Anda di halaman 1dari 6

Hubungan mikosis superfisial dengan dermatitis popok

Abstrak

Popok membuat kondisi lembab dan gesekan, dan dengan urin dan feses menyebabkan
peningkatan pH dan enzim yang dapat mengiritasi (lipase dan protease). Jamur dapat
memanfaatkan semua faktor-faktor ini. Jamur Candida, terutama C.albicans, adalah yang
bertanggung jawab atas infeksi sekunder yang paling sering dan melatarbelakangi di lebih dari
80% kasus. Diagnosis yang benar penting untuk memastikan resep antimikotik topikal yang
tepat. Nistatin, imidazol dan ciclopirox adalah yang ampuh. Penting untuk disadari ada strain
yang resisten. Dermatofita dapat menginfeksi area popok, Epidermophyton floccosum adalah
agen yang paling umum. Karakteristik klinis dermatofitosis berbeda dari kandidiasis, dan itu
dapat didiagnosis dan diobati dengan mudah. Jamur Malassezia dapat memperberat kondisi yang
mempengaruhi area popok, seperti dermatitis seboroik, dermatitis atopik, dan psoriasis inversa.
Tambahan pengobatan yang dianjurkan dalam kasus ini, karena mereka biasanya melibatkan
aktivasi komplemen dan kadar IgE spesifik yang meningkat. Eritrasma adalah pseudomikosis
yang tidak dapat dibedakan dari kandidiasis dan mungkin juga terdapat pada lipatan kulit besar.
Itu dapat diobati dengan produk antibakteri topikal dan beberapa antimikotik.

Kata kunci: Dermatitis popok, Candida albicans, Dermatofitosis, Epidermophyton floccosum,


Malassezia spp.

Pengantar
Popok sekali pakai pertama kali diproduksi pada tahun 1940-an, tetapi pada awalnya dianggap
sebagai barang mewah. Tidak sampai tahun 1960-an mereka mulai menggunakannya dalam
skala besar. Pada saat itu, popok dibuat dengan lapisan selulosa, dimana mereka membuatnya
lebih menyerap dan tahan. [1-3]. Namun, mereka juga dapat menyebabkan dermatitis popok, yang
juga dikenal sebagai ruam popok, dan bisa dikaitkan dengan berbagai infeksi, terutama infeksi
Candida [3]. Mikotik superfisial lainnya yang biasa ditemukan di area popok adalah
dermatofitosis atau infeksi tinea, eksaserbasi dermatitis seboroik oleh jamur Malassezia dan
beberapa kondisi pseudomikotik seperti eritrasma [4-6]. Sejak popok digunakan untuk bayi,
kebanyakan komplikasi terjadi di antara kelompok usia ini, tetapi perlu diingat bahwa beberapa
orang tua juga menggunakan popok karena beberapa alasan.
Tujuan utama kami dalam penelitian ini adalah untuk meninjau mikosis superfisial area
popok dan karakteristik klinis, epidemiologis, diagnostik serta penatalaksanaan.

