Anda di halaman 1dari 20

8

ᅳ kategori III : terinfeksi dan positif sakit TBC Paru

Sedangkan di Indonesia terbagi menjadi :

ᅳ TBC Paru

ᅳ Bekas TBC Paru

ᅳ TBC Paru diobati : BTA (-), tanda-tanda (+)

ᅳ TBC Paru tak diobati BTA (-), tanda-tanda meragukan (Setiati 2014,

866-867).

Sedangkan klasifikasi TBC Paru menurut Rafterry (2016) yang

diadopsi dari ATS/CDC Diagnostic Standards and Classification of

Tuberculosis in adults and Children (2000), adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Klasifikasi TBC Paru

Kelas Tahap Penyakit Deskripsi

0 ᅳ Tidak ada eksposur TB Tidak ada riwayat paparan TB.

Tes tuberkulin negatif (atau


ᅳ Tidak terinfeksi
IGRA).

1 ᅳ Eksposur Ada riwayat paparan TB. Tes

tuberkulin negatif (atau


ᅳ Tidak ada bukti infeksi
IGRA).

2 Infeksi TB laten, bukan Tes tuberkulin positif. Tidak

penyakit ada klinis, bakteriologis, atau

bukti radiografi TB.

3 TB aktif secara klinis M. tuberculosis aktif secara


9

klinis, dilakukan kultur jika

diperlukan. Klinis,

bakteriologis, atau bukti

radiografi penyakit TB saat ini.

4 TB, tidak secara klinis aktif Riwayat TB atau temuan

radiografi abnormal tetapi

stabil, positif tes kulit

tuberkulin, studi bakteriologi

negatif.

5 Suspek TB Diagnosis tertunda, penyakit

TB harus diperhatikan ada atau

tidak dalam waktu 3 bulan.

Sumber : Rafterry, 2016.

1. Cara Penularan TBC Paru

Penularan sering terjadi melalui inhalasi basil, didukung oleh

proses infeksi dari Mycobacterium tuberculosis, yang terjadi ketika pasien

TBC Paru batuk kemudian mengeluarkan cairan atau droplet, ada dalam

udara yang kemudian dihirup oleh orang lain. Mycobacterium

tuberculosis, penyebab dari TBC Paru, merupakan bakteri berbentuk

batang. Dindingnya dilapisi oleh lipid (lemak), yang menyebabkan bakteri

ini tahan terhadap gangguan fisis maupun kimia, serta tahan terhadap asam

yang biasa dinamakan bakteri tahan asam atau BTA. Mycobacterium

tuberculosis ini bersifat aerob, yang artinya ia hidup menggunakan


10

oksigen. Dapat bertahan hidup dalam kondisi apapun, dan dapat bangkit

atau aktif kembali, merupakan sifat lain dari bakteri ini (sifat dormant)

(Setiati 2014, 864-865).

2. Patogenesis

Pada Tuberkulosis Primer, penularan terjadi ketika pasien TBC

Paru batuk kemudian mengeluarkan droplet, ada dalam udara yang

kemudian terhirup oleh orang lain. Di dalam udara, Mycobacterium

tuberculosis bertahan tergantung pada baik buruknya kondisi sinar

ultraviolet, ventilasi serta kelembaban. Bila kondisi lembab, bakteri akan

bertahan dalam jangka waktu yang lama, yang kemudian akan menginfeksi

paru-paru orang yang sehat. Bakteri yang sudah terkumpul di jaringan paru

dapat menyebar ke jaringan organ lainnya dan menyebabkan timbulnya

penyakit. Contohnya bila bakteri telah menginfeksi pleura pada paru, maka

bisa terjadi penyakit efusi pleura. Bakteri yang sudah terkumpul di

jaringan paru akan membentuk sebuah sarang yang bernama sarang Ghon.

