Anda di halaman 1dari 31

BAB II

NILAI-NILAI PENDIDIKAN HUMANIS DAN NOVEL

A. Nilai dan Pendidikan Humanis

1. Pengertian Nilai

Nilai adalah keyakinan yang membuat sseorang bertindak atas dasar

pilihannya.1 Menurut pandangan Brubacher yang dikutip oleh Abdul Khobir,

bahwa nilai tak terbatas ruang lingkupnya, karena nilai sangat erat

hubungannya dengan pengertian dan aktivitas manusia yang kompleks. Nilai

bersifat ideal, abstrak, dan tidak dapat disentuh oleh panca indera sedangkan

yang dapat ditangkap hanya tingkah laku yang mengandung nilai tersebut.

Nilai bukan merupakan fakta yang berbentuk kenyataan dan konkrit, sehingga

nilai tidak mungkin diuji dan ukurannya pada diri yang menilai.2

Menurut Runes Dagobert yang dikutip oleh Achmadi, berdasarkan

tinjauan aksiologi, nilai dapat dibagi menjadi nilai mutlak, nilai intrinsik

(dasar), dan nilai instrumental.3 Menurut pandangan Ducasse yamg dikutip

oleh Muhson dan Samsuri bahwa nilai itu sekurang-kurangnya memiliki tiga

ciri, yaitu: pertama nilai berkaitan dengan subjek. Kalau tidak ada subjek

yang menilai, maka juga tidak ada nilai. Kedua, nilai tampil dalam suatu

konteks praktis dimana subjek ingin membuat sesuatu. Dalam pendekatan

1
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung: Al-Fabeta, 2011),
hlm. 10.
2
Abdul Khobir, Filsafat pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Press, 2007), hlm.
35-36.
3
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm,
hlm. 121.

21
22

yang semata-mata teoretis, tidak akan ada nilai. Ketiga, nilai menyangkut

sifat-sifat yang “ditambah” oleh subjek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh

objek. Nilai tidak dimiliki oleh objek pada dirinya.4

Abdul Khobir menyebutkan, nilai dari segi orientasi sistem nilai

dikategorikan menjadi empat bentuk, yaitu: nilai etis yang mendasari

orientasinya pada nilai baik buruk, nilai pragmatis yang mendasari

orientasinya pada berhasil dan gagalnya sesuatu, nilai efek sensorik yang

mendasari orientasinya pada yang menyenangkan atau menyedihkan, dan nilai

religius yang mendasari orientasinya pada dosa dan pahala, halal dan haram.5

Perbedaan cara pandang tersebut dalam memahami istilah nilai telah

berimplikasi pada perumusan definisi nilai. Berikut ini dikemukakan empat

definisi nilai yang masing-masing memiliki tekanan yang berbeda.

1) Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar

pilihannya. definisi ini dikemukakan oleh Gerdon Allport sebagai seorang

ahli psikologi kepribadian. Bagi Allport, nilai terjadi pada sebuah

keyakinan.

2) Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam

menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif. Definisi ini

memiliki tekanan utama pada norma sebagai faktor eksternal yang

mempengaruhi perilaku manusia. Pandangan ini lebih mencerminkan

pandangan sosiolog.

4
Muhson dan Samsuri, Dasar-Dasar Pendidikan Moral (Jogjakarta: Ombak, 2013),
hlm. 23-24.
5
Abdul Khobir, Op.Cit, hlm. 39.
23

3) Hans Jonas menyatakan bahwa nilai adalah alamat sebuah kata “ya” (value

is address of a yes), atau secara kontekstual nilai adalah sesuatu yang

ditunjukkan dengan kata “ya”.

4) Nilai sebagai konsepsi( tersirat atau tersurat, yang sifatnya membedakan

individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang

mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir

tindakan. Definisi ini dirumuskan oleh Kluckohn.

Dari keempat definisi nilai tersebut dapat ditarik definisi baru agar

lebih sederhana dan mencakup keempat definisi tersebut, yaitu: nilai adalah

rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan.6

2. Pendidikan Humanis

Pendidikan yang dipandang sebagai upaya memanusiakan manusia.7

Pada dasarnya adalah upaya mengembangkan potensi individu sehingga dapat

hidup secara optimal baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari

masyarakat serta memiliki nilai-nilai moral dan sosial sebagai pedoman

hidupnya. Dari makna tersebut maka secara otomatis yang menjadi sasaran

pendidikan adalah manusia.8 Manusia disebut sebagai “Homo Sapiens” yang

berarti mahluk yang mempunyai kemampuan untuk berilmu mengetahui

sebagai salah satu insting manusia yang selalu ingin mengetahui segala

sesuatu disekelilingnya yang belum diketahuinya. Berasal dari rasa ingin tahu

6
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan PENDIDIKAN NILAI, (Bandung:Alfabeta,
2004), hlm. 7-8
7
Chabib Thoha, Filsafat Pendidikan Islam (Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 1996) hlm.21.
8
Umar Tirta Raharja dan Ia Suto, Pengantar Pendidikan, (Jakarta, Grasindo, 1995)
cet.2, hlm, 19.
24

maka tumbuh ilmu pengetahuan.9 Oleh sebab itu, untuk menjadikan anak

manusia menjadi manusia yang sempurna, mutlak diperlukan pendidikan.10

Pengertian istilah pendidikan Abuddin Nata telah menjelaskan panjang

lebar dalam salah satu bukunya bahwa secara kebahasaan pendidikan kita

berarti tarbiyah dalam bahasa Arab11, selain kata tarbiyah, terdapat pula kata

ta’lim dari ta’dib. Dari ketiga istilah tersebut kata yang paling populer

digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah.12

Dalam istilah Inggris, pendidikan juga disebut dengan istilah

“education” adapun definisi pendidikan menurut Frederick Y. Mc Donald

adalah, ”Education is the process or an activity which is directed at producing

desirable changes in the behavior of human being.”13 (Pendidikan adalah

proses atau aktivitas yang diarahkan untuk menghasilkan perubahan yang

diperlukan dalam tingkah laku manusia).

