Anda di halaman 1dari 15

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Radiografik Panoramik

Gambaran panoramik merupakan teknik untuk membuat gambar

tomografi single dari struktur wajah yang termasuk kedua lengkung rahang

maksila dan mandibula dan struktur jaringan penyangga dengan distorsi dan

overlap minimal dari detail anatomi pada sisi kontra lateral. Foto panoramik

dikenal juga dengan orthopantomogram dan menjadi sangat umum dijumpai di

kedokteran gigi karena teknik yang sederhana, gambaran seluruh jaringan gigi

ditemukan dalam satu film (Hasnurne, 2007).

Gambar 2.1. Gambaran radiografik panoramik (White and Pharoah, 2009).

Gambaran panoramik memiliki beberapa keuntungan, yaitu jangkauan

yang luas dari tulang fasial dan gigi, dosis radiasi yang rendah, pemeriksaan yang

nyaman bagi pasien, untuk mengetahui kesehatan mulut, pembuatan radiografi

panoramik memerlukan waktu yang singkat sekitar tiga sampai empat menit, dan

pasien dapat mengerti gambaran radiografik panoramik dengan mudah (Hasnurne,


6

2007). Radiografi panoramik dapat digunakan sebagai alat screening penyakit

periapikal. Penelitian terbaru radiografi panoramik juga dapat berperan dalam

screening osteoporosis (Taguchi, 2010).

Dalam menginterpretasikan gambaran radiografik panoramik, yang

terpenting adalah analisis sistematis dari gambaran dan melalui pengertian dari

struktur anatomi yang terlihat (White and Pharoah, 2009). Interpretasi struktur

anatomi normal pada radiologi panoramik dan proses patologis cukup rumit

karena gambaran yang kompleks yang dihasilkan oleh panoramik, anatomi

mandibula yang kompleks, superimposisi dari berbagai struktur anatomi,

perubahan orientasi proyeksi, dan hilangnya struktur anatomi normal merupakan

penemuan terpenting pada gambaran radiografik panoramik (White and Pharoah,

2009).

2.1.1 Indikasi Radiologi Panoramik

Beberapa seleksi kasus yang memerlukaan gambaran panoramik dalam

penegakan diagnosa antara lain :

1. Penilaian gigi keseluruhan, untuk mencatat pertumbuhan dan posisi dari

perkembangan gigi permanen


2. Lesi seperti kista, tumor dan anomali pada badan dan ramus mandibula,

untuk menentukan letak dan ukurannya


3. Fraktur pada semua bagian mandibula
4. Rencana perawatan implan gigi untuk mencari vertical height
5. Memeriksa kualitas permukaan kepala kondilus pada cedera TMJ,

khususnya digunakan jika pasien tidak dapat membuka mulut


6. Untuk melihat kondisi gigi sebelum dilakukan rencana pembedahan. Foto

rutin untuk melihat perkembangan erupsi gigi molar tiga tidak disarankan (White

and Pharoah, 2009).


7

2.1.2 Teknik dan Posisi Pengambilan Gambar Panoramik

Teknik dan posisi yang tepat, bervariasi pada satu alat dengan alat lainnya,

tetapi memiliki beberapa tahapan umum yang sama pada semua alat dan dapat

dirangkum, meliputi:

a. Persiapan alat :

