Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Global Initiative for Asthma (GINA) 2011 mendefinisikan asma adalah
gangguan inflamasi kronis saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya.
Proses inflamasi pada asma yang khas ditandai dengan peningkatan eosinofil, sel mast,
makrofag serta limfosit T di lumen dan mukosa saluran napas. Inflamasi kronis
menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam
dan atau dini hari. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari seluruh penduduk
Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.2,5
Asma sebagai kelainan saluran pernafasan kronik mempunyai prevalensi yang
makin terus meningkat dalam dua hingga tiga dekade terakhir ini. Sampai saat ini
terjadi peningkatan terhadap angka morbiditas ataupun mortalitas asma di Indonesia dan
hal tersebut menjadi masalah kesehatan yang cukup serius, walaupun pemahaman
terhadap pengobatan asma bertambah baik. Prevalensi asma di Indonesia berkisar antara
2% hingga 4% atau 3 hingga 5 juta orang dan sebanyak 1% diantaranya memerlukan
perawatan rumah sakit karena serangan asma akut yang berat, hal ini kemungkinan
disebabkan oleh diagnosa yang terlambat serta penatalaksanaan yang tidak tepat.
Menurut Haahtela T, secara klinis asma sering tidak terdiagnosa secara cepat dan
keterlambatan ini merupakan hal yang sangat bermasalah dalam penanganan
penderita.1,2,5
Teori dasar penyebab asma sangat komplek, melibatkan interaksi antara faktor
genetik, paparan alergen dan faktor lingkungan (populasi udara, rokok, infeksi saluran
pernafasan). 1,2,5
Mortalitas akibat asma 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka
kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan
bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau
serangan asma diketahui dan dimulai sejak kanak – kanak dan mendapat pengawasan
yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam
pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan
mengalami serangan ulang. Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka
kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus
menerus angka kematiannya 9%.1,2,5

1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatkan permasalahan mengenai
definisi, faktor risiko, tanda dan gejala, penatalaksanaan serta hubungan asma terhadap
Penyakit Akibat Kerja.

1.3 Tujuan
Mengetahui definisi, faktor risiko, tanda dan gejala, penatalaksanaan serta hubungan
asma terhadap Penyakit Akibat Kerja.

1.4 Manfaat
I.4.1. Manfaat Teoritis
Mengaplikasikan ilmu pengetahuan Penyakit Akibat Kerja yang telah didapatkan
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas
Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

I.4.2. Manfaat Praktis


I.4.2.1. Manfaat bagi Pasien
1. Pasien mengetahui tentang penyakit asma yang dialami pasien, faktor risiko,
tanda dan gejala, serta penatalaksanaannya.

I.4.2.2. Manfaat bagi Universitas


Melaksanakan tanggung jawab universitas yang tertuang dalam tridharma
perguruan tinggi dengan melaksanakan fungsi dan tugas perguruan tinggi sebagai
lembaga penyelenggara pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
I.4.2.3. Manfaat bagi Mahasiswa
Mendapatkan Pengetahuan mengenai Penyakit Akibat Kerja serta dapat
mengidentifikasi masalah pasien dan mengetahui hubungan asma dengan Penyakit
Akibat Kerja
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny SC
Usia : 42 tahun
Alamat : Pekapuran Rt 01 Rw 05 No 73
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh pabrik
No.RM : 010490
Kelompok : BPJS

