Anda di halaman 1dari 35

KETERSEDIAAN PANGAN PULAU MALUKU DAN PAPUA

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Keamanan Pangan


yang Dibina Oleh Dra. Hj. Nursasi Handayani, M.Si

Disusun oleh :

Kelompok 1Offering GHI-Pangan 2017

1. Adi Romiansyah S. (170342615518)


2. Indah Anggita (170342615559)
3. Maria Dwi Cahyani (170342615515)
4. Mita Berliana (170342615544)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

PROGRAM STUDI BIOLOGI

SEPTEMBER 2019

1. Jumlah Penduduk
Kependudukan indonesia selian laju pertumbuhan yang masih tergolong tinggi dengan jumlah
penduduk yang besar adalah penyebarannya yang tidak merata. Meningkatnya pertumbuhan
penduduk juga menimbulkan meningkatnya permintaan bahan pangan baik dalam jumlah, mutu
dan keragaman.Jumlah penduduk pada empat provinsi di Maluku dan Papua pada 2019
diperkirakan sebanyak 7,31 juta jiwa atau 2,74% dari total penduduk Indonesia yang mencapai
267 juta jiwa. Berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, jumlah tersebut terdiri
atas 3,78 jiwa laki-laki dan 3,51 juta jiwa perempuan.
Penduduk terbanyak berada di Papua, yakni mencapai 3,34 juta jiwa. Diikuti Maluku dengan
penduduk sebanyak 1,77 juta jiwa, kemudian Maluku Utara 1,23 juta jiwa, dan Papua Barat
dengan penduduk hanya 964 ribu jiwa (Badan Pusat Statistik, 2018)
2. Indeks Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan yang akurat, komprehensif, dan tertata dengan baik akan mendukung dan
meningkatkan upaya pencegahan dan penanganan kerawanan pangan dan gizi. Ketahanan pangan
dapat diperoleh melaluisebagaimana tertuang dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan
PP No. 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi mengamanatkan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk membangun, menyusun, dan
mengembangkan Sistem Informasi Pangan dan Gizi yang terintegrasi (Badan Ketahanan Pangan,
2018). Ketahanan pangan bersifat multidimensi, sehingga penilaian terhadap situasi ketahanan
pangan membutuhkan ukuran yang komprehensif dengan melibatkan serangkaian indikator.
Indikator-indikator kemudian akan digabungkan untuk mendapatkan nilai komposit ketahanan
pangan, yang kemudian nilai tersebut akan dijadikan sebagai Indeks Ketahanan Pangan (IKP)
(Azwar, 2004). Perkembangan IKP telah dikembangkan pada level global untuk menilai dan
membandingkan situasi ketahanan pangan antar negara. Global Food Security Index (GFSI) yang
prakarsai oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) memeberikan informasi dengan
membandingkan situasi ketahanan pangan antar negara berdasarkan aspek ketersediaan,
keterjangkauan, serta kualitas dan keamanan pangan (DKP dan WFP Dewan Ketahanan Pangan
dan World Food Programme 2015). Hasil analisis yang dilakukan oleh GFSI ini menunjukkan
posisi ketahanan pangan Indonesia mengalami perbaikan dari peringkat 71 pada tahun 2016
menjadi peringkat 69 dari 113 negara pada tahun 2017 (EIU 2016 dan 2017). Level nasional oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) telah menyusun Indeks Ketahanan Pangan berdasarkan tiga aspek
ketersediaan, akses, dan konsumi pangan. Sistematika IKP disusun hanya sampai dengan tingkat
provinsi yan artinya tidak bisa secara langsung diadopsi untuk intervensi kegiatan ketahanan
pangan pada wilayah administrasi yang lebih kecil, yaitu kabupaten/kota (Azwar, 2004). Badan
Ketahanan Pangan selanjutnya mulai memandang perlunya untuk menyusun IKP Nasional
dengan unit analisis yang lebih rendah pada tingkat kabupaten/kota dengan mengadopsi
pengukuran indeks global dengan berbagai penyesuaian metodologi Indeks Ketahanan Pangan
sesuai dengan ketersediaan data dan informasi di tingkat kabupaten/kota. IKP merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peta Ketahanan dan Kerentanan (Food Security and Vulnerability
Atlas - FSVA), karena IKP menggunakan indikator-indikator yang juga digunakan dalam
penyusunan FSVA Nasional. IKP Nasional berperan dalam strategis untuk mengukur capaian
pembangunan ketahanan pangan di suatu wilayah, mengukur kinerja daerah dalam memenuhi
urusan wajib pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan merupakan salah satu alat dalam
menentukan prioritas daerah dan prioritas intervensi program. Utamanya penyusunan IKP
Nasional dilakukan yang memiliki tujuan mengevaluasi capaian ketahanan pangan dan gizi
wilayah kabupaten/kota), dan memberikan gambaran peringkat (rangking) pencapaian ketahanan
pangan wilayah kabupaten/kota dibandingkan dengan wilayah kabupaten/kotalain. IKP yang
disusun diharapkan dapat digunakan sebagai dasar saat melakukan intervensi program sehingga
lebih fokus dan tepat sasaran (Darwanto, 2005).

Nilai IKP yang dihasilkan nantinya pada masing-masing wilayah dikelompokkan kedalam enam
kelompok berdasarkan cut off point IKP pada tabel 1. Cut off point IKP merupakan hasil
penjumlahan dari masing-masing perkalian antara bobot indikator individu dengan cut off point
indikator individuhasil standarisasi z-score dan distance to scale (0-100). Wilayah yang masuk ke
dalam kelompok 1 adalah kabupaten/kota yang cenderung memiliki tingkat kerentanan yang lebih
tinggi daripada kabupaten/kota dengan kelompok diatasnya, sebaliknya wilayah pada kelompok 6
merupakan kabupaten/kota yang memiliki ketahanan pangan paling baik (Badan Ketahanan
Pangan, 2018).