1. Mempersiapkan kaset yang telah diisi film atau sensor digital, kemudian

dimasukkan kedalam tempatnya

2. Collimation harus diatur sesuai ukuran yang digunakan

3. Besarnya tembakan sinar antara 70-100 kV dan 4-12 mA

4. Hidupkan alat untuk melihat bahwa alat dapat bekerja, naikkan atau

turunkan tempat kepala sesuai posisi kepala yang benar sehingga pasien

dapat diposisikan

5. Sebelum memposisikan pasien, sebaiknya persiapkan alat yang akan

digunakan

b. Persiapan pasien

1. Pasien diminta untuk melepaskan seluruh perhiasan seperti anting,

aksesoris rambut, gigi palsu dan alat ortodonti yang dipakainya

2. Prosedur dan pergerakan alat harus dijelaskan untuk menenangkan pasien

dan jika perlu dilakukan percobaan untuk menunjukkan bahwa alat telah

berfungsi

3. Pasien diminta memakai pelindung apron, pastikan pada bagian leher tidak

ada yang menghalangi pergerakan alat saat mengelilingi kepala

4. Pasien harus diposisikan dalam unit dengan tegak dan diperintahkan untuk

memegang handle agar tetap seimbang


8

5. Pasien diminta memposisikan gigi edge to edge dengan dagu yang

bersentuhan pada tempat dagu

6. Pasien diminta memakai penahan kepala agar kepala tidak bergerak

7. Pasien diintruksikan untuk menutup bibir dan meletakkan lidah ke palatum

dan jangan bergerak sampai alat berhenti berputar

8. Jelaskan pada pasien untuk bernafas normal dan tidak bernafas terlalu

dalam pada saat penyinaran sinar-x. (Hasnurne, 2007).

c. Persiapan operator :

1. Operator memakai pakaian pelindung

2. Operator berdiri dibelakang dengan mengambil jarak dan menjauhi

sumber sinar-x saat waktu penyinaran

3. Operator melihat dan perhatikan pasien selama waktu penyinaran untuk

memastikan tidak ada pergerakan

4. Matikan alat setelah selesai digunakan dan mengembalikan peralatan pada

tempatnya

5. Ambil film pada tempatnya dan film siap untuk diproses.

d. Persiapan lingkungan terhadap proteksi radiasi :

1. Pastikan perangkat sinar-x digunakan dengan teknik yang baik dan

parameter secara fisika terhadap berkas radiasi ditetapkan dengan benar

2. Hindari kemungkinan kebocoran dengan menggunakan kepala tabung

3. Filtrasi dari berkas sinar-x dengan mengatur ketebalan filter. Ketebalan

filter bergantung pada tegangan operasi dari peralatan sinar-x. Tegangan

mencapai 70 kvp ketebalan filter setara dengan ketebalan aluminium 2,5

mm untuk kekuatan tabung sinar x antara 70-100 kVp (Hasnurne, 2007).


9

2.2. Mandibula

Mandibula adalah tulang rahang pembentuk wajah yang paling besar, berat

dan kuat. Mandibula berfungsi dalam proses pengunyahan, penelanan dan bicara.

Mandibula merupakan tulang rahang yang kuat, tetapi juga sering mengalami

cedera disebabkan posisinya yang menonjol pada tulang wajah, dan tulang rahang

yang umum menerima benturan, baik yang sengaja maupun tidak sengaja (Pearce,

2009). Sebagian penelitian berpendapat bahwa mandibula dapat dipandang

sebagai tulang panjang, dengan dua prosesus untuk perlekatan otot dan prosesus

alveolaris untuk tempat gigi. Osifikasi endokondral pada kondili menyumbang

pertumbuhan ke arah posterior. Aposisi dan remodelling di tempat-tempat lain

menyebabkan mandibula bertambah besar sesuai dengan bentuknya. Pada usia 1

tahun kedua simphisis mandibula telah menyatu dan tidak memberikan

pertumbuhan (Raharjo, 2009).

Arah pertumbuhan mandibula ke bawah dan ke depan. Pertambahan

panjang mandibula disebabkan adanya aposisi di sisi posterior ramus dan terjadi

resopsi di sisi anterior ramus. Pertambahan tinggi korpus mandibula sebagian

besar disebabkan adanya pertumbuhan tulang alveolaris. Dagu menjadi lebih

menonjol karena mandibula memanjang dan terdapat sedikit penambahan tulang

pada dagu tetapi tidak terjadi lagi sesudah masa remaja. Pertumbuhan berakhir

pada usia 15 tahun untuk wanita dan sekitar 17 tahun untuk pria (Raharjo,2009).