2.2 ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan sesak
B. Keluhan Tambahan
Bunyi mengi saat napas, batuk, pilek
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak ± 3 hari sebelum berobat ke
puskesmas. Pada 1 hari sebelum berobat ke puskesmas, sesak di rasa bertambah
dan disertai bunyi mengi. Sesak dan bunyi mengi timbul terus-menerus, tidak
dipengaruhi aktivitas. Pasien merasa pada posisi duduk, sesak sedikit berkurang
disbanding posisi tidur.Keluhan ini sering pasien rasakan sejak kecil dan
kambuh saat batuk atau pilek. Namun, 2 tahun belakangan pasien menjadi lebih
sering merasa sesak terutama saat pasien berada di tempat kerjanya. Pasien dapat
mengalami sesak setiap 1 bulan sekali. Pasien merasa keluhannya ini lebih baik
bila ia berada di luar pabrik. Bila sesak, pasien biasanya minum obat sesak yang
rutin dikonsumsi 2 tahunan ini (aminofilin) dan membaik, namun kali ini sesak
masih dirasakan. Pasien mendapatkan obat tersebut dari dokter di
perusahaannya. Pasien juga sudah memeriksakan keluhannya ini ke Rumah
Sakit Pasar Rebo atas saran dokter di perusahaannya dan sempat dilakukan lab
darah 2 minggu yang lalu. Saat ini obat sudah habis, namun pasien tidak kembali
untuk kontrol dan keluhan masih dirasakan, sehingga pasien berobat ke
puskesmas.
D. Anamnesis Sistem
 Sistem Cerebrospinal : pusing (+)
 Sistem Kardiovaskuler : nyeri dada (-), sesak (+), perdarahan (-).
 Sistem Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), BAB
 Sistem Urologi : BAK (+) lancar, darah (-)
 Sistem Integumentum : gatal, bentol, dan merah pada wajah dan tangan
 Sistem Muskuloskeletal : tidak ada kelainan
 Sistem Neuromuskular : kelemahan anggota gerak (-)
E. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami sesak ± 40 hari sebelumnya, pasien di rawat ± 4 hari
dengan diagnosa asma bronkial. Riwayat asma (+) sejak kecil, pertama kali
serangan saat pasien usia 3 tahun, biasanya serangan timbul bila pasien
kecapean, terkena udara dingin, dan batuk pilek, pasien terkontrol dengan
aminofilin. Pasien memiliki alergi obat antalgin dan tetrasiklin, udang, serta
udara dingin. Riwayat hipertensi (-), DM (-), riwayat operasi (-).
F. Riwayat Penggunaan Obat
Pasien terkontrol dengan aminofilin. Biasanya keluhan sesak berkurang bila
minum obat tersebut, namun kali ini sesak dirasakan tdk membaik. Pasien tidak
sedang dalam pengobatan penyakit lain
G. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat asma (+) yaitu ibu, nenek dari ibu, dan adiknya, riwayat hipertensi (-),
DM (-), jantung (-)
H. Riwayat Pekerjaan
Pasien bekerja sebagai buruh sebuah pabrik garmen PT Central Star Knitting
yang terletak di Jl Raya Jakarta-Bogor Km 29, Mekarsari, Cimanggis, Bogor
Kab. Pasien sudah bekerja selama 2 tahun pada bagian cutting. Area kerja pasien
banyak debu dan benang-benang. Pasien sudah memakai masker setiap bekerja.
Pasien sering berobat pada dokter perusahaan mengenai sesaknya ini dan diberi
obat penghilang sesak. Namun, keluhan tidak dirasakan membaik.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis, E4V5M6 (GCS 15)
BB 70 kg, TB 155 cm, BMI 29,14
Tanda Vital Sign
 Tekanan darah : 120/70 mmHg
 Nadi : 96 x/menit
 Respirasi : 320 x/menit
 Suhu : 36,4 °C
Status Generalis
 Kepala : normocephal, distribusi rambut merata, hitam, tidak mudah dicabut,
makula eritema pada pipi dan dagu, lentikular - nunmular
 Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, reflex cahaya +/+
 Telinga : normotia, membran timpani utuh, sekret (-), serumen (+)
 Hidung : normosepta, darah (-), sekret (-)
 Tenggorokan : tonsil T1-T1 tenang, faring tidak hiperemis
 Leher : kelenjar getah bening dan tiroid tidak membesar
 Thoraks
o Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : batas atas kiri ICS II LPS sinistra, batas atas kanan ICS II
LPS dekstra, batas bawah kiri ICS V LMC sinistra, batas bawah
kanan ICS IV LPS dextra
Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
o Paru
Inspeksi : bentuk dada normal, pergerakan simetris saat statis dan
dinamis, retraksi suprasternal (-), laserasi (-)
Palpasi : vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi: vesikular breath sound (+), rhonkhi (-), wheezing (+) saat
ekspirasi
 Abdomen
Inspeksi : perut datar, distensi (-)
Auskultasi : BU (+)N
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-)
 Ekstremitas
Superior : akral hangat, udema (-/-), capillary refill <2 detik
Inferior : akral hangat, udema (-/-), capillary refill < 2 detik

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan pada tanggal 15 Juni 2015 ketika pasien
berobat ke RS Pasar Rebo.
Pemeriksaan Hasil NilaiRujukan Satuan

DARAH RUTIN
Hemoglobin 13,3 12,5 – 15,5 g/dL
Leukosit 11,3 4 – 10 Ribu
Eritrosit 4,76 3,8 – 5,4 Juta
Hematokrit 39,2 35 – 47 %
MCV 82,4 82 – 98 Mikro m3
MCH 27,9 ≥ 27 pg
MCHC 33,9 32 – 36 g/dL
RDW 14,3 10 – 16 %
Trombosit 524 150 – 400 Ribu
Limfosit 1,3 1,0 – 4,5 103 / mikro
Monosit 0,1 0,2 – 1,0 103 / mikro
Limfosit % 11,2 25 – 40 %
Monosit % 0,5 2–8 %

2.5 DIAGNOSIS KERJA


Asma bronkial derajat serangan ringan

2.6 PENATALAKSANAAN
1. Salbutamol 2 x 1
2. Ambroxol 3 x 1
3. Dexametason 2 x 1
2.7 PROGNOSIS
 Ad Vitam : dubia ad bonam
 Ad Fungsionam : dubia ad bonam
 Ad Sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Asma merupakan penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat penyempitan
saluran napas yang bersifat reversibel ditandai dengan episode obstruksi pernapasan di
antara dua interval asimtomatik, merupakan gangguan inflamasi kronik jalan napas yg
melibatkan berbagai sel inflamasi dan elemennya yang berhubungan dengan
hipereaktivitas bronkus akibat kontaminasi dengan antigen. 1,2,5
Definisi asma dari Global Initiative for Asthma (GINA) 2011 mendefinisikan
asma adalah gangguan inflamasi kronis saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Proses inflamasi pada asma yang khas ditandai dengan peningkatan
eosinofil, sel mast, makrofag serta limfosit T di lumen dan mukosa saluran napas.
Inflamasi kronis menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan. Dalam keadaan ini terjadi tiga kondisi, yakni obstruksi saluran napas,
peradangan saluran napas dan peningkatan kepekaan yang berlebihan pada saluran
napas. 1,2,5

