PENDAHULUAN
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatkan permasalahan mengenai
definisi, faktor risiko, tanda dan gejala, penatalaksanaan serta hubungan asma terhadap
Penyakit Akibat Kerja.
1.3 Tujuan
Mengetahui definisi, faktor risiko, tanda dan gejala, penatalaksanaan serta hubungan
asma terhadap Penyakit Akibat Kerja.
1.4 Manfaat
I.4.1. Manfaat Teoritis
Mengaplikasikan ilmu pengetahuan Penyakit Akibat Kerja yang telah didapatkan
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas
Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.
2.2 ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan sesak
B. Keluhan Tambahan
Bunyi mengi saat napas, batuk, pilek
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak ± 3 hari sebelum berobat ke
puskesmas. Pada 1 hari sebelum berobat ke puskesmas, sesak di rasa bertambah
dan disertai bunyi mengi. Sesak dan bunyi mengi timbul terus-menerus, tidak
dipengaruhi aktivitas. Pasien merasa pada posisi duduk, sesak sedikit berkurang
disbanding posisi tidur.Keluhan ini sering pasien rasakan sejak kecil dan
kambuh saat batuk atau pilek. Namun, 2 tahun belakangan pasien menjadi lebih
sering merasa sesak terutama saat pasien berada di tempat kerjanya. Pasien dapat
mengalami sesak setiap 1 bulan sekali. Pasien merasa keluhannya ini lebih baik
bila ia berada di luar pabrik. Bila sesak, pasien biasanya minum obat sesak yang
rutin dikonsumsi 2 tahunan ini (aminofilin) dan membaik, namun kali ini sesak
masih dirasakan. Pasien mendapatkan obat tersebut dari dokter di
perusahaannya. Pasien juga sudah memeriksakan keluhannya ini ke Rumah
Sakit Pasar Rebo atas saran dokter di perusahaannya dan sempat dilakukan lab
darah 2 minggu yang lalu. Saat ini obat sudah habis, namun pasien tidak kembali
untuk kontrol dan keluhan masih dirasakan, sehingga pasien berobat ke
puskesmas.
D. Anamnesis Sistem
Sistem Cerebrospinal : pusing (+)
Sistem Kardiovaskuler : nyeri dada (-), sesak (+), perdarahan (-).
Sistem Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), BAB
Sistem Urologi : BAK (+) lancar, darah (-)
Sistem Integumentum : gatal, bentol, dan merah pada wajah dan tangan
Sistem Muskuloskeletal : tidak ada kelainan
Sistem Neuromuskular : kelemahan anggota gerak (-)
E. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami sesak ± 40 hari sebelumnya, pasien di rawat ± 4 hari
dengan diagnosa asma bronkial. Riwayat asma (+) sejak kecil, pertama kali
serangan saat pasien usia 3 tahun, biasanya serangan timbul bila pasien
kecapean, terkena udara dingin, dan batuk pilek, pasien terkontrol dengan
aminofilin. Pasien memiliki alergi obat antalgin dan tetrasiklin, udang, serta
udara dingin. Riwayat hipertensi (-), DM (-), riwayat operasi (-).
F. Riwayat Penggunaan Obat
Pasien terkontrol dengan aminofilin. Biasanya keluhan sesak berkurang bila
minum obat tersebut, namun kali ini sesak dirasakan tdk membaik. Pasien tidak
sedang dalam pengobatan penyakit lain
G. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat asma (+) yaitu ibu, nenek dari ibu, dan adiknya, riwayat hipertensi (-),
DM (-), jantung (-)
H. Riwayat Pekerjaan
Pasien bekerja sebagai buruh sebuah pabrik garmen PT Central Star Knitting
yang terletak di Jl Raya Jakarta-Bogor Km 29, Mekarsari, Cimanggis, Bogor
Kab. Pasien sudah bekerja selama 2 tahun pada bagian cutting. Area kerja pasien
banyak debu dan benang-benang. Pasien sudah memakai masker setiap bekerja.
