Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Paritas
1. Pengertian
Paritas adalah keadaan melahirkan anak baik hidup ataupun mati,
tetapi bukan aborsi, tanpa melihat jumlah anaknya. Dengan demikian,
kelahiran kembar hanya dihitung sebagai satu kali paritas (Stedman,
2003).
Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh
seorang perempuan (BKKBN, 2006).
Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang
mampu hidup di luar rahim (28 minggu) (JHPIEGO,2008).
Jumlah paritas merupakan salah satu komponen dari status paritas
yang sering dituliskan dengan notasi G-P-Ab, dimana G menyatakan
jumlah kehamilan (gestasi), P menyatakan jumlah paritas, dan Ab
menyatakan jumlah abortus. Sebagai contoh, seorang perempuan
dengan status paritas G3P1Ab1, berarti perempuan tersebut telah
pernah mengandung sebanyak dua kali, dengan satu kali paritas dan
satu kali abortus, dan saat ini tengah mengandung untuk yang ketiga
kalinya (Stedman, 2003).
2. Klasifikasi Jumlah Paritas
Berdasarkan jumlahnya, maka paritas seorang perempuan dapat
dibedakan menjadi:
a. Nullipara
Nullipara adalah perempuan yang belum pernah melahirkan anak
sama sekali (Manuaba, 2009).
b. Primipara
Primipara adalah perempuan yang telah melahirkan seorang anak,
yang cukup besar untuk hidup didunia luar (Verney, 2006)

6
7

Primipara adalah perempuan yang telah pernah melahirkan


sebanyak satu kali (Manuaba, 2009).
c. Multipara
Multipara adalah perempuan yang telah melahirkan seorang anak
lebih dari satu kali (Prawirohardjo, 2005)

Multipara adalah perempuan yang telah melahirkan dua hingga


empat kali (Manuaba, 2009)
d. Grandemultipara
Grandemultipara adalah perempuan yang telah melahirkan 5 orang
anak atau lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan
dan persalinan (Manuaba, 2009)
Grandemultipara adalah perempuan yang telah melahirkan lebih
dari lima kali (Verney, 2006)
Grandemultipara adalah perempuan yang telah melahirkan bayi 6
kali atau lebih, hidup atau mati (Rustam, 2005).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi paritas menurut Friedman adalah

a. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang
terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita
tertentu. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka makin
mudah dalam memperoleh menerima informasi, sehingga
kemampuan ibu dalam berpikir lebih rasional. Ibu yang mempunyai
pendidikan tinggi akan lebih berpikir rasional bahwa jumlah anak
yang ideal adalah 2 orang.
b. Pekerjaan
Pekerjaan adalah serangkaian tugas atau kegiatan yang harus
dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan jabatan atau profesi
masing-masing. Beberapa segi positif menurut (Jacinta F. Rini,2002)
8

adalah mendukung ekonomi rumah tangga. Pekerjaan jembatan


untuk memperoleh uang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup
dan untuk mendapatkan kualitas hidup yang baik untuk keluarga
dalam hal gizi, pendidikan, tempat tinggal, sandang, liburan dan
hiburan serta fasilitas pelayanan kesehatan yang diinginkan. Banyak
anggapan bahwa status pekerjaan seseorang yang tinggi, maka boleh
mempunyai anak banyak karena mampu dalam memenuhi kebutuhan
hidup sehari-sehari.
c. Keadaan ekonomi
Kondisi ekonomi keluarga yang tinggi mendorong ibu untuk
mempunyai anak lebih karena keluarga merasa mampu dalam
memenuhi kebutuhan hidup.
d. Latar Belakang Budaya
Cultur universal adalah unsur-unsur kebudayaan yang
bersifat universal, semua kebudayaan di dunia, seperti pengetahuan
bahasa dan khasanah dasar, cara pergaulan sosial, adat-istiadat,
penilaian-penilaian umum. Tanpa disadari, kebudayaan telah
menanamkan garis pengaruh sikap terhadap berbagai masalah.
Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya,
karena kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman
individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat
asuhannya. Hanya kepercayaan individu yang telah mapan dan
kuatlah yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam
pembentukan sikap individual.
Latar belakang budaya yang mempengaruhi paritas antara
lain adanya anggapan bahwa semakin banyak jumlah anak, maka
semakin banyak rejeki.
e. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan domain dari perilaku. Semakin
tinggi tingkat pengetahuan seseorang, maka perilaku akan lebih
bersifat langgeng. Dengan kata lain ibu yang tahu dan paham tentang
9

jumlah anak yang ideal, maka ibu akan berperilaku sesuai dengan
apa yang ia ketahui (Friedman, 2005).

