Anda di halaman 1dari 62

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

The Global Burden of Disease Study menyatakan bahwa dari 291 penyakit

yang diteliti, LBP merupakan penyumbang terbesar kecacatan global

(Patrianingrum, 2018). Di Indonesia, LBP merupakan keluhan yang paling

banyak dijumpai dengan angka prevalensi mencapai 49%. Akan tetapi, sekitar 80-

90% dari mereka yang mengalami LBP menyatakan tidak melakukan usaha

apapun untuk mengatasi timbulnya gejala tersebut. Dengan kata lain, hanya sekitar

10-20% dari mereka yang mencari perawatan medis ke pelayanan kesehatan

(Kreshnanda, 2016).

Gim (2010) penyebab yang paling sering ditemukan yang dapat

mengakibatkan LBP adalah kekakuan dan spasme otot punggung oleh karena

aktivitas tubuh yang kurang baik serta tegangnya postur tubuh. Angka kejadian

LBP hampir sama pada semua populasi masyarakat di seluruh dunia, baik di

negara maju maupun di negara berkembang. Diperkirakan setidaknya 70%

manusia menderita sakit punggung, baik kronis maupun sporadis. Di Negara

Inggris melaporkan 17,3 juta orang Inggris pernah mengalami nyeri punggung

pada suatu waktu dan dari jumlah tersebut 1,1 juta mengalami kelumpuhan akibat

nyeri punggung (Hanung, 2018).


2

Low Back Pain (LBP) merupakan rasa nyeri, ngilu, pegal yang terjadi di

daerah pinggang bagian bawah. LBP tidak mengenal perbedaan umur, jenis

kelamin, pekerjaan, status sosial, tingkat pendidikan, semuanya bisa terkena LBP.

Lebih dari 70% umat manusia dalam hidupnya pernah mengalami LBP, dengan

rata-rata puncak kejadian berusia 35-55 tahun (Basuki, 2019).

Keluhan pada punggung atau keluhan muskuloskeletal merupakan keluhan

pada otot skeletal yang dirasakan dengan intensitas nyeri yang berbeda-beda, dari

nyeri yang ringan sampai nyeri yang sangat sakit. Otot yang menerima beban statis

secara berulang-ulang dan dalam waktu yang lama dapat menyebabkan keluhan

berupa kerusakan pada sendi, ligament dantendon (Kusyanto, 2018). Punggung

harus bekerja non stop jam sehari. Dalam posisi duduk, berdiri (mengerjakan

pekerjaan rumah tangga, berjalan) bahkan tidur, punggung harus bekerja keras

menyangga tubuh. Penyebab nyeri punggung bawah yang paling sering adalah

duduk terlalu lama, sikap duduk yang tidak tepat, postur tubuh yang tidak ideal

(improper), aktivitas yang berlebihan, serta trauma. Nyeri punggung lalu menjadi

masalah dibanyak negara karena seringkali mempengaruhi produktivitas kerja

(Sakinah, 2016). Adanya nyeri membuat penderitanya seringkali takut untuk

bergerak sehingga mengganggu aktifitas sehari-harinya dan dapat menurunkan

produktifitasnya. Di samping itu, dengan mengalami nyeri membuat pasien

frustasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari sehingga dapat mengganggu

kualitas hidup pasien (Brown, 2019).


3

Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan terapi

nonfarmakologi. Ardinata (2017) menyebutkan bahwa intervensi nonfarmakologis

merupakan intervensi yang cocok untuk pasien yang tidak ingin menggunakan

terapi obat dalam mengatasi nyerinya dan pasien yang merasa cemas karena masih

merasakan nyeri setelah menggunakan terapi farmakologi. Slow strok back

massage, distraksi, relaksasi nafas dalam, imajinasi terbimbing dan hipnosis

adalah contoh intervensi nonfarmakologis yang sering digunakan dalam

keperawatan dalam mengelola nyeri (Dinh, 2015).

Slow stroke back massage adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk

menghilangkan nyeri. Salah satu langkah sederhana dalam upaya menurunkan

nyeri dengan melakukan masase dan sentuhan. Masase dan sentuhan merupakan

tehnik integrasi sensori yang mempengaruhi aktifitas sistem saraf otonom.

Sentuhan sebagai stimulus untuk rileks, kemudian akan muncul respon relaksasi.

Relaksasi sangat penting dalam membantu klien untuk meningkatkan kenyamanan

dan membebaskan diri dari ketakutan serta stres akibat penyakit yang dialami dan

nyeri yang tak berkesudahan (Gilliland, 2018).

Slow-Stroke Back Massage (SSBM) merupakan suatu tindakan memberi

kenyamanan yang dapat meredakan ketegangan, merilekskan pasien dan

meningkatkan sirkulasi. Cara kerja dari slow stroke back massage ini

menyebabkan terjadinya pelepasan endorfin, sehingga memblok transmisi stimulus

nyeri (Huda, 2015). Tehnik untuk melakukan slow-stroke back massage dapat

dilakukan dengan beberapa pendekatan, salah satu metode yang dilakukan adalah
4

dengan mengusap kulit klien secara perlahan dan berirama dengan tangan, dengan

kecepatan 60 kali usapan per menit. Tehnik ini sederhana dan mudah dilakukan,

sehingga setiap tenaga kesehatan bisa menerapkannya untuk mengatasi masalah

nyeri, khususnya pada pasien LBP (Ignatavicius, 2016).

Penatalaksanaan terapi nonfarmakologis lainnya yaitu terapi relaksasi nafas

dalam. Teknik relaksasi napas dalam adalah suatu bentuk tindakan keperawatan

yang mana perawat mengajarkan kepada pasien bagaimana cara melakukan napas

dalam untuk mengurangi nyeri. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas

dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan

menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi (“hirup, dua, tiga) dan

ekshalasi (hembuskan, dua, tiga) (Smeltzer & Bare, 2018).

Penelitian Henni (2018) didapatkan bahwa terdapat pengaruh terapi relaksasi

nafas dalam dengan penurunan skala nyeri pada pasien appendiktomi di RS.

Bhayangkara. Selain itu penelitian Vetty et al (2016) terdapat pengaruh stimulus

kutaneus slow-stroke back massage terhadap skala nyeri, stimulus kutaneus slow-

stroke back message dapat menurunkan skala nyeri dismenore pada mahasiswi

Stikes amanah Padang.

Berdasarkan data di Puskesmas Jayaloka, diketahui bahwa jumlah penderita

penyakit low back pain pada taun 2017 sebanyak 28 orang, tahun 2018 sebanyak

39 orang, tahun 2019 sebanyak 32 orang dan tahun 2020 sebanyak 31 orang.

Berdasarkan survey awal pada tanggal 14 -23 November 2020 terdapat 10 orang

penderita yang datang ke puskesmas. Hasil pengukuran skala nyeri diketahui 6


5

orang dengan skala nyeri 5 dan 4 orang dengan skala nyeri 4. Hasil pra peneliti

yang dilakukan pada kelima responden dengan cara memberikan teknik relaksasi

nafas dalam sebanyak 5 orang dan teknik slow stroke back massage sebanyak 5

orang sesuai dengan Standar Operasional Prsedur (SOP) yang ada selama 10

menit pertama di diketahui bahwa terjadi penurunan skala nyeri yang berbeda

beda. Berdasarkan latar belakang dan uraian diatas maka peneliti tertarik meneliti

tentang perbedaan teknik relaksasi nafas dalam dan teknik slow stroke back

massage terhadap skala nyeri pada penderita low back pain di Puskesmas

Jayaloka Kabupaten Musi Rawas

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah masih adanya penderita low

back pain yang mengalami nyeri di Puskesmas Jayaloka Kabupaten Musi Rawas

C. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan teknik relaksasi

nafas dalam dan teknik slow stroke back massage terhadap skala nyeri pada

penderita low back pain di Puskesmas Jayaloka Kabupaten Musi Rawas

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah diketahuinya perbedaan teknik

relaksasi nafas dalam dan teknik slow stroke back massage terhadap skala

nyeri pada penderita low back pain di Puskesmas Jayaloka Kabupaten Musi

Rawas
6

2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

a. Diketahuinya rata – rata nilai skala nyeri sebelum dilakukan teknik

relaksasi tarik nafas dalam pada penderita low back pain di Puskesmas

Jayaloka Kabupaten Musi Rawas

b. Diketahuinya rata – rata nilai skala nyeri sebelum dilakukan slow stroke

back massage pada penderita low back pain di Puskesmas Jayaloka

Kabupaten Musi Rawas

c. Diketahuinya rata – rata nilai skala nyeri setelah dilakukan teknik relaksasi

tarik nafas dalam pada penderita low back pain di Puskesmas Jayaloka

Kabupaten Musi Rawas

d. Diketahuinya rata – rata nilai skala nyeri setelah dilakukan slow stroke

back massage pada penderita low back pain di Puskesmas Jayaloka

Kabupaten Musi Rawas

e. Diketahuinya perbedaan teknik relaksasi nafas dalam dan teknik slow

stroke back massage terhadap skala nyeri pada penderita low back pain di

Puskesmas Jayaloka Kabupaten Musi Rawas

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang perbedaan skala

nyeri antara teknik relaksasi tarik nafas dalam dengan slow stroke back

massage pada penderita low back pain dan menjadi masukan pengalaman
7

tentang cara atau prosedur penelitian secara terencana atau sistematik. Hasil

penelitian ini nantinya diharapkan menambah literatur dan wawasan bagi

mahasiswa STIKes Bhakti Husada dan di harapkan dapat memberikan

informasi pada penelitian lebih lanjut yang dengan berkaitan dengan

penelitian ini.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak

puskesmas atau dinas kesehatan Kabupaten Musi Rawas dalam meningkatkan

pelayanan kesehatan pada penderita low back pain.

F. Keaslian Penelitian

1. Henni Septani (2013) dengan judul hubungan terapi relaksasi nafas dalam

dengan penurunan skala nyeri pada pasien appendiktomi di RS. Bhayangkara.

Hasil penelitian didapatkan hubungan dimana nilai p value < 0,005.

