Anda di halaman 1dari 16

CASE BASED DISCUSSION

TINEA KRURIS
Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

DisusunOleh:

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Judul : TINEA KRURIS

Semarang, September 2019


Mengetahui dan Menyetujui
Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSI Sultan Agung Semarang

Pembimbing

BAB I
PENDAHULUAN

2
A. Latar belakang
Tinea kruris adalah mikosis superfisial atau disebut juga Eczema
marginatum, Dobie itch, Jockey itch, Ringworm of the groin. 15 yang termasuk
golongan dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan
ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang
berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genitokrural saja,
atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau
bagian tubuh yang lain.Tinea kruris (jock itch) merupakan dermatofitosis pada sela
paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal. Trichophyton rubrum (T.
Rubrum) merupakan penyebab utama, diikuti oleh Trichophyton mentagrophytes dan
Epidermophyton floccosum (E. Floccosum)Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes dan Epidermophyon floccosum merupakan dermatofit yang menyukai
daerah yang hangat dan lembab pada intertriginosa dan kulit yang mengalami oklusi
seperti disela paha. Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi
berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada bagian tengahnya.
Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfik).
Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik.
Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan (Siswati, 2011).

B. Tujuan
1. Mengetahui definisi dan epidemiologi pada penyakit Tinea Kruris
2. Mengetahui etiologi dan predisposisi pada penyakit Tinea Kruris
3. Mengetahui patofisiologi pada penyakit Tinea Kruris
4. Mengetahui penegakan diagnosis pada penyakit Tinea Kruris
5. Mengetahui penatalaksanaan pada penyakit Tinea Kruris
6. Mengetahui prognosis pada penyakit Tinea Kruris
7. Mengetahui komplikasi pada penyakit Tinea Kruris

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tinea kruris adalah penyakit dermatofitosis (penyakit pada jaringan yang
mengandung zat tanduk) yang disebabkan infeksi golongan jamur dermatofita pada
daerah kruris (sela paha, perineum, perianal, gluteus, pubis) dan dapat meluas ke
daerah sekitarnya (Berman, 2011).

B. Etiologi dan Predisposisi

1. Etiologi
Penyebab Tinea kruris sendiri sering kali oleh Epidermophyton floccosum,
namun dapat pula oleh Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, dan
Trichophyton verrucosum (Siswati, 2011).

a. Epidermophyton floccosum
Genus Epidermophyton memiliki karakteristik berdinding halus,
memproduksi 2-4 sel makrokonidia. Tidak menghasilkan mikrokonidia.
Epidermophyton floccosum memiliki gambaran makroskopis berbentuk seperti
bulu dengan warna kuning kehijauan pada permukaan dan kuning kecoklatan pada
bagian dasar sedangkan gambaran mikroskopis tidak ada dijumpai mikrokonidia
tetapi dijumpai banyak makrokonidia berbentuk gada. berdinding tipis dan halus.

4
b. Trichophyton
Genus Trichophyton memproduksi banyak mikrokonidia dengan karakteristik
berbentuk piriform sampai clavate dengan ukuran 2-3 x 2-4 mm dan sedikit atau
tidak ada makrokonidia yang memiliki karakteristik berdinding tipis dan halus,
berbentuk clavate sampai fusiform dengan ukuran 4-8 x 8-50 mm in size.

 Trichophyton mentagrophytes
Trichophyton Mikroskopis: Dijumpai banyak mikrokonidia bulat yang
bergerombol, jarang yang berbentuk cerutu, terkadang dijumpai hifa
spiral. mentagrophytes Makroskopis: Koloni berwarna putih krem dengan
permukaan seperti gundukan. Dasar tidak berwarna hingga coklat.

