Anda di halaman 1dari 28

MODUL KETERAMPILAN KLINIS

BLOK 7.5
MODUL KEJANG

Disusun oleh :
1. dr. Nenden Nursyamsi Agustina, Sp. A
2. dr. Mohamad Fakih, M.M
3. dr. Dwi Arini Ernawati, M.PH

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2019
1. TUJUAN PEMBELAJARAN

a. Mahasiswa mampu memahami definisi kejang

b. Mahasiswa mampu menganalisis anamnesis dari berbagai jenis kejang

c. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik terkait kejang

d. Mahasiswa mampu mengusulkan pemeriksaan penunjang terkait kejang

e. Mahasiswa mampu menegakan diagnosis dan diagnosis banding dari kejang

f. Mahasiswa mampu melakukan penatalaksaan farmakologis terkait kejang

2. PENDAHULUAN

Insidensi epilesi di eropa dan amerika serikat 24-82/ 100.000 populasi pertahun

dengan dominan laki-laki dibandingkan perempuan. Prevalensi di eropa 3,3-7,8/1000

populasi sedangkan pada anak 2,7-6,8/ 1000 populasi. Di amerika serikat prevalensi 2,7-

6,8/1000 populasi. Puncak insidensi adalah pada populasi anak usia 0-5 tahun diikuti

pada usia diatas 75 tahun (9,7/1000 populasi).

Berdasarkan jenis kejang, epilepsi bangkitan fokal 45-50%. Di eropa proporsi

bangkitan umum bervariasi dari 17-60% dibandingkan dengan bangkitan yang tidak

terklarifikasi yaitu 8-20%. Hal ini bergantung pada usia, dimana prevalensi pada dewasa

55-83% untuk bangkitan fokal, 6-32% bangkitan umum, dan 8-20% bangkitan yang tidak

terklarifikasi. Sedangkan pada anak 42-60& fokal, 30-58% umum dan 5-20% tidak

terklarifikasi.

Insiden meningitis bakteri diperkirakan mencapai 2-5% per 100.000 orang di

dunia barat, di Asia tenggara 18,3-24.6 per 100.000 orang. Sedangkan meningitis

tuberculosis angka kejadiannya 5,2% dari seluruh kasus penyakit TB ektra pulmoner dan

0,7% dari seluruh kasus TB, lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa.
Rabies paling banyak terjadi pada anak usia kurang dari 15 tahun. Rata-rata

jumlah kejadiaan rabies adalah 1-2 kasus per tahun. Di Indonesia tahun 2008-2009

ditemukan kasus rabies dan lebih dari 130 orang meninggal akibat rabies.

Insiden pada encephalitis virus 3,5-7,4 dari 100.000 kasus setiap tahun. Virus

merupakan penyebab yang paling utama terutama herpes, walaupun sekitar 30-50% kasus

encephalitis virus tidak diketahui penyebab pastinya

Sehingga pada modul kejang ini akan di bahas anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang, dan penatalaksaan dari epilepsy, kejang demam, meningitis,

encephalitis, tetanus dan rabies.

3. DEFINISI

Kejang atau bangkitan adalah suatu keadaan akibat gangguan fungsi otak secara

intermiten yang disebabkan oleh lepas muatan listik abnormal dan berlebihan di neuron

neuron secara paroksimal dan di sebabkan oleh berbagai etiologi.

Bangkitan epilepsy adalah manifestasi dari bangkitan serupa (sterotipik),

berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran,

disebabkan oleh akifikas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh

suatu penyakit otak akut.

Epilepsy adalah gejala dan tanda klinis dalam bentuk bangkitan berulang

(minimal dua kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG.

Status epileptikus (SE) merupakan aktivitas bangkitan terus menerus yang

berlangsung selama 30 menit atau lebih atau aktivitas bangkitan hilang timbul yang

berlangsung selama 30 menit atau lebih dan selama waktu tersebut tidak terdapat
pemulihan kesadaran. Status epileptikus merupakan kegawatdaruratan neurologis yang

harus secara tepat dan cepat segera teratasi.

Kejang demam menurut international League Against Epilepsy (ILAE) adalah

kejang yang terjadi pada anak setelah usia 1 bulan yang terkait dengan demam dan tidak

di sebabkan oleh infeksi dari system saraf pusat, tanpa ada riwayat kejang neonatal

sebelumnya atau kejang unprovokaed sebelumnya, dan tidak memenuhi criteria untuk

kejang simptompatik akut.