2.2.1 Struktur- struktur Mandibula

a. Korpus

Korpus mempunyai dua permukaan, yaitu :

1. Permukaan eksternus
10

Permukaan eksternus kasar dan cembung. Pada bagian ini terdapat suatu

linea oblique yang meluas dari ujung pinggir anterior ramus menuju ke bawah dan

ke muka serta berakhir pada tuberkulum mentale di dekat garis tengah, dan

terdapat juga foramen mentale yang terletak di atas linea oblique dan simphisis

menti yang merupakan rigi garis tengah yang tidak nyata di bagian atas pada

tengah yaitu tempat persatuan dari kedua belahan foetalis dari korpus mandibula

(Thomson, 2000).
2. Permukaan internus
Permukaan internus agak cekung. Pada permukaan ini terletak sebuah

linea mylohyodea, yang meluas oblique dari di bawah gigi molar ke tiga menuju

ke bawah dan ke muka mencapai garis tengah, linea mylohyodea ini menjadi

origo dari muskulus mylohyedeus. Linea mylohyodea membagi fossa sublingualis

dari fossa submandibularis (Thomson, 2000).

Korpus mempunyai dua buah pinggir, yaitu:

a) Pinggir atas (alveolaris)


Merupakan lekuk gigi geligi tetap. Terdapat delapan lekuk dari masing-

masing belahan mandibula ( dua untuk gigi seri, satu untuk gigi taring, dua untuk

gigi premolar dan tiga untuk gigi molar). Pada orang tua setelah gigi- gigi tanggal

lekuk- lekuk ini tidak tampak karena atropi tulang yang mengakibatkan

berkurangnya lebar korpus mandibula.

Gambar 2.2 Gambaran mandibula seiring bertambahnya usia (Ceylan,dkk. 1998).


b) Pinggir bawah (basis)
11

Pinggir bawah ini tebal dan melengkung, melanjutkan diri ke posterior

dengan pinggir bawah ramus. Sambungan kedua pinggir bahwa ini terletak pada

batas gigi molar tiga, di tempat ini basis disilang oleh arteri fasialis. Fossa

digastrika yang merupakan lekukan oval terletak pada masing masing sisi dari

garis tengah pada bagian origo dari venter anterior, muskulus digastrikus atas

muskulus digastrikus venter anterior (Thomson, 2000).

b. Ramus

Ramus terdiri dari dua permukaan, yaitu :

1. Permukaan eksternus (lateralis)


Permukaan pada bagian ini kasar dan datar. Bagian posterior atas yang

licin berhubungan dengan glandula parotis. Sisa dari permukaan ini merupakaan

insersio dari muskulus masseter.


2. Permukaan internus (medialis)
Pada permukaan ini terletak foramen mandibular yang merupakan awal

dari kanalis mandibularis yang dilalui oleh nervus dentalis dan pembuluh-

pembuluh darahnya ( Pedersen, 1996).


Pinggir- pinggir pada ramus, yaitu :
a) Pinggir bagian superior, merupakan insisura–insisura tajam dan cekung

pada mandibularis diantara prosesus–prosesus koronoideus dan prosesus

kondiloideus.
b) Pinggir bagian anterior, memanjang ke bawah dengan garis oblique.
c) Pinggir bagian posterior, terdapat alur-alur tebal yang merupakan

permukaan medialis dari glandula parotis.


d) Pinggir bagian inferior, memanjang dengan pinggir inferior korpus dan

bersama-sama membentuk basis mandibula (Pedersen, 1996).


2.3. Tulang
Tulang adalah struktur yang tersusun oleh protein dan mineral. Bahan

penyusun utama tulang adalah protein yang di sebut kolagen serta mineral tulang

(kalsium fosfat). Lebih dari 99% kalsium dari tubuh terdapat dalam tulang dan
12

gigi, 1% terdapat dalam darah. Tulang dalam tubuh terdiri dari dua tipe, yaitu

cortical dan trabecular. Tulang korteks adalah tulang yang padat dan merupakan

bagian terluar dari tulang. Tulang trabekular adalah jaringan halus seperti spons

yang berada dalam tulang padat atau tulang korteks. Massa trabekular adalah 20%

dari massa tulang, sedangkan massa tulang korteks 80% dari massa tulang (White,

2002).
Massa tulang ditentukan oleh faktor genetik, namun yang paling penting

adalah keturunan. Pada laki–laki dan perempuan pembentukan tulang di mulai

saat masih janin dan umumnya akan bertumbuh dan berkembang terus sampai

umur 30 sampai 35 tahun. Pada perempuan periode tulang keropos, dimulai

semenjak usia ± 6 – 10 tahun paska menopause. Tingkat penurunan tulang akan

terjadi lebih bertahap setelah periode ini (Cosman, 2009).