 Trichophyton rubrum
Makroskopis: Koloni berwarna putih bertumpuk di tengah dan maroon
pada tepinya, berwarna maroon pada bagian dasar. Mikroskopis: Beberapa
mikrokonida berbentuk seperti tetesan air, dan makrokonidia berbentuk
pensil jarang di jumpai

5
 . Trichophyton verrucosum
Makroskopis: Koloni kecil dan bertumpuk, kadang datar, warna putih hingga abu
kekuningan. Mikroskopis: Rantai klamikonidia pada SDA. Makrokonidia yang panjang
dan tipis seperti “ekor tikus” (Wolff,K, 2012).

2. Predisporsisi
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi jamur ini adalah iklim
panas, lembab, higiene sanitasi, pakaian serba nilon, pengeluaran keringat yang
berlebihan, trauma kulit, dan lingkungan. Maserasi dan oklusif pada regio kruris
memberikan kontribusi terhadap kondisi kelembaban sehingga menyebabkan
perkembangan infeksi jamur. Tinea kruris sangat menular dan epidemik minor
dapat terjadi pada lingkungan sekolah dan komunitas semacam yang lain. Tinea
kruris umumnya terjadi akibat infeksi dermatofitosis yang lain pada individu yang
sama melalui kontak langsung dengan penderita misalnya berjabat tangan, tidur
6
bersama, dan hubungan seksual. Tetapi bisa juga melalui kontak tidak langsung
melalui benda yang terkontaminasi,”pakaian, handuk, sprei, bantal dan lain-lain”.
Obesitas, penggunaan antibiotika, kortikosteroid serta obat-obat imunosupresan
lain juga merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit jamur (Kurniati,
2008).

C. Patofisiologi
Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari. Infeksi
dermatofita melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit, penetrasi
melalui dan diantara sel, dan perkembangan respon pejamu.
a. Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa
melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban,
kompetisi dengan flora normal dan sphingosin yang diproduksi oleh
keratinosit. Asam lemak yang di produksi oleh kelenjar sebasea juga bersifat
fungistatik.

b. Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus


stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses
desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim
mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga
membantu penetrasi jamur ke keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika
jamur mencapai lapisan terdalam epidermis.

c. Perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status imun


penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau
Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting
dalam melawan dermatofita. Pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita
sebelumnya, Infeksi primer menyebabkan inflamasi dan tes trichopitin hasilnya
negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh
peningkatan pergantian keratinosit. (Sri L, 2015).

7
D. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis yaitu adanya kelainan
kulit berupa lesi berbatas tegas dan peradangan dimana pada tepi lebih nyata
daripada bagian tengahnya. Pemeriksaan mikologi ditemukan elemen jamur pada
pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopik langsung memakai larutan KOH
10-20%.Pemeriksaan KOH paling mudah diperoleh dengan pengambilan sampel
dari batas lesi. Hasil pemeriksaan mikroskopis KOH 10 % yang positif, yaitu
adanya elemen jamur berupa hifa yang bercabang dan atau artrospora.
Pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur di perlukan bahan klinis, yang
dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku (Wasita, 2005).

E. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tinea kruris dapat dibedakan menjadi dua yaitu higienis


sanitasi dan terapi farmakologi. Melalui higienis sanitasi, tinea kruris dapat
dihindari dengan mencegah faktor risiko seperti celana dalam yang digunakan,
hendaknya dapat menyerap keringat dan diganti setiap hari. Selangkangan atau
daerah lipat paha harus bersih dan kering. Hindari memakai celana sempit dan
ketat, terutama yang digunakan dalam waktu yang lama. Menjaga agar daerah
selangkangan atau lipat paha tetap kering dan tidak lembab adalah salah satu
faktor yang mencegah terjadinya infeksi pada tinea kruris.Sedangkan terapi
farmakologinya sebagai berikut:

(a) Topikal : salep atau krim antimikotik. Lokasi lokasi ini sangat peka , jadi
konsentrasi obat harus lebih rendah dibandingkan lokasi lain, misalnya asam
salisilat,asam benzoat, sulfur dan sebagainya.

