinggi dan ukurannya besar, 10% tetap berada dalam aktuator,
dan hanya sekitar 10% aerosol yang disemprotkan akan sampai ke dalam paru-paru.

Pada cara inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister dengan
inspirasi napas. Untuk mendapatkan hasil optimal maka pemakaian inhaler ini
hendaklah dikerjakan sebagai berikut:

1. terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup kanister
dibuka
2. inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi maksimal secara
perlahan
3. mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan
inspirasi perlahan sampai maksimal
4. pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat keluar
5. pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan pada
inspirasi maksimal
6. setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang kembali
7. setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek samping.

Langkah-langkah di atas harus dilaksanakan sebelum pasien menggunakan obat asma


jenis MDI. Langkah di atas sering tidak diikuti sehingga pengobatan asma kurang
efektif dan timbul efek samping yang tidak diinginkan. Beberapa ahli
mengidentifikasi beberapa kesalahan yang sering dijumpai antara lain kurangnya
koordinasi pada saat menekan kanister dan saat menghisap, terlalu cepat inspirasi,
tidak berhenti sesaat setelah inspirasi, tidak mengocok kanister sebelum digunakan,
dan terbalik pemakaiannya. Kesalahankesalahan di atas umumnya dilakukan oleh
anak yang lebih muda, manula, wanita, dan penderita dengan social ekonomi dan
pendidikan yang rendah.
MDI dengan spacer
Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara aktuator dengan mulut
sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang dan akan dihasilkan
partikel berukuran kecil yang berpenetrasi ke saluran pernafasan perifer. Hal ini
merupakan kelebihan dari penggunaan spacer karena mengurangi pengendapan di
orofaring. Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar
10-20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Untuk bayi
dianjurkan menggunakan spacer volume kecil (babyhaler) agar aerosol yang
dihasilkan lebih mampat sehingga lebih banyak obat akan terinhalasi pada setiap
inspirasi. Beberapa alat dilengkapi dengan katup satu arah yang akan terbuka saat
inhalasi dan akan menutup pada saat ekshalasi misalnya Nebuhaler (Astra),
Volumatic (A&H). Pengendapan di orofaring akan berkurang yaitu sekitar 5% dosis
yang diberikan bila digunakan spacer dengan katup satu arah. Pada spacer tanpa
katup satu arah, pengendapan di orofaring sekitar 8-60% dosis. Dengan penggunaan
spacer, deposit pada paru akan meningkat menjadi 20% dibandingkan tanpa spacer.
Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan pada anak karena pada anak
koordinasinya belum baik. Dengan bantuan spacer, koordinasi pada saat menekan
kanister dengan saat penghisapan dapat dikurangi atau bahkan tidak memerlukan
koordinasi. Apabila spacer ini tidak tersedia maka sebagai penggantinya bisa
digunakan spacer sederhana yang murah dan mudah dibuat yaitu dari plastic coffee
cup yang dilubangi dasarnya untuk tempat aerosol. Cara ini sudah terbukti bermanfaat
hanya untuk bronkodilator dan belum dibuktikan berguna untuk natrium kromoglikat
dan steroid.

Easyhaler
Easyhaler adalah inhaler serbuk multidosis yang merupakan alternatif dari MDI.
Komponennya terdiri dari plastik dan cincin stainless steel dan mengandung serbuk
untuk sekurang-kurangnya 200 dosis. Masing-masing dosis obat dihitung secara
akurat dengan cara menekan puncak alat (overcap) yang akan memutari silinder
(metering cylindric) pada bagian bawah alat tersebut. Cekungan dosis berisi sejumlah
obat berhubungan langsung dengan mouthpiece. Saluran udara ke arah mouthpiece
berbentuk corong dengan tujuan untuk mengoptimalkan deposisi obat di saluran
napas. Terdapat takaran dosis yang berguna untuk memberi informasi kepada pasien
mengenai sisa dosis obat. Pelindung penutup berguna untuk mencegah kelembaban.
Partikel obat yang halus (<10 Ï) sulit untuk melayang jauh dan cenderung untuk
menggumpal, oleh karena itu zat aktif tersebut dicampur dengan sejumlah kecil
laktosa yang berperan sebagai pembawa. Pada easyhaler ukuran partikel laktosa
cukup besar untuk deposit di saluran napas bawah sehingga diharapkan akan jatuh di
orofaring. Keadaan ini mempunyai keuntungan untuk memberitahukan pada
penderita bahwa obatnya benar terhisap dengan rasa manis di mulut.

