Anda di halaman 1dari 38

TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN JIWA II

“Asuhan Keperawatan Pada Bencana ”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

1. AULIA PRIHATINI (171030100243)


2. HESTI SELVIANA (171030100213)
3. MEILINDA (171030100245)
4. NORMA AULIYA (171030100232)
5. NURUL PUTRI A.N (171030100215)
6. REZA ERIANTO (171030100237)
7. SIMON PERES SING (171030100228)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG
TANGERANG SELATAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada
bencana” tepat waktu. Makalah ini disusun untuk melengkapi dam memenuhi tugas
mata kuliah Keperawatan Jiwa II.

Dalam pembuatan makalah ini penulis banyak mendapat hambatan, akan


tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak, hambatan itu bisa teratasi. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Sehingga
kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada
pembaca, khususnya mahasiswa keperawatan.

Tangerang,26 November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan masalah ........................................................................... 2
C. Tujuan penelitian ............................................................................. 2
BAB II. TINJAUAN TEORI
A.Perencanaan perawatan pada fase impact......................................... 3
B. Korban individu ............................................................................... 4
C. Psikologis bencana ......................................................................... 5
D. Tindakan keperawatan kesehatan mental ........................................ 11
BAB III. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian ....................................................................................... 18
B. Diagnosa keperawatan .................................................................... 21
C. Intervensi ......................................................................................... 22
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 29
B. Saran ................................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 30
LAMPIRAN .................................................................................................... 31

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki lebih
dari 17.480 pulau, terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan di
antara dua lautan (Lautan Hindia dan Lautan Pasifik). Indonesia berada pada
pertemuan 3 lempeng dunia yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik,
yang berpotensi menimbulkan gempa bumi apabila lempeng-lempeng tersebut
bertumbukan. Selain itu, Indonesia juga mempunyai 127 gunungapi aktif, 76
di antaranya berbahaya, bencana alam lainnya seringkali melanda Indonesia
adalah tsunami, angin topan, banjir, tanah longsor, kekeringan, serta bencana
akibat ulah manusia seperti kegagalan teknologi, konflik sosial, kebakaran
hutan, dan lahan. Dampak kejadian bencana tersebut secara keseluruhan
mengakibatkan kerugian harta benda dan korban jiwa yang tidak sedikit.
Hampir seluruh provinsi di Indonesia merupakan daerah rawan bencana.
Indonesia merupakan Negara yang rawan mengalami bencana. Bencana
merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh
faktor alam dan faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda dan dampak psikologis. Bencana yang diakibatkan oleh faktor alam
antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, dan tanah longsor. Sedangkan bencana yang 2 diakibatkan oleh
faktor non alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemik, dan wabah penyakit. Bencana yang ada di Indonesia telah banyak
terjadikejadian traumatis yang pernah mereka alami dan perubahan dari
keadaan atau reaksi emosional ( Unicef, 2005).
Peran siswa yang juga adalah sebagai masyarakat sekolah yang menempati
aspek penting dalam ikut campur (partisipasi) dalam pembuatan jalur evakuasi,
membutuhkan peran dari masyarakat sekolah pengetahuan terhadap

1
2

mengenai resiko bencana juga sangat penting, upaya tersebut juga dituangkan
dalam hyogo frame work for action Tahun 2005 dimana salah satu butirnya
memprioritaskan tentang pendidikan mitigasi bencana.
Pada saat terjadi bencana sebagian besar berlarian menyelamatkan diri
tanpa arah atau pedoman baik penghuni bangunan yang ada di bagian tengah
maupun belakang semuanya berlarian menuju jalan keluar tanpa
memperhatikan jalur yang ditempuh dan titik berkumpul (assembly point)
yang aman, hal ini juga menyebabkan timbulnya korban, banyaknya sekolah
yang belum menggunakan jalur evakuasi juga menyababkan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Sebutkan perencanaan perawatan pada fase impact ?
2. Jelaskan definisi korban individu?
3. Jelaskan penatakalaksanaan korban individu ?
4. Sebutkan tujuan penatalaksanaan korban individu ?
5. Jelaskan psikologi bencana?
6. Jelaskan respon psikologis saat bencana ?
7. Sebutkan tindakan keperawatan kesehatan mental ?
8. Sebutkan fase kedaruratan akut ?
9. Sebutkan fase rekonsiliasi
10. Sebutkan fase rekonsilidasi
C. TUJUAN
1. Mahasiswa dapat menyebutkan perencanaan perawatan pada fase impact
2. Mahasiswa dapat menjelaskan definisi korban individu
3. Mahasiswa dapat mnjelaskan penatakalaksanaan korban individu
4. Mahasiswa dapat menyebutkan tujuan penatalaksanaan korban individu
5. Mahasiswa dapat menjelaskan psikologi bencana
6. Mahasiswa dapat menjelaskan respon psikologis saat bencana
7. Mahasiswa dapat menyebutkan tindakan keperawatan kesehatan mental
8. Mahasiswa dapat menyebutkan fase kedaruratan akut
9. Mahasiswa dapat menyebutkan fase rekonsiliasi
10. Mahasiswa dapat menyebutkan fase rekonsilidasi
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. PERENCANAAN PERAWATAN PADA FASE IMPACT


Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah
saatsaat dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup
(survive). Fase impact ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-
bantuan darurat dilakukan. Peran perawat yang dapat dilakukan adalah:
1. Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik
Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan
korban dan kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka,
kerusakan fasilitas pribadi dan umum yang mungkin akan menyebabkan
isolasi tempat, sehingga sulit dijangkau oleh relawan. Hal yang paling
urgent dibutuhkan oleh korban saat ini adalah pengobatan dari tenaga
kesehatan. Perawat bisa turut andil dalam aksi ini, baik berkolaborasi
dengan tenaga kesehatan profesional, ataupun juga melakukan pengobatan
bersama perawat lainnya secara cepat, menyeluruh dan merata di tempat
bencana. Pengobatan yang dilakukan pun bisa beragam, mulai dari
pemeriksaan fisik, pengobatan luka, dan lainnya sesuai dengan profesi
keperawatan.
2. Pemberi bantuan
Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana,
dengan menghimpun dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk, seperti
makanan, obat-obatan, keperluan sandang dan lain-lainnya. Pemberian
bantuan tersebut bisa dilakukan langsung oleh perawat secara langsung di
lokasi bencana dengan mendirikan posko bantuan. Selain itu, hal yang
harus difokuskan dalam kegiatan ini adalh pemerataan bantuan di tempat
bencana sesuai kebutuhan yang dibutuhkan oleh para korban saat itu,
sehingga tidak akan ada lagi para korban saat itu, sehingga tidak akan ada
lagi para korban yang tidak mendaptkan bantuan tersebut dikarenakan
bantuan yang menumpuk atau tidak tepat sasaran.