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh

(suhu rectal diatas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium tanpa adanya

proses infeksi intrakanial. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian

kejang demam kembali tidak termasuk kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi

kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari

6 bulan atau lebih dari 5 mengalami kejang didahului demam. Pikirkan kemungkinan lain

misalnya infeksi SSP, atau epilepsy yang kebetulan terjadinya demam.

Meningitis adalah radang pada selaput otak khususnya araknoid dan pia mater,

yang di sebabkan oleh myobakterium tuberkulosa atau invasi bakteri ke ruangan sub

araknoid.

Encephalitis virus adalah inflamasi jaringan otak yang disebabkan oleh virus.

Tetanus adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang

dihasilkan oleh Clostridium tetani yang di tandai dengan peningkatan kekakuan umum

dan kejang-kejang otot rangka.


Rabies merupakan penyakit virus yang menyerang system saraf pusat. Virus ini

biasanya di transmisikan melalui gigitan hewan yang terinfeksi, tranplantasi kornea dari

donor yang terinfeksi dan inhalasi virus.

4. DASAR TEORI

a. ANAMNESIS

Epilepsy

Tanda dan gejala klinis epilepsy

1. Bangkitan parsial

Bangkitan parsial memiliki onset pada satu bagian otak yang menyebabkan gejala

misalnya gerakan pada tangan atau wajah, perubahan sensorik, atau gejala fokal

pada perubahan memori pada bangkitan lobus temporalis. Bangkitan parsial

dibagi menjadi bangkitan parsial sederhana tanpa perubahan kesadaran atau

memori, atau bangkitan parsial kompeleks dengan perubahan kesadaran atau

memori.

Bangkitan parsial sederhana bisa berupa bangkitan motorik dengan gerakan,

sensasi yang abnormal, gangguan penglihatan, pendengaran atau penciuman, dan

gangguan persepsi. Aktivitas bangkitan bisa meluas ke system saraf otonom

menyebabkan flushing, kesemutan, atau mual. Semua bangkitan parsial sederhana

harus memiliki kesadaran yang penuh dan bisa di ingat sempurna oleh pasien.

2. Bangkitan parsial kompleks

Bangkitan parsial kompleks atau disebut juga bangkitan psikomotor, bangkitan

lobus temporalis atau bangkitan limbic bisa di dapatkan aura yang muncul

sebelum bangkitan, biasanya berupa perasaan yang familiar (dejavu), mual, rasa
panas atau kesemutan atau gangguan persepsi sensorik. Sekitar setengah pasien

tidak mengingat adanya aura. Ketika terjadi bangkitan parsial kompleks pasien

bisa melakukan akktivitas otomatis misalnya mengambil baju, berjalan tanpa

arah, atau mengatakan kalimat yang tidak berarti berulang-ulang. Aktivitas yang

tidak bertujuan ini disebut automatisme. Sekitar 75% pasien dengan bangkitan

parsial kompleks memiliki automatisme

3. Bangkitan umum

Bangkitan umum dimulai dari kedua otak. Para ahli percaya bahwa bangkitan

umum berasal dari struktur otak dalam kemudian ke permukaan kortikal dimana

bangkitan muncul secara stimultan. Bangkitan umum di klasifikasikan sebagai :

a. Bangkitan absans, disebut juga bangkitan petit mal. Biasanya onsetnya saat

anak-anak, namun bisa persisten sampai dewasa. Bangkitan absans muncul

diawali dengan melamun kadang disertai kelopak mata berkedip-kedip atau

kepala mengangguk-angguk. Bangkitan ini sulit dibedakan dengan bangkitan

parsial kompleks yang juga bermanifestasi seperti melamun. Biasanya pada

bangkitan absans lebih cepat dan kembali ke normal lebih cepat

b. Bangkitan tonik klonik, disebut juga bangkitan grand mal. Bangkitan ini

dimulai dengan hilangnya kesadaran mendadak dan aktiviyas tonik (kaku)

diikuti dengan aktivitas klonik (hentakan ritmis) dari ekstrimitas. Mata pasien

melirik keatas saat awal bangkitan dan pasien seperti menangis bukan karena

menahan nyeri tapi kontraksi otot respirasi melawan tenggorokan yang

tertutup. Bangkitan tonik klonik biasanya berlangsung selama 1-3 menit.