Persamaan penelitian ini yaitu sama – sama meneliti tentang teknik nafas

dalam terhadap penurunan skala nyeri. Sedangkan perbedaan penelitian ini

yaitu peneliti ingin mengetahui apakah teknik relaksasi nafas dalam atau

teknik slow stroke back massage yang lebih efektif dalam penurunan skala

nyeri, desain, uji analisis dan sampel berbeda.

2. Erna Melastuti, Lia Ulvi Avianti (2016) dengan judul Pengaruh Terapi Slow

Stroke Back Massage (SSBM) Terhadap Kualitas Tidur Pasien Post Operasi

Di RSI Sultan Agung Semarang. Hasil penelitian diperoleh nilai sig .001 (p <

0.05) dan nilai t-value -14.736 dengan perbedaan rerata sebelum dan sesudah
8

diberi terapi sejumlah -11.18. Terdapat perbedaan yang signifikan atau

bermakna antara kualitas tidur sebelum dengan sesudah diberi terapi slow

stroke back massage. Persamaan penelitian ini yaitu sama – sama meneliti

tentang slow stroke back massage dalam terhadap penurunan skala nyeri.

Sedangkan perbedaan penelitian ini yaitu peneliti ingin mengetahui apakah

teknik relaksasi nafas dalam atau teknik slow stroke back massage yang lebih

efektif dalam penurunan skala nyeri, desain, uji analisis dan sampel berbeda.

3. Vetty Priscillaa, Esi Afriyantia (2016) dengan judul Pengaruh Stimulus

Kutaneus Slow-Stroke Back Massage Terhadap Skala Nyeri Dismenore

Primer Pada Mahasiswi Stikes Amanah di Padang. Hasil penelitian ini

memperlihatkan lebih dari separuh mahasiswi (75%) mahasiswi mengalami

tingkat nyeri dismenore sedang dengan skala nyeri 5,67 ± 1,56. Setelah

diberikan stimulus slow-stroke back message (posttest) lebih dari separuh

(58,2 %) mahasiswi mengalami tingkat nyeri dismenore ringan dengan skala

nyeri 4 ± 2,09. Kesimpulan dari penelitian ini adalah stimulus kutaneus slow-

stroke back message dapat menurunkan skala nyeri dismenore pada

mahasiswi Stikes amanah Padang.


9

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Nyeri

1. Pengertian

Tamsuri (2018) nyeri (rasa sakit yang sangat) adalah suatu gejala yang

sangat subjektif. Biasanya agak sulit melihat adanya nyeri kecuali dari

keluhan penderita itu sendiri. Sedangkan Qittun (2015) nyeri adalah suatu

keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila

seseorang pernah mengalaminya.

International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri adalah suatu

pengalaman sensori, emosional serta kognitif yang tidak menyenangkan

akibat dari kerusakan jaringan aktual maupun potensial yang dapat timbul

tanpa adanya injuri (Ardinata, 2017). Definisi keperawatan tentang nyeri

adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang

mengalaminya, yang ada kapanpun individu mengatakannya (Smeltzer &

Bare, 2018).

Individu yang merasakan nyeri merasa tertekan atau menderita dan

mencari upaya untuk menghilangkan nyeri. Perawat menggunakan berbagai

intervensi untuk menghilangkan nyeri atau mengembalikan kenyamanan.

Perawat tidak dapat melihat atau merasakan nyeri yang klien rasakan. Nyeri

bersifat subjektif, tidak ada dua individu yang mengalami nyeri yang sama
10

menghasilkan respons atau perasaan yang identik pada seorang individu

(Potter & Perry, 2017).

2. Klasifikasi Nyeri

Asmadi (2018) menyatakan bahwa nyeri dapat diklasifikasikan

berdasarkan tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu lamanya serangan.

a. Nyeri berdasarkan tempatnya:

1) Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh

misalnya pada kulit, mukosa

2) Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih

dalam atau pada organ-organ tubuh visceral.

3) Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit

organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di

daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.

4) Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada

sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus.

b. Nyeri berdasarkan sifatnya:

1) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu

menghilang

2) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan

dalam waktu yang lama


11

3) Paroxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan

kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ± 10-15 menit, lalu

menghilang, kemudian timbul lagi.

c. Nyeri berdasarkan berat ringannya:

1) Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas yang rendah

2) Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi

3) Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.

d. Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan

1) Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan

berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui

dengan jelas.

2) Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Pola

nyeri ada yang nyeri timbul dengan periode yang diselingi interval

bebas dari nyeri lalu nyeri timbul kembali. Adapula pola nyeri kronis

yang terus-menerus terasa makin lama semakin meningkat

intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan. Misalnya, pada

nyeri karena neoplasma.

3. Berdasarkan Intensitas Skala Nyeri dibagi menjadi yaitu :

Alat ukur intensitas nyeri yaitu dengan skala nyeri. Namun, pengukuran

dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri

itu sendiri (Tamsuri, 2018). Skala analogi visual sangat berguna dalam

mengkaji intensitas nyeri. Skala tersebut adalah berbentuk garis horizontal


12

sepanjang 10 cm, dan ujungnya mengindikasikan nyeri yang berat. Pasien

diminta untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi

di sepanjang rentang tersebut.ujung kiri biasanya menunjukkan “tidak ada”

atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan biasanya menandakan “berat” atau

nyeri yang paling buruk. Untuk menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan

sepanjang garis dan jarak yang dibuat pasien pada garis dari “tidak ada nyeri “

diukur dan ditulis dalam sentimeter (Smeltzer & Bare, 2018).

Prihajo (2017), mengatakan bahwa nyeri ringan bila skala 1- 3 dimana

skala 1 pasien dapat tersenyum, skala 2 bila pasien tenang (tidak gelisah) dan

skala 3 bila pasien tidur lebih nyaman. Nyeri sedang apabila skala nyeri dalam

rentang skala 4 sampai 6. Dimana skala 4 bila ekspresi wajah pasien tampak

kurang baik, skala 5 bila pasien mengeluh dan skal 6 bila pasien tampak

gelisah dan mengigit bibir. Sedangkan dikatakan nyeri hebat bila skala 7-10

dimana skala 7 ditanda wajah meringis, skala 8 pasien menangis dan sesak

nafas serta skala 9 dan 10 bila pasien tidak dapat diajak bicara dan tidak

mampu berkonsentrasi.

4. Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah

ujung saraf besar dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat

yang secara optimal merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara
13

anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang

tidak bermielien dari saraf perifer (Qittun, 2017).

5. Penyebab

Priharjo (2017), menyatakan bahwa penyebab nyeri adalah sebagai

berikut :

a. Thermik

Disebabkan oleh perbedaan suhu yang ekstrim

b. Chemik

Disebabkan oleh bahan/zat kimia

c. Mekanik

Disebabkan oleh trauma mekanik

d. Elektrik

Disebabkan oleh aliran listrik

e. Psikogenik

Nyeri yang tanpa diketahui adanya kelainan fisik, bersifat psikologis

f. Neurologik

Disebabkan oleh kerusakan jaringan syaraf

6. Tanda dan Gejala

a. Adapun tanda dan gejala nyeri dapat mencakup sebagai berikut :

b. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur).

c. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir).


14

d. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, Peningkatan

gerakan jari dan tangan).

e. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,

Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pada

aktivitas menghilangkan nyeri) (Qittun, 2017).

7. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

a. Usia

b. Jenis kelamin

c. Kultur

d. Makna nyeri

e. Perhatian

f. Ansietas

g. Pengalaman masa

h. Pola koping

i. Support keluarga dan sosial (Qittun, 2017)

8. Respon fisiologi dan tingkah laku terhadap nyeri

Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-bada antara lain :

a. Bahaya atau merusak

b. Penyakit yang berulang

c. Penyakit yang fatal

d. Perlu untuk penyembuhan

e. Sesuatu yang harus ditoleransi


15

f. Peningkatan heart rate

g. Peningkatan kekuatan otot

h. Muka pucat (Qittun, 2017).

9. Low Back Pain

Nyeri punggung bawah atau LBP adalah nyeri yang terbatas pada regio

lumbal, tetapi gejalanya lebih merata dan tidak hanya terbatas pada satu radiks

saraf, namun secara luas berasal dari diskus intervertebralis lumbal. Nyeri

punggung bawah (low back pain) adalah nyeri di daerah punggung bawah, yang

mungkin disebabkan oleh masalah saraf, iritasi otot atau lesi tulang. Nyeri

punggung bawah dapat mengikuti cedera atau trauma punggung, tapi rasa sakit

juga dapat disebabkan oleh kondisi degeneratif seperti penyakit artritis,

osteoporosis atau penyakit tulang lainnya, infeksi virus, iritasi pada sendi dan

cakram sendi, atau kelainan bawaan pada tulang belakang. Obesitas, merokok,

berat badan saat hamil, stres, kondisi fisik yang buruk, postur yang tidak sesuai

untuk kegiatan yang dilakukan, dan posisi tidur yang buruk juga dapat

menyebabkan nyeri punggung bawah (Dachlan, 2018).

10. Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory)

Teory gate control dari Melzack & wall dalam Qittun (2017) mengusulkan

bahwa implus nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanaan

disepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa implus nyeri

dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuat dan implus dihambat saat sebuah
16

pertahanaan tertutup. Upaya menutup pertahanaan tersebut merupakan dasar

teori menghilangkan nyeri

11. Penatalaksanaan

Tidakan untuk mengatasi nyeri dapat dibedakan dalam dua kelompok

utama, yaitu dengan pengobatan farmakologis dan tindakan non farmakologis

(Tamsuri, 2018).

a. Farmakologis

Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis meliputi penggunaan

opioid (narkotika), non opioid, analgesik, opioid atau narkotika dapat

menyebabkan penurunan nyeri dan memberikan efek euphoria (gembira).