Pasien sering berobat pada dokter perusahaan mengenai sesaknya ini dan diberi
obat penghilang sesak. Namun, keluhan tidak dirasakan membaik.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis, E4V5M6 (GCS 15)
BB 70 kg, TB 155 cm, BMI 29,14
Tanda Vital Sign
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 96 x/menit
Respirasi : 320 x/menit
Suhu : 36,4 °C
Status Generalis
Kepala : normocephal, distribusi rambut merata, hitam, tidak mudah dicabut,
makula eritema pada pipi dan dagu, lentikular - nunmular
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, reflex cahaya +/+
Telinga : normotia, membran timpani utuh, sekret (-), serumen (+)
Hidung : normosepta, darah (-), sekret (-)
Tenggorokan : tonsil T1-T1 tenang, faring tidak hiperemis
Leher : kelenjar getah bening dan tiroid tidak membesar
Thoraks
o Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : batas atas kiri ICS II LPS sinistra, batas atas kanan ICS II
LPS dekstra, batas bawah kiri ICS V LMC sinistra, batas bawah
kanan ICS IV LPS dextra
Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
o Paru
Inspeksi : bentuk dada normal, pergerakan simetris saat statis dan
dinamis, retraksi suprasternal (-), laserasi (-)
Palpasi : vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi: vesikular breath sound (+), rhonkhi (-), wheezing (+) saat
ekspirasi
Abdomen
Inspeksi : perut datar, distensi (-)
Auskultasi : BU (+)N
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-)
Ekstremitas
Superior : akral hangat, udema (-/-), capillary refill <2 detik
Inferior : akral hangat, udema (-/-), capillary refill < 2 detik
DARAH RUTIN
Hemoglobin 13,3 12,5 – 15,5 g/dL
Leukosit 11,3 4 – 10 Ribu
Eritrosit 4,76 3,8 – 5,4 Juta
Hematokrit 39,2 35 – 47 %
MCV 82,4 82 – 98 Mikro m3
MCH 27,9 ≥ 27 pg
MCHC 33,9 32 – 36 g/dL
RDW 14,3 10 – 16 %
Trombosit 524 150 – 400 Ribu
Limfosit 1,3 1,0 – 4,5 103 / mikro
Monosit 0,1 0,2 – 1,0 103 / mikro
Limfosit % 11,2 25 – 40 %
Monosit % 0,5 2–8 %
2.6 PENATALAKSANAAN
1. Salbutamol 2 x 1
2. Ambroxol 3 x 1
3. Dexametason 2 x 1
2.7 PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Asma merupakan penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat penyempitan
saluran napas yang bersifat reversibel ditandai dengan episode obstruksi pernapasan di
antara dua interval asimtomatik, merupakan gangguan inflamasi kronik jalan napas yg
melibatkan berbagai sel inflamasi dan elemennya yang berhubungan dengan
hipereaktivitas bronkus akibat kontaminasi dengan antigen. 1,2,5
Definisi asma dari Global Initiative for Asthma (GINA) 2011 mendefinisikan
asma adalah gangguan inflamasi kronis saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Proses inflamasi pada asma yang khas ditandai dengan peningkatan
eosinofil, sel mast, makrofag serta limfosit T di lumen dan mukosa saluran napas.
Inflamasi kronis menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan. Dalam keadaan ini terjadi tiga kondisi, yakni obstruksi saluran napas,
peradangan saluran napas dan peningkatan kepekaan yang berlebihan pada saluran
napas. 1,2,5
3.2 Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan perempuan di segala usia, terutama
pada usia dini. Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan
pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.
Laki-laki lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja
dibandingkan dengan perempuan.Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), hingga saat ini jumlah penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta
orang dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada
tahun 2025.Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma
meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari
seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.3,4,6
3.4 Patofisiologi
Pada saat ini konsep baru yang banyak diperhatikan untuk menerangkan
pengertian dasar timbulnya asma bronkial dan manifestatsi klinisnya adalah konsep
inflamasi.Inflamasi berperan sentral pada patofisiologi asma. Inflamasi saluran napas
melibatkan interaksi banyak sel dan berbagai mediator. Bukti-bukti asma sebagai
penyakit inflamasi kronis saluran napas diperoleh dari pemeriksaan otopsi, kurasan
cairan bronkus, biopsi mukosa bronkus, pemeriksaan bronkoskopi dan sputum.6,7,8
Sebelum mengalami proses inflamasi, pencetus serangan asma dapat disebabkan
oleh sejumlah faktor antara lain, alergen, virus dan polutan yang dapat menginduksi
respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma dini (early asthma reaction = EAR)
dan reaksi asma lambat (late asthma reaction = LAR). Setelah reaksi asma awal dan
lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronis. Pada
keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa infiltrasi sel–sel
inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen
bronkus. 6,7,8
1. Inflamasi Akut
a. Reaksi asma tipe cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan perfomed
mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti
leukotrien, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi. 6,7,8
b. Reaksi asma tipe lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel TCD4+, neutrofil dan makrofag. 6,7,8
2. Inflamasi Kronis
Limfosit yang berperan adalah limfosit T-CD4+. Limfosit T ini berperan sebagai
orkestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3,
IL-4, IL-5 dan IL-13. IL akan menginduksi sel limfosit B mensintesis
IgE.Eosinofil ditemukan pada saluran napas penderita asma dalam keadaan
teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin
antara lain IL-3, IL-5, IL-6, TNF α.Makrofag merupakan sel terbanyak
didapatkan pada organ pernapasan. Makrofag dapat menghasilkan berbagai
mediator anatara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. (Mcfadden, 2000).
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, neutrofil, platelet
dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti
leukotrien, tromboksan dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma.
Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas
bronkus. 6,7,8
Mediator sel mast dan pengaruhnya terhadap asma antara lain: 6,7,8
Mediator Pengaruh
Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin dan Thromboksan A2 Kontriksi otot
Bradikinin polos
Platelet-activating factor (PAF)
Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin dan Thromboksan E2
Bradikinin Udema mukosa
Platelet-activating factor (PAF)
Chymase
Radikal oksigen
Histamin
LTC4, D4,E4
Sekresi mucus
Prostaglandin
Hidroxyeicosatetraenoic acid
Radikal oksigen
Deskuamasi
Enzim proteolitik
epitel bronkial
Faktor inflamasi dan sitokin
3.5 Diagnosis
3.5.1 Anamnesis
Gejala yang bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa
pengobatan. Gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan berdahak.
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu dan berespons terhadap pemberian
bronkodilator.Keluhan menjelang pagi atau episode malam sering dijumpai pada asma
dewasa. Tipikal gejala asma nokturnal terjadi antara jam 4-6 pagi dan biasanya
menghilang dengan inhalasi bronkodilator.Kadang asma hanya muncul dengan keluhan
batuk kronis. Apabila batuk menetap dan timbul berulang hendaknya dipertimbangkan
sebagai gejala asma. Biasanya batuk akan timbul akibat paparan zat tertentu, aktivitas,
gangguan emosi dan infeksi virus. Batuk yang khas pada asma adalah yang memberat
pada malam hari. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah
dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru serta terdapat riwayat keluarga
asma dan atopi juga sangat membantu diagnosis. 1,2,5
3.6 Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang. Klasifikasi asma
berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan
jangka panjang. Semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Klasifikasi
asma adalah sebagai berikut :1,2,5
3.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.Tujuh komponen program penatalaksanaan asma adalah :1,2,5
1. Edukasi
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditas dan mortalitas, menjaga
penderita agar tetap bisa melakukan aktivitas dan mengurangi biaya pengobatan
karena berkurangnya serangan akut terutama bila membutuhkan kunjungan ke
unit gawat darurat/ perawatan rumah sakit. Edukasi sebaiknya diberikan dalam
waktu khusus di ruang tertentu, dengan alat peraga yang lengkap seperti gambar
pohon bronkus, phantom rongga thoraks dengan saluran napas dan paru, gambar
potongan melintang saluran napas, contoh obat inhalasi dan sebagainya. Edukasi
sudah harus dilakukan saat kunjungan pertama baik di gawat darurat, klinik,
klub asma, dengan bahan edukasi terutama mengenai cara dan waktu
penggunaan obat, menghindari pencetus, mengenali efek samping obat dan
kegunaan kontrol teratur pada pengobatan asma.2,3,5
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita
sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.2,3,5
a. Gejala dan tanda asma dinilai dan dipantau setiap kunjungan ke dokter
melalui berbagai pertanyaan dan pemeriksaan fisik. Pertanyaan yang rinci
untuk waktu yang lama (≥ 4 minggu) sulit dijawab dan menimbulkan bias
karena keterbatasan daya ingat (memori) penderita. Oleh karena itu,
pertanyaan untuk jangka waktu lama umumnya bersifat global, dan untuk
waktu yang pendek misalnya ≤ 2 minggu dapat diajukan pertanyaan yang
rinci yang sebaiknya meliput tiga hal, yaitu :2,3,5
a) Gejala asma sehari-hari (mengi, batuk, rasa berat di dada dan sesak)
b) Asma malam, terbangun malam karena gejala asma
c) Gejala asma pada dini hari yang tidak menunjukkan perbaikan setelah 15
menit pengobatan agonis beta-2 kerja singkat.