(Digilib.unimus.ac.id)

B. Menopause
1. Pengertian
Menopause merupakan fase terakhir, dimana perdarahan haid pada
perempuan berhenti sama sekali (Yatim, 2001).
Menopause suatu masa peralihan dalam kehidupan perempuan,
dimana ovarium (indung telur) berhenti menghasilkan sel telur, aktivitas
menstruasi berkurang dan akhirnya berhenti dan pembentukan hormon
perempuan (estrogen dan progesteron) berkurang (Medicastore, 2004)
Menopause adalah masa dimana terjadinya penghentian menstruasi
secara permanen akibat hilangnya aktivitas ovarium (Speroff, 2005).
Seorang perempuan dikatakan mengalami menopause jika telah
mengalami amenorrhea (tidak menstruasi) selama sekurang-kurangnya
satu tahun (Sastrawinata, 2005).
Menopause merupakan hal yang fisiologis bagi seorang perempuan
dalam perjalanan hidupnya. Kurun waktu 4-5 tahun sebelum menopause
disebut masa premenopause, sedangkan kurun waktu 3-5 tahun setelah
menopause dikenal sebagai masa pascamenopause. Masa premenopause,
menopause dan pascamenopause dikenal sebagai masa klimakterium.
Kata klimakterium sendiri diambil dari bahasa Yunani yang artinya
tangga dan merupakan masa peralihan antara masa reproduksi dan masa
senium. Di masa senium, yaitu masa sesudah pascamenopause, seorang
perempuan telah mencapai keseimbangan baru dalam kehidupannya
sehingga tidak ada lagi gangguan vegetatif maupun psikis (Jacoeb, 2005).
2. Klasifikasi Menopause
Berdasarkan proses terjadinya, menopause dibedakan menjadi
menopause alamiah (natural) dan menopause buatan (artifisial).
Menopause buatan adalah menopause yang terjadi sebagai akibat
prosedur medis seperti pembedahan atau penyinaran. Menopause yang
10

terjadi akibat oophorektomi atau pengangkatan ovarium kadang-kadang


dilakukan karena penyakit ovarium, akan tetapi lebih sering dilakukan
pada histerektomi yang dilakukan karena suatu sebab dan ovarium
sekaligus diangkat sebagai tindakan preventif (Jacoeb, 2005).

Selain berdasarkan proses terjadinya, menopause juga dibedakan


berdasarkan usia. Usia menopause didefinisikan sebagai usia saat seorang
perempuan memasuki masa menopausenya. Usia menopause perempuan
di berbagai belahan dunia cenderung berbeda-beda, karena kondisi
hormonal perempuan sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan ras.
Rata-rata usia menopause juga cenderung berubah dari waktu ke waktu
akibat berbagai faktor lain yang mempengaruhinya. (Sastrawinata, 2005)
Kelainan jadwal menopause dapat mencakup menopause yang
terjadi terlalu dini (menopause prematur) maupun menopause yang
terlambat.
a. Menopause prematur
Menopause yang terjadi sebelum usia 40 tahun disebut sebagai
menopause prematur. Diagnosis menopause prematur dibuat jika
terjadi henti haid selama satu tahun disertai dengan gejala panas
pada wajah (hot flush) serta meningkatnya kadar hormon
gonadotrophin (GnRH) dalam darah. Apabila kedua gejala yang
terakhir ini tidak dijumpai, perlu dilakukan penyelidikan terhadap
sebab-sebab lain dari terganggunya fungsi ovarium. Prevalensi
menopause prematur di dunia adalah sekitar 1% dan lebih lazim
disebut sebagai kegagalan ovarium prematur (premature ovarian
failure) (Shifren, 2007).
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan menopause prematur
diantaranya herediter, gangguan gizi yang cukup berat, penyakit-
penyakit autoimun dan penyakit-penyakit yang merusak jaringan
kedua ovarium (Sastrawinata, 2005).
11

b. Menopause terlambat
Batas terjadinya menopause umumnya adalah 52 tahun.
Perempuan yang masih mendapatkan haid di atas umur 52 tahun
dapat dikatakan mengalami menopause terlambat, dan hal ini
merupakan indikasi untuk penyelidikan lebih lanjut. Beberapa hal
yang dapat menyebabkan menopause terlambat adalah idiopatik,
fibromioma uteri maupun tumor ovarium. Menurut (Shifren,
2007).Perempuan dengan karsinoma endometrium seringkali
mengalami menopause terlambat.