Setelah membentuk sarang Ghon, bakteri ini akan menginfeksi saluran

getah bening yang menimbulkan peradangan pada limfangitis fokal dan

limfadenitis regional. Proses ini akan terjadi selama 3-8 minggu, dan ada

beberapa kemungkinan yang terjadi. Pertama, akan sembuh total, kedua

akan sembuh sebagian karena bakteri dapat reaktivasi, ketiga dapat

memicu komplikasi hingga menyebar ke organ yang lain (Setiati 2014,

865-866).
11

Pada Tuberkulosis Sekunder, Mycobacterium tuberculosis yang

bersifat dormant akan ada dan bertahan dalam waktu yang lama. Setelah

itu ia berproses (infeksi endogen) menjadi bakteri dewasa. Kemudian

Tuberkulosis Primer akan berubah menjadi Tuberkulosis

Sekunder/Tuberkulosis Post Primer). Terjadinya Tuberkulosis Sekunder

didukung oleh faktor internal yaitu imunitas, bila imunitas menurun makin

mempermudah proses terjadinya. Tuberkulosis Sekunder ini ditandai

dengan adanya sarang bakteri di paru-paru bagian atas, yang kemudian

berinvasi ke parenkim paru-paru. Pada awalnya sarang ini berbentuk kecil

kemudian meluas dan menjadi banyak membentuk granuloma.

Tuberkulosis Sekunder dapat juga terjadi karena infeksi eksogen, yang

merubah tuberkulosis primer (usia lebih pendek) menjadi tuberkulosis tua

(usia lebih lama). Dan muncul tiga kemungkinan yang berhubungan

dengan sarang bakteri TBC, yakni dapat sembuh tanpa pengobatan, perlu

pengobatan sempurna karena dapat aktif kembali, dan perlu pengobatan

sempurna yang juga dapat sembuh spontan (Setiati 2014, 865-866).

Penyakit TBC Paru dapat menjadi TB MDR (Multi Drug

Resistance). Ini terjadi karena bakteri mengalami resistensi terhadap obat

antimikroba yang digunakan untuk menyembuhkan TBC Paru. Karena

resisten, TB MDR ini tidak dapat merespon obat anti TBC Paru yang

paling ampuh seperti isoniazid dan rifampisin. TB MDR ini muncul

dimulai dari kesalahan penderita dalam menjalankan pengobatan.

Penggunaan obat yang tidak sesuai, penghentian pengobatan secara dini


12

dapat menyebabkan bakteri bersifat resisten. Hal ini dapat menular dari

penderita ke orang lain (WHO, 2018).

3. Etiologi

Penyakit TBC Paru disebabkan oleh bakteri bernama

Mycobacterium tuberculosis, yang merupakan bakteri BTA (Basil Tahan

Asam), dikarenakan ia tetap tahan bila dilakukan pencucian warna

menggunakan alkohol dan asam. Bakteri ini dapat diidentifikasi

menggunakan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Bakteri ini suka berada dikondisi

yang gelap dan lembab karena ia akan bertahan lebih lama yaitu sekitar

beberapa jam, bahkan bisa sampai beberapa bulan (Masriadi 2017, 38).

4. Gejala Klinis dan Masa Inkubasi

Gejala klinis utama yang muncul bila seseorang ditetapkan

menderita penyakit TBC Paru adalah batuk produktif berdahak yang tidak

kunjung sembuh selama lebih dari 3 minggu, merasakan nyeri dan sesak

napas pada dada, batuk hingga keluar darah, berat badan menurun, suhu

tubuh lebih dari normal (demam tinggi), dan keluar keringat dingin saat

malam hari. Kemudian masa inkubasi penyakit TBC Paru adalah sekitar 4-

12 minggu, ini dimulai dari awal mula terkena sampai dengan timbul

reaksi (Masriadi 2017, 39-40).

