Anda di halaman 1dari 26

RENSTRA (RENCANA STRATEGI)

PENANGANAN TUBERKULOSIS PARU


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kebijakan Kesehatan
Dosen Pengampu : Dr.Masrifan Djamil, M.Kes

Oleh
Aries Arslan Kamil P1337420819001
Galih Mahendra P1337420819006
Nur Afni Suid P1337420819008
Tri Nova A prianti P1337420819013

PRODI KEPERAWATAN MAGISTER TERAPAN KESEHATAN


POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2019

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,karena
dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya,penulis dapat menyelesaikan Makalah
ini.
Makalah dengan judul “RENSTRA (Rencana Strategi) Penanganan
Tuberkulosis Paru ” disusun untuk memenuhi kebijakan kesehatan magister
terapan keperawatan
Pada proses penyusunan makalah ini, berbagai upaya telah penulis
lakukan,namun tentu saja masih banyak terdapat kekurangan,oleh karena itu saran
dan masukan demi penyempurnaan makalah ini akan penulis terima dengan
tangan terbuka.Tak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih atas bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, khususnya kepada :
1. Marsum, BE, S. Pd.,MHP, selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes
Semarang.
2. Prof. Dr. Soeharyo Hadisaputro, Sp.PD – KPTI, FINASIM., selaku Ketua
Program Magister Terapan Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes
Semarang.
3. Mardiyono. BNS., MNS., Ph. D., selaku Ketua Program Studi Keperawatan
Magister Terapan Kesehatan
4. Dr. Masrifan Djamil. M. Kes., selaku dosen pengampu mata kuliah kebijakan
kesehatan
5. Orang tua tercinta yang senantiasa mendoakan dan memberi dorongan moral
dan semangat belajar.
6. Rekan-rekan seperjuangan di Magister Terapan Kesehatan
7. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Harapan penulis, makalah yang cukup singkat dan sederhana ini dapat
bermanfaat bagi para rekan-rekan dan dunia pendidikan pada umumnya.
Amin.
Semarang, …. Desember 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberculosis paru merupakan salah satu jenis penyakit tropis infeksi
yang menyerang paru dan disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis,
sampai saat ini tuberculosis diklaim sebagai salah satu penyakit yang sudah
menyerang sepertiga dari penduduk dunia (Wulandari, Nurjazuli & Adi, 2015).
Beberapa contoh tanda dan gejala yang diakibatkan oleh TB paru diantaranya
adalah batuk – batuk, sakit dada, nafas pendek, hilangnya nafsu makan, berat
badan turun, demam, kelelahan dan kedinginan (Rafflesia, 2014).
Menurut WHO (World Health Organization) dalam Rafflesia, (2014),
berdasarkan data tahun 2007 Indonesia menempati urutan ketiga dengan
jumlah penduduk yang terjangkit TB paru setelah negara India dan Cina.
Sementara itu, dalam tatanan nasional angka TB paru di Indonesia mencapai
0,42 % dari penduduk Indonesia atau sekitar 1.017.290 penduduk Indonesia
menderita TB paru. Jawa Barat mejadi provinsi dengan jumlah kasus
terbanyak, yaitu mencapai 186.809 dan disusul dengan provinsi Jawa Timur
dengan 151.878 kasus. Sementara itu kasus paling sedikit terjadi di provinsi
Kalimantan Utara dengan 2.733 kasus.
Meningkatnya angka TB Paru di lapangan juga didukung dan diperparah