3
4

3. Pemulihan kesehatan mental


Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma psikologis
akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa kesedihan
yang mendalam, ketakutan, dan rasa kehilangan. Tidak sedikit trauma ini
menimpa wanita, ibu, dan anak anak yang sedang dalam massa
pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan maka akan
mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para korban bencana.
Hal yang dibutuhkan dalam penanganan situasi ini adalah pemulihan
kesehatan mental yang dapat dilakuakn oleh perawat. Pada orang dewasa,
pemulihannya bisa dilakukan dengan sharing dan mendengarkan segala
keluhan-keluhan yang dihadapinya, selanjutnya diberikan sebuah solusi
dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan pada anak-anak
yang berada pada masa bermain. Perawat dapat mendirikan sebuah taman
bermain, dengan bermain kepercayaan diri mereka akan kembali seperti
sedia kala.

B. KORBAN INDIVIDU
1. DEFINISI KORBAN INDIVIDU
Korban individu adalah setiap orang sebagai bagian terkecil dari
kelompok masyarakat yang mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materil,
maupun nonmaterial.
Korban bencana individu adalah bagian terkecil dari kelompok
masyarakat yang mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materil, maupun
nonmaterial akibat suatu kejadian yang terjadi dan perlu mendapatkan
pertolongan kesehatan dengan menggunakan sarana, fasilitas dan tenaga
yang lebih dari yang tersediasehari-hari.
2. DEFINISI PENATALAKSAAN KORBAN INDIVIDU
Penatalaksanaan korban secara individu adalah serangkaian kegiatan
keperawatan tanggap bencana dan darurat untukmembantu bagian terkecil
dari kelompok masyarakat yang mengalami dampak dari bencana yang
sedang terjadi
5

3. TUJUAN PENATALAKSANAAN KORBAN INDIVIDU


a. Meminimalisasi penderitaan pada individu
b.Meminimalisasi kecacatan pada individu
c. Meminimalisasi trauma pada individu
d.Membantu individu supaya dapat bertahan hidup
e. Mencegah dan membatasi jumlah korban manusia
f. Mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik individu yang terkena
bencana tersebut.

C. PSIKOLOGIS BENCANA
1. PSIKOLOGIS BENCANA
Bencana adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang
mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta
memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga
memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar (Khambali & ST, 2017).
Pada bencana aspek kesehatan jiwa merupakan aspek yang penting
karena pada saat bencana terjadi perubahan situasi dari situasi normal ke
situasi tidak normal dimana seseorang akan mengalami kehilangan yang
berdampak pada terganggunya keseimbangan kondisi psikologis para
korban bencana sangat terguncang yang dapat mengakibatkan stress dan
depresi (Kemenkes RI, 2014).
a. Faktor yang Mempengaruhi Kerentanan Psikologis
Menurut Kharismawan (2008) beberapa faktor dapat meningkatkan
ataupun menurunkan risiko :
1) Tingkat keparahan.
Semakin parah bencana yang terjadi, maka semakin buruk
kemungkinan dampaknya. Pada kasus kamp-kamp konsentrasi Nazi,
genosida Rwanda, Killing Fields di Kamboja, hampir semua orang
yang mengalami peristiwa traumatis menderita akibatnya untuk
waktu yang sangat panjang.
6

2) Jenis bencana.
Bencana yang terjadi karena manusia akan berdampak lebih
parah daripada bencana karena alam. Perang, Terorisme dan kerusuhan
sosial berdampak lebih merusak secara psikologis daripada Gempa,
Tsunami ataupun Banjir. Bencana karena manusia yang disengaja
(pembakaran toko, pemerkosaan), akan lebih merusak daripada yang
tidak disengaja (kecelakaan kerja, robohnya bangunan). Dua orang
pemiliki toko yang tokonya sama sama terbakar saat kerusuhan di Solo
14 Mei 2008, menunjukkan reaksi yang berbeda. Pemilik toko yang
tokonya dibakar langsung dalam amuk massa, menunjukkan gejala ptsd
yang lebih kuat daripada pemilik toko yang tokonya terbakar dalam
kerusuhan tersebut namun secara tidak langsung (karena angin yang
bertiup kencang, membawa api dari rumah ke rumah) 3) Jenis kelamin
dan usia.
Wanita (terutama ibu-ibu yang memiliki anak balita), anak usia
lima sampai sepuluh, dan orang-orang tua lebih rentan daripada yang
lain. Orang dengan daya tahan fisik yang lebih lemah, akan
mengintepretasikan suatu ancaman lebih besar/mengerikan daripada
seseorang dengan daya tahan tubuh yang lebih kuat. Sebaliknya
pada bayi dan anak-anak dibawah 2 tahun, meski secara fisik mereka
masih lemah, namun kondisi psikologis mereka sangat ditentukan
oleh orang tua atau orang dewasa yang ada di dekat mereka karena
kemampuan kognitif mereka dalam mengenali bahaya masih
terbatas. Jika orang dewasa disekitar mereka bersikap tenang, maka
merek juga akan relatif tenang.
4) Kepribadian
Orang-orang dengan kepribadian yang matang, konsep diri
yang positip dan reseliensi yang bagus akan lebih mampu daripada
yang tidak memiliki. Orang-orang yang tumbuh dengan tidak
percaya diri, ketika menghadapi bencana juga akan mempersepsi
7

tentang kekuatan dirinya maupun masa depannya secara negatif dan


pesimis.
5) Ketersediaan jaringan dan dukungan social
Keberadaan keluarga yang mendukung, teman-teman, dan
masyarakat akan mampu mengurangi kemungkinan efek samping
jangka panjang. Masyarakat yang masih erat, dan saling peduli akan
lebih mampu mengatasi masa-masa sulit daripada masyarakat
perkotaan yang individualis. Kunjungan dan sapaan terhadap
penyintas, akan mempercepat pemulihan mereka. Pada faktor ini,
tradisi kenduri 7 hari, 30 hari atau 100 hari paska kematian pada
masyarakat Muslim di Jawa ataupun kebaktian penghiburan pada
orang Nasrani, memiliki peranan yang besar dalam pemulihan.
Penyintas yang kehilangan anggota keluarganya mendapatkan
dukungan sosial dengan kehadiran saudara dan sahabat mereka.
6) Pengalaman sebelumnya.
Mereka yang telah berhasil mengatasi dengan trauma di
masa lalu, akan lebih dapat mengatasi bencana berikutnya
dengan lebih baik.