Walaupun telah sama-sama mengarah kepada suatu tujuan tertentu

para ahli masih belum seragam dalam mendefinisikan istilah pendidikan. Hal

ini terbukti dengan munculnya beberapa pendapat dari pakar pendidikan yang

mendefinisikan makna pendidikan seperti berikut ini:

9
Jahar Laris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan, (Jakarta : Pusat Pembukuan
Dekdikbud dengan PT Rineka Cipta, 2000) hlm.1.
10
Made Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997) hlm.4.
11
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 2000),
hlm.5.
12
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pres, 2002), hlm.25.
13
Frederick J. McDonald, Educational Psychology,( Tokyo: Overseas Publications,
LTD.1954). Hlm. 4.
25

1. Dalam pengertian yang luas Ahmad Tafsir mendefinisikan makna

pendidikan sebagai pengembangan pribadi dalam semua aspeknya14

2. M. Ngalim Purwanto, juga berpendapat, makna pendidikan sebagai segala

usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk

memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan.15

3. Zahara ldris mengatakan dalam buku pengantar pendidikan bahwa

pendidikan ialah serangkaian kegiatan interaksi yang bertujuan, antar

manusia dewasa dan secara tatap muka atau dengan menggunakan media

dalam rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan peserta didik

seutuhnya16

Humanisme berasal dari kata latin humanis dan mempunyai akar kata

“homo” yang berarti manusia. Humanis berarti ‘bersifat manusiawi’ sesuai

dengan kodratnya. Semula humanisme adalah sebuah gerakan yang

memperomosikan harkat, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai

aliran pemikiran kritis yang berasal dari gerakan yang menjunjung tinggi

manusia, humanisme menekankan harkat, peranan dan tanggung jawab

manusia.17 Humanisme merupakan sebuah konsep monumental yang menjadi

aspek fundamental bagi renaisans, yaitu aspek yang dijadikan para pemikir

14
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya,1994), cet. 2 hlm.26.
15
Ngalim Purwanto, op.cit, hlm.10
16
Zahara Idris, dan Jawal Lisma, Pengantar Pendidikan ( Jakarta: Garamedia
widiasarana Indonesia, 1992), hlm 4.
17
A Mangunhadjana, Isme-Isme Dari A Sampai Z, (Jogjakarta: Kanisius,1997) ,
hlm. 93.
26

sebagai pegangan untuk mempelajari kesempurnaan manusia di alam natural

dan di dalam sejarah, sekaligus meriset interpretasi tentang ini.18

Memanusiakan dunia secara sederhana berarti mengisi dunia dengan

kehadiran manusia yang sengaja dan berdaya cipta, menanamnya dengan

karya manusia. Manusia adalah penguasa atas dirinya. Oleh karena itu, fitrah

manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Hal ini merupakan tujuan

akhir dari humanisasi. Karenanya, humanisasi juga berarti memerdekakan

atau pembebasan manusia dari situasi-situasi yang menindas di luar

kehendaknya.19

Meskipun dalam sejarah pemikirannya paham humanisme berbeda-

beda, pada dasarnya semua pandangan tersebut memiliki kesamaan.

Kesamaan tersebut adalah konsentrasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan

dimaksudkan untuk mengangkat karkat dan martabat manusia, serta

mengandung tiga unsur, sebagai berikut:20

1. Humanum

Humanum, yaitu gambaran manusia dalam hakikat dan

kedudukannya di dunia. Hakikat manusia sering dikatakan sebagai pribadi

merdeka, makhluk Tuhan, bahkan dalam islam di sebut khalifah atau wakil

Tuhan di dunia. Kedudukannya selaku individu disebut animal rational

(hewan berakal), zoon politicon (binatang yang berpoltik), animal

symbolicum (binatang yang menggunakan simbol-simbol), homo faber

18
Haryanto Al-Fandi.op.cit. hlm.71.
19
Umiarso dan Zamroni, op.cit. hlm. 138.
20
Haryanto Al-Fandi.op.cit. hlm.79-80.
27

(makhluk yang senang bekerja), homo eroticus (makhluk yang senang

bercinta-cintaan), dan lain sebagainya.

2. Humanitas

Humanitas, yaitu hubungan baik dan harmonis antara seseorang

dengan manusia lain yang ditandai oleh kehausan budi pekerti dan adab,

pengertian, apresiasi, simpati, kebersamaan, rasa senasib sepenanggungan,

dan sebagainya.

3. Humaniora

Humaniora, yaitu sarana pendidikan untuk mencapai humanitas

berupa ilmu pengetahuann budaya warisan berbagai bangsa, termasuk

budaya warisan bangsanya sendir. Termasuk bidang humaniora ialah ilmu

sejarah, antropologi budaya, bahasa, kesustraan, seni, arkeologi, filsafat,

ilmu-ilmu keagamaan, dan lain sebagainya.

Pendidikan humanis adalah pola pendidikan yang memfokuskan

pada peran peserta didik, yaitu pola pendidikan yang menghargai keragaman

karakteristik peserta didik dan berupaya untuk mengembangkan setiap

potensi peserta didik secara optimal sehingga mereka memiliki kecakapan

untuk hidup selaras dengan kondisi pribadi dan lingkungannya.21 Ranah

aktualisasi manusia tidak hanya terbatas pada satu aspek, tetapi banyak aspek

yang tersedia sebagai arena determinasi konseptual dan praktik dalam

aktualisasi potensi tersebut. Pendidikan sebagai salah satu aspek determinasi

21
Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit. hlm. 190.
28

harus menepatkan manusia sebagai makhluk yang bebas dalam menentukan

pilihan hidupnya.22

Menurut Paulo Freire yang dikutip oleh Umiarso dan Zamroni

bahwa dalam proses belajar mengajar di dunia pendidikan, terdapat tiga unsur

fundamental yang mempengaruhi, yaitu pendidik, peserta didik, dan realitas

dunia. Unsur pertama dan kedua merupakan hubungan yang saling

melengkapi.23 Pendidikan humanis sangat menghormati harkat dan martabat

manusia (peserta didik), termasuk apa yang ada di dalam diri peserta didik.