Bangkitan itu sendiri disebut iktus. Setelah bangkitan, pasien akan postiktal

seperti mengantuk dan bingung bisa selama beberapa jam.

c. Bangkitan atonik, bangkitan yang biasanya terjadi pada anak atau dewasa

dengan jejas pada otak. Pasien dengan bangkitan atonik tiba-tiba lemas dan

jatuh ke lantai.

d. Bangkitan mioklonik, bangkitan dengan hentakan setial yang tidak seritmis

hentakan pada bangkitan tonik klonik

e. Bangkitan tonik, berupa kekakuan pada otot sebagai manisfestasi primer. Pada

bangkitan ini kesadaran bisa intak maupun hilang. Tidak ada fase klonik

(menghentak)

4. Bangkitan campuran

Pasien bisa memiliki lebih dari satu jenis bangkitan. Bangkitan parsial sederhana

bisa berkembang menjadi bangkitan parsial kompleks (ketika pasien menjadi

bingung), lalu menjadi bangkitan umum tonik klonik (ketika aktivitas elektirk

meluas ke seluruh otak)

5. Bangkitan yang tidak terklasifikasi

Kategori ini meliputi semua bangkitan yang tidak bisa di klasifikasikan karena

keterbatasan data.

Pada anamnesis harus meliputi deskripsi mengenai aura atau gejala prodormal jika

ada, deskripsi bangkitan klinis, dan gejala post iktal. Sangat penting untuk

mendapatkan deskripsi yang detail mengenai bangkitan pertama, kondisi pasien saat

terjadi bangkitan dan mengenali adanya perubahan jenis kejang yang terkait usia atau

terapi.
Perlu juga digali mengenai factor presipitasi dan hal-hal yang mempengaruhi

terjadinya bangkitan, misalnya adanya stimulus emosional, siklus bangun tidur,

gangguan toksik dan metabolic, dan kondisi fisiologis termasuk mestruasi dan

kehamilan.

Kejang demam

Kejang demam berlangsung singkat, serangan kejang klonik atau tonik klonik

bilateral, seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti, anak tidak

memberikanj reaksi apapun untuk sejenak, setelah beberapa detik atau menit anak

terbangun dan sadar kembali tanpa deficit neurologis, dengan peningkatan suhu tubuh

mendadak lebih dari 38 c.

Klasifikasi kejang demam menjadi :

1. Kejang demam sederhana

Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya

akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa

gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam 24 jama. Sebagian besar kejang

demam merupakan kejang demam sederhana, tidak menyebabkan menurunnya

IQ, epilepsy dan kematian

2. Kejang demam kompleks

Kejang demam dengan salah satu ciri sebagai berikut :

- Kejang lama lebih dari 15 menit

- Kejang fokal atau parsial satu sisi,atau kejang umum di dahului kejang parsial

- Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam


Meningitis

Didapatkan sindrom meningitis (Trias meningitis) antara lain

- Sakit kepala

- Demam

- Meningeal sign (kaku kuduk, kerning dll)

Disertai beberapa gejala

- Fotofobia

- Mual, muntal

- Hemiparese dan deficit neurologis

- Kejang bingung

- Perubahan status mental

- Penurunan kesadaran

Encephalitis

Gejala klinis pada encephalitis antara lain :

- Flu like sindrom akut, dengan demam tinggi

- Sakit kepala berat

- Nausea, vomitus

- Kejang

- Penurunan kesadaran (halusinasi, agitasi, perubahan personality, kelainan tingkah

laku, dan kondisi psikotik)

Anamnesis untuk mentukan etilogis. Adanya ruam curiga measles. Anamnesis

kemungkinan adanya carar, parotitis, nyeri testicular, atau nyeri abdomen karena
pancreatitis dapat disebabkan oleh virus mumps. Riwayat perjalanan ke daerah tropis

juga perlu dipertanyakan, termasuk detail vaksinasi.

