Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti
opium atau Morfin. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang
lain, golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan
rasa nyeri.
Obat analgesik adalah obat yang mempunyai efek menghilangkan atau
mengurangi nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran atau fungsi sensorik lainnya.
Obat analgesik bekerja dengan meningkatkan ambang nyeri, mempengaruhi emosi
(sehingga mempengaruhi persepsi nyeri), menimbulkan sedasi atau sopor (sehingga
nilai ambang nyeri naik) atau mengubah persepsi modalitas nyeri. Pada dasarnya
obat analgesik dapat digolongkan ke dalam analgesik golongan narkotik dan
analgesik golongan non-narkotik. Narkotik adalah bahan atau zat yang punya efek
mirip Morfin yang menimbulkan efek narkosis (keadaan seperti tidur). Analgesik
opiad adalah obat yang mempunyai efek analgesik kuat tetapi tidak menimbulkan
efek narkosis dan adiksi sebagaimana Morfin, maka nama analgesik narkotik
kurang tepat.
Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf
pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbik, thalamus,
hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi reticular dan di korda spinalis yaitu
substansia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan
polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan
reseptor morfin dan menghasilkan efek.
Pada sistem supraspinal, tempat kerja opioid ialah di reseptor substansia
grisea, yaitu di periaquaduktus dan periventrikular, sedangkan pada sistem spinal
tempat kerjanya di substansia gelatinosa korda spinalis. Morfin (agonis) terutama
bekerja di reseptor µ dan sisanya di reseptor κ, maka analgesik opioid
menghilangkan nyeri dengan cara bekerja pada mekanisme terjadinya nyeri pada
tahap modulasi sehingga menyebabkan tidak terbentuknya persepsi nyeri.

1
Berdasarkan sifatnya, opioid digolongkan menjadi :
1. Agonis yaitu mengaktifkan reseptor, contohnya : morfin, papaveretum,
petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil, kodein dan alfaprodin.
2. Antagonis yaitu tidak berefek mengaktifkan reseptor pada saat yang
bermasaan mencegah agonis merangsang reseptor, contohnya : nalokson
dan naltrekson.
3. Agonis-antagonis seperti pentasosin, nalbufin, butarfanol dan buprenorfin.

Selain itu terdapat penggolongan lain seperti natural (morfin, kodein,


papaverin, tebain) semisintetik (heroin, dihidrommorfin, derivate tebain) dan
sintetik (petidin, fentanyl, alfentanil, sufentanil dan remifentanil). Untuk penulisan
refrat ini, penulis akan membahas sediaan fentanyl, yang merupakan golongan
opioid yang sering digunakan pada operasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah fungsi fentanil ?
2. Dimanakah fentanil biasa digunakan?
3. Siapa saja yang diperbolehkan menggunakan fentanil?
4. Kapan fentanil di pilih untuk digunakan?
5. Bagaimana farmakologi fentanil ?
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang obat golongan analgesik dalam hal ini fentanil.

2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui farmakologi umum fentanil
2. Untuk mengetahui farmakodinamik fentanil
3. Untuk mengetahui farmakokinetik fentanil
4. Untuk mengetahui efek samping, interaksi obat, toksisitas dan dosis
fentanil

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Fentanil


Fentanil adalah sebuah analgesik opioid yang potent. Nama kimiawinya
adalah N-Phenyl-N-(1-2-phenylethyl-4-piperidyl) propanamide. Fentanil
merupakan zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100X morfin. Lebih larut
dalam lemak dibanding petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Tetapi fraksi terbesarnya dirusak di paru-paru ketika pertama kali melewatinya.
Dimetabolisme oleh hati dan diekskresikan keluar tubuh melalui urin.
Pertama kali disintesa di Belgia pada akhir tahun 1950. Fentanil memiliki
besar potensi analgeik 100 kali lebih baik daripada Morfin, dikenalkan pada
praktek kedokteran pada tahun 1960-an sebagai anestesi intravena dengan
nama merek dagang Sublimaze®. Kemudian dikenalkan juga analog dari Fentanil
yaitu alfentanil dan Sufentanil di mana Sufentanil memiliki potensi lebih baik
daripada Fentanil yakni sebesar 5 sampai 10 kali, dan Sufentanil ini biasanya
digunakan di dalam operasi jantung.
Saat ini, Fentanil digunakan untuk anestesi dan analgesik. Sebagai contoh,
Duragesic® adalah Fentanil transdermal dalam bentuk koyo yang digunakan untuk
terapi nyeri yang kronis, dan Actiq® adalah Fentanil yang larut perlahan-lahan di
dalam mulut, di mana obat ini efektif untuk terapi nyeri pada pasien yang menderita
kanker. Carfentanil adalah analog dari Fentanil dengan potensi analgesik 10.000
kali lebih besar dibandingkan dengan Morfin, dan obat ini digunakan dalam praktek
dokter hewan untuk melumpuhkan hewan-hewan yang berukuran besar.