3.2 Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan perempuan di segala usia, terutama
pada usia dini. Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan
pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.
Laki-laki lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja
dibandingkan dengan perempuan.Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), hingga saat ini jumlah penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta
orang dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada
tahun 2025.Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma
meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari
seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.3,4,6

3.3 Faktor Resiko


Faktor risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
(host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu dalam hal ini adalah predisposisi
genetik yang mempengaruhi berkembangnya asma, yaitu riwayat keluarga asma dan
jenis kelamin. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau
predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya
eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor
lingkungan yaitu asap rokok dan asap kendaraan bermotor. 3,4,6
1. Faktor Pejamu yang Berpengaruh Terhadap Asma
a. Riwayat keluarga
Telah diterima secara umum bahwa ada kontribusi herediter pada etiologi
asma. Dari studi genetik telah menemukan multiple chromosomal region yang
berisi gen-gen yang memberi kontribusi asma. Kromosom 11, 12, 13 memiliki
berbagai gen yang penting dalam berkembangnya asma, antara lain CD28,
IGPB5, CCR4 dan CD22.
b. Riwayat atopi
c. Jenis kelamin
d. Ras : kulit hitam > kulit putih
e. Obesitas
2. Faktor Lingkungan yang Berpengaruh Terhadap Asma
a. Asap rokok
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh WHO pada 8,5% populasi dunia
menunjukan 47% laki-laki dan 12% perempuan berumur 15 tahun ke atas
adalah perokok. Menurut Bank Dunia, Konsumsi rokok Indonesia sekitar 6,6%
dari seluruh konsumsi dunia. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) 2003 menyebutkan bahwa 27% penduduk berusia di atas 10 tahun
menyatakan merokok dalam satu bulan terakhir sejumlah 92,0% dari perokok
menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah ketika bersama anggota
rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga
adalah perokok pasif. Asap rokok merupakan oksidan yang menimbulkan
inflamasi. Asap rokok akan mengakibatkan kerusakan epitel dan perubahan
sifat epitel bronkus pada penderita asma sehingga lebih rentan terjadi apoptosis
akibat oksidan. 3,4,5
Penderita asma yang terpajan asap rokok mempercepat perburukan
fungsi paru, berisiko kecacatan, semakin tidak produktif dan menurunkan
kualitas hidup. Akibat pajanan asap rokok tidak saja terjadi pada perokok aktif
tetapi juga pada perokok pasif. Asap rokok juga dapat meningkatan berat asma,
tidak berespons terhadap pengobatan dengan inhalasi atau glukokortikosteroid
sistemik dan mengurangi pertahanan asma terkontrol. 3,4,5
b. Asap kendaraan bermotor
Polusi udara terdiri dari partikel dan berbagai gas yang dapat berasal dari
berbagai sumber. Polusi udara dapat terjadi di dalam dan di luar ruangan
(indoor dan outdoor). Sumber polusi udara dapat berasal dari alam dan
aktivitas manusia. Sumber polutan alam meliputi aktivitas gunung berapi,
kebakaran hutan, badai debu. Sumber polutan yang berasal dari aktivitas
manusia yaitu asap kendaraan bermotor, pembuangan sampah padat, proses
industri dan lain-lain. 3,4,5
Polutan akan mengakibatkan kerusakan epitel dan perubahan sifat epitel
bronkus pada penderita asma sehingga meningkatkan permeabilitas saluran
napas, meningkatkan pelepasan sitokin dan mediator inflamasi akibat pajanan
asap kendaraan bermotor.Meningkatnya eksaserbasi asma menunjukan
tingginya hubungan asap kendaraan bermotor yang tersensitisasi pada
individu.Polutan di luar dan di dalam rumah mempunyai kontribusi perburukan
gejala asma dengan mencetuskan bronkokonstriksi, peningkatan hiperesponsif
saluran napas dan peningkatan respons terhadap aeroalergen. 3,4,5