Tetanus

Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-21 hari. Secara klinis tetanus ada 3 macam:

a. Tetanus umum

Merupakan tetanus yang paling sering dijumpai, berhubungan dengan luka yang

luas dan dalam, timbul kekakuan otot secara mendadak, kejang umum tonik

secara spontan maupun rangsangan minimal, kesadaran penderita tetap baik,

spasme otot-otot laring dan pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan,

asfiksia, dan sianosis, retensi urin sering terjadi karena spasme sphincter kandung

kemih, kenaikan temperature badan umumnya tidak tinggi, dan pada kasus yang

berat mudah terjadi overaktivitas simpatik berupa takikardi, hipertensi yang labil,

berkeringat banyak, panas yang tinggi dan aritmia jantung.

b. Tetanus lokas

Tetanus bentuk ringan, gambaran klinis tidak khas, bentuk tetanus ini berupa

nyeri, kekakuan otot-otot pada bagian proksimal dari tempat luka

c. Bentuk cephalic

Merupakan salah satu varian tetanus local, gejala berupa disfungsi saraf cranial

antara lain n III, IV, VII. IX,X, XI. Luka mengenai daerah mata, kulit kepala,

muka, telinga, leher, otitis media kronis dan jarang akibat tonsilektomi. Dalam

beberapa hari bahkan bulan, bisa berkembang menjadi tetanus umum.

Rabies

Berdasarkan manisfestasi klinis yang muncul, rabies dapat dibagi menjadi


- Rabies furious

Gejala patognomonik dari hidrofobia adalah trias spasme otot inspirasi,

laringospasme yang nyeri, dan terror (ketakutan untuk menelan).

Reflek ini juga dapat muncul dengan rangsangan udara (aerofobia). Reflex ini

dapat disertai dengan ekstensi punggung dan lengan dan dapat berakhir pada

kejang generalisata atau cardiorespiratory arrest

- Rabies paralitik

Rabies paralitik terjadi pada kurang dari 20% kasus. Setelah stadium prodormal,

paralisis placid terjadi biasanya pada ekstrimitas yang digigit kemudian ascendant

(bisa simetris atau ansimetris)

Gejala yang muncul pada rabies antara lain

- Demam

- Konfusi atau delirium

- Agitasi atau agresivitas

- Parasthesis atau nyeri terlokasir

- disfagia

b. PEMERIKSAAN FISIK

Epilepsy

a. Pemeriksaan fisik pada saat fase iktal meliputi

Status mental menentukan respon terhadap perrintah, orientasi, fungsi bahasa

serta memberikan sebuah kalimat untuk nanti diingat kemudian untuk

menentukan adanya amnesia


Motorik menentukan lokasi awal dan gejala motorik , klonik dan atau postural,

serta menilai deficit motorik fokal atau lateralisasi saat rekanan spontan dan

memprovokasi motorik untuk mengkonfirmasi adanya deficit.

Sensorik pada kondisi khusus untuk menunjukan adanya anestesi umum terhadap

pin prick, atau adanya deficit sensorik khusus seperti adanya ictal blindnes

b. Permeriksaan fisik pada fase post iktal meliputi

Mengobsrvasi adanya tingkah laku abnormal spontan seperti automatisme, tidak

berespon, dan menentukan waktu resolusinya

Memeriksa deficit neurologis fokal atau lateralisasi meliputi gangguan kognitif

Memeriksa adanya amnesia dengan meminta menyebutkan kembali yang

disebutkan pada fase iktal

Mendesripsikan aura, bangktan tingkah laku, dan gejala post iktal

Kejang demam

Batas suhu yang bisa mencetuskan kejang demam 38c atau lebih, tetapi suhu

sebenarnya pada waktu kejang sering tidak diketahui. Pemeriksaan fisik lainnya

bertujuan untuk mencari sumber infeksi dan kemungkinan adanya infeksi intracranial

meningitis atau encephalitis.

Meningitis

- Rangsang meningeal positif, seperti kaku kuduk, tanda kerning, dan tanda

brudzinski

- Perubahan tingkat kesadaran

- Kejang, peningkatan tekanan intracranial, dan disfungsi saraf cranial

- Kadang disertai hemiparese, dementia, dan paralisis


Encephalitis

- Demam tinggi

- Penurunan kesadaran

- Kejang

- Pemeriksaan kulit ditemukan ruam purpurik dan exanthema,

- Pada pasien HIV, dapat ditemukan leukoplakia, Kaposi sarcoma.