Tabel Indeks Ketahanan Pangan(Badan


Ketahanan Pangan, 2018)
IKP
yang
dihasil
kan
pada
masing
-
masing
wilaya

h dikelompokkan kedalam enam kelompok berdasarkan cut off point IKP. Wilayah yang masuk
ke dalam kelompok 1 adalah kabupaten/kota yang cenderung memiliki tingkat kerentanan yang
lebih tinggi daripada kabupaten/kota dengan kelompok diatasnya, sebaliknya wilayah pada
kelompok 6 merupakan kabupaten/kota yang memiliki ketahanan pangan paling baik. lebih
lanjutnya dilanjutkan ke peta ketahanan pangan(Badan Ketahanan Pangan, 2018).
Peta Ketahanan Pangan

Sebanyak 81 kabupaten atau 19,5% dari 416 kabupaten memiliki skor IKP yang rendah dengan
sebaran sebagai berikut: 26 kabupaten (6,3%) masuk kelompok 1, 21 kabupaten (5%) masuk
kelompok 2 dan 34 kabupaten (8,2%) masuk kelompok 3. Dari 26 kabupaten kelompok 1,
sebanyak 17 kabupaten berada di Provinsi Papua, 6 kabupaten di Provinsi Papua Barat, 2
kabupaten di Provinsi Maluku dan 1 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Peta Indeks
Ketahanan Pangan 2018 Indeks Ketahanan Pangan 16 Sedangkan pada wilayah kota, terdapat 2
kota (2%) yang masuk kelompok 1, yaitu Kota Subulussalam di Aceh dan Kota Tual di Maluku, 2
kota (2%) yang masuk kelompok 2, yaitu Kota Gunung Sitoli di Sumatera Utara dan Kota Pagar
Alam di Sumatera Selatan, dan 3 kota (3,1%) yang masuk kelompok 3, yaitu Kota Tanjung Balai
di Sumatera Utara, Kota Lubuk Linggau di Sumatera Selatan, dan Kota Tidore Kepulauan di
Maluku Utara(Badan Ketahanan Pangan, 2018).

3. Ketersediaan Bahan Pangan Pokok

Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, diolah maupun tidak
diolah, yang ditujukan untuk konsumsi manusia. Pangan pokok adalah sumber karbohidrat yang
sering dikonsumsi atau yang dikonsumsi secara teratur sebagai makanan utama, selingan, dan
dikonsumsi pada sehari-hari (Bappenas, 2011).

 Produksi Bahan Pangan Pokok di Provinsi Maluku Utara

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika di Provinsi Maluku Utara, terdapat data
bahan pangan pokok seperti kacang hijau, ubi jalar, ubi kayu, jagung serta padi. Padi yang
didata terdapat dua macam yaitu padi ladang serta padi sawah. Berdasarkan data tersebut,
produksi bahan pangan pokok yang paling tinggi di Maluku Utara adalah padi sawah.
Produksi bahan pangan pokok tersebut dipengaruhi oleh luas daerah masing-masing kota
maupun kabupaten.

Produksi - Tanaman Pangan (Ton)


Wilayah Kacang Ubi Ubi Padi Padi
Hijau Jalar Kayu Jagung Ladang Sawah
2015 2015 2015 2015 2015 2015
Halmahera Barat
8 1 865 83 4242 1798
Halmahera
51 54 919 547 210 8388
Tengah
Kepulauan Sula
52 1 1807 397 846 0
Halmahera
221 121 15221 3966 1528 4381
Selatan
Halmahera Utara
249 33 6158 4848 9443 14108
Halmahera
151 265 1980 744 926 21252
Timur
Pulau Morotai 0 0 1832 710 2853 4387
Pulau Taliabu 7 0 1211 387 0 634
Ternate 0 0 18 5 0 0
Tidore
0 0 663 41 204 65
Kepulauan
Maluku Utara 739 475 30674 11728 20252 55013
Sumber : https://malukuutara.bps.go.id

Kemudian produksi bahan pangan tertinggi nomor dua yaitu ubi kayu, kemudian jagung,
kacang hijau, dan ubi jalar. Padi sawah paling banyak diproduksi di Halmahera Timur.
Kemudian terdapat Kota Ternaten Tidore, dan beberapa kota lain yang tidak memproduksi
bahan pangan pokok sendiri.

 Produksi Bahan Pangan Pokok di Provinsi Maluku


Data dari BPS tahun 2013 menunjukkan produksi tertinggi tanaman pangan yaitu ubi kayu,
kemudian padi sawah, ubi jalar, jagung, padi ladang, kacang hijau, kemudian kedelai. Data
tersebut metuakan jumlah produksi total tanaman pangan di Provinsi Maluku tahun 2013.

Produksi Tanaman Pangan di


Komoditas Tanaman
Maluku (Ton)
Pangan
2013
padi sawah 96807
padi ladang 5028
jagung 11940
ubi kayu 97813
ubi jalar 19602
kacang tanah 1426
kacang hijau 889
kedelai 254

Produksi Bahan Pangan Pokok di Provinsi Papua Barat

Data berikut merupakan data dari BPS provinsi Papua Barat tahun 2015.

Produksi (Ton)
Kabupaten/Kota Ubi Ubi
Padi Jagung Kayu Jalar
2015 2015 2015 2015
Fakfak 2281 7 713 285
Kaimana 140 12 342 254
Teluk Wondama 293 38 799 594
Teluk Bintuni 1263 124 622 1343
Manokwari 16364 711 934 1865
Sorong Selatan 154 - 104 170
Sorong 4057 507 2799 2571
Raja Ampat 861 443 1942 2430
Tambrauw 78 38 - 0
Maybrat - 26 982 1086
Manokwari
4728 237 704 868
Selatan
Pegunungan
- 70 - 689
Arfak
Kota Sorong - 51 1240 946
Papua Barat 30219 2264 11181 13101
Sumber : https://papuabarat.bps.go. id
Data tersebut menunjukkan produksi bahan pangan di provinsi Papua barat tahun 2015 paling
tinggi adalah padi, kemudian ubi jalar, kemudian ubi kayu, dan jagung.