2. RESPON PSIKOLOGIS SAAT BENCANA


Respon berasal dari kata respons yang berarti tanggapan (reaction) atau
balasan. Respon merupakan istilah psikologis yang digunakan untuk
menyebutkan reaksi terhadap rangsang yang diterima oleh panca indera
(Sobur, 2003).
Respon psikologis merupakan tanggapan, tingkah laku atau sikap
terhadap rangsangan/masalah tertentu yang berkaitan dengan keadaan jiwa
individu (Sobur, 2003).
Kondisi psikologis saat bencana merupakan suatu kondisi terjadinya
integritas psikologis secara mendadak dalam suatu lingkungan yang tidak
dapat dikendalikan. Beberapa kondisi yang biasanya menyertai bencana
antara lain adalah kematian, kerusakan dan kehilangan harta benda, serta
8

perpisahan dengan orang yang dicintai. Proses yang terjadi adalah proses
kehilangan akibat bencana. (Kemenkes RI, 2014) a. Konsep kehilangan
Kehilangan adalah situasi aktual atau potensial ketika sesuatu (orang
atau objek) yang dihargai telah berubah, tidak ada lagi, atau menghilang
(Mubarak, 2007). Kehilangan adalah suatu keadaan berpisahnya
individu dengan sesuatu yang sebelumnya dimilikin atau ada (Dalami,
2009).
Proses kehilangan yang dialami bervariasi lama waktunya. Setiap
individu dapat ditemukan berada di setiap fase. Pendekatan yang
dilakukan dalam memberikan bantuan psikologis disesuaikan pada fase
yang dialami. Tujuannya dari bantuan yang diberikan adalah supaya
individu dapat melalui setiap fase dengan baik untuk dapat sampai pada
fase menerima (Kemenkes RI, 2014).
Saat kehilangan terjadi pada masa kanak-kanak maka akan
mengacam kemampuan anak untuk berkembang dan kadang kala
menimbulkan kemunduran (regresi).
1) Fase Kehilangan
a) Fase pengingkaran (Danial)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah
syok, tidak percaya atau mengingkari kenyataan bahwa
kehidupan itu memang benar terjadi, dengan mengatakan
“tidak”, saya tidak percaya itu terjadi atau itu tidak mungkin
terjadi (Prabowo, 2014).
b) Fase marah (Angry)
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan
kenyataan terjadinya kehilangan individu menunjukan rasa
marah yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang
lain atau pada dirinya sendiri (Prabowo, 2014).

“Kenapa saya? Ini tidak adil, siapa yang harus disalahkan”


c) Tawar-menawar (Bargaining)
9

Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara


intensif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan
memohon kemurahan kepada tuhan (Prabowo, 2014).
“Saya akan lakukan apapun agar dapat bertahan beberapa
tahun lagi”
d) Fase depresi/berduka
Pada fase ini individu sering menunjukan sikap menarik diri,
kadang sebagai penyintas sangat penurut, tidak mau bicara,
manyatakan keputusan, perasaan tidak berharga, dan sebagainya
(Prabowo, 2014).
“apa gunanya lagi, saya tidak punya apa-apa lagi”
e) Fase penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan.
Pikiran yang yang selalu berpusat kepada obyek atau orang yang
hilang akan mulai berkurang sampai hilang (Prabowo, 2014).
“Semua akan baik-baik saja. Saya tidak dapat melawan ini,
lebih baik saya bersiap diri untuk menghadapinya”
2) Mekanisme Reaksi Psikologis Bencana
Segera setelah terjadinya bencana individu atau masyarakat pada
area yang terkena akan mengalami trauma dan berada pada situasi
krisis akibat perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dalam
kehidupan. Perubahan ini dapat menyebabkan penderitaan dan
kesengsaraan bagi individu maupun masyarakat yang terkena.
Shock dan penyangkalan merupakan respons yang khas dan
normal untuk peristiwa traumatis dan bencana. Shock adalah
gangguan tiba-tiba dan intens yang membuat korban terpana atau
bingung. Penolakan dalam bentuk tidak mengakui bahwa sesuatu
yang menegangkan telah terjadi. Setelah melalui masa keterkejutan
awal, reaksi bervariasi dari satu orang ke orang lain. Perilaku yang
diperlihatkan individu yang mengalami bencana sangat bervariasi.
10

Reaksi ini tampak hampir pada setiap orang di daerah bencana


dan ini dipentingkan sebagai reaksi alamiah pada situasi abnormal.
Factor keseimbangan yang mempengaruhi respon individu
terhadap krisis adalah persepsi terhadap kejadian, system pendukung
yang dimiliki dan mekanisme koping yang digunakan (Kemenkes RI,
2014).
3) Dampak psikologis bencana pada individu
Menurut Kharismawan (2008) Tahap reaksi segera adalah masa
beberapa jam setelah bencana. Pada tahap ini kegiatan bantuan
sebagian besar difokuskan pada menyelamatkan penyintas dan
berusaha untuk menstabilkan situasi. Penyintas harus ditempatkan
pada lokasi yang aman dan terlindung, pakaian yang pantas, bantuan
dan perhatian medis, serta makanan dan air yang cukup. Selama
tahap penyelamatan, berbagai jenis respon emosional bisa dilihat.
Penyintas mungkin mengalami perubahan dari satu jenis respon
terhadap lain atau mungkin tidak menunjukkan sikap yang "biasa".
Pada fase ini kadang penyintas mengalami numbing, atau suatu
kondisi mati rasa secara psikis.
Beberapa reaksi yang mungkin timbul segera dalam 24 jam
pasca bencana
a) tegang, cemas dan panik;
b) kaget, linglung, syok, tidak percaya;
c) gelisah, bingung;
d) agitasi, menangis, menarik diri;
e) rasa bersalah pada korban yang selamat.
Reaksi ini tampak hampir pada setiap orang di daerah bencana
dan ini dipertimbangkan sebagai reaksi alamiah pada situasi
abnormal, tidak membutuhkan intervensi psikologis khusus.
(Kementerian Kesehatan, 2011).
4) Dampak psikologis bencana pada komunitas
11