Pada perempuan hilangnya tulang lebih banyak dibandingkan kehilangan

tulang pada laki-laki karena menopause laju berkurangnya tulang meningkatnya

selama beberapa tahun. Laju pengurangan yang meningkat selama menopause

dan usia yang lebih panjang, maka perempuan lebih beresiko mengalami

osteoporosis. Hormon estrogen merupakan faktor utama berkurangnya massa

tulang pada wanita karena osteoklas menjadi lebih aktif, sehingga terjadinya

penurunan massa tulang pada laki-laki lebih lambat dari pada perempuan

paskamenopause, karena pengurangan aktivitas osteoblast (Campston, 2002).


2.4. Faktor Yang Mempengaruhi Penurunan Massa Tulang
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan massa tulang

diantaranya:
1. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan karakteristik biologis yang dikenali dari

penampilan fisik, yaitu laki-laki dan perempuan. Perempuan mempunyai risiko 6

kali lebih besar dari laki-laki untuk terkena osteoporosis disebabkan kehilangan
13

massa tulangnya lebih cepat setelah menopause, karena pengaruh hormon

estrogen mulai menurun kadarnya sejak usia perempuan 35 tahun dan menopause

yang dapat terjadi pada usia 45 tahun, sehingga menyebabkan aktivitas sel

osteoblast menurun, sedangkan osteoklas meningkat (Hefner and Schut, 2008)


Menurut penelitian yang telah dilakukan, ketebalan tulang alveolar dan

none mass laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Laki-laki usia muda

mempunyai ukuran tulang lebih besar dibandingkan perempuan. Pada proses

penuaan, aposisi mengkompensasi terjadinya endosteal bone loss (Lane, 2003).

2. Usia

Usia yang semakin bertambah, semakin besar pula kehilangan massa

tulang, dan semakin besar kemungkinan timbulnya osteoporosis. Bertambahnya

usia akan semakin berkurang kemampuan saluran cerna untuk menyerap kalsium,

sehingga sel osteoblast akan lebih cepat mati. Hal ini disebabkan adanya sel

osteoklas yang menjadi lebih aktif, sehingga tulang tidak dapat diganti dengan

baik, dan terjadi penurunan tulang terus menerus (Barker, 2002). Pada usia 70

tahun lebih rentan untuk terjadi penurunan massa tulang, karena sejak usia 30

tahun terjadi peak bone mass (puncak massa tulang), massa tulang akan semakin

berkurang, 0,5- 1% per tahunnya (Tandra, 2009).

3. Gaya Hidup

Ada beberapa gaya hidup yang dapat mempengaruhi penurunan massa

tulang, antara lain :

a) Konsumsi daging merah dan minuman bersoda.

Daging merah dan minuman bersoda mengandung fosfor yang merangsang

pembentukan hormon parathyroid, penyebab pelepasan kalsium dari dalam darah.

b) Minuman berkafein dan beralkohol.


14

Kafein akan meningkatkan pembuangan kalsium melalui urin.

c) Malas olahraga

Proses osteoblast atau pembentukan massa tulang akan terhambat bagi

yang malas bergerak atau olahraga. Olahraga akan membuat otot memacu tulang

untuk membentuk massa tulang.

d) Merokok

Pada negara maju seperti Amerika dan Japan, antara laki-laki dan

perempuan sama banyak mempunyai kebiasaan merokok yang dimulai rata-rata

sejak dini, meskipun sudah terbukti bahwa merokok berhubungan erat dengan

berbagai macam penyakit. Merokok dapat menyebabkan hormon estrogen dalam

tubuh menurun dan pada wanita dapat menyebabkan menopause, serta mudah

kehilangan massa tulang, sehingga lebih besar mengalami patah tulang karena

proses pembentukan tulang sulit terjadi akibat zat-zat kimia dalam rokok.

Kebiasaan merokok sejak dini pada wanita akan lebih awal untuk mengalami

menopause.

e) Kebiasaan konsumsi kafein

Kafein memiliki hubungan pengurangan kepadatan mineral tulang, dan

dapat meningkatkan resiko terjadinya fraktur. Kafein dalam kopi lebih banyak dari

pada teh. Orang yang sering minum teh selama lebih 5 tahun, akan kehilangan

3%-5% densitas tulang (Lane, 2003).

