Anda di halaman 1dari 23

heparin awal 200 iu, mersibion 1 amp, , UF goal 2 liter,UF rate

0,5 , QB 200, QD 500.

PENERAPAN TERAPI SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM

TECHNIQUE (SEFT) TERHADAP PENURUNAN TINGKAT

NYERI PADA ... .. DI RUANG HEMODIALISA

RSUD dr. H. SLAMET MARTODIRDJO

KARYA ILMIAH KEPERAWATAN

Oleh :

CHOIRIL AMIN
NPM. 716.6.3.0225

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WIRARAJA
SUMENEP
2017

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ginjal memiliki peranan penting dalam menjaga kesehatan tubuh secara

menyeluruh karena ginjal merupakan salah satu organ vital dalam tubuh. Ginjal

memiliki fungsi sebagai pengatur keseimbangan cairan di dalam tubuh, mengatur

konsentrasi garam dalam darah, keseimbangan asam basa dalam darah, serta

mengekskresi bahan buangan seperti urea dan sampah nitrogen lain didalam

darah. Jika ginjal tidak mampu bekerja sebagaimana mestinya, maka akan timbul

masalah kesehatan yang berkaitan dengan penyakit gagal ginjal kronik

(Cahyaningsih, 2009).

Penderita Gagal ginjal kronik semakin meningkat jumlahnya tiap tahun,

di Amerika pada tahun 2009 diperkirakan terdapat 116.395 orang penderita gagal

ginjal kronik yang baru. Lebih dari 380.000 penderita gagal ginjal kronik

menjalani hemodialisis reguler (USRDS, 2011). Pada tahun 2011 di Indonesia

terdapat 15.353 pasien yang baru menjalani HD dan pada tahun 2012 terjadi

peningkatan pasien yang menjalani HD sebanyak 4.268 orang sehingga secara

keseluruhan terdapat 19.621 pasien yang baru menjalani HD. Sampai akhir tahun

2012 terdapat 244 unit hemodialisis di Indonesia (IRR,2013).

Hemodialisa (HD) merupakan terapi pengganti dari fungsi ginjal yang

dilakukan 2 3 kali seminggu, dengan rentang waktu tiap tindakan HD adalah 4

5 jam, yang bertujuan untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein dan untuk

mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Black and Hawks,


2006). Akibat yang dirasakan saat menjalani hemodialisa seperti kram otot,

hipotensi, sakit kepala, nyeri, mual, dan muntah (Lewis. Sharon L, et al, 2011).

Nyeri adalah sensor yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang

tidak menyenangkan dan menyertai kerusakan jaringan secara actual maupun

potensial (IASP, 2007).

Intervensi yang dapat diberikan pada pasien untuk mengurangi nyeri

meliputi pendekatan farmakologi dan non farmakologi. Pemberian intervensi

farmakologi dengan pemberian analgetik merupakan terapi modalitas dalam

memberikan sejumlah medikasi. Pemberian dengan analgetik mampu

meningkatkan ambang batas nyeri sehingga rangsang nyeri pada pasien tidak

dipersepsikan sebagai suatu ancaman (Djumhuri, 1995). Namun kenyataannya,

hal ini terkait dengan efek samping dan perasaan nyeri yang tidak mereda serta

bahaya komplikasi maka perlu adanya intervensi yang lebih aman (IASP, 2007) .

Intervensi non farmakologi merupakan terapi pelengkap dalam

mengurangi dan mengontrol nyeri, intervensi ini dapat mencakup intervensi fisik

dan perilaku kognitif. Dalam mengurangi nyeri pada paien hemodialisa salah satu

teknik yang dapat digunakan Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)

sebagai satu teknik yang bermula dari teknik Emotional Freedom Technique

(EFT). SEFT merupakan teknik penggabungan dari sistem energy tubuh (energy

medicine) dan terapi spiritualitas dengan menggunakan metode tapping pada

beberapa titik tertentu pada tubuh. Penggunaan titik-titik jalur energi meridian

pada nyeri pada pasien hemodialisa dapat dijelaskan secara Neuro-Fisiologi dari

sistem meridian akupuntur analgesia. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh kober

dalam mengurangi nyeri pada kasus luka.


