Anda di halaman 1dari 31

PRESENTASI KASUS

BLOK 7.4 FOUNDATION FOR CLINICAL ROTATION


ADENOMIOSIS DENGAN ANEMIA

Pembimbing :
dr. Setya Dian Kartika, Sp.OG

Disusun oleh :
Dhiesty Kusuma Purbasari G1A016073
Adi Putra Wijaya G1A016074
Refin Wahyubaskoro G1A016075
Ariesta Riendrias G1A016076

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KANDUNGAN DAN KEBIDANAN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :


ADENOMIOSIS DENGAN ANEMIA

Pada tanggal, 30 November 2019

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


Blok 7.4 di Bagian Ilmu Kandungan dan Kebidanan
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto

Disusun oleh :
Dhiesty Kusuma Purbasari G1A016073
Adi Putra Wijaya G1A016074
Refin Wahyubaskoro G1A016075
Ariesta Riendrias G1A016076

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Setya Dian Kartika, Sp.OG


STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. Baniyem
Usia : 46 tahun
Alamat : Jl. Nusawungu RT 3 RW 3 Kutawaru Cilacap, Kabupaten
Cilacap, Jawa Tengah
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
B. Anamnesis
Diambil autoanamnesis pada hari Jum’at, 29 November 2019
Keluhan Utama
Nyeri saat menstruasi, benjolan dibagian perut bawah, lemas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri saat menstruasi dan terdapat benjolan
pada perut bagian bawah sejak 3 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
badan pasien lama-lama semakin lemas dan nafsu makan menurun hingga
pasien mengalami penurunan berat badan sebesar 7 kg. Pasien sempat
melakukan pengobatan herbal dan pijit sekitar 1 tahun yang lalu setai 2
minngu sekali. Sejak pengobatan tersebut pasien merasa lama kelamaan
benjolan semakin mengecil. Pasien mengatakan nyeri mentruasi hilang timbul
dan terasa sangat sakit sehingga mengganggu aktivitas fisik. Nyeri dirasakan
lebih ringan jika pasien beristirahat dan meminum madu. Keputihan (+),
Nyeri BAK (-), Nyeri BAB (-).
Riwayat Menstruasi
Volume normal/7-8 hari/warna merah kehitaman kental/ sejak kelas 6 SD
Riwayat Pernikahan : 1x/ 28 tahun
Riwayat Obstetri : G3P3A0
1. P/1991/spontan/rumah/dukun bayi
2. L/1993/ spontan /rumah/dukun bayi
3. P/2002/ spontan /rumah/bidan
Riwayat KB : Pil (1 tahun), susuk (5 tahun), suntik
Riwayat Gynecologi : Operasi (-), kuret (-), SC (-), kemoterapi (-).
Riwayat Penyakit Dahulu : Asam urat (+), HT (-), DM (-), Jantung (-), Paru
(-), Asma (-), keganasan (-)
Riwayat Penyakit Keluarga : Asam urat (-), HT (-), DM (-), Jantung (-),
Paru (-), Asma (-), keganasan (-)
Riwayat Alergi (-)
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga, pendidikan terakhir SD.
Pasien mengaaku makan sehari 3x dengan makanan rumahan biasa. Gemar
memakan makanan jeroan, gorengan, emping, dan kacang-kacangan.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak cemas
Kesadaran : Kompos mentis
TTV
- Tekanan darah : 130/90
- HR : 88
- RR : 20x/menit
- Suhu : 37°C

Antropometri : TB 158cm, BB sebelum 55kg, BB sesudah 48kg

Status Generalis

- Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)


- Hidung : Nafas cuping hidung (-), discharge (-)
- Mulut : Sianosis (-), mukosa basah (+)
- Pulmo : Inspeksi : simetris (+), retraksi (-)
Palpasi : fokal fremitus (+/+) normal, simetris (+)
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
- Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC II linea
midclavicular sinistra
Perkusi : Batas kanan atas SIC II linea parasternal
dextra
Batas kiri atas SIC II linea parasternal sinistra
Batas kanan bawah SIC IV linea parasternal
dextra
Batas kanan bawah SIC V linea parasternal
sinistra
Auskultasi : S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen : Inspeksi : cembung, terdapat benjolan regio suprapubik
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : benjolan sebesar buah mangga, keras dan
immobile
Perkusi : timpani pada lapang abdomen
- Ekstremitas : Superior : edem (-/-), akral hangat (+/+), CRT <2dtk
Inferior : edem (-/-), akral hangat (+/+), CRT <2dtk
D. Pemeriksaan Penunjang
- Darah lengkap : Hb 4.5 (menurun), Ht 18 (menurun)
- USG : Uterus membesar ukuran 12x11 dengan fokal TU di posterior
myometrium dengan hypoechoic intramural
E. Diagnosis
Adenomyosis dengan klinis anemia
F. Planning
INF NaCl 0,9%
Ferrosulofat 2x1
Pro transfusi 4 kolf
I. PENDAHULUAN

Adenomyosis merupakan suatu kondisi dimana endometriosis internal tumbuh

di myometrium. Penyakit ini paling sering ditemukan menjadi penyebab

dismenore, menoragia, dan infertilitas. Kejadian adenomyosis dapat dikaitkan

dengan tingkat esterogen yang tinggi dan perubahan imunitas seluler. Umumnya,

adenomyosis muncul pada akhir periode reproduksi dan perimenopause (Taran et

al., 2013)

Menurut cara pemeriksaan dan temuan kasus, adenomiosis memiliki angka

kejadian yang beragam. Terdapat 10-20% kasus kejadian ditemukan secara klinis,

berdasarkan histopatologis ditemukan 20-40% kasus kejadian. Penderita

adenomiosis dengan uterus abnormal ditemukan sekitar 80%. Sebesar 50%

kejadian bersamaan dengan miom uterus, 11% dengan endometriosis, dan 7%

dengan polip endometrium. Persentase kekambuhan pada pasien pascabedah dan

pascapengobatan medisinal adalah sebenar 33-40,3% (Rajuddin dan Jacoeb,

2006).