5. Komplikasi

Penyakit TBC Paru mempunyai komplikasi yang terbagi menjadi

dua, yaitu komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Pada komplikasi dini

akan terjadi radang pleura (pleuritis), radang laring (laringitis), efusi


13

pleura, empiema dan Poncet’s athropathy. Sedangkan pada komplikasi

lanjut akan terjadi obstruksi jalan napas, yaitu Sindrom Obstruksi Pasca

Tuberkulosis (SOPT), dan selanjutnya fibrosis paru, amiloidosis, ARDS

(sindrom gagal napas dewasa), karsinoma paru, kor pulmonal, yang itu

semua disebabkan karena terjadi kerusakan berat pada parenkim paru

(Setiati 2014, 871).

Selain memiliki komplikasi, TBC Paru ini juga termasuk

komplikasi dari penyakit lain, yaitu penyakit Diabetes Mellitus dan HIV.

Menurut Fauziah (2016, 350), TBC Paru menjadi prevalensi pada penyakit

DM. Ini terjadi dikarenakan penderita DM mengalami penurunan daya

tahan tubuh yang dapat beresiko untuk terjadi infeksi TBC Paru.

Sedangkan menurut Hardiko (2015, 30), TBC Paru menjadi

prevalensi pada penyakit HIV yang dipengaruhi oleh usia dan jenis

kelamin. Karena pada penderita HIV terjadi resiko kesehatan yang serius

dan memungkinkan terjadinya infeksi TBC Paru, maka disarankan untuk

penderita HIV melakukan uji untuk TBC Paru.

6. Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan Fisis (fisik)

Pemeriksaan fisik pertama, pada penderita terlihat konjungtiva

anemis, badan demam, serta badan tampak kurus dikarenakan

penurunan berat badan. Pada penderita TBC Paru dengan auskultasi

suara napas bronkial, dan perkusi redup, ini berarti terjadi infiltrasi

yang agak luas. Kemudian pada penderita dengan auskultasi suara


14

napas vesikular melemah, berarti telah terjadi penebalan pada pleura.

Dan bila terdengar auskultasi amforik, dengan perkusi timpani atau

hipersonor, ini terjadi karena kavitas cukup besar.

Penderita TBC Paru yang saat diperiksa terlihat adanya retraksi

otot inter kosta, ini berarti terjadi meluasnya fibrosis. Bila dilakukan

auskultasi hanya terdengar napas lemah atau tidak terdengar, kemudian

diikuti dengan perkusi yang agak pekak, ini disebabkan telah terbentuk

efusi pleura. Sering sekali pada kasus TBC Paru ini penderita tidak

merasakan keluhan apapun (asimptomatik), yang kemudian penyakit

baru diketahui setelah dilakukan pemeriksaan radiologi/rontgent (Setiati

2014, 868).

b) Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologi ini merupakan cara yang mudah untuk

mengetahui tempat lesi tuberkulosis. Semestinya, lokasi lesi terdapat di

apeks paru, tapi terkadang juga berada di lobus bagian inferior. Pada

pemeriksaan awal saat masih terbentuk sarang pneumonia, hasil

radiologi tampak seperti awan atau kabut, dan tak ada batas-batas yang

jelas. Namun ketika sudah dalam pemeriksaan lanjut, ditambah dengan

adanya lesi (tuberkuloma) yang jelas, hasil radiologi akan tambah

seperti bulatan dengan batasan yang jelas dan tegas.

Hasil pemeriksaan radiologi lain yang ditemukan, akan tampak

penebalan pada pleura yaitu radang pleura (pleuritis), efusi pleura atau

empiema, dan pneumotoraks. Tetap diingat bahwa hasil dari


15

pemeriksaan radiologi bisa juga salah atau tak sesuai, sehingga tenaga

radiologi akan melakukan beberapa cara foto untuk menegakkan

diagnostik radiologi yang benar. Alat radiologi yang dinilai lebih

canggih dan akurat adalah CT-Scan dan MRI. CT-Scan dinilai lebih

canggih daripada MRI karena dapat memperlihatkan jaringan dengan

jelas pada hasil radiologi. Pada penderita TBC Paru, perlu juga

dilakukan bronkografi yang bertujuan untuk mengetahui kerusakan

bronkus akibat infeksi tuberkulosis dalam jangka waktu lama, dan

pemeriksaan ini juga dilakukan saat penderita akan dibedah paru

(Setiati 2014, 868-869).