Sesuai dengan teori gate control, perangsangan titik pada jalur meridian

merupakan rangsangan yang akan diteruskan melalui serabut saraf A-Beta yang

memiliki diameter besar (penghantar impuls lebih cepat) menuju saraf spinal atau

kranial menuju ke kornu posterior medulla spinalis. Dalam medulla spinalis,

Substantia Gelatinosa akan bekerja sebagai Gate Control, yang akan

menyesuaikan rangsangan serta mengaturnya sebelum diteruskan oleh serabut

saraf aferen ke sel-sel transmisi. Agar dapat mempengaruhi serta menutup Gate

Control, rangsangan yang diteruskan oleh serabut saraf cepat A-Beta tersebut

harus mempunyai frekuensi tinggi dan intensitas yang rendah. Rangsangan nyeri

yang dihantarkan oleh serabut saraf tersebut dapat tertahan dan tidak diteruskan ke

sel-sel transmisi, sehingga tidak diteruskan ke pusat nyeri (Perry & Potter, 2006).

Selain itu teknik ini juga dapat membantu pasien untuk lebih mandiri

dalam mengurangi keluhan nyeri karena tidak bergantung pada orang lain, relative

cepat serta tidak memiliki risiko yang membahayakan (Zainuddin,2007). Hal ini

dapat menjadi solusi alternative dalam mengurangi rasa nyeri pada pasien

hemodialisa karena konsep ini akan sinergis dengan self care theory yang

disampaikan oleh dorothea orem sehingga perawat dapat membantu kebutuhan

pasien sebagai support educative dalam mengurangi keluhan nyeri (Hakam,

2009).

1.2 Tujuan

Untuk melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan menggunakan

penerapan intervensi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) terhadap

penurunan nyeri pada Tn ... di ruang hemodialisa RSUD dr. H. Slamet

Martodirdjo Pamekasan.
1.3 Manfaat

1. Bagi Penulis

Sebagai pengalaman langsung dalam melakukan riset, penelitian

dan serta mampu menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh dalam

penerapan intervensi ini.

2. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan

Dapat dijadikan sebagai pedoman dasar dalam melakukan asuhan

keperawatan untuk mengatasi nyeri.

3. Bagi Profesi

Dapat digunakan sebagai dasar dalam penyusunan asuhan

keperawatan kepada pasien yang mengalami nyeri. Sehingga tercipta

asuhan keperawatan yang efektif dan profesional.

4. Bagi Pendidikan

Sebagai tambahan pustaka dalam mempersiapkan calon tenaga

kesehatan untuk menghadapi masalah kesehatan yang terjadi di

masyarakat pada umumnya serta khususnya bagi para lansia.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)

2.1.1 Pengertian Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)

Spiritual Emosional Freedom Technique (SEFT) merupakan suatu

terapi Psikologi yang pertama kali ditujukan untuk melengkapi alat

psikoterapi yang sudah ada. SEFT adalah salah satu varian dari

cabang ilmu baru yang dinamai Energy Psychology (Muthmainnah,

2013). SEFT adalah gabungan antara Spiritual power dan Energy

Psychology (Zainuddin, 2011). Feinsten dalam Zainuddin (2009)

mengatakan bahwa energy psychology (EP) adalah hasil klinis yang

mempunyai kecepatan, jarak, dan ketahanan yang tidak biasa

(Feinstein, 2011).

Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) bekerja dengan

prinsip yang kurang lebih sama dengan akupuntur dan akupressur.