Gejala yang timbul pada penyakit adenomyosis berupa dismenore,

menoralgia, dan pembesaran uterus. Diagnosis adenomyosis dapat ditegakan

dengan pemeriksaan histopatologis. Pada pemeriksaan mikroskopik akan

ditemukan kelenjar dan jaringan endometrium yang mengelilingi miometrium.

Tatalaksana medikamentosa yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian obat

anti inflamasi non-steroid, terapi hormonal, terapi LNG-IUS (levonogestrel-

releasing intrauterine system), hingga tindakan histerektomi.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Adenomiosis

Adenomiosis adalah suatu kondisi terdapat pertumbuhan jaringan

endometrium pada jaringan myometrium. Akibatnya, terjadi perbesaran uterus

yang dapat dideskripsikan secara mikroskopis sebagai ektopik non-neoplastik,

kelenjar dan stroma endometrium yang berada diantara myometrium yang

hipertrofi dan hiperplastik. Adenomiosis terdiri dari adeno ( kelenjar), mio

(otot) dan osis (suatu kondisi) yang secara jelas didefinisikan sebagai adanya

atau tumbuhnya kelenjar (endometrium) di lapisan otot (miometrium). Pada

keadaan normal, terdapat lapisan pembatas antara antara endometrium dan

miometrium yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap invasi dari jaringan

endometrium. Namun, pada adenomyosis, terjadi invaginasi atau

pertumbuhan abnormal dari basal endometrium. (Bergeron, 2006)

Adenomiosis merupakan kelainan patologis yang sering ditemukan

pada wanita multipara usia 40 – 50 tahun. Adenomiosis juga sering ditemukan

pada wanita yang sedang dalam masa pra/pre-menopause dan jarang

ditemukan pada wanita masa post-menopause. Adenomyosis juga sering

ditemukan pada wanita yang multipara. Adenomiosis dapat bersifat

asimptomatik (35% kasus) dan dapat bersifat simptomatik. Keluhan pasien

yang mengalami adenomyosis adalah terjadi dysmenorrhea (15-30%),

menorrhagia (40-50%) dan metrorrhagia (10-12%) (Younes et al, 2018)


B. Anatomi dan Fisiologi Reproduksi Wanita

1. Genitalia Eksterna

Gambar 1. Genitalia eksterna

a) Vulva
Tampak dari luar mulai dari mons pubis sampai tepi perineum. Yaitu
mons veneris, labia mayora, labia minor, klitois, himen, vestibulum,
muara uretra dan berbaga kelenjar (Saifudun, 2014).
1) Tundun (Mons veneris / Mons Pubis)
Bagian yang menonjol meliputi simfisis yang terdiri dari jaringan
dan lemak, area ini mulai ditumbuhi bulu (pubis hair) pada masa
pubertas. Bagian yang dilapisi lemak, terletak di atas simfisis
pubis. ( Anwar,2011).
2) Labia Mayora
Merupakan kelanjutan dari mons veneris, berbentuk lonjong.
Kedua bibir ini bertemu di bagian bawah dan membentuk
perineum. Labia mayora bagian luar tertutp rambut, yang
merupakan kelanjutan dari rambut pada mons veneris. Labia
mayora bagian dalam tanpa rambut, merupakan selaput yang
mengandung kelenjar sebasea (lemak). Ukuran labia mayora pada
wanita dewasa à panjang 7- 8 cm, lebar 2 – 3 cm, tebal 1 – 1,5 cm.
Pada anak-anak dan nullipara à kedua labia mayora sangat
berdekatan. ( Anwar,2011).
3) Labia Minora
Bibir kecil yang merupakan lipatan bagian dalam bibir besar
(labia mayora), tanpa rambut. Setiap labia minora terdiri dari suatu
jaringan tipis yang lembab dan berwarna kemerahan;Bagian atas
labia minora akan bersatu membentuk preputium dan frenulum
clitoridis, sementara bagian. Di Bibir kecil ini mengeliligi
orifisium vagina bawahnya akan bersatu membentuk
fourchette.(Manuaba, 2013)
4) Klitoris
Merupakan bagian penting alat reproduksi luar yang bersifat
erektil. Glans clitoridis mengandung banyak pembuluh darah dan
serat saraf sensoris sehingga sangat sensitif. Analog dengan penis
pada laki-laki. Terdiri dari glans, corpus dan 2 buah crura, dengan
panjang rata-rata tidak melebihi 2 cm. .( Manuaba,2013 )
5) Vestibulum (serambi)
Merupakan rongga yang berada di antara bibir kecil (labia minora).
Pada vestibula terdapat 6 buah lubang, yaitu orifisium urethra
eksterna, introitus vagina, 2 buah muara kelenjar Bartholini, dan 2
buah muara kelenjar paraurethral. Kelenjar bartholini berfungsi
untuk mensekresikan cairan mukoid ketika terjadi rangsangan
seksual. Kelenjar bartholini juga menghalangi masuknya bakteri
Neisseria gonorhoeae maupun bakteri-bakteri pathogen (Saifuddin,
2014).
6) Himen (selaput dara)
Terdiri dari jaringan ikat kolagen dan elastic. Lapisan tipis ini yang
menutupi sabagian besar dari liang senggama, di tengahnya
berlubang supaya kotoran menstruasi dapat mengalir keluar.
Bentuk dari himen dari masing-masing wanita berbeda-beda, ada
yang berbentuk seperti bulan sabit, konsistensi ada yang kaku dan
ada lunak, lubangnya ada yang seujung jari, ada yang dapat dilalui
satu jari. Saat melakukan koitus pertama sekali dapat terjadi
robekan, biasanya pada bagian posterior (Manuaba, 2013).
7) Perineum
Terletak di antara vulva dan anus, panjangnya kurang lebih 4 cm.
Dibatasi oleh otot-otot muskulus levator ani dan muskulus
coccygeus. Otot-otot berfungsi untuk menjaga kerja dari sphincter
ani. ( Sarwono,2014 ).