3. Fisiologi Menopause
Masa reproduksi dimulai ketika terjadinya siklus haid ovulatorik
dengan pematangan folikel, ovulasi dan pembentukan korpus luteum.
Masa ini akan berakhir dengan hilangnya fungsi generatif dari ovarium.
Menurut (Speroff, 2005) menyatakan bahwa menopause terjadi saat
jumlah folikel yang tersisa telah berada di bawah ambang kritis
persediaan folikel, yaitu sekitar 1000 folikel, tanpa mempermasalahkan
usia perempuan tersebut. Selama masa reproduksi seorang perempuan,
dijumpai sekitar 400 folikel saja yang mengalami ovulasi, sedangkan
selebihnya, yaitu sekitar 99,8% dari total simpanan folikel sejak masa
intrauterin akan mengalami atresia pada tahap-tahap tertentu
perkembangannya (Sherwood, 2001; Speroff, 2005).
Menjelang berhentinya haid pada masa menopause, telah terjadi
berbagai perubahan struktural pada ovarium seorang perempuan, seperti
proses sklerosis pembuluh darah dan atresia aparatus folikular terutama
sel granulosa folikel. Penurunan fungsi ovarium ini menyebabkan
berkurangnya kemampuan ovarium untuk merespon rangsangan hormon
hipofisis FSH dan LH (Luteinizing Hormone). Akibatnya terjadi
penurunan produksi estrogen dari ovarium akibat kegagalan fungsi
korpus luteum. Terlebih lagi, karena sel granulosa folikel telah
mengalami degenerasi, maka produk sekretoriknya, inhibin, juga akan
12

menurun kadarnya dalam darah, padahal estrogen dan inhibin, keduanya


memegang peranan penting dalam mekanisme umpan balik aksis
hipotalamus-hipofisis-ovarium (HPO) pada siklus menstruasi seorang
perempuan (Jacoeb, 2005).
Karena aksis HPO ini tetap intak selama masa transisi menopause,
penurunan kadar estrogen dan inhibin menyebabkan umpan balik negatif
(negative feedback) yang ditujukan dari ovarium ke hipofisis menjadi
tidak adekuat. Akibatnya, kadar hormon FSH dan LH akan meningkat
tinggi dalam darah. Dari kedua hormon tersebut, ternyata yang paling
mencolok peningkatannya adalah FSH yang dapat meningkat hingga 20
kali lipat kadar biasanya (>20 IU/L). Hal ini dikarenakan cepatnya laju
bersihan (clearence) LH dari darah, yaitu sekitar 12-15 kali lebih cepat
dibandingkan FSH. Oleh karena itu, peningkatan kadar FSH merupakan
petunjuk hormonal yang paling baik untuk mendiagnosis sindrom
klimakterium. Kadar hormon FSH ini akan terus meninggi sampai
memasuki masa senium dimana mulai terjadinya guan siklus menstruasi
(Shifren, 2007; Speroff, 2005).

Perubahan yang paling mencolok pada masa menopause adalah


perubahan kadar hormon estrogen dalam darah. Karena selama masa
reproduksi seorang perempuan, folikel menjadi sumber utama produksi
hormon estrogen dan progesteron, maka perubahan struktural dan
fungsional dari folikel-folikel yang tersisa di ovarium pada masa
menopause menyebabkan kadar hormon estradiol menurun drastis. Tanpa
sumber estrogen folikular ini, maka produksi estrogen pada perempuan
menopause hanya mengandalkan sumber estrogen yang dihasilkan oleh
stroma ovarium yang distimulasi oleh FSH dan LH, menghasilkan
produk estrogen berupa estrone. Sumber lain yang juga menopang
produksi estrogen setelah menopause adalah produksi androstenadione
dari kelenjar adrenal yang kemudian akan mengalami aromatisasi di
sirkulasi perifer sehingga menghasilkan estrogen yang juga tersedia
13

dalam bentuk estrone. Estrogen yang dihasilkan oleh sumber lain selain
dari folikel ini disebut sebagai estrogen non-folikular (Curran, 2009)

4. Rata-rata usia menopause


Hasil studi retropspektif dan cross-sectional diketahui bahwa rata-
rata seorang perempuan memasuki masa menopause pada perempuan
Eropa (ras Kaukasia) adalah umur 47, 49-50,2 tahun, ras Negro umur
49,31 tahun, ras Malanesia umur 47,3 tahun sedangkan, ras Asia umur 44
tahun (Yatim, 2001).

