Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kompos sebenarnya sudah dikenal sejak dahulu kala. Leluhur kita
telah lama mempelajari nilai penggunaan kompos. Hutan yang baru dibuka
bagian atasnya mengandung tanah yang subur, karena banyak mengandung
humus dari daun-daun, rumput, kotoran burung dan binatang yang telah
hancur dan terkumpul selama berabad-abad. Ketika tanah tersebut baru diolah
dan ditanami, hasil panen sangat melimpah, namun lama-kelamaan
kesuburannya semakin berkurang. Dari pengalaman tersebut mereka meniru
hutan alam, menutup tanah dengan daun-daunan dan kotoran binatang,
sehingga dapat memulihkan tanah.
Seiring dengan perkembangan zaman, manusia mulai menggunakan
pupuk pestisida kimia untuk memperoleh hasil yang instan. Tanpa disadari,
kini penggunaan pupuk pestisida kimia menyebabkan rusaknya ekologi
lingkungan. Selain itu, penggunaan pestisida kimia yang berlebihan juga
mengakibatkan ketergantungan terhadap pupuk kimia yang semakin besar,
tidak terkendalinya hama tananaman, dan biaya produksi yang lebih tinggi.
Untuk mengatasi hal tersebut, baru-baru ini mulai dikembangkan lagi
pertanian berbasis organik agar dapat menjaga dan meningkatkan kesuburan
tanah, keseimbangan biologis tanah dan tidak terjadi pencemaran lingkungan
akibat penggunaan bahan kimia.

1.2 Tujuan
Dengan mempelajari paper mengenai kompos ini kita akan mampu:
1. Mengerti apa yang dimaksud dengan kompos, dalam hal ini
biokompos yang terbuat dari jerami.
2. Memahami pengolahan substrat dalam pembuatan kompos yang
berasal dari jerami.
3. Mengetahui mikroorganisme penghasil kompos serta reaksi yang
terjadi saat pembentukannya.

1
4. Mengetahui keunggulan biokompos dari jerami dengan kompos lain
dan pestisida kimia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Biokompos


Kompos atau disebut juga pupuk organik adalah pupuk yang terbuat
dari bahan-bahan organik yang mampu direaksikan oleh mikroba sehingga
memiliki unsur-unsur hara yang serupa dengan tanah, melalui proses
pengomposan. Pengomposan merupakan proses dimana bahan-bahan organik
mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba
yang dapat memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Menurut
J.H.Crawford (2003), kompos adalah hasil penguraian tidak lengkap dan
dapat dipercepat secara artificial oleh populasi berbagai macam mikroba
dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik
(dalam Nyoman P.Aryantha.dkk,2010).
Selanjutnya kompos dan biokompos dapat dibedakan dari proses
pembuatannya yang melibatkan mikroba serta mengatur lingkungan
pembuatan kompos atau tidak. Kompos biasanya dibuat dengan melibatkan
mikroba pengurai bahan organik yang dapat hidup dan mengurai dalam
kondisi tertentu, namun hal ini biasanya tidak diatur oleh pembuat kompos
dan dibiarkan terbentuk secara alami. Dalam pembuatan biokompos, kompos
yang dibuat telah menggunakan mikroba serta lingkungan pembuatan kompos
yang telah diatur agar mendapatkan pupuk organik yang lebih baik, cepat dan
memiliki kandungan unsur hara yang serupa (sejenis). Umumnya biokompos
mengandung hara makro N,P,K rendah dan mengandung hara mikro Ca, Mg,
Zn, Cu, B, Mo dan Si dalam jumlah cukup yang sangat diperlukan untuk
pertumbuhan tanaman (Sutanto, 1997).