2. Genitalia Interna

Gambar 2. Genitalia Interna


a) Vagina
Merupakan saluran muskulo-membraneus yang menghubungkan rahim
dengan vulva. Introitusvagina tertutup sebagian oleh himen (selaput
dara). Pada didinding terdapat mukosa yang berlipat – lipat yang
dinamakan rugae. Jaringan muskulusnya merupakan kelanjutan dari
muskulus sfingter ani dan muskulus levator ani, oleh karena itu dapat
dikendalikan. Vagina terletak antara kandung kemih dan rektum.
Panjang bagian depannya sekitar 9 cm dan dinding belakangnya
sekitar 11 cm. Bagian serviks yang menonjol ke dalam vagina disebut
portio. Portio uteri membagi puncak (ujung) vagina menjadi :
- Forniks anterior
- Forniks dekstra
- Forniks posterior
- Forniks sinistra

Sel dinding vagina mengandung banyak glikogen yang menghasilkan


asam susu dengan pH 4,5. keasaman vagina memberikan proteksi
terhadap infeksi. Fungsi utama vagina:

a. Saluran untuk mengeluarkan lendir uterus dan darah menstruasi.


b. Alat hubungan seks
c. Jalan lahir pada waktu persalinan (Anwar, 2011).
b) Uterus
Merupakan Jaringan otot yang kuat, terletak di pelvis minor diantara
kandung kemih dan rektum. Dalam keadaan fsiologis letaknya adalah
anterversiofleksio. Dinding belakang dan depan dan bagian atas tertutup
peritonium, sedangkan bagian bawah berhubungan dengan kandung
kemih.Vaskularisasi uterus berasal dari arteri uterina yang merupakan
cabang utama dari arteri illiaka interna (arteri hipogastrika interna).
( Beckmenn, 2010).
Bentuk uterus seperti bola lampu / buah alpukat / buah pir dan sedikit
gepeng kearah depan belakang,dan berukuran sebesar telur ayam.
Terdiri atas ( Rustam,2013 ) :
1) Korpus uteri : berbentuk segitiga. Bagian terbesar. Terdapat kavum
uteri yang berfungsi sebagai tempat janin berkembang.
2) Serviks uteri : berbentuk silinder. Terdiri atas pars vaginalis servisis
uteri ( porsio ) dan pars supravaginalis servivis uteri
3) Fundus uteri : bagian korpus uteri yang terletak diatas kedua
pangkal tuba. Bagian uterus proksimal ,dimana kedua tuba fallopi
masuk ke uterus.
Untuk mempertahankan posisinya, uterus disangga beberapa
ligamentum, jaringan ikat dan parametrium. Ukuran uterus
tergantung dari usia wanita dan paritas. Ukuran anak-anak 2-3 cm,
nullipara 6-8 cm, multipara 8-9 cm dan > 80 gram pada wanita
hamil. Uterus dapat menahan beban hingga 5 liter.
Dinding uterus terdiri dari tiga lapisan ( Beckmenn,2010 ) :
a) Peritonium (Perimetrium)
Meliputi dinding rahim bagian luar. Menutupi bagian luar
uterus. Merupakan penebalan yang diisi jaringan ikat dan
pembuluh darah limfe dan urat syaraf. Peritoneum meliputi
tuba dan mencapai dinding abdomen.
b) Lapisan otot polos
Susunan otot rahim terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan luar,
lapisan tengah, dan lapisan dalam. Pada lapisan tengah
membentuk lapisan tebal anyaman serabut otot rahim. Lapisan
tengah ditembus oleh pembuluh darah arteri dan vena.
Lengkungan serabut otot ini membentuk angka delapan
sehingga saat terjadi kontraksi pembuluh darah terjepit rapat,
dengan demikian pendarahan dapat terhenti. Makin kearah
serviks, otot rahim makin berkurang, dan jaringan ikatnya
bertambah. Bagian rahim yang terletak antara osteum uteri
internum anatomikum, yang merupakan batas dari kavum uteri
dan kanalis servikalis dengan osteum uteri histologikum
(dimana terjadi perubahan selaput lendir kavum uteri menjadi
selaput lendir serviks) disebut isthmus. Isthmus uteri ini akan
menjadi segmen bawah rahim dan meregang saat persalinan.
c) Endometrium
Pada endometrium terdapat lubang kecil yang merupakan
muara dari kelenjar endometrium. Variasi tebal, tipisnya, dan