Tetanus

- Terdapat luka

- Trismus (kekakuan pada rahang) dan lock jaw (kekakuan otot rahang terutama

masseter sehingga mulut sukar dibuka)

- Leher (kaku leher) sampai opisthotous (kekaluan leher dan punggyng saat fleksi

- Rhesus sardonicus (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah,

bibir tertekan kuat pada gigi)

Rabies

- Demam

- Takikardi

- Hipertensi

- Pupil dilatasi anisokor

- Facial palsy

- Midriasis

- Lakrimasi

- Hipersalivas
- Persipirasi

- Hipotensi postural

- Delirium, stupor, sampai koma

c. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Epilepsy

a. Pemeriksaan laboratorium, untuk mencari penyebab yang mendasari berdasarkan

anamnesis dan pemeriksaan fisik yaitu darah lengkap meliputi hitung jenis dan

trombosit, kimia darah meliputi elektrolit, kalsium, fungsi hati dan ginjal dan

urinalisis rutin. Peningkatan kadar prolaktin serum yang di ambil dalam 20 menit

setelah episode iktal dibandingkan dengan waktu yang sama esok harinya bisa

digunakan untuk membedakan antara kejadiaan epileptic dengan non epileptic

karena meningkat setelah diskognitif fokal dan bangkitan tonik klonik

b. Lumbal pungsi, bukan pemeriksaan rutin kecuali pada anamnesis dan

pemeriksaan fisik menandakan adanya kejadian yang bisa ditegakkan dengan

pemeriksaan cairan serebospinal. Lumbal pungsi yang dilakukan setelah

bangkitan umum tonik klonik bisa menunjukakan pleiositosis ringan karena

bangkitan bukan karena adanya inflamasi di intakanial. Peningkatan kadar

glutamine ada cairan serebospinal dengan kadar ammonia serum normal bisa

menunjukan adanya valproate related hyperammonemic encephalopathy

c. Pemeriksaan genetic, terutama pada ensepalopati epileptic dimana terdapat mutasi

gen SCN1A pada sindrom dravet, mutasi gen PCDH19 pada epilepsy limieted to

female with mental retardation, mutasi ARX pada spassme infantile, mutasi

SLC2A1 pada absans dini


d. Elektroencepalografi (EEG), pemeriksaan yang paling informative pada diagnosis

epilepsy namun seringkali salah dalam penggunannya. Prosedur EEG harus

dilakukan untuk menjawab pertanyaan yang spesifik mengenai nilai terapi dan

prognosis. Karena pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan non invasive dan

tidak mahal maka pada semua pasien epilepsy atau dicurigai epilepsy harus

dilakukan minimal 1x pemeriksaan EEG untuk menilai jika nanti ada perubahan

dalam klinis pasien. Diagnosis epilepsy ditegakkan secara klinis, maka

pemeriksaan EEG berulang hanya dilakukan jika hasilnya kemungkinan akan

merubah tatalaksana pasien atau untuk mencari informasi prognosa yang baru.

Tidak ada batasan mengenai pengulangan EEG rutin dalam interval tertentu.

Kejang demam

a. Pemeriksaan laboratorium, tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,

tetapi dapat untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan

lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Yang dapat dikerjakan

misalnya pemeriksaan darah perifer, elektrolit, dan gula darah

b. Pungsi lumbal, dilakukan untuk menegakan atau menyingkirkan kemungkinan

meningitis. Hal ini dikarenakan pada bayi seringkali sulit untuk menegakan atau

menyingkirkan diagnosis meningitis karena manisfestasinya tidak jelas.

Berdasarkan usia pungsi lumbal di anjurkan pada

1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan

2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan

3. Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal
c. Elektroensefalografi (EEG), tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau

memperkirakan kemungkinan terjadinya epilepsy pada pasien kejang demam.

Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak

khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau

kejang demam fokal

d. Pencitraan , seperti MRI, CT-Scan X ray kepala bukan pemeriksaan rutin dan

hanya di indikasi bilamana kelainan neurologis fokal menetap (hemiparese) dan

parese nervus VI, dan papiledema

Meningitis

a. Pemriksaan LCS (pemeriksaan baku)