Non opioid sering juga disebut dengan nonsteroid seperti aspirin,

ibuprofen selain memiliki anti nyeri juga memiliki efek anti inflamasi dan

anti piretik. Analgetik adalah obat yang dikembangkan bukan untuk

memberikan efek analgesik tetapi ditemukan mampu menyebabkan

penurunan nyeri pada berbagai nyeri kronis.

b. Non Farmakologis

Penatalaksanaan non farmakologis terdiri dari berbagai macam

penanganan nyeri. Adapun tujuan dari tindakan ini adalah meningkatkan

kenyamanan, mengubah respon fisiologik, menurunkan kecemasan yang

berhubungan dengan imobilitas karena nyeri atau adanya pembatasan

aktivitas (Tamsuri, 2018). Berikut ini bentuk penanganan non farmakologis

dalam minimalkan nyeri adalah :


17

a. Masase Kulit

Masase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan

ketegangan otot. Rangsangan masase otot ini dipercaya akan merasang

serabut berdiameter besar, sehingga mampu memblok atau

menurunkan implus nyeri. Masase adalah stimulasi kulit tubuh secara

umum, dipusatkan pada bahu, atau dapat dilakukan pada satu atau

beberapa bagian tubuh dan dilakukan sekitar 10 menit ada masing-

masing bagian tubuh mencapai relaksasi yang maksimal seperti

memberikan pukulan kecil, massage atau cubitan besar pada kulit dan

otot.

b. Kompres

Penggunaan panas dingin meliputi penggunaan kantong es,

masase mandi air dingin atau panas, penggunaan selimut atau bantal

panas, kompres panas dingin, selain menurunkan sensasi nyeri juga

dapat, meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang mengalami

kerusakan. Untuk memberikan efek terapeutik yang diharapkan

(mengurangi, nyeri), sebaiknya suhu tidak terlalu dingin (yaitu,

berkisar antara 18-270C), karena suhu yang terlalu dingin selain

memberikan rasatidak nyaman juga dapat menyebakan frostbite/

membeku. Perhatikan pemasangan kompres pada daerah yang

mengalami penurunan sensasi seperti pada penderita diabetes,

hemiplegia, atau penderita yang tidak sadar.


18

c. Imobilisasi

Imobilisasi terhadap organ tubuh yang mengalami nyeri hebat

mungkin dapat meredakan nyeri. Kasus seperti arthritis rheumatoid

mungkin memerlukan teknik ini untuk mengatasi nyeri. Kadang kala

petugas kesehatan memberikan intruksi kepada klien untuk istirahat

selama terjadinya nyeri tanpa disertai intruksi yang jelas bagaimana

istirahat yang dimaksud dan berapa lama istirahat harus dilakukan.

d. Distraksi

Distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri

kestimulus yang lain. Teknik distraksi dapat mengatasi nyeri

berdasarkan teori bahwa aktivitas retikuler menghambat stimulus

nyeri, jika seseorang menerima input sensori yang berlebihan dapat

menyebabkan terhambatnya implus nyeri keotak (nyeri berkurang atau

tidak dirasakan oleh klien). Stimulus yang menyenangkan dari luar

juga dapat merangsang sekresi endorphin, sehingga stimulus nyeri

yang dirasakan oleh klien menjadi berkurang. Perbedaan nyeri secara

umum berhubungan langsung dengan partisipasi aktif individu,

banyaknya modalitas sensori yang digunakan, dan minat individu

dalam stimulus. Oleh karena itu, stimulasi penglihatan, pendengaran,

dan sentuhan mungkin akan lebih efektif dalam menurunkan nyeri

dibanding stimulus satu indera saja.


19

e. Relaksasi

Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan

merelaksasikan ketegangan otot yang terkandung rasa nyeri beberapa

penelitian menunjukakan bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan

nyeri pasca operasi. Teknik relaksasi mungkin perluh diajarkan

beberapa kali agar mencapai hasil yang optimal. Klien yang telah

mengetahui teknik ini mungkin hanya perlu diinstruksikan

menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan atau mencegah

meningkatkan nyeri (Tamsuri, 2018).

12. Pengkajian Nyeri

Hidayat (2015) menyatakan bahwa pengkajian pada masalah nyeri

dapat dilakukan dengan cara:

a. P (Pemacu) : Faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya

nyeri

b. Q(Quality) : Kualitas nyeri dikatakan seperti apa yangdirasakan

pasien misalnya, seperti diiris-iris pisau, dipukul\

pukul, disayat

c. R (Region) : Daerah perjalanan nyeri,

d. S (Severity) : Keparahan atau intensitas nyeri,

e. T (Time) : Lama/ waktu serangan atau frekuensi nyeri.


20

Deskripsi verbal tentang nyeri. Individu merupakan penilai terbaik dari

nyeri yang dialaminya dan karenanya harus diminta untuk menggambarkan

dan membuat tingkatnya. Smeltzer & Bare (2018), informasi yang diperlukan

harus menggambarkan nyeri individual dalam beberapa cara yang berikut:

a. Intensitas nyeri. Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri

pada skala verbal (misal tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri hebat, atau

sangat hebat; atau 0 sampai 10: 0= tidak ada nyeri, 10= nyeri sangat

hebat).

b. Karakteristik nyeri. Termasuk letak, durasi (menit, jam, hari, bulan,

dsb), irama (misal terus-menerus, hilang timbul, periode bertambah dan

berkurangnya intensitas atau keberadaan dari nyeri) dan kualitas (misal,

nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit, nyeri seperti digencet).

c. Faktor-faktor yang meredakan nyeri (misal gerakan, kurang bergerak,

pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat bebas, dsb) dan apa yang

dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya.

d. Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari (misal tidur, nafsu

makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja

dan aktivitas santai). Nyeri akut berkaitan dengan ansietas dan nyeri

kronis dengan depresi.

e. Kekhawatiran individu terhadap nyeri. Dapat meliputi berbagai masalah

yang luas, seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh terhadap peran

dan perubahan citra diri.


21

13. Mengkaji Respons Fisiologik dan Perilaku Terhadap Nyeri

Banyak pemberi perawatan kesehatan lebih mengenal nyeri akut

dibanding nyeri kronis. Akibatnya pemberi perawatan kesehatan yang lebih

mengenal respon fisiologik dan perilaku nyeri dapat menanyakan keberadaan

nyeri pasien yang dengan tenang melaporkan nyeri berat atau pada pasien

yang tidur nyenyak dengan cepat sebelum atau setelah melaporkan nyeri berat

menampakkan tanda-tanda fisiologis atau perilaku dari nyeri. Tidak adanya

tanda-tanda ini tidak harus membuat perawat menyimpulkan bahwa nyeri

tidak ada; keberadaan dari tanda-tanda ini tidak selalu berarti bahwa pasien

mengalami nyeri. Indikator fisiologis nyeri, perubahan fisiologis involunter

dianggap sebagai indikator nyeri yang lebih akurat dibanding laporan verbal

pasien. Bagaimanapun respons involunter ini seperti meningkatnya frekuensi

nadi dan pernapasan, pucat dan berkeringat adalah indikator rangsangan

sistem saraf otonom, bukan nyeri (Priharjo, 2017).

Respons Perilaku terhadap nyeri. Respons perilaku terhadap nyeri dapat

mencakup perrnyataan verbal, perilaku vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh,

kontak fisik dengan orang lain, atau perubahan respons terhadap lingkungan.

Individu yang mengalami nyeri akut dapat menangis, merintih, merengut,

tidak menggerakkan bagian tubuh, mengepal atau menarik diri. Orang dapat

menjadi marah atau mudah tersinggung dan meminta maaf saat nyerinya

hilang (Smeltzer & Bare, 2018).


22

B. Slow Stroke Back Massage (SSBM)

1. Pengertian

Slow stroke back massage (SSBM) dalam peraktik keperawatan

merupakan massage yang dikenal dengan effleurage. Slow stroke back

massage (SSBM) merupakan gosokan lambat yang berirama menggunakan

angan pada tingkat 60 gosokan permenit yang dapat diberikan selama 3

sampai 10 menit. Slow stroke back massage (SSBM) sangat mudah untuk

diberikan, tidak membahayakan dan tidak dilakukan secara invasive dan

relatif tidak memerlukan biaya. Stimulasi kutaneus slow stroke back

massage adalah pijatan lembut, lambat, dengan penekanan berirama sebanyak

60 pijatan dalam satu menit dan dilakukan dalam waktu 3-10 menit (Mok &

Woo, 2016).

Stimulus kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk

menghilangkan nyeri, bekerja dengan cara mendorong pelepasan endorphin

sehingga memblok transmisi stimulus nyeri. Cara lainnya adalah dengan

mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A- Beta yang lebih besar an

lebih cepat, sehingga menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan A-

delta berdiameter kecil sekaligus menutup gabag sinyal untuk transmisi

impuls nyeri (Potter dan Perry, 2015).

2. Indikasi

Slow Stroke Back Massage (SSBM) dapat digunakan untuk meringankan

kondisi fisiologis dan psikologis seperti stres, kecemasan dan insomnia.


23

American Massage Therapy Association (AMTA) (2019) menyatakan Slow

Stroke Back Massage merupakan salah satu pendekatan yang dapat

digunakan untuk menghilangkan nyeri otot atau sebagai sarana untuk

relaksasi. Penelitian yang dilakukan oleh Mok dan Woo (2016) untuk

mengetahui efek dari slow stroke back massage (SSBM) terhadap nyeri bahu

yang dilakukan kepada pasien lansia dengan stroke dan menunjukkan adanya

pengurangan nyeri bahu dan ansietas pada pasien lansia tersebut serta

menunjukkan adanya penurunan pada tekanan darah lansia.

3. Kontra Indikasi

Bulechek dan Dochterman (2016), kontraindikasi dalam pemberian

massage adalah seseorang dengan penurunan integritas kulit, terdapat lesi

terbuka, kemerahan atau peradangan pada daerah punggung. Mok dan Woo

(2016) dalam penelitiannya menyatakan kriteria pasien yang diberikan Slow

Stroke Back Massage (SSBM) adalah tidak ada riwayat gangguan pada tulang

belakang dan kulit.

4. Teknik Pelaksanaan

Teknik dalam pelaksanaan slow stroke back massage (SSBM) yaitu

dengan mengusap kulit klien secara lambat, lembut dan berirama

menggunakan kedua tangan dengan kecepatan 60 usapan permenit dan dapat

berlangsung selama 3 menit (Potter & Perry, 2015). Penelitian yang dilakukan

oleh Mok dan Woo (2016) memberikan 10 menit slow stroke back massage

(SSBM) setiap hari selama 7 hari.