Ketiga teknik ini berusaha merangsang titik titik kunci di sepanjang

12 jalur energi (energi meridian) tubuh yang sangat berpengaruh pada

kesehatan kita (Zainuddin, 2012). Berdasarkan definisi tersebut, dapat

disimpulkan bahwa SEFT atau Spiritual Emotional Freedom

Technique (SEFT) adalah suatu teknik terapi yang menggunakan

energi tubuh atau energy meridian yang dilakukan dengan

memberikan ketukan-ketukan ringan pada titik-titik tertentu pada

meridian tubuh, sehingga dapat mengatasi masalah fisik serta emosi.


2.1.2 Tujuan Terapi SEFT

Seperti tujuan terapi yang ingin dicapai oleh model-model terapi

lainnya, tujuan terapi SEFT adalah untuk membantu orang lain baik

individual maupun kelompok dalam mengurangi penderitaan psikis

maupun fisik. Sehingga acuannya dapat digunakan untuk melihat

tujuan tersebut ada pada motto yang berbunyi LOGOS (loving god,

blessing to the others, and self improvement). (Zainuddin, 2009)

Adapun tiga hal yang dapat diungkapkan dari motto tersebut adalah

a) Loving god yaitu seseorang harus mencintai Tuhan, denagn cara

menyerahkan aktivitasnya untuk hal-hal yang baik dan tidak

berlawanan dengan norma yang sudah ditentukan

b) Blassing to the other adalah ungkapan yang ditujukan agar kita

peduli pada orang lain untuk bisa menerapi

c) Self improvement adalah memiliki makna perbaiki diri sendiri

mengingat adanya kelemahan dan kekurangan pada setiap pribadi,

sebab itu melalui refleksi ini seseorang akan mawas diri bertindak

hati-hati dan tidak cerobaoh dalam kehidupan sehari-hari. Dan

tujuan seutuhnya SEFT adalah tidak lain membawa manusia

dalam kehidupan damai dan sejahtera.

2.1.3 Cara Melakukan SEFT

SEFT terdiri dari 3 tahap yaitu, pertama The set-Up bertujuan

untuk memastikan agar aliran energi tubuh kita terarahkan dengan

tepat. Langkah ini untuk menetralisir psychological Reversal atau

perlawanan Psikologis The Set-Up terdiri dari 2 aktifitas, yang


pertama adalah mengucapkan kalimat doa dengan penuh rasa khusyu,

ikhlas dan pasrah sebanyak 3 kali, yang kedua adalah sambil

mengucapkan dengan penuh perasaan, kita menekan dada kita,

tepatnya di bagian Sore Spot (titik nyeri= daerah di sekitar dada atas

yang jika ditekan terasa agak sakit) atau mengetuk dengan dua ujung

jari di bagian Karate Chop (Albi SEFT Magazine, 2012).

Setelah menekan titik nyeri atau mengetuk karate chop sambil

mengucapkan kalimat Set-Up seperti di atas, kita melanjutkan dengan

langkah kedua, yaitu Tune-in, untuk masalah fisik, kita melakukan

tune-in dengan cara merasakan rasa sakit yang kita alami, lalu

mengarahkan pikiran kita ke tempat rasa sakit, dibarengi dengan hati

dan mulut kita berdoa, sedangkan untuk masalah emosi, kita

melakukan Tune-In dengan cara memikirkan sesuatu atau peristiwa

spesifik tertentu yang dapat membangkitkan emosi negative yang

ingin kita hilangkan. Ketika terjadi reaksi negatif (marah, sedih,

takut,dsb) hati dan mulut kita berdoa

(Zainuddin, 2012).

Tahap ketiga, yaitu Tapping, adalah mengetuk ringan dengan dua

ujung jari pada titik-titik tertentu di tubuh kita sambil terus Tune-In.