(b) Sistemik : diberikan jika lesi meluas dan kronik ;


Dewasa:
Griseofulvin 500mg /hari selama 2-4 minggu
Terbinafin 250 mg/hari selama 2-4 minggu
itrakonazole 100mg /hari selama 1 minggu
Flukonazole 150-300mg/minggu selama 40-6 minggu

8
Anak:
Terbinafin 3-6mg/kgbb/hari selama 2 minggu
Itrakenazole 5mg/kgbb/hari selama 1 minggu
Griseovulvin10-20mg/kgbb/hari selama 2-4 minggu
(Wolff,K, 2012).

F. Prognosis
Prognosis Tinea kruris akan baik, asalkan kelembaban dan kebersihan kulit
selalu dijaga (Ichsan, 2010).

G. Komplikasi
Pada penderita Tinea kruris dapat terjadi komplikasi infeksi sekunder oleh
organisme candida atau bakteri. Pemberian obat steroid topikal dapat mengakibatkan
eksaserbasi jamur sehingga menyebabkan penyakit menyebar (Sri L, 2015).

9
BAB III
LAORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. D
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jl. Raya Kaligawe KM 5,6 Genuk Sari Semarang
Tanggal Periksa : 02 September 2019

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 02 September
2019 di bangsal Poliklinik Kulit dan Kelamin RSI Sultan Agung Semarang pukul
11:30 WIB
a. KeluhanUtama
 Keluhan Subjektif : gatal pada lipat paha kanan dan kiri
 Keluhan Objektif : Kulit pada kedua lipat paha bersisik
b. Riwayat Penyakit Sekarang
 Lokasi : Lipat paha kanan dan kiri
 Onset : sejak 3 hari
 Kualitas : gatal dirasakan mengganggu
 Kuantitas : gatal dirasakan terus-menerus, semakin hari
semakin memberat dan terbatas hanya daerah
lipat paha saja
 Faktor memperberat : Gatal terutama pada saat pasien berkeringat
 Faktor memperingan : Keluhan berkurang setelah Memakai bedak
kaladin
 Gejala penyerta : Tangan terasa perih
c. Kronologi : Pasien datang dengan keluhan utama gatal pada kedua
lipat pahanya. Keluhan gatal dirasakan 3 hari ini. Pasien mengaku awalnya pasien
mempunyai kebiasaan menggunakan celana yang panjang dan ketat saat

10
beraktifitas sehari-hari. Sehari setelah itu muncul gatal pada kedua lipat paha .
Karena gatal pasien suka menggaruknya dan beberapa hari muncul kulit bersisik
, berbatas tegas ,terdapat perbedaan warna dengan kulit sekitar. Keluhan gatal
semakin hari semakin bertambah.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
 Dulu tidak pernah mengalami hal serupa
 Alergi makanan disangkal
 Alergi obat disangkal
 Alergi makanan udang
 Tidak memiliki Riwayat DM

e. Riwayat Penyakit Keluarga


 Keluhan serupa disangkal
 Alergi Obat dan Makanan disangkal
e. Riwayat Sosial Ekonomi
 Biaya pengobatan menggunakan BPJS
 Kesan ekonomi cukup

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 02 September 2019 di bangsal Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSI Sultan Agung Semarang pukul 11:30 WIB

A. Status Generalis:

 Tensi : 110/70 mmHg


 Nadi : 85 kali/menit
 Keadaan Umum : Composmentis
 Thorak : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Ekstremitas
a. Ekstremitas atas : tidak ditemukan kelainan
b. Ekstremitas bawah : tidak ditemukan kelainan

11
B. Status Dermatologik

1. Inspeksi

Gambar 1 Lokasi Lipat paha kanan dan kiri

 Lokasi I : Lipat paha kanan dan kiri


 UKK : ditemukan Hiperpigmentasi berbatas tegas, disertai tepi aktif
dengan bagian tengah tenang (central healing) disertai adannya skuama .