oleh adanya meningkatnya penyakit HIV / AIDS di lapangan. Hal tersebut
menjadi salah satu factor yang memperbesar angka Tb Paru dilapangan karena
dengan adanya penyakit yang masalah imun tersebut daya tahan tubuh akan
melemah sehingga sangat sulit untuk sembuh karena imunitasnya sendiri
terganggu (Rafflesia, 2014)
Untuk mengatasi terjadinya persebaran dan meluasnya penyakit Tb Paru
maka perlu dilakukan pengendalian penyakit TB paru tersebut secara
berkualitas dan berkesinambungan. Oleh sebab itu perlu dilakukannya
penyusunan dokumen perencanaan program pengendalian TB Paru dalam
strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis. (Permenkes Nomor 565, 2011)
Berdasarkan latar belakang masalah diatas penulis tertarik untuk
mencoba menyusun rencana strategis dalam mengatasi masalah TB paru di
lapangan.
B. Landasan Hukum
Landasan hukum yang dipakai dalam penanganan TB diantaranya adalah
1. Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/ Menkes/ SK/
V/ 2009.
2. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 565/ Menkes/ PER/
III/ 2011 Tentang Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2011
– 2014.
3. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016
Tentang Penanggulangan Tuberkulosis
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mendeskripsikan rumusan rencana strategi nasional program pengendalian
tuberkulosis
2. Tujuan Khusus
a. Menciptakan strategi nasional program pengendalian tuberkulisis
b. Mendeskripsikan tantangan dan peluang pelayanan pelayanan kepada
penderita tuberkulosis
c. Mengidentifikasi permasalahan dalam pengendalian tubuerkulosis
d. Menciptakan visi, misi, tujuan, sasaran, strategi dan kebijakan program
pengendalian tuberkolusis
e. Menjelaskan Rencana Program Dan Kegiatan berdasarkan isu strategis,
visi, misi, tujuan, sasaran, strategi dan kebijakan yang telah dibuat
D. Sistematika Penulisan
Rencana Strategi penanganan TB ini disusun dalam sitematika sebagai
berikut :
1. BAB 1. PENDAHULUAN
Pada BAB ini berisi tentang Latar Belakang, Landasan Hukum,
Tujuan Penulisan, serta Sistematika penulisan.
2. BAB II. GAMBAR PELAYANAN KESEHATAN
Pada bab ini menjelaskan Tantangan dan Peluang Pengembangan
Pelayanan Sumber Daya.
3. BAB III. ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN
FUNGSI
Pada bab ini menjelaskan mengenai Identifikasi Permasalahan
Berdasarkan Tugas Dan Fungsi Pelayanan, Telaah Visi, Misi Dan Program
Kepada Negara Terpilih, Telaah Renstra Kementrian Kesehatan, Telaah
Renstra Kementrian Kesehatan.
4. BAB IV. VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, DAN KEBIJAKAN
Pada bab ini menjelaskan mengenai pernyataan Visi dan Misi,
Tujuan dan Sasaran, Strategi dan Kebijakan.
5. BAB V. RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN
Pada bab ini menjelaskan mengenai Rencana Program Dan Kegiatan,
Kelompok Sasaran, Sumber Pendanaan.
6. BAB VI. INDIKATOR KINERJA
Pada bab ini menjelaskan Indikator Kinerja.
7. BAB VII. PENUTUP
Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
GAMBARAN PELAYANAN KESEHATAN
A. Tantangan dan Peluang Pengembangan Pelayanan
Sistem Kesehatan Nasional menyatakan bahwa segala upaya dalam

pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk mencapai derajat

kesehatan yang lebih tinggi yang memungkinkan orang hidup lebih produktif

baik sosial maupun ekonomi. Dengan meningkatnya status social ekonomi,

pelayanan kesehatan masyarakat, perubahan gaya hidup, bertambahnya umur

harapan hidup, maka di Indonesia mengalami pergeseran pola penyakit dari

penyakit menular menjadi penyakit tidak menular, hal ini dikenal transisi

epidemiologi. Kecenderungan meningkatnya prevalensi penyakit menular salah

satunya adalah Tuberkulosis (TB) yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosis (Aluano, dkk., 2017).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 ditemukan

bahwa prevalensi TB Nasional dengan pemeriksaan BTA mikroskopis pagi-

sewaktu dengan dua slide BTA positif adalah 324/100.000 penduduk, dimana

Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan

tahun 2007 dan 2013 tidak berbeda (0,4%). Penduduk yang didiagnosis TB

oleh tenaga kesehatan, 44,4 persen diobati dengan obat program. Adapun

Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi penduduk indonesia yang didiagnosis

TB Paru meningkat menjadi (0,8%) (Riskesdas, 2018).

Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan

program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB

menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian


akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan

pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.

Angka penemuan kasus (Case Detection Rate = CDR) di Indonesia telah


mencapai 73% dari target yang ditetapkan yaitu target minimal sebesar 70%.
Meskipun pelaksanaan Program Pengendalian TB di tingkat nasional
menunjukkan perkembangan berarti dalam keberhasilan penemuan kasus dan
pengobatan, namun kinerja di tingkat provinsi menggambarkan kesenjangan
antar daerah. Dua puluh lima provinsi di Indonesia belum mencapai CDR 70%
dan hanya 7 provinsi yang mampu memenuhi target CDR 70% dan 85%
keberhasilan pengobatan (Kemenkes RI, 2011). Angka penjaringan suspek juga
mengalami penurunan sejak tahun 2007, sebesar 82/100.000 penduduk
dibandingkan dengan 2006, dan terus menurun pada tahun 2010 sebesar
7/100.000 penduduk bila dibandingkan dengan tahun 2009. (Depkes RI, 2010).
Di Indonesia, data mengenai penyakit TB dapat diperoleh dari: 1) Data
fasilitas (facility based) yaitu pencatatan di semua level administarasi, mulai
dari unit pelayanan kesehatan, kabupaten/kota, provinsi sampai dengan pusat
(Depkes) dan 2) Data dari masyarakat langsung (community based) yang biasa
diperoleh dari survei skala nasional seperti riset kesehatan dasar (Riskesdas).
Data laporan TB yang berasal dari fasilitas belum memuat data faktor-faktor
risiko TB, sehingga untuk menganalisis faktor risiko TB yang berhubungan
dengan kejadian TB paru di Indonesia, dibutuhkan data yang bersumber dari
hasil penelitian di masyarakat yang berskala nasional. Faktor yang
memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan
tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk),
faktor lingkungan yaitu ventilasi, kepadatan hunian, faktor perilaku, kesehatan
perumahan, lama kontak dan kosentrasi kuman. Sebagaimana tujuan jangka
panjang Penanggulangan Nasional TB adalah menurunkan angka kesakitan dan
angka kematian penyakit TB dengan cara memutuskan rantai penularan,
sehingga penyakit TB tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat
Indonesia. Maka kegiatan pencegahan menjadi sangat penting untuk
memutuskan mata rantai penularan dengan mengetahui faktor yang
memengaruhi penyakit TB.
Dalam menganalisis pengendalian TB tentunya banyak permasalahan
yang dihadapi. Misalnya, tingkat sosial ekonomi masyarakat yang, rendah
dimana masih ada rumah yang tidak sehat, kurangnya kesadaran untuk
memeriksakan diri bila sakit, dan pengetahuan masyarakat tentang TB masih
rendah. Serta permasalahan lainnya, seperti Program TB hanya mengandalkan
PCF (Passive Case Finding) untuk menjaring kasus, kurangnya informasi dan
pengetahuan para kader TB, petugas P2TB dan masyarakat mengenai TB,
sistem pendataan dan pelaporan masih belum terperinci.
Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah dan pihak yang terkait dengan
pegendalian dan pengelolaan program TB. Oleh sebab ini, maka melakukan
pengembangan pelayanan dalam pengendalian TB dengan menciptakan strategi
nasional program pengendalian TB dengan visi-visi menuju masyarakat bebas
masalah TB sehat, mandiri, dan berkeadilan untuk mencapai target ynag
ditetapkan dalam strategi disusun 8 rencana aksi nasional yaitu :
1. Publik Private Mix Untuk TB
2. Programatic Management Drug Resisteance TB
3. Kolaborasi TB-HIV
4. Penguatan Laboratorium
5. Pengembangan SDM
6. Penguatan Logistik
7. Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
8. Informasi Strategi TB
AKMS adalah suatu konsep sekaligus kerangka kerja terpadu untuk
mempengaruhi dan mengubah 1. kebijakan publik, perilaku dan