Titiktitik ini adalah titik-titik kunci dari The Major Energy Meridians,

apabila kita ketuk beberapa kali akan berdampak pada ternetralisirnya

gangguan emosi atau rasa sakit yang kita rasakan. Karena aliran

energi tubuh berjalan dengan normal dan seimbang kembali

(Zainuddin, 2012). Titik


kunci / titik meridian dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2.1. Kunci Titik Meridian Tubuh

SEFT (spiritual emotional freedom technique) menggabungkan

antara sistem kerja energy psychology dengan kekuatan spiritual

sehingga menyebutnya dengan amplifying effect (efek pelipat

gandaan). Pada tahap pelaksanaan dibutuhkan tiga hal yang harus

dilakukan Terapis dan pasiendengan serius yaitu: khusyu, ikhlas, dan

pasrah.

Terapi SEFT (Spiritual Emosional Freedom Technique)

merupakan salah satu varian dari satu cabang ilmu baru yang dinamai

Energy Psychology. Selain itu, karena SEFT (Spiritual Emosional

Freedom Technique) adalah gabungan antara spiritual power dan

energy psychology, maka dapat dijelaskan secara ilmiah bagaimana


peran spiritualitas dalam penyembuhan Energy Psychology adalah

bidang ilmu yang relatif baru. Walaupun embrionya yang berupa

prinsip-prinsip energy healing telah dipraktikkan oleh dokter

Tiongkok kuno lebih dari 5000 tahun yang lalu, tetapi energy

psychology baru dikenal luas sejak penemuan D. Roger Callahan di

tahun 1980-an. Saat itu Energy Psychology masih menjadi barang

mewah yang hanya bisa dipelajari oleh terapis berkantong tebal.

Kombinasi kekuatan Energy Psychology dengan Spiritual Power yang

disebut SEFT (Spiritual Emosional Freedom Technique) baru

diperkenalkan ke publik di akhir 2005. Menurut Dr. David Feinstein,

salah satu researcher utamanya bahwa Energy Psychology adalah

seperangkat prinsip dan teknik memanfaatkan sistem

energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan

perilakunya (Hakam, 2011).

SEFT merupakan penggabungan dari 15 macam teknik terapi

termasuk kekuatan spiritual, yang terdiri dari:

1) Neuro-Linguistic Programming (NLP); reframing, anchoring,

dan breaking the pattern, ditemukan oleh Richard Bandler dan

John Grinder.

2) Systemic Desensitization; desensitization, ditemukan oleh Joseph

Wolpe.

3) Psychoanalisa; finding the historical roots of symptoms, to be

aware of the unawareness catharsis, ditemukan oleh Sigmund

Freud.
4) Logotherapy; the meaning suffering, ditemukan oleh Viktor E.

Frankl.

5) Eye movement Desensitization Reprocessing (EMDR); control

your eye, control your emotion, ditemukan oleh Francine Shapiro.

6) Sedona Method; let go your pain, ditemukan oleh Lester

Levenson.

7) Ericsonian Hypnosis; mild trance to internalize, suggestive

words, ditemukan oleh Milton Ericson.

8) Provocative Therapy; repetitive empowering words, ditemukan

oleh Frank Farrelly.

9) Suggestion and Affirmation; the movie technique, ditemukan oleh

William James.

10) Creative Visualization; dramatized your negative thought/feeling,

ditemukan oleh Wallace Wattles.

11) Relaxation and Meditation; fell it, relax, transcend it, ditemukan

oleh Herbert Benson.

12) Gestald Therapy; experience your negative feeling/thought

completely, ditemukan oleh Fritz Perls.

13) Energy Psychology; neutralized the disruption of body`s energy

system, ditemukan oleh Gary Craig.

14) Powerful Prayer; faith, concentration, acceptance, surrender,

grateful, ditemukan oleh Dr. Larry Dossey.

15) Loving-Kindness Therapy; our hearth speaks lauder than our

words or our deeds, our loving-kindness heart can heal our self
and heal people around us, ditemukan oleh Prof. Decher Keltner.