Pendidikan humanis memberi kemerdekaan kepada peserta didik untuk

mengembangkan diri sendiri secara penuh.

Orientasi utama dari pendidikan humanis adalah untuk memanusiakan

manusia, yaitu menbantu peserta didik untuk mengembangkan dan mengenal

dirinya sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu mereka untuk dapat

mengembangkan potensinya secara optimal. Diantara karakteristik

kemanusiaan yang penting dikembangkan adalah pengembangan nilai-nilai

kemanusiaan, penumbuhan kesadaran diri dalam pemahaman terhadap orang

lain, kepekaan perasaan dan emosi yang manusiawi, keterlibatan peserta didik

secara aktif dalam kegiatan pengajaran dan efisien dalam cara belajarnya.24

Pendekatan pembelajaran humanistik memandang manusia sebagai

subjek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Manusia

bertanggung jawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang

lain. Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam pembelajaran humanistik


22
Umiarso dan Zamroni, op.cit. hlm. 145.
23
Ibid, hlm.145
24
Haryanto Al-Fandi.op.cit. hlm.191.
29

adalah dialogis. Pendekatan dialogis mengajak peserta didik untuk berpikir

bersama secara kritis dan kreatif. Fungsi pendidik tidak semata-mata sebagai

guru melainkan sebagai fasilitator dan partner dialog dalam proses

pembelajaran.

Dengan demikian, pendidikan humanis tidak hanya memperhatikan

sisi intelektual (kognitif), tetapi juga sisi fisik (psikomotorik), perasaan dan

emosi (afektif). Pendidikan humanis menekankan pada pertumbuhan dan

perkembangan diri peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi

dewasa yang matang dan mapan.

3. Nilai-nilai Pendidikan Humanis

a. Membebaskan

Pendidikan merupakan proses bagi seorang anak manusia untuk

menemukan hal-hal paling penting dalam kehidupannya, yakni terbebas

dari segala hal yang mengekang kemanusiaannya menuju kehidupan yang

penuh dengan kebebasan. Sejatinya setiap manusia diciptakan oleh Tuhan

dengan dianugerahi sebuah kebebasan. Dengan demikian antara manusia

yang satu dengan manusia yang lainnya sama sekali tidak dibenarkan

untuk saling mengekang dan menindas.25

b. Memanusiakan

Manusia merupakan makhluk yang paling menakjubkan, makhluk

yang unik, makhluk multidimensi, makhluk yang serbameliputi, sangat

terbuka dan mempunyai beragam potensi. Sebagai makhluk unik, manusia

25
Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit. hlm. 9.
30

berada pada posisi antara hewan dan malaikat, ia memiliki sifat-sifat

kehewanan (nafsu syaitoniah) dan sifat-sifat kemalaikatan (budi luhur).

Manusia bisa diposisikan sebagai hewan, bahkan lebih rendah dari hewan

ketika hanya memperturutkan hawa nafsu dan sifat-sifat kebinatangan.

Begitupun sebaliknya, manusia akan menempati posisi yang jauh lebih

mulia dari malaikat ketika ia sukses melaksanakan tugas kehidupannya,

yaitu sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi dan hamba Allah

(abdullah).26

Sebagai abdi, manusia mempunyai kewajiban untuk mengabdi

kepada Tuhannya yang menciptakan dan memberinya kehidupan di dunia

ini. Pengabdian manusia kepada Tuhannya adalah pengabdian yang murni,

yakni tidak menyekutukan-Nya. Disinilah sesungguhnya manusia hanya

patuh dan tunduk kepada Tuhannya. Segala aturan yang membuatnya tidak

patuh dan tunduk kepada Tuhannya atau bahkan menyekutukan-Nya, tentu

sama sekali tidak boleh dilakukan. Sebagai abdi yang hanya patuh dan

tunduk kepada Tuhannya, disini posisi manusia sesungguhnya mempunyai

kemerdekaan dan setara dengan sesama manusia yang lain.27

Selain sebagai abdi, peran manusia di dunia ini adalah sebagai

khalifah atau wakil Tuhan di bumi ini. Sebagai khalifah, manusia diberi

kebebasan sepenuhnya oleh Tuhan agar dapat menjadi wakil-nya dalam

mengelola dan membuat kemakmuran di muka bumi ini. Sungguh, ini

bukan peran yang main-main dan rendahan. Ini adalah peran yang besar

26
Ibid , hlm. 181.
27
Haryanto Al-Fandi, op. cit , hlm. 40.
31

dan mulia. Tidak mungkin peran yang besar dan mulia ini dapat dilakukan

oleh orang-orang yang terbelenggu atau bahkan tertindas oleh makhluk

lainnya. Peran yang besar membutuhkan manusia yang merdeka.

Berdasarkan peran manusia di dunia yang sedemikian rupa, pendidikan

yang diberikan atau dijalani oleh manusia haruslah senantiasa berorientasi

kepada penyadaran yang membebaskan.28

c. Demokratis

Hal yang paling pokok dari persoalan pendidikan humanis adalah

pandangan bahwa ada kesetaraan antara manusia yang satu dengan

manusia yang lainnya. Pelaksanaan pendidikan yang demokratis adalah

hal penting yang mesti dilakukan agar anak manusia tidak tersingkirkan

dari hakikat kemanusiaannya.29

d. Dialogis

Pendidikan yang dialogis dapat dilakukan jika seorang guru

berpandangan bahwa tugasnya adalah mendampingi anak didik dalam

proses belajar mengajar. Pada saat seorang guru berpandangan bahwa

tugasnya mendampingi, yang ada dalam pola hubungan ini adalah

kesejajaran. Guru tidak hanya menjadi subjek, sedangkan murid

diperlakukan sebagai objek. Bila sudah ada pola sejajar, dialog dalam

proses belajar mengajar adalah hal yang niscaya.30

28
Ibid, hlm. 41.
29
Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit. hlm. 52.
30
Ibid, hlm. 62.
32

B. Novel sebagai Bentuk Sastra

Dunia kesustraan mengenal prosa (Inggris: prose) sebagai salah satu

genre sastra disamping genre-genre sastra yang lain.31 Prosa dalam pengertian

kesusastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau

wacana naratif (narrative discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti

cerita rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita khayalan. Bentuk karya fiksi yang

berupa prosa adalah novel dan cerpen.