 Produksi Padi menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua, 2015


Data berikut merupakan data dari BPS Provinsi Papua tahun 2015
Produksi Padi
Produksi Palawija (Ton)
(Ton)
Kabupaten Padi Padi Ubi Kacang Kacang Kacang Ubi
Sawah Ladang Jagung Jayu Tanah Kedelai Hijau Jalar
2015 2015 2015 2015 2015 2015 2015 2015
156477. 5121.2 4780.5
Merauke 750.94 679.18 386.72 88.25 3721
42 4 4
2208.9 11422
Jayawijaya 253.94 0 62.66 34.35 153.58 0 1 7.84
1044.2 1868.6
Jayapura 4900.5 903.14 590.89 118.07 16.53 1609
3 5
1880.6 4869.
Nabire 5925.15 266.84 991.42 724.95 235.56 79.39 5 9
Kepulauan 5343.2 4093.
0 54.74 167.24 161.48 198.36 7.84
Yapen 6 86
Biak 3289.7 3548.
Numfor 0 0 763.84 0 35.28 97.09 5 87
18539
Paniai 0 0 345.53 113 61.04 0 753.24
4.36
Puncak
Jaya 0 0 0 0 0 0 0 0
1614.0 3649.
Mimika 1581.53 0 128.25 105.77 59.33 0
6 18
Boven 6945.1 4245.
Digoel 62.37 0 4.79 0 2.12 0 9 14
4939.4 3463.
Mappi 1073.66 0 371.08 18.45 95.03 0
3 42
1058.
Asmat 0 0 113.18 0 0 0 1210.5 51
5685.
Yahukimo 0 0 230 106.21 16.13 4.43 461.23
18
Pegunung 73591
an Bintang 276.21 424.2 303.38 92.31 325.6 100.4 4525.4 .07
1166.7 12540
Tolikara 0 0 537.39 73.48 328.45 27.64
8 .18
1711.7 1616.
Sarmi 0 0 209.44 36.75 50.01 17.05 4 6
1395.6 2104.
Keerom 837.54 622.62 517.16 289.89 51.74 10.7
1 29
780.2
Waropen 0 738.94 64.37 37.55 67.28 16.51 788.76 7
Supiori 0 0 11.61 0 0 0 109.27 73.88
Mambera 0 0 0 0 0 0 0 0
mo Raya
Nduga 0 0 0 0 0 0 0 0
Lanny
0 0 0 0 0 0 0 0
Jaya
Mambera
mo 0 0 0 0 0 0 0 0
Tengah
Yalimo 0 0 0 0 0 0 0 0
20034
Puncak 0 0 182 0 260.41 0 861.06
.02
Dogiyai 0 0 0 0 0 0 0 0
Intan Jaya 0 0 0 0 0 0 0 0
Deiyai 0 0 0 0 0 0 0 0
Kota 618.2
2254.23 0 320.85 4.92 52.91 2.27 533.66 4
Jayapura
Provinsi 173642. 8131.7 6666.0 3522.5 2497.6 46387. 44692
54 2 2 2 2 468.1 69 4.81
Papua
sumber : https://papua.bps.go.id

Produksi bahan pangan paling tinggi di Papua adalah ubi jalar. Kemudian disusuk padi
sawah, kacang hijau, dan lain sebagainya. Hampir seluruh kota dan Kabuoaten di Provinsi
Papua memproduksi ubi jalar, sedangkan produksi padi baik padi sawahmaupun padi ladang
terbilang rendah. jumlah produksi bahan pangan tiap kota atau Kabupaten dipengaruhi oleh luas
daerah serta pemanfaatan lahan tiap daerah.

 Produksi Sagu di Provinsi Indonesia Bagian Timur

Luas Areal dan Produksi Sagu Menurut Provinsi dan Status Pengusahaan Tahun 2017

Perkebunan Rakyat Perkebunan Swasta

Provinsi Luas
(Ha) Produksi(Ton) Luas(Ha) Produksi(Ton)
MALU
KU 41.496 11.905 41.496 11.905
Maluku
Utara 3.645 1.403 3.645 1.403
Papua 39.843 34.379 39.843 34.79
Papua
Barat 2.279 1.774 2.279 1.774

Produksi sagu tahun 2017 di Indonesia bagian timur paling tinggi adalah pada provinsi
Maluku
4. Ketersediaan Protein dan Lauk Lain di Pulau Maluku dan Papua
Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/ pembuatan makanan atau minuman. 1
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa ikan merupakan
sumber protein utama yang mudah diperoleh dan murah dibandingkan sumber protein hewani
lainnya. Dimasukkannya ikan sebagai bagian pangan itu sangat penting karena ikan memiliki
kandungan protein yang cukup besar. Data SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional) BPS
menunjukkan bahwa sumbangan protein ikan terhadap konsumsi protein hewani masyarakat
Indonesia mencapai 57,2%, sedangkan daging 19,6%, telur dan susu 23,2%. Hal ini terjadi
seiring dengan kecenderungan pergeseran konsumen dalam pemenuhan kebutuhan protein
hewani yang semula bersumber dari red meat kemudian beralih ke white meat.

 Papua
a. Perikanan
Letak Provinsi Papua Barat yang berbatasan dengan laut disebelah uatara, selatan
dan barat, menyebabkan produksi perikanan di provinsi ini cukup tinggi. Produksi
perikanan di Provinsi Papua Barat tahun 2010 hingga 2014 menunjukkan trend yang
meningkat. Produksi perikanan yang terdapat di Papua Barat sangat beraneka ragam
yang dikelompokkan pada tiga kategori yaitu perikanan laut (semua jenis ikan laut yang
dikonsumsi), perikanan berkulit keras (seperti udang, rajungan dan kepiting) dan
perikanan berkulit lunak (seperti cumi dan sontong)( Widati,2016). Produksi perikanan
di Provinsi Papua digambarkan dalam grafik berikut.
Gambar menunjukkan bahwa produksi perikanan laut memiliki tingkat produksi
yang lebih tinggi dari yang lainnya. Jenis ikan dengan jumlah terbesar berturut-turut
adalah cakalang, madidihang, tenggiri, teri, kembung dan kakap putih. Sebagian besar
produksi ikan dipasarkan dalam bentuk segar. Selebihnya diawetkan dengan cara
dikeringkan, pengasapan, pembekuan, dan pengalengan. Pengawetan dengan cara
dikeringkan dan pengasapan banyak dilakukan oleh masyarakat, sedangkan pengawetan
dengan cara pembekuan dan pengalengan banyak dilakukan oleh perusahaan atau
industri pengolahan ikan. Produksi perikanan laut terbanyak terdapat di Kota Sorong,
Kabupaten Manokwari, Fak-fak, Sorong dan Sorong Selatan. Nilai produksi perikanan
laut, perikanan berkulit keras dan perikanan berkulit lunak masing-masing sebesar
1.423.213.976, 653.400.113 dan 10.561.281 dalam ribuan rupiah.
b. Daging dan Telur
Produksi daging dan telur menunjukkan trend yang positif. Tahun 2014 produksi
daging baik dari ternak besar maupun kecil dan unggas mengalami peningkatan
dibandingkan produksi tahun 2012, dengan peningkatan masing-masing sebesar 75,78%
dan 88,92%. Sedangkan untuk produksi telur mengalami penurunan sebesar 12,33%.
Jumlah produksi terbanyak berasal dari produksi daging sapi. Jika dilihat dari kabupaten
penghasil maka pada tahun 2014 kabupaten dengan penghasil daging terbanyak adalah
Kabupaten Manokwari dan terbanyak kedua adalah Kabupaten Sorong dengan kontribusi
masing-masing sebesar 32,55% dan 24,90% (Widati,2017).