c) Pemeriksaan Laboratorium

ᅳ Darah

Pemeriksaan lab darah ini sebenarnya kurang akurat dan

kurang spesifik, namun tetap bisa dilakukan. Pada awal fase penyakit

TBC Paru, jumlah leukosit akan meninggi karena terjadi infeksi. Dan

pada saat itu juga laju endap darah akan meningkat, natrium dalam

darah menurun, gama globulin meningkat, serta terjadi anemia

ringan. Tetapi bila penyakit TBC Paru sudah mulai sembuh, nilai

leukosit akan kembali normal dan laju endap darah juga berada pada

batas normal (Setiati 2014, 869-870).

ᅳ Sputum

Pemeriksaan sputum merupakan pemeriksaan yang sangat

penting karena mempengaruhi diagnosis TBC Paru dengan


16

ditemukannya BTA. Pemeriksaan sputum mudah dilakukan di

berbagai pelayanan kesehatan. Hal yang sulit dalam pemeriksaan ini

adalah, cara memperoleh sputum dari penderita TBC Paru. Ini

disebabkan tidak semua penderita mengalami batuk atau batuk

produktif. Maka dari itu sehari sebelum dilakukan pemeriksaan

sputum, disarankan agar penderita meminum kurang lebih 2 liter air

yang berguna untuk mengencerkan dahak yang tersumbat dengan

refleks batuk yang muncul. Walau sputum telah didapat, BTA yang

terkandung tidak semudah itu ditemukan. Ini semua bergantung pada

bronkus yang terbuka atau tertutup, bila terbuka maka BTA akan

keluar dan terdeteksi. BTA dikatakan positif apabila terdapat 3

batang yang tampak pada saat pemeriksaan (Setiati 2014, 869-870).

ᅳ RT-PCR GeneXpert

Menurut Kurniawan (2016, 732) dalam Jurnal Nilai

Diagnostik Metode Real Time PCR GeneXpert pada TBC Paru BTA

Negatif, GeneXpert merupakan cara pemeriksaan untuk

menegakkan diagnosa TBC Paru dengan cara mengolah sediaan

dengan ekstraksi DNA dalam cartridge yang digunakan sekali pakai.

Ada batasan kuman yang dapat dideteksi yakni 131 kuman/ml.

GeneXpert ini hanya memakan waktu yang sebentar, yaitu sekitar

dua jam. Dalam menggunakan alat ini juga membutuhkan latihan

yang simpel.
17

7. Kebutuhan Penderita TBC Paru

Seseorang ketika mengetahui bila menderita penyakit menular

seperti TBC Paru pasti akan merasa cemas, takut, dan bisa berujung pada

stres. Hal ini dikarenakan jangka waktu pengobatan untuk TBC Paru ini

sangat lama yaitu 6 bulan. Bila penderita tiba-tiba berhenti melakukan

pengobatan, maka ia harus mengulang dari awal. Untuk mencegah hal

tersebut terjadi, diperlukan suatu hal yang sangat penting dan berpengaruh

untuk diri penderita. Hal tersebut antara lain meliputi motivasi, dukungan

keluarga, kebutuhan nutrisi serta kebutuhan ekonomi.