Hubungan kandidiasis dengan Dermatitis Popok

Epidemiologis, Patogenesis dan Gambaran Klinis

Dermatitis popok adalah kondisi umum, terutama di kalangan bayi. Ini adalah iritasi dan
peradangan akut dermatitis di daerah perineum dan perianal akibat iritasi yang disebabkan oleh
popok. Sebagian besar kasus sembuh dalam sehari tanpa pengobatan, tetapi ada kasus yang
bertahan 3 hari atau lebih den lebih sulit yang dapat dikaitkan dengan infeksi [1–3]. Prevalensi dan
insiden yang tinggi, bervariasi berdasarkan kondisi masing-masing negara dan popok yang
paling umum digunakan. Prevalensi dermatitis popok diperkirakan 7-35%, dan insiden tertinggi
pada bayi antara usia 9 dan 12 bulan [3, 6-9]. Dalam penelitian terbaru yang dilakukan di
Inggris[10], sebagai contoh, prevalensi ruam popok adalah 25% pada bulan pertama kelahiran,
sesuai dengan studi pertama yang dilakukan pada 1980-an, yang mengungkapkan prevalensi
hampir 70% [1-3, 6, 8, 11].
Studi pertama menyimpulkan faktor pemicu utama adalah peningkatan pH yang
disebabkan oleh mikroflora [3, 6, 8, 9]. Meskipun ini biasanya merupakan faktor penting, kita
sekarang tahu bahwa perkembangan dermatitis popok jauh lebih kompleks dan multifaktorial,
melibatkan serangkaian proses yang telah diatur [12-22], semua ini dirangkum dalam tabel 1.
Infeksi paling umum yang terkait dengan dermatitis popok disebabkan oleh jamur
Candida, terutama Candida albicans, yang telah dilaporkan lebih dari 80% [3, 6, 7, 17, 18]. Ragi ini
juga menyebabkan infeksi sekunder. Normalnya jumlah jamur Candida di area popok tanpa
dermatitis adalah rendah dan demikian jamur telah diisolasi pada 4% kasus [18, 19], sedangkan
mereka menyampaikan antara 70 dan 92% dari anak-anak dengan dermatitis popok [8, 9, 20]. Asal
usul ragi ini secara langsung berkaitan dengan flora usus, dan mereka telah diisolasi pada anak-
anak dengan kandidiasis oral (sariawan). Gejala klinis pada kasus ini lebih berat karena jamur
diekskresikan di kotoran. [7-9, 21, 22].
Serangkaian faktor mendukung infeksi Candida di area popok. Mereka sebagian besar
adalah ragi asidofilik yang tumbuh subur pada pH kulit, yaitu sekitar 5,5, atau 6,0 pada bayi baru
lahir (karena vernix caseosa dan cairan amnion), cenderung menjadi normal dalam beberapa
hari[1, 3, 17, 18,22]. C. albicans dan ragi lainnya memberikan contoh adaptasi sempurna untuk
perubahan pH, yang dikendalikan oleh dua gen: PHR2, yang diaktifkan oleh lingkungan asam
dan dinonaktifkan ketika pH meningkat, dan PHR1, yang melakukan yang sebaliknya, yaitu
diaktifkan di pH tinggi (level netral dan dasar) [23]. Faktor lain yang terbukti dalam
mengembangkan jamur (ragi dan dermatofita) adalah tingkat CO2, yang lebih tinggi di
lingkungan popok sekali pakai [16, 24,25].
Candida albicans, menyebabkan infeksi, dengan meningkatkan jumlah ragi dan
perubahan mikromorfologi berubah dari blastoconidia menjadi hifa dan pseudohifa, yang
menembus superficial stratum korneum dan epidermis [18, 19, 25]. Pada umumnya, infeksi sekunder
jamur Candida adalah komplikasi paling umum dari dermatitis popok, dan terjadi lebih dari 80%
kasus. Telah dibuktikan bahwa infeksi ini dapat bertindak bersama dengan bakteri seperti
Escherichia coli untuk meningkatkan adhesi seluler jamur [3, 26]. Sebagian besar laporan
menunjukkan agen infeksi yang utama adalah C. albicans (80-90%). [4, 22, 27]. Spesies lain telah
ditemukan dalam jumlah yang lebih rendah: Candida tropicalis [28], Candida parapsilosis [17] dan
Candida glabrata [27]. Hal ini penting sebagai perhitungan, karena beberapa spesies ini tidak
memiliki sensitivitas yang sama terhadap berbagai antimikotik. C. glabrata sangat penting karena
tidak dalam bentuk pseudohifa atau hifa, berarti infeksinya hanya diatur oleh peningkatan jumlah
blastokonidia, dan lebih tahan terhadap antimikotik, terutama flukonazol.
Dengan perkembangan popok sekali pakai, kejadian dan tingkat keparahan dermatitis
popok sangat menurun. Teknologi baru memungkinkan superabsorben polimer seperti natrium
poliakrilat menjadi dimasukkan ke dalam inti popok. Polimer ini membentuk gel saat
bersentuhan dengan urin, mengurangi kelembaban kulit dan gesekan dan membantu
menormalkan pH kulit. Dapat menyerap 50–80 kali lipat dari berat dalam cairan [11, 16]. Jenis
popok kedua adalah disebut popk breathable[25]. Ini terbuat dari selaput mikro yang
memungkinkan penguapan sekaligus mencegah kebocoran. Dalam beberapa penelitian, anak-
anak yang mengenakan popok ini memiliki kejadian dermatitis popok 50% lebih sedikit [16, 19].
Akin et al. [25] melakukan penelitian untuk menilai infeksi Candida dalam popok breathable dan
non breathable. Relawan dewasa diinokulasi dengan C.albicans pada konsentrasi 106-107
pembentuk unit koloni (CFU), dan kelangsungan hidup ragi ditunjukkan menjadi 62% lebih
rendah di popok breathable. Ini mengarahkan bahwa mekanisme ‘‘ bernafas ’’ secara langsung
berpengaruh pada kehadiran jamur.
Secara klinis, dermatitis muncul di wilayah yang ditutup oleh popok, mempengaruhi
bokong, perineum dan daerah inguinal, dan kadang-kadang bagian dari alat kelamin. Pada kasus
yang lebih parah, dapat menyebar ke daerah lain [1-3,8, 9]. Dermatitis iritan dini ditandai dengan
eritema, maserasi ringan dan edema, sedangkan Candida dermatitis popok (CDD) ditandai
dengan eritematosa dan plak bersisik dengan maserasi dan edema, terkadang dengan pustula atau
papula satelit, yang terakhir menjadi ciri paling khas dari infeksi Candida. Erosi dan ulserasi
dapat terjadi secara parah pada kasus. Gejala berupa rasa terbakar dan gatal, tetapi ini sulit untuk
dinilai karena kondisinya pada anak-anak kecil [1-3, 7, 9, 11] (Gbr. 1).
Popok sekali pakai juga digunakan pada pasien usia lanjut yang terbaring di tempat
tidur atau yang menderita berbagai kondisi: inkontinensia urin, gangguan mental (Penyakit
Alzheimer), dll. [27-29]. Gejala klinis dermatitis popok pada lansia mirip dengan yang ditemukan
pada bayi dan kebanyakan pasien mengeluh rasa terbakar dan gatal. Foureur et al. [28] melakukan
studi prospektif untuk mengevaluasi etiologi dermatitis popok pada pasien tua yang terbaring di
tempat tidur. Mereka mendaftarkan 46 pasien dengan usia rata-rata 85 tahun. Yang paling umum
penyebabnya adalah kandidiasis (oleh C. albicans), yang terdapat pada 63% pasien, diikuti oleh
dermatitis iritan (16%), eksim dan psoriasis (masing-masing 11%). Studi ini menyoroti tingginya
prevalensi kandidiasis dan kebutuhan untuk penggunaan profilaksis antimikotik topikal [28] (Gbr.
2).
Diagnosis banding dermatitis popok meliputi: dermatitis kontak, psoriasis inversa,
dermatitis seboroik, dermatitis atopik, dermatofitosis, akrodermatitis enteropathika, impetigo,
Langerhans Cell Histiocytosis (sebelumnya: Penyakit Letterer-Siwe), dan sifilis kongenital [1, 3,
11, 19, 30]
.

Diagnosis Laboratorium

Diagnosis dermatitis popok harus secara klinis, tetapi biakan mikologis diperlukan untuk
mengkonfirmasi Candida pada dermatitis popok. Pemeriksaan langsung dengan KOH (10%)
harus menunjukkan pseudohifa dan blastoconidia, menunjuk pada infeksi Candida sp;
blastoconidia hanya ditemukan pada infeksi C. glabrata. Saat terdapat maserasi, mungkin untuk
mengambil sampel pewarnaan (Giemsa, PAS, Wright) [3, 6, 11, 31]. Sampel biasanya diambil
dengan swab dan dapat ditempatkan di Sabouraud dextrose agar (SDA), dan lebih disukai
menggunakan media kromogenik (CHROMcandida) sejak agen etiologis ditentukan dengan
primoisolasi. Jamur yang diperoleh dapat diidentifikasi melalui pengujian biokimia
(zymograms), pengujian molekuler (PCR) dan pengujian proteomik (MALDI-TOF). Biopsi
biasanya lebih invasif tetapi juga berguna, terutama dalam kasus-kasus di mana diagnosis
lainnya mungkin. Infeksi biasanya terlihat di permukaan (stratum korneum) dan di dermis,
dengan banyak pseudohifa dan blastoconidia [3, 28, 31].

Pengobatan
Untuk dermatitis popok awal, hal yang paling penting adalah mengurangi pajanan urin dan feses.
Ini sebabnya penggantian popok secara sering lebih direkomendasikan. Krim atau emolien
sederhana harus digunakan setiap penggantian popok; bahan-bahan terbaik adalah zink oksida,
petrolatum, minyak hati ikan kod dan lanolin [1-3, 6, 7, 11, 19,30, 31]. Dua bahan pertama adalah yang
paling sering digunakan. Penting untuk disadari jika ada infeksi Candida, mereka biasanya
kontraproduktif [19].
Kortikosteroid dapat digunakan, tetapi hanya untuk jangka pendek, yaitu paling lama 1-2
minggu. Seharusnya digunakan untuk mengobati dermatitis popok sedang hingga berat, dengan
eritema dan iritasi, dan lebih dipilh jika dermatitis popok belum respon terhadap produk
pelembab [2, 11, 19, 20, 31]. Lebih baik menggunakan steroid berkekuatan rendah seperti
hidrokortison. Meskipun steroid dengan kekuatan menengah sampai tinggi di pasaran dengan
aktivitas antiinflamasi yang lebih tinggi, ini tidak dianjurkan, karena mereka dapat menyebabkan
efek samping yang serius seperti takifilaksis, atrofi kulit, striae, granuloma gluteale infantum;
juga dapat diserap secara sistematis, menyebabkan Cushing sindrom atau supresi poros
hipotalamus-hipofisis-adrenal [9, 19, 32]. Banyak gejalanya terkait dengan steroid dapat menjadi
lebih buruk oleh kandidiasis [9, 19].
Antimikotik: Karena kebanyakan kasus disebabkan oleh C.albicans, mereka biasanya
merespon dengan baik berbagai antimikotik topikal tersedia. Nistatin masih umum digunakan [1-3,
11, 19, 31, 33]
, tetapi kurang aktif dibandingkan turunan imidazol. Karena itu, jika infeksi terjadi
tidak merespons dalam 1-3 hari pengobatan nistatin, beralih ke azole direkomendasikan. Yang
paling banyak digunakan adalah clotrimazole [1, 3, 7 11, 19], miconazole [1,3, 6, 11, 19, 33], ketoconazole
[11, 19]
, dan bifonazole [28].Mereka biasanya digunakan dua kali sehari untuk 7-10 hari dan
umumnya memiliki tingkat kesembuhan yang tinggi, berkisar dari 50 hingga 68%.
Dalam studi evaluasi in vitro [34] (CLSI M44A metode) dari strain Candida yang
diisolasi dari kandidiasis dan dermatitis popok, 149 strain diperoleh dan dibagi menjadi dua
kelompok: C. albicans (64,4%) dan Candida non-albicans (35,6%). Singkatnya, bagaimanapun
juga dari spesies Candida, sekitar 20% resistensi clotrimazole dan ketoconazole sekitar 35%
resistensi, sedangkan nistatin adalah 100% sensitif terhadap Strain C. albicans dan hanya
menunjukkan resistensi 11% untuk strain non-albicans. Data terakhir ini menarik karena mereka
menunjukkan itu meskipun lama perawatan efektif, mereka dapat menampilkan resistensi 10–
35% [34].
Ciclopirox adalah salah satu dari dua antimikotik baru yang telah digunakan untuk
mengobati CDD. Galllup et al. [35] melakukan studi, non-komparatif menggunakan ciclopirox
suspensi (0,77%) diterapkan dua kali sehari untuk 7 hari dan dinilai setelah 14 hari. Mereka
memperoleh total skor keberhasilan yang bagus (p \ 0,047), secara signifikan penurunan tanda
dan gejala dan mikologis obat ditemukan pada evaluasi.
Sertaconazole nitrate adalah generasi ketiga spektrum luas [36] Ini adalah fungisida
dengan daya tahan lama (hingga 72 jam), yang merupakan salah satu sifat yang membuatnya
berbeda dari imidazol lainnya. Bonifaz et al. [37] melakukan penelitian pada dermatitis popok dan
diperoleh hasil sebagai berikut: Sertaconazole krim (2%) diterapkan dua kali sehari selama 14
hari, menyebabkan penurunan lebih dari 50% pada tanda-tanda klinis setelah 7 hari perawatan,
dengan 88,8% klinis penyembuhan mikologis. Itu sangat efektif terhadap spesies non-albicans
dan hanya menyebabkan satu efek samping (3,7%), yaitu iritasi kulit. Kami mempertimbangkan
hal ini untuk menjadi alternatif baru untuk mengobati CDD karena memiliki rasio efikasi-
keamanan yang baik [37].
Penggunaan antimikotik oral hanya dibatasi pada kasus yang parah dan kasus yang
berhubungan dengan jenis kandidiasis lain (oral dan gastrointestinal). Suspensi nistatin telah
diberikan dengan dosis 1 ml 3-4 kali sehari (100.000 IU), seperti halnya flukonazol dengan dosis
3–6 mg / kg / hari [11, 19, 31].
Dermatofitosis di Area Popok

Epidemiologis, Patogenesis dan Gambaran Klinis

Dermatofitosis atau infeksi tinea dapat memengaruhi area popok. Ini disebut dermatofita popok.
Ini terjadi jauh lebih jarang daripada CDD [4, 38-42]. Agen etiologi yang sering terisolasi adalah
Epidermophyton floccosum, ditemukan pada sekitar 80% isolasi, diikuti oleh Trichophyton
rubrum. Ada juga beberapa kasus Trichophyton interdigitale (T. mentagrophytes var.
interdigitale) dan Trichophyton verrucosum [38-42].
Laporan terbanyak berasal dari tahun 1980-an. Meskipun sedikit kasus diterbitkan saat
ini, hal ini pasti masih terjadi [38–42]. Kondisi ini berkembang secara berbeda dari CDD karena
dermatofita tidak seperti jamur, tidak ditemukan di antara flora normal dan infeksi eksternal.
Sebagian besar kasus yang dilaporkan memiliki hubungan dengan orang tua atau pengasuh anak-
anak. Hampir semua pasien memiliki tinea pedis (paling sering oleh E. floccosum) [38, 40, 42], dan
beberapa memiliki onikomikosis (T. rubrum) [4, 39, 42], yang menunjukkan spora dermatofit
ditransmisikan dari tangan atau terbawa dan diuntungkan dari kondisi lembab dan konsentrasi
CO2 yang tinggi, yang dikenal untuk merangsang pertumbuhan dermatofit [24, 25].
Dermatofitosis memiliki karakteristik klinis berikut: muncul di seluruh area yang
ditutup oleh popok, mempengaruhi perut bagian bawah, gluteal dan daerah inguinal, dan
sepertiga atas paha, dan bisa menyebar ke pinggang. Alat kelamin tidak terpengaruh kecuali
kondisi ini terkait dengan steroid yang digunakan dalam jangka waktu yang lama. Secara
morfologis, kondisi ini menunjukkan eritematosa, plak kering bersisik dengan vesikel aktif dan
berbatasan dan tidak ada lesi satelit, dengan papula satelit hanya terjadi dalam kasus tidak biasa,
ketika ada infeksi campuran (dermatofit? Candida sp.) (Gbr. 1). Kondisi ini berkaitan dengan
pengobatan kortikosteroid [38-42]. Gejala yang paling umum adalah gatal. Ada beberapa laporan
yang sebanding di literatur tentang pasien usia lanjut yang menggunakan popok sekali pakai,
tetapi ada lebih banyak kasus sejak orang dewasa lebih banyak sering menderita tinea pedis dan
onikomikosis. Infeksi ini cenderung tidak diketahui [41, 42]. Yang termasuk diagnosis banding
adalah CDD, psoriasis terbalik, dermatitis atopik, sifilis kongenital, dan seborheik dermatitis [4,
38, 42]
.

Diagnosis Laboratorium

Tes paling sederhana yaitu mengambil kerokan dari area bersisik dan melakukan pemeriksaan
langsung dengan KOH (10%), yang seharusnya menunjukkan hifa yang panjang dan tipis.
Dermatofita berkembang lambat di SDA dan SDA? antibiotik, dan diidentifikasi berdasarkan
makro dan karakteristik mikromorfologi [41, 42].