4. Ras/ Suku

Ras/suku juga membuat perbedaan, seperti suku Asia cenderung memiliki

kerangka tulang kecil dibandingkan dengan suku Afrika-Amerika. Ras di Afrika-

Amerika memiliki massa tulang yang lebih besar dan tekanan akan meningkat,
15

sehingga akan memperlambat turunnya massa tulang. Orang yang rangka tulang

kecil lebih sering mengalami osteoporosis, daripada orang dengan rangka besar

(Lane, 2003)

5. Keturunan

Penurunan tulang berhubungan dengan adanya keturunan. Riwayat

keluarga yang menderita penurunan tulang, diperkirakan 60-80% salah satu

anggota keluarga akan lebih mudah mengalami penurunan kepadatan tulang.

Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa, seorang ibu mengalami penurunan

tulang, maka pada anak perempuannya akan mengalami penurunan tulang (Lane,

2003).

Faktor genetik mempengaruhi ukuran dan densitas tulang, selain itu juga

riwayat dari keluarga juga mempunyai pengaruh dalam melakukan aktivitas fisik

dan kebiasaan makan seseorang, sehingga dengan aktivitas fisik yang kurang,

kebiasaan makan yang tidak baik, maka beresiko terjadinya penurunan tulang

(Agus dkk, 2005).

6. Menopause dini

Menopause merupakan akhir dari masa reproduktif, karena telah

berhentinya masa haid, biasanya terjadi usia 50-51 tahun. Perempuan yang

merokok akan mengalami menopause 1 tahun lebih cepat dari pada perempuan

yang tidak merokok. Seseorang yang mengalami menopause akan mengalami fase

klimaksterium, yaitu terjadi peralihan dari reproduktif akhir ke masa menopause.

Fase klimaksterium memiliki 3 masa, yaitu pra menopause yang terjadi sekitar 4-5
16

tahun sebelum menopause, masa menopause, dan pasca menopause yang terjadi

3-5 tahun setelah menopause (Edelman, 2010).

Pada masa pra menopause, biasanya ditandai dengan haid yang mulai tidak

teratur, dan rasa nyeri saat haid, sampai akhirnya haid tersebut berhenti. Terjadi

penurunan estrogen pada saat menopause yang akan menyebabkan parathyroid

hormon (PHT) dan penyerapan vitamin D berkurang, sehingga pembentukan

tulang (osteoblast) akan terhambat, dan kadar mineral akan berkurang. Kadar

mineral tulang yang terus menerus berkurang, akan mempengaruhi penurunan

massa tulang (Edelman, 2010).

7. Mengkonsumsi Obat

Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti peradangan pada

penyakit asma dan alergi bila sering dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi akan

mengurangi massa tulang, sebab kotikosteroid menghambat proses pembentukan

tulang (osteoblast). Jenis obat heparin dan anti kejang menyebabkan penyakit

osteoporosis (Barker, 2002).

8. Faktor Medis

Kepadatan tulang dapat dikaitkan dengan sejumlah gangguan medis,

termasuk penyakit gastrointestinal (misalnya, radang usus), hipogonadisme

(misalnya, amenore) dan gangguan hematologi (misalnya, thalassemia dan

anemia). Oleh karena itu, paparan obat tertentu dapat memperburuk massa tulang

(National osteoporosis Foundation, 2003).

Menurut Van Staa, leufkens, dan Abenhaims. (2005) wanita paska menopause

yang sudah memliki massa tulang yang rendah akan mencapai ambang fraktur,
17

dengan pengobatan glukokortikoid lebih cepat, dibandingkan pasien dengan nilai

kepadatan mineral pada tulang yang lebih tinggi.