24

5. Pelaksanaan

Slow Stroke Back Massage (SSBM) dimulai dengan melakukan beberapa

persiapan. Yang perlu diperhatikan antara lain persiapan alat, persiapan klien

dan persiapan lingkungan serta persiapan perawat (Potter & Perry, 2015).

a. Persiapan alat

Alat - alat yang dibutuhkan adalah selimut atau handuk untuk menjaga

Privasi klien dan aplikasi pada kulit (lotion atau bedak) untuk mencegah

terjadinya tekanan saat dilakukan massage.

b. Persiapan lingkungan

Persiapan yang dilakukan adalah mengatur tempat dan posisi yang nyaman

bagi klien. Selain itu mengatur cahaya, suhu dan suara di dalam ruangan

untuk meningkatkan relaksasi klien

c. Persiapan klien

Persiapan klien yang dilakukan adalah mengatur posisi yang nyaman bagi

klien dan membuka pakaian klien pada daerah punggung serta tetap

menjaga privasi klien. Sebelum melakukan masage pada daerah punggung,

perawat perlu mengidentifikasi terkait kondisi klien

d. Persiapan Perawat

Perawat perlu menjelaskan tujuan terapi kepada klien dan mencuci tangan

sebelum melaksanakan tindakan


25

e. Langkah-langkah pelaksanaan Slow Stroke Back Massage (SSBM)

Beberapa langkah pelaksanaan Slow Stroke Back Massage (SSBM)

menurut Potter dan Perry (2015) adalah sebagai berikut.

1) Aplikasikan lubrikan atau lotion pada bagian bahu dan punggung pasien

2) Meletakkan tangan pada bokong. kemudian mulai massage dengan

gerakan melingkar

3) Usapan dilakukan keatas dari bokong ke bahu. massage di atas skapula

dengan gerakan lembut dan tegas

4) Melanjutkan ke arah lengan atas dalam satu usapan lembut dan secara

lateral sepanjang sisi punggung dan kembali ke bawah ke puncak iliaka

5) Mengulangi gerakan yang sama tanpa melepaskan tangan dari kulit

hingga massage selesai dilakukan

6) Akhiri gerakan dengan massage memanjang ke bawah.

6. Manfaat Slow Strok Back Massage (SSBM)

Massage didefinisikan sebagai tindakan manipulasi pada jaringan tubuh

dengan gerakan menggosok secara berirama dan perlahan. Efek dari massage

didapatkan dari beberapa mekanisme. Mekanisme tersebut meliputi efek

biomekanik, fisiologis, neurologis dan psikologis

a. Efek Biomekanik

Tekanan mekanis yang diberikan oleh massage pada jaringan otot

dapat mengurangi adhesi jaringan. Efek biomekanik pada jaringan otot


26

yaitu penurunan pada kekakuan otot. Penurunan pada kekakuan otot dapat

mengurangi persepsi nyeri.

b. Efek Fisiologis

1) Meningkatkan sirkulasi darah. Tekanan mekanis dari massage dapat

meningkatkan sirkulasi pada pembuluh darah dan memperlancar aliran

darah kapiler, aliran darah beroksigen menuju jaringan meningkat.

massage juga dapat meningkatkan sirkulasi oksigen dan nutrisi serta

sisa-sisa metabolisme.

2) Hormon Stimulus atau rangsangan yang ditimbulkan oleh massage

pada jaringan tubuh merupakan respon yang kompleks dari

neurohormonal di axis hipotalamus (HPA). Stimulus tersebut

dihantarkan melalui spinal cord menuju hipotalamus yang

diintreperetasikan sebagai respon relaksasi. Hipotalamus merespon

rangsangan tersebut dengan mengeluarkan hormon endorfin yang dapat

mengurangi aktivitas sistem saraf simpatik dan peningkatan dari sistem

saraf parasimpatik. Rangsangan dari massage dapat menetralkan

kelebihan kortisol dengan mempengaruhi sekresi kortikotropin dari

HPA sehingga dapat meningkatkan relaksasi

c. Efek Neurologi

Stimulasi kulit yang diberikan oleh massage dapat mengurangi nyeri.

Mekanisme massage dapat mengurangi nyeri adalah teori gate kontrol yang

merupakan aktivasi mekanisme gerbang neural pada sumsum tulang


27

belakang. Teori gate kontrol mengatakan bahwa stimulasi kutaneus dapat

mengaktifkan serabut saraf sensori A-beta yang lebih besar dan lebih cepat.

Proses ini menurunkan transmisi impuls nyeri melalui serabut C dan delta-

A yang berdiameter kecil, sehingga gerbang sinaps menutup transmisi

impuls nyeri (Potter & Perry, 2015).

Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Mok dan

Woo (2016), bahwa intervensi slow stroke back massage (SSBM) selama

10 menit dapat menurunkan nyeri bahu pada lansia yang mengalami stroke

dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Soeroso (2018) yang memberikan

intervensi Swedish massage selama 30 menit dapat mengurangi nyeri

pinggang kronis pada lansia.

d. Efek Psikofisiologis

Relaksasi dan Ansietas Massage dapat menghasilkan relaksasi dari

stimulasi pada jaringan tubuh karena respon dari neurohormonal yang

kompleks di axis hipotalamus hipofisis (HPA) melalui jalur sistem saraf

pusat yang diinterpretasikan sebagai respon relaksasi. Respon relaksasi

yang dihasilkan oleh massage dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan

oleh Mok dan Woo (2016) dimana lansia yang tinggal di rumah perawatan

mendapatkan massage punggung selama 10 menit menunjukkan efek yang

positif dalam meningkatkan kualitas tidur lansia. Respon relaksasi massage

juga bermanfaat terhadap tingkat ansietas lansia stroke.


28

C. Terapi Relaksasi Nafas Dalam

1. Pengertian

Teknik relaksasi napas dalam merupakan suatu bentuk asuhan

keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien

bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi

secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara perlahan.

Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi tarik napas dalam

juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah

(Smeltzer & Bare, 2018).

2. Prosedur Teknik Relaksasi Tarik Napas Dalam

Priharjo (2017), menyatakan adapun langkah-langkah teknik relaksasi

tarik napas adalah sebagai berikut :

a. Ciptakan lingkungan yang tenang

b. Usahakan tetap rileks dan tenang

c. Menarik napas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara

melalui hitungan : 1, 2, 3

d. Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil merasakan

ekstremitas atas dan bawah rileks

e. Anjurkan bernapas dengan irama normal 3 kali

f. Menarik napas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui mulut

secara perlahan-lahan

g. Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks


29

h. Usahakan agar tetap konsentrasi/mata sambil terpejam

i. Pada saat konsentrasi pusatkan pada daerah yang nyeri

j. Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang

k. Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali.

l. Bila nyeri menjadi hebat, seseorang dapat bernapas secara dangkal dan

cepat.

Bentuk pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah

pernapasan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diafragma

selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas

sejalan dengan desakan udara masuk selama inspirasi (Priharjo, 2017).

Lebih lanjut Priharjo (2017) menyatakan bahwa adapun langkah-langkah

teknik relaksasi tarik napas dalam adalah sebagai berikut :

a. Usahakan rileks dan tenang.

b. Menarik napas yang dalam melalui hidung dengan hitungan 1,2,3,

kemudian tahan sekitar 5-10 detik.

c. Hembuskan napas melalui mulut secara perlahan-lahan.

d. Menarik napas lagi melalui hidung dan menghembuskannya lagi melalui

mulut secara perlahan-lahan.

e. Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang.

f. Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali.


30

3. Efek relaksasi

Potter & Perry (2015), mengatakan bahwa efek relaksasi antara lain:

Penurunan nadi, tekanan darah, dan pernapasan, penurunan konsumsi oksigen,

penurunan ketegangan otot, peningkatan kesadaran global, kurang perhatian

terhadap stimulus lingkungan , tidak ada perubahan posisi yang volunteer,

perasaan damai dan sejahtera, periode kewaspadaan yang santai, terjaga, dan

dalam.

4. Tujuan dan Manfaat Teknik Relaksasi tarik napas Dalam

National Safety Council (2013), menyatakan bahwa teknik relaksasi

tarik napas dalam saat ini masih menjadi metode relaksasi yang termudah.

Metode ini mudah dilakukan karena pernapasan itu sendiri merupakan

tindakan yang dapat dilakukan secara normal tanpa perlu berfikir atau merasa

ragu. Sementara Smeltzer & Bare (2018) menyatakan bahwa tujuan dari

teknik relaksasi tarik napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi

alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan

efisiensi batuk mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu

menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan. Sedangkan manfaat

yang dapat dirasakan oleh klien setelah melakukan teknik relaksasi tarik napas

dalam adalah dapat menghilangkan nyeri, ketenteraman hati, dan

berkurangnya rasa cemas.


31

5. Patofisiologi Teknik Relaksasi Tarik Napas Dalam Terhadap Penurunan

Nyeri

Pembedahan

Teknik Relaksasi tarik napas Dalam

Rasa Nyeri Post Operasi

↓ Hormone Adrenalin

Memberikan Rasa Tenang

Meningkatkan Konsentrasi sehingga Mempermudah Mengatur Pernapasan

↑ Oksigen Dalam Darah

Mengurangi Detak Jantung

↓ Tekanan Darah

Nyeri

Bagan 1, patofisiologi (Sumber: Priharjo, 2017)


32

D. Pengaruh Terapi Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Nyeri

Teknik relaksasi tarik napas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas

nyeri melalui mekanisme dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami

spasme yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi

vasodilatasi pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang

mengalami spasme dan iskemik. Selain itu melalui teknik relaksasi tarik napas

dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk melepaskan opioid endogen

yaitu endorphin dan enkefalin (Henni, 2018).

Pernyataan lain menyatakan bahwa penurunan nyeri oleh teknik relaksasi tarik

napas dalam disebabkan ketika seseorang melakukan relaksasi tarik napas dalam

untuk mengendalikan nyeri yang dirasakan, maka tubuh akan meningkatkan

komponen saraf parasimpatik secara stimulan, maka ini menyebabkan terjadinya

penurunan kadar hormon kortisol dan adrenalin dalam tubuh yang mempengaruhi

tingkat stress seseorang sehingga dapat meningkatkan konsentrasi dan membuat

klien merasa tenang untuk mengatur ritme pernapasan menjadi teratur. Hal ini

akan mendorong terjadinya peningkatan kadar PaCO2 dan akan menurunkan kadar

pH sehingga terjadi peningkatan kadar oksigen (O2) dalam darah (Priharjo 2017).