fase pengeluaran lendir endometrium ditentukan oleh
perubahan hormonal dalam siklus menstruasi. Pada saat
konsepsi endometrium mengalami perubahan menjadi desidua,
sehingga memungkinkan terjadi implantasi (nidasi).Lapisan
epitel serviks berbentuk silindris, dan bersifat engeluarakan
cairan secara terus-menerus, sehingga dapat membasahi vagina.
Kedudukan uterus dalam tulang panggul ditentukan oleh tonus
otot rahim sendiri, tonus ligamentum yang menyangga, tonus
otot-otot panggul.
Ligamentum yang menyangga uterus adalah:
1) Ligamentum latum : Ligamentum latum seolah-olah
tergantung pada tuba fallopii.
2) Ligamentum rotundum (teres uteri)
Terdiri dari otot polos dan jaringan ikat. Fungsinya menahan
uterus dalam posisi antefleksi.
3) Ligamentum infundibulopelvicum
Menggantung dinding uterus ke dinding panggul.
4) Ligamentum kardinale Machenrod
- Menghalangi pergerakan uteruske kanan dan ke kiri.
- Tempat masuknya pembuluh darah menuju uterus.
5) Ligamentum sacro-uterinum
Merupakan penebalan dari ligamentum kardinale
Machenrod menuju os.sacrum.
6) Ligamentum vesiko-uterinum
Merupakan jaringan ikat agak longgar sehingga dapat
mengikuti perkembangan uterus saat hamil dan persalinan.
c) Tuba Fallopii
Tuba fallopii terdapat di tepi atas ligamentum latum, berjalan ke arah
lateral, panjangnya 12 cm, diameter 3 – 8 mm.
Tuba fallopii terbagi menjadi 4 bagian yaitu :
a. Pars interstitialis, bagian dari dalam dinding uterus mulai pada
ostium internum tuba.
b. Pars Isthmica, bagian tuba setelah keluar dari dinding uterus
merupakan bagian tuba yang lurus dan sempit.
c. Pars Ampularis, bagian tuba yang paling luas dan berbentuk S.
d. Pars Infundibulo, bagian akhir tuba yang mempunyai umbai yang
disebut dengan fimbrie, lubangnya disebut dengan ostium
abdominal tubae.

Fungsi utama tuba yaitu :

a. Menangkap ovum saat yang dilepaskan saat ovulasi


b. Saluran dari spermatozoa ovum dan hasil konsepsi
c. Tempat terjadinya konsepsi
d. Tempat pertumbuhan dan perkembangan hasil konsepsi sampai
membentuk blastula yang siap mengadakan inplantasi
(penanaman).( Saifuddin,2014 )
d) Ovarium
Merupakan kelenjar berbentuk buah kenari terletak kiri dan kanan
uterus di bawah tuba uterina dan terikat di sebelah belakang oleh
ligamentum latum uterus. Setiap bulan sebuah folikel berkembang dan
sebuah ovum dilepaskan pada saat kira-kira pertengahan (hari ke-14)
siklus menstruasi. Ovulasi adalah pematanganfolikel de graaf dan
mengeluarkan ovum. Ketika dilahirkan, wanita memiliki cadangan
ovum sebanyak 100.000 buah di dalam ovariumnya, bila habis
menopause. Ovarium yang disebut juga indung telur, mempunyai 3
fungsi (Anwar, 2011) :
1) Memproduksi ovum
2) Memproduksi hormone estrogen
3) Memproduksi progesteron.

Memasuki pubertas yaitu sekitar usia 13-16 tahun dimulai


pertumbuhan folikel primordial ovarium yang mengeluarkan hormon
estrogen. Estrogen merupakan hormone terpenting pada wanita.
Pengeluaran hormone ini menumbuhkan tanda seks sekunder pada
wanita seperti pembesaran payudara, pertumbuhan rambut pubis,
pertumbuhan rambut ketiak, dan akhirnya terjadi pengeluaran darah
menstruasi pertama yang disebut menarche (Manuaba, 2013).

Awal-awal menstruasi sering tidak teratur karena folikel graaf belum


melepaskan ovum yang disebut ovulasi. Hal ini terjadi karena
memberikan kesempatan pada estrogen untuk menumbuhkan tanda-
tanda seks sekunder. Pada usia 17-18 tahun menstruasi sudah teratur
dengan interval 28-30 hari yang berlangsung kurang lebih 2-3 hari
disertai dengan ovulasi, sebagai kematangan organ reproduksi wanita
(Manuaba, 2013).