memberdayakan masyarakat dalam pelaksanaan pengendalian TB. AKMS TB
merupakan suatu rangkaian kegiatan advokasi, komunikasi, dan mobilisasi
sosial yang dirancang secara sistematis dan dinamis.
Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan komitmen dan dukungan dari seluruh pemangku kebijakan.
Komunikasi, merupakan upaya untuk menciptakan opini atau lingkungan sosial
yang mendorong masyarakat umum, dan petugas kesehatan agar bersedia
bersama-sama menanggulangi penularan TB. Mobilisasi Sosial, adalah proses
pemberian informasi secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti
perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran, agar sasaran memiliki
pengetahuan, sikap dan mempraktikkan perilaku yang diharapkan.
Dalam konteks Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial (AKMS),
selain penanganan secara medik, pengendalian TB membutuhkan elemen
penting lain yaitu :
1. Komitmen politik pemerintah dalam bentuk dukungan kebijakan publik,
dukungan dana untuk pengendalian TB
2. Sikap dan perilaku birokrasi (pejabat publik) dalam menjalankan kebijakan
tersebut
3. Dukungan dan peran serta masyarakat dan lembaga sosial kemasyarakatan
secara aktif di berbagai tingkatan
4. Sikap dan perilaku pasien dan petugas kesehatan yang mendukung sejak
diagnosa, pengobatan hingga pasca pengobatan
Mobilisasi Sosial sebagai ujung tombak, yang didukung oleh
Komunikasi dan Advokasi. Masing-masing strategi harus diintegrasikan
semangat dan dukungan kemitraan dengan berbagai stakeholder. Kesemuanya
diarahkan agar masyarakat agar mampu mempraktikkan perilaku pencegahan
dan pengobatan TB.
1. Advokasi
Strategi advokasi yang digunakan adalah melakukan pendekatan
kepada pengambil keputusan, media massa dan sektor terkait sehingga dapat
dikeluarkan pernyataan dukungan untuk Program Pengendalian TB.
Advokasi diarahkan untuk menghasilkan kebijakan yang mendukung upaya
pengendalian TB. Kebijakan yang dimaksud disini dapat mencakup
peraturan perundangundangan di tingkat nasional maupun kebijakan daerah
seperti Peraturan Daerah (PERDA), Surat Keputusan Gubernur,
Bupati/Walikota, Peraturan Desa, dan lain sebagainya. Strategi ini dilakukan
untuk menjawab isu startegis tentang kurangnya dukungan dari para
pemangku kepentingan (stakeholder) terkait di daerah untuk Pengendalian
TB. Dalam pendanaan juga perlu dilakukan peningkatan kapasitas pengelola
program dalam menyusun perencanaan anggaran sebagai dasar advokasi.
Dalam melakukan advokasi perlu dipersiapkan data atau informasi yang
cukup serta bahan-bahan pendukung lainnya yang sesuai agar dapat
meyakinkan mereka dalam memberikan dukungan.
Langkah yang perlu dipersiapkan untuk merencanakan kegiatan
advokasi :
a. Analisa situasi,
b. Memilih strategi yang tepat (advokator, pelaksana, metode dsb)
c. Mengembangkan bahan-bahan yang perlu disajikan kepada sasaran, dan •
Mobilisasi sumber dana
2. Komunikasi
Strategi komunikasi yang dilakukan salah satunya adalah
meningkatkan keterampilan konseling dan komunikasi petugas maupun
kader TB melalui pelatihan. Strategi Komunikasi diharapkan dapat
menciptakan dukungan dan persepsi positif dari masyarakat terhadap TB,
pengawasan menelan obat bagi pasien TB, perilaku pencegahan penularan
TB dan kampanye STOP TB.
3. Mobilisasi Sosial.
Mobilisasi sosial merupakan strategi membangkitkan keinginan
masyarakat, secara aktif meneguhkan konsensus dan komitmen sosial di
antara pengambil kebijakan untuk menanggulangi TB. Mobilisasi sosial
bertujuan membangun solidaritas agar mampu mengatasi masalah bersama,
dengan kata lain masyarakat menjadi berdaya.
Strategi mobilisasi sosial untuk menjawab isu startegis tentang
kurangnya pemahaman masyarakat dalam pencegahan dan pencarian
pengobatan TB, kurangnya kerjasama antar lintas program, sektor serta
mitra terkait dalam Pengendalian TB serta kurangnya akses dan informasi
masyarakat tentang TB.
Langkah-langkah mobilisasi social :
a. Memberikan pelatihan/orientasi kepada kelompok pelopor (kelompok
yang paling mudah menerima isu yang sedang diadvokasi)
b. Mengkonsolidasikan mereka yang telah mengikuti pelatihan/orientasi
menjadi kelompok-kelompok pendukung/kader
c. Mengembangkan koalisi diantara kelompok-kelompok maupun
pribadipribadi pendukung;
d. Mengembangkan jaringan informasi diantara anggota koalisi agar selalu
mengetahui dan merasa terlibat dengan isu yang diadvokasikan
e. Melaksanakan kegiatan yang bersifat masal dengan melibatkan sebanyak
mungkin anggota koalisi
f. Mendayagunakan media massa untuk mengekspose kegiatan koalisi dan
sebagai jaringan informasi
g. Mendayagunakan berbagai media massa untuk membangun kebersamaan
dalam mengatasi masalah/isu (masalah bersama). Hal ini cukup efektif
bila dilakukan dengan menggunakan TV, filler/spot, radio spot, billboard
dan spanduk.
B. Sumber Daya
Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam program TB betujuan
untuk menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki keterampilan,
pengetahuan dan sikap (dengan kata lain kompetensi) yang diperlukan dalam
pelaksanaan program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang
sesuai dan pada waktu yang tepat sehingga mampu menunjang tercapainya
tujuan program TB nasional. Didalam bab ini istilah pengembangan SDM
merujuk kepada pengertian yang lebih luas, tidak hanya yang berkaitan dengan
pelatihan tetapi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan lain yang
diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM yaitu
tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam penanggulangan TB.
Ada 3 hal pokok yang sangat penting dalam pengembangan sumber daya
manusia yaitu :
1. Standar Ketenagaan
Ketenagaan dalam program penanggulangan TB memiliki standar-
standar yang menyangkut kebutuhan minimal (jumlah dan jenis tenaga)
untuk terselenggaranya kegiatan program TB.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
a. Puskesmas
1) Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri
: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter,
1 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium.
2) Puskesmas satelit : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih
terdiri dari 1 dokter dan 1 perawat/petugas TB
3) Puskesmas Pembantu : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih
terdiri dari 1 perawat/petugas TB.
b. Rumah Sakit Umum Pemerintah
1) RS kelas A : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri
dari 6 dokter, 3 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium
2) RS kelas B : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri
dari 6 dokter, 3 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium
3) RS kelas C : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri
dari 4 dokter, 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium •
RS kelas D, RSTP dan B/BKPM : kebutuhan minimal tenaga
pelaksana terlatih terdiri dari 2 dokter, 2 perawat/petugas TB, dan 1
tenaga laboratorium
c. RS swasta : menyesuaikan
d. Dokter Praktek Swasta, minimal telah dilatih
1) Tingkat Kabupaten/Kota
a) Supervisor terlatih pada Dinas Kesehatan, jumlah tergantung
beban kerja yang secara umum ditentukan jumlah puskesmas,
RS dan Fasyankes lain diwilayah kerjanya serta tingkat
kesulitan wilayahnya. Secara umum seorang supervisor
membawahi 10 - 20 Fasyankes. Bagi wilayah yang memiliki
lebih dari 20 Fasyankes dapat memiliki lebih dari seorang
supervisor.
b) Gerdunas-TB/Tim DOTS/Tim TB, dan lain-lainnya, jumlah
tergantung kebutuhan.
2) Tingkat Provinsi
a) Supervisor/Supervisor terlatih pada Dinas Kesehatan, jumlah
tergantung beban kerja yang secara umum ditentukan jumlah
Kab/Kota diwilayah kerjanya serta tingkat kesulitan
wilayahnya. Secara umum seorang supervisor membawahi 10-
20 kabupaten/kota. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20
kabupaten/kota dapat memiliki lebih dari seorang supervisor.
b) Koordinator DOTS RS yang bertugas mengkoordinir dan
membantu tugas supervisi program pada RS dapat ditunjuk
sesuai dengan kebutuhan. 3) Gerdunas-TB/Tim DOTS/Tim TB,
dan lain-lainnya, jumlah tergantung kebutuhan. 4) Tim
Pelatihan: 1 koordinator pelatihan, 5 fasilitator pelatihan.
2. Pelatihan
Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan,
sikap dan keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan mutu dan
kinerja petugas. Konsep pelatihan dalam program TB, terdiri dari:
a. Pendidikan/pelatihan sebelum bertugas (pre service training)
Dengan memasukkan materi program penanggulangan
tuberkulosis strategi DOTS`dalam pembelajaran/kurikulum Institusi
pendidikan tenaga kesehatan. (Fakultas Kedokteran, Fakultas
Keperawatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Farmasi dan
lain-lain).
b. Pelatihan dalam tugas (in service training)
Berupa aspek klinis maupun aspek manajemen program
1) Pelatihan dasar program TB (initial training in basic DOTS
implementation)
a) Pelatihan penuh, seluruh materi diberikan
b) Pelatihan ulangan (retraining), yaitu pelatihan formal yang
dilakukan terhadap peserta yang telah mengikuti pelatihan
sebelumnya tetapi masih ditemukan banyak masalah dalam
kinerjanya, dan tidak cukup hanya dilakukan melalui supervisi.
Materi yang diberikan disesuikan dengan inkompetensi yang
ditemukan, tidak seluruh materi diberikan seperti pada
pelatihan penuh.
c) Pelatihan penyegaran, yaitu pelatihan formal yang dilakukan
terhadap peserta yang telah mengikuti pelatihan sebelumnya
minimal 5 tahun atau ada up-date materi, seperti: pelatihan
manajemen OAT, pelatihan advokasi, pelatihan TB-HIV,
pelatihan DOTS plus, surveilans.
d) On the job training (pelatihan ditempat tugas/refresher): telah
mengikuti pelatihan sebelumnya tetapi masih ditemukan
masalah dalam kinerjanya, dan cukup diatasi hanya dengan
dilakukan supervise
2) Pelatihan lanjutan (continued training/advanced training): pelatihan
untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan program yang
lebih tinggi. Materi berbeda dengan pelatihan dasar
Materi pelatihan dan metode pembelajaran. Apa yang akan dipelajari
dalam pelatihan harus disesuaikan dengan kebutuhan program dan tugas
peserta latih. Tidak semua harus dipelajari, tetapi yang terkait secara
langsung tugas pokok peserta dalam program. Metode pembelajaran harus
mampu melibatkan partisipasi aktif peserta dan mampu membangkitkan
motivasi peserta. Baik materi pelatihan maupun metode pembelajaran
tersebut dapat dikemas dalam bentuk modular .
3. Supervisi
Supervisi adalah kegiatan yang sistematis untuk meningkatkan
kinerja petugas dengan mempertahankan kompetensi dan motivasi petugas
yang dilakukan secara langsung. Kegiatan yang dilakukan selama supervisi
adalah
a. Observasi
b. Diskusi
c. Bantuan teknis
d. Bersama-sama mendiskusikan permasalahan yang ditemukan, •
Mencari pemecahan permasalahan bersama-sama
e. Memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan
rekomendasi dan saran perbaikan
Supervisi merupakan salah satu kegiatan pokok dari manajemen.
Kegiatan supervisi ini erat hubungannya dengan kegiatan “monitoring dan
evaluasi”. Supervisi dapat dikatakan sebagai “monitoring langsung”,
sedangkan monitoring dapat dikatakan sebagai “supervisi tidak langsung”.
Tujuan supervisi untuk meningkatkan kinerja petugas, melalui suatu proses
yang sistematis dengan :
a. Peningkatan pengetahuan petugas
b. Peningkatan ketrampilan petugas
c. Perbaikan sikap petugas dalam bekerja
d. Peningkatan motivasi petugas
Supervisi selain merupakan monitoring langsung, juga merupakan
kegiatan lanjutan pelatihan. Melalui supervisi dapat diketahui bagaimana
petugas yang sudah dilatih tersebut menerapkan semua pengetahuan dan
ketrampilannya. Selain itu supervisi dapat juga berupa suatu proses
pendidikan dan pelatihan berkelanjutan dalam bentuk on the job training.
Supervisi harus dilaksanakan di semua tingkat dan disemua unit pelaksana,
karena dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk
mengatasi masalah dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik
tentang kinerja harus selalu diberikan untuk memberikan dorongan
semangat kerja. Supervisi merupakan kegiatan monitoring langsung dan
kegiatan pembinaan untuk mempertahankan kompetensi standar melalui on
the job training. Supervisi juga dapat dimanfaatkan sebagai evaluasi pasca
pelatihan untuk bahan masukan perbaikan pelatihan yang akan datang.
Supervisi juga untuk mengevaluasi ketercukupan sumber daya selain
tenaga, misalnya: OAT, mikroskop dan logistik non OAT lainnya.
BAB III
ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI
A. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas Dan Fungsi Pelayanan
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi belakangan ini oleh fasilitas
pelayanan kesehatan dalam melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan kepada
masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
2. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak
terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standar, dan sebagainya).
3. Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang
tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)
4. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
5. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami
krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.
6. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan struktur umur kependudukan.
7. Dampak pandemi HIV
8. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang belum
menerapkan layanan TB sesuai dengan standar pedoman nasional dan
ISTC seperti penemuan kasus/diagnosis yang tidak baku, paduan obat
yang tidak baku, tidak dilakukan pemantauan pengobatan, tidak dilakukan
pencatatan dan pelaporan yang baku.
9. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dalam
penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.
10. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB khususnya di
Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), serta daerah risiko
tinggi seperti daerah kumuh di perkotaan, pelabuhan, industri, lokasi
permukiman padat seperti pondok pesantren, asrama, barak dan
lapas/rutan.
11. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam
penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan,
pencatatan dan pelaporan.
12. Meningkatnya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang akan
meningkatkan pembiayaan program TB.
13. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya tingkat
pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang
dan pangan yang tidak memadai yang berakibat pada tingginya risiko
masyarakat terjangkit TB.
B. Telaah Visi, Misi Dan Program Kepada Negara Terpilih
Kepala negara terpilih periode 2019-2024 (Jokowi-Ma’aruf)
mencanangkan salah satu misinya yaitu menyediakan sistem perlindungan
sosial bidang kesehatan yang inklusif dan mengalokasikan anggaran negara
sekurang-kurangnya 5% dari anggaran negara untuk pengendalian penyakit
menular dan kronis.
C. Telaah Renstra Kementrian Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 67 Tahun 2016
tentang penanggulangan tuberkulosis yaitu :
1. Tujuan
Melindungi kesehatan masyarakat dari penularan TB agar tidak terjadi
kesakitan, kematian dan kecacatan;
2. Target
Target Program Nasional Penaggulangan TB sesuai dengan target
eliminasi global adalah Eliminasi TB pada tahun 2035 dan Indonesia bebas
TB tahun 2050. Eliminasi TB adalah tercapainya cakupan kasus TB 1 per 1
jutapenduduk.
BAB IV
VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI & KEBIJAKAN
A. Visi
Visi dalam program pengendalian TB paru, yaitu :
“ Menuju Masyarakat Bebas Masalah TB, Sehat, Mandiri, dan Berkeadilan”
B. Misi
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat
dalam pengendalian Tuberkulosis.
2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu, dan
berkeadailan
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB
4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik
C. Tujuan dan Sasaran
Tujuan dibentuknya rencana dan strategi penanganan tuberkulosis adalah
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Sedangkan sasaran dari rencana strageni penanganan
TB adalah :
1. Meningkatkan temuan kasus baru TB paru dengan BTA positif
2. Meningkatkan keberhasilan pengobatan kasus TB paru baru
3. Meningkatkan kualitas dari penanganan pasien TB paru.
4. Menjadikan masyarakat mandiri dalam penentuan pengobatan TB
D. Strategi & Kebijakan
Strategi dan kebijakan yang dilakukan dalam penangan masalah TB yang
terjadi adalah :
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.
Tujuan :
Terlaksananya komponen pelayanan DOTS yang bermutu bagi
seluruh pasien TB tanpa terkecuali serta peningkatan mutu pelayanan DOTS
secara berkesinambungan.
2. Memberdayakan Masyarakat dan Pasien TB
Tujuan :
Kebutuhan pelayanan TB yang terus meningkat, kualitas sumber daya
yang meningkat, meningkatkan sosialisasi tengan penyakit TB, pelayanan
bebasis DOTS yang tersedia di masyarakat.
3. Memberikan Kontribusi Dalam Penguatan Sistem Kesehatan, Termasuk
Pengembangan SDM Kesehatan dan Manajemen Program Pengendalian
TB.
Tujuan :
Pengendalian TB yang efektif, dalam upaya preventif dan kuratif yang
berkualitas bagi pasien sesuai kebutuhan.
BAB V
RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN
A. Rencana Program Dan Kegiatan
Berdasarkan isu strategis, visi, misi, tujuan, sasaran dan arah kebijakan
yang telah dirumuskan maka rencana program dan kegiatan dijabarkan sebagai
berikut :
1. Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang terdiri atas
2 kegiatan yaitu berupa
a. Penyuluhan masyarakat mengenai penyakit TB paru
b. Penyuluhan mengenai PHBS (Pola Perilaku Hidup Bersih dan Sehat)
2. Menjamin deteksi dini dan diagnosis melalui pemeriksaan bakteriologis
yang terjamin mutunya
a. Meningkatkan intensitas penemuan aktif dengan cara skrining pada
kelompok rentan tertentu (Orang dengan HIV, anak kurang gizi,
penghuni lapas, daerah kumuh, orang dengan diabetes dan perokok)
b. Memprioritaskan pemeriksaan kontak
c. Meningkatkan kepekaan dan kewaspadaan penyedia pelayanan terhadap
simtom TB dan pelaksanaan ISTC
d. Meningkatkan kepatuhan terhadap alur standar diagnosis
e. Melaksanakan upaya meningkatkan kesehatan paru secara komprehensif
3. Penyediaan farmasi dan alat kesehatan : sistem logistic yang efektif dalam
menjamin suplai obat yang kontinyu
a. Memfasilitasi perusahaan obat local dalam proses pra kualifikasi
b. Memastikan ketersediaan obat dan logistic non – OAT (reagen,
peralatan dan suplai laboratorium) yang kontinyu, tepat waktu dan
bermutu di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan
pelayanan DOTS, termasuk fasilitas yang melayani masyarakat miskin
dan rentan
c. Menjamin sistem penyimpanan dan distribusi obat TB yang efektif dan
efisien, termasuk kemungkinan untuk bermitra dengan pihak lain
d. Menjamin distribusi obat yang efisien dan efektif secara berjenjang
sesuai dengan kebutuhan
e. Menjamin terlaksananya sistem informasi management untuk obat TB
4. Memberikan pengobatan sesuai dengan standar dan pengawasan serta
dukungan yang memadai terhadap pasien
a. Memberikan informasi mengenai pilihan fasilitas pelayanan kesehatan
yang menyediakan pengobatan TB dan implikasinya bagi pasien dengan
tujuan meminimalkan opportunity costs dan memperhatikan hak – hak
pasien
b. Menjamin setiap pasien TB memiliki PMO
c. Mempermudah akses pasien terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang
telah tersedia
d. Mengembangkan pendekatan pelayanan DOTS berbasis komunitas.
B. Kelompok Sasaran
Kelompok sasaran dalam rencana strategi ini adalah :
1. Penderita TB paru itu sendiri
2. Kelompok rentan TB Paru
3. Pemerintah (yang mengurusi bidang kesehatan
4. Sector swasta
5. Masyarakat
C. Sumber Pendanaan
Sumber pendanaan dalam penanganan tuberkulosis paru berasal dari
dana BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).
BAB VI
INDIKATOR KINERJA