5. Gejala Menopause
Kebanyakan gejala-gejala yang timbul pada masa perimenopause
dapat dijelaskan patofisiologinya dengan memamahami konsep
perubahan kadar hormon-hormon seks dalam tubuh perempuan.
Kumpulan gejala-gejala menopause yang dikenal sebagai sindrome
klimakterik ini dapat berlangsung selama masa perimenopause hingga 5-
10 tahun setelah menopause. Beberapa gejala-gejala menopause yang
sering dijumpai pada seorang perempuan diantaranya adalah gejala
vasomotor.
Gejala vasomotor atau yang lebih dikenal dengan hot flush adalah
perasaan hangat atau panas yang dirasakan mulai dari regio umbilikus
dan menyebar ke arah kranial yang diikuti oleh produksi keringat yang
sangat banyak di daerah leher dan kepala. Gejala vasomotor ini
merupakan keluhan yang paling sering dijumpai pada perempuan
menopause dan dilaporkan bahwa 75% perempuan yang memasuki usia
menopause pernah merasakannya (Curran, 2009).
Secara umum diketahui efek dari berkurangnya produksi estrogen
secara mendadak (estrogen withdrawal) dapat menginduksi peningkatan
aktivitas serotonin, dopamin dan norepinephrine di hipotalamus sehingga
mencetuskan kenaikan set point suhu tubuh. Peningkatan suhu sentral ini
akan diikuti oleh peningkatan laju metabolisme yang menyebabkan
14

vasodilatasi pembuluh darah perifer sehingga menghasilkan gejala panas


dan berkeringat (Shifren, 2007).
Gejala vasomotor ini seringkali tidak hanya mengganggu aktivitas
sehari-hari, tetapi juga dapat menimbulkan gangguan tidur seperti
insomnia. Akibatnya, banyak perempuan mengeluhkan emosi yang labil
sebagai dampak lebih lanjut dari gejala vasomotor ini (Shifren, 2007).
Selain gejala vasomotor dan insomnia, gejala-gejala lain yang sering
dikeluhkan perempuan pada masa perimenopause ini diantaranya sakit
kepala ringan, peningkatan berat badan, palpitasi, vertigo, serta perasaan
penuh pada perut (Curran, 2009)
Di samping gejala-gejala tersebut, dijumpai pula perubahan
morfologis dari dinding vagina. Seiring dengan penurunan kadar
estrogen, dinding vagina tampak lebih merah dikarenakan penipisan
epitel vagina sedemikian sehingga kapiler-kapiler kecil di permukaan
vagina menjadi semakin jelas terlihat. Semakin banyak epitel vagina
yang mengalami atrofi, lama kelamaan dinding vagina justru tampak
semakin pucat akibat berkurangnya vaskularisasi di daerah tersebut.
Dijumpai pula keadaan penurunan pH urine yang memudahkan
perubahan flora normal sehingga menghasilkan gejala pruritus dan lendir
yang berbau (Curran, 2009).

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Usia Menopause


Seiring dengan perubahan usia menopause perempuan zaman
sekarang yang cenderung semakin cepat, banyak penelitian yang gencar
dilaksanakan guna mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
usia menopause seorang perempuan. Beberapa faktor-faktor tersebut
diantaranya:
a. Pengaruh ras dan genetik
Sebuah studi epidemiologi yang meneliti usia menopause pada
sampel multietnik menemukan fakta bahwa usia menopause
cenderung lebih cepat pada perempuan keturunan Jepang dan Latin
15