 Maluku
Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan terdiri dari banyak provinsi memiliki
kondisi masyarakat berbeda-beda, termasuk pola konsumsi pangannya. Provinsi Maluku
merupakan provinsi kepulauan (memiliki 1.412 pulau), dengan luas wilayah 712.480 Km2,
terdiri dari 92,4% lautan dan 7,6% daratan, dengan panjang garis pantai 10.6626 . Provinsi
Maluku memiliki potensi sumber daya perikanan yang cukup besar, yaitu mencapai 1,64
juta ton per tahun, yang memberikan kontribusi sebesar 26,3% potensi perikanan nasional.
7 Besarnya potensi perikanan itu menjadikan Provinsi Muluku sebagai lumbung ikan
nasional. Dengan potensi ikan Provinsi Maluku yang cukup besar tersebut, pertanyaan
yang muncul adalah bagaimana korelasi antara jumlah produksi ikan yang tersedia dengan
konsumsi perkapita penduduknya dan bagaimana pula pola konsumsi ikan masyarakat
desanya.
Maluku merupakan salah satu provinsi di bagian Timur Indonesia dengan bentuk
kepulauan yang dikelilingi oleh perairan laut yang luasnya mencapai 92,4% (658.294,69
km2 ) dari luas wilayah Maluku secara keseluruhan. Kondisi geografis ini membuat
Maluku memiliki potensi produksi ikan tangkap sebesar 1,63 juta ton per tahun, sedangkan
tingkat pemanfaatannya baru 21% atau sekitar 341,966 ton (Listriana, 2011). Ikan pelagis
besar merupakan komoditas unggulan diperkirakan memiliki potensi sumberdaya sebesar
1.655,81 ton dengan nilai pemanfaatan maksimum lestari (MSY) sebesar 827,90 ton dan
jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 662,32 ton/tahun (Dinas Kelautan
dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku, 2012).
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan salah satu jenis ikan kelompok pelagis
besar yang banyak ditemui di perairan Maluku. Hal ini ditunjukkan oleh data statistik Kota
Ambon yang menempatkan ikan cakalang sebagai salah satu hasil tangkapan yang bernilai
ekonomis tertinggi pada tahun 2012 (Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Ambon, 2012).
Dari aspek pemasarannya, cakalang juga merupakan jenis sumberdaya perikanan
terpenting karena menjadi komoditi ekspor dan bahan konsumsi dalam neger. Cakalang di
Kota Ambon tidak hanya dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi juga diolah menjadi ikan
asap (smoked fish) yang dikenal dengan nama ikan asar dengan pemasaran dalam lingkup
Pulau Ambon dan pasar dalam negeri.
Pada tahun 2012, volume produksi perikanan tangkap laut Kota Ambon adalah sebanyak
31.785 ton dengan nilai produksi sebesar Rp.173.202.315.000. Produksi tersebut
disumbang oleh ikan pelagis kecil, pelagis besar, dan ikan demersal. Berdasarkan wilayah
ekologis, volume produksi disumbang besar oleh ikan pelagis kecil yaitu ikan layang
sebanyak 10.412,42 ton dengan nilai Rp.41,6 miliar dan ikan selar sebanyak 789,97 ton
dengan nilai produksi sebesar Rp.3.949.850.000. Untuk ikan pelagis besar, volume dan
nilai produksi terbesar disumbang oleh ikan tongkol yang masing-masing sebesar
10.059,59 ton dan Rp.30.178.770, ikan cakalang dengan volume produksi 6.452,05 ton
senilai Rp.48.390.375.000, dan ikan tuna sebanyak 2.106,78 ton dengan nilai produksi
Rp.42.135.600.000

