Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tekanan darah merupakan faktor yang sangat penting pada sisitem sirkulasi.
Tetapi kebanyakan orang tidak memperdulikan tentang masalah kesehatan ini.
Menurut kebanyakan orang penyakit tekanan darah dianggap ringan karena penyakit
ini dapat sembuh dengan sendirinya dan cepat. Tekanan darah adalah ukuran dari
tekanan sistolik yang berpengaruh pada darah karena karena kontraksi otot jantung
dan kekuatan atau tekanan diastolik pada dinding pembuluh darah yang lebih kecil
yang mengalirkan darah dan yang mempercepatkan jalan darah pada waktu jantung
mengendur. Tekanan darah juga merupakan kekuatan darah mengalir di dinding
pembuluh darah yang keluar dari jantung (pembuluh darah) dan kembali ke jantung
atau pembuluh balik (Lanny S, 2004:13).
Terdapat dua macam kelainan tekanan darah yakni dikenal dengan hipertensi
atau tekanan darah tinggi dan hipotensi atau tekanan darah rendah. Dari dua kelainan
tersebut, hipertensi atau tekanan darah tinggi telah menjadi penyakit yang menjadi
perhatian di berbagai dunia, karena seringkali menjadi penyakit tidak menular nomor
satu di banyak negara. Menurut World Health Organization (WHO) 2013,
memaparkan bahwa peningkatan tekanan darah atau hipertensi merupakan salah satu
faktor kematian global dan diperkirakan telah menyebabkan 9,4 juta kematian dan 7%
dari beban penyakit yang diukur dalam Disability Adjusted Life Year (DALY).
Sedangkan hipotensi atau tekanan darah tinggi merupakan keadaan ketika tekanan
darah di dalam arteri lebih rendah dibandingkan normal dan biasa. Dapat dikatakan
hipotensi jika terjadi tekanan darah sebesar 90/60 mmHg.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu hipertensi?
2. Bagaimana pengobatan farmakologis dari hipertensi?
3. Apa itu hipotensi?
4. Bagaimana pengobatan farmakologis hipotensi?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat dengan tujuan menambah wawasan dan pengetahuan
mahasiswa tentang farmakologi hipertensi dan hipotensi yang mencakup:
1. Pengertian, Etiologi, Klasifikasi, Pathofisiologi, Tanda dan Gejala, Faktor
resiko, dan Penatalaksana.
2. Pengobatan Farmakologis dari hipertensi dan hipotensi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hipertensi
a) Pengertian Hipertensi

Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi. Batas
tekanan darah yang dapat digunakan sebagai acuuan untuk menentukan normal atau
tidaknya tekanan darah adalah tekanan sistolik dan diastoliknya. Berdasarkan JNC
(Join National Comitee), seseorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan
sistolik 140 mmHg atau lebih dan diastoliknya 90 mmHg atau lebih.
b) Etiologi Hipertensi
1. Hipertensi essensial
Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar
patologis yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi essensial. Penyebab
hipertensi meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi
kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah
terhadap vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk
faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas dan lain-
lain (Nafrialdi, 2009). Pada sebagian besar pasien, kenaikan berat badan yang
berlebihan dan gaya hidup tampaknya memiliki peran yang utama dalam
menyebabkan hipertensi. Kebanyakan pasien hipertensi memiliki berat badan yang
berlebih dan penelitian pada berbagai populasi menunjukkan bahwa kenaikan berat
badan yang berlebih (obesitas) memberikan risiko 65-70 % untuk terkena hipertensi
primer (Guyton, 2008).
2. Hipertensi sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada
kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit
renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik
secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat
hipertensi dengan menaikkan tekanan darah (Oparil, 2003).
c) Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan JNC VIII (The Eight Join National Committee) klasifikasi
hipertensi didasarkan pada rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih
kunjungan klinis untuk pasien dewasa (umur ≥ 18 tahun). Klasifikasi tekanan darah
tersebut mencakup empat kategori dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik <
120mmHg dan tekanan darah diastolic <80 mmHg. Prehipertensi tidak dianggap
sebagi kategori penyakit tetapi mengidentifikasikan pasien yang tekanan darahnya
cenderung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang.