(Henderson, 2008). Studi lain menemukan adanya riwayat keluarga


pada ibu seorang perempuan yang mengalami menopause dini
(Biela, 2002).
Beberapa hasil penelitian telah berhasil mengidentifikasi gen
yang turut menentukan usia menopause seorang perempuan. Gen
tersebut dijumpai pada kromosom 9 quantitative-trait loci. Selain
itu, sebuah studi menemukan bahwa pada beberapa perempuan
dijumpai single nucleotide polymorphism (SNP) yang terletak pada
kromosom 19 dan 20 yang telah terbukti berkaitan dengan usia
menopause yang lebih awal (Stolk, 2009; Kok, 2005; Voorhuis,
2010).
b. Paritas
Sejak kelahiran seorang perempuan, folikel-folikel primordial
yang semula dorman akan terus menerus diaktivasi menjadi
persediaan folikel yang akan berkembang (growing follicle pool).
Proses ini dikenal sebagai initial recruitment. Saat seorang
perempuan memasuki masa pubertas, sejumlah folikel akan
diaktivasi dari follicle pool tersebut sebagai respon terhadap
kehadiran hormon FSH di tiap-tiap siklus reproduksi. Dari folikel-
folikel tersebut, hanya satu yang akan mengalami ovulasi,
sementara folikel lainnya mengalami atresia (Kevenaar, 2007).
Proses initial recruitment tersebut dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satunya adalah Anti-Mullerian Hormone (AMH) yang
reseptornya dijumpai di sel-sel granulosa yang menyelubungi
sebuah folikel. Dalam hal ini, AMH memegang peranan sebagai
inhibitor proses initial recruitment, sehingga ketiadaan AMH akan
membuat habisnya persediaan dalam follicle pool secara prematur
dan mencetuskan menopause yang terlalu dini (Kevenaar, 2007;
Hansen, 2008).
Menjelang berhentinya haid pada masa menopause, telah
terjadi berbagai perubahan struktural pada ovarium seorang
16

perempuan seiring dengan proses penuaan, seperti proses sklerosis


pembuluh darah dan atresia aparatus folikular terutama sel
granulosa folikel. Keseluruhan perubahan ini dikenal sebagai
ovarian ageing. Penurunan fungsi ovarium ini menyebabkan
berkurangnya kemampuan ovarium untuk merespon rangsangan
hormon hipofisis FSH dan LH, padahal kedua hormon inilah yang
sebenarnya menstimulasi proses ovulasi seorang perempuan.
Penurunan sensitivitas folikel terhadap hormon FSH dan LH ini
pada akhirnya akan membuat lebih banyak lagi folikel yang
mengalami atresia dengan lebih cepat sehingga mencetuskan
keadaan menopause (Broekmans, 2009; Wu, 2005).
Sebuah studi hewan coba menemukan bahwa AMH tidak
hanya menginhibisi proses initial recruitment, tetapi juga
meningkatkan sensitivitas folikel terhadap kehadiran hormon FSH
di jaringan ovarium mencit. Jika diasumsikan hal yang sama juga
dijumpai pada manusia, maka kehadiran hormon AMH akan
memperlambat usia menopause seorang perempuan.
Berkaitan dengan hal tersebut, sebuah penelitian menemukan
bahwa pengaruh paritas terhadap usia menopause dikendalikan
oleh reseptor hormon AMH yang dikenal sebagai AMHR2 – 482
A>G polymorphism. Seiring dengan perubahan hormonal
menjelang paritas, kadar progesterone yang sangat tinggi terbukti
meningkatkan ekspresi reseptor AMH tersebut di jaringan. Terlebih
lagi, tingginya kadar prolaktin juga mempotensiasi efek up
regulation reseptor AMHR2 tersebut (Kevenaar, 2007).
Tingginya jumlah reseptor AMH ini pada akhirnya akan
memperkuat efek inhibisi proses initial recruitment dari folikel
primordial sehingga memperlambat kejadian menopause. Karena
paritas akan menstimulasi proses up regulation tersebut, maka
peningkatan jumlah paritas juga akan memperlambat usia
menopause.
17