3.4 Patofisiologi
Pada saat ini konsep baru yang banyak diperhatikan untuk menerangkan
pengertian dasar timbulnya asma bronkial dan manifestatsi klinisnya adalah konsep
inflamasi.Inflamasi berperan sentral pada patofisiologi asma. Inflamasi saluran napas
melibatkan interaksi banyak sel dan berbagai mediator. Bukti-bukti asma sebagai
penyakit inflamasi kronis saluran napas diperoleh dari pemeriksaan otopsi, kurasan
cairan bronkus, biopsi mukosa bronkus, pemeriksaan bronkoskopi dan sputum.6,7,8
Sebelum mengalami proses inflamasi, pencetus serangan asma dapat disebabkan
oleh sejumlah faktor antara lain, alergen, virus dan polutan yang dapat menginduksi
respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma dini (early asthma reaction = EAR)
dan reaksi asma lambat (late asthma reaction = LAR). Setelah reaksi asma awal dan
lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronis. Pada
keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa infiltrasi sel–sel
inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen
bronkus. 6,7,8
1. Inflamasi Akut
a. Reaksi asma tipe cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan perfomed
mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti
leukotrien, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi. 6,7,8
b. Reaksi asma tipe lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel TCD4+, neutrofil dan makrofag. 6,7,8
2. Inflamasi Kronis
Limfosit yang berperan adalah limfosit T-CD4+. Limfosit T ini berperan sebagai
orkestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3,
IL-4, IL-5 dan IL-13. IL akan menginduksi sel limfosit B mensintesis
IgE.Eosinofil ditemukan pada saluran napas penderita asma dalam keadaan
teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin
antara lain IL-3, IL-5, IL-6, TNF α.Makrofag merupakan sel terbanyak
didapatkan pada organ pernapasan. Makrofag dapat menghasilkan berbagai
mediator anatara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. (Mcfadden, 2000).
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, neutrofil, platelet
dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti
leukotrien, tromboksan dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma.
Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas
bronkus. 6,7,8

Mediator sel mast dan pengaruhnya terhadap asma antara lain: 6,7,8
Mediator Pengaruh
 Histamin
 LTC4, D4,E4
 Prostaglandin dan Thromboksan A2 Kontriksi otot
 Bradikinin polos
 Platelet-activating factor (PAF)
 Histamin
 LTC4, D4,E4
 Prostaglandin dan Thromboksan E2
 Bradikinin Udema mukosa
 Platelet-activating factor (PAF)
Chymase
 Radikal oksigen
 Histamin
 LTC4, D4,E4
Sekresi mucus
 Prostaglandin
 Hidroxyeicosatetraenoic acid
 Radikal oksigen
Deskuamasi
 Enzim proteolitik
epitel bronkial
 Faktor inflamasi dan sitokin

3.5 Diagnosis
3.5.1 Anamnesis
Gejala yang bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa
pengobatan. Gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan berdahak.
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu dan berespons terhadap pemberian
bronkodilator.Keluhan menjelang pagi atau episode malam sering dijumpai pada asma
dewasa. Tipikal gejala asma nokturnal terjadi antara jam 4-6 pagi dan biasanya
menghilang dengan inhalasi bronkodilator.Kadang asma hanya muncul dengan keluhan
batuk kronis. Apabila batuk menetap dan timbul berulang hendaknya dipertimbangkan
sebagai gejala asma. Biasanya batuk akan timbul akibat paparan zat tertentu, aktivitas,
gangguan emosi dan infeksi virus. Batuk yang khas pada asma adalah yang memberat
pada malam hari. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah
dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru serta terdapat riwayat keluarga
asma dan atopi juga sangat membantu diagnosis. 1,2,5

3.5.2 Pemeriksaan Fisik


Hasil temuan fisik pada saat serangan asma adalah akibat dari efek langsung
penyempitan saluran napas difus dan efek tidak langsung akibat dari peningkatan kerja
napas dan peningkatan kebutuhan metabolik. Pasien yang mengalami serangan asma
(sesuai derajat serangan), pada saat inspeksi ditemukan pasien terlihat gelisah, sesak
(napas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga, retraksi suprasternal), sianosis.
Pada palpasi biasanya tidak ada kelainan yang nyata kecuali pada serangan asma berat
dapat terjadi pulsus paradoksus. Pada perkusi tidak ada kelainan yang nyata dan pada
auskultasi ditemukan ekspirasi yang memanjang dan wheezing.1,2,5
Pada sebagian penderita auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada
pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan
serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat
saluran napas, maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang
lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja
pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.1,2,5
Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan
yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar
bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.Takipnea dan takikardi
adalah tanda umum asma akut. Pernapasan antara 25-28x/menit dan rata-rata detak
jantung 100x/menit.1,2,5