- Pada meningitis bacteria : tekanan saat opening lebih dari 100-200 mg, leukosit

kurang dari 5 atau lebih dari 100 mm, predominan netrofil, pengecatan gram dari

CCS posisit pada 60-90% pasien, protein CCS lebih dari 50mg/dl, glukosa CCS

kurang dari 40 mg/dl, kultur positif pada 65-90% pasien, dan antigen bakteri CCS

sensitive 50-100%

- Pada meningitis tuberculosis : jumlah leukosit 100-500/mikrolit, biasanya

predominan limfosit, protein 100-500 mg/dl, glukosa kurang dari 45 mg/dl, warna

jernih atau xantocrom, terdapat peningkatan tekanan pada LP

b. Pemeriksaan radiologis

Dilakukan pemeriksaan CT-Scan atau MRI kepala jika terdapat tanda peningkatan

tekanan intracranial, koma, dan deficit neurologis

c. Pemeriksaan foto rontgen thorax, ditemukan tuberculosis aktif pda paru dan dapat

sembuh sampai 50% pada pasien dewasa dan 90% pada anak
d. Laboratorium rutin, tidak khas, dapat ditemukan leukosit yang meningkat, normal

atau menurun

e. Mikrobiologis, ditemukan M tuberculosis pada meningitis tuberkulosa yang

merupakan gold standar pada kultur CSS

Encephalitis

a. Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSF)

- Peningkatan konsentrasi protein

- Glukosa normal

- CSF pleositosis (lebih dari 5 sel/mikroLiter)

- CSF PCR adalah tes diagnosik utama (CMV, EBV, VZV, HHV-6, dan

enterovirus)

- Pemeriksaan antibody HSV CSF

b. Pemeriksaan neuroimaging

- CT-Scan kepala plus kontras

- MRI kepala plus kontras (lebih sensitif)

c. Pemeriksaan EEG

Tetanus

Pemeriksaan kultur di temukan C. tetani

Rabies

Diagnosis pasti dari rabies dapat ditentukan dengan metode pemeriksaan

laboratorium yang sesuai

a. Deteksi antigen viral


Enzymelinked immunosorbent aassays (ELISA) dan tes immunohistokimia an

inunofluerenscent langsung

b. Isolasi virus

Virus dapat di isolasi untuk mengkonfirmasi hasil tes deteksi antigen dan untuk

antplifikasi atau katakterisasi isolat

c. Deteksi RNA virus

Pemeriksaan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR)


d. PENATALAKSAAN FARMAKOLOGIS

Algoritme Memutus Kejang


Epilepsy

Tujuan utama terapi epilepsy adalah bebas kejang tanpa adanya efek samping.

Pemilihan obat antiepilepsi harus dipertimbangkan berdasarkan jenis kejang atau

sindrom epilepsy dan toleransi dari pasien.

Pilihan obat antiepilepsi berdasarkan guideline CHFT 2011 sebagai berikut

a. Pada bangkitan fokal dan umum : karbamazepin, lamotrigin, levetiracetam,

oxcarbazepin, asam valproate

b. Bangkitan umum primer : asam valproat, lamotrigin

c. Jenis bangkitan yang tidak pasti : asam valproat, lamotrigin.

Dalam pemilihan obat antiepilepsi harus diperhatikan efek samping dan interaksi obat

tergantung masing-masing individu. Pada pasien lansia biasanya lebih sensitive

terhadap efek samping sehingga direkomendasikan dosis sekecil mungkin dengan

menghindari neurotoksisitas. Terdapat perbedaan untuk bangkitan umum tonik klonik

primer dan sekunder karena beberapa obat antiepilepsi nisa mengeksaserrbasi

bangingan tonik klonik primer namun malah efektif untuk bangkitan umum sekunder.

Kejang demam

a. Pemberian obat pada saat demam

Para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap diberikan walaupun tidak

ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya

kejang demam. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali

diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali

3-4 kali sehari. Diazepam oral dosis 0,3 mg/kgbb tiap 8 jam saat demam
menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus, juga dengan

diazepam rectal dosis 0,5 mg/kgbb tiap 8 jam pada suhu diatas 38,5c

b. Pemberian obat pada saat kejang

Obat yang dapat diberikan oleh orang tua atau jika kejang terjadi dirumah adalah

diazepam rectal 0,5-0,75mg/kgbb atau diazepam rectal 5 mg untuk anak dengan

berat badan kurang dari 10 kg dan diazepam rectal 10 mg untuk berat badan lebih

dari 10 kg. jika anak dibawah usia 3 tahun dapat diberi diazepam rectal 5 mg dan

anak diatas usia 3 tahun diberi diazepam rectal 7,5 mg. jika kejang belum

berhenti, dapat diulang dengan cara dan dosis yang sama dengan interval 5

mennit. Jika setelah 2 kali pemberian diazepam rectal masih tetap kejang,

dianjutkan di bawa ke rumahsakit.