3
BAB III
FARMAKODINAMIK

3.1 Farmakodinamik
Fentanyl memberikan efek khas opioid dengan agonismenya pada reseptor
opioid. Potensinya yang kuat daripada morfin disebabkan karena kelarutannya yang
tinggi pada lemak sehingga lebih mudah masuk ke sistem saraf pusat. Fentanyl
mengikat reseptor protein G yang mana akan menginhibisi neurotransmiter nyeri
dengan mengurangi level Ca2+ di inttraseluler

Analgesia
Efek analgesia Fentanil serupa dengan efek analgesik Morfin. Efek analgesik
Fentanil mulai timbul 15 menit setelah pemberian per oral dan mencapai puncak
dalam 2 jam. Efek analgesik timbul lebih cepat setelah pemberian subkutan atau
intramuskulus yaitu dalam 10 menit, mencapai puncak dalam waktu 1 jam dan masa
kerjanya 3-5 jam. Efektivitas Fentanil 75-100 µg parenteral kurang lebih sama
dengan Morfin 10 mg. Karena bioavaibilitas oral 40-60 % maka efektifitas sebagai
analgesik bila diberikan peroral setengahnya dari bila diberikan parenteral. Sedasi,
euphoria dan eksitasi Pada dosis ekuianalgesik, sedasi yang terlihat sama dengan
sedasi pada Morfin. Pemberian Fentanil kepada pasien yang menderita nyeri atau
cemas, akan menimbulkan euphoria. Berbeda dengan Morfin, dosis toksik Fentanil
kadang-kadang menimbulkan perangsangan SSP misalnya tremor, kedutan otot,
dan konvulsi. Saluran Napas Fentanil dalam dosis ekuianalgesik menimbulkan
depresi napas sama kuat dengan Morfin dan mencapai puncaknya dalam 1 jam
setelah suntikan IM. Kedua obat ini menurunkan kepekaan pusat nafas terhadap
CO2 dan mempengaruhi pusat napas yang mengatur irama napas dalam pons.
Berbeda dengan Morfin, Fentanil terutama menurunkan tidal volume, sehingga efek
depresi nafas oleh Fentanil tidak disadari. Depresi napas oleh Fentanil dapat
dilawan oleh Nalokson dan antagonis opioid lain.

4
Efek Neural Lainnya
Pemberian Fentanil secara sistemik menimbulkan anestesi kornea, dengan
akibatnya menghilangnya reflek kornea. Berbeda dengan Morfin, Fentanil tidak
mempengaruhi diameter pupil dan refleks pupil. Seperti Morfin dan Metadon,
Fentanil meningkatkan kepekaan alat keseimbangan yang merupakan dasar
timbulnya mual, muntah dan pusing pada mereka yang berobat jalan. Seperti
Morfin dan Metadon, Fentanil tidak berefek antikonvulsi. Fentanil menyebabkan
penglepasan ADH.
Sistem Kardiovaskular
Pemberian dosis terapi Fentanil pada pasien yang berbaring tidak
mempengaruhi kardiovaskular, tidak menghambat kontraksi miokard dan tidak
mengubah gambaran EKG. Penderita berobat jalan mungkin menderita sinkop
disertai penurunan tekanan darah, tetapi gejala ini cepat hilang jika penderita
berbaring. Sinkop timbul pada penyuntikan cepat Fentanil IV karena terjadi
vasodilatasi perifer dan penglepasan Histamine. Seperti Morfin, Fentanil dapat
menaikkan kadar CO2 darah akibat depresi napas; kadar CO2 yang tinggi ini
menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak sehingga timbul kenaikan tekanan
cairan serebrospinal.

Efek spasmogenik
Fentanil terhadap lambung dan usus kecil lebih lemah daripada Morfin.
Kontraksi propulsif dan non-propulsif saluran cerna berkurang, tetapi dapat timbul
spasme secara tiba-tiba serta peninggian tonus usus. Seperti Morfin, Kodein dan
Metadon, Fentanil lebih aman daripada Morfin, tetapi lebih kuat daripada Kodein
dalam menimbulkan spasme saluran empedu. Fentanil tidak menimbulkan
konstipasi sekuat Morfin, sehingga Fentanil tidak berguna untuk pengobatan
simtomatik diare.

5
Otot Bronkus
Fentanil dapat menghilangkan bronkhospasme oleh Histamin dan Metakolin,
namun pemberian dosis terapi Fentanil tidak banyak mempengaruhi otot bronchus
normal. Dalam dosis besar justru dapat menimbulkan bronkokonstriksi.