3.5.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Faal Paru
Pengukuran faal paru digunakan untuk mendiagnosis asma, menilai keparahan
obstruksi jalan napas, reversibilitas kelainan faal paru, variabilitas faal paru, langkah-
langkah pengendalian penyakit dan memberikan informasi pelengkap tentang berbagai
aspek kontrol asma.Pemeriksaan faal paru untuk menegakkan diagnosis asma antara
lain:1,2,5
a. Spirometri
Pengukuran Volume Ekspirasi Paksa dalam 1 detik (VEP1) dan Kapasitas
Vital Paksa (KVP) dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP <75%
atau VEP1 <80% nilai prediksi. (PDPI, 2004). Dikatakan obstruksi saluran
napas reversibel bila ditemukan peningkatan VEP1>12% setelah terapi
bronkodilator. 1,2,5
b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Menggunakan alat peak expiratory flow meter (PEF meter). bermanfaat
untuk menilai reversibilitas, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah
inhalasi bronkodilator dan sebagai variabilitas untuk menilai APE harian
selama 1-2 minggu. 1,2,5
APE malam – APE pagi
Variabiliti harian = x 100%
½ (APE malam + APE pagi)
2. Uji Provokasi Bronkus
Membantu menegakkan diagnosis asma. Hiperesponsif bronkus hampir selalu
ditemukan pada asma dan derajatnya berkorelasi dengan keparahan asma. Tes
ini sangat sensitif sehingga kalau tidak ditemukan hiperesponsif saluran napas
harus memacu untuk mengurangi pemeriksaan dari awal dan memikirkan
diagnosis penyakit selain asma. Uji provokasi bronkus dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu : uji farmakologi (histamine, adenosine atau metacholine) dan uji
non farmakologi (saline hipertonis dan olahraga). Pada uji farmakologi,
metacholine suatu bahan kolinergik yang bekerja dengan cara membuat
kontraksi otot polos saluran napas pada saluran napas yang hiperaktif. Demikian
juga histamin mempunyai mekanisme kerja yang sama. Pada uji non
farmakologi akan terjadi perubahan suhu internal dan homeostasis cairan di
saluran napas. Jadi dengan mempengaruhi sel-sel epitel dan merangsang serabut
saraf dan proses peradangan yang dapat menimbulkan bronkokonstriksi. Sebagai
prasyarat keamanan uji provokasi dianjurkan pada penderita dengan VEP1
>70%. Hasil uji provokasi bronkus dinyatakan dengan parameter PC20, yaitu:
konsentrasi zat inhalasi yang menimbulkan penurunan VEP1 20% dibanding
VEP1 sebelum provokasi. Spesifisitas tes farmakologi berkisar 90% bila PC20 ≤
8 mg/ml digunakan sebagai nilai ambang diagnosis.1,2,5
3. Foto Thoraks
Pemeriksaan foto toraks untuk asma tidak begitu penting. Sebagian besar
menunjukkan normal atau hiperinflasi. Pada eksaserbasi berat berguna untuk
menyingkirkan penyakit lain atau mencari penyulit yang terjadi seperti
pneumothoraks, pneumonia dan atelektasis. Pada serangan asma yang ringan,
gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan.1,2,5

3.6 Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang. Klasifikasi asma
berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan
jangka panjang. Semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Klasifikasi
asma adalah sebagai berikut :1,2,5

3.6.1 Bedasarkan ada/tdknya penyakit imun penyebab


1. Asma ekstrinsik/alergik/atopik
Disebabkan karena reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang dipicu karena adanya
pajanan ke antigen1,2,5
2. Asma intrinsik / idiopatik
Pemicunya merupakan nonimun. Sejumlah rangsangan yang kecil atau yang
tidak berefek pada orang normal dapat menyebabkan bronkospasme1,2,5

3.6.2 Berdasarkan derajat keparahannya


Berdasarkan derajat keparahan, menurut GINA (Global Initiative for Asthma), asma
dibagi menjadi :1,2,5
1. Intermitten
2. Persisten ringan
3. Persisten sedang
4. Persisten berat
Derajat Gejala Gejalamalam Faalparu
Intermiten Bulanan ≤2 x sebulan APE ≥ 80%
< 1 x/minggu FEV1 ≥ 80% nilaiprediksi
Tanpagejala di luarserangan APE ≥ 80% nilaiterbaik
SeranganSingkat Variabilitas APE < 20%
Persistenrin Mingguan > 2x sebulan APE ≥ 80%
gan Gejala>1x/minggutapi<1 FEV1 ≥ 80% nilaiprediksi
x/hari APE ≥ 80% nilaiterbaik
Serangangangguaktivitas dan Variabilitas PEF/FEV120-
tidur 30%
Persistense Harian > 1x seminggu APE 60-80 %
dang Serangandapatmenggangguakt FEV1 60-80% nilaiprediksi
ivitasdantidur APE 60-80% nilaiterbaik
Butuhbronkodilatorsetiaphari Variabilitas APE >30%
Persistenbe Kontinu Sering APE ≤60 %
rat Seringkambuh FEV1 ≤60% nilaiprediksi
Aktivitasfisiktbtas APE ≤60 nilaiterbaik
Variabilitas APE > 30%

3.6.3 Berdasarkan derajat beratnya serangan


Berdasarkan derajat beratnya serangan, asma dibagi menjadi :1,2,5
1. Asma serangan ringan
2. Asma serangan sedang
3. Asma serangan berat
Keterangan Ringan Sedang Berat
Aktivitas Dptberjalan, Jalanterbatas, Sukarberjalan,
dptberbaring lbhsukaduduk dudukmembungkukkedepan
Bicara Bbrpkalimat Kalimatterbatas Bicarabrp kata
Kesadaran Mungknterganggu Biasanyaterganggu Biasanyaterganggu
Frekuensinapas Meningkat Meningkat Sering> 30x/mnt
Retraksiotot-otot Umumnya tidak Kadangada Ada
bantu napas ada
Wheezing Lemahsmpsedang Keras Keras
Frekuensinadi < 100 100-200 > 120
Pulsusparadoksus Tdkada (< 10 Mungkinada (10-25 Seringada (> 25 mmHg)
mmHg) mmHg)
APE > 80% 60-80% < 60%
setelahbronkodilator
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg < 45 mmHg
SaO2 > 95 % 91-95 % < 90%
3.6.4 Berdasarkan Terkontrol/Tidak
Berdasarkan Terkontrol/Tidak, asma dibagi menjadi :1,2,5
1. Asma terkontrol penuh
2. Asma terkontrol parsial
3. Asma tidak terkontrol
Karakteristik Terkont Terkontrolpa Tidakterkontrol
rol rsial
Gejalaharian Tidakad > 2x/mgg 3/lbhdarikarakteristikasmaparsialtjddala
a (< mseminggu
2x/mgg
)
Keterbatasanakti Tidak Beberapa
vitas
Gejalanokturnal Tidak Beberapa
Reliever ( Tidak(< > 2x/mgg
pelega ) 2x/mgg
)
PEV atau PEV1 Normal < 80 %
Eksaserbasi Tidak 1/lbh dlm 1x dlmbbrpmggu
setahun