Tabel Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VIII
Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik
Darah (mmHg) (mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stadium 1 140-159 90-99
Hipertensi stadium 2 ≥160 ≥100

d) Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
di pusat vasomotor pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang akan
merangsang serabut saraf pascaganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norpinefrin mengakibatkan kontraksi pembuluh darah (Brunner, 2002).
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriktor. Individu dengan hipertensi
sangat sensitif terhadap norpinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa
hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis
merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Korteks adrenal
mengsekresikan kortisol dan steroid lainnya yang dapat memperkuat respon
vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran
darah ke ginjal dapat menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukkan
angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat,
yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal sehingga menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi (Brunner, 2002).
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer
bertanggung jawab pada perubahaan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia.
Perubahaan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang menyebabkan penurunan
distensi dan daya regang pembuluh darah. Akibat hal tersebut, aorta dan arteri besar
mengalami penurunan kemampuan dalam mengakomodasi volume darah yang
dipompa oleh jantung (volume sekuncup) sehingga mengakibatkan penurunan curah
jantung dan peningkatan tahanan perifer.
e) Tanda dan Gejala Hipertensi
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah
yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan,
eksudat, penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat dapat ditemukan edema
pupil (edema pada diskus optikus). Menurut Price, gejala hipertensi antara lain sakit
kepala bagian belakang, kaku kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing, dada berdebar-
debar, lemas, sesak nafas, berkeringat dan pusing (Price, 2005)
Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita hipertensi
maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal hipertensi yaitu sakit
kepala, gelisah, jantung berdebar, perdarahan hidung, sulit tidur, sesak nafas, cepat
marah, telinga berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam
hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi gangguan
penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak) yang
mengakibatkan kejang dan pendarahan pembuluh darah otak yang mengakibatkan
kelumpuhan dan gangguan kesadaran hingga koma.
f). Faktor- Faktor Risiko
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
a. Usia
Usia mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko
terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia
lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas usia 65 tahun.
Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur yang disebabkan oleh
perubahaan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit
dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibatnya terjadi
peningkatan tekanan darah sistolik.
b. Jenis kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih
banyak yang menderita hipertensi dibandingkan wanita, dengan rasio sekitar 2,29
untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang
cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita (Depkes,
2006). Namun, setelah memasuki manopause, prevalensi hipertensi pada wanita
meningkat. Setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih meningkat
dibandingkan dengan pria yang diakibatkan faktor hormonal. Penelitian di Indonesia
prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita.
c. Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga
mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer (essensial).
Tentunya faktor genetik ini juga dipenggaruhi faktor-faktor lingkungan, yang
kemudian menyebabkan seorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan
dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel. Menurut Davidson
bila kedua orang tuanya menderita hipertensi, maka sekitar 45% akan turun ke anak-
anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30%
akan turun ke anak-anaknya
2. Faktor risiko yang dapat diubah
a. Obesitas (kegemukan)
Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada
obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk
5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang badannya normal. Pada
penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih
(overweight) (Depkes, 2006). Hipertensi pada seseorang yang kurus atau normal dapat
juga disebabkan oleh sistem simpatis dan sistem renin angiotensin. Aktivitas dari saraf
simpatis adalah mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat meningkatkan
denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan retensi air dan
garam .
b. Psikososial dan stress
Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara
individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk mempersepsikan
adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologis, psikologis dan
sosial) yang ada pada diri seseorang. Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan,
murung, rasa marah, dendam, rasa takut dan rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar
anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat
serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stress berlangsung lama,
tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau
perubahaan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit
maag.
c. Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap
melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel
pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses artereosklerosis dan tekanan darah
tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan
adanya artereosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan
denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok
pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada
pembuluh darah arteri.
Depkes RI Pusat Promkes (2008), telah dibuktikan dalam penelitian bahwa
dalam satu batang rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya termasuk 43
senyawa. Bahan utama rokok terdiri dari 3 zat, yaitu 1) Nikotin, merupakan salah satu
jenis obat perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah dengan adanya
penyempitan pembuluh darah, peningkatan denyut jantung, pengerasan pembuluh
darah dan penggumpalan darah. 2) Tar, dapat mengakibatkan kerusakan sel paru-paru
dan menyebabkan kanker. 3) Karbon Monoksida (CO) merupakan gas beracun yang
dapat menghasilkan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen.
d. Komsumsi garam berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan
di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan
darah. Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler. Pengaturan
keseimbangan natrium dalam darah diatur oleh ginjal. Sumber utama natrium adalah
garam dapur atau NaCl, selain itu garam lainnya bisa dalam bentuk soda kue
(NaHCO3), baking powder, natrium benzoate dan vetsin (monosodium glutamate).