Bencana tidak hanya berdampak pada pribadi tapi juga pada


komunitas. Paska bencana dapat saja tercipta masyarakat yang
mudah meminta (padahal sebelumnya adalah pekerja yang tangguh),
masyarakat yang saling curiga (padahal sebelumnya saling peduli),
masyarakat yang mudah melakukan kekerasan (padahal sebelumnya
cinta damai). Bencana yang tidak ditangani dengan baik akan
mampu merusak nilai-nilai luhur yang sudah dimiliki masyarakat
(Kharismawan, 2008).
Bencana fisik bisa menghancurkan lembaga masyarakat, seperti
sekolah dan komunitas agama, atau dapat mengganggu fungsi
mereka karena efek langsung dari bencana pada orang yang
bertanggung jawab atas lembaga-lembaga, seperti guru atau imam.
Saat guru, tokoh adat atau tokoh agama menjadi penyintas dari
bencana dan tidak dapat mejalankan fungsinya, maka sarana
dukungan sosial dalam komunitas menjadi terganggung. Beberapa
penelitian menunjukkan meningkatnya kekerasan, agresi,
penggunaan narkoba dan alcohol pada saat sistem masyarakat tidak
berjalan dengan baik. Oleh karena itu beberapa lembaga keagamaan
merespon cepat, dengan mengirim ustad-ustad, pendeta atau tokoh
agama lainnya ke daerah bencana. Para tokoh agama memberikan
kontribusi penting untuk menghidupkan kembali aktivitas dan ritual
agama (Kharismawan, 2008).

D. TINDAKAN KEPERAWATAN KESEHATAN MENTAL


Pada bencana aspek kesehatan jiwa merupakan aspek yang penting karena
pada saat bencana terjadi perubahan situasi dari situasi normal ke situasi tidak
normal dimana seseorang akan mengalami kehilangan yang berdampak pada
terganggunya keseimbangan kondisi psikologis seseorang (Kementerian
Kesehatan, 2011).
12

Prinsip tindakan untuk mengatasi krisis sesuai dengan tiga faktor


penyeimbang tersebut yaitu membina hubungan saling percaya yang erat
dengan penyintas, menggali permasalahan yang dialami penyintas dan
mengembangkan pemecahan masalah (Kemenkes RI, 2014)
Menurut Kementerian Kesehatan (2011) Dalam memberikan intervensi
untuk kesehatan jiwa pada penanggulangan bencana terdapat fase‐fase seperti
berikut, antara lain:
1. FASE KEDARURATAN AKUT
a) Intervensi social
Selama Fase kedaruratan akut dianjurkan untuk melakukan intervensi
sosial yang tidak mengganggu kebutuhan akut, seperti pengadaan
makanan, tempat berlindung, pakaian, pelayanan puskesmas dan
mungkin penanggulangan penyakit menular.
b) Intervensi psikologik
Intervensi psikologik dalam fase akut : Tindakan yang dapat dilakukan
segera (24 jam) setelah bencana 1) Nilai dengan cermat
(a) Kerusakan lingkungan yang terjadi
(b) Jenis cedera yang dialami
(c) Penderitaan yang dialami
(d) Kebutuhan dasar yang harus dipenuhi segera (Kemenkes RI,
2014)
2) Pada tahap ini yang perlu dilakukan segera adalah:
(a) Pertolongan kedaruratan untuk masalah-masalah fisik
(b) Memenuhi kebutuhan dasar
(c) Untuk membantu individu melalui fase krisisnya maka perawat
perlu memfasilitasi kondisi yang dapt menyeimbangkan krisis
seperti menjadi sumber koping (support system) bagi klien
(Kemenkes RI, 2014).
3) Membuat kontak dengan puskesmas atau pelayanan darurat di area
setempat.
13

Menangani keluhan psikiatrik yang mendesak (misalnya


keberbahayaan terhadap diri sendiri atau orang lain, psikosis, depresi
berat, mania dan epilepsy) di Puskesmas tanpa melihat apakah
puskesmas tersebut dijalankan oleh pemerintah.
Kebanyakan masalah kesehatan mental akut selama fase
kedaruratan akut paling baik ditangani tanpa medikasi dengan
mengikuti prinsip “pertolongan pertama psikologik” (yaitu,
mendengarkan, menyatakan keprihatinan, menilai kebutuhan,
menjaga terpenuhinya kebutuhan fisik dasar dan tidak memaksa
berbicara, menyediakan atau mengerahkan pendamping dari
keluarga atau orang yang dekat, mendorong tetapi tidak
memaksakan dukungan social, melindungi dari cedera lebih lanjut
(Kementerian Kesehatan, 2011).
4) Kebanyakan masalah kesehatan mental akut selama fase kedaruratan
akut paling baik ditangani tanpa medikasi dengan mengikuti prinsip
“pertolongan pertama psikologik” (yaitu, mendengarkan,
menyatakan keprihatinan, menilai kebutuhan, menjaga terpenuhinya
kebutuhan fisik dasar dan tidak memaksa berbicara, menyediakan
atau mengerahkan pendamping dari keluarga atau orang yang dekat,
mendorong tetapi tidak memaksakan dukungan social, melindungi
dari cedera lebih lanjut (Kementerian Kesehatan, 2011).
5) Jika fase akut berkepanjangan, mulai pelatihan dan supervise
pekerja Yankes Primer dan pekerja kemasyarakatan (Kementerian
Kesehatan, 2011)
2. FASE REKONSILIASI
a) Intervensi social
1) Melanjutkan intervensi sosial yang relevan
2) Mengorganisasi kegiatan psikoedukasi yang menjangkau ke
masyarakat untuk memberi edukasi tentang ketersediaan pilihan
pelayanan kesehatan mental. dilakukan tidak lebih awal dari empat
minggu setelah fase akut, beri penjelasan dengan hati‐hati tentang
14