A. Indikator Kinerja
Dalam pelaksanaannya program penanggulangan TB diharapkan dapat
meningkatkan capaian penemuan pasien baru TB BTA positif paling sedikit
70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85% dari semua pasien serta
mempertahankannya selain itu juga pada sasaran lain seperti masyarakat,
Target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian
akibat TB hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun 1990, dan
mencapai tujuan Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015.
KONDI

SI
KONDISI
KINERJ
KINERJA
A PADA
NO INDIKATOR TARGET CAPAIAN SETIAP TAHUN PADA
AWAL
AKHIR
PERIO
PERIODE
DE

Tahun 0 2013 2014 2015 2016 2017 2018

1. Meningkatkan 40/100 ≥ 70/100 ≥ 70/100 ≥ 70/100 ≥ 70/100 ≥ 70/100 ≥ 70/100 80/100


temuan kasus
baru TB paru
dengan BTA
Positif
2. Meningkatkan 40/100 85/100 85/100 85/100 85/100 85/100 85/100 88.7/100
keberhasilan
pengobatan dari
kasus TB paru
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit Tuberculosis (TB) merupakan penyakit yang menular dimana
dalam tahun-tahun terakhir memperlihatkan peningkatan dalam jumlah kasus
baru maupun jumlah angka kematian yang disebabkan oleh TB. Indonesia
menempati urutan ketiga dengan jumlah penduduk yang terjangkit TB paru
setelah negara India dan Cina. Sementara itu, dalam tatanan nasional angka TB
paru di Indonesia mencapai 0,42 % dari penduduk Indonesia atau sekitar
1.017.290 penduduk Indonesia menderita TB paru.
Dalam mengatasi terjadinya persebaran dan meluasnya penyakit TB Paru
maka perlu dilakukan pengendalian penyakit TB paru tersebut secara
berkualitas dan berkesinambungan. Dalam pengendalian TB tentunya banyak
permasalahan yang dihadapi. Misalnya, tingkat sosial ekonomi masyarakat
yang, rendah dimana masih ada rumah yang tidak sehat, kurangnya kesadaran
untuk memeriksakan diri bila sakit, dan pengetahuan masyarakat tentang TB
masih rendah. Oleh sebab itu perlu dilakukannya penyusunan dokumen
perencanaan program pengendalian TB Paru dalam strategi Nasional
Pengendalian Tuberkulosis dengan visi-visi menuju masyarakat bebas masalah
TB sehat, mandiri, dan berkeadilan untuk mencapai target ynag ditetapkan
dalam strategi yang telah disusun 8 rencana aksi nasional.
B. Saran
Banyak Tantangan dan permasalah dalam pengendalian TB paru yang
harus dihadapi. Selain itu, bila berbicara jumlah, meski sudah berhasil ditekan,
tetapi jumlah pasien TB dan kematian akibat TB masih cukup banyak. Oleh
karena itu, disarankan dalam menyusun rencana strategis program TB harus
selalu sejalan dengan Rencana Aksi Nasional Informasi Strategis untuk TB
2010-2014 dengan berbagai tambahan di aspek koordinasi, pembiayaan, sistem
pemantauan, hukum dan peraturan, manajemen dan pemanfaatan data. Selain
itu, perhatian Subdit TB dapat beralih ke sumber daya manusia, kualitas data,
dan manajemen data, termasuk pengembangan layanan. Langkah-langkah ini
penting untuk memastikan pemanfaatan pelayanan di berbagai level layanan
TB dan pemanfaatan optimal data dan informasi oleh semua pemangku
kebijakan. Untuk mengetahui efektivitas dalam rencana strategi ini,
implementasi yang telah dikembangkan sebagai hasil dari harus dievaluasi,
tanpa mengesampingkan faktor-faktor lain yang juga berperan terhadap hasil
evaluasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y., (2013), Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia Menuju Strategi


Post 2015, Simposium Nasional Hari TB Sedunia, Jakarta.
Aluano. dkk. 2017. Aplikasi Pemenuhan Gizi melalui Pola Makabn pada
Penderita Tuberkulosis Paru Berbasis Android. SKRIPSI, Universitas Sam
Ratulangi Manado http://www.googlescholar.co.id/2015/47/asupan-gizi-ffk
diakses pada tanggal 1 januari 2019.
Depkes RI. (2010). TBC Masalah Kesehatan Dunia. www.bppsdmk.depkes.go.id
Ditjen P2&PL. (2014). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Farida Heriyani. (2013). Risk Factor of the Incidence of Pumonary Tuberculosis
in Banjarmasin City, Yokyakarta, International Journal of Public Health
Science, Vol. 2, No. 1m 1-6.
Kemenkes RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta : Balitbang
Kemenkes RI
Kemenkes RI. (2011), Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
565/MENKES/PER/III/2011 tentang Strategi Nasional Pengendalian
Tuberkulosis Tahun 2011-2014, Kemenkes RI, Jakarta.
Rafflesia U. (2014). Model Penyebaran Penyakit Tuberkulosis (TBC). Jurnal
Gradian. 10 (2). 983 – 986.
Sari, Reny Mareta. (2014). Hubungan Antara Karakteristik Kontak Dengan
Adanya Gejala TB Pada Kontak Penderita TB Paru BTA+. Surabaya :
Universitas Airlangga. Jurnal Berkala Epidemiologi; Volume 2, No 2;
Halaman 274-285.
Rokhmah, D. (2013) Gender dan Penyakit Tuberkulosis : Impilkasinya Terhadap
Rendahnya Akses Layanan Kesehatan Masyarakat Miskin yang Rendah.
Jurnak Kesehatan Masyarakat Nasional ; Vol. 7, No. 10; Hal 447-452.
Wulandari A. A, Nurjazuli, & Adi S. M. (2015). Faktor Risiko dan Potensi
Penularan Tuberkulosis di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia. 14 (1)

Anda mungkin juga menyukai