Kelebihan natrium akan menyebabkan keracunan yang dalam keadaan akut
menyebabkan edema dan hipertensi. WHO menganjurkan bahwa komsumsi garam
yang dianjurkan tidak lebih 6 gram/hari setara 110 mmol natrium.
g) Penatalaksana Hipertensi
Pengendalian faktor risiko penyakit jantung koroner yang dapat saling
berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi, hanya terbatas pada faktor risiko yang
dapat diubah, dengan usaha-usaha sebagai berikut :
1) Mengatasi obesitas/ menurunkan kelebihan berat badan
Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada
obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-
orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan sesorang yang badannya
normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki
berat badan lebih (overweight). Dengan demikian, obesitas harus dikendalikan
dengan menurunkan berat badan (Depkes, 2006). Beberapa studi menunjukkan
bahwa seseorang yang mempunyai kelebihan berat badan lebih dari 20% dan
hiperkolestrol mempunyai risiko yang lebih besar terkena hipertensi.
2) Mengurangi asupan garam didalam tubuh
Nasehat pengurangan garam harus memperhatikan kebiasaan makan penderita.
Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit dirasakan. Batasi sampai
dengan kurang dari 5 gram (1 sendok teh) per hari pada saat memasak (Depkes,
2006)
3) Ciptakan keadaan rileks
Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat mengontrol
sistem saraf yang akan menurunkan tekanan darah.
4) Melakukan olahraga teratur
Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit sebanyak
3-4 kali dalam seminggu, diharapkan dapat menambah kebugaran dan
memperbaiki metabolisme tubuh yang akhirnya mengontrol tekanan darah.
B. Pengobatan Farmakologis
Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid
(misalnya bendroflumetiazid), beta‐bloker, (misalny propanolol, atenolol,)
penghambat angiotensin converting enzymes (misalnya captopril enalapril), antagonis
angiotensin II (misalnya candesartan, losartan), calcium channel blocker
(misalnya amlodipin, nifedipin) dan alphablocker (misalnya doksasozin).
1. Diuretik tiazid
Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan
tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus
distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga mempunyai
efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek
antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral, terdistribusi
luas dan dimetabolisme dihati. Efek diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah
pemberian dan bertahan sampai 12‐24 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali
sehari. Efek antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak
memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada dosis
tinggi. Efek tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat ekskresinya, oleh
karena itu tiazid kurang bermanfaat untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
 Efek sampingnya
Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan
hipokalemia, hiponatriemi, dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi karena
penurunan ekskresi kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat
mengakibatkan hiperurisemia, sehingga penggunaan tiazid pada pasien harus hati‐hati.
Diuretik tiazid juga dapat mengganggu toleransi glukosa (resisten terhadap insulin)
yang mengakibatkan peningkatan resiko diabetes mellitus tipe 2. Efek samping yang
umum lainnya adalah hiperlipidemia, menyebabkan peningkatan LDL dan trigliserida
dan penurunan HDL. 25% pria yang mendapat diuretic tiazid mengalami impotensi,
tetapi efek ini akan hilang jika pemberian tiazid dihentikan.
2. Beta-blocker
Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor.Reseptor ini diklasifikasikan menjadi
reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada jantung sedangkan
reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik.
Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta‐1 juga dapat
dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak.
Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan
neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi
reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan
kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan
penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas system renninangiotensin‐aldosteron.
Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan
peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air Terapi menggunakan
beta‐blocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan
tekanan darah.
Beta‐blocker yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective beta‐blockers),
misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor
beta‐1 saja oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan
bronkhospasma harus hatihati. Beta‐blocker yang non‐selektif (misalnya propanolol)
memblok reseptor beta‐1 dan beta-2. Beta‐blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal
tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid. Obat‐obat yang diekskresikan
melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang
diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama
sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Beta‐blocker tidak boleh dihentikan
mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina,
karena dapat terjadi fenomena rebound.