Ureter
Setelah pemberian Fentanil dosis terapi, peristaltik ureter berkurang. Hal ini
disebabkan berkurangnya produksi urine akibat dilepaskannya ADH dan
berkurangnya laju filtrasi glomerulus.

Uterus
Fentanil sedikit sekali merangsang uterus dewasa yang tidak hamil. Aktivitas
uterus hamil tua tidak banyak dipengaruhi oleh Fentanil, dan pada uterus yang
hiperaktif akibat Oksitosin, Fentanil meningkatkan tonus, menambah frekuensi dan
intensitas kontraksi uterus. Jika Fentanil diberikan sebelum pemberian oksitoksin,
obat ini tidak mengantagonis efek oksotosin. Dosis terapi Fentanil yang diberikan
sewaktu partus tidak memperlambat kelangsungan partus dan tidak mengubah
kontraksi uterus. Fentanil tidak mengganggu kontraksi atau involusi uterus pasca
persalinan dan tidak menambah frekuensi perdarahan pasca persalinan.

6
BAB IV
FARMAKOKINETIK

4.1 Farmakokinetik
Fentanil larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama
dengan Morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak oleh paru ketika pertama kali
melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi serta sisa
metabolismenya dikeluarkan lewat urine.

Indikasi
Beberapa indikasi penggunaan Fentanil, yakni :
1. Sebagai suplemen narkotik-analgesik dalam anestesi umum atau anestesi
regional.
2. Pemberian bersama obat neuroleptik seperti droperidol untuk premedikasi
anestesi sebelum induksi anestesi dan sebagai tambahan dalam maintenance
anestesi umum atau anestesi regional.
3. Untuk neuroleptik analgesia bersama oxygen dalam kasus khusus pasien
resiko tinggi yang menjalani bedah mayor.

Kontra Indikasi
Beberapa kontra indikasi penggunaan Fentanil yaitu; adanya gangguan atau
depresi pernafasan, hipotensi yang tidak terkoreksi, alergi terhadap zat-zat narkotik.
Pasien-pasien dengan curiga klinis cedera kepala, dada, atau cedera perut. Fentanyl
jangan diberikan kepada pasien yang diketahui tidak toleran terhadap efek obat ini
maupun obat-obat golongan morfin atau komponennya, seperti pethidin.

7
BAB V
TOKSISTAS

5.1 Efek Samping


 Susunan Saraf Pusat : sedasi, somnolen, perasaan berkabut, euforia, pusin,
halusinasi, kecemasan, sakit kepala depresi.
 Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, aritmia, nyeri dada, bradikardi
 Gastrointestinal : mual, muntah, konstipasi, ileus, nyeri abdomen
 Respirasi : depresi pernafasan, hipoventilasi, dispnea, apnea
 Kulit : pruritus.

5.2 Interaksi Obat


Penggunaan secara bersamaan Fentanil transdermal dengan Ritonavir atau
Poten 3A4 inhibitor seperti Ketoconazole, Itraconazole, Troleandomycin,
Clarithromycin, Nelfinavir, and Nefazadone, bisa menghasilkan peningkatan
konsentrasi Fentanil dalam plasma, di mana hal tersebut bisa meningkatkan atau
memperpanjang efek obat yang merugikan dan bisa potensial menyebabkan depresi
pernafasan yang fatal.
Penggunaan secara bersamaan Fentanil transdermal dengan CYP34A
inhibitor bisa menghasilkan peningkatan konsentrasi Fentanil dalam plasma, di
mana hal tersebut bisa meningkatkan atau memperpanjang efek obat dan bisa
menyebabkan depresi pernafasan yang serius. Pada situasi seperti ini, dibutuhkan
penangan pasien yang khusus dan juga terus memonitor pasien.
Depresi Susunan Saraf Pusat
Penggunaan secara bersamaa Fentanil transdermal dengan depresan sistem
saraf pusat lainnya, tidak terbatas pada opioid-opioid lainnya, obat-obat sedative,
hipnotik, transquilizer (misal Benzodiazepine), anestesi umum, Phenothiazine, obat
pelemas otot, dan alkohol bisa menyebabkan depresi pernafasan, hipotensi, dan
sedasi yang dalam, atau berpotenisal menyebabkan koma ataupun kematian. Ketika
obat-obat tersebut dikombinasikan, dosis salah satu atau kedu obat tersebut secara
signifikan akan berkurang.

8
5.3 Intoksikasi
 Gambaran Klinis
Manifestasi dari intoksikasi Fentanil adalah perluasan dari efek farmakologi
dari Fentanil sendiri yakni dengan efek hipoventilasi yang signifikan.
 Penatalaksanaan
Manajemen intoksikasi dapat diberikan obat antagonis narkotik seperti
Nalokson dan bisa diulang dalam waktu 30 menit sampai 80 menit (waktu paruh
Nalokson 30-80 menit).Selalu diyakinkan jalan nafas bebas dan tetap memelihara
bebasnya jalan nafas, pemberian oksigenasi dan respirasi dikontrol serta
menggunakan oropharing atau endotracheal tube jika dibutuhkan.
Pengawasan temperature tubuh dan terapi cairan. Jika terjadi hipotensi berat
atau menetap, harus dipikirkan bisa terjadinya syok hipovolemik dan harus diterapi
dengan terapi cairan parenteral.

5.4 Dosis
 Anak-anak
Anestesi atau sedasi Dosis: 1-3 µg/kg/dose (maksimal : 50 µg) IV or IM Bisa
diulang (dengan dosis yang sama). Kebanyakan pasien memerlukan 3-5 dosis
Fentanil (3-5 µg/kg)
 Dewasa
Untuk dosis sedasi dan anestesi sama seperti anak yakni 1-3 µg/kg/dose.

Fentanil Transdermal
1. Jumlah yang diperbolehkan : 25, 50, 75, 100 µg/hour
2. Onset untuk berefek penuh hanya setelah 24 jam.
3. Ganti koyo Fentanil setiap 3 hari sekali.
Tablet Transmucosal
1. Jumlah yang diperbolehkan : 200, 400, 800, 1200, 1600 µg
2. Maksimal : 4 tablet sehari.

9
Tindakan Pencegahan
Fentanil bisa menyebabkan depresi pernafasan, sediakan selalu peralatan
resusitasi. Bisa menyebabkan mual dan atau muntah. Dosis tinggi bisa
menyebabkan kekakuan otot yang menimbulkan kesulitan ventilasi. Dosis Fentanil
100 µg ekuivalen dengan 10 mg Morfin.
Pasien yang telah menjalani anestesi dengan pemberian fentanyl tidak
diperkenankan mengendarai kendaraan bermotor atau menjalankan mesin, sampai
beberapa hari pasca bedah. Fentanyl jangan dicampurkan dengan obat lain dalam 1
spuit, tapi fentanyl dapat diencerkan dalam cairan infuse NaCl 0,9 % atau dextrose
5 % atau 10 % dan larutan ini harus dibuat segar dan digunakan dalam waktu 24
jam. Fentanyl dapat dilarutkan dalam cairan infuse dalam tabung plastic dan tidak
terserap oleh plastik.

10
BAB VI
KESIMPULAN

Fentanil adalah sebuah analgesik opioid yang potent. Nama kimiawinya


adalah N-Phenyl-N-(1-2-phenylethyl-4-piperidyl) propanamide. Fentanil
merupakan zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100X morfin. Lebih larut
dalam lemak dibanding petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Tetapi fraksi terbesarnya dirusak di paru-paru ketika pertama kali melewatinya.
Dimetabolisme oleh hati dan diekskresikan keluar tubuh melalui urin.
Beberapa indikasi penggunaan Fentanil yaitu; sebagai suplemen narkotik-
analgesik dalam anestesi umum atau anestesi regional, pemberian bersama obat
neuroleptik seperti droperidol untuk premedikasi anestesi sebelum induksi anestesi
dan sebagai tambahan dalam maintenance anestesi umum atau anestesi regional dan
untuk neuroleptik analgesia bersama oxygen dalam kasus khusus pasien resiko
tinggi yang menjalani bedah mayor.
Beberapa kontra indikasi penggunaan Fentanil yaitu; adanya gangguan atau
depresi pernafasan, hipotensi yang tidak terkoreksi, alergi terhadap zat-zat narkotik.
Pasien-pasien dengan curiga klinis cedera kepala, dada, atau cedera perut. Fentanyl
jangan diberikan kepada pasien yang diketahui tidak toleran terhadap efek obat ini
maupun obat-obat golongan morfin atau komponennya, seperti pethidin.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Prakis Anestesiologi. Edisi
Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2002.
2. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R. Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 1989.
3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th Ed. Lange
Medical Books-Mc Graw-Hill. 2006
4. Stoelting RK. Pain. In : Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology & Physiology in
Anesthetic Practice. 4th Ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2006.
5. Omorgui, S. Buku Saku Obat-obatan Anestesi. Edisi II, EGC, Jakarta, 1997.
6. Katzung, Bertam G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 2 Ed.8. Jakarta
: Salemba Medika Glance.
7. Neal, M. J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Ed. 5. Jakarta : Erlangga.
8. Setiawati, Arini dkk. 2001. Farmakologi dan Terapi ed. 4. Jakarta : FKUI.

12

Anda mungkin juga menyukai