perbedaan psikopatologi dan distress psikologik normal, dengan


menghindari sugesti adanya psikopatologi yang luas dan
menghindari istilah atau idiom yang membawa stigma;
3) Mendorong dilakukannya cara coping yang positif yang sudah ada
sebelumnya. informasi itu harus menekankan harapan terjadinya
pemulihan alam
4) Dengan berlalunya waktu, jika kemiskinan adalah masalah yang
berlanjut, dorong upaya pemulihan ekonomi. Contoh inisiatif
semacam ini adalah
a) Skema kredit mikro;
b) Aktifitas yang mendatangkan penghasilan jika pasar lebih
menjanjikan sumber penghasilan yang berkelanjutan.
b. Intervensi Psikologik
1) Lakukan aktifitas rekreasi bagi anak-anak
2) Informasikan pada korban tentang reaksi psikologis normal yang
terjadi setelah bencana. Yakinkan mereka bahwa hal tersebut
normal dan berlangsung sementara; akan hilang dengan
sendirinya dan dialami oleh semua orang. Informasikan tentang
reaksi stres yang normal pada masyarakat secara massal (libatkan
ulama, guru dan pemimpin sosial lainnyal). Bantu melakukan
manajemen stres secara individu, keluarga maupun kclompok.
3) Motivasi para korban untuk bekerja bersama memenuhi kebutuhan
mereka seperti membersihkan lokasi bersama-sama, memasak
bersama.
4) Libatkan korban yang masih selibat dalam pelaksanaan bantuan
5) Motivasi pemimpin masyarakat dan tokoh kunci lainnya untuk
terlibat dalam diskusi kelompok dan dapat memotivasi klien untuk
berbagi perasaan
6) Pastikan informasi yang diterima akurat
7) Pastikan distribusi bantuan merata
15

8) Berikan pelayanan dengan “empati yang sehat” dan tidak memihak


pada salah satu bagian dari masyarakat (misalnya golongan
minoritas).
9) Mendorong kebali dilakukannya aktifitas budaya dan keagamaan
yang normal (termasuk upacara berkabung dalam kerja sama
dengan praktisi spiritual dan agama);
10) Mendorong aktifitas yang menfasilitasi masuknya yatim‐piatu,
jandaduda atau orang yang sebatang kara kedalam jejaring social;
11) Mendorong pengorganisasian aktivitas rekreasional normal untuk
anak‐anak. penyedia bantuan harus berhati‐hati untuk tidak
memberikan keperluan rekreasi (misalnya seragam sepak bola,
mainan modern) yang dianggap mewah dalam konteks lokal
sebelum kedaruratan;
12) Mendorong dimulainya sekolah untuk anak‐anak, meskipun tidak
penuh;
13) Melibatkan orang dewasa dan remaja dalam kegiatan yang konkret,
bertujuan dan diminati bersama (misalnya membangun tempat
penampungan, mengorganisasi pelacakan keluarga, pembagian
makanan, mengorganisasi vaksinasi, mengajar anak‐anak);
14) Menyebarkan secara luas informasi yang sederhana,
menenteramkan dan empatik tentang reaksi stress normal kepada
masyarakat luas, pertemuan dengan pers, siaran radio, poster dan
selebaran yang singkat dan tidak bersifat sensasional akan berguna
untuk menenteramkan masyarakat.
3. FASE REKONSILIDASI
a. Intervensi Sosial
1) Melanjutkan intervensi sosial yang relevan
2) Mengorganisasi kegiatan psikoedukasi yang menjangkau ke
masyarakat untuk memberi pendidikan tentang ketersediaan pilihan
pelayanan kesehatan jiwa. Dilakukan tidak lebih awal dari empat
minggu setelah fase akut, beri penjelasan dengan hati‐hati tentang
16

perbedaan psikopatologi dan distres psikologik normal, dengan


menghindari sugesti adanya psikopatologi yang luas dan
menghindari istilah atau idiom yang membawa stigma.
3) Mendorong dilakukannya cara coping mechanism yang positif yang
sudah ada sebelumnya. Informasi itu harus menekankan harapan
terjadinya pemulihan alamiah.
4) Melatih petugas kemanusiaan lain dan pemuka masyarakat
(misalnya kepala desa, guru dll.) dalam ketrampilan inti perawatan
psikologik (seperti 'pertolongan pertama psikologik', dukungan
emosional, menyediakan informasi, penenteraman yang simpatik,
pengenalan masalah kesehatan mental utama) untuk meningkatkan
pemahaman
b. Intervensi Psikologik
1) Mendidik pekerja kemanusiaan lain dan pemuka masyarakat
(misalnya kepala desa, guru, dll) dalam ketrampilan inti perawatan
psikologik, seperti :
a) Pertolongan pertama psikologik;
b) Dukungan emosional;
c) Menyediakan informasi;
d) Penentraman yang simpatik;
e) Pengenalan masalah kesehatan mental utama.
untuk meningkatkan pemahaman dan dukungan masyarakat
dan untuk merujuk orang ke Puskesmas jika diperlukan.
2) Melatih dan mensupervisi pekerja Pelayanan Kesehatan Primer
dalam pengetahuan dan ketrampilan dasar kesehatan mental,
misalnya :
a) Pemberian medikasi psikotropik yang tepat;
b) Pertolongan pertama psikologi;
c) Konseling suportif;
d) Bekerja bersama keluarga;
e) Mencegah bunuh diri;
17

f) Penatalaksanaan keluhan somatic yang tak dapat dijelaskan;