 Efek samping
Blokade reseptor beta‐2 pada bronkhi dapat mengakibatkan bronkhospasme,
bahkan jika digunakan beta‐bloker kardioselektif. Efeksamping lain adalah
bradikardia, gangguan kontraktil miokard, dan tangan‐kaki terasa dingin karena
vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta‐2 pada otot polos pembuluh darah perifer.
Kesadaran terhadap gejala hipoglikemia pada beberapa pasien DM tipe 1 dapat
berkurang. Hal ini karena beta‐blocker memblok sistem saraf simpatis yang
bertanggung jawab untuk “memberi peringatan“ jika terjadi hipoglikemia.
Berkurangnya aliran darah simpatetik juga menyebabkan rasa malas pada pasien.
Mimpi buruk kadang dialami, terutama pada penggunaan beta‐blocker yang larut lipid
seperti propanolol. Impotensi juga dapat terjadi. Beta‐blockers non‐selektif juga
menyebabkan peningkatan kadar serum dan penurunan HDL.
3. ACE inhibitor
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara
kompetitif pembentukan angiotensin II dari precursor angiotensin I yang inaktif, yang
terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak.
Angitensin II merupakan vaso‐konstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron
dan aktivitas simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin iI
ini akan menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin‐renin‐aldosteron
teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek
antihipertensi ACEi akan lebih besar. ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi
kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan
degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat.
Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril
cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat
untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian ACEi.
Dosis pertama ACEii harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan
darah mendadak mungkin terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai
kadar sodium rendah.
4. Antagonis Angiotensin II
Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya.
Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai
respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan penglepasan aldosteron.
Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih
belum begitu jelas. Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I menjadi
angiotensin II tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok sistem renin‐angitensin
melalui jalur antagonis reseptor AT1 dengan pemberianantagonis reseptor angiotensin
II mungkin bermanfaat.
Antagonis reseptor angiotensin II (AIIRA)mempunyai banyak kemiripan
dengan ACEi, tetapi AIIRA tidak mendegradasi kinin. Karena efeknya pada ginjal,
ACEi dan AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral dan pada
stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu.
 Efek samping dari ACEi dan AIIRA
Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi atau AIIRA fungsi ginjal dan
kadar elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan selama terapi
karena kedua golongan obat ini dapat mengganggu fungsi ginjal. Baik ACEi dan
AIIRA dapat menyebabkan hiperkalemia karena menurun‐kan produksi ldosteron,
sehingga suplementasi kalium dan penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari
jika pasien mendapat terapi ACEI atau AIIRA. Perbedaan antar ACEi dan AIIRA
adalah batuk kering yang merupakan efek samping yang dijumpai pada 15% pasien
yang mendapat terapi ACEi. AIIRA tidak menyebabkan batuk karena tidak
mendegaradasi bradikinin.
5. Calcium channel blocker
Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel
miokard, sel‐sel dalam sistem konduksi jantung,dan sel‐sel otot polos pembuluh darah.
Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan
propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi,
interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah
proses yang bergantung pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin
(misalnya nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin
(diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja
antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan
dugunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina. Semua CCB
dimetabolisme di hati.
 Efek samping dari CCB
Kemerahan pada pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki sering
dijumpai, karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomen dan mual juga
sering terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks ion kalsium, oleh
karena itu CCB sering mengakibatkan gangguan gastro‐intestinal, termasuk konstipasi
6. Alpha-blocker
Alpha‐blocker (penghambat adreno‐septor alfa‐1) memblok adrenoseptor
alfa‐1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos
pembuluh darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten.
 Efek samping
Alpha‐blocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi pada
pemberian dosis pertama kali. Alpha‐blocker bermanfaat untuk pasien laki‐laki lanjut
usia karena memperbaiki gejala pembesaran prostat.
C. Hipotensi
a) Pengertian Hipotensi
Penyakit darah rendah atau Hipotensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan
darah seseorang turun dibawah angka normal, yaitu mencapai nilai renadah 90/60
mmHg. Adapun nilai normal tekanan darah seseorang secara umum adalah 120/80
mmHg. Tekanan darah rendah berarti kodisi dimana kurangnya hantaran nutrisi dan
oksigen ke dalam sel-sel tubuh.
b) Etiologi Hipotensi
Banyak orang memiliki tekanan darah sistolik di bawah 100, tetapi beberapa orang
mengalami gejala dengan tekanan yang rendah. Gejala tekanan darah rendah terjadi
karena satu atau lebih dari organ tubuh tidak mendapatkan pasokan darah yang cukup.