(Albi SEFT Magazine, 2012)

2.1.4. Kunci Keberhasilan SEFT

Menurut Zinuddin (2009), Kunci keberhasilan terapi SEFT ini ada 5

kunci, yaitu:

a. Yakin. Dalam hal ini kita tidak diharuskan untuk yakin sama SEFT

atau diri kita sendiri, kita hanya perlu yakin pada Maha Kuasanya

Tuhan dan Maha Sayangnya Tuhan pada kita. Jadi SEFT tetap

efektif walaupun kita ragu, tidak percaya diri, malu kalau tidak

berhasil, asalkan kita masih yakin sama Allah, SEFT tetap efektif

b. Khusyu. Selama melakuka terapi, khususnya saat Set-Up, kita

harus konsentrasi atau khusyu. Pusatkan pikiran kita pada saat

melakukan Set-Up (berdoa) pada Sang MahaPenyembuh,

berdoalah dengan penuh kerendah hatian. Salah satu penyebab

tidak terkabulnya doa adalah karena kita tidak khusyu, hati dan

pikiran kita tidak ikut hadir saat berdoa hanya di mulut saja, tidak

sepenuh hati.

c. Ikhlas. Ikhlas artinya ridho atau menerima rasa sakit kita (baik fisik

maupun emosi) dengan sepenuh hati. Ikhlas artinya tidak

mengeluh, tidak complain atas musibah yang sedang kita terima.

Yang membuat kita semakin sakit adalah karena kita tidak mau

menerima dengan ikhlas rasa sakit atau masalah yang sedang kita

hadapi.
d. Pasrah. Pasrah berbeda dengan ikhlas. Ikhlas adalah menerima

dengan legowo apapun yang kita alami saat ini, sedangkan pasrah

adalah menyerahkan apa yang terjadi nanti pada Allah SWT. Kita

pasrakhan kepada-NYa apa yang terjadi nanti. Apakah nanti rasa

sakit yang kita alami makin parah, makin membaik, atau sembuh

total, kita pasrahkan pada Allah.

e. Syukur. Bersyukur saat kondisi semua baik-baik saja adalah

mudah. Sungguh berat untuk tetap bersyukur di saat kita masih

sakit atau punya masalah yang belum selesai. Tetapi apakah tidak

layak jika kita minimal menyukuri banyak hal lain dalam hidup kita

yang masih baik dan sehat. Jangan sampai satu masalah kecl

menenggelamkan rasa syukur kita atas nikmat yang besar. Maka

kita perlu discipline of gratitude, mendisiplikan pikiran, hati dan

tindakan kita untuk selalu bersyukur, dalam kondisi yang berat

sekalipun. Jangan-jangan sakit yang kita derita atau musibah yang

tak kunjung selesai ini terjadi karena kita lupa mensyukuri nikmat

yang sela ini kita terima.

2.2 Konsep Dasar Nyeri

2.2.1 Definisi Nyeri

Asosiasi internasional untuk peneliti nyeri (international

Association for the study of pain,IASP. 1979) sebagaimana dikutip

dalam Stanley, (2007) mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori

subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenagkan berkaitan


dengan kerusakan jaringan yang actual, potensial, atau yang dirasakan

dalam kejadian-kejadian saat terjadi kerusakan.

Tournaire & Theu-Younneau (2007) dalam Judha dkk. (2012),

medefinisikan nyeri sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan,

baik sensori maupun emosional yang berhubungan dengan resiko atau

aktualnya kerusakan jaringan tubuh.

2.2.2 Klasifikasi nyeri

1. Berdasarkan durasi

a. Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera

akut, penyakit, atau intervensi bedah memiliki awitan yang

cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat)

dan berlangsung untuk waktu yang singkat. Untuk tujuan

definisi, nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang

berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan. Fungsi

nyeri akut ialah memberi peringatan akan suatu cedera atau

penyakit yang akan datang.