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan teori


tersebut. Sebuah studi yang membandingkan usia menopause pada
nullipara dengan multipara menemukan perempuan nullipara
berpotensi mengalami menopause 16 bulan lebih cepat (p < 0,10)
dibandingkan dengan multipara (Bromberger, 1997). Menguatkan
hasil penelitian tersebut, sebuah studi kohort menyatakan bahwa
perbedaan usia menopause yang terjadi antara nullipara dengan
multipara berkisar 0,4 – 4,8 tahun lebih cepat (p = 0,005) untuk
perempuan nullipara (Kevenaar, 2007).
Dalam sebuah penelitian lintas negara, Thomas (2001)
menyatakan bahwa besarnya angka korelasi antara jumlah paritas
dengan usia menopause adalah 0,664 (p = 0,0054). Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa korelasi ini ternyata menunjukkan
hubungan yang sinergis dimana jumlah paritas yang semakin
banyak berkaitan dengan usia menopause yang juga semakin lama
(Gold, 2001).
Sebuah penelitian cross sectional yang dilakukan pada
perempuan ras Chuvasian di Amerika Utara menemukan bahwa
hubungan ini tidak cukup signifikan (Kalichman, 2007). Oleh
karena itu, masih diperlukan studi lanjutan untuk menguji
hubungan antara jumlah paritas dengan usia menopause.

c. Indeks Massa Tubuh (IMT)


Hasil studi menunjukkan bahwa perempuan dengan nilai
indeks massa tubuh yang lebih rendah cenderung mengalami
menopause pada usia yang lebih cepat, dimana perempuan dengan
IMT yang rendah beresiko 0,6 kali lebih cepat untuk mengalami
menopause. Diasumsikan bahwa jaringan adiposa yang lebih
banyak pada perempuan obesitas memungkinkan proses
aromatisasi androgen yang lebih besar pula sehingga kadar
estrogen dalam darah cenderung lebih tinggi. Namun begitu,
18

mekanisme mengenai hubungan IMT dengan usia menopause


belum dapat dijelaskan secara pasti dikarenakan hasil penelitian
yang mengidentifikasi hubungan ini sering berbeda satu sama lain,
karena di sisi lain, obesitas juga dapat memicu inadekuasi fungsi
ovarium (Gold, 2001; Cooper, 2001).
d. Usia Menarche
Menurut Katharina D perempuan yang mendapatkan
menstruasi pada usia 16 atau 17 tahun akan mengalami menopause
lebih dini, sedangkan perempuan yang haid lebih dini sering
kaliakan mengalami menopause sampai pada usianya mencapai 50
tahun. Ada pola keluarga yang berlaku secara umum, bagu seluruh
keluarga dan sebaliknya (Reitz, 2003)
Ada hubungan anatara usia pertama kali mendapat haid dengan
usia seorang perempuan memasuki menopause. Semakin muda
seorang mengalami haid pertama kalinya, semakin tua atau ia
memasuki masa menopause (Kasdu, 2004).
e. Kebiasaan Merokok
Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu zat aktif dalam
rokok, yaitu polycyclic aromatic hydrocarbon telah terbukti
bersifat toksik terhadap folikel-folikel ovarium. Berbagai penelitian
menunjukan adanya hubungan dosis-respons (dose-response
relationship) dimana perokok berat mengalami usia menopause
yang jauh lebih cepat dibanding perokok ringan dan perempuan
yang tidak merokok. Secara umum, perempuan yang merokok
mengalami menopause sekitar dua tahun lebih awal dibandingkan
perempuan yang tidak merokok (Hardy, 2000).
f. Status Sosial Ekonomi Keluarga
Menopause dapat dipengaruhi oleh herediter, gangguan gizi
yang cukup berat, penyakit-penyakit menahun, dan penyakit-
penyakit yang merusak jaringan kedua ovarium. Ahli lain
menjelaskan bahwa keadaan sosial ekonomi mempengaruhi faktor
19