Tabel 1 menunjukkan bahwa dari aspek volume produksi maka ikan layang dan tongkol
menjadi komoditas utama di Kota Ambon, tetapi jika dilihat dari nilai produksi maka ikan
cakalang dan tuna yang memberikan sumbangan terbesar. Hal ini disebabkan oleh karena
tingkat harga ikan pelagis kecil cenderung rendah dibandingkan dengan harga ikan cakalang dan
tuna yang mencapai 2-5 kali lipat lebih tinggi. Faktor inilah yang membuat ikan tuna dan
cakalang menjadi komoditas utama perikanan Kota Ambon. Pemasaran ikan tuna dan cakalang
juga lebih luas karena menjadi komoditi ekspor ke negara tujuan Amerika Serikat dan juga ke
pasar regional seperti Jakarta dan Surabaya. Sementara ikan layang dan selar dipasarkan di pasar
lingkup Pulau Ambon saja ( Luhur, 2017).
Kawasan Maluku Tengah merupakan bagian dari Provinsi Maluku. Kawasan tersebut meliputi
Kabupaten Maluku Tengah dengan ibukota Masohi, Kabupaten Seram Bagian Barat dengan
ibukota Piru, Kabupaten Seram Bagian Timur dengan ibukota Bula, Kabupaten Buru dengan
ibukota Namlea dan Kabupaten Buru Selatan dengan ibukota Namrole. Empat kabupaten
terakhir awalnya berada pada kabupaten Maluku Tengah, yang kemudian dimekarkan secara
berturut-turut sebagai berikut: Kabupaten Buru berdasarkan Undang-Undang No. 46 tahun 1999
yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 6 tahun 2000, Kabupaten Seram
Bagian Barat dan Seram Bagian Timur berdasarkan Undang-Undang No. 40 tahun 2003 tanggal
18 Desember 2003 dan Kabupaten Buru Selatan berdasarkan UndangUndang No. 32 tahun 2008
tanggal 21 Juli 2008. Luas lautan yang ± 15 kali luas daratannya memposisikan sektor perikanan
dan kelautan sebagai leading sector dalam pembangunan Kawasan ini, sehingga sumber daya
perikanan pun harus dimanfaatkan secara bijaksana, sesuai amanat Undang Undang No. 45
tahun 2009 tentang Perikanan (Yolanda, 2013).
Kabupaten Maluku Tengah yang dikenal sebagai salah satu Kabupaten Kepulauan memiliki
luas 275.907,00 Km2 yang terdiri dari Luas Lautan 264.311,43 km2 (95,80%), Luas Daratan
11.595,57 km2 (4,20%) (BPS, 2014). Hasil Pengkajian Pusat Riset Perikanan Tangkap Badan
Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan yang bekerjasama dengan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI terhadap stock ikan di perairan Indonesia
Tahun 2001 menyebutkan potensi sumber daya perikanan di Maluku Tengah adalah sebesar
835.400 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 667.800
ton/tahun. Potensi sumber daya hayati perikanan itu terdiri dari pelagis, demersal, dan biota
lainnya. Potensi sumber daya ikan yang dimiliki sebesar 484.532 ton/tahun dengan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 387.324 ton/tahun. 8
Jumlah rumah tangga perikanan (RTP) di Kabupaten Maluku Tengah pada tahun 2012 adalah
sebanyak 14.949 RTP dan mengalami peningkatan pada tahun 2013 menjadi sebesar 4,37% atau
menjadi sebanyak 15.603 RTP. Sementara itu, jumlah armada penangkapan ikan yang pada
tahun 2012 berjumlah 18.069 unit mengalami peningkatan sebesar 2,19% menjadi 18.465 unit
pada tahun 2013. Seiring dengan bertambahnya jumlah armada dan alat tangkap serta jumlah
nelayan, hasil produksi para nelayan juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2012, jumlah produksi perikanan sebanyak 101.305,6 ton (BPS, 2013) dan pada tahun
2013, jumlah produksi tersebut mengalami peningkatan sebesar 28,45% menjadi 129.785 ton
(BPS, 2014).
Dari produksi ikan laut yang ada di Kabupaten Maluku Tengah, mayoritas digunakan untuk
kebutuhan konsumsi lokal (penduduk Kabupaten Maluku Tengah), yaitu sebanyak 85.533,1 ton.
Terlihat dalam tabel bahwa jumlah ikan yang dieksport dan dikirim antarpulau sebenarnya
relatif sedikit (9.400,7 kg), hanya 9,37% dari total produksi, sedangkan untuk umpan dan
terbuang hanya 5.337,3 kg (5,32%) dari total produksi. Sementara itu, jenis ikan yang dieksport
adalah ikan tuna, cakalang, tongkol, dan layang/ momar. Dalam tabel di bawah diketahui bahwa
ikan yang dieksport dan kirim antarpulau juga memang relatif sedikit, kecuali ikan cakalang.
Dari pengakuan nelayan di desa Hitu diketahui bahwa meskipun ikan jenis ikan tersebut yang
biasa dikirim ke perusahaan eksport, akan tetapi yang mereka kirim ke perusahaan adalah yang
ukurannya memenuhi standard perusahaan (standard eksport). Jadi ukuran yang tidak memenuhi
standar yang menjadi konsumsi lokal.
Selain bahan pokok pangan di Provinsi Maluku Utara, ketersediaan akan daging sapi juga
merupakan hal yang penting, jumlah kebutuhan dan produksi daging sapi pada beberapa
Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara dapat digambarkan pada tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk komoditi daging sapi jumlah produksinya masih surplus jika
dibandingkan dengan jumlah kebutuhan, yakni total produksi daging sapi di Provinsi Maluku
Utara pada tahun 2013 sebesar 330.456 ton dan kebutuhan akan konsumsinya sebesar 203.422
ton per tahun. Dengan demikian, untuk komoditi daging sapi di Provinsi Maluku Utara masih
memiliki surplus sebesar 127.034 ton. Namun demikian, untuk beberapa kota masih
memerlukan pasokan dari daerah lain, seperti Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera
Barat, Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Kepulauan Sula, dan Pulau Morotai. Secara lebih
mudah dipahami, hal tersebut dapat dilihat pada gambar 8. Daging sapi merupakan salah satu
konsumi utama bagi penduduk di Provinsi Maluku Utara, dimana pada tahun 2012 daerah yang
mengalami surplus daging sapi adalah Kota Ternate, Kabupaten Halmahera Utara, dan
Kabupaten Halmahera Selatan. Dari ketiga daerah tersebut, sudah dapat mencukupi jumlah
kebutuhan konsumsi daging sapi, secara lebih detail pola distribusi dari daerah yang surplus ke
daerah yang defisit pada beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara dapat dijelaskan
dalam tabel 2.
Umumnya konsumsi dan pengeluaran rumah tangga, berbeda antar agroekosistem, antar
kelompok pendapatan, antar etnis/ suku dan antar waktu. Sejalan dengan itu, tingkat konsumsi
telur, diduga juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang lebih spesifik, antara lain pola
makan, tingkat pendidikan yang berkaitan dengan pengertian akan perlunya makanan bergizi,
tingkat pendapatan, dan perbedaan lokasi/wilayah seperti perkotaan dan pedesaan, antar
provinsi, antar pulau dan sebagainya. Dari data SUSENAS BPS telah dilakukan penghitungan
menurut kriteria yang spesifik yaitu pada tingkat konsumsi telur menurut perkotaan dan
pedesaan, jenis telur yang dikonsumsi dan tingkat pendapatan. Akhirnya, di dua provinsi paling
timur Indonesia, yaitu Maluku dan Papua, kebutuhan konsumsi telur yang dipenuhi dari
produksi dalam provinsi hanya sekitar separuhnya, masing-masing 54% dan 55%.
Kebutuhan bahan pangan selain bersumber dari pertanian juga berasal dari peternakan.
Produksi daging sapi dan kambing di Maluku Utara cukup melimpah sehingga kebutuhan
daging di wilayah ini tidak perlu didatangkan dari daerah lain. Tingkat konsumsi daging sapi di
Maluku Utara masih rendah sehingga pasokan daging sapi mencukupi kebutuhan daging di
provinsi ini. Untuk produksi ternak kambing, populasinya sudah mencapai puluhan ribu ekor
tersebar di sejumlah kabupaten dan kota, seperti Pulau Morotai dan Halmahera Barat. Produksi
daging di Provinsi Maluku Utara cukup besar, dengan produksi tertinggi pada tahun 2014 adalah
daging sapi dan kambing. Potensi peternakan di Maluku Utara terdappat di Kepulauan Sula,
Halmahera Selatan, Halmajera Tengah, Halmahera Timur, Halmahera Utara, Halmahera Barat,
Kota Ternate, dan Tidore Kepulauan. Masyarakat MalukuUtara. Dalam mendukung
pengambilan kebijakan pembangunan peternakan, khususnya kebijakan yang berhubungan
dengan upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak, informasi mengenai
pemeliharaan kesehatan ternak, pakan ternak, dan biaya lain yang dibutuhkan dalam usaha
ternak diperlukan untuk meningkatkan produktivitas ternak.
Peternakan unggas di Provisi Maluku Utara juga mengalami peningkatan dengan hasil
produksi yang terus meningkat setiap tahunnya. Jumlah populasi ternak terbesar di Maluku
Utara adalah ayam kampung yaitu sebanyak 614 ribu ekor pada tahun 2014, sedikit mengalami
peningkatan sebesar 6,3 persen dari tahun sebelumnya. Potensi peternakan unggas terdapat di
Kepulauan Sula, Halmahera Selatan, Halmahera Utara, Halmahera Barat, Halmahera Tengah
dan Halmahera Timur. Untuk Kota Ternate dan Tidore komoditas ternak unggulannya adalah
ayam kampung dan itik saja. Jumlah populasi ternak ini mencukupi kebutuhan masyarakat
Maluku Utara karena konsumsi daging (sapi, kambing, ayam kampung) di provinsi ini kecil,
yaitu sekitar 3,1 kg per kapita per tahun. Hal ini membuat peternakan unggas kurang
berkembang. Suplai kebutuhan telur ayam juga cukup dipasok dari daerah sendiri. Selain tingkat
konsumsi yang rendah. Sektor peternakan unggas belum berkembang karena mahalnya
investasi, yaitu harus mendatangkan harga pakan dan bibit ayam dari Manado dan Surabaya
sehingga biaya menjadi tinggi ( Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Maluku Utara
2015)
5. Ketersediaan Kalori dan Protein pada Tingkat Nasional