3.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.Tujuh komponen program penatalaksanaan asma adalah :1,2,5
1. Edukasi
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditas dan mortalitas, menjaga
penderita agar tetap bisa melakukan aktivitas dan mengurangi biaya pengobatan
karena berkurangnya serangan akut terutama bila membutuhkan kunjungan ke
unit gawat darurat/ perawatan rumah sakit. Edukasi sebaiknya diberikan dalam
waktu khusus di ruang tertentu, dengan alat peraga yang lengkap seperti gambar
pohon bronkus, phantom rongga thoraks dengan saluran napas dan paru, gambar
potongan melintang saluran napas, contoh obat inhalasi dan sebagainya. Edukasi
sudah harus dilakukan saat kunjungan pertama baik di gawat darurat, klinik,
klub asma, dengan bahan edukasi terutama mengenai cara dan waktu
penggunaan obat, menghindari pencetus, mengenali efek samping obat dan
kegunaan kontrol teratur pada pengobatan asma.2,3,5
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita
sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.2,3,5
a. Gejala dan tanda asma dinilai dan dipantau setiap kunjungan ke dokter
melalui berbagai pertanyaan dan pemeriksaan fisik. Pertanyaan yang rinci
untuk waktu yang lama (≥ 4 minggu) sulit dijawab dan menimbulkan bias
karena keterbatasan daya ingat (memori) penderita. Oleh karena itu,
pertanyaan untuk jangka waktu lama umumnya bersifat global, dan untuk
waktu yang pendek misalnya ≤ 2 minggu dapat diajukan pertanyaan yang
rinci yang sebaiknya meliput tiga hal, yaitu :2,3,5
a) Gejala asma sehari-hari (mengi, batuk, rasa berat di dada dan sesak)
b) Asma malam, terbangun malam karena gejala asma
c) Gejala asma pada dini hari yang tidak menunjukkan perbaikan setelah 15
menit pengobatan agonis beta-2 kerja singkat.
b. Pemeriksaan faal paru
Pemeriksaan faal paru dapat dilakukan untuk diagnosis, menilai berat asma,
memonitor keadaan asma dan menilai respons pengobatan sehingga menjadi
parameter obyektif dan pemeriksaan berkala secara teratur mutlak
dilakukan.Pemantauan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dan Peak Flow Meter
penting untuk menilai berat asma, derajat variasi diurnal, respons
pengobatan saat serangan akut, deteksi perburukan asimptomatik dan
respons pengobatan jangka panjang.2,3,5
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
Sebagian penderita dengan mudah mengenali faktor pencetus, akan tetapi
sebagian lagi tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. Sehingga
identifikasi faktor pencetus layak dilakukan yang dapat sebagai pencetus
serangan.2,3,5
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk
mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol berupa medikasi
(obat-obatan).Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega. Medikasi asma dapat
diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral (subkutan,
intramuskular, intravena), tetapi pemberian medikasi langsung ke jalan napas
(inhalasi) mempunyai kelebihan, yaitu lebih efektif untuk dapat mencapai
konsentrasi tinggi di jalan napas dan efek sistemik minimal atau dihindarkan.
a. Pengontrol (controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada pasien asma persisten. Yang termasuk obat pengontrol
adalah kortikosteroid inhalasi, kortikosteroid sistemik, sodium kromoglikat,
nedokromil sodium, agonis beta-2 kerja lama, inhalasi, agonis beta-2 kerja
lama, oral dan antihistamin generasi kedua (antagois-H1).2,3,5
b. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan degan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega
adalah agonis beta-2 kerja singkat, antikolinergik, aminofilin dan adrenalin.
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh
pasien. Penanganannya harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan.
Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan faal paru untuk selanjutnya diberikan
pengobatan yang cepat dan tepat.Pada serangan asma obat yang digunakan
adalah bronkodilator (beta-2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida) serta
kortikosterod sistemik. Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya beta-2
agonis kerja cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Pada dewasa
dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada serangan sedang
diberikan beta-2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat
ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip). Pada
serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, beta-2 agonis
kerja cepat, ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV
(bolus atau drip). Apabila beta-2 agonis krja cepat tidak tersedia dapat
digantikan dengan adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang mengancam
jiwa langsung dirujuk ke ICU. Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan
dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat
menggunakan IDT (inhalasi dosis terukur) dengan alat bantu (spacer).2,3,5
6. Kontrol secara teratur
Dokter sebaiknya menganjurkan penderita untuk kontrol tidak hanya terjadi
serangan akut, tetapi kontrol teratur terjadwal, interval berkisar 1-6 bulan
bergantung kepada keadaan asma.2,3,5