Jika tekanan darah rendah menyebabkan gejala klinis, penyebabnya akan berada di
salah satu dari tiga kategori umum. Entah jantung tidak memompa dengan tekanan
yang cukup, dinding arteri terlalu melebar, atau tidak ada cukup cairan intravascular
(pembuluh intra: dalam+vascular darah) dalam sistem.
1. Jantung
Jantung adalah pompa listrik. Jika terjadi masalah dengan jantung maka dapat
menyebabkan masalah tekanan darah rendah. Jika jantung berdetak terlalu cepat,
tekanan darah bisa turun karena tidak ada cukup waktu bagi jantung untuk mengisi
diantara setiap denyut (diastole). Jika jantung berdetak terlalu lambat mungkin ada
terlalu banyak waktu yang dihabiskan di diastole ketika darah tidak mengalir. Jika otot
jantung otot jantung telah rusak, maka jantung tidak memiliki kekuatan untuk
memompa dalam mempertahankan tekanan darah. Dalam serangan jantung, otot
jantung cukup mungkin akan terkejut sehingga jantung terlalu lemah untuk memompa
secara efektif.
Katup jantung memungkinkan darah mengalir hanya satu arah. Jika katup
gagal, darah dapat memuntahkan mundur, meminimalkan jumlah yang akan mengalir
ke tubuh. Jika katup menjadi menyempit (stenosis), maka aliran darah dapat menurun.
Kedua situasi tersebut dapat menyebabkan hipotensi.
2. Cairan intravascular
Ruang cairan di dalam pembuluh darah terdiri dari sel-sel darah dan serum
(air, faktor pembekuan, bahan kimia, dan elektrolit). Dehidrasi, hilangnya air dapat
mengurangai total volume dalam ruang intravaskuler (dalam pembuluh darah). Hal ini
dapat dilihat pada penyakit dengan peningkatan kehilangan air. Muntah dan diare
adalah tanda-tanda kehilangan air. Selain dehidrasi, perdarahan juga dapat mengurangi
sel darah merah dalam aliran darah dan menyebabkan penurunan jumlah cairan di
ruang intravascular dan dapat terjadi tekanan darah rendah.
c) Klasifikasi Hipotensi
 Hipotensi Ortostatik
Hipotensi ortostatik disebabkan oleh perubahan tiba-tiba posisi tubuh, biasanya ketika
beralih dari berbaring ke berdiri, dan biasanya hanya berlangsung beberapa detik atau
menit. Hipotensi jenis ini juga dapat terjadi setelah makan dan sering diderita oleh
orang tua, orang dengan tekanan darah tinggi dan orang dengan penyakit Parkinson.
 Hipotensi Dimediasi Neural
Hipotensi Dimediasi Neural paling sering mempengaruhi orang dewasa muda dan
anak-anak dan terjadi ketika seseorang telah berdiiri untuk waktu yang lama.
 Hipotensi Akut
Penyebab hipotensi akut adalah turunya tekanan darah secara tiba-tiba yang
disebabkan antara lain: pendarahan berat akibat kecelakaan atau trauma, dehidrasi
akibat diare atau muntah yang hebat, pengaruh obat tertentu atau infeksi sistemik
hebat. Hipotensi ini biasanya berlanjut menjadi syok akibat kurangnya aliran darah
menuju ke otak, jantung, ginjal maupun kulit.
d) Pathofisiologi Hipotensi
Tekanan pada perubahan posisi tubuh misalnya dari tidur ke berdiri maka tekanan
tekanan darah bagian atas tubuh akan menurun karena pengaruh gravitasi. Pada orang
dewasa normal, tekanan darah arteri rata-rata pada kaki adalah 180-200 mmHg.
Tekanan darah arteri setinggi kepala adalah 60-75 mmHg dan tekanan venanya 0.
Pada dasarnya, darah akan mengumpul pada pemubuluh kapasitas vena ekstemeitas
inferior 650-750 ml darah akan terlokalisir pada sutu tempat. Pengisian atrium kanan
jantung akan berkurang, dengan sendirinya curah jantung juga berkurang sehingga
pada posisi berdiri akan terjadi penurunan sementara tekanan darah sistolik hingga 25
mmHg, sedangkan tekanan darah disatolik tidak berubah atau meningkat ringan
hingga 10 mmHg.