Rata-rata konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia per kapita sehari hasil Susenas
September 2015 sebesar 1 982,42 kkal dan 55,97 gram protein (lihat Tabel 3.1). Berdasarkan
standar kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita sehari (WNPG X tahun 2012), yaitu
2 150 kkal dan 57 gram protein, maka rata-rata konsumsi kalori dan protein penduduk
Indonesia pada September 2015 masih berada di bawah standar kecukupan. Rata-rata konsumsi
kalori penduduk perkotaan dan perdesaan masih berada di bawah standar kecukupan kalori.
Rata-rata konsumsi kalori di perkotaan sebesar 1 987,11 kkal, lebih tinggi dibandingkan
konsumsi kalori di perdesaan sebesar 1 977,64 kkal. Hal yang sama terjadi pada konsumsi
protein, dimana konsumsi protein penduduk di perkotaan juga lebih tinggi dibandingkan
perdesaan yaitu 58,72 gram berbanding 53,17 gram, seperti terlihat pada Tabel 3.1. Hal ini
dipengaruhi oleh ragam makanan yang dikonsumsi oleh penduduk perkotaan lebih banyak
dibandingkan penduduk pedesaan karena di daerah perkotaan tersedia lebih banyak jenis
bahan makanan maupun makanan jadi (Bada Pusat Statistik, 2015).

Rata-Rata Konsumsi Kalori (Kkal) dan Protein (Gram) per Kapita Sehari
menurut Makanan yang Dimasak di Rumah, Makanan dan Minuman Jadi,
Tabe dan Daerah Tempat Tinggal, September 2015
l 3.
Table 1 Daily Average Consumption of Calorie (Kcal) and Protein (Grams) per Capita by
Food Prepared at Home, Prepared Food and Beverages and Urban Rural Classification,
September 2015

Kalori / Calorie Protein / Protein


Rincia Perkotaan Perkotaa
n Perkotaa Perdesa + Perkotaan Perdesaa n+
Items n an Perdesaa n Perdesaa
n n
Urban Rural Urban + Urban Rural Urban +
Rural Rural
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Makanan dimasak di 1 535,30 1 672,16 1 45,40 45,24 45,32


rumah 603,13
Food prepared at home 77,26% 84,55% 80,87% 77,32% 85,09% 80,97%

2. Makanan dan minuman 451,81 305,48 379,29 13,32 7,93 10,65


jadi
Prepared food and 22,74% 15,45% 19,13% 22,68% 14,91% 19,03%
beverages
1 987,11 1 977,64 1 58,72 53,17 55,97
982,42
Jumlah / Total 100,00% 100,00% 100,00 100,00% 100,00% 100,00%
%
6. Sumber: BPS, Susenas September 2015
7. Source: BPS, September 2015 Susenas

Sumber konsumsi kalori dan protein penduduk dibedakan menjadi dua yaitu berdasarkan
konsumsi makanan dan minuman yang dimasak di rumah serta konsumsi makanan dan
minuman jadi. Pola konsumsi antara makanan yang dimasak di rumah dengan makanan dan
minuman jadi dapat mengindikasikan perubahan pola konsumsi yang berkaitan dengan
proses modernisasi. Konsumsi kalori dan protein dari makanan dan minuman jadi bagi
penduduk di perkotaan (451,81 kkal dan 13,32 gram) lebih tinggi dari penduduk di
perdesaan (305,48 kkal dan 7,94 gram).
Persentase konsumsi kalori dari makanan dan minuman jadi terhadap total konsumsi kalori
untuk penduduk di perkotaan (22,74 persen) lebih besar dibandingkan dengan penduduk di
perdesaan (15,45 persen). Konsumsi protein dari makanan dan minuman jadi di perkotaan
mencapai 22,68 persen sedangkan di perdesaan hanya 14,91 persen terhadap total konsumsi
protein.
Rata-Rata Konsumsi Kalori (Kkal) dan Protein (Gram) per
Kapita
3.6. Sehari di Daerah Perkotaan menurut Provinsi, September
Tabel
1 2015
Table Daily Average Consumption of Calorie (Kcal) and Protein
(Grams)
per Capita in Urban Area by Province, September 2015
8.