Nyeri akut akan berhenti dengan sendirinya (self-

limiting) dan akhirnya menghilang dengan atau tanpa

pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang terjadi

kerusakan. Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari 6 bulan),

memiliki omset yang tiba-tiba, dan terlokalisasi, nyeri ini

biasanya disebabkan trauma bedah atau imflamasi.

Kebanyakan orang pernah mengalami nyri ini, seperti pada


saat sakit kepala, sakit gigi, terbakar, tertusuk duri, pasca

persalinan, pasca pembedahan, dan lain sebagainya.

b. Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang

menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik

berlangsung lama, intensitas yang bevariasi, dan biasanya

berlangsung lebih dari 6 bulan. Nyeri kronik dapat tidak

mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tetap dan sering

sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan

respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada pada

penyebabnya.

Nyeri kronik dibagi menjadi dua, yaitu nyeri

nonmalignan dan malignan. Nyeri kronik nonmalignan

merupakan nyeri yang timbul akibat cedera jaringan yang tidak

progresif, bias timbul tanpa penyebab yang jelas misalnya

nyeri pinggang bawa, dan nyeri yang didasari atas kondisi

kronis, misalnya osteoarthritis. Sementara nyeri kronik

malignan yang disebut juga nyeri kanker memiliki penyebab

nyeri yang dapat diidentifikasi, yaitu terjadi akibat perubahan

pada saraf. Perubahan ini terjadi bisa karena penekanan pada

saraf akibat metastasis sel-sel kanker maupun pengaruh zat-zat

kimia yang dihasilkan oleh kanker itu sendiri (Portenoy, 2007

dalam potter & perry, 2005).


2.2.3 Respons terhadap nyeri

Nyeri merupakan campuran dari berbagai respons, baik fisiologis

maupun perilaku. Respons ini timbul ketika seseorang tepapar dengan

nyeri, dan masing-masing individu mempunyai karakteristik yang

berbeda dalam merespons nyeri tersebut.

1. Respons fisiologis terhadap nyeri

Perubahan/respons fisiologis dianggap sebagai indikator

nyeri yang lebih adekuat dibandingkan laporan verbal pasien.

Respons fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan

individu. Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spenalis menuju ke

batang otak dan hipotalamus, system saraf otonom menjadi

terstimulasi sebagai bagian dari respons stress. Stimulasi pada

cabang simpatis pada syst em saraf otonom menghasilkan respons

fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus, berat, dalam,

dan melibatkan organ-organ dalam/visceral maka system saraf

simpatis, akan menghasilkan suatu aksi. Contoh: 1. Stimulasi

simpatik, respons fisiologisnya peningkatan ketegangan otot member

efek mempersiapkan otot untuk melaakukan aksi. 2. Stimulus

Parasimpatik, respons fisiologisnya pucat menyebabkan suplai darah

berpindah dari perifer.

2. Respons perilaku

Respons perilaku yang ditunjukkan oleh pasien sangat

beragam. Meskipun respons perilaku pasien dapat menjadi indikasi

pertama bahwa ada sesuatu yang tidak beres, respons perilaku


seharusnya tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk

mengukur nyeri dalam situasi yang tidak lazim dimana pengukuran

tidak memungkinkan (missal orang tersebut menderita retradasi

mental yang berat atau tidak sadar). Contoh respons perilaku nyeri

pada pasien: ekspresi wajahnya bisa menangis, menggeletukkan gigi,

mengernyitkan dahi, menggigit gigi dsb.

2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses respons nyeri

1. Usia

Pada pasien lansia, seorang perawat harus melakukan

pengkajian secara lebih rinci ketika seorang lansia melaporkan

adanya nyeri. Pada kondisi lansia sering kali memiliki sumber nyeri

yang lebih dari satu. Terkadang penyakit yang berbeda-beda yang

diderita lansia menimbulkan gejala yang sama, sebagai contoh nyeri

dada tidak mengendikasikan serangan jantung. Nyeri dada dapat

timbul karena gejala artritis pada spinal dan gejala pada gangguan

abdomen. Sebagai lansia terkadang pasrah terhadap apa yang mereka

rasakan. Mereka menganggap hal tersebut sebagai konsekuensi

penuaan yang tidak bisa dihindari.