3. Aspek Hormonal Sistem Reproduksi Wanita

Hormon Keterangan
GnRH Diprouksi oleh hipothalamus
Befungsi utuk merangsang hipofisis anerior untuk
menghasilkan LH dan FSH
FSH Diproduksi oleh hipofisis anterior
Berperan unutk memacu peatangan folikel selama fase
folikuler dari siklus ovarium. Juga membantu LH
memacu sekresi hormon steroid,terutama estrogen oleh
sel granulosa dari folikel matang.
LH Oleh hipofisis anterior
Kadar LH yang sangat tinggi akan menyebabkan ovulasi
Penting dalam diferensiasi sel granulosa menjadi korpus
luteum setelah terjadi ovulasi.
Estrogen Terdiri atas 3 yaitu Estradiol,Estron dan Estriol
Berperan dalam lonjakan LH yang menyebabkan ovulasi
Berpern untuk pembentukan ciri-cir perkembangan
seksual pada wanita ( misal pembentukan payudara )
Progesteron Sebagian besar di produksi oleh korpus luteum
Sangat berperan dalam memelihara kehamilan
(Meszaros, 2007)

Gambar 3. Hormon system reproduksi wanita


4. Fisiologis Menstruasi

Gambar 4. Fisiologis Menstruasi (Despopoulos, 2003)


Pada siklus haid, mukosa rahim dipersiapkan secara teratur untuk
menerima ovum yang dibuahi setelah terjadinya ovulasi,keadaan ini di
kontrol oleh hormon-hormon yang dapat dideteksi dalam air kemih.
Yang diperiksa adalah air kemih 24 jam dan diukur kadar estriol dan
pregnandiolnya.
Satu siklus haid dibagia ats beberapa fase ( stadia ) :
1. Stadium menstruasi ( deskuamasi ) : 3 – 7 hari
2. Stadium proliferasi : 7 – 9 hari
3. Stadium sekresi : 11 hari
4. Stadium Premenstruasi : 3 hari

Hormon – hormone pada siklus haid yaitu :


1. FSH ( Follicle Stimulating Hormone ) dikeluarkan oleh hipofise
lobus depan
2. Estrogen dihasilkan oleh ovarium
3. LH ( Luteinizing Hormone ) dihasilakan hipofise , dan
4. Progesteron dikeluarkan oleh indung telur

Setelah selesai Haid,oleh pengaruh hormone FSH dan estrogen,selaput


lendir Rahim ( endometrium ) menjadi semakin tebal. Bila terjadi
ovulasi, berkat pengaruh progesterone selaput ini menjadi lebih tebal
lagi, dan kelenjar endometrium tumbuh berkeluk-keluk. Bersamaan
dengan itu, endometrium menjadi lebih lembek seperti karet busa dan
melakukan persiapan-persiapan supaya sel telur yang telah dibuahi
dapat bersarang. Bila tidak ada sel telur yang bersarang,endometrium ini
terkelupas dan terjadi perdarahan yang disebut haid ( Rustam,2013 ).

Siklus Ovarium
1) Fase Folikulogenesis
Hari 1 – 8 : pada awal siklus,kadar FSH dan LH relative tinggi dan
memacu perkembangan 10-20 folikel dengan satu folikel dominan.
Realtif tingginya kadar FSH dan LH merupakan trigger turunnya
estrogen dan progesterone pada akhir siklus. Selama dan segera
setelah haid, kadar estrogen relative rendah tetapi mulai meningkat
karena telah terjadi perkembangan folikel.
Hari 9 – 14 : terjadi kenaikan yag progresif dalam produksi estrogen
( terutama estradiol ) oleh sel granulosa dari sel folikel yang
berkembang. Karena kadar estrogen meningkat,maka terjadi umpan
balik negative unutk menekan produksi LH dan FSH untuk
mencegah hiperstimulasi dari ovarium dabn pematangan banyak
folikel
2) Fase Ovulasi
Hari ke 14 : Lonjakan LH sangat penting pada proses ovulasi.
Lonjakan LH dipicu oleh kadar estrogen yang tinggi yang
dihasilkan oleh folikel pre-ovulasi. Ovulasi adalah pembesaran
folikel secara cepat ang diikuti dengan protusi dari permukaan
korteks ovarium dan pecahnya folikel dengan pengeluaran oosit.
3) Fase Luteal
Hari 15 – 28 : sel granulosa mengalami luteinisasi mnjadi korpus
luteum. Korpus luteum akan meningkatkan produksi progesterone
dan estradiol. Korpus luteum akna mengalami regresi pada hari ke
26-28 dan terjadilah haid. Jika terjadi konsepsi maka korpus luteum
akan bertahan dan berubah menjadi korpus luteum gravidarum
( Hoffman,2016 ).

Siklus Endometrium

1) Fase Proliferasi
Selama fase folikular di ovarium,endometrium berada dibawah
pengaruh estrogen. Pada akhir haid,proses regenerasi berjalan
dengan cepat ( fase proliferasi ). Pada fase prloferasi peran
estrogen sangata menonjol.
2) Fase sekretoris
Setelah ovulasi,produksi progesterone menginduksi perubahan
sekresi endometrium. Pada fase sekresi tampak kelenjar menjadi
lebih berliku dan menggembung.
3) Fase Haid
Normal fase luteal berlangsung selama 14 hari. Pada akhir fase ini
terjsdi regresi korpus luteum yang berkaitan dengan menurunnya
produksi estrogen dan progesterone. Penurunan ini diikuti dengan
kontraksi spasmodic dari bagian arteri spiralis sehingga
endometrium menjadi iskemik dan nekrosis sehingga terjadi
pengelupasan lapisan endometrium dan terjadi perdarahan ( haid ).
Prostaglandin diproduksi local dalam uterus akan meningkatakna
kontraksi uterus bersamaan dengan pengeluaran darah haid.