Motivasi dari keluarga dapat mempengaruhi perilaku penderita,

dan dapat mengurangi rasa cemas serta takut yang dirasakan oleh penderita

tentang penyakitnya. Dengan adanya motivasi juga berpengaruh pada

peningkatan kualitas hidup penderita (Azwar, 2008) dalam (Rohmi 2015,

262). Yang kedua yaitu dukungan, dukungan yang dimaksud adalah

dukungan keluarga. Dukungan keluarga sangat penting untuk membantu

penderita dalam mengatasi masalahnya (McCubin, Olson, & Larsen, 1991)

dalam (Friedman, Bowden dan Jones 2010, 445). Kemudian kebutuhan

nutrisi, yang harus diperhatikan. Kebutuhan nutrisi akan lebih banyak

dikarenakan sedang terjadi infeksi dalam tubuh penderita. Pada saat sakit,

penderita harus tetap menjaga pola makan serta asupan nutrisi yang ada

agar kondisinya stabil, dan keluarga merupakan tokoh utama dalam

manajemen kebutuhan nutrisi penderita. (Rahardja 2015, 83). Setelah itu

ada PMO (Pengawas Minum Obat), yang harus ada untuk mendampingi
18

penderita. Telah diketahui bila jangka waktu pengobatan TBC Paru

tidaklah singkat, yaitu 6 bulan. PMO berpengaruh terhadap kesembuhan

penderita ( Dewanty 2016, 43). Dari pernyataan tersebut dapat

disimpulkan bila motivasi, kebutuhan nutrisi, dan PMO adalah hal bagian-

bagian dari dukungan keluarga. Maka dari itu dukungan keluarga

merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh penderita TBC Paru.

B. Dukungan Keluarga

1. Definisi Keluarga

Keluarga adalah sebuah bagian yang terdiri dari dua orang atau

lebih, memiliki rasa kebersamaan, kedekatan, ikatan emosional, dan

seseorang dapat menyadari bila ia merupakan sebuah bagian dari keluarga.

Definisi keluarga tergantung pada jenis keluarga tersebut. Ada beberapa

jenis keluarga, yakni keluarga inti, keluarga orientasi, dan extended family.

Keluarga inti, terjadi karena adanya suatu pernikahan, hingga muncul

peran sebagai ayah, ibu, suami, istri dan anak-anak. Keluarga orientasi

merupakan keluarga asal dimana lahirnya seseorang tersebut. Sedangkan

extended family yaitu, keluarga besar yang didalamnya terdapat keluarga

inti ditambah dengan keluarga lain dari keluarga asal, seperti kakek,

nenek, paman, bibi, sepupu, dan lainnya, yang masih memiliki hubungan

darah (Friedman, Bowden dan Jones 2010, 9).


19

2. Fungsi Keluarga yang Optimal

Tanda-tanda keluarga yang memiliki fungsi secara optimal antara

lain :

ᅳ keluarga dapat mengatasi suatu masalah sesuai dengan tingkat

kemampuan dan keterampilan yang dimiliki,

ᅳ keluarga memiliki sikap saling terbuka, percaya dan menyadari adanya

perbedaan diantara mereka,

ᅳ saling menghargai perasaan sesama anggota keluarga,

ᅳ saling memotivasi sesama anggota keluarga,

ᅳ anggota keluarga dapat mempertanggungjawabkan masing-masing

tindakan yang telah dilakukan entah itu benar atau salah,

ᅳ memiliki rasa saling memiliki, penuh dengan kehangatan dan

kedekatan, anggota keluarga saling merasa nyaman ketika berada di

tengah keluarga (Beavers & Hampson, 1993) dalam (Friedman,

Bowden dan Jones 2010, 11).

3. Dukungan Sosial Keluarga

Dukungan sosial keluarga ini muncul bisa dari dalam atau luar

keluarga. Yang dimaksud dengan dukungan keluarga dari dalam ini adalah

dukungan yang diberikan oleh sesama anggota keluarga, contohnya

dukungan pasangan yaitu dari suami ke istri atau sebaliknya, kemudian

dukungan saudara (sibling) yaitu dukungan dari kakak terhadap adiknya,


20

dan sebaliknya. Sedangkan dukungan dari luar ini diperoleh dari dukungan

sosial diluar keluarga, seperti teman, dan tetangga.