b. Pemeriksaan faal paru
Pemeriksaan faal paru dapat dilakukan untuk diagnosis, menilai berat asma,
memonitor keadaan asma dan menilai respons pengobatan sehingga menjadi
parameter obyektif dan pemeriksaan berkala secara teratur mutlak
dilakukan.Pemantauan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dan Peak Flow Meter
penting untuk menilai berat asma, derajat variasi diurnal, respons
pengobatan saat serangan akut, deteksi perburukan asimptomatik dan
respons pengobatan jangka panjang.2,3,5
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
Sebagian penderita dengan mudah mengenali faktor pencetus, akan tetapi
sebagian lagi tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. Sehingga
identifikasi faktor pencetus layak dilakukan yang dapat sebagai pencetus
serangan.2,3,5
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk
mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol berupa medikasi
(obat-obatan).Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega. Medikasi asma dapat
diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral (subkutan,
intramuskular, intravena), tetapi pemberian medikasi langsung ke jalan napas
(inhalasi) mempunyai kelebihan, yaitu lebih efektif untuk dapat mencapai
konsentrasi tinggi di jalan napas dan efek sistemik minimal atau dihindarkan.
a. Pengontrol (controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada pasien asma persisten. Yang termasuk obat pengontrol
adalah kortikosteroid inhalasi, kortikosteroid sistemik, sodium kromoglikat,
nedokromil sodium, agonis beta-2 kerja lama, inhalasi, agonis beta-2 kerja
lama, oral dan antihistamin generasi kedua (antagois-H1).2,3,5
b. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan degan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega
adalah agonis beta-2 kerja singkat, antikolinergik, aminofilin dan adrenalin.
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh
pasien. Penanganannya harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan.
Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan faal paru untuk selanjutnya diberikan
pengobatan yang cepat dan tepat.Pada serangan asma obat yang digunakan
adalah bronkodilator (beta-2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida) serta
kortikosterod sistemik. Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya beta-2
agonis kerja cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Pada dewasa
dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada serangan sedang
diberikan beta-2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat
ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip). Pada
serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, beta-2 agonis
kerja cepat, ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV
(bolus atau drip). Apabila beta-2 agonis krja cepat tidak tersedia dapat
digantikan dengan adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang mengancam
jiwa langsung dirujuk ke ICU. Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan
dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat
menggunakan IDT (inhalasi dosis terukur) dengan alat bantu (spacer).2,3,5
6. Kontrol secara teratur
Dokter sebaiknya menganjurkan penderita untuk kontrol tidak hanya terjadi
serangan akut, tetapi kontrol teratur terjadwal, interval berkisar 1-6 bulan
bergantung kepada keadaan asma.2,3,5
3.8 Pencegahan
Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :2,3,5
1. Pencegahan primer
Ditujukan mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko asma (orang tua asma),
dengan cara penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan
masa perkembangan bayi/anak, diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan/ dengan
syarat diet tersebut tidak mengganggu asupan janin, pemberian asi eksklusif
selama 6 bulan karena bayi yang mendapat susu sapi atau protein kedelai
mempunyai insiden penyakit mengi lebih banyak.Berbagai studi menunjukkan
bahwa ibu yang merokok selama kehamilan akan mempengaruhi perkembangan
paru anak, dan bayi dari ibu perokok, 4 kali lebih sering mendapat gangguan
mengi dalam tahun pertama kehidupannya. Sedangkan hanya sedikit bukti yang
mendapatkan bahwa ibu yang merokok selama kehamilan berefek pada
sensitisasi alergen.