Haid dinilai berdasarkan 3 hal :

1. Siklus haid : jarak antara hari pertama haid dengan hari pertama
haid berikutnya
2. Lama haid : jarak antara hari peratam haid hingga perdarahan
berhenti
3. Jumlah darah yang keluar selama haid

Haid normal :

1. Siklus haid normal 28 hari kurang lebih 7 hari


2. Lama haid 3 – 7 hari
3. Jumlah darah haid selama haid berlangsung tidak melebihi 80 hari
atau ganti pembalut 2 – 6 kali perhari
(Hoffman, 2016)
B. Patogenesis
Patogenesis dari adenomiosis masih belum dapat dipastikan. Namun,
terdapat beberapa teori dari para peneliti yang dapat menjelaskan
pathogenesis adenomyosis
1) Genetik
Penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa kelainan kromosomal yang
memengaruhi penyakit adenomiosis. [7] [q21.2q31.2]. kelainan genetic
yang juga memengaruhi penyakit adenomyosis adalah mutasipada
reseptor horomon estrogen yaitu ERa(P129R) in the N-terminal domain,
ERa(K231R) in the DNA-binding domain, dan ERa(M427I/L429M) in
H7 of the C-terminal ligand-binding domain.
2) Gaya mekanik yang memengaruhi endometrium
Gaya mekanik yang dapat memengaruhi endometrium adalah menstruasi,
trauma, dan partus pervagina multipara. Siklus menstruasi merupakan
siklus yang terjadi setiap bulan yang melibatkan penebalan endometrium,
peluruhan endometrium, dan perbaikan/penyembuhan endometrium.
Trauma yang memengaruhi endometrium contohnya endometriosis akibat
trauma partus, ruptur uteri, luka pada uterus pada saat partus maupun
pasca partus dapat memengaruhi endometrium. Multipara partus
pervagina juga memengaruhi kondisi endometrium karena pada saat
kehamilan terjadi penebalan endometrium yang lama (endometrium tidak
meluruh) lalu saat partus terjadi peluruhan endometrium secara signifikan
dan luas, dapat memengaruhi kondisi endometrium (carrarelli et al, 2017).
Penebalan, peluruhan, dan penyembuhan endometrium yang didukung
oleh factor genetic dan multipara/trauma endometrium serta factor
hormone estrogen – progesterone menyebabkan terjadinya invaginasi
jaringan endometrium pada myometrium. Dalam beberapa penelitian
menjelaskan bahwa proses ini dapat melemahkan otot-otot myometrium
yang membatasi antara myometrium dan endometrium. Kelemahan otot
ini menyebabkan melonggarnya batas antara endometrium dan
myometrium sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya invaginasi
dan pertumbuhan ektopik jaringan endometrium pada myometrium.
(benagiano, 2012).
Pertumbuhan dari invaginasi endometrium pada myometrium
menyebabkan pertumbuhan stroma dan kelenjar endometrium pada
myometrium terus menerus. Hal ini menyebabkan perbesaran uterus yang
bersifat abnormal. Proses perbesaran ini terjadi dalam waktu yang lama
dan pada tahap awal dapat bersifat bersifat asimptomatik. Pertumbuhan
dari invaginasi endometrium pada myometrium juga menyebabkan
dysmenorrhea yang tak tertahankan. Penyebab dysmenorrhea pada
adenomyosis adalah gangguan myometrium yang mengalami invasi dari
sel endometrium yang mengalami peluruhan meningkatkan impuls saraf
nyeri didukung oleh stroma dan kelenjar endometrium memiliki saraf
lebih banyak sehingga meningkatkan rasa nyeri ketika myometrium
melakukan kontraksi dalam proses peluruhan endometrium pada siklus
menstruasi. (Khan et al, 2010)
Adenomyosis dan Anemia
Adenomyosis dapat menyebabkan anemia pada kasus kronik.
Adenomyosis menyebabkan peningkatan jumlah darah yang keluar saat
menstruasi. Hal ini disebabkan terjadi peluruhan endometrium pada
myometrium sehingga menyebabkan dysmenorrhea yang cukup berat dan
peningkatan darah menstruasi pada saat menstruasi. Peningkatan darah
menstruasi dapat menyebabkan anemia apabila terjadi terus menerus dan
tidak diimbangi dengan pemberian nutrisi yang adekuat pada pasien yang
mengalami adenomyosis. (Garcia, 2011).
Anemia yang disebabkan oleh adenomyosis akan terjadi pada saat
pasien menstruasi. Apabila masa menstruasi sudah selesai, anemia pada
pasien berangsur-angsur akan menghilang dan dysmenorrhea yang terjadi
paa pasien akan berangsur-angsur menghilang. Hal ini dikarenakan proses
fisiologis tubuh untuk meningkatkan hematogenesis dan terjadi
penyembuhan dari endometrium sehingga mengurangi perdarahan yang
terjadi pada saat menstruasi. (Jiang et al, 2016)

