Anda di halaman 1dari 32

Bab II Landasan Teori

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pekerjaan Galian


Masalah galian dalam mendapat perhatian khusus terutama bila
dilakukan pada daerah padat penduduk sehingga resiko galian menjadi
sangat besar. Resiko galian menjadi lebih kritis bila kondisi tanah
merupakan tanah lunak atau pasir lepas dalam kondisi muka air tanah yang
tinggi. Galian untuk basement dapat dilakukan dengan beberapa metode
tergantung kondisi tanah, geometri galian dan terutama kondisi lapangan
dalam arti luas area yang tersedia dan bangunan-bangunan yang ada
disekitarnya. Pada umumnya pemahaman tentang galian dalam adalah
merupakan galian yang lebih dari 6 m dan biasanya menuntut suatu
teknologi khusus. Namun galian pada tanah lunak, meskipun
kedalamannya kurang dari 6 m, dapat dikategorikan sebagai galian yang
cukup beresiko dan membutuhkan pertimbangan geoteknik yang
mendalam. Keputusan jenis proteksi galian sangat bergantung pada
kondisi penyelidikan tanah, oleh karena itu peranan penyelidikan tanah
menjadi sangat menentukan dalam membuat keputusan tentang sistem
yang akan dilaksanakan.
Kepentingan penyelidikan geoteknik dalam perancangan galian
dalam diantaranya :
a. Menentukan profil dan stratifikasi tanah di area galian dan sekitarnya.
b. Menentukan posisi muka air tanah
c. Menentukan parameter tanah untuk design, termasuk didalamnya yang
terpenting adalah kuat geser tanah, modulus dan kondisi tegangan
awal

Bila muka air tanah berada pada daerah dangkal (diatas elevasi
dasar galian) serta air tanah cukup mengganggu proses galian, maka
pekerjaan dewatering perlu dipersiapkan terlebih dahulu.

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 1


Bab II Landasan Teori

Metode galian yang dipilih dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut :


a. Luas lahan
b. Kedalaman galian
c. Jenis tanah dan strukturnya

Untuk pekerjaan galian ini, terlebih-lebih galian yang dalam, sudah


harus dipikirkan construction safety, agar dapat menghindari kecelakaan.
Secara garis besar, metode penggalian dibagai menjadi 2 :

1. Galian terbuka tanpa penahan tanah


Kondisi galian yang menguntungkan adalah bila didapati :
a. Tanah memiliki kuat geser yang tinggi, umumnya berupa tanah
lempung teguh (stiff clay) atau tanah pasir yang tersementasi
dengan kuat.
b. Muka air tanah relatif rendah dibandingkan dengan dasar galian
sehingga tidak banyak membutuhkan pemompaan.
c. Disekitar galian tidak terdapat bangunan yang dapat mengalami
pergerakan akibat galian tersebut.

Pada metode ini tanah langsung digali tanpa perkuatan/penahan.


Untuk galian tipe ini biasanya diperlukan slope, sehingga memerlukan
lahan yang luas. Sudut slope yang diperlukan tergantung stabilitas
struktur tanah. Bila tanah cukup stabil ada kemungkinan digali secara
tegak.

Untuk melindungi slope lereng galian terhadap kelongsoran/erosi


karena hujan, dapat digunakan short crete (lapisan beton yang
disemprotkan) atau dapat juga ditutup terpal/plastik (khusus untuk
mencegah erosi karena hujan). Untuk galian tanah yang luas dan
cukup dalam, pada umumnya menggunakan alat berat berupa
excavator untuk menggali dan dump truck untuk alat pengangkutnya.
Oleh karena itu luas galian harus dilebihkan terhadap keperluan
bangunan, karena diperlukan space untuk turun naiknya alat berat,

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 2


Bab II Landasan Teori

berupa ramp yang cukup kemiringannya. Untuk melayani keluar


masuknya alat-alat gali dan alat angkut, ditepi galian dibuat ramp. Bila
lokasi cukup luas, maka ramp dapat dibuat 2 buah, khusus untuk yang
keluar dan masuk sehingga arus kegiatan pembuangan tanah dapat
berjalan lebih lancar.

Gambar 2.1 – Galian Terbuka

2. Galian dengan penahan tanah


Untuk lahan yang sempit atau struktur tanah yang tidak stabil, maka
galian tanah harus diberi penahan. Dinding strutkur penahan galian
dipasang lebih dahulu sebelum galian dimulai. Struktur penahan ini
dapat dibuat dengan pemancangan atau pengeboran untuk membentuk
suatu dinding penahan.
Secara garis besar struktur penahan galian ada 2, yaitu :
1. Free cantilever
Pada jenis ini, struktur penahan tertancap secara bebas, tanpa
disokong dan berfungsi sebagai cantilever sepenuhnya. Sistem ini
menguntungkan proses pelaksanaan bangunan basement, karena
lubang galian bebas dari rintangan, tetapi hal ini memerlukan
struktur penahan yang kuat.