Penurunan curah jantung akibat pengumpulan darah pada anggota tubuh bagin
bawah akan cenderung mengurangi darah ke otak. Tekanan arteri kepala akan turun
mencapai 20-30 mmHg. Penurunan ini akan diikuti kenaikan tekanan parsial CO2
(pCO2) dan penurunan tekanan parsial O2 (pCO2) serta pH jaringan otak. Secara
reflektoris, hal ini akan merangsang baroreseptor yang terdapat di dalam dinding dan
hampir setiap arteri besar di daerah dada dan leher, namun dalam jumlah banyak
didapatkan dalam dinding arteri karotis interna, sedikit di atasa bifurcatio carotis,
daerah yang dikenal sebagai sinus karotikus dan dinding arkus aorta. Respon yang
ditimbulakan baroreseptor berupa peningkatan tahanan pembuluh darah perifer,
peningkatan tekanan jaringan pada otot kaki dan abdomen, peningkatan frekuensi
respirasi, kenaikan frekuensi denyut jantung serta sekresi zat-zat vasoaktif. Sekresi zat
vasoaktif berupa katekolamin, pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldostreron,
pelepasan ADH dan neurohipofisis. Kegagalan fungsi refleks autonominilah yang
menjadi penyebab timbulnya hipotensi ortostatik, selain oleh faktor penurunan curah
jantung akibat berbagai sebab dan kontraksi volume inravaskular baik yang relatif
maupun absolut. Tingginya kasus hipotensi ortostatik pada usia lanjut berkaitan
dengan a) penurunan sensitivitas baroreseptor yang diakibatkan oleh proses
atherosklerosis sekitar sinus karotikus dan arkus aorta, hal ini akan menyebabkan tak
berfungsinya refleks vasokontriksi dan peningkatan frekuensi denyut jantung sehingga
mengakibatkan kegagalan pemeliharaan tekanan arteri sistemik saat berdiri ; dan b)
menurunnya daya elastisitas serta kekuatan otot ekstremitas inferior.
f) Gejala
Gejala yang timbul jika terjadi hipotensi adalah: mengalami penglihatan yang
kabur atau berkunang-kunang, gelisah dan pusing, terasa mau pingsan, kepala terasa
ringan dan seluruh tubuh terasa lemas dan lemah.
e) Penatalaksana
Perawatan untuk penderita hipotensi tergantung penyebabnya yaitu:
1. Hipotensi kronik
Hipotensi kronik jarang terdeteksi dari gejala. Hipotensi yang tak bergejala pada
orang-orang sehat biasanya tak memerlukan perawatan. Dalam mengatasi hipotensi
berdasarkan penyebabnya yaitu dengan mengurangi atau menghilangkan gejalanya.
a. Jika keluhan dirasakan pasien saat keadaan diare terjadi, maka pasien dianjurkan
untuk pemulihan kepada kebutuhan cairannya, yang mempengaruhi atau mengurangi
volume darah, mengakibatkan menurunya tekanan darah.
b. Kecelakaan atau luka yang menyebabkan pendarahan, akan mengakibatkan
kurangnya volume darah dan menurunkan aliran darah, untuk itu yang dibutuhkan
oleh penderita adalalah tranfusi darah sesuai dengan yang dibutuhkan.

2. Hipotensi ringan
Cara lain untuk mengatasi hipotensi, yaitu menambahkan elektrolit.
Penambahan elektrolit untuk diet dapat meringankan gejala dari hipotensi ringan.
 Sesekali minum kopi. Dosis kafein di pagi hari dapat memberikan efek karena
kafein dapat memacu jantung untuk bekerja lebih cepat sehingga tekanan darah
akan meningkat.
 Mengonsumsi makanan yang banyak mengandung kadar garam
 Klien yang sedang mengalami hipotensi, diharuskan banyak istirahat, dan
membatasi aktifitas fisiknya selama keadaan ini.
 Klien dengan hipotensi harus membiasakan diri untuk mempunyai pola makan
yan teratur dan mempunyai makanan pelengkap seperti susu untuk
meningkatkan stamina. Karena pada umumnya penderita hipotensi cukup
lemah dan mudah lelah.