Dukungan sosial dari keluarga (dukungan dari dalam keluarga)

dapat berupa hal-hal seperti saling berbagi pada saat kita atau salah satu

keluarga tertimpa masalah, meminta pendapat tentang perasaan yang

dirasakan pada anggota keluarga lain ketika kita tertimpa masalah, dan

menanyakan saran yang mungkin bisa membantu kita untuk memecahkan

masalah (McCubin, Olson, & Larsen, 1991) dalam (Friedman, Bowden

dan Jones 2010, 445).

Menurut Rohmi (2015, 256), keluarga yang tinggal bersama

penderita TBC Paru seperti istri/suami, anak, serta orang tua, akan merasa

takut, yaitu takut akan tertular, takut bila ekonomi menurun, takut bila

terjadi komplikasi sampai takut terhadap kematian yang akan terjadi. Akan

timbul juga reaksi kecemasan pada saat merawat penderita TBC Paru.

Oleh karena itu dukungan keluarga sangat dibutuhkan.

4. Tujuan Dukungan Sosial Keluarga

Tujuan dari dukungan sosial keluarga ini adalah untuk membantu

mengurangi beban yang dirasakan anggota keluarga, memperbaiki kondisi

anggota keluarga menjadi lebih baik, meningkatkan kesehatan mental,

serta merupakan koping yang efektif untuk mencegah terjadinya stres yang

sewaktu-waktu dapat terjadi. Koping utama dalam dukungan sosial

keluarga ini salah satunya adalah dukungan emosional. Keluarga

merupakan orang-orang utama yang sangat berpengaruh dalam hal


21

tersebut. Keluarga akan membantu anggotanya (klien) yang tertimpa

masalah dengan cara menanyakan kesulitan yang dihadapi, memberikan

dorongan agar klien dapat terbuka tentang masalahnya, dan memberikan

saran. Salah satu masalah yang mungkin dihadapi klien yaitu pada saat

klien terkena suatu penyakit. Klien pasti sangat membutuhkan keluarga

untuk membantunya dalam perawatan, memenuhi kebutuhannya sehari-

hari, meliputi kebutuhan sosial, ekonomi, dan psikologis. Klien akan

merasa sangat terbantu karena keluarga merupakan kelompok prioritas

utama dihidupnya (Friedman, Bowden dan Jones 2010, 446).

5. Fungsi Pendukung Keluarga

Terdapat beberapa fungsi pendukung, pertama dukungan sosial

informasi, yaitu tentang bagaimana cara keluarga untuk mendapatkan

sebuah informasi dan menyampaikan informasi tersebut. Yang kedua,

dukungan penilaian yang meliputi keluarga sebagai pihak yang membantu

menyelesaikan masalah serta sebagai pembimbing. Ketiga, dukungan

instrumental, keluarga sebagai sumber bantuan yang jelas ada. Yang

terakhir, dukungan emosional, keluarga membantu mengatur emosional

klien yang tertimpa masalah, agar emosi dapat stabil kembali (Caplan,

1976) dalam (Friedman, Bowden dan Jones 2010, 446).

C. Psikoedukasi Keluarga

1. Definisi Psikoedukasi

Psikoedukasi atau pendidikan psikologi (dalam bahasa Inggris :

Psycho-education) adalah suatu hal atau gerakan penting yang dilakukan


22

di lingkungan psikologi konseling. Aktivitas yang dilakukan dapat berupa

layanan konseling, diskusi, dan pendidikan yang diberikan pada seorang

individu, maupun kelompok (Supratiknya 2008, 37).