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 3


Bab II Landasan Teori

Untuk galian yang cukup dalam atau beban horisontal yang terlalu
besar, struktur penahan seperti ini menjadi mahal karena dimensi
yang besar.

Gambar 2.2 –Penahan dengan Free Cantilever Penuh


2. Dengan penyokong
Bila struktur penahan tanah dengan struktur free cantilever
sudah tidak efisien lagi (terlalu mahal), maka struktur penahan
tanah perlu penyokong. Ditinjau dari letak penyokong, ada 2 cara
yaitu :
a. Penyokong di dalam area galian
b. Penyokong di luar area galian

Penyokong di dalam area galian dapat dilakukan dengan 2 cara,


yaitu :

1. Penyokong horisontal, untuk galian yang tidak terlalu lebar,


penyokong dapat langsung dari sisi yang satu ke sisi yang
lain.

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 4


Bab II Landasan Teori

Gambar 2.3 – Galian dengan Penahan Horizontal


Tahapan pelaksanaan penyokong horizontal, sebagai berikut:
a. Pemancangan struktur penahan tanah

Gambar 2.4 – Pemancangan dasar galian


b. Galian tahap 1, dan memasang strut 1, bagian atas.

Gambar 2.5 – Galian Tahap 1

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 5


Bab II Landasan Teori

c. Galian tahap 2, dan memasang strut 2, bagian bawah

.Gambar 2.6 – Galian Tahap 2


2. Penyokong bersudut, untuk galian yang lebar, maka tidak
mungkin lagi menggunakan penyokong lansung, karena akan
mahal sekali, oleh karena itu digunakan penyokong bersudut.

Gambar 2.7 – Galian dengan Penahan Bersudut


Tahapan pelaksanaan penyokong bersudut, sebagai berikut:
a. Galian tahap 1, menyisakan tanah untuk tahanan
sementara dan kemudian memasang penahan horizontal 1
dan penyokong 1.

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 6


Bab II Landasan Teori

Gambar 2.8 – Galian Tahap 1


b. Galian tahap 2, sedalam rencana penahan horizontal 2 dan
dipasang penyokong 2, terakhir digali sisanya.

Gambar 2.9 – Galian Tahap 2


Penyokong di luar area galian menguntungkan seperti halnya
free cantilever, karena daerah galian bersih dari rintangan.
Namun cara ini perlu persyaratan apakah diluar area galian
memungkinkan untuk pemilihan cara ini dapat dilakukan
dengan 2 cara, yaitu :

a. Angker horisontal, galian tahap 1 dilaksanakan


dilanjutkan dengan pengangkeran 1, galian tahap 2
diselesaikan dan dipasang angker 2, dst.

Gambar 2.10 – Galian Angker Horizontal

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 7


Bab II Landasan Teori

b. Angker bersudut, galian tahap 1 dilaksanakan dilanjutkan


dengan pengangkeran bersudut 1, galian tahap 2
diselesaikan dan dipasang angker 2, selanjutnya
menyelesaikan sisa galian.

Gambar 2.11 – Galian Angker Besudut

2.2 Kriteria Keruntuhan Mohr-Coulomb


Mohr (1900) menyunguhkan teori keruntuhan tentang material yang
menyatakan bahwa keruntuhan pada suatu material akibat kombinasi kritis
antara tegangan normal maksimum atau tegangan geser maksimum saja.

Gambar 2.12 – Lingkaran Mohr-Coulomb


Persamaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut :
Ԏ = c+σ.tan φ
dimana :
Ԏ = Tegangan Geser
c = Kohesi
σ = Tegangan normal
φ = Sudut geser dalam

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 8


Bab II Landasan Teori

Parameter-parameter tersebut merupakan hasil dari pengujian laboratorium


yang disesuaikan dengan kondisi pekerjaan di lapangan. Berdasarkan
konsep Terzaghi, tegangan geser tanah hanya dapat ditahan oleh partikel
padatnya. Kuat geser tanah bila dinyatakan sebagai fungsi dari tegangan
efektif adalah sebagai berikut :
Ԏ =c’+σf’.tan φ’
=c’+ (σ – ц).tan φ’
Parameter diatas didapat dari hasil pengujian laboratorium berupa triaxial
test, dimana pengujian ini digunakan untuk mengetahui karakteristik kuat
geser pada tanah lempung jenuh. Pada tes triaxial terdapat tiga jenis tes
untuk memodelkan pengaliran yang sesuai dengan kondisi di lapangan,
yaitu :
a. Consolidated Drained Test
Test CD disebut juga S-tes (slow) karena penambahan tegangan aksial
harus lambat agar air pori dapat benar-benar teralirkan. Tidak boleh ada
tekanan air pori berlebih terjadi pada sampel saat pengujian.
Penggeseran dengan kecepatan yang sangat rendah untuk mencegah
munculnya tekanan air pori berlebih sehingga dapat menghasilkan
parameter nilai c’ dan ’ yang digunakan pada analisis dengan kondisi
teralir penuh (stabilitas lereng jangka panjang dan pembebanan yang
sangat lambat).

Gambar 2.13 – Consolidated Drained


Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 9
Bab II Landasan Teori

b. Consolidated Undrained Test


Peningkatan tengan air pori selama test diukur. Tegangan air pori yang
terukur bisa positif ataupun negatif. Tegangan air pori positif terjadi
pada tanah NC, sedangkan negatif terjadi pada tanah OC. Tekanan air
poriyang muncul saat penggeseran dapat menghasilkan parameter nilai
c’ dan’yang kondisinya lebih cepat dari CD.

Gambar 2.14 – Consolidated Undrained

c. Unconsolidated Undrained Test


Pada test triaxial UU tidak terjadi pengaliran maka tidak ada
pengukuran tegangan air pori dan terukur hanya tegangan total.
Cassagrande menamkan test ini dengan sebutan Q-test (quick) karena
keruntuhan yang terjadi lebih cepat dibandingkan dengan S-tes.
Lingkaran Mohr saat runtuh yang menggambarkan tegangan total
diperlihatkan seperti gambar berikut.

Gambar 2.15 – Unconsolidated Undrained

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 10


Bab II Landasan Teori

2.3 Perhitungan Dewatering


Pekerjaan galian untuk basement seringkali terganggu oleh adanya air
tanah. Oleh karena itu, sebelum galian tanah untuk basement dimulai
sudah harus disiapkan pekerjaan pengeringan (dewatering) agar air tanah
yang ada tidak mengganggu proses pelaksanaan basement.

Pedoman yang digunakan dalam perencanaan ini adalah sebagai berikut:


Air tanah langsung dipompa melalui tiap sump pit, sehingga kapasitas
pompa yang digunakan untuk menanggulangi air tanah ≥ debit air tanah.
Sistem Dewatering untuk Kebutuhan Pompa :

(-)
......................................................................................(2.1)

Dimana :
Q = Total debit air tanah (m3/sec.)
k = Koefisien permeabilitas (m/det.)
R = Radius of influece dihitung dari pusat well (m) = Ro + rw
rw = Radius ekuivalen daerah galian (m)
hw = Tinggi air di daerah galian (m)
H = Tinggi air normal (m)
Sistem Dewatering menanggulangi Air Hujan :

..............................................................................................(2.2)

Dimana :

Q = Debit air hujan (l/det)

C = Run-off Coefficient

I = Intensitas hujan untuk waktu konsentrasi t (l/det/Ha)

A = Luas daerah galian (Ha)

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 11


Bab II Landasan Teori

2.4 Definisi Pondasi


Pondasi merupakan struktur bawah dari suatu bangunan yang
mempunyai kontak langsung dengan tanah dan berfungsi meneruskan
beban yang berasal dari berat bangunan itu sendiri dan beban luar yang
bekerja pada bangunan terhadap tanah yang ada disekitarnya. Perencanaan
pondasi sebagai struktur bawah secara umum terdiri atas dua jenis,
diantaranya :
1. Pondasi dangkal (Shallow Foundation)
Pondasi dangkal adalah pondasi yang memikul beban secara langsung,
berikut merupakan jenis-jenis pondasi dangkal :
a. Pondasi telapak yaitu pondasi yang berdiri sendiri dalam
mendukung kolom.
b. Pondasi memanjang yaitu pondasi yang digunakan untuk
mendukung sederetan kolom yang berjarak dekat sehingga bila
digunakan pondasi telapak, sisinya akan terhimpit satu sama
lainnya.
c. Pondasi rakit (raft foundation) yaitu pondasi berupa pelat tebal
yang digunakan untuk mendukung seluruh struktur pada bangunan
yang biasanya terletak pada tanah lunak.
2. Pondasi dalam (Deep Foundation).
Pondasi dalam adalah pondasi yang berfungsi meneruskan beban
bangunan ke tanah keras atau batu yang terletak jauh dari permukaan
tanah,berikut merupakan jenis-jenis pondasi dalam :
a. Pondasi sumuran(pier foundation) yaitu pondasi yang merupakan
peralihan antara pondasi dangkal dan pondasi tiang, digunakan bila
tanah dasar yang kuat terletak pada kedalaman yang relatif dalam,
dimana pondasi sumuran nilai kedalaman (Df) dibagi lebarnya (B)
lebih besar 4 sedangkan pondasi dangkal Df/B ≤ 1.
b. Pondasi tiang (pile foundation) digunakan bila tanah pondasi pada
kedalaman yang normal tidak mampu mendukung bebannya dan
tanah kerasnya terletak pada kedalaman yang sangat dalam.

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 12


Bab II Landasan Teori

Hal yang paling utama dan perlu diperhatikan dalam merencanakan


pondasi, diantaranya :
1. Besarnya beban yang akan dipikul oleh pondasi tersebut.
2. Kekuatan/daya dukung tanah untuk dapat memikul beban yang
bekerja.

2.5 Kapasitas Daya Dukung Pondasi Dangkal

Daya dukung tanah merupakan kemampuan tanah memikul


tekanan atau tekanan maksimum yang diijinkan bekerja pada tanah

pondasi ̅ ( ⁄ ). Daya dukung ultimate (Ultimite Bearing Capacity)

(σult), merupakan daya kemampuan pada batas runtuh. Daya dukung tanah
yang diijinkan dengan adanya faktor keamanan.
̅ ...................................................................................(2.3)

Keterangan :
SF = Safety Factor(Faktor Keamanan)
SF = 3 untuk beban normal
SF = 2 untuk beban darurat
Daya dukung tanah ditentukan dan dibatasi oleh :
 Aman terhadap runtuhnya tanah ( ⁄ ).
 Aman terhadap penurunan akibat konsolidasi tanah sehingga
penurunan total tidak terlalu besar.
Daya dukung terfaktor dipengaruhi oleh :
 Nilai parameter tanah (φ, c, у).
 Kedalaman pondasi Df.
 Ukuran dan bentuk pondasi.
 Sifat tanah terhadap penurunan.
 Kedalaman muka air tanah.
Kapasitas daya dukung pondasi dangkal yang kami desain menggunakan
Metode Terzaghi.

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 13


Bab II Landasan Teori

2.4.1 Kapasitas Daya Dukung Terzaghi


Kapasitas daya dukung ultimit dalam analisis teori Terzaghi
didefinisikan sebagai beban maksimum per satuan luas dimana tanah
masih dapat menopang beban tanpa mengalami keruntuhan.
Pemikiran Terzaghi ini dinyatakan dengan persamaan :
.................................................................................(2.4)

Dimana :
qu = Daya dukung ultimit
Pu = Beban ultimit
A = Luas pondasi

Pada analisa daya dukung Terzaghi (1943), bentuk pondasi


diasumsikan sebagai memanjang tak berhingga yang diletakkan pada
tanah homogen dan dibebani dengan beban terbagi rata qu. Beban
total pondasi per satuan panjang Pumerupakan beban terbagi rata
quyang dikaliakan dengan lebar pondasi B sehingga tanah yang
terletak tepat di bawah pondasi akan membentuk suatu baji tanah
yang menekan tanah ke bawah. Berikut merupakan gambaran bidang
baji.

Gambar 2.16 - Pembebanan Pondasi dan Bentuk Bidang Geser


(Sumber : Hary C. H, 2002)
Kapasitas daya dukung tanah dasar dipengaruhi oleh parameter
φ, c dan γ serta bentuk alas pondasi. Terdapat berbagai metode untuk
menghitung kapasitas dukung tanah dasar dan metode yang sering

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 14


Bab II Landasan Teori

digunakan dalam mekanika tanah adalah analisis Terzaghi yang


kemudian disempurnakan oleh Schultse. Persamaan daya dukung
batas yang disarankan oleh Terzaghi adalah sebagai berikut :
...................................... (2.5) Karena po
= Df.γ, persamaan di atas menjadi :
...................................(2.6)
dimana :
qu = daya dukung ultimit untuk pondasi memanjang (kN/m2)
c = kohesi tanah (kN/m2)
Df = kedalaman pondasi yang tertanam di dalam tanah (m)
γ = berat volume tanah (kN/m3)
po = Df.γ= tekanan overburden pada dasar pondasi (kN/m2)
Nc = faktor daya dukung tanah akibat kohesi tanah
Nq = faktor daya dukung tanah akibat beban terbai rata
Nγ = faktor daya dukung tanah akibat berat tanah
Nilai faktor daya dukung ini merupakan fungsi dari sudut geser
dalam tanah ø dari Terzaghi (1943).Daya dukung ultimit untuk
pondasi memanjang (qu) adalah beban total maksimum per satuan
luas ketika pondasi akan mengalami keruntuhan geser. Beban total
tersebut terdiri dari beban-beban struktur, pelat pondasi dan tanah
urugan diatasnya. Analisa daya dukung tersebut berdasarkan pada
kondisi keruntuhan geser umum dari suatu bahan yang bersifat
plastis dan tidak terjadi perubahan volum dan kuat geser oleh adanya
keruntuhan tersebut.
Gerakan baji tanah ke bawah pada tanah yang mengalami
regangan yang besar sebelum mencapai keruntuhan geser mungkin
hanya memampatkan tanah tanpa menimbulkan regangan yang
cukup untuk menghasilkan keruntuhan geser umum. Menurut
Terzaghi, tidak ada analisis rasional sebagai pemecahannya. Oleh
karena itu Terzaghi memberikan koreksi empiris pada perhitungan
faktor daya dukung pada kondisi keruntuhan geser umum yang

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 15


Bab II Landasan Teori

digunakan untuk perhitungan daya dukung pada keruntuhan geser


lokal. Nilai cʹ = 2/3 c dan øʹ = arc tan (2/3 tan ø) digunakan sebagai
koreksi tersebut sehingga persamaan umum daya dukung ultimit
pada pondasi memanjang pada keruntuhan geser lokal menjadi :
⁄ .............................(2.7) Persamaan
daya dukung pondasi di atas hanya dapat digunakan untuk
perhitungan daya dukung ultimit pondasi memanjang. Oleh
karena itu Terzaghi memberikan pengaruh faktor bentuk terhadap
daya dukung ultimit yang didasarkan pada analisa pondasi
memanjang sebagai berikut :
 Untuk pondasi bujur sangkar :
................................(2.8)
 Untuk pondasi lingkaran :
................................(2.9)
 Untuk pondasi persegi panjang :
( ⁄ ) ( ⁄ ) ...(2.10) dimana :
qu = daya dukung ultimit untuk pondasi memanjang (kN/m2)
c = kohesi tanah (kN/m2)
γ = berat volume tanah yang dipertimbangkan terhadap posisi
muka air tanah (kN/m3)
po = Df.γ= tekanan overburden pada dasar pondasi (kN/m2)
B = lebar atau diameter pondasi (m)
L = panjang pondasi (m)
Nc = faktor daya dukung tanah akibat kohesi tanah
Nq = faktor daya dukung tanah akibat beban terbai rata
Nγ = faktor daya dukung tanah akibat berat tanah
Nc, Nq, Nγ adalah faktor daya dukung tanah
(bearingcapacityfactors) yang besarnya tergantung dari sudut geser
tanah. Untuk menghitung daya dukung tanah, perlu diketahui berat
volume tanah (γ), kohesi tanah (c) dan sudut geser tanah (ø). Rumus

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 16


Bab II Landasan Teori

daya dukung tanah Terzaghi tersebut berlaku pada kondisi “general


shear failure” yang terjadi pada tanah padat atau agak keras, yaitu
karena desakan pondasi bangunan pada tanah, maka mula-mula
terjadi penurunan kecil, tetapi bila desakan bertambah sampai
mlampaui batas daya dukung tanah ultimit, maka akan terjadi
penurunan yang besar dan cepat, dan tanah di bawah pondasi akan
mendesak tanah sekitarnya ke samping dan menyebabkan tanah
tersebut terdesak naik ke atas permukaan tanah.
Pada lapisan tanah yang agak lunak atau kurang padat, karena
desakan pondasi bangunan pada tanah, maka akan tampak adanya
penurunan yang besar sebelum terjadi, keruntuhan pada
keseimbangan tanah di bawah pondasi. Kondisi ini disebut “local
shear failure”.Untuk kondisi ini rumus daya dukung tanah Terzaghi
harus diberi reduksi.
c′ = 2/3 c
tan ø′ = 2/3 tan ø
c′ = kohesi tanah pada “local shear failure”
ø′ = sudut geser tanah pada “local shear failure”
Sedangkan faktor daya dukung tanah dipakai Nc′, Nq′, Nγ′.
Untuk tanah non-kohesif, dapat digunakan pedoman :
1. “general shear failure” (Gambar 2.2) terjadi jika ø > 38o.
2. “local shear failure” (Gambar 2.3) terjadi jika ø ≤ 28o.

Gambar 2.17 - General Shear Failure

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 17


Bab II Landasan Teori

Gambar 2.18 - Local Shear Failure

Gambar 2.19 - Grafik Koefisien Kapasitas Daya Dukung Terzaghi


Atau dengan versi dari sumber lain :

Gambar 2.20 - Grafik Hubungan ø dan Nγ, Nc, Nq Menurut Terzaghi (1943)
(sumber : Braja M. Das, 1984)

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 18


Bab II Landasan Teori

Tabel - 2.1
Faktor Daya Dukung Terzaghi untuk Kondisi Keruntuhan Geser Umum
(general shear failure)