E. Pengaruh Terapi Slow Stroke Back Massage Terhadap Nyeri

Slow stroke back massage merupakan manipulasi yang bertujuan untuk

merilekskan otot-otot yang tegang, melancarkan peredaran darah, dan limfe. Otot

yang tidak rileks akan mengganggu peredaran darah, pembuluh limfe, dan

persarafan. Bisa jadi pembuluh darah tertekan atau saraf-saraf terjepit. Akibatnya,
33

peredaran darah menjadi kurang lancar dan saraf menjadi kurang sensitif (Soeroso,

2018).

Terapi Slow stroke back massage merupakan salah satu treatment yang

dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri dan kaku. Slow stroke back

massage cara lembut membantu pasien merasa lebih segar, rileks, dan nyaman

selama proses operasi, namun terapi massage lebih banyak digunakan pada ibu

yang akan meakukan persalinan. Sebuah penelitian menyebutkan, ibu yang dipijit

20 menit setiap jam selama tahapan persalinan akan lebih bebas dari rasa sakit.

Hal itu terjadi karena pijat merangsang tubuh melepaskan senyawa endorphin

yang merupakan pereda sakit alami. Endorphin juga dapat menciptakan perasaan

nyaman dan enak. Dalam persalinan, pijat juga membuat ibu merasa lebih dekat

orang yang merawatnya. Sentuhan seseorang yang peduli dan ingin menolong

merupakan sumber kekuatan saat ibu sakit, lelah, dan kuat. Banyak bagian tubuh

ibu bersalin dapat dipijat, seperti kepala, leher, punggung, dan tungkai. Saat

memijat, pemijat harus memperhatikan respon ibu, apakah tekanan yang

diberikan sudah tepat (Soeroso, 2018).

Pada saat perawat mengajarkan teknik ini, akan sangat membantu bila

menghitung dengan keras bersama pasien pada awalnya. Beberapa penelitian,

bagaimanapun telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan

nyeri pascaoperasi. Ini memungkinkan karena relatif kecilnya peran otot-otot

skeletal dalam nyeri pascaoperasi atau kebutuhan pasien untuk melakukan teknik

relaksasi tersebut agar efektif. Teknik tersebut tidak mungkin dipraktekkan bila
34

hanya di ajarkan sekali, segera sebelum operasi. Pasien yang sudah mengetahui

tentang teknik relaksasi mungkin hanya perlu di ingatkan untuk menggunakan

teknik tersebut untuk menurunkan atau mencegah meningkatnya nyeri (Smeltzer

& Bare, 2018).

F. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Terapi Slow stroke


back massage Skala Nyeri

Terapi Relaksasi
Tarik Napas Dalam

Bagan 1

Kerangka Konsep

G. Hipotesis Penelitian

Ada perbedaan teknik relaksasi nafas dalam dan teknik slow stroke back

massage terhadap skala nyeri pada penderita low back pain di Puskesmas

Jayaloka Kabupaten Musi Rawas.


35

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah quasi experiment, dengan desain eksperimen yang

digunakan adalah two group before after atau pre-test and post test group design.

Rancangan ini terdiri dari dua kelompok eksperimen yang diberi perlakuan berupa

penerapan model (Notoatmodjo, 2015).

B. Kerangka Penelitian

O1 (Pre test) X (Diberikan Tindakan) O2 (Post Test)

Skala Nyeri Diberikan Teknik Skala Nyeri


Sebelum Relaksasi Tarik Napas Setelah
Dalam
Skala Nyeri Diberikan Teknik Slow Skala Nyeri
Sebelum Stroke Back Massage Setelah

Keterangan

O1 = Pre test (skala nyeri sebelum diberi tindakan)

X = Treatment atau perlakuan

O2 = post test (skala nyeri setelah diberikan tindakan)

Bagan 2
Kerangka Penelitian
C. Definisi Operasional
36

Tabel 1
Definisi Operasional Penelitian
No Variabel Defenisi Alat Cara ukur Hasil Skala
ukur ukur
Variabel Independen
1 Terapi Terapi yng SOP Memberikan terapi 0 : Nominal
Relaksasi dilakukan sebanyak 1 kali Sebelum
Tarik dengan cara sehari selama 10 1 :
Nafas menghembusk menit selama 7 hari Setelah
Dalam an nafas sesuai
SOP selama 10
menit pada
pasien low
back pain

2 Terapi Terapi pijit SOP Memberikan terapi 0 : Nominal


Slow yang dilakuakn sebanyak 1 kali Sebelum
Stroke sesuai SOP sehari selama 10 1 :
Back selama 10 menit selama 7 hari Setelah
Massage menit
Variabel Dependen
3 Skala Skala nyeri Skala Pasien menyebut-kan 1 – 10 Interval
nyeri sebelum diberi VAS rentang angka Nyeri sangat
tindakan terapi Tidak Nyeri : bila Hebat
pinjit atau pasien menunjukan
massage dan angka 0
terapi relaksasi Nyeri Ringan : bila
nafas pasien menyebutkan
nilai 1 – 3
Nyeri Sedang : bila
pasien menyebutkan
nilai 4 -5
Nyeri berat
terkontrol bila
pasien menyebutkan
nilai 6 – 8

D. Tempat dan Waktu Penelitian


37

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Jayaloka Kabupaten Musi Rawas

Sumatera Selatan pada tanggal 13 Juni – 13 Juli 2021

E. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek atau himpunan yang memiliki ciri yang

sama. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang mengalami low

back pain pada tahun 2020 sebanyak 31 orang.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi. Adapun teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini

menggunakan “Consecutive Sampling” yaitu suatu metode pemilihan sampel

yang dilakukan dengan memilih semua individu yang ditemui dan memenuhi

kriteria pemilihan sampai jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi (Dharma,

2016). Menurut Sugiyono (2018) besar sampel pada kelompok eksperimen

sebanyak 10–20 orang Maka pada penelitian ini sampel yang digunakan

sebanyak 10 orang yaitu 5 orang pada kelompok pemberian teri ralaksasi nafas

dalam dan 5 orang pada kelompok slow stroke back massage dengan kriteria

inklusi dalam penelitian ini adalah :

a. Berjenis kelamin laki – laki

b. Umur > 45 tahun

c. Memiliki lama menderita LBP yang sama

d. Bersedia menjadi responden


38

e. Aktif mengikuti terapi selama 7 hari.

f. Tidak mengkonsumsi obat analgetik

F. Pengumpulan Data, Pengolahan dan Analisa Data

1. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan data primer yaitu dengan cara memberikan pertanyaan kepada

pasien seberapa nyeri yang dirasakan oleh pasien sebelum diberikan tindakan

dengan menggunakan skala VAS dengan rentng 0 – 10. Terapi massage dan

terapi ralaksasi tarik nafas dalam menggunkan data primer dimana peneliti

langsung melakukan terapi selama 10 menit untuk masing – masing terapi

sesuai dengan standar operasional prosedur yang ditetapkan Puskesmas.

Pelaksanaan terapi relaksasi nafasa dalam dan terapi slow stroke back

massage (SSBM) diberikan pada responden selama seminggu, pada hari

pertama dilakukan pengukuran tingkat nyeri sebelum diberikan terapi relaksasi

nafas dalam dan terapi slow stroke back massage (SSBM) kemudian peneliti

melakukan relaksasi nafas dalam dan terapi slow stroke back massage (SSBM)

kepada responden selama 10 menit. Terapi relaksasi nafas dan terapi slow stroke

back massage (SSBM) dalam dilakukan selama 7 hari secara berturut – turut

dan pada hari ke-7 dilakukan pengukuran nyeri setelah diberikan terapi relaksasi

napas dalam dan terapi slow stroke back massage (SSBM). Adapun langkah –

langkahnya yaitu ;

Hari 1 : Pengukuran tingkat nyeri sebelum diberikan terapi kemudian


39

dilakukan terapi relaksasi nafas dalam pada kelompok terapi

relaksasi nafas dalam dan dilakukan terapi slow stroke back

massage pada kelompok slow stroke back massage.

Hari 2 : Pemberian terapi pada masing – masing kelompok

Hari 3 : Pemberian terapi pada masing – masing kelompok

Hari 4 : Pemberian terapi pada masing – masing kelompok

Hari 5 : Pemberian terapi pada masing – masing kelompok

Hari 6 : Pemberian terapi pada masing – masing kelompok

Hari 7 : Pemberian terapi pada masing – masing kelompok

2. Pengelolahan Data

Pengolahan data dilakukan secara bertahap sebagai berikut :

a. Editing

Dilakukan untuk meneliti kembali data yang terkumpul apakah telah sesuai

dengan yang diharapkan.

b. Coding

Pada tahap ini dilakukan pemberian kode terhadap data yang terkumpul

untuk mempermudah pengolahan data.

c. Processing
40

Setelah semua ini format pengumpulan data diperiksa dan melewati

pengkodean, maka langkah selanjutnya memperoses data dengan komputer

agar dapat dianalisa.

d. Cleaning

Merupakan kegiatan mengecek kembali data yang sudah diperoses apakah

ada kesalahan atau tidak pada masing-masing variabel yang sudah diproses

sehingga dapat diperbaiki dan dinilai.

e. Tabulating

Penyusunan data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

3. Analisa Data

a. Analisis Univariat

Untuk mendapatkan gambaran tentang distribusi frekuensi dan karakteristik

masing-masing variabel, data yang ditampilkan dalam bentuk tabel dan

analisa secara deskriptif.