2. Alasan Berkembangnya Psikoedukasi

Terdapat beberapa alasan yang mendasari mengapa psikoedukasi

ini berkembang, yang pertama adalah pentingnya kebutuhan layanan

psikologis bagi masyarakat khususnya individual, namun tidak tersedia

layanan konseling yang memadai, dan masih jarang sekali ditemukan

psikoedukasi atau pendidikan psikologi di negara-negara, termasuk negara

maju. Padahal psikoedukasi ini sangat penting bagi masyarakat khususnya

individu dalam mengatasi masalah yang muncul sehari-hari, serta untuk

melewati tantangan yang harus dihadapi. Kedua, adanya ketidakadilan

yang dilakukan oleh para konselor dikarenakan hanya memberikan

pendidikan psikologi atau psikoedukasi pada masyarakat dengan status

ekonomi menengah keatas. Hal ini menunjukkan bahwa psikoedukasi

tidak dilakukan secara merata. Harusnya semua lapisan masyarakat turut

ikut mendapatkan layanan psikologis tersebut karena penting baginya.

Yang ketiga, lewat psikoedukasi inilah psikolog dan konselor dapat

menyampaikan layanan preventif. Layanan preventif ini adalah berisi

tentang pencegahan terhadap suatu masalah, misalnya penyakit. Layanan

preventif efektif diberikan melalui psikoedukasi karena dapat membantu

masyarakat untuk tetap waspada untuk menghadapi berbagai macam

masalah yang muncul tiba-tiba. Dan keempat yaitu akuntabilitas, yang


23

artinya psikolog dan konselor harus bekerja aktif dalam melakukan

psikoedukasi khususnya untuk upaya preventif. Upaya preventif ini pun

harus dilaksanakan di semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Hal ini

dilakukan agar psikoedukasi yang disampaikan dapat bermanfaat serta

lebih membantu masyarakat untuk menghadapi dan menyelesaikan

masalahnya (Supratiknya 2008, 38-39).

3. Makna dan Cakupan Psikoedukasi

Psikoedukasi dalam lingkungan psikologi dan konseling memiliki

beberapa makna yang harus dipahami. Makna dari psikoedukasi sendiri

yang pertama adalah melatih seseorang untuk mengetahui dan mempelajari

kemampuan dirinya, salah satu contohnya yaitu kemampuan dalam

menyelesaikan masalah. Kedua, psikoedukasi sebagai pendekatan dalam

pembelajaran dan cara mengaplikasikan pembelajaran tersebut sebagai

pengalaman. Kemudian yang ketiga, psikoedukasi sebagai pendidikan

yang bertujuan untuk mengaktualisasi diri seseorang melalui pembelajaran

yang telah diterima. Keempat, melatih seseorang untuk menjadi tenaga

paraprofesional sebagai pemberi layanan psikoedukasi, dikarenakan

kurangnya konselor dan psikolog serta luasnya cakupan pelayanan

psikoedukasi. Yang kelima, psikoedukasi sebagai serangkaian kegiatan

diantaranya untuk melatih suatu life skills seseorang, dan pemberian

informasi psikologis untuk menyelesaikan sebuah masalah pada individu

ataupun kelompok. Yang terakhir, psikoedukasi diartikan sebagai suatu

tindakan pemberian pendidikan psikologis, untuk mengatasi aneka


24

problem kehidupan, dan sesuatu yang mempengaruhi seseorang untuk

mengambil keputusan maupun tindakan (Supratiknya 2008, 39-43).

D. Media Audio Visual

1. Pengertian Media

Dari bahasa Latin, media diterjemahkan sebagai perantara atau

pengantar, yang termasuk dalam perangkat lunak dan keras, dan hasil dari

media tersebut dapat dilihat, dan didengar (Arsyad, 2015) dalam (Pertiwi

2016).

2. Jenis-jenis Media

Ada empat jenis media yang sering digunakan, antara lain

teknologi cetak, teknologi audio visual, teknologi berbasis komputer, dan

teknologi gabungan. Teknologi cetak meliputi sesuatu yang dihasilkan

melalui proses cetak, contohnya buku, leaflet, dan poster. Teknologi audio

visual, adalah cara yang digunakan untuk menyampaikan pesan

menggunakan alat elektronik yang menampilkan visual dan audio, seperti

film. Sedangkan teknologi komputer, merupakan cara penyampaian pesan

dengan menggunakan dasar mikro prosesor. Kemudian teknologi

gabungan, merupakan gabungan dari beberapa media yang pusatnya

dioperasikan oleh komputer (Purwono 2014, 130).