 Nc Nq N  Nc Nq N
0 5,70 1,00 0,00 26 27,09 14,21 9,84
1 6,00 1,10 0,01 27 29,24 15,90 11,60
2 6,30 1,22 0,04 28 31,61 17,81 13,70
3 6,62 1,35 0,06 29 34,24 19,98 16,18
4 6,97 1,49 0,10 30 37,16 22,46 19,13
5 7,34 1,64 0,14 31 40,41 25,28 22,65
6 7,73 1,81 0,20 32 44,04 28,52 26,87
7 8,15 2,00 0,27 33 48,09 32,23 31,94
8 8,60 2,21 0,35 34 52,64 36,50 38,04
9 9,09 2,44 0,44 35 57,75 41,44 45,41
10 9,61 2,69 0,56 36 63,53 47,16 54,36
11 10,16 2,98 0,69 37 70,01 53,80 65,27
12 10,76 3,29 0,85 38 77,50 61,55 78,61
13 11,41 3,63 1,04 39 85,97 70,61 95,03
14 12,11 4,02 1,26 40 95,66 81,27 115,31
15 12,86 4,45 1,52 41 106,81 93,85 140,51
16 13,68 4,92 1,82 42 119,67 108,75 171,99
17 14,60 5,45 2,18 43 134,58 126,50 211,56
18 15,12 6,04 2,59 44 151,95 147,74 261,60
19 16,56 6,70 3,07 45 172,28 173,28 325,34
20 17,69 7,44 3,64 46 196,22 204,19 407,11
21 18,92 8,26 4,31 47 224,55 241,80 512,84
22 20,27 9,19 5,09 48 258,28 287,85 650,67
23 21,75 10,23 6,00 49 298,71 344,63 831,99
24 23,36 11,40 7,08 50 347,50 415,14 1072,80
25 25,13 12,72 8,34
* Kumbhojkar (1993)

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 19


Bab II Landasan Teori

Tabel - 2.2
Faktor Daya Dukung Terzaghi untuk Kondisi Keruntuhan Geser Setempat
(locall shear failure)

 N′c N′q N′  N′c N′q N′


0 5,70 1,00 0,00 26 15,53 6,05 2,59
1 5,90 1,07 0,005 27 16,30 6,54 2,88
2 6,10 1,14 0,02 28 17,13 7,07 3,29
3 6,30 1,2 0,04 29 18,03 7,66 3,76
4 6,51 1,30 0,055 30 18,99 8,31 4,39
5 6,74 1,39 0,074 31 20,03 9,03 4,83
6 6,97 1,49 0,10 32 21,16 9,82 5,51
7 7,22 1,59 0,128 33 22,39 10,69 6,32
8 7,47 1,70 0,16 34 23,72 11,67 7,22
9 7,74 1,82 0,20 35 25,18 12,75 8,35
10 8,02 1,94 0,24 36 26,77 13,97 9,41
11 8,32 2,08 0,30 37 28,51 15,32 10,90
12 8,63 2,22 0,35 38 30,43 16,85 12,75
13 8,96 2,38 0,42 39 32,53 18,56 14,71
14 9,31 2,55 0,48 40 34,87 20,50 17,22
15 9,67 2,73 0,57 41 37,45 22,70 19,75
16 10,06 2,92 0,67 42 40,33 25,21 22,50
17 10,47 3,13 0,76 43 43,54 28,06 26,25
18 10,90 3,36 0,88 44 47,13 31,34 30,40
19 11,36 3,61 1,03 45 51,17 35,11 36,00
20 11,85 3,88 1,12 46 55,73 39,48 41,70
21 12,37 4,17 1,35 47 60,91 44,54 49,30
22 12,92 4,48 1,55 48 66,80 50,46 59,25
23 13,51 4,82 1,74 49 73,55 57,41 71,45
24 14,14 5,20 1,97 50 81,31 65,60 85,75
25 14,80 5,60 2.25
* Kumbhojkar (1993)

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 20


Bab II Landasan Teori

2.6 Pengaruh Muka Air Tanah


Kapasitas daya dukung berkurang dengan adanya muka air tanah
yang tinggi. Hal ini disebabkan karena berkurangnya overburden pressure
dan rusaknya ikatan kohesi didalam struktur tanah dengan adanya air
tersebut.
a. Pengaruh muka air tanah diatas telapak pondasi terhadap kapasitas
daya dukung.
Bila muka air tanah terletak diatas atau sama dengan pondasi, berat
volume yang dipakai dalam suku persamaan ke-3 harus berat volume
efektif atau berat volume apung (γ’), karena zona geser yang terletak
dibawah pondasi sepenuh terendam air pada kondisi ini, nilai P0 pada
suku persamaan ke-2, menjadi :
γ' (Df – dw) + γb dw.................................................................(2.11)
dengan γ’ = γsat – γw dan dw = kedalaman muka air tanah.
Jika muka air tanah dipermukaan atau dw = 0, maka γ pada suku
persamaan ke-2 digantikan dengan γ’, sedang γ pada suku persamaan
ke-3 juga dipakai berat volume apung (γ’).
b. Pengaruh muka air tanah dibawah telapak pondasi terhadap kapasitas
daya dukung.
Jika muka air sangat dalam dibandingkan dengan lebar pondasi
atau z > β, dengan z adalah jarak muka air tanah dibawah datar
pondasi. Nilai γ dari suku ke-2 persamaan kapasitas dukung yang
dipakai adalah γb atau γd, demikian pula dalam suku persamaan ke-3
dipakai nilai berat volume basah (γt) atau kering (γd). Untuk kondisi
ini, parameter kuat geser yang digunakan dalam hitungan adalah
parameter kuat geser dalam tinjauan tegangan efektif (c’dan φ’).