Kata novel berasal dari bahasa Italia Novella yang secara bahasa

berarti barang baru yang kecil, dari, dan kemudian diartikan sebagai cerita

pendek dalam bentuk prosa,32 dalam buku “Tifa Penyair dan Daerahnya”,

H.B Jassin sebagaimana disampaikan Suroto dalam bukunya “Teory Dan

Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia”, Mengemukakan bahwasanya novel

adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu

kejadian yang di luar biasa dalam kehidupan orang-orang, luar biasa karena

dari kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu pertikaian, yang mengalihkan

jurusan nasib mereka.33 Ristri Wahyuni mengemukakan bahwa novel adalah

prosa baru yang menceritakan tentang kisah perjalanan hidup pelaku

utamanya yang mengandung konflik dan sangat menarik minat pembaca lebih

lanjut ceritanya. Novel lebih panjang dan kompleks, setidaknya mencapai

31
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta : Gajah MadaUniversity
Press, 2013), hlm. 1.
32
Ibid, hlm. 11-12.
33
Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta : Erlangga, 1989),
hlm. 19
33

40.000 kata bahkan lebih.34 Dalam perjalanannya, istilah novel sering

dirancukan dengan istilah fiksi lainnya seperti roman, novelet dan cerpen.

Kata roman sendiri berasal dari kata romance yaitu kisah panjang,

kepahlawanan dan percintaan.35 Jika novel lebih dikonsentrasikan, dipusatkan

pada satu krisis dalam satu segi kehidupan, maka roman terbentuk dari

pengembangan atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut.

Roman biasanya mencakup pengertian sebuah karya prosa yang menceritakan

kehidupan tokoh dari kecil sampai meninggal.36 Diantara contoh roman

Indonesia adalah Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Azab dan Sengsara karya

Merari Siregar dan Atheis karya Akhdiyat Karta Miharja.

Berbeda dengan pendapat sebelumnya Jacob Sumarjo, dalam bukunya

“Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen” menyatakan bahwasanya antara

roman dan novel adalah sama. Pada awalnya, semua fiksi panjang yang

diterbitkan Balai Pustaka pada masa penjajahan Belanda disebut Roman,

karena di Belanda pada saat menyebut semua fiksi panjang dengan istilah

roman. Namun pasca perang dunia ke-2, orientasi sastrawan Indonesia mulai

beralih dari Belanda ke Inggris dan Amerika yang menyebut fiksi yang

panjang dengan sebutan novel.37

Sementara novelet adalah bentuk fiksi yang panjangnya antara novel

dan cerpen. Novelet tampil dalam bentuk buku setebal antara 50 sampai 75

34
Ristri Wahyuni, Kitab Lengkap Puisi, Prosa dan Pantun Lama ( Jogjakarta: Saufa,
2014), hal. 181.
35
Tim Penulis, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta : PT Cipto Adi Pustaka,
1990), hlm. 196
36
Suroto, op.cit., hlm. 20 – 22.
37
Jacob Sumarjo, Catatan kecil tentang Menulis Cerpen, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar,1997), hlm. 183
34

halaman. Pada dasarnya novelet adalah contoh karya sastra yang

dimaksudkan untuk dibaca dalam satu waktu sekaligus (sekali duduk).

Novelet memiliki jumlah tokoh dan tema terbatas. Penguraiannya agak luas

dalam dan watak.38 Beberapa novelet Indonesia antara lain : “ Aki” karya

Idrus, “Sri Sumarah” karya Umar Kayam dan “Koong” karya Iwan

Simatupang.

Nilai-nilai yang terkandung dalam novel sastra:39

a. Nilai Sosial

Nilai sosial ini akan membuat orang lebih tahu dan memahami

kehidupan manusia lain.

b. Nilai Ethik

Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri yaitu novel yang

isinya dapat memausiakan para pembacanya, Novel-novel demikian yang

dicari dan dihargai oleh para pembaca yang selalu ingin belajar sesuatu

dari seorang pengarang untuk menyempurnakan dirinya sebagai manusia.

c. Nilai Hedorik

Nilai hedonik ini yang bisa memberikan kesenangan kepada

pembacanya sehingga pembaca ikut terbawa ke dalam cerita novel yang

diberikan.

38
Tim Penulis, op.cit., hlm. 197
39
Arianto Samier Irhash ( di akses 28 maret 2015) Pengertian Novel. Di akses dari
http://www.sobatbaru.blogspot.com
35

d. Nilai Spirit

Nilai sastra yang mempunyai nilai spirit isinya dapat menantang

sikap hidup dan kepercayaan pembacanya. Sehingga pembaca

mendapatkan kepribadian yang tangguh percaya akan dirinya sendiri.

e. Nilai Koleksi

Novel yang bisa dibaca berkali-kali yang berakibat bahwa orang

harus membelinya sendiri, menyimpan dan diabadikan.

f. Nilai Kultural

Novel juga memberikan dan melestarikan budaya dan peradaban

masyarakat, sehingga pembaca dapat mengetahui kebudayaan masyarakat

lain daerah.