3. Dry Powder Inhaler


Pada awalnya di tahun 1957 jenis inhaler ini digunakan untuk delivery serbuk
antibiotik. Selanjutnya banyak penelitian uji klinis yang menunjukkan bahwa DPI
bisa digunakan untuk pengobatan asma anak. Dalam perkembangannya pada tahun
1970 dibuat inhaler yang hanya memuat serbuk kering dosis tunggal seperti misalnya
spinhaler dan rotahaler, dan akhir tahun 1980 diperkenalkan inhaler yang memuat
multiple dosis yaitu yang dikenal dengan diskhaler (8 dosis) dan turbuhaler. Beberapa
tahun terakhir ini diperkenalkan diskus (di Inggris dikenal dengan accuhaler) yang
memuat 60 dosis dan dapat dipergunakan untuk 1bulan terapi.6 Inhaler jenis ini tidak
mengandung propelan sehingga mempunyai kelebihan dari MDI. Penggunaan obat
serbuk kering pada DPI memerlukan inspirasi yang cukup kuat. Pada anak yang kecil
hal ini sulit dilakukan mengingat inspirasi kuat belum dapat dilakukan, sehingga
deposisi obat pada saluran pernafasan berkurang. Pada anak yang lebih besar,
penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan
koordinasi dibandingkan dengan MDI. Dengan cara ini deposisi obat di dalam paru
lebih tinggi dan lebih konstan dibandingkan MDI sehingga dianjurkan diberikan pada
anak di atas 5 tahun. Cara DPI ini tidak memerlukan spacer sebagai alat bantu
sehingga mudah dibawa dan dimasukkan ke dalam saku. Hal ini yang juga
memudahkan pasien dan lebih praktis.

Terapi inhalasi pada asma


Pada tata laksana asma harus dibedakan dua hal penting yaitu tata laksana serangan dan
tata laksana jangka panjang. Seorang anak yang telah didiagnosis asma harus ditentukan
klasifikasinya. Berdasarkan Konsensus Nasional Penanganan Asma (KNAA) klasifikasi
asma di luar serangan adalah asma episodik jarang, episodic sering, dan asma persisten.23
Pada asma episodik jarang, tidak diperlukan obat pengendali (controller) untuk tata
laksana jangka panjangnya sedangkan pada asma episodik sering dan asma persisten
harus diberikan obat pengendali. Obat pengendali dari golongan antiinflamasi yang
sering digunakan adalah budesonid, beklometason dipropionat, flutikason, dan golongan
natrium kromoglikat.23 Bila terjadi serangan maka digunakan obat pereda (reliever).
Obat yang sering digunakan yaitu golongan bronkodilator seperti metilsantin (teofilin),
agonis, dan ipratropium bromida.

Obat-obat ini dapat digunakan secara oral, parenteral, dan inhalasi, tetapi untuk
metilsantin pemberian secara oral dan intravena lebih dipilih daripada inhalasi karena
obat ini menyebabkan iritasi saluran napas.Telah diketahui secara luas bahwa obat
antiinflamasi yang sering digunakan adalah golongan steroid. Mekanisme dasar asma
adalah terjadinya reaksi inflamasi sehingga pengendalian dengan obat antiinflamasi
sangat dianjurkan pada asma episodik sering dan persisten. Namun harus disadari
penggunaan kortikosteroid jangka panjang peroral atau parenteral dapat mengganggu
tumbuh kembang anak secara keseluruhan selain efek samping lain yang mungkin timbul
seperti hipertensi dan moon-face. Untuk itu pemberian inhalasi sangat dianjurkan. Jenis
terapi inhalasi yang diberikan dapat disesuaikan dengan usia pasien dan patokan ini tidak
berlaku secara kaku. Patokan yang diajukan oleh Dolovich dan Everard di bawah ini
dapat dipakai sebagai acuan.
Bagaimana sebenarnya penggunaan obat inhalasi pada asma anak dapat diterangkan
sebagai berikut:
Tata laksana saat serangan Pada saat serangan obat yang digunakan adalah obat golongan
bronkodilator dan yang sering digunakan yaitu β2 agonis yang dapat diberikan sendiri
atau bersama-sama dengar ́ipratropium bromid. Pada serangan asma yang ringan obat
inhalasi yang diberikan hanya β2 agonis saja meskipun ada juga yang menambahkan
dengan ipratropium bromida. Schuch dkk dalam penelitiannya mendapatkan bahwa
dengan menggunakan β2 agonis saja dapat meningkatkan FEV dan menghilangkan gejala
serangannya, sedangkan penambahan ipratropium bromida akan meningkatkan FEV1
yang lebih tinggi lagi. Pada serangan asma yang berat, KNAA menganjurkan pemberian
β2 agonis bersama-sama dengan ipratropium bromid.Pemberian cara nebulizer untuk usia
18 bulan- 4 tahun dianjurkan menggunakan mouthpiece daripada masker muka untuk
menghindarkan deposisi obat di muka dan mata.