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 21


Bab II Landasan Teori

Gambar 2.21- Pengaruh Muka Air Tanah


Jika muka air tanah terletak pada kedalaman z dibawah dasar
pondasi (z < β), nilai γ pada suatu persamaan ke-2 digantikan dengan
γb atau γd, , karena massa tanah dalam zona geser sebagian terendam
air, berat volume tanah yang diterapkan dalam persamaan kapasitas
dukung suku ke-3 dapat didekati dengan :
γrt = γ’ + (Z/B) (γb-γ’) ..............................................................(2.12)
Dimana :
γrt = γ rata-rata

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 22


Bab II Landasan Teori

2.7 Penurunan (Settlement)


Penurunan suatu bangunan terdiri dari penurunan segera dan
penurunan konsolidasi.
Bila dinyatakan dalam persamaan, penurunan total adalah ;
S = Si + Sc + Ss....................................................................................(2.13)
dengan ;
S = penurunan total Si
= penurunan segera
Sc = penurunan konsolidasi primer
Ss = penurunan konsolidasi sekunder

Si

Sc

Ss

Gambar 2.22 - Penurunan


Tanah pasir akan mengalami Si dan Ss dan penurunan terbesar
adalah Sitanah lempung jenuh air, Si tidak dominan dan Sc dominan
karena K realtif kecil.
a. Penurunan Segera
Penurunan segera terjadi pada tanah berbutir kasar dan tanah berbutir
halus kering (tidak jenuh) terjadi segera setelah beban bekerja. Penurunan
ini bersifat elastis, dalam prakteksangat sulit diperkirakan besarnya
penurunan ini. Penurunan segera ini banyak diperhatikan pada fondasi
bangunan yang terletak pada tanah granuler atau tanah berbutir kasar.
Persamaan penurunan segera dinyatakan oleh :

Si = qnB/E (1 - 2) Ip...................................................................(2.14)

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 23


Bab II Landasan Teori

Dengan :
qn = tekanan pada dasar pondasi netto
B = lebar fondasi
E = modulus elastisitas tanah
 = angka poison
Ip= faktor pengaruh didapat dari tabel di bawah ini.

Tabel - 2.3
Faktor Pengaruh Im (Lee, 1962) dan Ip (Schleicher, 1962) untuk pondasi
kaku dan faktor-faktor pengaruh untuk pondasi fleksibel (Terzaghi, 1943)

Fleksibel (Ip) Kaku


Bentuk
Pusat Sudut Rata-rata Ip Im
Lingkaran 1,00 0,64 0,85 0,88
Bujur sangkar 1,12 0,36 0,95 0,82 3,70
Segi empat
L/B = 1,5 1,36 0,68 1,20 1,06 4,12
2,0 1,53 0,77 1,31 1,20 4,38
5,0 2,10 1,05 1,83 1,70 4,82
10,0 2,52 1,26 2,25 2,10 4,93
100,0 3,38 1,69 2,96 3,40 5,06

Perkiraan nilai angka poison dapat dilihat pada Tabel 2.4.


Terzaghi menyarankan :
 = 0,3 untuk pasir
 = 0,4 sampai 0,43 untuk lempung
Umumnya, digunakan :
 = 0,3 sampai 0,35 untuk pasir
 = 0,4 sampai 0,5 untuk lempung
Modulus elastisitas E dapat ditentukan dari kurva tegangan regangan
yang diperoleh dari uji triaksial.

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 24


Bab II Landasan Teori

Tabel - 2.4 Perkiraan Angka Poisson () (Bowles, 1968)

Macam Tanah 
Lempung jenuh 0,4 – 0,5
Lempung tak jenuh 0,1 – 0,3
Lempung berpasir 0,2 – 0,3
Lanau 0,3 – 0,35
Pasir padat 0,2 – 0,4
Pasir kasar (angka pori, e = 0,4 – 0,7) 0,15
Pasir halus (angka pori, e = 0,4 – 0,7) 0,25
Batu (agak tergantung dari macamnya) 0,1 – 0,4
Loess 0,1 – 0,3

Tabel - 2.5 Perkiraan Modulud Elastisitas (E) (Bowles, 1968)