2. Jenis kelamin

Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna

dalam berespons terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis

kelamin saja yang merupak suatu faktor dalam pengekpresikan nyeri.

Beberapa kebudayaan mempengaruhi jenis kelamin dalam

memaknai nyeri (misal: menganggap bahwa seorang laki-laki harus


berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh

menangis dalam situsi yang sama) (Potter & Perry, 2006).

3. Kebudayaan

Keyakinan dan nilai-nilai kebudayaan mempengaruhi cara

individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan

dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi

bagaimana bereaksi terhadap nyeri.

Budaya dan etnisitas pada bagaimana seseorang merespons

terhadap nyeri. Sejak dini pada masa anak-anak, individu belajar dari

sekitar mereka respons nyeri yang bagaimana dapat diterima atau

tidak dapat diterima. Sebagai contoh: anak dapat belajar bahwa

cidera pada olahraga tidak diperkirakan akan terlalu menyakitkan

dibandingkan dengan cidera akibat kecelakaan motor. Sementara

yang lainnya mengajarkan anak stimuli apa yang diperkirakan akan

menimbulkan nyeri dan respons perilaku apa yang diterima.

4. Makna nyeri

Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri

mempengaruhi pengalaman dan cara seseorang beradaptasi terhadap

nyeri. Hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang

budaya individu tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri

dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan

ancaman, suatu kehilangan, hukuman , dan tantangan. Misalnya

seseorang wanita yang sedang bersalin akan mempersepsikan nyeri


akibat cidera karena pukulan pasangannya. Derajat dan kualitas nyeri

akan dipersepsikan klien berhubungan dengan makna nyeri.

5. Perhatian

Tingkat seseorang klien memfokuskan perhatiannya pada

nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat

dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya

pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respons nyeri yang

menurun.

6. Ansietas

Hubungan nyeri dengan anseitas bersifat kompleks. Anseitas

nyeri seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat

menimbulkan sesuatu perasaan anseitas.

7. Keletihan

Keletihan yang dirasakan seseorang akan menimbulkan

persepsi nyeri. Rasa kelelahan akan menyebabkan sensasi nyeri

semakin intensif dan merunkan kemampuan koping. Apabila

keletihan disertai kesulitan tidur, persepsi nyeri akan terasa lebih

berat lagi. Nyeri seringkali lebih berkurang setelah individu

mengalami suatu periode tidur lelap.

8. Pengalaman sebelumnya

Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian

periode nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat

maka anseitas atau rasa takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila

individu mengalami nyeri dengan jenis yang sama berulang-ulang


tetapi kemudian nyeri tersebut dengan berhasil dihilangkan, akan

lebih mudah bagi individu tersebut untuk menginterretasikan sensasi

nyeri akibatnya, klien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-

tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri.

9. Gaya koping

Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian

maupun keseluruhan/total. Klien sering kali menemukan berbagai

cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan

psikologis nyeri. Penting untuk memahami sumber-sumber koping

klien sebelum ia mengalami nyeri, sumber-sumber seperti

berkomunikasi dengan keluarga pendukung melakukan latihan, atau

dapat digunakan dalam rencana asuhan keperawatan dala upaya

mendukung klien dan mengurangi nyeri sampai tingkat tertentu.

10. Dukungan keluarga dan Sosial

Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respons nyeri ialah

kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka

terhadap klien. Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung

pada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh

dukungan, bantuan, atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien

rasakan, kehadiran orang yang dicintai klien akan meminimalkan

kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada keluarga atau teman,

seringkali pengalaman nyeri membuat klien semakin terkesan.