 Penderita hipotensi dianjurkan untuk rajin berolahraga ringan, misalnya
jogging, untuk melatih kerja jantung secara teratur dan melancarkan aliran
darah ke seluruh tubuh.
D. Pengobatan Farmakologis
Dalam kasus hipotensi yang benar-benar diperlukan pemberian obat, biasanya
terdapat beberapa jenis obat yang biasa dipakai seperti, fludrocortisone, midodrine,
nonsteriodal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), dan caffeine.
1. Fludrocortisone
Fludrocortisone adalah obat untuk mengobati tingkat glukokortikoid rendah
yang disebabkan oleh penyakit kelenjar adrenal, seperti penyakit Addison, insufisiensi
adrenocortical, dan salt-losing adreno-genital syndrome. Obat ini termasuk dalam
kelas obat yang disebut hormon kortikosteroid. Kortikosteroid adalah bentuk sintetis
dari zat yang disebut glukokortikoid alami yang dibuat oleh tubuh. Glukokortikoid
banyak dibutuhkan bagi tubuh untuk berfungsi dengan baik. Zat ini penting untuk
keseimbangan garam dan air serta menjaga tekanan darah normal. Zat ini juga
dibutuhkan untuk memecah karbohidrat dalam diet. Fludrocortisone juga dapat
digunakan untuk tertentu seperti hipotensi postural kronis.mengobati jenis tekanan
darah rendah.
2. Midodrine
Midodrine umum digunakan untuk mengobati tekanan darah rendah ketika
berdiri (hipotensi ortostatik). Obat ini tergolong sebagai obat kardiovaskular yang
disebut alpha receptor agonist. Obat ini bekerja menyempitkan pembuluh darah untuk
menaikkan tekanan darah.
3. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau nonsteroidal anti-inflammatory
drugs (NSAIDs) adalah kelompok obat yang digunakan untuk mengurangi
peradangan, sehingga meredakan nyeri dan menurunkan demam. NSAIDs sering
dikonsumsi untuk mengatasi sakit kepala, nyeri menstruasi, keseleo, atau nyeri sendi.
4. Caffeine
Caffeine atau kafein adalah zat kimia yang ditemukan pada kopi, teh, cola,
guarana, mate, dan produk-produk lain. Kafein umumnya digunakan untuk
meningkatkan kewaspadaan mental, namun kafein memiliki banyak kegunaan lain.
Salah satunya adalah penggunaan untuk orang yang memiliki tekanan darah rendah.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit Hipertensi dan Hipotensi sangat berbahaya bagi tubuh manusia. Jika
seseorang tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih dan diastoliknya 90 mmHg atau
lebih maka orang tersebut mengalami hipertensi dan kemungkinan mengalami gejala
seperti sakit kepala bagian belakang, kaku kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing,
dada berdebar-debar, lemas, sesak nafas, berkeringat dan pusing. Sedangkan Hipotensi
merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang turun dibawah angka
normal, yaitu mencapai nilai renadah 90/60 mmHg dan memiliki gejal sering pusing
bahkan pingsan ada kemungkinan tubuhnya sulit difungsikan dikarenakan jantung
memompa darah ke seluruh tubuh dengan sangat lemah. Dari kedua penyakit ini dapat
ditangani dengan menerapkan pola hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari dan selalu
tekanan darah agar tetap terkontrol.

B. Saran
Lebih baik mulai dari sekarang selalu menjaga pola hidup sehat, agar terhindar
dari segala jenis penyakit seperti hipertensi dan hipotensi. Karena lebih baik mencegah
daripada mengobati, karena kesehatan itu mahal. Semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan bagi pembaca.
Daftar Pustaka

Fitriani N, et al. 2017, Journal of Industrial Hygiene and Occupational Health. Vol.2
No. 1. Hlm:57-59
Gormer Beth,2007, terj. Diana Lyrawati,2008. Farmakologi Hipertensi. Hlm 1-8.
https://id.scribd.com/documen/371207659/Hipotensi.
Nafrialdi. 2009. Antihipertensi. Dalam: Gunawan, S.G (Eds). Farmakologi dan Terapi,
Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Pearch, C Evelyn. 2010”Anatomo dan Fisiologi Untuk Para Medis”. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai