Bab I

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Pemerintah di banyak negara menyediakan asuransi kesehatan untuk

populasi khusus sebagai sarana untuk mengamankan perawatan kesehatan bagi

mereka. Semua negara-negara maju, khususnya yang tergabung dalam

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), secara

khusus telah mengadopsi sistem welfare state, yang menyediakan skema jaminan

sosial terpadu bagi rakyat mereka, termasuk perlindungan dalam jaminan layanan

kesehatan atau Social Health Insurance (Asuransi Kesehatan Sosial (AKS)). AKS

merupakan bentuk pembiayaan dan pengelolaan perawatan kesehatan berdasarkan

penyatuan risiko, dengan mengumpulkan risiko biaya kesehatan dari seluruh

penduduk, dengan kontribusi individu, rumah tangga, perusahaan, dan

pemerintah, sehingga sering didefinisikan sebagai “a financial protection

mechanism for health care, through health risk sharing and fund pooling for a

larger group of population” (OECD, 2014).

Berdasarkan laporan The Legatum Prosperity Index 2017 (The Legatum

Prosperity Index mengukur kesehatan dengan tiga pilar yaitu, kesehatan fisik dan

mental mendasar, infrastruktur kesehatan, dan tindakan preventif), Indonesia

berada di posisi 101 dari 149 negara, jauh di bawah Vietnam yang berada di posisi

69. Padahal, jika dibandingkan PDB Perkapita (PPP) kedua negara, Indonesia

1
2

jauh di atas Vietnam. Pada April 2018, PDB Perkapita Indonesia US$13.160,

sedangkan Vietnam hanya US$7.560 (IMF, 2018).

Pembangunan kesehatan di Indonesia bertujuan untuk mencapai derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dan mewujudkan manusia

Indonesia yang bermutu, sehat dan produktif. UU No 36 Tahun 2009 tentang

kesehatan menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk

memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan serta mendapatkan

pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. Salah satu upaya yang

dilakukan pemerintah dalam mewujudkan hal tersebut adalah dengan sistem

pembiayaankesehatan yang baik, seperti sistem asuransi guna meningkatkan akses

masyarakat pada pelayanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu

(Kemensetneg, 2015).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan pentingnya implementasi

UHC di mana semua orang akan dapat menerima pelayanan kesehatan berkualitas

sesuai kebutuhan tanpa menyebabkan kesulitan keuangan akibat kewajiban untuk

membayar pelayanan kesehatan tersebut. UHC juga mencakup inisiatif kesehatan

yang dirancang untuk mempromosikan kesehatan yang lebih baik (WHO, 2014).

Universal Healthcare Coverage (UHC) di Indonesia hingga tahun 2017

baru mencapai 72,9% dari jumlah penduduk Indonesia, dengan jumlah peserta

183 juta jiwa. Target kepesertaan JKN 100% di tahun 2019 sulit dicapai karena

masih ada 27,1% jumlah penduduk yang belum menjadi peserta JKN. Bahkan

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada tahun 2019 memprediksikan

capaian kepesertaan JKN sebesar 82,4%. Jika tidak ada upaya yang luar biasa
3

maka penduduk akan kehilangan hak-hak kesehatan yang semestinya diterima

(BPJS Kesehatan, 2018).

Berdasarkan hasil rekapitulasi jumlah peserta program JKN per 31 oktober

2019 diperoleh jumlah sebanyak 222.278.708, dimana peserta PBI APBN

sebanyak 96.055.779, PBI APBD sebanyak 37.887.281, PPU-PN sebanyak

17.544.423, PPU-BU sebanyak 34.867.854 peserta, PBPU-Pekerja mandiri

sebanyak 30.923.267 peserta, Bukan pekerja sebanyak 5.000.104 peserta. Fasilitas

kesehatan JKN, Puskesmas sebanyak 10.018, RS kelas D sebanyak 32, Rumah

sakit sebanyak 2.274. Hasil ringkasan eksekutif laporan pengelolaan program dan

laporan keuangan dan jaminan social kesehatan, pada tahun 2014 jumlah peserta

sebanyak 121,6 juta peserta, tahun 2016 sebanyak 171,9 juta peserta dan di tahun

2019 sebanyak 257,5 juta peserta. Indeks kepuasan peserta pada tahun 2014

sebanyak 75%, tahun 2016 sebanyak 78,6% dan pada tahun 2019 sebanyak 85%.

Indeks kepuasan fasilitas kesehatan sebanyak 65%, tahun 2016 sebanyak 76,2%

dan tahun 2019 sebanyak 80% (BPJS, 2019).

Rumah sakit menghabiskan hampir 80% pengeluaran biaya pelayanan

kesehatan JKN. Oleh sebab itu, model ini memperhitungkan dampak dari

perubahan epidemiologi terhadap perilaku mencari pengobatan di rumah sakit dan

berkurangnya pemanfaatan dari sektor informal yang sejalan dengan surutnya

kecenderungan di antara penduduk yang berisiko tinggi menderita penyakit berat

untuk mendaftar sebagai peserta JKN (adverse selection) (Health Policy Plus dan

Tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan Indonesia, 2018).


4

Puskesmas memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan Sistem

Jaminan Kesehatan Nasional. Diberlakukannya program JKN membuat

masyarakat yang akan berobat ke rumah sakit dengan kartu BPJS harus mendapat

rujukan terlebih dahulu dari puskesmas. Rujukan ini diberikan kepada pasien

BPJS jika puskesmas tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan

kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, pelayan dan ketenagaan, serta

diagnosis pasien diluar 155 diagnosis yang harus dilayani di puskesmas (BPJS

Kesehatan, 2014).

Pelayanan yang disediakan dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional

(JKN) merupakan layanan yang komprehensif bagi pesertanya, meliputi

pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif . Pelayanan promotif dan

preventif merupakan tugas utama Pemberi Pelayanan Kesehatan Tingkat I (PPK I)

salah satunya adalah puskesmas (BPJS, 2019).

Berdasarkan PMK No 71 tahun 2013 Fasilitas kesehatan tingkat pertama

adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang

bersifat nonspesialistik (primer). Empat fungsi pokok fasilitas kesehatan tingkat

pertama antara lain, fasilitas kesehatan tingkat pertama merupakan tempat

pertama yang dikunjungi peserta setiap kali mendapat masalah kesehatan,

hubungan fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan peserta dapat berlangsung

secara berkelanjutan sehingga penanganan penyakit dapat berjalan optimal,

fasilitas kesehatan tingkat pertama memberikan pelayanan kesehatan yang

komprehensif terutama untuk pelayanan promotif, dan fasilitas kesehatan tingkat

pertama melakukan koordinasi pelayanan dengan penyelenggara kesehatan


5

lainnya dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada peserta sesuai

kebutuhannya.

Puskesmas menyediakan pelayanan dalam bidang kesehatan yang

merupakan salah satu bentuk pelayanan yang paling banyak dibutuhkan oleh

masyarakat. Tidak mengherankan apabila bidang kesehatan perlu untuk selalu

dibenahi agar bisa memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik untuk

masyarakat (Mey Harsanti, 2014).

Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan yang berfungsi

menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan

tingkat pertama berupaya agar masyarakat peserta Jaminan Kesehatan Nasional

dapat memperoleh manfaat promotif dan preventif yang telah dijamin dalam

Program Jaminan Kesehatan Nasional. Akan tetapi hingga kini masih sering

ditemukan pemandangan umum dimana Puskesmas sebagai ujung tombak

pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional masih berfokus pada

pendekatan kuratif dari pada promotif dan preventif. Adapun manfaat pelayanan

promotif dan preventif yang dapat diperoleh peserta Jaminan Kesehatan Nasional

tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan no. 28 tahun 2014 tentang Pedoman

Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional meliputi penyuluhan

kesehatan perseorangan, imunisasi dasar, keluarga berencana dan pelayanan

skrining kesehatan.

Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Fadjriadinur (Direktur Pelayanan

BPJS Kesehatan ) yang menyatakan bahwa tingkat rujukan dari FKTP ke RS pada
6

tahun 2015 mencapai15,3 %. Idealnya maksimal rerata tingkat rujukan FKTP ke

RS tidak boleh lebih dari 10 % (Kebijakan Kesehatan Indonesia, 2015).

Demikian juga berdasarkan data hasil evaluasi satu tahun implementasi

JKN, menunjukkan dana JKN sebagian besar terserap untuk pengobatan beberapa

penyakit antara lain : penyakit jantung, ginjal, diabetes melitus dan penyakit

katastropik yang menyedot biaya sangat besar. Seharusnya penyakit ini dapat

dicegah dengan meningkatkan upaya promotif dan preventif kepada masyarakat,

utamanya dilayanan primer yaitu Puskesmas (Depkes, 2015).

Selain itu juga Puskesmas sebagai salah satu pelaksana program JKN, masih

belum menjalankan pelayanan promotif dan preventif secara maksimal. Hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan Atia (2015) yang berjudul analisis sistem

pelaksanaan pelayanan promotif dan preventif dalam era jaminan kesehatan

nasional (JKN) di Puskesmas Bungus Padang tahun 2015 menyatakan bahwa

pelaksanaan pelayanan promotif dan preventif di era JKN di Puskesmas Bungus

pada tahun kedua pelaksanaannya terjadi peningkatan. Hanya saja pada kegiatan

penyuluhan kesehatan dan skrining masih belum terlaksana dengan baik.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan pelayanan promotif dan

preventif di Puskesmas masih belum berjalan dengan baik.

Demikian pula penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Noor (2016),

menjelaskan bahwa implementasi pelayanan preventif dan promotif di

PuskesmasBukit Kapur Kota Dumai belum berjalan secara maksimal, belum

merata ke seluruh desa yang ada di wilayah kerjanya, kegiatan yang dilaksanakan

terbatasdan kurang terstruktur, dana yang digunakan hanya dari Bantuan


7

OperasionalKesehatan yang dirasakan masih belum cukup serta kemampuan dan

pengetahuantenaga kesehatan kurang baik dan belum maksimal dalam

memberikan pelayananpromotif dan preventif sehingga diharapkan agar

pemerintahan yang terkait dapatmeningkatkan kualitas dan kuantitas dari tenaga

kesehatan, dana dan sarana,prasarana serta peralatan. Kepala Puskesmas juga

diharapkan agar lebihmemahami tentang manajemen Puskesmas dalam membuat

suatu perencanaan.

Dari 41 puskesmas yang ada di Kota Medan, Puskesmas sukaramai

merupakan puskesmas yang paling banyak peserta terdaftar JKN. Puskesmas

sukaramai memiliki jumlah kunjungan rata-rata 1120 orang/bulan untuk pasien

JKN. Mayoritas pasien yang berkunjung ke Puskesmas sukaramai merupakan

peserta JKN dengan rata-rata kunjungan 60 orang/hari. Data yang diperoleh

bahwa angka rujukan yang diberikan sebanyak 15% dari jumlah kunjungan hal ini

tidak sesuai dengan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang menyatakan Idealnya

maksimal rerata tingkat rujukan FKTP ke RS tidak boleh lebih dari 10 %.

Berdasarkan hasil survey pendahuluan di Puskesmas sukaramai dengan

wawancara terhadap beberapa pasien peserta JKN, masih kurangnya diberikan

penyuluhan kesehatan perorangan yang meliputi pengelolaan faktor risiko

penyakit. Puskesmas sukaramai, pasien yang mengantri untuk berobat cukup

banyak. Di ruangan KIA/KB juga cukup banyak pasien yang terdiri dari bayi,

balita, anak-anak, ataupun ibu hamil. Beberapa ibu hamil datang ke puskesmas

untuk memeriksakan kehamilan mereka. Tidak sedikit pula ibu-ibu yang

membawa anak atau balitanya berobat. Di Puskesmas sukaramai, ruang KIA/KB


8

dan poli anak digabung menjadi satu ruangan. Namun, tenaga kesehatan yang

menangani adalah orang yang sama. Ditambah lagi dengan kemungkinan

meningkatnya jumlah kunjungan/pasien di Puskesmas sukaramai setelah

berlakunya Program JKN, sehingga kemungkinan waktu yang diperlukan untuk

memberikan pelayanan promotif dan preventif kepada pasien semakin berkurang.

Beberapa kendala yang dihadapi Puskesmas Sukaramai dalam

melaksanakan upaya promotif dan preventif yaitu perilaku masyarakat.

Masyarakat masih menganggap bahwa puskesmas hanya tempat untuk berobat

bagi orang yang sakit dan hanya sebagai tempat meminta surat rujukan untuk

berobat ke rumah sakit sehingga tidak ada saran-saran dari masyarakat kepada

puskesmas mengenai program yang telah dilakukan. Untuk itu, peneliti ingin

meneliti bagaimana pelaksanaan pelayanan promotif dan preventif dalam era JKN

di Puskesmas sukaramai.

1. 2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat diambil

rumusan masalah dari penelitian ini yaitu bagaimana pelaksanaan pelayanan

promotif dan preventif dalam era JKN di Puskesmas sukaramai.

1. 3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pelayanan promotif dan

preventif dalam era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Puskesmas

sukaramai.
9

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Bagaimana pelaksanaan pelayanan promotif dalam era Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) di Puskesmas sukaramai.

2. Bagaimana pelaksanaan pelayanan preventif dalam era Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) di Puskesmas sukaramai

1. 4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan

pembangunan kesehatan terutama dalam era Jaminan Kesehatan Nasional.

1.4.2 Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dalam

mendukung fungsi utama puskesmas untuk mewujudkan pembangunan

kesehatan terutama dalam era Jaminan Kesehatan Nasional.

1.4.3 Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas sukaramai dalam upaya

peningkatan pelayanan promotif dan preventif melalui pengoptimalan upaya

kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan.

1.4.4 Sebagai bahan untuk menambah wawasan ilmu kesehatan masyarakat

terutama di bidang Administrasi dan Kebijakan Kesehatan dalam

pelaksanaan pelayanan promotif dan preventif dalam era Jaminan Kesehatan

Nasional.

Anda mungkin juga menyukai