Kalori / Protein /
Calorie Protein
Makana Makana
Makanan Makanan
Provinsi n n
dan dan
Province dimasa Jumlah dimasa Jumlah
minuman minuman
k di Total k di Total
jadi jadi
rumah rumah
Prepared Prepared
Food Food
Food and Food and
Prepare Prepare
Beverages Beverages
d d
at Home at Home
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Aceh 1 351,79 1 923,87 46,42 8,84 55,26
572,08
Sumatera Utara 1 321,66 1 874,68 45,67 8,66 54,33
553,02
Sumatera Barat 1 480,42 1 999,65 42,63 12,61 55,24
519,24
Riau 1 387,19 1 963,44 47,49 10,57 58,05
576,25
Jambi 1 288,65 1 802,04 43,03 7,86 50,89
513,39
Sumatera Selatan 1 408,54 1 991,56 47,92 12,42 60,35
583,02
Bengkulu 1 410,76 2 034,87 48,25 12,67 60,92
624,11
Lampung 1 264,58 1 695,19 37,90 8,11 46,01
430,61
Kepulauan Bangka 1 346,25 1 913,51 50,14 8,67 58,82
Belitung 567,25
Kepulauan Riau 1 467,20 2 066,06 52,30 14,46 66,77
598,86
DKI Jakarta 1 541,10 2 011,70 43,97 17,61 61,58
470,61
Jawa Barat 1 488,26 2 044,38 45,15 14,05 59,20
556,12
Jawa Tengah 1 509,69 1 883,10 39,00 15,78 54,77
373,41
D I Yogyakarta 1 681,27 2 132,49 41,32 25,54 66,86
451,22
Jawa Timur 1 431,08 1 975,48 46,79 11,89 58,68
544,41
Banten 1 488,00 2 051,95 46,89 15,18 62,07
563,96
Bali 1 515,10 2 113,44 46,40 14,94 61,34
598,34
Nusa Tenggara Barat 1 417,26 2 202,68 51,39 10,93 62,32
785,42
Nusa Tenggara Timur 1 172,97 1 971,17 52,81 4,57 57,38
798,20
Kalimantan Barat 1 349,82 1 959,31 49,92 9,52 59,44
609,50
Kalimantan Tengah 1 412,87 2 134,41 52,18 11,85 64,03
721,54
Kalimantan Selatan 1 525,33 2 141,12 47,78 16,48 64,26
615,79
Kalimantan Timur 1 331,96 1 767,55 46,65 9,43 56,08
435,59
Kalimantan Utara 1 370,27 1 899,99 51,92 8,67 60,60
529,71
Sulawesi Utara 1 367,19 2 127,43 53,03 12,28 65,31
760,24
Sulawesi Tengah 1 271,32 1 718,26 44,26 8,55 52,80
446,94
Sulawesi Selatan 1 372,19 2 024,28 51,01 9,76 60,78
652,09
Sulawesi Tenggara 1 318,97 1 993,52 54,34 7,73 62,07
674,55
Gorontalo 1 374,07 2 093,38 51,79 13,54 65,33
719,30
Sulawesi Barat 1 276,50 2 056,84 51,96 6,31 58,27
780,33
Maluku 1 344,78 1 854,68 46,81 9,20 56,02
509,90
Maluku Utara 1 363,61 1 789,56 45,14 10,78 55,92
425,95
Papua Barat 1 247,65 1 902,70 49,69 6,22 55,90
655,05
Papua 1 254,91 1 903,51 48,98 6,09 55,07
648,60
INDONESIA 1 451,81 1 987,11 45,40 13,32 58,72
Rata-rata Konsumsi Kalori (KKAL) dan Protein (Gram) Per
Kapita Sehari Beberapa Jenis Makanan, September 2015.

535,30
9.

10. Sumber : BPS, Susenas September 2015


11. Source : BPS, September 2015 Susenas
12. Provinsi / Province : MALUKU

Jenis Makanan Kalori Protein

Food Items Calorie Protein


13. (1)
14.
(2) (3)
15.
1. Beras/beras ketan / Rice/glutinous rice 787,1 18,42
7
2. Jagung basah dengan kulit / Fresh corn with husk 0,22 0,01
3. Jagung pipilan/beras jagung / Dry shelled 14,44 0,37
corn/cornmeal
4. Ketela pohon/singkong / Cassava 59,15 0,38
5. Ketela rambat/ubi / Sweet potatoes 23,91 0,22
6. Gaplek / Dried cassava 0,30 0,00
7. Ikan dan udang segar / Fresh fish and shrimp 90,32 15,13
8. Ikan dan udang diawetkan / Preserved fish and shrimp 2,00 0,33
9. Daging sapi / Beef 1,34 0,12
10. Daging ayam ras/kampung / Broiler/local chicken meat 16,99 1,02
11. Telur ayam ras/kampung / Chicken egg 8,33 0,66
12. Telur itik/manila / Duck egg 0,12 0,01
13. Susu kental manis / Sweetened condensed milk 6,26 0,15
14. Susu bubuk bayi / Infant formula 7,12 0,32
15. Bawang merah / Onion 2,22 0,09
16. Bawang putih / Garlic 4,98 0,24
17. Cabe merah / Chillies 0,05 0,00
18. Cabe rawit / Cayenne pepper 0,36 0,02
19. Tahu / Soybean curd 6,18 0,84
20. Tempe / Fermented soybean cake 7,17 0,60
21. Minyak kelapa/goreng / Coconut oil/frying oil 194,5 0,03
2
22. Kelapa / Coconut 53,30 0,50
23. Gula pasir / Sugar 86,86 0,00
24. Gula merah / Brown sugar 1,41 0,01
16.
17. Provinsi / Province : MALUKU UTARA

Jenis Makanan Kalori Protein

Food Items Calorie Protein


18. (1)
19.
(2) (3)
20.
1. Beras/beras ketan / Rice/glutinous rice 744,81 17,43
2. Jagung basah dengan kulit / Fresh corn with husk 0,10 0,00
3. Jagung pipilan/beras jagung / Dry shelled 0,24 0,01
corn/cornmeal
4. Ketela pohon/singkong / Cassava 46,15 0,30
5. Ketela rambat/ubi / Sweet potatoes 16,19 0,15
6. Gaplek / Dried cassava 1,22 0,01
7. Ikan dan udang segar / Fresh fish and shrimp 94,18 15,48
8. Ikan dan udang diawetkan / Preserved fish and shrimp 2,94 0,50
9. Daging sapi / Beef 0,69 0,06
10. Daging ayam ras/kampung / Broiler/local chicken meat 6,81 0,41
11. Telur ayam ras/kampung / Chicken egg 7,46 0,60
12. Telur itik/manila / Duck egg 0,17 0,01
13. Susu kental manis / Sweetened condensed milk 4,72 0,12
14. Susu bubuk bayi / Infant formula 5,45 0,25
15. Bawang merah / Onion 2,13 0,08
16. Bawang putih / Garlic 3,46 0,16
17. Cabe merah / Chillies 0,11 0,00
18. Cabe rawit / Cayenne pepper 0,53 0,02
19. Tahu / Soybean curd 5,25 0,72
20. Tempe / Fermented soybean cake 7,00 0,59
21. Minyak kelapa/goreng / Coconut oil/frying oil 216,42 0,06
22. Kelapa / Coconut 80,68 0,76
23. Gula pasir / Sugar 91,16 0,00
24. Gula merah / Brown sugar 1,79 0,01
21.
22. Provinsi / Province : PAPUA BARAT