g) Masalah penggunaan zat;
h) Rujukan.
3) Menjamin kesinambungan medikasi penyintas psikiatrik yang
mungkin tidak mempunyai akses terhadap medikasi selama fase
kedaruratan akut;
4) Melatih dan mensupervisi pekerja komunitas (misalnya pekerja
bantuan, konselor) untuk membantu Yankes Primer yang beban
kerjanya berat. Pekerja komunitas dapat terdiri dari relawan, para
professional atau professional, tergantung keadaan. Pekerja
komunitas perlu dilatih dan disupervisi dengan baik dalam berbagai
ketrampilan inti :
a) Penilaian persepsi individual, keluarga dan kelompok tentang
masalah yang dihadapi, pertolongan pertama psikologik,
menyediakan dukungan emosional, konseling perkabungan
(grief counseling)
b) Manajemen stress “konseling pemecahan masalah”
c) Memobilisasi sumber daya keluarga dan masyarakat serta
rujukan
5) Bekerja sama dengan penyembuh tradisional (traditional healers)
jika mungkin. dalam beberapa keadaan dimungkinkan kerja sama
antara praktisi tradisional dan kedokteran;
6) Menfasilitasi terbentuknya kelompok dukungan tolong diri yang
berbasis komunitas. Fokus dari kelompok tolong diri ini biasanya
berbagi pengalaman dan masalah, curah pendapat untuk solusi atau
cara yang lebih efektif untuk coping (termasuk cara‐cara tradisional),
menimbulkan dukungan emosional timbal balik dan kadang kala
menimbulkan inisiatif di tingkat masyarakat.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Identifikasi dan pengkajian potensi dan sumber
1. Identifikasi Korban Bencana
a. Korban Bencana yang Terkena Dampak
a) Primary Victim: Survivor / penyintas  mereka yang langsung
mengalami dan berhasil selamat dalam peristiwa bencana
b) Secondary Victims: keluarga /orang terdekat dari primary victims
c) Tertiary Victims: orang-orang yang karena pekerjaannya atau
secara sukarela berhubungan langsung dengan penanganan dampak
bencana (misal relawan)
d) Quarternary Victims: anggota masyarakat umum diluar area
bencana yang peduli
b. Jenis-jenis Dampak Psikologis dari Bencana
Extreme peritraumatic stress reactions (< 2 hari)
Symptom – symptom yang muncul segera setelah bencana, a.l:
• Dissosiasi (depersonalisasi, derelisasi, amnesia)
• Menghindar (menarik diri dari situasi sosial)
• Kecemasan (cemas berlebihan, nervous, gugup, merasa tidak
berdaya)
• Intrusive re-experiencing (flashback, mimpi buruk)
c. Reaksi Stres terhadap Bencana
1) Berbagai masalah psikologis yang mungkin akan dialami seseorang
setelah mengalami peristiwa traumatis
2) Reaksi – reaksi normal dan wajar (normal stress reaction) yang
biasa ditampilkan/ dialami seseorang beberapa saat setelah
mengalami peristiwa traumatis
3) Jenis-jenis reaksi stress akibat bencana.

18
19

• Reaksi Fisik: ▫ Tegang


▫ Cepat lelah
▫ Sulit tidur
▫ Nyeri pada tubuh/ kepala
▫ Mudah terkejut
▫ Jantung berdebar-debar
▫ Mual-mual dan pusing
▫ Selera makan menurun ▫
Gairah seksual menurun

• Reaksi Emosional:
▫ Shock
▫ Takut
▫ Marah, Berduka/ sedih
▫ Merasa bersalah (karena selamat, karena sampai terluka)
▫ Tidak berdaya
▫ Tidak dapat merasakan apapun (tidak dapat merasakan kasih
sayang, kehilangan minat melakukan kegiatan yang
sebelumnya disukai)
▫ Depresi (sedih yang mendalam, banyak menangis, kehilangan
tujuan hidup, ingin mati, menyakiti diri)
• Reaksi Kognitif
▫ Kebingungan, ragu – ragu
▫ Kehilangan orientasi
▫ Sulit membuat keputusan
▫ Khawatir
▫ Tidak dapat konsentrasi
▫ Lupa
▫ Mengingat kembali pengalaman traumatis tersebut (mimpi
buruk, flashback)
▫ Tempat, waktu, bau, suara tertentu yang mengingatkan pada
peristiwa traumatis tersebut
20

• Reaksi Spiritual:
▫ Kehilangan iman terhadap Tuhan
▫ Percaya bahwa ia dikutuk Tuhan
▫ Menunjukkan sinisme terhadap agama
▫ Kehilangan makna hidup
• Reaksi Interpersonal
▫ Sulit mempercayai orang lain
▫ Mudah terganggu / teriritasi
▫ Tidak sabar
▫ Mudah terlibat konflik
▫ Menarik diri, menjauhi orang lain
▫ Merasa ditolak/ ditinggalkan
Hasil identifikasi, selanjutnya dilaporkan oleh petugas kepada
pimpinan lembaga yang berwenang memberikan bantuan. Lembaga
yang berwenang kemudian memiliki kewajiban melakukan
verifikasi terhadap kebenaran laporan petugas identifikasi.

Verifikasi dilakukan dengan cara mendatangi pihak-pihak yang


memiliki hubungan dengan korban bencana calon penerima bantuan,
untuk mengecek kebenaran data dan informasi yang dibuat petugas
identifikasi. Petugas verifikasi dapat menghubungi langsung orang-
orang yang termasuk keluarga korban, saudara, kerabat atau
pemuka masyarakat, mengajukan pertanyaanpertanyaan,
mengobservasi, mencatat dan mendokumentasikan bukti-bukti
kebenaran data dan informasi tentang korban yang sudah dimiliki
sebelumnya.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Sindrom pasca trauma berhubungan dengan respon maladaptif
berulang terhadapperistiwa traumatik yang penuh tekanan.
2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
melaksanakanaktifitas sebelumnya.
3. Ketakutan berhubungan dengan perubahan fisik.
21

4. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh


antisipasi terhadapbahaya.
5. Koping defensif berhubungan dengan harapan diri yang tidak realistik.
6. Disfungsi proses keluarga berhubungan dengan perpisahan dengan orang
tua pada usia dini.
22

C. INTERVENSI

Diagnosa Tujuan Intervensi

Sindrom pasca Setelah dilakukan NIC :


trauma berhubungan tindakan keperawatan Konseling : penggunaan
dengan respon klien mampu merespon proses bantuan interaktif
maladaptif berulang adaptif yang memfokuskan pada
terhadapperistiwa terhadapperistiwa kebutuhan,masalah, atau
traumatik yang penuh trauma yang ia alami. perasaan pasien dengan
tekanan. NOC : orang yang berarti bagi

a. Pemulihan dari pasien untuk meningkatkan


atau mendukung koping,
trauma.
penyelesaian masalah dan
b. Pengendalian
hubungan interpersonal.
impuls:
Aktivitas keperawatan:
kemampuan untuk
menahan diri dari 1. Tunjukkan empati,
perilaku impulsive. kehangatan dan
kesejatian.
2. Gunakan teknik
refleksi dan klarifikasi
untuk memfasilitasi
pengungkapan
perasaan.
3. Hindari membuat
keputusan pada saat
pasien berada dalam
keadaan stress.
23