C. Pemeriksaan Fisik
Adenomiosis sulit didiagnosis, oleh karena itu perlu dilakukan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan baku emas (gold standar) adalah
laparaskopi, sebuah tindakan yang masih cukup mahal untuk kebanyakan
orang Indonesia (Zhu, 2002). Pada inspeksi visual, biasanya tidak ditemukan
kelainan tetapi ditemukan adanya uterus yang membesar. Kecuali bila
adenomiosis terjadi dalam skar episiotomi atau skar bedah, dan paling sering
pada insisi pfannenstiel (Kogfer, 1993; Zhu, 2002).
Pada pemeriksaan spekulum, juga biasanya tidak terlihat adanya tanda
adenomiosis. Biasanya lesi berwarna kebiruan ataupun kemerahan mungkin
terlihat pada serviks atau forniks posterior pada vagina. Lesi ini dapat nyeri
atau berdarah dengan kontak. Pada pemeriksaan bimanual, palpasi organ
panggul sering menunjukkan kelainan anatomik yang mengarahkan ke
adenomiosis. Nodularitas ligamen uterosakral dan rasa nyeri dapat
merefleksikan penyakit aktif. Namun sensitivitas dan spesifisitas rasa nyeri
fokal pelvis dalam mendeteksi endometriosis menunjukkan variasi dari 36%
hingga 90% dan 32% hingga 92% (Chapron, 2002; Eskenazi, 2001;
Koninckx, 1996; Ripps, 1992).
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Histopatologi (Biopsi histerektomi)
Histerektomi merupakan alat yang berguna untuk menegakan
diagnosis karena memungkinkan untuk visualisasi langsung dari rongga
Rahim, menyediakan kemampuan untuk menilai potensi kelainan lain.

Gambaran histopatologi dari sampel biopsi endometrium menunjukan


kelenjar endometrium dan stroma pada miometrium.

2. Radiologi
Modalitas yang paling umum untuk mendiagnosis adenomiosis yaitu
USG Transvaginal (TVUS) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah
menunjukan tingkat akurasi yang tinggi (Guilia A, 2016).
a. USTV 2 dimensi
Paling umum digunakan dan mampu menemukan adenomiosis yaitu
berupa gambaran echotexture yang homogen pada myometrium.
Adanya pembesaran uterus dengan modalitas USTV 2 dimensi ini
hingga 12 cm telah dilaporkan sebagai adenomiosis.

Gambaran adenomiosis dengan USG Transvaginal 2 dimensi.

b. USTV 3 dimensi
Pada USTV 3 dimensi adanya perubahan pada junctional zone seperti
penebalan atau hyperplasia memiliki peranan penting dalam
pathogenesis, presentasi klinis dan diagnosis adenomiosis. USTV 3
dimensi memungkinkan untuk junctional zone untuk divisualisasikan
lebih jelas dibandingkan dengan USTV 2 dimensi.
Gambaran USG Transvaginal 3 dimensi pada pasien adenomiosis.

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI dianggap lebih akurat daripada USTV untuk mendiagnosis
adenomiosis. Pada pemeriksaan MRI ditemukan penebalan atau
hyperplasia dari junctional zone. Protocol standar MRI
menggabungkan potongan sagital dan aksial. Adanya tiga fitur pada
pemeriksaan MRI telah dianggap mendiagnosis suatu adenomiosis
yaitu, penebalan dari junctional zone sekitar 8 sampai 12 mm, ratio
antara junctional zone dengan total miometrium sekitar 40%,
perbedaan ketebalan maksimum dan minimum dari junctional zone
(JZ max – JZ min = JZ dif) > 5 mm (Guillia A, 2016).
Gambaran MRI pada pasien adenomiosis.

E. Tatalaksana
Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi reproduksi
selanjutnya. Dismenore sekunder yang diakibatkan oleh adenomiosis dapat
diatasi dengan tindakan histerektomi, tetapi perlu dilakukan intervensi
noninvasive terlebih dahulu (Berek, 2007).
1. Terapi Hormonal
Pemberian terapi hormonal pada adenomiosis tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Tidak ada bukti klinis yang menunjukan adanya
manfaat terapi hormonal dapat mengatasi infertilitas akibat adenomiosis.
Pemberian hormonal hanya mengurangi gejala dan efeknya akan hilang
setelah pemberian obat dihentikan. Obat hormonal yang paling klasik
adalah gonadothropin releasing hormone agonist (GnRHa), yang dapat
dikombinasikan dengan terapi operatif. Mekanisme kerja GnRHa adalah
dengan menekan ekspresi sitokrom P450, suatu enzim yang mengkatalitis
konversi androgen menjadi estrogenpada pasien adenomiosis enzim ini
diekspresikan secara berlebih (Benagiano, 2006).
2. Terapi Operatif
Sampai saat ini histerektomi merupakan terapi definitif untuk
adenomiosis. Indikasi operasi antara lain ukuran adenomiosis lebih dari 8
cm, gejala yang progreif seperti perdarahan yang semakin banyak dan
infertilitas lebih dari 1 tahun walaupun telah mendapat terapi hormonal
konvensional. Teknik adenomiomektomi merupakan teknik operasi baru
yang dikembangkan oleh osada pada tahun 2011. Dengan teknik ini
jaringan adenomiotik dieksisi secara radikal dan dinding uterus
direkontruksi dengan teknik triple flap. Teknik ini diklaim dapat
mencegah ruptur uterus apabila pasien hamil (Benagiano, 2006).
F. Komplikasi
Risiko ruptur uterus pada pasien paska adenomiomektomi
didapatkan >1% diabandingkan dengan risiko ruptur paska miomektomi
yaitu 0,26%. Sebuah penelitian tahun 2008 didapatkan 2 dari 138 (8,3%)
kasus yang dilakukan adenomiomektomi mengalami rupture uterus (Tan,
2018).
Pada kehamilan yang terjadi paska operasi adenomiomektomi komplikasi
yang pernah juga dilaporkan adalah kejadian plasenta akreta. Matsunaga et
al melaporkan kasus plasenta akreta yang diketahui selama kehamilan
setelah operasi laparoskopi miomektomi dan adenomiomektomi. Setahun
setelah menjalani operasi reseksi adenomiosi, pemeriksaan ultrasonografi
(USG) dilakukan pada pasien tersebut dengan usia gestasi 33 minggu. Haisl
pemeriksaan menunjukan dinding uterus posterior menipis dan invaginasi
plasenta akreta. Saat operasi seksio Sesarea lapisan muskular diperbaiki
setelah plasenta dilahirkan (Matsunaga et al., 2015).
III. KESIMPULAN