2. Palpasi
Suhu perabaan sama dengan kulit sekitar, nyeri (-), permukaan tidak rata dan
bersisik
3. Auskultasi
Tidak dilakukan

12
IV. DIAGNOSIS BANDING
 Tinea Inguinal
 Erythrasma
 Candidiosis Kutis
 Psoariasis

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG (YANG DIUSULKAN)


 Pemeriksaan KOH
 Pemeriksaan Lampu Wood
 Pengcatan Gram

VI. DIAGNOSIS KERJA


Tinea Inguinal

VII. PENGOBATAN
Itrakonazole 100 mg 2x1
Astaxantin 1x1
Loratadin 10 mg 1x1
Ketakonazole 2% Cream

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad sanam : ad bonam
Ad komestikan : dubia ad bonam

IX. ANJURAN/SARAN
 Jaga Higienitas
 Jangan menggunakan celana terlalu ketat

13
BAB IV
KESIMPULAN

1. Tinea kruris adalah penyakit dermatofitosis (penyakit pada jaringan yang


mengandung zat tanduk) yang disebabkan infeksi golongan jamur dermatofita pada
daerah kruris (sela paha, perineum, perianal, gluteus, pubis) dan dapat meluas ke
daerah sekitarnya
2. Penyebab Tinea kruris sendiri sering kali oleh Epidermophyton floccosum, namun
dapat pula oleh Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, dan
Trichophyton verrucosum.
3. Gejala klinis Penderita merasa gatal dan kelainan lesi berupa plakat berbatas tegas
terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit (polimorfik). Bentuk lesi yang
beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi menahun.28
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas
tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di
tepi lesi. Daerah di tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih
aktif yang sering disebut dengan central healing.
4. Gold standar pada Tinea Kruris menggunakan Pemeriksaan KOH
5. Penatalaksanaan tinea kruris dapat dibedakan menjadi dua yaitu higienis
sanitasi dan terapi farmakologi. Melalui higienis sanitasi, tinea kruris dapat
dihindari dengan mencegah faktor risiko seperti celana dalam yang digunakan,
hendaknya dapat menyerap keringat dan diganti setiap hari. Sedangkan terapi
farmakologi berupa anti jamurdigunakan untuk membunuh jamur, antihistamin
digunakan untuk mengurangi gatal.

14
DAFTAR PUSTAKA

Kurniati., Rosita, C., 2008. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Surabaya ; Fakultas Kedokteran


UNAIR.
Ichsan, Zanuar., 2010. Dermatofitosis. Fakultas Kedokteran UNS, Bookreading
Adiguna, MS., 2004. Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia. Dalam : Dermatomikosis
Superfisialis. Jakarta; Balai Penerbit FKUI.
Agusni, I., Kasansengari, US., 2009. Gambaran Klinis Penyakit-Penyakit Jamur Superfisialis
pada Kulit. Dalam : Kumpulan Naskah Dermato-Mikologi. Surabaya : FK UNAIR.
Sri, L., 2015. Imunologi Dermatomikosis Superfisialis. Dalam : Dermatofitosis Superfisialis.
Jakarta ; Balai Penerbit FKUI.
Siswati, Agnes Sri., 2011. Dermatologi dan Venerologi. Diktat kuliah. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada.
Wasitaatmadja, Syarif M., 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, editor Hamzah Mochtar,
Aisah Siti. Ed.4. Jakarta : FKUI.
Wolff,K., Goldsmith,L.,2012.Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine, 8th.New
York:McGraw-Hill

15
Tepi Aktif adalah lesi berbatas tegas yang terdiri atas eritma,skuama, terkadadang vesikel
dan papul. Bagian dari tepi lesi tampak tanda-tanda peradangan dibandingkan dengan
tengahnya yang cenderung menyembuh.

16

Anda mungkin juga menyukai