Kehadiran orang tua sangat penting bagi anak-anak yang sedang

mengalami nyeri.
2.2.5 Penilaian respons intensitas nyeri

Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang sebarapa parah

nyeri yang dirasakan oleh individu , pengukuran intensitas nyeri sangat

subjektif dan individual serta kemungkinan seri dalam intensitas yang

sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda.

Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin

adalah menggunakan respons fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri.

Namun, pengukuran dengan tekhnik ini juga tidak dapat memberikan

gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri. (Tamsuri, 2007).

Penilaian intensitas nyeri dapat dapat dilakukan dengan

menggunakan skala sebagai berikut:

1) Skala numeric

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak nyeri Sangat nyeri

2) Skala deskitif

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak nyeri nyeri ringan nyeri sedang nyeri berat nyeri tak tertahankan

3) Skala analog visual

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak nyeri nyeri tak tertahankan

Gambar 2.3 Skala nyeri A. numeric, B. Deskriptif, C. Analog. Sumber : Potter &

Perry (2006)

1. Skala deskriptif

Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat

keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal


(Verbal Deskriptor Scale) merupakan sebuah garis yang terdiri dari

tiga sampai lima kata yang tersusun dengan jarak yang sama

disepanjang garis. Pendeskripsi ini di rangking dari tidak tersa

nyeri sampai nyeri tak tertahankan. Perawat menunjukkan klien

skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri

terbaru yang ia rasakan, alat VDS ini memungkinkan klien memilih

sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Potter & Perry, 2006).

2. Skala numerik

Skala penilaian numerik (Numering Rating Scale, NRS) lebih

digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini,

klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling

efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah

intervensi terapeutik. Contoh, pasien post appendiktomi hari pertama

menunjukkan skala nyerinya 9, setelah dilakukan intervensi

keperawatan, hari ketiga perawatan pasien menunjukkan skala nyeri

4.

3. Skala analog visual

Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) adalah suatu

garis lurus/horizontal sepanjang 10cm, yang mewakili intensitas

nyeri yang terus-menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap

ujungnya. Pasien diminta untuk menunjukkan titik pada garis yang

menunjukkan letak nyeri terjadi sepanjang garis tersebut. Ujung kiri

biasanya menandakan tidak ada atau tidak nyeri, sedangkan

ujung kanan biasanya menandakan berat atau nyeri yang paling


buruk. Untuk menilai hasil sebuah penggaris diletakkan sepanjang

garis dan jarak yang dibuat pasien pada garis dari tidak nyeri

diukur dan ditulis dengan centimeter.

Versi etnik yang baru pada alat pengukur skala nyeri yang

tealah dikembangkan wong dan beker (1988) dalam Potter & Perry

(2006) mengembangkan skala wajah untuk mengkaji nyeri pada

anak-anak. Skala nyeri tersebut terdiri dari enam wajah dengan profil

kartun yang menggambarkan wajah dari wajah yang sedang senyum

(tidak merasa nyeri) kemudian secara bertahap meningkat menjadi

wajah kurang bahagia, wajah yang sangat sedih sampai wajah yang

sangat ketakutan (nyeri sangat). Anak-anak usia tiga tahun dapat

menggunakan alat tersebut. Para peneliti mulai meneliti penggunaan

skala wajah ini pada orang-orang dewasa. Skala nyeri harus

dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak

mengonsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien

dapat membaca dan memahami skala maka deskripsi nyeri akan

lebih akurat. Skala deskriptif bermanfaat bukan saja dalam upaya

mengkaji tingkat keparahan nyeri, melainkan juga mengevaluasi

perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan skala setelah

terapi atau saat gejala menjadi lebih buruk untuk menilai apakah

nyeri mengalami penurunan atau penigkatan (Potter & perry, 2006)

Anda mungkin juga menyukai