1. Adenomyosis merupakan suatu kondisi dimana endometriosis internal


tumbuh di myometrium. Adenomyosis dapat dikaitkan dengan tingkat
esterogen yang tinggi dan perubahan imunitas seluler.
2. Pada penyakit adenomyosis biasanya pasien mengeluhkan dismenore,
menoragia, pembesaran perut bagian bawah. Penegakan diagnosis
adenomyosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan penunjang
histopatologis, USG, dan MRI.
3. Tatalaksana pada adenomiosis ada 2 yaitu terapi hormonal dan terapi
operatif. Terapi hormonal dilakukan untuk mengatasi infertilitas akibat
adenomiosis dengan pemberian gonadothropin releasing hormone agonist
(GnRHa) dan terapi operatif dilakukan dengan teknik adenomiomektomi
yaitu jaringan adenomiotik dieksisi secara radikal dan dinding uterus
direkontruksi dengan teknik triple flap.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar,Mochamad Dkk. 2011. Ilmu Kandungan. Edisi Ketiga. Jakarta : PT.Bina


Pustak Sarwono Prawihardjo.

Bain, Catrina M et al. 2016. Ilustrasi Gibeloklogi. Edisi Keenam. Elsevier.

Beckmann,Charles R. Dkk. 2010.Obstetrics And Gynocology. Sixth


Edition.Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.

Benagiano, G. Habiba, M. Brosen. 2012. IThe pathophysiology of uterine


adenomyosis: an update American Society for Reproductive Medicine,
Published by Elsevier Inc.

Carrarelli P, Yen CF, Funghi L, Arcuri F, Tosti C, Bifulco G, et al. Expression of


inflammatory and neurogenic mediators in adenomyosis. Reprod Sci
2017;24:369–75.

Dospopoulos,Dkk. 2003. Color Atlas Of Physiologi\Y. Sixth Edition. Germany :


Thieme.

Garcia, L. Isaacson, K. 2011. Adenomyosis : review of the literature. Journal of


Minimally Invasive Gynecology, Vol 18, No 4, July/August 2011

Jiang Y, Jiang R, Cheng X, Zhang Q, Hu Y, Zhang H, et al. 2016. Decreased


Expression of NR4A nuclear receptors in adenomyosis impairs endometrial
decidualization. Mol Hum Reprod. 16(22) :655–68.

Khan KN, Kitajima M, Hiraki K, Fujishita A, Sekine I, Ishimaru T, et al. Changes in


tissue inflammation, angiogenesis and apoptosis in endometriosis,
adenomyosis and uterine myoma after GnRH agonist therapy. Hum Reprod
2010;25:642–53.

Matsunaga S et al. 2015. Two Cases Of Placenta accrete identified during pregnancy
after laparoscopic myomectomy and resection of adenomyosis: Hypertens
Res Pregnancy. 3: 38-41.
Munro, MG. 2019. Uterine polyps, adenomyosis, leiomyomas, and endometrial
receptivity, American Society for Reproductive Medicine, Published by
Elsevier Inc.

Rajuddin., Jacoeb, TZ. 2006. Management of adenomyosis in infertile women:


comparison between laparotomic resection and administration of aromatase
inhibitor (Experience in 55 cases). Med Journal Indonesia. 15(1): 18-23.

Tan, J., Moriarty, S., Taskin, O., Allaire, C., Williams, C., Young, P. 2018.
Reproductive Outcomes After Fertility-Sparing Surgery For Focal and
Diffuse Adenomyosis: A Systematic Review. J Minim Invasive Gynecol.
25(4): 608-621.

Taran, FA., Stewart, EA., Brucker, S. 2013. Adenomyosis: Epidemiology, Risk


Factors, Clinical Phenotype and Surgical and Interventional Alternatives to
Hiysterectomy. Geburtshilfe Frauenheilkd. 73(9): 924-931.

Younes G, Tulandi T. Conservative surgery for adenomyosis and results: a systematic


review. J Minim Invasive Gynecol 2018;25:265–76.

Anda mungkin juga menyukai