P=F/N x 100 %

Keterangan :

P : Jumlah presentasi yang dicari

F : Jumlah frekuensi untuk alternatif jawaban

n : Jumlah subjek penelitian

Dari rumus diatas kualitas proporsi didapat dalam bentuk persentase yang

dapat diinterprestasikan dengan menggunakan skala (Notoatmodjo, 2015)


41

0% = tidak satupun dari responden

1 % - 25% = sebagian kecil dari responden

26 % -49 % = hampir sebagian dari responden

50 % = setengah dari responden

51 % -75 % = sebagian besar dari responden

76 % - 99 % = hampir seluruh responden

100 % = seluruh responden

b. Analisis Bivariat

Yaitu metode statistik yang digunakan oleh peneliti untuk mengetahui

pengaruh antara persentase variabel yang mempengaruhi, menggunakan

komputerisasi yaitu program SPSS. Untuk mengetahui perbedaan skala nyeri

sebelum dan sesudah dilakukan terapi massage dan terapi relaksasi nafas

dalam, digunakan uji statistik uji t independen dengan tingkat keyakinan 95%

atau a 0,05 dan bila ῤ ≤ 0,05 berarti ada perbedaan sedangkan bila ῤ > 0,05

yang berarti tidak ada pengaruh. Dengan menggunakan rumus :

X1 - X2
S/ √n

Keterangan

X1 : skala nyeri sesudah diberikan terapi


42

X2 : skalamnyeri sebelum diberikan terapi

S : Standar deviasi

n : Sampel

Sedangkan untuk mengetahui perbedaan skala nyeri antara terapi relaksasi

nafas dalam dengan terapi slow stroke back massage maka uji statistik yang

digunakan adalah independen sampel t test, karena sampel yang digunakan

adalah kelompok perlakuan yang berbeda.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


43

A. Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 13 Juni sampai dengan 12 Juli di

Puskesmas Jayaloka Kabupaten Musi Rawas dimana sebelum melakukan

penelitian terlebih dahulu peneliti melakukan persiapan seperti mengurus surat

ijin penelitian dari STIKes Bhakti Husada untuk di lanjutkan ke pihak Puskesmas

Jayaloka Kabupaten Musi Rawas. Desain penelitian dengan pedekatan pre test

and post test dengan metode eksperimental klinis dimana peneliti melihat skala

nyeri pada pasien low back pain sebelum dilakukan treatment dan mengukur

kembali skala nyeri setelah dilakukan treatment dengan alat ukur skala nyeri

Bourbanis dengan rentang skala 0 – 10. Sampel dalam penelitian hanya 10 orang

dimana 5 orang dengan pemberian terapi relaksasi nafas dalam dan 5 orang

dengan terapi massage. Tujuan penelitian ini peneliti ingin melihat terapi apa

yang paling efektif dalam menurunkan skala nyeri. Pengolahan analisis data

dilakukan dengan uji t independen dn paired t test melalui program SPSS versi

16 for windows.

1. Analisis Univariat

Tabel 2
44

Distribusi Frekuensi Skala Nyeri Sebelum dan Setelah Dilakukan Terapi


Relaksasi Nafas Pada Pasien Low Back Pain Di Di Puskesmas Jayaloka
Skala Nyeri Sebelum Skala Nyeri Setelah Selisih
5 4 1
6 5 1
4 3 1
5 4 1
4 4 0

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 2 diketahui bahwa terjadi

perubahan skala nyeri antara sebelum dan setelah diberikan terapi relaksasi

nafas dalam sebanyak 4 orang dengan penurunan 1. Hasil penelitian juga

didapatkan bahwa terdapat 1 orang tidak mengalami penurunan skala nyeri.

Tabel 3
Distribusi Frekuensi Skala Nyeri Sebelum dan Setelah Dilakukan Terapi
Slow Stroke Back Massage Pada Pasien Low Back Pain
Di Puskesmas Jayaloka Kabupaten Musi Rawas
Skala Nyeri Sebelum Skala Nyeri Setelah Selisih
6 3 3
5 3 2
6 3 2
5 3 2
5 2 2

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 3 diketahui bahwa seluruh

responden mengalami perubahan skala nyeri antara sebelum dan setelah

diberikan terapi slow stroke back massage (SSBM) dimana nilai minimum

penurunan skala nyeri 2 orang dan nilai tertinggi 3 dalam. Berdasarkan skala
45

bournes diketahui bahwa sebelum diberikan terapi nyeri berada pada kategori

nyeri sedang, setelah diberikan terapi SSBM nyeri menurun menjadi kategori

nyeri ringan. .

Tabel 4
Rata – Rata Skala Nyeri Sebelum dan Setelah Dilakukan Terapi Slow
Stroke Back Massage Pada Pasien Low Back Pain
Di Puskesmas Jayaloka Kabupaten Musi Rawas
Skala Nyeri Mean Minimum - Maximum SD
Sebelum 5, 40 5–6 0, 548
Setelah 2, 80 2–3 0, 447
SD = Standar Deviasi

Berdasarkan tabel 4 diatas menunjukkan bahwa sebelum dilakukan terapi

SSBM rata–rata skala nyeri responden adalah 5,40 (kategori nyeri sedang)

dengan skala minimum 5 dan skala maximum 6 namun setelah diberikan

terapi SSBM rata – rata skala nyeri menjadi 2,80 (kategori nyeri ringan)

dengan skala minimum 2 dan skala maximum 3.

Tabel 5
Rata – Rata Skala Nyeri Sebelum dan Setelah Dilakukan Terapi
Relaksasi Nafas Dalam Pada Pasien Low Back Pain
Di Puskesmas Jayaloka Kabupaten Musi Rawas

Skala Nyeri Mean Minimum - Maximum SD


Sebelum 4,80 4–6 0,837
Setelah 4,00 3–5 0,707
SD = Standar Deviasi
Berdasarkan tabel 5 diatas menunjukkan bahwa sebelum dilakukan terapi

relaksasi nafas dalam rata–rata skala nyeri responden adalah 4,80 (kategori
46

nyeri sedang) dengan skala minimum 4 dan skala maximum 6 namun setelah

diberikan terapi relaksasi nafas dalam rata – rata skala nyeri menjadi 4,00

(kategori nyeri sedang) dengan skala minimum 3 dan skala maximum 5.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan atau perbedaan

pada variabel independen dan dependen. Pada penelitian ini analisis bivariat

bertujuan untuk mengetahui perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah

dilakukan terapi relaksasi nafas dalam dengan terapi SSBM pasien low back

pain di Puskesmas Jayaloka. Pada analisis ini juga dilakukan uji paired sampel

t – test untuk mengetahui pengaruh terapi relaksasi nafas dalam dan terapi

SSBM terhadap skala nyeri pada pasien LBP. Hasil analisis dapat dilihat pada

tabel dibawah ini ;

Tabel 6
Pengaruh Skala Nyeri Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Terapi
Relakasi Nafas Dalam dan Terapi SSBM Pada Pasien LBP
Di Puskesmas Jayaloka Kabupaten Musi Rawas
Skala Nyeri Mean Standar T P value
Deviasi hitung
Terapi Relaksasi Nafas Dalam
Sebelum – Setelah 0, 8 0, 44 1 0,016
Terapi SSBM
Sebelum – Setelah 2, 6 0, 54 10 0, 000
Uji statistik = uji paired sampel t test

Berdasarkan tabel 6, diketahui bahwa uji paired sampel t – test

didapatkan hasil bahwa pada terapi relaksasi nafas dalam sebelum dan setelah
47

dengan p value 0,016 atau p < 0,05 artinya da pengaruh terapi relaksasi nafas

dalam terhadap skala nyeri pada pendeita LBP di Puskesmas Jayaloka.

Sedangkan pada kelompok pemberian terapi SSBM diketahui nilai p 0,00 atau

p < 0,05 artinya ada pengaruh terapi SSBM terhadap skala nyeri pada

penderita LBP di Puskesmas Jayaloka

Tabel 7
Perbedaan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Dan Teknik SSBM Terhadap
Skala Nyeri Pada Pasien LBP di Puskesmas Jayaloka
Skala Nyeri Levenes’s Test For T- test for equality of
Equality of Variances Means
F Sig t p
Sebelum -Setelah 0,86 0, 777 3,20 0,012

Uji statistik = uji independen sampel t test

Untuk melihat perbedaan terapi relaksasi nafas dalam dengan terapi

massage menggunakan uji statistik inependen sampel t test, uji ini digunakan

karena sampel pada perlakuan kelompok yang berbeda. Pada tabel 7

didapatkan bahwa p value 0,012 (p < 0,05) artinya terdapat perbedaan skala

nyeri yang diberikan terapi relaksasi nafas dalam dengan terapi SSBM pada

pasien LBP di Puskesmas Jayaloka Kabupaten Musi Rawas.

B. Pembahasan

1. Terapi Relaksasi Nafas Dalam


48

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 2 diketahui bahwa terjadi

perubahan skala nyeri antara sebelum dan setelah diberikan terapi relaksasi

nafas dalam sebanyak 4 orang dengan penurunan sebesar 1. Hasil penelitian

juga didapatkan bahwa terdapat 1 orang tidk mengalami penurunan skala

nyeri

Berdasarkan tabel 4 diatas menunjukkan bahwa sebelum dilakukan

terapi relaksasi nafas dalam rata–rata skala nyeri responden adalah 4,80

(kategori nyeri sedang) dengan skala minimum 4 dan skala maximum 6

namun setelah diberikan terapi relaksasi nafas dalam rata – rata skala nyeri

menjadi 4,00 (kategori nyeri sedang) dengan skala minimum 3 dan skala

maximum 5. Berdasarkan tabel 5, diketahui bahwa uji paired sampel t – test

didapatkan hasil bahwa pada terapi relaksasi nafas dalam sebelum dan setelah

dengan p value 0,016 atau p < 0,05 artinya da pengaruh terapi relaksasi nafas

dalam terhadap skala nyeri pada pendeita LBP di Puskesmas Jayaloka

Peneliti terlebih dahulu melakukan kontrak pertemuan sehari sebelum

dilakukan pengukuran skala nyeri sehingga pengukuran skala nyeri sebelum

dilakukan terapi dilakukan pada saat pagi hari dimana pasien sebelum minum

obat, hal ini dilakukan untuk memperkecil faktor perancu atau mencegah hasil

yang bias. Responden mengatakan bahwa penyakit LBP membuat terasa

nyeri, otot merasa tegang, merasa cemas ketika nyeri lebih terasa ketika

responden melakukan pergerakan Masing-masing responden memiliki


49

karakteristik yang berbeda dalam menghadapi nyeri, seperti memejamkan

mata, muka meringis.

Terapi relaksasi nafas dalam yang dilakukan yaitu terapi relaksasi

sesuai dengan standar operasional prosedur dengan pelaksanaan 3 kali selama

5 menit dengan interval 1 menit. Hal ini dilakukan agar responden dapat

merasakan perubahan setelah dilakukan terapi relaksasi saat pertama kali.