3. Pengertian Teknologi dan Media Audio Visual

Teknologi audio visual adalah teknologi yang menggunakan mesin

atau perangkat, yang digunakan untuk penyampaian suatu informasi

berupa gambar (visual) dan suara (audio) (Arsyad 2015) dalam (Pertiwi,
25

2016). Sedangkan menurut Susilana (2009) dalam (Pertiwi, 2016), media

audio visual adalah media yang digunakan untuk menyampaikan sebuah

pesan dalam bentuk visual dan audio, salah satunya : film, yang dapat

diterima oleh indera penglihatan dan pendengaran. Pertiwi (2016),

menyatakan bila media audio visual dapat membantu dalam penyampaian

informasi yang efektif, dapat meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan karena dengan mudah ditangkap langsung oleh indera

penglihatan dan pendengaran,

4. Kelebihan dan Kekurangan Media Audio Visual

Media audio visual memiliki kelebihan dan kekurangan yang harus

diketahui. Kelebihan dari audio visual ini antara lain dapat memperjelas

informasi yang disampaikan dari pemberi ke penerima pesan, karena

adanya penggambaran melalui audio visual yang ditampilkan. Pesan yang

disampaikan juga bersifat lebih nyata (realistis), sehingga mempermudah

pemahaman penerima pesan. Sedangkan kekurangan dari media audio

visual ini dapat dilihat dari segi tenaga dan biaya yang harus dikeluarkan,

persiapan tempat dan operator yang mengoperasikannya (Susilana, 2009)

dalam (Pertiwi, 2016).


26

E. Kerangka Teori

Keluarga Penderita
TBC Paru

Psikoedukasi

Media Audio Visual : Video Motivasi 1. Media Cetak


tentang Pentingnya Dukungan 2. Media Komputer
Keluarga pada Penderita TBC Paru 3. Media Gabungan

1. Motivasi Dukungan keluarga


2. Kebutuhan Nutrisi  Dukungan informasi
3. Pengawas Minum  Dukungan penilaian
Obat (PMO)  Dukungan instrumental
 Dukungan emosional

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Keterangan :

: Tidak diteliti

: Diteliti
27

F. Kerangka Konsep

Kerangka konsep berisikan tentang hubungan variabel-variabel

yang akan diteliti, didasari pada teori yang telah ada. Kerangka konsep

bertujuan untuk menunjukkan arahan dalam suatu penelitian, serta dijadikan

bimbingan untuk melakukan analisa (Shi, 2008) dalam (Swarjana 2015, 37).

Kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

Psikoedukasi Media Audio Visual


Keluarga Penderita
Keluarga : Video Motivasi
TBC Paru
tentang Pentingnya
Variabel Independen Dukungan Keluarga
pada Penderita TBC Dukungan keluarga
Paru
Variabel Dependen

Bagan 2.2 Kerangka Konsep

G. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari rurmusan masalah

penelitian, dan perlu diuji dahulu kebenarannya. Dalam menetapkan

hipotesis, peneliti harus benar-benar memahami teori dari penelitian yang

akan dilakukan (Swarjana 2015, 40). Hipotesis dari penelitian ini adalah

sebagai berikut.

1. Ha : “Ada pengaruh psikoedukasi keluarga dengan media audio visual

terhadap dukungan keluarga dalam merawat penderita TBC”.

2. Ho : “Tidak ada pengaruh psikoedukasi keluarga dengan media audio

visual terhadap dukungan keluarga dalam merawat penderita TBC”.

Anda mungkin juga menyukai