Pada sebagian besar kasus biasanya kejang demam berlangsung singkat dan saat

pasien datang kejang sudah berhenti. Bila datang dalam keadaan kejang, obat

yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam intravena 0,3-

0,5mg/kgbb, dengan cara pemberian secara perlahan dengan kecepatan 1-2

mg/menit atau dalam 3-5 menit, dan dosis maksimal yang dapat diberikan adalah

20 mg. jika kejang tetap belum berhenti, maka diberikan phenitoin intravena

dengan dosis awal 10-20 mg/kg/ kali dengan kecepatan 1 mg/kgbb/ menit atau

kurang dari 50mg/menit. Jika kejang berhenti, maka dosis selanjutnya adalah 4-8

mg/kgbb/ hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika dengan phenitoin kejang

belum berhenti, bisa menggunakan injeksi phenobarbital iv dengan dosis 10-20

mg/kgBB/kali dengan dosis maintenan 4-8 mg/kgBB/hari. Jika dengan ketiga obat

tersebut belum mengatasi kejang, maka pasien harus dirawat di ruang rawat
intensif. Jika kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung apakah

kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya

c. Pemberian obat rumatan

Pengobatan rumatan dipertimbangkan bila

- Kejang berulang dua kali atau lebih dalam kurun waktu 24 jam

- Kejang demam terjadi pada bayi usia kurang dari 12 bulan

- Kejang demam dengan frekuensi lebih dari 4 kali pertahun

Obat rumatan diberikan jika kejang demam menunjukan salah satu cirri sebagai

berikut

- Kejang lama dengan durasi lebih dari 15 menit

- Ada kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya

hemiparese

- Kejang fokal

Obat pilihan saat ini adalah valproic acid. Berdasarkan bukti ilmiah kejang

demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping,

oleh karena itu pengobatan rumatan hanya diberikan pada kasus selektif dan

dalam jangka pendek. Pada sebagian kecil kasus, terutama pada usia kurang dari 2

tahun, valproic acid dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis valproic acid

15-40 mg/kgBB/ Hari dalam 2-3 dosis, dan Phenobarbital 3-4 mg/kg BB/ hari

dalam 1-2 dosis. Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian

dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.

Meningitis

a. Meningitis bacterial
- Terapi antibiotic definitif diberikan setelah muncul hasil sensitivtas dari kultur

LCS. Terapi empiris segera dilakukan bila belum mendapatkan hasil kultur

LCS. Lama pemberian antibiotic pada umumnya 10-14 hari.

 Usia 1-3 bulan: Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4

dosis + sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dlam 4 dosis,

atau seftriakson 100 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 dosis.

 Usia > 3 bulan: sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-

4 dosis, atau seftriakson 100 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 dosis, atau

Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis +

Klorampenicol 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dlam 4 dosis

 Sefalosforin generasi ketiga, seperti ceftriaxon telah menjadi pilihan

pertama dalam pengobatan meningitis bacterial karena spectrum kerja

yang luas dan kemamapuan menembus sawar otak yang baik.

- Terapi antiinflamasi, pemberikan dexametasone 0.6 mg/kgBB setiap 6 jam

diberikan 15-30 menit sebelum pemberian antibiotic selama 4 hari mampu

menurunkan angka mortalitas

- Diuresis osmotic seperti manitol 20% diberikan bila terdapat tekanan intra

kranial yang meningkat dengan cara menarik cairan dalam sel otak sehingga

mengurangi edema cerebri

- Antikonvulsan

b. Meningitis tuberculosis

- Terapi Obat Anti Tuberculosis (OAT) diberikan 4 macam obat selama 2 bulan

dan dilanjutkan dengan pemberian Rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan.


Regimen OAT: INH 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 300

mg/hari, Rifampisin 10-20 mg/KgBB/hari dengan disi maksimal 600 mg/hari.

Pirazinamid 15-30 mg/kgBB denagn dosis maksimal 2000 mg/hari serta

Etambutol 15-30 mg/kgBB dengan dosis maksimal 1000 mg/har atau injeksi

Streptomisin 20-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 1 g/hari secara intra

muscular.

- Terapi adjuvant kortikosteroid : salah satu regimen yang di rekomendasikan

untuk anak-anak adalah dexametason 0,3-0,5 mg/kgBB/hari selama 4 hari

dilanjutka prednisone 1-2 mg/kgBB/hari selama 6-8 minggu.

- Operasi pemasangan Ventriculoperitoneal Shunt (VP Shunt) bilamana

didapatkan hidrosefalus.