Selain itu peneliti menjaga suasana kamar agar responden tampak rileks dan

tenang hal ini dapat mempengaruhi hasil pengukurang skala nyeri. Setelah

dilakukan terapi responden merasakan rileks, tidak terjadi ketegangan otot,

merasa nyaman sesaat, tenang sehingga responden merasa melupakan rasa

sakit yang dideritanya dan tidak merasa cemas, nyeri sedikit berkurang ketika

melakukan pergerakan.

Smith et al, (2019), menyatakan bahwa teknik relaksasi mempunyai 4

keuntungan yaitu: bahwa dengan relaksasi dapat meregangkan otot dan

mengurangi stress, efektif dalam mengurangi nyeri, mudah untuk dipelajari

dan dikuasai seseorang, dapat mengurangi ketakutan dan kecemasan.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Smeltzer dan Bare (2016)

mengatakan bahwa manajemen non farmakologi dapat mengurangi nyeri

yaitu teknik relaksasi nafas dalam, teknik relaksasi ini sendiri merupakan

teknik yang efektif untuk mengontrol ketidaknyaman, mengurangi

ketengangan dan kecemasan. Potter & Perry (2016), mengatakan bahwa efek

relaksasi antara lain: Penurunan nadi, tekanan darah, dan pernapasan,


50

penurunan konsumsi oksigen, penurunan ketegangan otot, peningkatan

kesadaran global, kurang perhatian terhadap stimulus lingkungan , tidak ada

perubahan posisi yang volunteer, perasaan damai dan sejahtera, periode

kewaspadaan yang santai, terjaga, dan dalam.

Priharjo (2019), pada saat dilakukan terapi relaksasi nafas dalam maka

hormon adrenalin di dalam darah menurut sehingga pasien merasakan tenang

dan mempermudah dalam mengatur pola pernafasan yang akhirnya dengan

pernafasan teratur oksigen dalam darah meningkat dan tekanan darah

menurun sehingga pasien merasa nyeri berkurang.

Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan

merelaksasikan ketegangan otot yang terkandung rasa nyeri beberapa

penelitian menunjukakan bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri

pasca operasi. Teknik relaksasi mungkin perluh diajarkan beberapa kali agar

mencapai hasil yang optimal. Klien yang telah mengetahui teknik ini mungkin

hanya perlu diinstruksikan menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan

atau mencegah meningkatkan nyeri (Potter dan Perry, 2016).

Barbara (2012) menyatakan bahwa usia sangat berpengaruh terhadap

toleransi nyeri, semakin tua umur manusia makin bertambah toleransi

terhadap nyeri. Faktor jenis kelamin, responden pada penelitin ini tingkat

persepsi pria terhadap nyeri berbeda dengan wanita , wanita lebih sensitife

terhadap rangsangan nyeri dan pria lebih kuat menahan rasa nyeri seperti

nyeri punggung, nyeri pembedahan dan nyeri kesemutan.


51

2. Terapi SSBM

Berdasarkan tabel 3 diatas menunjukkan bahwa sebelum dilakukan

terapi SSBM rata–rata skala nyeri responden adalah 5,40 (kategori nyeri

sedang) dengan skala minimum 5 dan skala maximum 6 namun setelah

diberikan terapi SSBM rata – rata skala nyeri menjadi 2,80 (kategori nyeri

ringan) dengan skala minimum 2 dan skala maximum 3.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 2 diketahui bahwa seluruh

responden mengalami perubahan skala nyeri antara sebelum dan setelah

diberikan terapi slow stroke back massage (SSBM) dimana nilai minimum

penurunan skala nyeri 2 orang dan nilai tertinggi 3 dalam. Berdasarkan skala

bournes diketahui bahwa sebelum diberikan terapi nyeri berada pada kategori

nyeri sedang, setelah diberikan terapi SSBM nyeri menurun menjadi kategori

nyeri ringan. .

Hasil penelitian responden mengatakan nyeri yang mereka alami sudah

mereka rasakan sejak 1-3 tahun yang lalu. Responden mengatakan banyak

cara yang sudah mereka lakukan untuk mengatasi nyeri LBP yang mereka

alami. Baik dengan cara tradisional menggunakan ramuan-ramuan sejenis

jamu yang kemudian mereka konsumsi sampai dengan cara menempelkan

ramuan yang mereka tumbuk dan kemudian di tempelkan di area yang terasa

sakit. Selain dengan cara tradisional mereka juga menggunakan obat-obata

farmakologi untuk mengatasi permasialahan nyeri yang mereka rasakan.


52

Persepsi yang dirasakan responden adalah nyeri sedang hal tersebut

dikarenakan tipe nyeri LBP termasuk nyeri kronis di mana klien sudah pernah

merasakan nyeri sebelumnya dan berlangsung lebih dari 6 bulan. Skala nyeri

yang dipersepsikan oleh responden berbeda-beda meskipun stimulus diberikan

dalam intensitas sama. Perbedaan persepsi tersebut disebabkan oleh kadar

endorphin, individu satu dengan lainnya berbeda dan nyeri merupakan

pengalaman yang bersifat pribadi, serta dipengaruhi oleh faktor usia, dan

pengalaman nyeri. Refleksi perubahan kimia dari kartilago artikuler seiring

dengan usia menyebabkan perubahan dalam fungsi kondrosit dan peningkatan

perubahan pada komposisi tulang rawan sendi. Adanya pengalaman nyeri

sebelumnya membantu individu untuk dapat melakukan tindakan pada saat

nyeri berikutnya.

Selain itu sdanya perbedaan sensasi nyeri yang dirasakan para lansia

dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah lamanya

responden mengalami penyakit sehingga responden dengan menderita sakit

lebih dahulu akan merasakan nyeri sedang saja, karena responden sudah

sering merasakan nyeri Faktor kedua adalah usia dimana nyeri sedang terjadi

pada usia dengan rata – rata 60 tahun.

Pemberian stimulasi kutaneus: slowstroke back massage selama 10

menit pada responden penelitian memperlihatkan hasil mayoritas 100%

responden mengalami penurunan skala nyeri, hal ini dapat dilihat pada tabel 4

diatas menunjukkan bahwa sebelum dilakukan terapi SSBM rata–rata skala


53

nyeri responden adalah 5,40 (kategori nyeri sedang) dengan skala minimum 5

dan skala maximum 6 namun setelah diberikan terapi SSBM rata – rata skala

nyeri menjadi 2,80 (kategori nyeri ringan) dengan skala minimum 2 dan skala

maximum 3.

Berdasarkan distribusi frekuensi diketahui bahwa setelah diberikan

terapi slow stroke back massage skala nyeri tingkat ringan dari tingkat sedang

Artinya adanya penuruanan sensari nyeri antara sebelum dan setelah dan terapi

slow stroke back massege terbukti dapat menurunkan sensasi nyeri. Setelah

dilakukan terapi responden merasakan rileks, tidak terjadi ketegangan otot,

merasa nyaman sesaat, tenang sehingga responden merasa melupakan rasa

sakit yang dideritanya dan tidak merasa cemas, nyeri sedikit berkurang ketika

melakukan pergerakan.

Mekanisme penurunan nyeri ini dapat dijelaskan dengan teori gate

control yaitu intensitas nyeri diturunkan dengan dengan memblok transmisi

nyeri pada gerbang (gate) dan teori Endorphin yaitu menurunnya intensitas

nyeri dipengaruhi oleh meningkatnya kadar endorphin dalam tubuh. Dengan

pemberian terapi back massage dapat merangsang serabut A beta yang banyak

terdapat di kulit dan berespon terhadap masase ringan pada kulit sehingga

impuls dihantarkan lebih cepat. Pemberian stimulasi ini membuat masukan

impuls dominan berasal dari serabut A beta sehingga pintu gerbang menutup

dan impuls nyeri tidak dapat diteruskan ke korteks serebral untuk

diinterpretasikan sebagai nyeri (Guyton & Hall, 2017). Di samping itu, sistem
54

kontrol desenden juga akan bereaksi dengan melepaska endorphin yang

merupakan morfin alami tubuh sehingga memblok transmisi nyeri dan persepsi

nyeri tidak terjadi (Potter & Perry, 2015).

Smith et al, (2009), menyatakan bahwa teknik relaksasi mempunyai 4

keuntungan yaitu: bahwa dengan relaksasi dapat meregangkan otot dan

mengurangi stress, efektif dalam mengurangi nyeri, mudah untuk dipelajari

dan dikuasai seseorang, dapat mengurangi ketakutan dan kecemasan. Adanya

penurunan sensari nyeri setelah diberikan terapi slow stroke back massege

disebabkan karena terapi slow stroke back massege memberikan relaksasi pada

otot otot sehingga responden merasa nyeri berkurang.

3. Perbedaan Skala Nyeri Terapi Relaksasi Nafas Dalam dan Terapi

Massage

Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan uji uji statistik

inependen sampel t test, didapatkan bahwa p value 0,012 (p < 0,05) artinya

terdapat perbedaan skala nyeri yang diberikan terapi relaksasi nafas dalam

dengan terapi SSBM pada pasien LBP di Puskesmas Jayaloka. Pemberian

stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage terhadap responden penelitian

didapatkan mayoritas responden mengalami penurunan intensitas nyeri, yaitu

pada tingkat nyeri sedang menjadi nyeri ringan. Penurunan nilai intensitas

nyeri setiap individu berbeda-beda walaupun stimulus yang menyebabkan

nyeri dan perlakuan yang diberikan sama karena nyeri bersifat individu

sehingga respons yang terjadi setelah perlakuan tidak dapat disamakan dengan
55

orang lain. Perbedaan nyeri yang adekuat atau tidak di masa lalu akan

memengaruhi reaksi individu terhadap nyeri. Jadi jika nyerinya teratasi dengan

cepat dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri di

masa mendatang dan dapat mentoleransi nyeri dengan lebih baik. Namun jika

individu pernah mengalami nyeri tanpa pernah sembuh maka ansietas dan

bahkan rasa takut dapat muncul yang dapat menguatkan persepsi terhadap

nyeri. Akibatnya dengan tindakan tertentu untuk mengurangi nyeri kadang sulit

berhasil, intensitas nyeri yang dirasakan cenderung tetap (tidak terjadi

penurunan). Faktor-faktor yang meningkatkan kesadaran terhadap stimulus

(misalnya ansietas dan gangguan tidur) meningkatkan persepsi nyeri. Ansietas

yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi

pasien tentang nyeri. Pemberian stimulasi kutaneus: slow-stroke back massage

pada responden penelitian sedang mengalami gangguan tidur, dapat

memengaruhi intensitas nyeri sehingga nyeri yang dirasakan cenderung tetap.