C. Novel sebagai Media Pendidikan Humanis

1. Media Pendidikan

Untuk mencapai suatu tujuan pendidikan sebagaimana yang telah

diterangkan panjang lebar dalam pembahasan yang sebelumnya, mutlak

diperlukan berbagai alat dan metode. Istilah lain dari alat pendidikan biasa

dikenal sebagai media pendidikan. Dalam sejarah umat manusia ada berbagai

peristiwa yang dianggap pakar sejarah sebagai pertanda era baru. Hal tersebut

diawali oleh penemuan tulisan paku pada zaman mesir kuno, penemuan

tulisan paku pada zaman Assyria kuno, serta penemuan alat percetakan pada

abad ke 15 di Jerman. Semuanya merupakan peristiwa penting yang membuat

revolusi terhadap kehidupan manusia. Peristiwa-peristiwa penting itu tidaklah


36

mengubah hakikat dari tujuan pendidikan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa

pendidikan dari dahulu hingga sekarang intinya tidak berubah, yang berubah

adalah teknik, teknologi, metode dan medianya.40 Kata media berasal dari

bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kara medium yang secara

harfiah berarti peranan atau pengantar.41 Berikut definisi-definisi yang pernah

dikemukakan para pakar tentang alat atau media pendidikan :

a. Arief S. Sadiman dkk, kalau media adalah perantara atau pengantar pesan

dari pengirim ke penerima pesan.42

b. Makna media bila mengarah pada tujuan pendidikan; Zakiah Daradjat

menyimpulkan inti pendapat dari Rostiyah NK., dkk, dan pendapat

Vernon S. Berlack dan Donald P. Ely bahwa media pendidikan meliputi

segala sesuatu yang dapat membantu proses pencapaian tujuan

pendidikan.43

Berpedoman pada kesimpulan dari Zakiyah Daradjat tentang fungsi

dari pengadaan media sebagai proses untuk mencapai tujuan pendidikan,

dengan demikian media pendidikan tidak hanya sebatas dalam pengertian

media kapur, papan tulis, meja, kursi, kelas dan sebagainya, namun media

cetak dan elektronik juga bisa menjadi salah satu media belajar bagi peserta

didik pada zaman sekarang. Salah satu yang bisa didapatkan dari media

tersebut diantaranya terdapat pada buku novel.

40
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-12, (Jakarta : Radar
Jaya Offset, 1988), hlm. 168-169.
41
Arief S. Sadiman, dkk, Media pendidikan, (Jakarta : CV Rajawali, 1990), cet iv,
hlm. 6
42
Ibid.
43
Zakiyah Daradjat,op.cit., hlm. 80
37

2. Novel sebagai media pendidikan Humanis

Sebuah karya sastra memiliki hubungan yang khas dengan kenyataan.

Oleh karena itu melalui karya sastra dapat diperlihatkan dunia-dunia lain

dengan norma-norma yang dianutnya. Pembaca secara interpretative dapat

menggali norma-norma dan ajaran yang terkandung di dalam sebuah karya

sastra.44

Dengan begitu ada konsepsi bahwa sastra dapat digunakan sebagai

media pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Nilai-nilai pendidikan Islam

tersebut dapat ditransformasikan melalui media sastra (novel). Karena salah

satu metode pengajaran adalah dengan menggunakan metode cerita, maka

melalui media sastra (novel) ajaran-ajaran dapat disampaikan kepada peserta

didik dengan lebih kreatif.

Metode cerita merupakan metode pengisahan peristiwa sejarah hidup

manusia masa lampau yang menyangkut ketaatannya atau kemungkarannya

dalam hidup terhadap perintah Allah yang dibawa oleh Nabi atau Rasul yang

hadir di tengah mereka45

Cerita merupakan salah satu media yang digunakan dalam al-Qur'an

untuk membangkitkan dorongan berzikir, maka melalui cerita-cerita al-Qur'an,

berusaha menanamkan nilai-nilai spiritual Islam baik berupa aqidah,

muamalah, keteladan, sosial dan lain sebagainya.

44
Jan van Luxemburg, dkk., Pengantar Ilmu Sastra, Terj. Dick Hartoko, (Jakarta :
Gramedia, 1986), hlm. 85.
45
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 70.
38

Sejalan dengan al-Qur'an, Rasulullah juga menjadikan cerita sebagai

salah satu sarana untuk mengajarkan nilai-nilai ajaran Islam kepada umatnya.

Cerita yang berasal dari Nabi berbeda dengan cerita manusia umumnya. Cerita

beliau mempunyai keistimewaan yakni didasarkan pada kejujuran, bukan

rekaan dan merupakan wahyu yang disampaikan kepadanya. Prof.Dr.M Alwi

al- Maliki dalam buku “Prinsip-prinsip Pendidikan Rasulullah” menyebutkan

tiga contoh cerita yang disampaikan nabi kepada para sahabatnya, yakni cerita

tiga bayi bicara, ashabul ukhdud dan si botak, si gelang dan si buta.46

Metode cerita kemudian digunakan juga oleh para Walisongo dalam

menyampaikan dakwah kepada masyarakat, dan juga media cerita ini masih

dapat kita jumpai sampai sekarang aitu pada wayang kulit, yang dulu

digunakan oleh Sunan Kalijogo. Meskipun tidak satu-satunya media, novel

dapat diambil sebagi pelengkap media-media lain seperti televisi dan surat

kabar dalam membentuk sistem nilai yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Pemanfaatan novel sebagai media pembelajaran ilmu sosial merupakan

upaya baru yang perlu dilakukan agar pembelajaran menjadi lebih bermakna.

Setidaknya ada sisi positif dari novel yang dapat digunakan dalam proses

pembelajaran. Pembelajaran itu dapat diambil dari contoh cerita, yaitu lewat

pemaparan kisah-kisah dalam novel. Dari novel kita tidak hanya belajar

tentang cinta, tepapi kita bisa belajar tentang banyak hal. Kisah dalam novel

“Totto-chan Gadis Cilik di Jendela” menjelaskan bahwa sebuah novel tidak

46
M. Alwi al-Maliki, Prinsip-prinsip Pendidikan Rasulullah, (Jakarta : Gema Insani
Press, 2002), hlm. 94-114.
39

hanya menghibur, namun juga menawarkan nilai-nilai humanis, sebagai

alternatif dari nilai-nilai yang berkembang secara umum di dalam masyarakat.

Nilai-nilai pendidikan dalam novel digunakan saat pembaca bisa

menangkap momentum tepat yang ada pada peran novel dengan tuntutan

kreativitas dan problematika pembelajaran secara umum. Pembelajaran

mempunyai peran sebagai sarana penyampai informasi, novelpun tidak

diragukan lagi juga mempunyai peran tersebut.