Pengobatan
Jika kondisinya terkait dengan dermatitis popok, tindakan pengobatan harus dilakukan dan
dioleskan antimikotik. Antimikotik yang paling banyak digunakan adalah clotrimazole,
miconazole dan ketoconazole [42, 43]. Ciclopirox [35, 43] dan sertaconazole [36] juga efektif. Nistatin
dan mupirocin tidak efektif melawan dermatofitosis [19]. Waktu perawatan harus sedikit lebih
lama, 2-3 minggu dengan satu atau dua aplikasi, tergantung pada antimikotik yang dipilih. Itu
penting untuk menemukan sumber infeksi dan mengobatinya untuk menghindari infeksi ulang.
Malassezia sp. di Area Popok

Beberapa spesies Malassezia dapat berkontribusi sebagai flora eksogen untuk mengembangkan
berbagai penyakit. Mereka pernah ditemukan pada dermatitis seboroik, dermatitis atopik dan
psorias. Mereka tidak diyakini sebagai agen etiologi [44-49], tetapi berkontribusi pada eksaserbasi
atau sebagai alergen. Mereka dapat menghasilkan antibodi spesifik dan meningkatkan respons
sel imun dan IgE, mis. Malassezia spp.-IgE. Antibodi ini khususnya biasanya merupakan
penanda keparahan dermatitis atopik. Telah dikonfirmasi bahwa suatu peningkatan jumlah ragi
Malassezia mengaktifkan jalur komplemen alternatif, yang mengarah ke proses peradangan dan
karena itu eritema dan mengelupas. Juga telah menunjukkan bahwa jamur Malassezia
menghasilkan enzim seperti fosfatase dan lipase, yang berkontribusi pada proses aktivasi[44-49].
Perlu dicatat tiga syarat yang disebutkan dapat juga terjadi di area popok. Dermatitis
seboroik paling sering terjadi pada kulit kepala, tetapi pada anak-anak bisa menyebar ke bagian
tubuh dan area popok. Dermatitis atopik dapat mengenai hampir semua kulit dan diperburuk di
area popok. Area popok adalah yang paling sering lokasi psoriasis, terutama psoriasis inversa.
Jumlah ragi yang ada bervariasi, tetapi lebih rendah dari pada kulit kepala [45, 47]. Yang paling
umum spesies yang ditemukan adalah Malassezia limita, Malassezia sympodialis, Malassezia
dermatis dan Malassezia globosa [44, 45, 47, 49].
Mereka mudah dikenali dengan pewarnaan seperti Gram atau Giemsa, yang mengungkapkan
sejumlah variabel ragi. Mereka terisolasi di media khusus seperti SDA? minyak zaitun atau agar-
agar Dixon yang dimodifikasi. Mereka diidentifikasi menggunakan metode biokimia (asimilasi
dari surfaktan) atau metode molekuler (PCR) [47]. Dalam kasus di mana jumlah jamur meningkat,
pengobatan yang lain harus ditambahkan. Yang paling responsif antimikotik topikal adalah
ketoconazole, ciclopirox dan sertaconazole. Dua yang pertama tersedia sebagai shampoo, dan
penggunaannya disarankan untuk membantu membersihkan area popok [49, 50]. Akhirnya, penting
untuk melihat eritrasma sebagai infeksi yang sangat mirip kandidiasis popok dan dermatofitosis,
dan ini adalah pseudomikosis karena Corynebacterium minutissimum (Gram-positif,
actinomycetal coryneform). Penyakit ini terjadi pada lipatan kulit sebagai eritematosa, bersisik,
plak, kasus tidak menunjukkan gejala atau menyebabkan sedikit pruritus dan tidak dapat
dibedakan secara klinis dari kandidiasis dan tineas intertriginosa [6, 50-52]. Diagnosis laboratorium
dibuat dengan lampu Wood, plak berpendar warna merah koral, dan harus dikonfirmasi dengan
filamen Gram positif dan kultur dalam agar darah atau (BHI) dan diidentifikasi melalui
pengujian biokimia atau molekuler [6, 51, 52]. Pengobatan pilihan adalah eritromisin topikal,
digunakan satu atau dua kali sehari selama 1 minggu. Asam fusidat dan mupirocin juga bisa
digunakan. Beberapa antimikotik aktif melawan bakteri ini; yang paling penting bifonazole,
sertaconazole dan ciclopirox. Farmakodinamik dapat menjelaskan banyak kasus yang tidak
terdiagnosis diselesaikan dengan penggunaannya [7].

Anda mungkin juga menyukai