Anda di halaman 1dari 9

]\BAB II

LAPORAN PENDAHULUAN

2.1 Pengertian

Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas
secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir,
umumnya akan mengalami gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat,
atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah
persalinan (Asuhan Persalinan Normal, 2007).

Asfiksia adalah kegagalan bayi baru lahir untuk bernapas seacara spontan
dan teratur sehingga menimbulkan gangnguan metabolisme tubuhnya dan dapat
mengakibatkan kematian (Hasan,2007; Muslihatun, 2010)

Asfiksia pada bayi lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatan Dokter Anak
Indonesia) adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau
beberapa saat setelah lahir (Prambudi, 2013).

2.2 Etiologi

Pengembangan paru bayi lahir terjadi pada menit-menit pertama kelahiran


dan kemudian disusul dengan pernafasan terartur. Bila terdapat gangguan
pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin, akan terjadi asfiksia
janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan
atau segera setelah lahir. Hamir sebagian besar asfiksia bayi baru lahir ini
merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama masa
kehamilan, persalinan memegang peranan yang sangat penting untuk keselamatan
bayi. Gangguan yang timbul pada akhir kehamilan atau persalinan hampir selalu
disertai anoksia atau hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia neonatus dan
bayi mendapat perawatan yang adekuat dan maksimal pada saat lahir.
Beberapa faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia) antara lain :

1. Faktor ibu
a. Preeklamsia dan eklampsia;
b. Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta);
c. Partus lama atau partus macet;
d. Demam selama persalinan infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV);
e. Kehamilan leaat waktu (sesudah 42 minggu kehamilan).
2. Faktor tali pusat
a. Lilitan tali pusat;
b. Tali pusat pendek;
c. Simpul tali pusat;
d. Prolapsus tali pusat.
3. Faktor bayi
a. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan);
b. Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distos ia bahu,
ekstraksi vakum, ekstraksi forsep);
c. Kelainan bawan (kongenital);
d. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).
(Depkes RI,2009).

2.3 Patofisiologi

Pada bayi yang mengalami kekurangan oksigen akan terjadi pernapasan


yang cepat dalam periode yang singkat. Apabila periode terus berlanjut, gerakan
pernapasan akan berhenti, denyut jantung mulai menurun sedangkan tonus
neuromuskular berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode
apneu yang dikenal sebagai apneu primer. Apabila asfiksia berlanjut, bayi akan
menunjukkan pernapasan megap – megap yang dalam, denyut jantung terus
menurun, tekanan darah bayi mulai menurun dan bayi akan terlihat lemas.
Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu
sekunder. Bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan me nujukan
upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi kecuali apabila resusitasi
dengan pernafasan buatan dan pemberian oksigen dengan segera.
Pada saat bayi dilahirkan, alveoli diisi dengan cairan paru-paru janin.
Cairan tersebut harus dibersihkan terlebih dahulu agar udara dapat masuk ke
dalam paru-paru bayi baru lahir. Dalam kondisi demikian, paru-paru memerlukan
tekanan yang cukup besar untuk mengeluarkan cairan tersebut agar alveoli dapat
berkembang untuk pertama kalinya. Untuk mengembangkan paru-paru, upaya
pernafasan pertama memerlukan tekanan 2 sampai 3 kali lebih tinggi daripada
tekanan untuk pernafasan berikutnya agar berhasil.

2.4 Klasifikasi

Berdasarkan nilai APGAR (Appearance, Pulse, Grimace, Activity,


Respiration) asfiksia diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:

1. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3;

Nilai apgar 0-3 memerlukan resusitasi segera secara aktif dan terkendali.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100x
permenit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat. Pada
asfiksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung fetus menghilang tidak
lebih dari 20 menit sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung menghilang.
Pemeriksaan fisik sama pada asfiksia berat.

2. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6;

Nilai apgar 4-6 memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen sampai bayi
dapat bernafas normal kembali. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat
frekuensi jantung lebih dari 100x/menit, tonus otot kurang baik atau baik,
sianosis.

3. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9;

4. Bayi normal dengan nilai APGAR 10 (Ghai, 2010).


Tabel 1.1 Nilai APGAR (Ghai, 2010)
Nilai 0 1 2
Nafas Tidak ada Tidak teratur Teratur
Denyut Jantung Tidak ada <100 >100
Warna Kulit Biru atau Pucat Tabuh merah Merah jambu
jambu dan
kaki, tangan
biru
Gerakan/tonus Tidak ada Sedikit fleksi Fleksi
otot
Refleks Tidak ada Lemah/lambat Kuat
Sumber:https://www.scribd.com/uploaddocument?archive_doc

Nilai apgar mempunyai hubungan erat dengan beratnya asfiksia dan


biasanya dinilai satu menit dan lima menit setelah bayi lahir. Angka ini penting
artinya dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk menentukan cara resusitasi
yang akan dikerjakan.
Observasi dan periksa :
A = “Appearance” (penampakan) perhatikan warna tubuh bayi.
P = “Pulse” (denyut). Dengarkan denyut jantung bayi dengan stetoskop atau
palpasi denyut jantung dengan jari.
G = “Grimace” (seringai). Gosok berulang-ulang dasar tumit ke dua tumit kaki
bayi dengan jari. Perhaitkan reaksi pada mukanya. Atau perhatikan
reaksinya ketika lender pada mukanya. Atau perhatikan reaksinya ketika
lender dari mulut dan tenggorokannya dihisap.
A = “Activity”. Perhatikan cara bayi yang baru lahir menggerakkan kaki dan
tangannya atau tarik salah satu tangan/kakinya. Perhatikan bagaimana
kedua tangan dan kakinya bergerak sebagai reaksi terhadap rangsangan
tersebut.
R = “Repiration” (pernapasan). Perhatikan dada dan abdomen bayi. Perhatikan
pernapasannya.
2.5 Pathway

Persalinan lama, lilitan tali Pralisis pusat pernafasan Faktor lain : anestesi, obat-
pusat, presentasi janin lama obatan, narkotik
abnormal

ASFIKSIA

Janin kekurangan O2 dan Paru-paru terisi cairan


Kadar CO2 menigkat

Bersihan jalan nafas


Nafas cepat
tidak efektif
Suplai O2 ke paru - Suplai O2 dalam
paru menurun darah kurang
Apneu G3
metabolisme
Kerusakan otak Resiko
dan asam basah
ketidaksembangan
DJJ dan TD
suhu tubuh
menurun
Kematian bayi Asidosis
respiratorik

Proses keluarga Resiko cidera


Janin tidak breaksi pada rangsangan
terhenti G3 perfusi
ventilasi

Pola nafas tidak


efktif
Kerusakan pertukaran gas
2.6 Komplikasi

1. Otak : Hipoksia istemik ensefalopati, edema serebri, plasti serebralis;


2. Jantung dan paru : Hipertensi pulmonal persisten pada neonatorum,
perdarahan paru, edema paru; .
3. Gastrointestinal : Enterokolitis, nekrotikans;
4. Ginjal : Tubular, nelrosis akut
5. Hematologi

2.7 Manifestasi klinis

Asfiksia biasanya merupakan akibat hiposia janin yang menimbulkan


tanda-tanda klinis pada janin atau bayi berikut ini :

1. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur;
2. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala;
3. Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan
organ lain;
4. Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen;
5. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen
pada otot-otot jantung atau sel sel otak; b
6. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung,
kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembalai ke
plasenta sebelum dan selama proses persalinan;
7. Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-
paru atau nafas tidak teratur atau mengap-mengap;
8. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen di dalam darah;
9. Penurunan terhadap spinkters;
10. Pucat.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik

1. Analisa gas darah ( PH kurang dari 7,20 );


2. Penilaian APGAR score meliputi warna kulit, frekuensi jantung, usaha
napas, tonus otot dan reflek;
3. Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah tumbuh komplikasi;
4. Elekrolit garam, Baby garam, USG, gula darah.