Jadi jelas bahwa upaya umtuk memanfaatkan media yang ada untuk

menghasilkan sesuatu yang lebih bermakna itulah yang disebut momentum

kreatifitas guru dalam pembelajaran, dan momentum itu dinamakan kreatifitas

pembelajaran untuk mendapatkan pembelajaran yang lebih bermakna.

D. Jenis-jenis Novel

Dalam dunia kesustraan, novel memiliki berbagai jenis yang berbeda,

diantaranya, yaitu:

1. Jenis Novel Berdasarkan isi dan tokoh.

Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya yang berjudul “Teori

Pengkajian Fiksi” membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu:47

a. Novel Populer

Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan

banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Novel

populer menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman,

47
Burhan Nurgiyantoro, op.cit, hlm. 19-28.
40

namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer lebih mudah

dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata

menyampaikan cerita. Agar mudah dipahami plot sengaja dibuat lancar

dan sederhana, perwatakan tokoh tidak berkembang, tunduk begitu saja

pada kemauan pengarang dan bertujuan memuaskan pembaca. Adapun

contoh novel populer, yaitu: Karmila, Badai Pasti Berlalu, Cintaku di

Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Cewek Komersil, dan lain-lain.

2. Novel Serius (literer)

Novel serius adalah novel yang menampilkan permasalahan

kehidupan yang secara lebih intens dan berusaha meresapi hakikat

kehidupan. Dalam novel serius diperlukan daya konsentrasi yang tinggi

untuk bisa memahaminya dengan baik. Berbagai unsur cerita seperti plot,

tema, karakter, latar dan lain lain selalu memiliki pembaharuan.

Perwatakan tokoh selalu berkembang dan tidak akan terjadi sesuatu yang

stereotip. Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang

baru dengan cara pengucapan yang baru pula. Adapun contoh novel serius,

yaitu: Gairah untuk Hidup dan Gairah untuk Mati, Pada sebuah Kapal,

Burung-burung Manyar, Supernova, Ayat-ayat Cinta, dan lain-lain.

3. Novel Teenlit

Novel Teenlit adalah novel yang selalu berkisah tentang tentang

remaja, baik yang menyangkut tokoh-tokoh maupun permasalahannya.

Para tokoh remaja itu hadir lengkap dengan karakter dan masalahnya.

Tokoh utama cerita yang pada umumnya perempuan adalah tokoh yang
41

dapat diidolakan, tokoh yang berkarakter khas remaja, tokoh yang dapat

dijadikan ajang pencarian identitas diri dan kelompok. Novel Teenlit juga

memiliki karakteristik novel populer. Novel-novel Teenlit berkisah tentang

dunia remaja dengan bahasa gaul yang khas remaja karena pada umumnya

ditulis oleh remaja. Adapun contoh novel Teenlit, yaitu: Dylan Nuranditya

(18 tahun) menulis DeaLova (2014), Maria Ardelia (16 tahun) menulis Me

vs High Heels! Aku vs Sepatu Hak Tinggi! (2004), Gisantia Bestari (13

tahun) menulis Cinta Adisty (2004).

4. Jenis novel berdasarkan kebenaran cerita

a. Novel fiksi adalah novel yang tidak nyata atau tidak ada kejadian di

dunia. Novel ini hanya fiktif (karangan) dari pengarang. Contohnya

Harry Potter

b. Novel non-fiksi adalah novel dari kejadian yang pernah ada atau

ilmiah. Contohnya adalah Laskar Pelangi.

5. jenis novel berndasarkan genre cerita

a. Novel romantis.

Cerita yang digambarkan dalam novel ini berupa kasih sayang dan

cinta. Contohnya Ayat-ayat cinta

b. Novel horor/menyeramkan.

Novel ini berisi tentang cerita yang menakutkan. Contohnya Bangku

Kosong

c. Novel misteri.

Novel ini berisi tentang misteri. Contohnya novel Agatha Christie


42

d. Novel komedi.

Novel ini berisi tentang cerita komedi yang membuat kita ketawa.

Contohya Kambing jantan.

e. Novel inspiratif.

Berisi tentang cerita kisah inspiratif. Contohnya Negeri 5 Menara.48

E. Unsur-unsur Intrinsik Novel

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu

sendiri. unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks

sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca

karya satra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara

langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur


49
intrisnsik inilah yang membuat novel berwujud. Adapun unsur-unsur

intrinsik yang terdapat di dalam novel, yaitu:

1. Tema

Tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yangmendasari suatu


50
karya sastra. Sedangkan Burhan Nurgiyantoro menyebut tema sebagai

gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai

struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang

dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit.51

48
Guru IPA Purwokerto, (di akses 20 April 2015), Ciri-ciri Novel dan Jenis-jenis
Novel, diakses dari http://laportadoradesuenos.blogspot.com/2015/02/ciri-ciri-novel-dan-jenis -
jenis-novel.html
49
Burhan Nurgiyantoro, op.cit, hlm. 30.
50
Sudjiman, Panuti, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988),hlm.50
51
Burhan Nurgiyantoro, op.cit, hlm. 115.
43

Tema cerita dapat dinyatakan dengan jelas artinya dinyatakan secara

eksplisit atau disebut juga tema tersurat. Tema semacam ini dapat terlihat dari

judul karya atau dinyatakan secara simbolik. Tema tersurat relatif mudah

ditemukan. Tema suatu cerita novel juga dapat dinyatakan secara implisit atau

tersirat, artinya tema tidak dinyatakansecara tegas tetapi terasa dalam jalinan

cerita suatu karya sastra novel. Tema dalam karya sastra novel dapat

dibedakan atas tema mayor atau tema pokok dan tema minor atau tema

bawahan. Tema mayor atau tema pokok disebut juga tema sentral, merupakan

permasalahan yang paling dominan menjiwai suatu karya sastra novel.

Sedangkan tema minor atau tema bawahan disebut juga tema sampingan,

merupakan percabangan dari tema mayor.

Tema yang menjadi permasalahan dalam karya sastra novel sangat

beragam, namun kenyataannya sering terlihat bahwa ada pengarang yang

selalu menggarap tema yang sama dalam setiap karya novelnya. Hal ini

menunjukkan bahwa tema suatu karya novel dipengaruhi oleh pilihan atau

selera pribadi pengarang, di mana pengarang akan selalu menulis cerita-cerita

yang diakrabinya dan menghindari hal-hal yang tidak disukainya.