Encephalitis

1. umum

- oksigen via mas (NRM)

- mencukupi kebutuhan cairan

- mencukupi kebutuhan nutrisi

- terapi asimtomatif (anti nyeri, penurun panas, anti kejang)

- terapi kompilasi (manitol atau dexametason untuk menurunkan TIK)

- mencegah deep vein thrombosis dan emboli pulmonal

2. terapi khusus

- terapi antiviral sesesuai dengan jenis virusnya


- pada kebanyakan pasien dengan imunokompeten bisa diberikan : asyclovir

10mg/kg tiga kali iv harus diberikan segera mungkin selama 14-21 hari,

gansiklovir, ganciclovir, foscarner atau cidofovir bisa dipertimbangkan.

Tetanus

1. antibiotic

- metronidazole 500 mg oral atau intravena setiap 6 jam selama 7-14 hari

- penicilne 1,2 juta unit/ hari selama 10 hari, IM. Pada anak dosis 50.000 unit/

kgBB/12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila tersedia penicilne

intravena dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit/kg BB/24 jam, dibagi 6

dosis selama 10 hari

2. antitoksin

antitoksin dapat digunan Human Tetanus Imunoglobulinn (TIG) dengan dosis

3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM

3. tetanus toksoid

dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksi tetapi pada sisi yang berbeda

dengan alat suntik yang berbeda

4. antikejang

Diazepam 0,5-1 mg/kgBB/ 4 jam IM, Meprobamat 300-400/ 4 jam IM,

Clorpromazin 25-75 mg/4 jam IM, Fenobarbital 50-100 mg/4 ja, IM

Rabies

Penatalaksaan rabies antara lain :

1. pemberian vaksin rabies intradermal untuk mempercepat proses imun

2. pemberian serum antirabies untuk penghentian proses infeksi rabies


3. pemberian immunoglobulin HRIG dosis 20 IU/kg

4. pemberian ribavirin dan interferon alfa secara intravena dan intramuscular

5. sebaiknya dilakukan perawatan pada ruangan isolasi untuk menghindari

kemungkinan penularan.

5. RUBRIK PENILAIAN

Nama Mahasiswa :
NIM :
No Aspek yang Dinilai Nilai
0 1 2
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
4. Diagnosis dan Diagnosis
Banding
5. Terapi dan Tata Laksana
6. Komunikasi
7. Profesionalisme
Jumlah

Keterangan :
0 : tidak dilakukan
1 : dilakukan tetapi kurang sempurna
2 : dilakukan dengan sempurna

Purwokerto,…………………….
Evaluator,

(………………………………...)
6. CONTOH KASUS
a) SKENARIO KASUS
Seorang anak perempuan usia 7 tahun datang diantar orangtuanya ke IGD RS
dengan keluhan kejang.

TUGAS MAHASISWA
1. Lakukan alloanamnesis pada pasien tersebut !
2. Lakukan pemeriksaan fisik terkait keluhan pada pasien !
3. Usulkan pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien !
4. Tentukan diagnosis kerja kasus tersebut !
5. Tentukan tatalaksana farmakologi dan nonfarmakologi pada pasien !
Sampaikan kepada penguji !

b) SKENARIO KASUS
Seorang anak laki-laki usia 2 tahun datang ke IGD Puskesmas diantar
orangtuanya dengan keluhan kejang.
TUGAS MAHASISWA
1. Lakukan alloanamnesis pada pasien tersebut !
2. Lakukan pemeriksaan fisik terkait keluhan pada pasien !
3. Usulkan pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien !
4. Tentukan diagnosis kerja kasus tersebut !
5. Tentukan tatalaksana farmakologi dan nonfarmakologi pada pasien !
Sampaikan kepada penguji !

c) SKENARIO KASUS
Seorang laki - laki usia 40 tahun diantar keluarganya ke IGD Rumah Sakit
dengan keluhan kejang-kejang seluruh badan.
TUGAS MAHASISWA
1. Lakukan alloanamnesis pada pasien tersebut !
2. Lakukan pemeriksaan fisik terkait keluhan pada pasien !
3. Usulkan pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien !
4. Tentukan diagnosis kerja kasus tersebut !
5. Tentukan tatalaksana farmakologi dan nonfarmakologi pada pasien !
Sampaikan kepada penguji !

Anda mungkin juga menyukai