2.9 Penatalaksanaan

1. Langkah awal
a. Mencegah kehilangan panas, termasuk menyiapkan tempat yang kering dan
hangat untuk melakukan pertolongan.
b. Memposisikan bayi dengan baik, (kepala bayi setengah tengadah/sedikit
ekstensi atau mengganjal bahu bayi dengan kain)
c. Bersihkan jalan nafas dengan alat penghisap yang tersedia Bersihkan jalan
nafas dengan ketentuan sebagai berikut
1) Bila air ketuban jernih (tidak bercampur mekonium), hisap lendir pada mulut
baru pada hidung.
2) Bila air ketuban bercampur dengan mekonium, mulai mengisap lendir setelah
kepala lahir (berhenti seberi tar untuk menghisap lendir di mulut dan hidung). Bila
bayi menangis, nafas teratur, lakukan asuhan bayi barn lahir normal. Bila bayi
mengalami depresi, tidak menangis, lakukan upaya maksimal untuk
membersihkan jalan nafas dengan jalan membuka mulut lebar-lebar dan
menghisap lendir lebih dalam secara hati-hati.
3) Menilai bayi dengan melihat usaha nafas, denyut jari tung dan warna kulit
kemerahan, lakukan asuhan bayi barn lahir normal. Bila bayi tidak menangis atau
megap-megap, warna kulit biru atau pucat denyut jari tung kurang dan 100
xlme4it, lanjutkan langkah resusitasi.
2. Langkah resusitasi
a. Sebelumnya periksa dan lakukan bahwa alat resusitasi (baton resusitasi dan
sungkup muka) telah tersedia dan berfungsi baik (lakukan test untuk baton dan
sungkup muka)
b. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan sebelum memegang atau memeriksa
bayi
c. Selimuti bayi dengan kain yang kering dan hangat kecuali muka dan dada
bagian atas, kemudian letakkan pada alas dan lingkungan yang hangat.
d. Periksa ulang posisi bayi dan pastikan kepala berada dalam posisi tengadah
e. Letakkan sungkup melingkupi dagu, hidung dan mulut sehingga terbentuk
semacam tautan sungkup dan wajah.
f. Tentukan balon resusitasi dengan dua jari atau dengan semua jari tangan
(tergantung pada ukuran balon resusitasi)
g. Lakukan pengujian pertautan dengan melakukan ventilasi sebanyak dua kali
dan periksa gerakan dinding dada
h. Bila pertautan baik ( tidak bocor) dan dinding dada mengembang maka lakukan
ventilasi dengan menggunakan oksigen (bila tidak ada atau tersedia oksigen guna
udara ruangan)
i. Perhatikan kecepatai ventilasi sekitar 40 kali per 60 detik, dengan tekanan yang
tepat sambil melihat gerakan dada (naik turun) selama ventilasi.
j. Bila dinding dada tidak naik-turun dengan baik berarti ventilasi berjalan secara
adekuat.
k. Bila dinding dada tidak naik, periksa ulang dan betulkan posisi bayi atau terjadi
kebocoran lekatan atau tekanan ventilasi kurang
l. Lakukan ventilasi selama 2 x 30 detik atau 60 detik kemudian lakukan penilaian
segera tentang upaya bernafas spontan dan warna kulit:
1) Bila frekwensi nafas normal (30-60 x/menit), hentikan ventilasi, lakukan
kontak kulit ibu-bayi, lakukan asuhan normal bayi barn lahir (menjaga bayi tetap
hangat, mulai memberikan ASI dm1 dan mencegah infeksi dan imunisasi)
2) Bila bayi belum bernafas spontan ulangi lagi ventilasi selama 2 x 30 detik atau
60 detik kemudian lakukan penilaian ulang.
3) Bila frekwensi nafas menjadi normal (30-60 x/menit) hentikan ventilasi
lakukan kontak kulit it lakukan asuhan normal bayi barn lahir.
4) Bila bayi bernafas, tetapi terlihat retraksi dinding dada, lakukan ventilasi
dengan menggunakan oksigen (bila tersedia)
5) Bila bayi tidak bernafas, megap-megap, teruskan bantuan pernafasan dengan
ventilasi.
6) Lakukan penilaian setiap 30 detik dengan menilai usaha bernafas denyut jari
tung dan warna kulit
7) Jika bayi tidak bernafas secara teratur setelah ventilasi 2-3 menit, rujuk ke
fasilitas pelayanan perawatan bayi resiko tinggi.
8) Jika tidak ada nafas sama sekali dan tidak ada perbaikan frekwensi denyut jari
tung bayi setelah ventilasi selama 20 menit, hentikan ventilasi, bayi dinyatakan
meninggal (jelaskan kepada keluarga bahwa upaya pertolongan gagal) dan beri
dukungan emosional pada keluarga.
(Rachimhadi et al :1997)

Anda mungkin juga menyukai