2. Alur

Alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap

kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu

disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.52 Dalam sebuah

52
Burhan Nurgiyantoro, op.cit, hlm. 167.
44

cerita rekaan berbagai peristiwa disajikan dalam urutan tertentu. Peristiwa

yang diurutkan itu membangun tulang punggung cerita yaitu alur.53

3. Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau

perlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya

berwujud manusia, tetapi dapat juga berupa binatang atau benda.54

Sudjiman membagi tokoh cerita berdasarkan fungsinya menjadi tokoh


55
sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral atau tokoh utama merupakan

tokoh yang memegang peran sebagai pimpinan. Kriteria yang digunakan

untuk menentukan suatu tokoh termasuk tokoh utama tidak semata-mata

frekuensi kemunculan tokoh tersebut, melainkan intensitas keterlibatan tokoh

dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita.

Tokoh utama yang mewakili sifat-sifat terpuji biasa disebut tokoh

protagonis. Tokoh utama penentang utama dari protagonis adalah

antagonis/atau tokoh lawan. Di samping protagonis dan antogonis, termasuk

tokoh sentral adalah wirawan atau wirawati, yaitu tokoh yang mempunyai

keagungan pikiran dan keluhuran budi yang tercermin di dalam maksud dan

tindakannya. Sedangkan yang dimaksud dengan tokoh bawahan adalah tokoh

yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat

diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Tokoh bawahan

yang protagonis disebut tokoh andalan. Tokoh-tokoh bawahan tidak

53
Sudjiman, Panuti, op.cit.hlm.29.
54
Ibid, hlm. 16.
55
Ibid, hlm. 17.
45

memegang peranan di dalam cerita disebut tokoh tambahan. Penyajian watak

dan penciptaan citra tokoh disebut penokohan.56

Menurut Abrams yang dikutip oleh Nurgiyantoro bahwa tokoh adalah

orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh

pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu

seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam

tindakan.57 Penokohan perlu dilakukan, karena tokoh-tokoh yangada dalam

cerita merupakan rekaan pengarang sehingga yang mengenal mereka hanya

sang pengarang saja. Agar tokoh dikenal oleh pembaca, maka perlu

digambarkan ciri dan sikap,baik lahir maupun batinnya. Ada dua cara

untukmenggambarkan tokoh cerita, yaitu cara langsung dan cara tak langsung.

Penokohan secara langsung dilakukan oleh pengarang dengan cara

memaparkan saja watak tokohnya baik secara fisik atau ciri lahiriyah maupun

batin atau watak tokoh,dan dapat pula menambahkan komentar tentang watak

tersebut. Sedangkan cara tak langsung watak tokoh dapat disimpulkan

pembaca dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang,

dapat pula dari penampilan fisiknya serta gambaran lingkungan atau tempat

tokoh. Cakapan dan lakuan serta pikiran tokoh yang dipaparkan pengarang

dapat menyiratkan sifat watak tokoh tersebut.58

4. Latar atau seting

Latar atau seting adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang

berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu
56
Sudjiman, Panuti, op.cit.hlm.19-23.
57
Burhan Nurgiyantoro, op.cit, hlm. 247.
58
Sudjiman, Panuti, op.cit.hlm.23-27.
46

karya sastra membangun latar cerita. 59Suatu cerita tak lain merupakan lukisan

peristiwa atau kejadian yang menimpa atau dilakukan oleh satu atau beberapa

orang tokoh pada suatu waktu di suatu tempat.

Dalam suatu sastra novel, latar memberikan informasi situasi (ruang

dan tempat) sebagaimana adanya. Di samping itu, latar juga berfungsi sebagai

proteksi keadaan batin paratokoh, latar menjadi metafor dari keadaan

emosional dan spiritual tokoh.

Hudson melalui Sudjiman membagi latar menjadi latar sosial dan latar

fisik/material.60 Latar sosial menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok

sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, dan bahasa yang melatari

suatu peristiwa. Sedangkan latar fisik adalah tempat dalam wujud fisiknya

seperti bangunan, daerah, dan waktu yang melatari suatu peristiwa. Secara

sederhana latar dapat dikatakan segala keterangan, petunjuk, pengacuan,

yangberkaitan dengan waktu, ruang, suasana terjadinya peristiwa dalam suatu

karya sastra. Di samping itu, aspek ruang dalam menggambarkan

tempat/lokasi terjadinya peristiwa dalam cerita adalah sangat penting.

Aspek waktu adalah seluruh rentangan waktu atau jangkauan yang

digambarkan dalam cerita. Adapun aspek suasana adalah aspek yang

melukiskan suasana sekeliling saat terjadinya peristiwa yang menjadi

pengiring atau latar belakang kejadian yang pentingmenentukan latar

cerita.Tokoh dan latar merupakan dua unsur yang erat hubungan dan tunjang

menunjang. Untuk membuat tokoh-tokoh yang meyakinkan, pengarang harus

59
Ibid, hlm. 44
60
Ibid, hlm. 44
47

melengkapi diri dengan pengetahuan yang luas tentang sifat manusia, serta

kebiasaan bertindak dan berujar dalam lingkungan masyarakat yang dijadikan

latar cerita.

Latar dalam fiksi bukan hanya sekedar background yang menunjukkan

tempat dan kapan terjadinya. Sebuah cerpen dan novel memang harus terjadi

di suatu tempat dan dalam suatu waktu, harus ada tempat dan ruang kejadian.

Dengan kata lain, latar tidak hanya terbatas pada waktu dan tempat terjadinya

peristiwa, tetapi terdapat beberapa unsur lain yang termasuk di dalamnya

antara lain suasana, alam atau lingkungan, dan periode.