Jenis Makanan Kalori Protein

Food Items Calorie Protein


23. (1)
24.
(2) (3)
25.
1. Beras/beras ketan / Rice/glutinous rice 785,26 18,37
2. Jagung basah dengan kulit / Fresh corn with husk 0,51 0,02
3. Jagung pipilan/beras jagung / Dry shelled 0,00 0,00
corn/cornmeal
4. Ketela pohon/singkong / Cassava 28,21 0,18
5. Ketela rambat/ubi / Sweet potatoes 19,15 0,18
6. Gaplek / Dried cassava . .
7. Ikan dan udang segar / Fresh fish and shrimp 78,87 13,60
8. Ikan dan udang diawetkan / Preserved fish and shrimp 6,71 0,74
9. Daging sapi / Beef 6,96 0,63
10. Daging ayam ras/kampung / Broiler/local chicken meat 28,04 1,69
11. Telur ayam ras/kampung / Chicken egg 14,20 1,14
12. Telur itik/manila / Duck egg 0,07 0,00
13. Susu kental manis / Sweetened condensed milk 13,79 0,34
14. Susu bubuk bayi / Infant formula 12,49 0,57
15. Bawang merah / Onion 2,38 0,09
16. Bawang putih / Garlic 5,28 0,25
17. Cabe merah / Chillies 0,06 0,00
18. Cabe rawit / Cayenne pepper 1,18 0,05
19. Tahu / Soybean curd 14,95 2,04
20. Tempe / Fermented soybean cake 18,36 1,54
21. Minyak kelapa/goreng / Coconut oil/frying oil 264,34 0,02
22. Kelapa / Coconut 15,03 0,14
23. Gula pasir / Sugar 96,82 0,00
24. Gula merah / Brown sugar 0,47 0,00
26.
27. Provinsi / Province : P A P U A

Jenis Makanan Kalori Protein

Food Items Calorie Protein


28. (1)
29.
(2) (3)
30.
1. Beras/beras ketan / Rice/glutinous rice 523,56 12,25
2. Jagung basah dengan kulit / Fresh corn with husk 0,74 0,02
3. Jagung pipilan/beras jagung / Dry shelled 0,64 0,02
corn/cornmeal
4. Ketela pohon/singkong / Cassava 43,06 0,28
5. Ketela rambat/ubi / Sweet potatoes 389,07 3,66
6. Gaplek / Dried cassava 0,21 0,00
7. Ikan dan udang segar / Fresh fish and shrimp 40,04 7,04
8. Ikan dan udang diawetkan / Preserved fish and shrimp 3,47 0,31
9. Daging sapi / Beef 1,89 0,17
10. Daging ayam ras/kampung / Broiler/local chicken meat 30,97 1,87
11. Telur ayam ras/kampung / Chicken egg 9,30 0,74
12. Telur itik/manila / Duck egg 0,27 0,02
13. Susu kental manis / Sweetened condensed milk 10,42 0,25
14. Susu bubuk bayi / Infant formula 6,70 0,30
15. Bawang merah / Onion 1,85 0,07
16. Bawang putih / Garlic 3,11 0,15
17. Cabe merah / Chillies 0,11 0,00
18. Cabe rawit / Cayenne pepper 0,59 0,03
19. Tahu / Soybean curd 12,49 1,70
20. Tempe / Fermented soybean cake 12,64 1,06
21. Minyak kelapa/goreng / Coconut oil/frying oil 214,90 0,01
22. Kelapa / Coconut 15,35 0,15
23. Gula pasir / Sugar 66,49 0,00
24. Gula merah / Brown sugar 0,26 0,00
DAFTAR PUSTAKA

Azwar A. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi dalam Ketahanan Pangan. DalamProsiding
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era
Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: BPS, Departemen Kesehatan, Badan POM,
Bappenas, Departemen Pertanian dan Ristek

Badan Ketahanan Pangan. 2018. Indeks Ketahanan Pangan Indonesia. Kementerian Pertanian
Indonesia

Badan Pusat Statistik. 2018. Jumlah Penduduk Maluku dan Papua. Jakarta

Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Ambon. 2012. Kota Ambon Dalam Angka 2012. Ambon:
Badan Pusat Statistik Kota Ambon.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah. (2014). Kabupaten Maluku Tengah Dalam
Angka Tahun 2014. Maluku Tengah: Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah. (2013). Kabupaten Maluku Tengah Dalam
Angka Tahun 2012. Maluku Tengah: Bapan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah
Bada Pusat Statistik. 2015. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi.
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura(2016).
Provinsi Papua Barat.
Data SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional)
Darwanto, Dwidjono H. 2005. Ketahanan pangan berbasis produksi dan kesejahteraan petani.
Fakultas Pertanian UGM dan MMA-UGM, Yogyakarta. 12 (2) : 152-164

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Ambon. 2012. Laporan Tahunan 2012. Ambon:
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku. 2012. Laporan Tahunan 2012.
Maluku: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku
DKP dan WFP Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Programme. 2015. Peta
Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2015. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan
dan World Food Programme.

Luhur. Sri, E. dan Yusuf , R. 2017. ANALISIS RANTAI NILAI IKAN CAKALANG DI
KOTA AMBON, MALUKU. J. Sosek KP Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 93-105.
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ambon. 2012. Laporan Tahunan 2012. Ambon:
Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon.
Ratna Indrawasih. 2016. Jurnal Masyarakat & Budaya. POLA KONSUMSI IKAN OLEH
MASYARAKAT DI DESA HITUMESING, KABUPATEN MALUKU TENGAH.
Volume 18 No. 3 Tahun 2016
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Maluku Utara 2015.

Anda mungkin juga menyukai