2. Pencegahan sekunder
Bertujuan mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi
asma. Studi terbaru mengenai pemberian antihistamin H-1 dalam menurunkan
onset mengi pada penderita anak dermatitis atopik. Pencegahan sekunder juga
bertujuan mencegah inflamasi yang telah tersensitisasi dengan cara menghindari
pajanan asap rokok, serta alergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah.
3. Pencegahan tersier
Ditujukan untuk mencegah agar tidak terjadi serangan/ bermanifestasi klinis
asma pada penderita yang sudah menderita asma. Sehingga menghindari pajanan
pencetus akan memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan
medikasi/obat.
3.9 Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka
kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan
bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau
serangan asma diketahui dan dimulai sejak kanak – kanak dan mendapat pengawasan
yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam
pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan
mengalami serangan ulang. Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka
kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus
menerus angka kematiannya 9%.2,3,5Asma dikatakan terkontrol bila : 1,5,7
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE<20 %
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke IGD
3.10 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita asma yaitu : 1,5,7
1. Status asmatikus
2. Gagal napas
3. Perubahan postural tubuh
4. bronkitis
5. Pneumotoraks
6. atelektasis
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Salbutamol 2 x 1
2. Ambroxol 3 x 1
3. Dexametason 2 x 1
1. Memakai alat pelindung diri yaitu masker, seperti yang selama ini dilakukan
oleh pasien.
BAB V
KESIMPULAN
Pasien wanita usia 42 tahun datang dengan keluhan sesak dan timbul saat pasien
batuk kering. Pada 1 hari sebelum berobat ke puskesmas ,sesak di rasa bertambah dan
disertai bunyi mengi. Pasien merasa pada posisi duduk, sesak sedikit berkurang
disbanding posisi tidur.Pusing (+), nyeri ulu hati (+), mual (+), muntah (-), BAB dan
BAK (+) lancar, gatal, bentol, dan merah pada wajah dan tangan. Pasien pernah
mengalami sesak ± 40 hari sebelumnya. Riwayat asma (+) sejak kecil, biasanya
serangan timbul bila pasien kecapean, terkena udara dingin, dan batuk pilek, terakhir
serangan yaitu 40 hari dan 3 bulan yang lalu. Pasien memiliki alergi obat antalgin dan
tetrasiklin, udang, serta udara dingin. Riwayat hipertensi (+),Riwayat asma (+) yaitu
ibu, nenek dari ibu, dan adiknya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardi, takipneu,
BMI 29,14 (obese I), makula eritema pada pipi dan dagu, lentikular – nunmular,
retraksi suprasternal (+), wheezing (+) saat ekspirasi dan inspirasi, nyeri tekan
epigastrium (+), makula eritema pada ekstremitas atas, lentikular – nunmular, gatal.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan leukositosis, EKG : normal sinus
rithme, dan pada spirometri (FEV1 : 38,3%, FVC : 32,8%, FEV1/FVC : 115,4%, kesan
restriktif).
Pada pasien ini, diagnosis asma berdasarkan adanya batuk dan mengi yang
episodik (timbul berulang), variabilitas (timbul bila terpajan dengan faktor pencetus),
reversibilitas (gejala membaik dengan obat asma), riwayat alergi lainnya, riwayat asma,
serta riwayat asma atau alergi lain pada keluarga pasien (atopi). Berdasarkan kriteria
derajat serangannya, maka pasien ini termasuk dalam kriteria derajat berat. Setelah
diberikan nebulisasi sebanyak dua kali, terjadi respon parsial. Oleh karena itu, pasien
termasuk serangat asma derajat sedang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam UI Jilid 1, 404. Departemen Kesehatan RI.
2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta
2. Global Initiative for Asthma. 2011. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention. Canada
3. Global strategy for asthma management and prevention (update 2011) –
www.ginasthma.org
4. Mcfadden. 2000. Penyakit Asma dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : EGC
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.. 2004. Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
6. Price A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit edisi VI
volume 2. Jakarta: EGC
7. Sherwood Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi VI.
Jakarta: EGC
8. Stefan Silbernagl ,Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.