Apabila dengan pemberian inhalasi obat tersebut serangan asma tidak


teratasi/sedikit perbaikan maka dapat diberikan steroid sistemik. Pemberian steroid
sistemik perlu diperhatikan pada anak dengan serangan asma yang sering karena anak ini
berisiko mengalami efek samping akibat pemberian steroid sistemik berulang kali seperti
supresi adrenal, gangguan pertumbuhan tulang, dan osteoporosis. Untuk mengurangi
pemberian steroid oral berulang, maka sebagai alternatifnya dapat diberikan inhalasi
budesonid dosis tinggi (1600 mg perhari) pada anak yang serangan asmanya tidak teratasi
dengan penanganan inhalasi β2 agonis di rumah dan mereka belum/tidak perlu perawatan
di rumah sakit. Penggunaan obat pereda secara inhalasi pada serangan asma sangat
bermanfaat dan justru sangat dianjurkan, namun demikian penggunaannya masih belum
banyak. Hal ini dimungkinkan karena penggunaannya yang belum banyak diketahui dan
harga obat masih mahal. Hal ini berlaku bukan hanya di Indonesia, tetapi juga berlaku di
negara maju. Penggunaannya pada orang dewasa lebih banyak dibandingkan dengan
anak. Tata laksana di luar serangan Obat inhalasi di luar serangan asma hanya diberikan
apabila memerlukan obat pengendali; yang biasa digunakan adalah natrium kromoglikat
dan golongan steroid. Natrium kromoglikat menurut KNAA diberikan apabila termasuk
asma episodik sering sedangkan penggunaan steroid dapat diberikan pada asma episodik
sering dan asma persisten. Natrium kromoglikat menunjukkan absorbsi yang tidak baik
sehingga hanya efektif bila diberikan secara inhalasi. Obat ini tersedia dalam nebuliser
solution , serbuk aerosol dan aerosol dengan dosis 20 mg untuk nebulizer atau 2 mg
secara aerosol.
Penggunaan steroid pada asma anak masih jarang mengingat samping yang
mungkin ditimbulkan. Namun beberapa peneliti telah membuktikan bahwa dengan
penggunaan yang tepat dengan dosis, cara, dan jenis yang sesuai maka efek samping
dapat dikurangi. Penggunaan obat inhalasi yang salah akan meningkatkan efek samping
seperti jamur/kandidiasis di daerah mulut, suara serak, dan efek lainnya. Dengan inhalasi
sebagian obat juga akan beredar ke seluruh tubuh melalui sistem gastrointestinal dan
selanjutnya akan dielimininasi melalui hati sehingga dalam peredaran sistemik kadarnya
berkurang. Obat yang baik adalah yang dapat elimininasi tubuh dengan baik artinya kadar
di dalam sirkulasi menjadi kecil. Penggunaan steroid inhalasi pada asma episodik sering
dan asma persisten memerlukan waktu yang lama dan dosis yang mungkin bervariasi.
Pada awal pengobatan dapat diberikan dosis tinggi (400-800 mg per hari) dan diturunkan
secara perlahan sampai tercapai dosis optimum untuk anak tersebut dan dipertahankan
pada dosis optimum untuk beberapa lama dan kemudian diturunkan secara bertahap
sampai pada akhirnya kalau memungkinkan tidak digunakan samasekali. Penggunaan
waktu lama (sekitar 2-3 tahun) dengan dosis 400 mg perhari tidak mengganggu proses
tumbuh kembang anak. Untuk bayi dan anak berusia di bawah 4 tahun yang memerlukan
steroid inhalasi dapat digunakan suspensi budesonide inhalasi (pulmicort respules) yang
diberikan dengan nebuliser. Jadi penggunaan steroid inhalasi dapat lebih aman apabila
kita mengetahui cara penggunaannya.