fisik, kesehatan dan pendidikan (Prawirohardjo, 2005). Apabila


faktor-faktor tersebut cukup baik maka akan dapat mengurangi
beban fisiologis dan psikologis (Pakasi, 2000).
Didapatkannya ada hubungan antara status keluarga dengan
usia terjadinya menopause, memberikan bukti bahwa status
keluarga secara kronologis dapat mempengaruhi terjadinya
menopause. Hal ini terjadi sebagai akibat dari kondisi keluarga
hubunganya dengan kemampuan untuk menyediakan baik dari segi
kualitas maupun kuantitas. Jika keluarga mampu menyediakan
makanan bergizi, maka asupan makanan akan tercukupi dari aspek
angka kecukupan gizi yang dibutuhkan tubuh. Sebaliknya jika
keluarga berada dalam prasejahtera, maka kemampuan unutk
menyediakan makanan secara memadai juga kurang sehingga
angka kecupakan gizi tidak terppenuhi yang akhirnya timbul
gangguan gizi dan akhirnya mempercepat terjadinya menopause
(Cahyowati dkk,2010)
g. Usia melahirkan
Semakin tua seseorang melahirkan anak, semakin tua ia
mulai memasuki usia menopause. Penelitian yang dilakukan Beth
Israel Decones Medical Center in Boston mengungkapkan bahwa
perempuan yang masih melahirkan diatas usia 40 tahun mengalami
usia menopause yang lebih tua. Hal ini terjadi karena kehamilan
dan persalinan akan memperlambat sistem kerja organ reproduksi
bahkan memperlambat proses penuaan tubuh. (Kasdu, 2004)
h. Pemakaian Kontrasepsi Hormonal
Pemakaian kontrasepsi khususnya pemakaian kontrasepsi
hormonal. Perempuan yang menggunakannya lama akan memasuki
masa menopause yang lebih lama/lebih tua. Hal ini dikarenakan
cara kerja kontrasepsi hormonal adalah menekan fungi indung telur
untuk tidak memproduksi sel telur (Kasdu, 2004).
20

i. Aktivitas
Dengan olahraga semua enzim dan hormone akan aktif
secara teratur, bila hormone dan enzim aktif maka aktifitas dalam
tubuh akan tidak terganggu termasuk organ – organ reproduksi
yang berperan penting terhadap proses keseimbangan hormon
estrogen dan progesterone serta mempengaruhi usia menopause
(Kasdu,2004).
j. Penyakit Kronis
Hormon estrogen dan progesteron mempengaruhi bagaimana sel –
sel tubuh merespon insulin. Setelah menopause, perubahan tingkat
hormon tubuh dapat memicu fluktuasi dalam kadar gula darah. Hal
ini menyebabkan kadar gula darah lebih sulit diprediksi
dibandingkan pada masa sebelum menopause. Jika kadar gula
darah tidak terkontrol maka memiliki resiko komplikasi diabetes
yang lebih tinggi (Kasdu,2004).
7. Penyakit-Penyakit yang Berkaitan dengan Menopause
Seperti telah lama diketahui, hormon estrogen tidak hanya
memegang peranan penting dalam siklus reproduksi seorang
perempuan, tetapi juga memiliki keterkaitan dengan berbagai jenis
penyakit, diantaranya:
a. Osteoporosis
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai
oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan
mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah
patah. Secara umum, osteoporosis dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu osteoporosis tipe 1 dan osteoporosis tipe 2. Osteoporosis tipe
1 disebut juga sebagai osteoporosis pascamenopause yang tidak
diketahui penyebabnya, sedangkan osteoporosis tipe 2 disebut
sebagai osteoporosis senilis, yang penyebabnya bekaitan dengan
gangguan absorpsi kalsium di usus.
21

Dalam kaitannya dengan menopause, estrogen merupakan


regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang yang sangat
penting, dimana sel-sel tulang seperti osteoblast, osteoklast dan
osteosit sama-sama mengekspresikan reseptor estrogen (ER).
Hormon estrogen berperan dalam menurunkan produksi berbagai
sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel mononuklear,
seperti IL-1, IL-6, dan TNFα yang berperan meningkatkan kerja
osteoklast. Dengan demikian, penurunan kadar estrogen akibat
menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut
sehingga aktivitas osteoklast meningkat (Curran, 2009).
Selain terkait dengan aktivitas osteoklast, menopause juga
akan menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan
ekskresi kalsium di ginjal. Di samping itu, menopause juga
menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa 1, 25 (OH)2
D yang sangat penting dalam regulasi kadar kalsium tubuh. Pada
akhirnya, kesemua keadaan ini akan mengakibatkan penurunan
signifikan densitas massa tulang dan mencetuskan osteoporosis.
Interpretasi lebih lanjut dari keadaan ini berarti usia menopause
yang lebih cepat memungkinkan seorang perempuan memiliki
resiko fraktur yang jauh lebih besar pula (Setiyohadi, 2006).
b. Penyakit Jantung Koroner
Sebelum memasuki usia menopause, resiko seorang
perempuan mengalami penyakit jantung koroner (PJK) adalah
sepuluh tahun lebih lambat dibandingkan pria. Namun, begitu
memasuki masa menopause, perempuan cenderung memiliki resiko
PJK yang sama besar dengan pria. Akibatnya, angka kematian
perempuan pascamenopause yang diakibatkan oleh PJK terus
meningkat seiring bertambahnya usia (Curran, 2009).
Hal ini dapat dijelaskan dengan memahami kembali efek
protektif yang dimiliki estrogen dalam mencegah penyakit-penyakit
kardiovaskular. Estrogen telah terbukti dapat menurunkan kadar
22