2.2 Pengolahan Biokompos Jerami


Biokompos dapat dibuat dari berbagai substrat, seperti dari
tumbuhan jagung, batang tebu, rumput, jerami atau daun-daunan. Biokompos
biasanya diberikan nama sesuai dengan bahan baku yang dominan yang
digunakan, dalam hal ini akan dijelaskan mengenai pembuatan Biokompos

3
menggunakan substrat Jerami yang dijelaskan oleh Drs. R. Bambang
Sukmadi, M.Si pada pelatihan manajemen produksi dan teknologi fermentasi
untuk pembuatan biokompos bagi pondok pesantren Propinsi Lampung,
sebagai berikut:
1. Bahan-bahan yang digunakan
 Jerami padi (2-5 cm) 20 kg
 Sekam atau rumbut kering 5 kg
 Dedak halus 2 kg
 Kotoran ternak 5 kg
 Molases atau gula merah atau gula pasir 50 g
 Inokulum mikroorganisme dekomposisi 50 ml
 Air 5 liter

2. Cara membuat
1) Larutkan molases dalam air, lalu tambahkan inokulum
mikroorganisme dan diaduk-aduk hingga rata.
2) Masukan jerami kedalam wadah yang berisi larutan molases dan
inokulum dampai basah sedikit demi sedikit lalu tiriskan.
3) Campurkan jerami basah dengan sekam, dedak dan kotoran ternak
hingga merata. Tambahkan larutan No. 1 sampai kadar airnya
berkisar antara 30-40% dapat diuji dengan cara
meremas/mengenggam bahan tersebut, setelah remasan dilepas
adonan bahan tetap menyatu namun jika disentuh akan jadi
terpecah kembali.
4) Campuran kemudian digundukkan diatas lantai dengan ketinggian
20cm, kemudian tutup bagian atasnya dengan menggunakan karung
goni atau plastik.
5) Selama proses fermentasi suhunya dijaga antara 35-45oC. Jika suhu
lebih dari 500C maka tumpukan bahan kompos perlu dibolak balik
atau diaduk-aduk supaya udara masuk dan suhunya turun.
Pembalikan dapat dilakukan setiap 2 hari sekali dan selesai

4
pembalikan tumpukan bahan kompos ditutup kembali dengan
karung goni.
6) Setelah 9-12 hari, kompos ini telah jadi dan siap pakai. Bila
kompos ini akan disimpan dahulu sebelum digunakan, maka perlu
dikeringkan dahulu dengan cara diangin-anginkan di atas lantai
dalam ruangan yang teduh, setelah kering dimasukan kedalam
kantong pelastik.
Pembuatan kompos menggunakan substrat jerami seperti diatas
merupakan pembuatan kompos yang mengkombinasikan bantuan
mikroorganisme dengan pengaturan kondisi lingkungan seperti tempat
pengolahan dan suhu. Secara umum tahapan pengomposan dibagi menjadi
tiga fase. Fase pertama merupakan dekomposisi bahan organik yang mudah
terurai, menghasilkan panas yang tinggi dan berlangsung singkat. Kemudian
diikuti fase kedua yaitu penguraian bahan organik yang sulit terurai. Kedua
fase tersebut menghasilkan kompos segar. Kemudian fase ketiga berupa
pematangan kompos menjadi ikatan komplek lempung-humus yang hasilnya
berupa kompos matang. Cirinya, tidak berbau, remah, warna kehitaman,
mengandung hara dan memiliki kemampuan mengikat air.

2.3 Reaksi Biokimia


Seperti yang kita ketahui, bahwa pembuatan kompos dapat dilakukan
dengan dua cara yakni pembuatan kompos secara aerobik dan anaerobik.
Pengomposan secara aerobik ialah dekomposisi bahan organik dalam kondisi
dengan kehadiran oksigen (udara), produk utama dari metabolisme biologi
aerobik adalah air dan panas. (Haung, 1980). Namun apabila panas melebihi
65oC kebanyakan mikroba akan mati dan proses pengomposan berjalan
lambat. Sehingga perlu penurunan suhu dengan cara diaduk atau dibalik
(Anggriawan,2013). Pengomposan secara anaerobik merupakan dekomposisi
bahan organik dalam kondisi tanpa oksigen atau udara, produk utama dari
metabolis biologi anaerobik adalah metana, karbondioksida dan senyawa
dengan berat molekul rendah (Haung, 1980). Hal ini ditambahkan oleh
Anggriawan (2013), bahwa pada proses anaerob, reaksi berlangsung secara

5
bertahap. Tahap pertama, beberapa jenis bakteri fakultatif akan menguraikan
bahan organik menjadi asam lemak. Kemudian diikuti tahap kedua, dimana
kelompok mikroba lain akan mengubah asam lemak menjadi amoniak, metan,
karbondioksida dan hidrogen. Panas yang dihasilkan dalam proses anaerobik
lebih rendah dibanding aerobik. Reaksi biokimia yang terjadi dapat dilihat
sebagai berikut:

2.4 Keunggulan dan Kekurangan Biokompos Jerami


2.4.1 Keunggulan
Pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan
kapasitas tukar kation, menambah kemampuan tanah menahan air dan
meningkatkan kegiatan biologi tanah. Pupuk organik juga dapat
meningkatkan ketersediaan unsur mikro misalnya kelat unsur mikro dengan
bahan organik. Selain itu pupuk organik tidak menimbulkan polusi
lingkungan (Atmojo,2003).
Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat
tanah yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah
untuk bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam
pembentukan tanah. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap struktur
tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah yang diperlakukan. Pada tanah
lempung berat, terjadi perubahan struktur gumpal kasar dan kuat menjadi
struktur yang lebih halus tidak kasar, dengan derajat struktur sedang kuat
menjadi struktur yang lebih halus tidak kasar, dengan derajat struktur sedang
hingga kuat, sehingga lebih mudah untuk diolah. Komponen organik seperti
asam humat dan asa fulvat dalam hal ini berperan sebagai sementasi partikel
lempung dengan membentuk komplek lempung-logam-humas (Stevenson,

6
1982). Pada tanah pasiran bahan organik dapat diharapkan merubah struktur
tanah dari berbutir tunggal menjadi bentuk gumpalan, sehingga meningkatkan
derajat struktur dan ukuran argegat atau meningkatkan kelas struktur dari
halus menjadi sedang atau kasar (Scholes et al., 1994). Bahkan bahan organik
dapat mengubah tanah yang semula tidak berstruktur (pejal) dapat
membentuk struktur yang baik atauh remah, dengan derajat struktur yang
sedang kuat.
Penambahan bahan organik akan meningkatkan kemampuan menahan
air sehingga kemampuan menyediakan air tanah untuk pertumbuhan tanaman
meningkat. Kadar air yang optimal bagi tanaman dan kehidupan
mikroorganisme adalah sekitar kapasitas lapang. Penambahan bahan organik
di tanah pasiran akan menigkatkan kadar air pada kapasitas lapang, akibat
dari meningkatknya pori yang berukuran menengah (meso) dan menurunnya
pori makro, sehingga daya menahan air meningkat, dan berdampak pada
peningkatan ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman (Scholes et al.,
1994). Pada tanah berlempung dengan penambahan bahan organik akan
meningkatkan infiltrasi tanah akibat dari meningkatknya pori meso tanah dan
menurunnya pori mikro. Peran bahan organik yang lain terutama pada lahan
kering belerang, adalah dampaknya terhadap penurunan laju erosi tanah. Di
samping itu, dengan meningkatnya kapasitas infiltrasi air akan berdampak
pada aliran permukaan dapat diperkecil, sehingga erosi dapat berkurang
(Stevenson, 1982).
Pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia tanah antara lain
terhadap kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH tanah,
daya sangga tanah dan terhadap keharaan tanah. Penambahan bahan organik
akan meningkatkan muatan negatif sehingga akan meningkatkan kapasitas
pertukaran kation (KPK). Bahan organik memberikan kontribusi yang nyata
terhadap KPK tanah, sekitar 20-70% kapasitas pertukaran tanah pada
umumnya bersumber dari koloid humus (contoh: Molisol), sehingga terdapat
korelasi antara bahan organik dengan KPK tanah (Stevenson, 1982).
Penambahan bahan organik dapat mempengaruhi nilai pH tanah. Hal ini
dapat meningkatkan atau menurunkan pH tanah tergantung tingkat