Ketidakberdayaan Setelah dilakukan NIC :


berhubungan dengan tindakan keperawatan 1. Eksplorasi pencapaian
ketidakmampuan klien mampu keberhasilan sebelumnya.
untuk melaksanakan melaksanakan aktifitas
2. Dukung kekuatan-
aktifitas sebelumnya. sebelumnya dengan
kekuatan diri yang dapat
kriteria hasil sebagai
diidentifikasi oleh pasien.
berikut: NOC :
Kepercayaan Kesehatan 3. Sampaikan kepercayaan

a.Mengungkapkan diri terhadap kemampuan

dengan kata-kata pasien untuk

tentang segala perasaan menanganikeadaan


ketidak berdayaan.
b.Mengidentifikasi
tindakan yang berada
dalam kendalinya.
c.Mengungkapkan
dengan kata-kata
kemampuan untuk
melakukan tindakan
yang diperlukan
d.Melaporkan dukungan
yang adekuat dari orang
dekat, teman-teman dan
tetangga
24

Ketakutan Setelah dilakukan NIC : Peningkatan koping


berhubungan dengan tindakan keperawatan 1. Gunakan pendekatan
perubahan fisik pada klien diharapkan yang tenang, meyakinkan.
ketakutan yang dialami
2. Bantu pasien dalam
klien menurun atau
membangun pemikiran yang
menghilang. NOC :
objektif terhadap suatu
Kontrol ketakutan
peristiwa.
a. Klien mampu mencari
informasi untuk 3. Tidak membuat

menurunkan ketakutan keputusan pada saat pasien


b.Klien mampu berada dalam stress berat.
menghindari sumber 4. Dukung untuk
ketakutan bila mungkin menyatakan perasaan,
c.Klien mamapu persepsi, dan ketakutan
mengendalikan respon secara verbal.
ketakutan
5. Kurangi stimulasi dalam
d.Klien mamapu
lingkungan yang dapat
mempertahankan
disalah interpretasikan
penampilan peran dan
sebagai ancaman.
hubungan social
25

Ansietas berhubungan Setelah dilakukan NIC : Penurunan


dengan perasaan takut tindakan keperawatan Kecemasan
yang disebabkan oleh pada klien diharapkan 1. Tenangkan klien.
antisipasi terhadap cemas dan stress
2. Berusaha memahami
bahaya yangdialami klien
keadan klien.
menurun atau
menghilang. NOC : 3. Temani pasien untuk
Kontrol cemas mendukung keamanan dan

a. Intensitas kecemasan menurunkn rasa takut.


berkurang atau hilang. 4. Bantu pasien untuk
b.Tidak ditemukan mengidentifikasi situasi
tanda – tanda kecemasa. yang menciptakan cemas.
c.Menunjukkan
5. Dukung penggunaan
relaksasi.
mekanisme pertahanan diri
d.Menunjukkan
dengan cara yang tepat.
pemecahan masalah
6. Kaji tingkat kecemasan
dan menggunakan
dan reaksi fisik pada tingkat
sumber-sumber secara
kecemasan.
efektif.
7. Gunakan pendekatan dan
sentuhan, verbalissi untuk
meyakinkan pasien
tidaksendiri dan
mengajukan pertanyaaan.

8. Sediakan aktivitas untuk


menurunkan ketegangan.

9. Instruksikan klien untuk


menggunakan teknik
relaksasi.

10. Koping defensif


berhubungan dengan
26

harapan diri yang tidak


realistik.

Koping defensif Setelah dilakukan NIC : Pencapaian Kesadaran


berhubungan dengan tindakan keperawatan Diri
harapan diri yang tidak klien diharapkan 1. Bantu pasien untuk
realistik. terbentuk koping mengidentifikasi dampak
yangefektif. NOC: penyakit terhadap konsep
Koping diri. 2. Ungkapkan secara
a. Koping efektif. verbal mengenai
b. Harga diri positif. pengingkaran pasien
c.Keterampilan terhadap kenyataandengan
interaksi sosial positif. tepat.
d. Menyadari masalah
3.Bantu pasien untuk
atau konflik spesifik
mendidentifikasi prioritas
yang mempengaruhi
kehidupan.
interaksi atauhubungan
sosial. 4. Bantu pasien untuk

e.Mengekspresikan mengidentifikasi aspek

perasaan harga diri. positif pada dirinya


27

f.Menunjukan
penurunan
kedefensifan.

Disfungsi proses Setelah dilakukan NIC : Dukungan Keluarga


keluarga berhubungan tindakan keperawatan 1. Tingkatkan harapan yang
dengan perpisahan klien NOC : realistis
dengan orang tua pada Kepercayaan Kesehatan
2.Dengarkan keluhan,
usia dini. a.Mengungkapkan
perasaan , dan pertanyaan
dengan kata-kaa tentang
keluarga.
segala perasaan
ketidakberdayaan. 3.Fasilitasi

b.Mengidentifikasi pengkomunikasian keluhan

tindakan yang berada /persaan antra pasien dan


dalam kendalinya. keluarga atau antar anggota

c.Mengungkapkan keluarga.Berikan perawatan

dengan kata-kata kepada pasien selain

kemampuan untuk keluarga untuk mengurangi


melakukan tindakan beban mereka dab/ atau saat
yangdiperlukan. keluarga tidak mampu untuk

d.Melaporkan dukungan memberikan perawatan


yang adekuat dari orang 4. Berikan umpan balik
kepada keluarga yang
28

dekat, teman-teman dan berkaitan dengan koping


tetangga. mereka
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Di beberapa daerah di Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana.
Dengan banyaknya bencana, kesiagaan dan pelaksanaan tanggap bencana
harus dilakukan dengan baik. Karena dampak yang ditimbulkan bencana
tidaklah sederhana, maka penanganan korban bencana harus dilakukan dengan
terkoordinasi dengan baik sehingga korban yang mengalami berbagai sakit
baik fisik, sosial, dan emosional dapat ditangani dengan baik dan manusiawi.
Perawat sebagai kaum yang telah dibekali dasar-dasar kejiwaan
kebencanaan dapat melakukan berbagai tindakan tanggap bencana.
Seharusnya modal itu dimanfaatkan oleh mahasiswa keperawatan agar secara
aktif turut melakukan tindakan tanggap bencana.