low-density lipoprotein (LDL) dan meningkatkan kadar high-


density lipoprotein (HDL). Dengan demikian, penurunan kadar
estrogen pada perempuan menopause akan mengubah kadar kedua
jenis kolesterol tersebut sehingga meningkatkan resiko terjadinya
plak atherosklerosis pada tunika intima arteri yang berujung pada
penyakit jantung koroner (Curran, 2009).
Dengan demikian, menopause yang lebih dini pada seorang
perempuan akan membuat perempuan tersebut beresiko jauh lebih
besar untuk mengalami mortalitas akibat penyakit jantung koroner
(Estiaghi, 2010).
c. Alzheimer
Alzheimer merupakan penyebab tersering dari kejadian
demensia pada usia lanjut yang ditandai dengan penurunan
kemampuan memori (daya ingat) dan fungsi luhur lainnya. Sediaan
histopatologis dari preparat pasien yang mengalami demensia
menunjukkan adanya neurofibrilatory tangles dan akumulasi beta
amyloid yang diduga mencetuskan kejadian demensia ini. Terkait
dengan hal ini, estrogen memiliki efek memperlambat proses
degenerasi sel-sel neuron di otak dengan mengurangi radikal bebas
sehingga menjadi salah satu faktor protektif terhadap Alzheimer
(Curran, 2009).
Dengan kata lain, percepatan usia menopause pada seorang
perempuan akan menjadikannya lebih rentan mengalami
Alzheimer.
d. Kanker Payudara
Telah banyak hasil penelitian yang menunjukkan adanya
hubungan antara usia menopause dengan kejadian kanker payudara.
Berbeda dengan penyakit-penyakit yang telah dipaparkan di atas,
estrogen justru cenderung menjadi faktor resiko tersendiri pada
penyakit kanker payudara, dimana perempuan dengan menopause
yang lebih lama memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami
23

kanker payudara. Suatu hasil penelitian menunjukan bahwa


perempuan yang mengalami menopause di atas usia 55 tahun
memiliki resiko dua kali lebih besar untuk menderita kanker
payudara dibandingkan mereka yang mengalami menopause di
bawah umur 45 tahun. Besarnya resiko akan semakin meningkat
jika perempuan tersebut menjalani terapi sulih hormon (hormone
replacement therapy) setelah memasuki masa menopausenya
(Curran, 2009).
Mekanisme yang dapat menjelaskan keadaan ini adalah usia
menarche yang lebih cepat dan usia menopause yang lebih lambat
akan membuat perempuan terpapar jauh lebih lama dengan kadar
estrogen yang sangat tinggi yang dapat menstimulasi proliferasi
jaringan payudara sehingga akhirnya mencetuskan kanker
payudara.
Sungguhpun demikian, perlu dipahami kembali bahwa kanker
payudara adalah suatu penyakit multifaktorial yang tidak hanya
ditentukan semata-mata oleh usia menopause, tetapi juga oleh
banyak faktor lain seperti pengaruh genetik dan paparan dengan zat
karsinogenik.
24

C. Kerangka Teori

Pengaruh ras
dan genetik

Paritas

Indeks Massa
Tubuh
Usia
Menarche Usia Menopause

Kebiasaan
merokok

Status sosial
ekonomi
keluarga

Usia
Melahirkan

Kontrasepsi
Hormonal

Penyakit
Kronis

Aktifitas

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Kasdu (2002) Hardy (2000) dan Prawirohardjo
(2005)
25

D. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnyas adalah kerangka hubungan

antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-

penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2005).

Dari hasil rumusan masalah dengan tinjauan pustaka dapat

dikembangkan kerangka konsep sebagai berikut :

Variable dependent Variable independent

Paritas Menopause

Gambar 2.2 Kerangka konsep


E. Variabel penelitian
a. Variabel bebas : Paritas
b. Variabel terikat : Usia menopause
F. Hipotesa
Ha : Ada Hubungan Paritas dengan Usia menopause di Kelurahan
Susukan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang

Anda mungkin juga menyukai