7
kematangan bahan organik yng ditambahkan dan jenis tanah. Penambahan
bahan organik yang belum masak (misal pupuk hijau) atau bahan organik
yang masih mengalami proses dekomposisi, biasanya akan menyebabkan
perununan pH tanah, karena selama proses dekomposisi akan melepaskan
asam-asam organik yang menyebabkan menurunnya pH tanah. Namun
apabila diberikan pada tanah yang masam dengan kandungan Al tertukar
tinggi, akan menyebabkan peningkatan pH tanah, karena asam-asam organik
hasil dekomposisi akan meningkat Al membentuk senyawa komplek (khelat),
sehingga Al tidak terhidrolisis lagi. Penambahan bahan organik pada tanah
masam antara lain inseptisol, ultisol dan andisol mampu meningkatkan pH
tanah dan mampu menurunkan Al tertukar tanah (Suntoro, 2001;
Cahyana.,1996; dan Dewi,1996 dalam Atmojo,2003). Peningkatan pH tanah
juga akan terjadi apabila bahan organik yang ditambahkan telah terkomposisi
lanjut (matang), karena bahan organik yang telah termineralisasi akan
melepaskan mineralnya. Sehingga penambahan pupuk organik memberikan
manfaat yang lebih banyak daripada penggunaan pupuk peptisida kimia yang
sering kali dipergunakan orang secara berlebihan. Padahal penggunaan pupuk
pestisida menyebabkan hama menjadi resisten, penumpukan residu bahan
kimia, dan yang paling berbahaya dapat mencemari lingkungan (air dan
tanah) oleh residu bahan kimia.

2.4.2 Kekurangan
Pupuk organik jika dibandingkan dengan pupuk buatan (kimia) adalah
pupuk yang memiliki kandungan hara yang rendah. Dengan kandungan unsur
hara yang terdapat pada pupuk tersebut dalam penggunaannya maka
dibutuhkan jumlah pupuk yang banyak agar maksimal. Hal ini akan
menyulitkan transportasi dan pemberian pupuk pada lahan/tanaman sehingga
kurang ekonomis. Selain itu, biokompos juga memiliki sifat mudah terurai
habis, terutama pada daerah tropis. Lebih buruk, pupuk organik dapat
menjadi inang bagi hama dan penyakit akar tanaman.

8
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan.
3.1.1 Kompos adalah pupuk dari bahan-bahan organik yang direaksikan oleh
mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik
atau anaerobik serta terbentuk secara alami. Sedangkan pembuatan
biokompos, kompos dibuat diatur agar mendapatkan pupuk organik
yang lebih baik,cepat dan memiliki kandungan unsur hara yang serupa.

3.1.2 Pembuatan kompos menggunakan substrat jerami merupakan


pembuatan kompos yang mengkombinasikan bantuan mikroorganisme
dengan pengaturan kondisi lingkungan seperti pengolahan dan suhu.
Pembuatan biokompos jerami melalui beberapa fase yaitu fase
dekomposisi, penguraian, dan pematangan.

3.1.3 Pembuatan kompos melalui dua cara yaitu pengomposan secara aerobik
menggunakan oksigen dan menghasilkan panas dan air, sedangkan
pengomposan anaerobik tanpa oksigen yang menghasilkan produk
berupa metana, karbondioksida, dan senyawa intermediete dengan berat
molekul rendah.

3.1.4 Pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah, menambah


kemampuan tanah menahan air , menambah ketersedian unsur mikro
dan meningkatkan kegiatan biologi tanah. Penggunaan pupuk organik
lebih ramah lingkungan dibandingkan pupuk pestisida kimia. Pestisida
kimia menyebabkan pecemaran lingkungan oleh residu bahan kimia.
Pupuk organik memiliki kandungan unsur hara yang lebih rendah
dibandingkan pupuk pestisida.

3.2 Saran.
3.2.1 Kepada Peneliti.
Untuk para peneliti, sebaiknya lebih memperhatikan faktor lingkungan
(suhu, kelembapan, penyimpanan dan lain-lain), agar pengembangan
yang dilakukan dapat berlangsung secara optimal.
3.2.2 Kepada Pemerintah.
Kepada pemerintah, yang harus diperhatikan adalah harga dan kualitas,
harga yang dipatok sebaiknya dapat dijangkau oleh masyarakat
menengah ke bawah. Tetapi kualitas yang diberikan tetap bermutu.

9
3.2.3 Kepada Masyarakat.
Yang harus diperhatikan adalah bagaimana masyarakat menilai dan
memperhatikan lebih lanjut tentang pengembangan biokompos yang
dilakukan oleh pemerintah dan peneliti. Apakah telah berlangsung
secara optimal atau belum.

10

Anda mungkin juga menyukai