F. Nilai-nilai Pendidikan Humanis dalam Novel

1. Membebaskan

Di dalam pendidikan humanis, anak diarahkan untuk memahami

potensi dasar yang ada di dalam dirinya sendiri. Setiap anak dihargai

kelebihannya dan di pahami kekurangannya. Mereka diarahkan untuk belajar

secara aktif, dimana guru berperan sebagai fasilitator. Siswa belajar tidak

mungkin mengejar nilai, tetapi untuk memanfaatkan ilmunya dalam

kehidupan sehari-hari. Menjadikan anak memiliki logika berpikir yang

baik.,mencermati alam lingkungannya menjadi media belajarnya dengan

media action learning dan diskusi. Anak-anak tidak hanya belajar dikelas,

tetapi mereka belajar dari mana saja dan dari siapa saja. Mereka tidak hanya

belajar dari buku, tetapi juga belajar dari alam sekelilingnya.


48

Menurut teori belajar Rogers mengatakan bahwa keinginan untuk

belajar anak diberikan kebebasan untuk memuaskan keingintahuan mereka

tanpa di halangi oleh ruang kelas, pakaian, tempat duduk, peraturan sekolah

yang mematikan daya kreativitas maupun guru yang mengatur. Belajar atas

inisiatif sendiri, anak-anak belajar tidak hanya selama jam belajar sekolah

tetapi juga pada waktu jam bermain mereka.61

Menurut Jahja bermain sangat penting bagi anak karena mengandung

dua fungsi, yaitu (1) fungsi kognitif. Melalui bermain, anak-anak dapat

menjelajahi lingkungannya, mempelajari objekobjek di sekitarnya, dan belajar

memecahkan masalah yang dihadapinya. Melalui permainan memungkinkan

anak untuk mengembangkan kopetensi dan keterampilan yang diperlukannya

dengan cara yang menyenangkan, dan (2) fungsi emosi. Permainan

memecahkan sebagian emosi anak, belajar mengatasi kegelisahan dan konflik

batin. Permainan memungkinkan anak untuk melepaskan energi fisik yang

berlebihan dan membebaskan perasaan-perasaan terpendam karena tekanan

batin terlepaskan dalam permainan, sehingga anak dapat mengatasi masalah-

masalah dalam kehidupannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa bermain

merupakan waktu penting bagi anak karena mampu memberikan dampak

positif pada perkembangan kognitif dan perkembangan emosi anak.62

61
Eve Nelindhy, Strategi Pembelajaran Matematika Sekolah Alam, (Surakarta: Skripsi
UMS, 2010), hlm. 16
62
Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan ( Jakarta:Kencana, 2011), hlm.192.
49

2. Memanusiakan

a. Memberikan Sugesti sebagai Bentuk Motivasi

Sugesti merupakan pengaruh dari jiwa atau perbuatan

seseorang sehingga mempengaruhi pikiran, perasaan, dan kemauan.63

b. Menanamkan Rasa Percaya Diri

Untuk menghilangkan rasa minder pada anak juga dapat

dilakukan dengan menanamkan rasa percaya diri yang mantap.64

3. Demokratis

a. Menggunakan Sistem Pendidikan yang Inklusif

Sistem merupakan seperangkat peraturan, prinsip, fakta, dan

sebagainya yang digolongkan atau disusun dalam bentuk yang teratur

untuk menunjukkan rencana logis yang berhubungan dengan berbagai

bagian.65 Dalam hal ini, sistem pendidikan di Sekolah Tomoe

menggunakan sistem pendidikan inklusif. Sistem pendidikan inklusif

adalah pelayanan pendidikan kelompok anak berkebutuhan khusus yang

dididik bersama anak lain yang normal untuk mengoptimalkan potensi

yang dimilikinya. Salah satu kelompok yang dimaksud adalah anak

penyandang cacat.66 Sistem pendidikan inklusif berbeda dengan sistem

pendidikan reguler dan abnormal. Sistem pendidikan reguler merupakan

pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang normal, sedangkan

63
Ahmadi, Psikologi Umum (Jakarta:Rineka Cipta,2003), hlm. 161.
64
Mohammad. Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, (Jakarta:Bumi
Aksara,2006), hlm. 20.
65
Peter Salim, dkk. Kamus Bahasa Indonesia Kontenporer, (Jakarta: Modern English
Press, 1991), hlm. 325.
66
Mohammad. Efendi, Op.Cit, hlm. 23
50

sistem pendidikan abnormal merupakan pendidikan bagi peserta didik

yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran

karena adanya kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial.67

Dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan inklusif merupakan

sistem pendidikan yang menggabungkan antara anak-anak normal dengan

anak-anak yang menderita kelainan dalam satu sistem pendidikan. Tujuan

dari sistem pendidikan ini adalah menghapuskan perbedaan antara anak-

anak normal dengan anak-anak yang memiliki kelainan sehingga anak-

anak yang memiliki kelainan dapat merasakan pendidikan yang sama

dengan anak-anak normal lainnya.

4. Dialogis

a. Pembelajaran Mandiri

Pembelajaran mandiri adalah proses pembelajaran yang menuntut

anak didik yang menjadi subjek yang harus merancang, mengatur dan mengontrol

kegiatan mereka sendiri secara bertanggung jawab.68 Pembelajaran mandiri

diawali dengan konsep yang sanget sederhana, yakni bagaimana seorang guru

bisa membangkitkan selera belajar peserta didik. Cara belajar yang akan

membawa siswa ke dunianya sendiri, yaitu dunia belajar yang menyenangkan,

bebas, dan tanpa tekanan dari siapapun. Peserta didik benar-benar dituntut untuk

berusaha secara mandiri dalam memahami isi pelajaran yang dibaca atau

dilihatnya. Jika mendapat kesulitan, barulah dapat bertanya atau

mendiskusikannya dengan teman, guru atau orang lain.69

67
Ibid, hlm. 1.
68
Haryanto Al-Fandi, Op.Cit. hlm. 252
69
Ibid, hlm. 253.
51

b. Mendampingi Belajar Peserta Didik

Haryanto mengungkapkan seorang pendidik harus lebih

meningkatkan perhatiannya terhadap hubungan dengan peserta didik

seperti halnya terhadap bahan pembelajaran.70

70
Ibid, hlm. 232.

Anda mungkin juga menyukai