Pengobatan sesuai berat asma:2,3,5


Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak
melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma Medikasi pengontrol Alternatif / Pilihan lain Alternatif
harian lain
Asma Intermiten Tidak perlu
Asma Persisten Glukokortikosteroid  Teofilin lepas lambat
Ringan inhalasi (200-400 ug  Kromolin
BD/hari atau  Leukotriene modifiers
ekivalennya)
Asma Persisten Kombinasi inhalasi  Glukokortikosteroidinhalasi  Ditambah
Sedang glukokortikosteroid (400-800 ug BD agonis
(400-800 ug BD/hari atauekivalennya) beta-2
atau ekivalennya) dan ditambahTeofilinlepaslambat kerja lama
agonis beta-2 kerja ,atau oral, atau
lama  Glukokortikosteroidinhalasi
(400-800 ug BD  Ditambah
atauekivalennya) teofilin
ditambahagonis beta-2 kerja lepas
lama oral, atau lambat
 Glukokortikosteroidinhalasi
dosis tinggi (>800 ug BD
atauekivalennya) atau
 Glukokortikosteroidinhalasi
(400-800 ug BD
atauekivalennya)
ditambahleukotriene modifiers
Asma Persisten Kombinasi inhalasi Prednisolon/ metilprednisolon oral
Berat glukokortikosteroid (> selangsehari 10 mg
800 ug BD atau ditambahagonis beta-2 kerja lama
ekivalennya) dan oral, ditambahteofilin lepas lambat
agonis beta-2 kerja
lama, ditambah  1 di
bawah ini:
 teofilin lepas lambat
 leukotriene modifiers
 glukokortikosteroid
oral

3.8 Pencegahan
Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :2,3,5
1. Pencegahan primer
Ditujukan mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko asma (orang tua asma),
dengan cara penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan
masa perkembangan bayi/anak, diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan/ dengan
syarat diet tersebut tidak mengganggu asupan janin, pemberian asi eksklusif
selama 6 bulan karena bayi yang mendapat susu sapi atau protein kedelai
mempunyai insiden penyakit mengi lebih banyak.Berbagai studi menunjukkan
bahwa ibu yang merokok selama kehamilan akan mempengaruhi perkembangan
paru anak, dan bayi dari ibu perokok, 4 kali lebih sering mendapat gangguan
mengi dalam tahun pertama kehidupannya. Sedangkan hanya sedikit bukti yang
mendapatkan bahwa ibu yang merokok selama kehamilan berefek pada
sensitisasi alergen.
2. Pencegahan sekunder
Bertujuan mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi
asma. Studi terbaru mengenai pemberian antihistamin H-1 dalam menurunkan
onset mengi pada penderita anak dermatitis atopik. Pencegahan sekunder juga
bertujuan mencegah inflamasi yang telah tersensitisasi dengan cara menghindari
pajanan asap rokok, serta alergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah.
3. Pencegahan tersier
Ditujukan untuk mencegah agar tidak terjadi serangan/ bermanifestasi klinis
asma pada penderita yang sudah menderita asma. Sehingga menghindari pajanan
pencetus akan memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan
medikasi/obat.
3.9 Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka
kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan
bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau
serangan asma diketahui dan dimulai sejak kanak – kanak dan mendapat pengawasan
yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam
pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan
mengalami serangan ulang. Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka
kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus
menerus angka kematiannya 9%.2,3,5Asma dikatakan terkontrol bila : 1,5,7
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE<20 %
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke IGD

3.10 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita asma yaitu : 1,5,7
1. Status asmatikus
2. Gagal napas
3. Perubahan postural tubuh
4. bronkitis
5. Pneumotoraks
6. atelektasis
BAB IV
PEMBAHASAN