2.5 Mandibular Cortical Width

Dalam penelitian sebelumnya, pemeriksaan dengan mandibular cortical

width (MCW) ditandai adanya penipisan korteks pada tepi bawah mandibula pada

interpretasi radiografik panoramik. Ketebalan korteks mandibula diukur secara

bilateral berpatokan dengan sisi distal sudut antegonial sampai foramen mentalis

pada radiografi panoramik (Cakur, 2009). Pengukuran ketebalan kortikal

mandibula dilakukan dengan menggambar garis paralel di sebelah kanan dan sisi

kiri mandibula ke arah sumbu, satu lagi garis singgung pada batas inferior

mandibular, kemudian sebuah garis yang melewati tengah foramen mental dan

tegak lurus pada garis singgung tersebut. Garis tegak lurus ini berpotongan

dengan batas inferior foramen mentalis, dan jarak diantara dua garis paralel diukur

sebagai ketebalan korteks mandibula. Rata-rata sudut menggunakan lembaran

plastik asetat yang jelas dan dicetak dengan menggunakan millimeter gradasi yang

ditumpangkan pada radiografi panoramik (Horner, 1998).

Gambar 2.3 Kortikal Mandibula

Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas tulang

adalah pengukuran ketebalan kortikal mandibula menggunakan MCW. Ketebalan


18

kortikal mandibula pria dan wanita pada usia 40-60 tahun terdapat perbedaan yang

nyata. Kelompok perempuan menunjukkan ketebalan korteks mandibula tipis

dibandingkan kelompok laki-laki. Pada penelitian sebelumnya tentang gender

yang berbeda, status gigi, dan umur mengungkapkan secara signifikan lebih kecil

pada wanita yang lebih tua, sedangkan itu lebih besar untuk laki-laki yang lebih

tua, rata-rata nilai MCW adalah 4,80 mm untuk laki-laki dan 4,30 untuk

perempuan. Jika ketebalan kortikal mandibula yang dimiliki kurang dari nilai

tersebut, maka dilakukan pengujian kepadatan mineral tulang, atau test bone

mineral density (BMD). Pengukuran ketebalan kortikal mandibula dapat

diidentifikasi keadaan tulang seperti osteoporosis, osteopenia. Manfaat dari

pemeriksaan tersebut, selain dapat dilakukan deteksi dini, juga dapat dilakukan

pengobatan dini ( Tauguchi et.al., 2007).

2.6 Hubungan Mandibular Cortical Width pada Radiografik Panoramik

Radiografik dental, terutama gambaran panoramik, telah sering digunakan

untuk memprediksi pasien dengan berkurangnya bone mineral density (BMD).

Bone mineral density (BMD) adalah jumlah jaringan massa tulang agar

mengetahui kepadatan tulang tersebut. BMD berbeda-beda pada regio rahang dan

dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Pemeriksaan dengan bone mineral density

(BMD) dapat berguna dan dibutuhkan untuk mengetahui situasi klinis seperti

penyakit rongga mulut, penyakit sistemik, implant, dan evaluasi terapi. (Gulisahi

et.al., 2010).

Mandibular cortical width (MCW) menggunakan teknik pengukuran cepat

yang cukup mudah dilakukan dokter gigi, pengukuran dengan menggunakan

MCW pada radiografi panoramik dapat tetap dilakukan. Pengukuran MCW


19

memberikan peran kepada dokter gigi dalam mengidentifikasi penyakit sistemik

dan sebagai screening awal terhadap DEXA (dual energy X-ray absorptiometry)

dalam menilai risiko penuaan dini yang mungkin kasusnya akan ditemui secara

kebetulan (Horner, 2007).

Pada penelitian panoramik sebelumnya, perubahan mineral pada rahang

dihitung dengan menentukan area korteks dan trabekula yang terlihat dari

spongiosa dan kemungkinan membandingkan dengan total area gambar

mandibula. Tinggi asli dari korteks dan tulang yang tersisa juga dihitung pada

beberapa wilayah berbeda di rahang, tersering pada foramen mental (Balcikonyte,

et al, 2004).

Mandibular Cortical Width dapat berguna sebagai parameter pada radiografik

panoramik dalam mengidentifikasi suatu penyakit sistemik, dengan BMD skeletal

yang rendah dan tidak bisa terdeteksi (Taguchi, 2010). Ketebalan kortikal

mandibula dihitung secara bilateral pada daerah mentale, pada sebuah garis

pararel terhadap sumbu panjang mandibula dan menyinggung batas inferior dari

mandibula pada daerah foramen mandibula. Ketebalan kortikal rata-rata pada

kedua sisi mandibula disebut sebagai mandibular cortical width (Sylviana dan

Fahmi, 2011).

Anda mungkin juga menyukai