Gaya koping juga dapat memengaruhi kemampuan individu dalam

mengatasi nyeri karena nyeri dapat menyebabkan seseorang merasa kehilangan

kontrol terhadap lingkungan atau hasil akhir dari peristiwa-peristiwa yang

terjadi. Klien sering kali menemukan berbagai cara untuk mengembangkan

koping terhadap efek fisik dan psikologis dari nyeri seperti berkomunikasi

dengan keluarga pendukung, melakukan latihan atau menyanyi. Gaya koping

yang tidak adekuat dapat mengakibatkan kemampuannya mengatasi nyeri

berkurang sehingga persepsi nyeri yang dirasakan cenderung tetap.


56

Mekanisme penurunan nyeri ini dapat dijelaskan dengan teori gate

control, yaitu intensitas nyeri diturunkan dengan memblok transmisi nyeri pada

gerbang (gate), dan teori endorphin, yaitu menurunnya intensitas nyeri

dipengaruhi oleh meningkatnya kadar endorphin dalam tubuh sehingga

persepsi nyeri individu menurun. Setelah dilakukan stimulasi kutaneus: slow-

stroke back massage, maka serabut saraf A beta yang banyak terdapat di kulit

akan terangsang sehingga pintu gerbang tertutup dan stimulus nyeri tidak

diteruskan ke otak. Di samping itu, endorphin juga dilepaskan sehingga

kadarnya meningkat. Kedua hal tersebut menyebabkan terjadinya penurunan

intensitas dan nilai skala nyeri yang dirasakan oleh subjek penelitian. Dengan

demikian pemberian stimulasi kutaneus: slowstroke back massage dapat

dijadikan sebagai alternatif pilihan untuk menurunkan intensitas nyeri

osteoartritis pada lansia secara non farmakologis yang relatif tidak

menimbulkan efek samping.

Sesuai dengan Gate Control Theorybahwa Stimulus Kutaneus dapat

menurunkan nyeri, bekerja dengan cara mendorong pelepasan endorfin,

sehingga memblok transmisi stimulus nyeri. Cara lainnya adalah dengan

mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A-beta yaitu serat saraf bermielin

yang besar sehingga mengantarkan impuls ke sistem saraf pusat jauh lebih

cepat dan lebih besardari pada serabut A delta atau serabut C yang, sehingga

menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan A-delta berdiameter kecil


57

sekaligus menutup gerbang sinap untuk transmisi impuls nyeri (Potter & Perry,

2005).

Begitu juga dengan penelitan yang dilakukan Mok E& Woo CP (2004),

adanya penurunan kecemasan dan intensitas nyeri bahu pada lansia yang di

rawat di rumah sakit dengan stroke serta perubahan positif pada denyut jantung

dan tekanan darah, yang mengindikasikan relaksasi pada lansia yang diberikan

stimulus kutaneus slow back stroke massage. Setelah dilakukan stimulasi

kutaneus slow stoke back massage, seluruh lansia mengalami penurunan skala

nyeri. Pada penelitian ini, setelah diberikan stimulus kutaneus slow stroke back

massage. Individu mengekspresikan nyeri berbeda-beda tergantung pada

faktor-faktor yang mempegaruhi nyeri yaitu faktor psikologis, kognitif

berintekrasi, dan faktor neurofisiologis disamping itu juga faktor pengalaman

masa lalu terhadap nyeri, usia, budaya, ansietas, makna nyeri dan gaya koping

(Potter & Perry, 2005). Penggunaan stimulus kutaneus yang benar dapat

mengurangi persepsi nyeri dan membantu mengurangi ketegangan otot yang

dapat menurunkan nyeri, pelebaran pembuluh darah dan memperbaiki

peredaran darah di dalam jaringan tersebut, meningkatkan relaksasi fisik dan

psikologis (Potter & Perry, 2005). Beberapa penelitian telah membuktikan

keefektifan stimulus ini pada berbagai masalah kesehatan, seperti penelitian

yang dilakukan oleh Mok & Woo (2004) membuktikan adanya pengaruh

stimulasi kutaneus slow stroke back massage terhadap penurunan kecemasan

dan intensitas nyeri bahu pada lansia yang dirawat di rumah sakit dengan
58

strokeserta perubahan positif pada denyut jantung dan tekan darah, yang

mengindikasikan relaksasi pada lansia.

Penelitian Rowe & Alfred (1999), juga membuktikan bahwa adanya

efektifitas dari stimulus kutaneus slow stroke back massage pada lansia yang

menderita alzaimer dalam perilaku gelisah dengan menggunakan scala rating

perilaku gelisah scoring guide. Penanganan nyeri pada lansia yang mengalami

atritis rheumatoid dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan terapi

nonfarmakologi, tetapi terapi farmakologi yang diberikan dalam jangka waktu

lama akan berefek samping pada gastrointestinal seperti pendarahan, ulkus

lambung, diare dan retensi cairan. Sehingga diharapkan perawat dan lansia

dapat mengaplikasikan pemberian Stimulus kutaneus slow-stroke back

massage untuk mengurangi intensitas nyeri pada nyeri dismenore.

Teknik relaksasi tarik napas dalam merupakan suatu bentuk asuhan

keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada pasien

bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi

secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara perlahan.

Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi tarik napas dalam

juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Henni Septani (2013)

dengan judul hubungan terapi relaksasi nafas dalam dengan penurunan skala

nyeri pada pasien appendiktomi di RS. Bhayangkara. Hasil penelitian

didapatkan hubungan dimana nilai p value < 0,005. Penelitian Erna Melastuti,
59

Lia Ulvi Avianti (2016) terdapat perbedaan yang signifikan atau bermakna

antara kualitas tidur sebelum dengan sesudah diberi terapi slow stroke back

massage.

Hasil penelitian ini diperkuat oleh teori Priscillaa, Esi Afriyantia (2016)

dengan judul Pengaruh Stimulus Kutaneus Slow-Stroke Back Massage

Terhadap Skala Nyeri Dismenore Primer Pada Mahasiswi Stikes Amanah di

Padang. Hasil penelitian ini memperlihatkan lebih dari separuh mahasiswi

(75%) mahasiswi mengalami tingkat nyeri dismenore sedang dengan skala

nyeri 5,67 ± 1,56. Setelah diberikan stimulus slow-stroke back message

(posttest) lebih dari separuh (58,2 %) mahasiswi mengalami tingkat nyeri

dismenore ringan dengan skala nyeri 4 ± 2,09. Kesimpulan dari penelitian ini

adalah stimulus kutaneus slow-stroke back message dapat menurunkan skala

nyeri dismenore pada mahasiswi Stikes amanah Padang.

BAB V
60

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data tentang perbedaan teknik

relaksasi nafas dalam dan teknik slow stroke back massage terhadap skala nyeri

pada penderita low back pain di Puskesmas Jayaloka. maka dapat ditarik

simpulan sebagai berikut:

1. Responden sebelum dilakukan terapi relaksasi nafas dalam rata-rata skala

nyeri 4,80 pada penderita low back pain di Puskesmas Jayaloka Kabupaten

Musi Rawas

2. Responden sebelum dilakukan terapi SSBM rata-rata skala nyeri 5,40 pada

penderita low back pain di Puskesmas Jayaloka Kabupaten Musi Rawas

3. Responden setelah dilakukan terapi relaksasi nafas dalam rata-rata skala nyeri

4,00 pada penderita low back pain di Puskesmas Jayaloka Kabupaten Musi

Rawas

4. Responden setelah dilakukan terapi SSBM rata-rata skala nyeri 2,80 pada

penderita low back pain di Puskesmas Jayaloka Kabupaten Musi Rawas

5. Ada perbedaan teknik relaksasi nafas dalam dan teknik slow stroke back

massage terhadap skala nyeri pada penderita low back pain di Puskesmas

Jayaloka Kabupaten Musi Rawas

B. Saran
61

1. Secara Teoritis

Secara umum penelitian ini disarankan kepada masyarakat dan mahasiswa

untuk melatih terapi slow stroke back massage untuk menurunkan skala nyeri.

Terapi tersebut merupakan penatalaksanaan secara non farmakologi. Terapi

sebaiknya dilakukan sesering mungkin sesuai dengan standar yang

operasional yang ada. Selain itu kepada peneliti selanjutnya hendaknya

meneliti tentang faktor lain yang dapat menurunkan skala nyeri. Selain itu

hasil penelitian ini dapat dimasukan dan menambah bahan ajar kedalam mata

kuliah keperawatan medical bedah dalam penatalaksanaan non farmakologis

dalam penanganan nyeri.

2. Secara Praktis

Secara umum penelitian ini disarankan kepada masyarakat dan

mahasiswa untuk melatih terapi SSBM untuk menurunkan skala nyeri. Terapi

tersebut merupakan penatalaksanaan secara non farmakologi. Secara praktis

sebaiknya perawat dalam menangani pasien untuk menurunkan skala nyeri

hendaknya menggunakan penatalaksanaan non farmakologi baik secara terapi

ralaksasi nafas dalam maupun terapi SSBM. Terapi relaksasi nafas dalam

dilakukan sebaiknya 3 kali sehari dengan interval sesering mungkin dan

perawat sebaiknya mengajarkan kepada pasien bagaimana cara melakukan

terapi relaksasi nafas dalam sehingga pasien dapat melakukan terapi relaksasi

dirumah tanpa bantuan perawat. Terapi SSBM sebaiknya dilakukan perawat

dengan memperhatikan kondisi pasien sehingga pasien merasa tenang dan


62

nyaman. Tekanan yang diberikan pada saat terapi SSBM dengan

menggunakan kekuatan yang lembut sehingga pasien tidak merasa nyeri.

Anda mungkin juga menyukai