Obat-obat yang umum digunakan


Takaran obat, cairan, dan waktu untuk nebulisasi

Cairan , Obat, Waktu Nebulisasi jet Nebulisasi ultrasonik

Garam faali (NaCl 0,9%) 5 ml 10 ml

b-agonis/antikolinergik/steroid Lihat tabel 2

Waktu 10-15 menit 3-5 menit

Obat untuk nebulisasi, jenis dan dosis

Nama generic Nama dagang Sediaan Dosis nebulisasi

Golongan b-agonis

Fenoterol Berotec Solution 0,1% 5-10 tetes

Salbutamol Ventolin Nebule 2,5 mg 1 nebule (0,1-0,15


mg/kg)

Terbutalin Bricasma Respule 2,5 mg 1 repsule

Golongan antikolinergik
Ipratropium Atroven Solution 0,025% > 6 thn : 8-20 tetes
bromide
£ 6 thn : 4-10 tetes

Golongan steroid

Budesonide Pulmicort Respule


Fluticasone Flixotide Nebule

Sediaan steroid yang dapat digunakan untuk serangan asma


Steroid Oral :

Nama Nama Dagang Sediaan Dosis


Generik

Prednisolon Medrol, Medixon Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam


Lameson, Urbason 4 mg

Prednison Hostacortin, Pehacort, Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam


Dellacorta
5 mg

Triamsinolon Kenacort Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam


4 mg

Steroid Injeksi :

Nama Generik Nama Dagang Sediaan Jalur Dosis

M. prednisolone Solu-Medrol Vial 125 mg IV / IM 1-2 mg/kg


Suksinat Medixon Vial 500 mg tiap 6 jam

Hidrokortison- Solu-Cortef Vial 100 mg IV / IM 4 mg/kgBB/x


Suksinat
Silacort Vial 100 mg tiap 6 jam

Deksametason Oradexon Ampul 5 mg IV / IM 0,5-1mg/kgBB bolus,


dilanjutkan 1
Kalmetason Ampul 4 mg
mg/kgBB/hari diberikan
Fortecortin Ampul 4 mg tiap 6-8 jam

Corsona Ampul 5 mg

Betametason Celestone Ampul 4 mg IV / IM 0,05-0,1 mg/kgBB tiap


6 jam
pencegahan
Pencegahan Primer

Ditunjukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan resiko asma (orang tua asma ),
dengan cara :
 Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak
 Diet hipoalergenik pada ibu hamil, dengan syarat tidak menganggu asupan janin
 Pemberian asi eksklusif sampai usia 6 bulan
 Diet hipoalergenik ibu menyusui

Pencegahan sekunder
Ditunjukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersentisasi dengan cara
menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah

Pencegahan Tersier
Ditunjukan utnuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah menunjukan
manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal sebagai ETAC
study (Early Treatment of Atopic Children) mendapatkan bahwa pemberian Setirizine
selama 18 bulan pada anak yang atopi dengan dermatitis atopi dn IgE spesifik terhadap
serbuk rumput (pollen) dan tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50 %
perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penilitian ini bukan sebagai pengendali
asma (controller)

Komplikasi
 Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi berat
dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin suntikan dapat
digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif.
 Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan
saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat
dangkal.
 Hipoksemia adalah suatu kondisi dimana tubuh dapat kekurangan oksigen secara
sistemik akibat inadekuatnya intake oksigen ke paru oleh serangan asma.
 Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan
kolapsnya paru.
 Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi)
saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan
mengalami kerusakan yang luas.

Prognosis
Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian besar asma anak
hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar 50% asma episodik jarang sudah
menghilang pada umur 10-14 tahun dan hanya 15% yang menjadi asma kronik pada umur
21 tahun.
Sebaliknya, anak dengan asma berat, yang ditandai denga penyakit kronis tergantung
steroid dengan riwayat inap dirumah sakit yang sering, jarang membaik dan sekitar 95%
menjadi orang dewasa asmatikus

Anda mungkin juga menyukai