Berikut adalah 7 langkah untuk menentukan PAK

1. Menentukan diagnosis klinis


 Anamnesa
 Pasien datang dengan keluhan sesak sejak ± 3 hari sebelum berobat.
Pada 1 hari sebelum berobat ke puskesmas, sesak di rasa bertambah dan
disertai bunyi mengi. Sesak dan bunyi mengi timbul terus-menerus,
tidak dipengaruhi aktivitas. Pasien merasa pada posisi duduk, sesak
sedikit berkurang dibanding posisi tidur. Keluhan ini sering pasien
rasakan sejak kecil dan kambuh saat batuk atau pilek. Namun, 2 tahun
belakangan pasien menjadi lebih sering merasa sesak terutama saat
pasien berada di tempat kerjanya. Pasien dapat mengalami sesak setiap 1
bulan sekali. Pasien merasa keluhannya ini lebih baik bila ia berada di
luar pabrik. Bila sesak, pasien biasanya minum obat sesak yang rutin
dikonsumsi 2 tahunan ini (aminofilin) dan membaik, namun kali ini
sesak masih dirasakan. Pasien mendapatkan obat tersebut dari dokter di
perusahaannya. Pasien juga sudah memeriksakan keluhannya ini ke
Rumah Sakit Pasar Rebo atas saran dokter di perusahaannya dan sempat
dilakukan lab darah 2 minggu yang lalu.
 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardi, takipneu, BMI 29,14
(obese I), makula eritema pada pipi dan dagu, lentikular – nunmular,
retraksi suprasternal (+), wheezing (+) saat ekspirasi dan inspirasi, nyeri
tekan epigastrium (+), makula eritema pada ekstremitas atas, lentikular –
nunmular, gatal.
 Diagnosis klinis
Pada pasien ini, diagnosis asma berdasarkan adanya batuk dan mengi
yang episodik (timbul berulang), variabilitas (timbul bila terpajan dengan
faktor pencetus), reversibilitas (gejala membaik dengan obat asma),
riwayat alergi lainnya, riwayat asma, serta riwayat asma atau alergi lain
pada keluarga pasien (atopi)
2. Pajanan yang dialami
Pasien bekerja sebagai buruh sebuah pabrik garmen PT Central Star Knitting
yang terletak di Jl Raya Jakarta-Bogor Km 29, Mekarsari, Cimanggis, Bogor
Kab. Pasien sudah bekerja selama 2 tahun pada bagian cutting.
3. Hubungan pajanan dengan diagnosis klinis
Pasien bekerja di bagian cutting dimana menurut pengakuan pasien pada bagian
ini terdapat banyak debu dari kain-kain yang dipotong.
4. Jumlah pajanan yang dialam
Pada anamnesis pasien mengatakan dalam seminggu pasien bekerja selama 6
hari dengan hari libur sehari. Pasien bekerja sejak pukul 8 pagi hingga pukul 5
sore. Pasien sudah memakai masker setiap bekerja.
5. Peranan faktor individu/genetik, dll
Pasien mengakui menderita asma begitupun keluarganya ada yang menderita
asma.
6. Faktor lain diluar pekerjaan
Pada anamnesis pasien juga mengaku sering terpapar debu saat menyapu
rumahnya.
7. Diagnosis PAK atau bukan PAK
Asma bronkial derajat serangan ringan-sedang karena paparan debu kain /
benang di bagian cutting.
Penatalaksanaan

1. Salbutamol 2 x 1
2. Ambroxol 3 x 1
3. Dexametason 2 x 1

Pencegahan agar terhindar dari Asma akibat PAK

1. Memakai alat pelindung diri yaitu masker, seperti yang selama ini dilakukan
oleh pasien.
BAB V

KESIMPULAN

Pasien wanita usia 42 tahun datang dengan keluhan sesak dan timbul saat pasien
batuk kering. Pada 1 hari sebelum berobat ke puskesmas ,sesak di rasa bertambah dan
disertai bunyi mengi. Pasien merasa pada posisi duduk, sesak sedikit berkurang
disbanding posisi tidur.Pusing (+), nyeri ulu hati (+), mual (+), muntah (-), BAB dan
BAK (+) lancar, gatal, bentol, dan merah pada wajah dan tangan. Pasien pernah
mengalami sesak ± 40 hari sebelumnya. Riwayat asma (+) sejak kecil, biasanya
serangan timbul bila pasien kecapean, terkena udara dingin, dan batuk pilek, terakhir
serangan yaitu 40 hari dan 3 bulan yang lalu. Pasien memiliki alergi obat antalgin dan
tetrasiklin, udang, serta udara dingin. Riwayat hipertensi (+),Riwayat asma (+) yaitu
ibu, nenek dari ibu, dan adiknya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardi, takipneu,
BMI 29,14 (obese I), makula eritema pada pipi dan dagu, lentikular – nunmular,
retraksi suprasternal (+), wheezing (+) saat ekspirasi dan inspirasi, nyeri tekan
epigastrium (+), makula eritema pada ekstremitas atas, lentikular – nunmular, gatal.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan leukositosis, EKG : normal sinus
rithme, dan pada spirometri (FEV1 : 38,3%, FVC : 32,8%, FEV1/FVC : 115,4%, kesan
restriktif).
Pada pasien ini, diagnosis asma berdasarkan adanya batuk dan mengi yang
episodik (timbul berulang), variabilitas (timbul bila terpajan dengan faktor pencetus),
reversibilitas (gejala membaik dengan obat asma), riwayat alergi lainnya, riwayat asma,
serta riwayat asma atau alergi lain pada keluarga pasien (atopi). Berdasarkan kriteria
derajat serangannya, maka pasien ini termasuk dalam kriteria derajat berat. Setelah
diberikan nebulisasi sebanyak dua kali, terjadi respon parsial. Oleh karena itu, pasien
termasuk serangat asma derajat sedang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam UI Jilid 1, 404. Departemen Kesehatan RI.
2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta
2. Global Initiative for Asthma. 2011. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention. Canada
3. Global strategy for asthma management and prevention (update 2011) –
www.ginasthma.org
4. Mcfadden. 2000. Penyakit Asma dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : EGC
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.. 2004. Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
6. Price A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit edisi VI
volume 2. Jakarta: EGC
7. Sherwood Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi VI.
Jakarta: EGC
8. Stefan Silbernagl ,Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.

Anda mungkin juga menyukai