Macam Tanah Es (kN/m2)


Lempung
Sangat lunak 300 – 3000
Lunak 2000 – 4000
Sedang 4500 – 9000
Keras 7000 – 20000
Berpasir 30000 – 42500
Pasir
Berlanau 5000 – 20000
Tidak padat 10000 – 25000
Padat 50000 – 100000
Pasir dan kerikil
Padat 80000 – 200000
Tidak padat 50000 – 140000
Lanau 2000 – 20000
Loess 15000 – 60000
Serpih 140000 – 1400000

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 25


Bab II Landasan Teori

Penurunan segera akibat luasan beban empat persegi panjang yang


terletak pada lapisan tanah dengan tebal H yang terletak diatas lapisan
yang keras (Steinbrenner – 1934). Penurunan segera dinyatakan dengan
persamaan.
Si = qn B/E. Ip............................................................................(2.15)
Dengan :
Ip = (1- 2) F1 + (1-  - 22) F2.................................................(2.16)
Nilai F1 dan F2 diperoleh dari grafik di bawah ini :

Gambar 2.23 – Grafik untuk Nilai F1 dan F2

Jika tanah elastis dan pondasi tidak terletak dipermukaan tanah,


koreksi penurunanperlu diadakan. Fox dan Bowles (1977), nilai koreksi
merupakan fungsi dari Df/B, L/B, dan μ dimana L dan B adalah dimensi
fondasi, Df kedalaman pondasi. Sehingga besarnya penurunan menjadi :

Si’ = .Si...................................................................................(2.17)

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 26


Bab II Landasan Teori

dengan :
 adalah faktor koreksi untuk dasar pondasi pada kedalaman Df, yang
diperoleh dari grafik di bawah ini :



Gambar 2.24 – Grafik untuk Nilai α

Bjerrum, Janbu dkk memberikan persamaan penurunan pondasi untuk


nilai angka poison = 0,5
Si = 10 qn B/E............................................................................(2.18)
Dengan :
1 : faktor koreksi untuk lapisan tanah dengan tebal terbatas H
0 : faktor koreksi untuk kedalaman pondasi Df
Kedua nilai di atas diperoleh dari grafik di bawah ini.

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 27


Bab II Landasan Teori

Gambar 2.25 – Grafik untuk Nilai 1dan 0

b. Penurunan konsolidasi
Penurunan konsolidasi terjadi pada tanah berbutir halus yang terletak
dibawah muka air tanah. Penurunan ini butuh waktu yang lamanya
tergantung pada kondisi lapisan tanah.

Bila tanah mengalami pembebanan dan berkonsolidasi maka


penurunan tanah tersebut berlangsung 3 fase yaitu :

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 28


Bab II Landasan Teori

 Fase awal
Penurunan terjadi segera setelah beban bekerja, diakibatkan oleh
keluarnya udara darirongga pori. Proporsi penurunan awal dapat
diberika dalam perubahan angka pori dandapat ditentukan dari
kurva waktu terhadap penurunan dari uji konsolidasi.
 Fase konsolidasi primer
Penurunan yang dipengaruhi oleh kecepatan aliran air pori yang
meninggalkan ronggapori tanah akibat beban. Sangat dipengaruhi
sifat tanah.
 Fase kosolidasi sekunder
Merupakan proses lanjutan dari konsolidasi primer, proses ini
berjalan sangat lambat.

Analisa Penurunan Konsolidasi Primer :

...................................................................................(2.19)

Lempung Normally Consolidation

....................................................................(2.20)

Lempung Over Consolidation

Jika p1’ < pc’

dimana p ’ = po’ + ∆p….......... (2.21)


1

Jika’ po’ < pc’ < p1

....................................................(2.22)

Untuk menghitung tambahan tegangan akibat beban di atasnya (∆p)


dapat dilakukan berdasarkan teori :

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 29


Bab II Landasan Teori

 Teori Boussinesq

Gambar 2.26 - Grafik Fadum berdasarkan Teori Boussinesq

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 30


Bab II Landasan Teori

 Teori Westergaard

Gambar 2.27 - Grafik Westergaard

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 31


Bab II Landasan Teori

 Pendekatan penyebaran beban 1H : 2V

Gambar 2.28 - Metode penyebaran beban 1H : 2V

Analisa Penurunan Konsolidasi Sekunder :

( )............................................................................(2.23)

...........................................................................................(2.24)
( )

...........................................................................................(2.25)
( )

Dimana :
Ca = Indeks pemampatan sekunder
ep = angka pori pada akhir konsolidasi sekunder
H = tebal lapisan lempung

Angka pori

ep
e

Waktu, t ,skala log t1 t2

Gambar 2.29- Konsolidasi Sekunder

Desain Struktur Bawah Proyek Gedung di Jakarta | II - 32

Anda mungkin juga menyukai