B. SARAN
Perawat adalah tenaga kesehatan yang sangat berkompeten untuk
melakukan pelayanan kesehatan di daerah yang sedang mengalami bencana,
oleh karena itu diharapkan bagi mahasiswa keperawatan maupun perawat yang
sudah berpengalaman dalam praktik pelayanan kesehatan mau untk berperan
dalam penanggulangan bencana yang ada di sekitar kita. Karena ilmu yang
didapat di bangku perkuliahan sangat relevan dengan yang terjadi di
masyarakat, yaitu fenomena masalah kesehatan yang biasanya muncul di
tempat yang sedang terjadi bencana.

29
30

DAFTAR PUSTAKA

Awlrahma.2018.Respon psikologis pasca bencana di http://awwl-


rahmah.blogspot.com/2018/02/respon-psikologis-pasca-
bencana_24.html?m=1 (diakses pada 24 november 2019 )
http://rencanaaskep.blogspot.com/2016/011/askep-korban-bencana
individu.html?m=1 (diakses pada 24 november 2019)
http://id.scribd.com/doc/129969394/5-Manajemen-Penanganan-Korban (diakses
pada 24 november 2019)
31

Lampiran
SATUAN ACARA PENYULUHAN

Pokok bahasan : Pengkajian psikologis pada korban bencana


Sub pokok bahasan : Teknik nafas dalam
Sasaran : Korban bencana
Hari/Tanggal : Minggu/ 23 Desember 2018
Jam : 09.30-10.00 WIB
Waktu Pertemuan : 30 menit
Tempat : Posko bencana

I. Latar Belakang
Teknik relaksasi nafas dalam mampu menurunkan rasa cemas pada korban
bencana tsunami, hal ini terjadi karena relatif kecilnya peran otot-otot skeletal
dalam kebutuhan pasien untuk melakukan teknik relaksasi nafas dalam secara
efektif.

II. Tujuan
a. Umum
Setelah dilakukannya penyuluhan selama ± 30 menit, diharapkan klien
mampu mendemonstrasikan cara relaksasi napas dalam.
b. Khusus
Setelah dilakukan penyuluhan, diharapkan pasien mampu :
1. Menjelaskan pengertian teknik napas dalam.
2. Menjelaskan tujuan dan manfaat dari melakukan teknik napas dalam.
3. Menjelaskan langkah-langkah melakukan teknik napas dalam.

III. Metode
a. Ceramah
b. Tanya jawab
c. Demonstrasi
IV. Materi [Terlampir]
1. Pengertian Teknik napas dalam.
32

2. Tujuan dan manfaat teknik napas dalam.


3. Langkah-langkah teknik napas dalam.

V. Kegiatan Penyuluhan
No. Waktu Pembicara Peserta
1. 2 menit Pembukaan:
1. Memberi Salam. Menjawab salam
2. Memperkenalkan diri. Mendengarkan
3. Menyampaikan topik. Mendengarkan
4. Menjelaskan tujuan penyuluhan. Mendengarkan
5. Melakukan kontrak waktu. Mendengarkan
2. 15 menit Pelaksanaan :
Menjelaskan materi penyuluhan secara
berurutan dan teratur Penyajian materi:
1. Menjelaskan pengertian teknik napas
dalam. Mendengarkan
2. Menjelaskan tujuan dan
manfaat teknik napas dalam. Mendengarkan
3. Menjelaskan langkah-langkah teknik
napas dalam. Mendengarkan
4. Mendemostrasikan teknik napas
dalam. Mendengarkan

3. 10 menit Evaluasi:
1. Memberikan kesempatan kepada Bertanya
responden untuk bertanya
2. Memberikan kesempatan pada responden Menjawab
untuk menjawab pertanyaan

yang diajukan.
33

4. 3 menit Penutup: atas


1. Menyimpulkan materi telah Mendengarkan

2. Mengucapkan terimakasih Mendengarkan


perhatian dan waktu yang
disampaikan Menjawab salam
3. Memberi salam

VI. Pengorganisasian
a. Penyuluh : Reza Erianto
b. Moderator : Meilinda
c. Fasilitator : Norma Auliya

VII. Setting Tempat


Keterangan :
Penyuluh
Moderator
Fasilitator Peserta

VIII. Kriteria Evaluasi


1. Klien mengatakan pikiran menjadi lebih tenang setelah melakukan
teknik relaksasi nafas dalam
2. Klien mampu mempraktekan kembali dengan baik teknik relaksasi nafas
dalam yang telah diajarkan oleh terapis
IX. REFERENSI
Smeltzer & Bare. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC
34

MATERI PENYULUHAN

I. Pengertian
Teknik relaksasi merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam
hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas
dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana
menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas
nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan
meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer dan Bare, 2009).
Latihan nafas dalam adalah cara bernafas yang efektif melalui menarik dan
menghembuskan napas untuk memperoleh nafas yang lambat, dalam dan
rileks.

II. Tujuan dan manfaat teknik napas dalam


Menurut Smeltzer dan Bare (2009) menyatakan bahwa tujuan dari teknik
relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli,
memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efisiensi
batuk mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan
intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan. Sedangkan manfaat yang dapat
dirasakan oleh klien setelah melakukan teknik relaksasi nafas dalam adalah
dapat menghilangkan nyeri, ketentraman hati, dan berkurangnya rasa cemas.

III. Langkah-langkah teknik relaksasi napas dalam


1. Ciptakan lingkungan yang tenang
2. Usahakan tetap rileks dan tenang
3. Posisi duduk
4. Letakan tangan kanan dibagian dada dan tangan kiri dibagian perut
5. Lalu tarik napas dari hidung. Tahan napas sampai hitungan ketiga (1,2,3)
6. Perlahan-lahan menghembuskan napas melalui mulut (seperti meniup)
7. Tarik napas lepaskan perlahan...rasakan perbedaannya, saat tegang dan
rileks.
8. Ulangi prosedur hingga rasa cemas terasa berkurang.

Anda mungkin juga menyukai