Anda di halaman 1dari 18

Makalah Case 4

PERTUMBUHAN BIOLOGI TUMOR

Kinetik Pertumbuhan Sel Tumor


Waktu yang di perlukan untuk bertransformasi membentuk masa tumor, di
pengaruhi oleh :
1. Waktu kelipatan sel tumor
Jumlah waktu untuk siklus pembelahan sel tumor, di kendalikan oleh
siklin, gen Rb (retino blastoma), dan TP53.
 SIKLIN DAN KINASE DEPENDEN-SI KLIN
Hasil akhir dari semua rangsangan yang mendorong
pertumbuhan adalah masuknya sel yang semula dalam keadaan
tenang ke dalam siklus sel. Kanker dapat menjadi otonom apabila
gen yang menggerakkan siklus sel mengalami disregulasi akibat
mutasi atau amplifikasi. progresi perjalanan teratur sel melalui
berbagai fase siklus sel dikendalikan oleh CDK setelah CDK
diaktifkan oleh pengikatannya ke famili protein lain yang disebut
siklin. CDK ini menyebabkan fosforilasi berbagai protein sasaran
yang penting dan diekspresikan secara konstitutif selama siklus sel,
tetapi dalam bentuk inaktif. Sebaliknya, berbagai siklin tersebut
baru disintesis sewaktu fase tertentu siklus sel, dan fungsi siklin
adalah mengaktifkan CDK dengan berikatan dengannya. Setelah
tugas ini selesai, kadar siklin dengan cepat turun Karena sifat
pembentukan dan penguraiannya yang siklis, protein ini disebut
siklin.
Siklus sel dapat dipandang sebagai suatu balap lari
beranting yang setiap putarannya diatur oleh suatu set siklin
tertentu, dan sewaktu salah satu sel siklin keluar dari jalur balap,
sel lainnya mengambil alih. Sementara siklin membangkitkan
CDK, inhibitor siklin, yang banyak jenisnya, menekan CDK dan
menimbulkan kontrol negatif terhadap siklus sel. Walaupun setiap
fase siklus dipantau secara cermat, transisi dari G, ke S
diperkirakan merupakan tahap yang sangat penting dalam siklus
sel. Apabila suatu sel menemukan sinyal yang mendorong
perbumbuhan, kadar family siklin D meingkat, dan CDI(4 dan
CDK6 menjadi aktif. Tahap ini, seperti yang akan kita lihat, dijaga
oleh produk protein retinoblastoma (pRB). Fosforilasi pRB yang
ditimbulkan oleh CDK mengalahkan hambatan G1 - S sehingga sel
dapat masuk ke dalam fase sintesis DNA. Perjalanan lebih Ianjut
dari fase S ke fase G, dipermudah oleh peningkatan (upregulation)
siklin A, yang berikatan dengan CDK2 dan CDK1. Pada awal fase
G1 siklin B mengambil alih. Dengan membentuk kompleks dengan
CDK1, siklin B membantu mendorong sel masuk dari fase G, ke
fase M. Aktivitas berbagai CDK diatur oleh dua famili inhibitor
CDK (CDKI). Salah satu famili CDKI, yang terdiri atas tiga
protein yang disebut CDKNIA(p27),p27, dan p57, menghambat
CDK secara luas, sedangkan famili CDKI yang lain memiliki efek
selektif pada siklin D/ CDK4 dan siklin D/CDK6.
Empat anggota dari famiii ini (p15, CDKN2A [p16], p18,
p19) kadang-kadang disebut protein INK4 (karena menghambat
CDK4 dan cDK6). Dengan latar belakang ini, kita mudah
memahami bahwa mutasi yang menyebabkan disregulasi aktivitas
siklin dan CDK akan memudahkan sel berproliferasi. Kesalahan
yang mengenai ekspresi siklin D atau CDK4 tampaknya sering
terjadi pada transformasi neoplastik. Gen siklin D mengalami
ekspresi berlebihan di banyak kanker, termasuk kanker yang
mengenai payudara, esofagus, dan hati, serta pada suatu subset
limfoma. Amplifikasi gen CDK4 terjadi pada melanoma/ sarkoma,
dan glioblastoma. Mutasi yang mengenai siklin B dan siklin E serta
CDK lain juga terjadi pada beberapa neoplasma ganas, tetapi
mutasi tersebut jauh lebih jarang dibandingkan dengan yang
mengenai siklin D / CDK4.

 Rb (Retinoblastoma )
Tanda panah abu-abu mewakili fase dalam siklus sel saat
kompleks CDK/siklin spesifik aktif. Seperti tergambarkan, siklin
D/CDK4, siklin D/CDK6, dan siklin E/CDK2 mengatur transisi G1
- S melalui fosforilasi protein RB (pRB). Siklin NCDK2 dan siklin
A/CDK1 aktif pada fase S. Siklin B/CDKI penting untuk transisi
G1 - M. Dua famili inhibitor CDK, yang disebut sebagai inhibitor
lNK4 dan terdiri atas p16, p15, pl B, serta p19, bekerja pada siklin
D/CDK4 dan siklin D/ CDK6. Famili lain dari tiga inhibitor, p21,
p27, dan p57, dapat menghambat semua CDK. Sekitar 60%
retinoblastoma bersifat sporadik, dan sisanya familial, dengan
predisposisi terjangkit tumor diwariskan sebagai sifat dominan
autosomal. Untuk menjelaskan kasus sporadik dan familial tumor
ini, Knudson, pada tahun 1974, mengajukan two-hits hypothesis-
nya yang sekarang terkenal. Dari aspek molekular, hipotesis ini
dapat dinyatakan sebagai berikut:
 Diperlukan dua mutasi (hits) untuk menghasilkan
retinoblastoma. Keduanya melibatkan gen RB, yang
terletak di kromosom 13q 14. Kedua alel normal lokus RB
harus diinaktifkan (dua hits) agar retinoblastoma dapat
muncul.
 Pada kasus familial anak mewarisi satu salinan defektif gen
RB di sel germinativum, salinan lainnya normal.
Retinoblastoma timbul apabila gen RB normal lenyap di
retinoblas akibat mutasi somatik. Karena pada keluarga
retinoblastoma hanya diperlukan satu mutasi somatik agar
ekspresi penyakit terjadi, pewarisan familial mengikuti pola
dominan autosomal.
 Pada kasus sporadik, kedua alel RB normal hilang akibat
mutasi somatik di salah sabu retinoblas. Hasil akhirnya
sama: Sel retina yang kehilangan kedua salinan normal dari
gen RB menjadi kanker. kehilnngan heterozigot gen RB
normal. Karena transformasi neoplastik berkaitan dengan
hilangnya kedua salinan normal gen RB, gen ini dan gen
penekan kanker lainnya juga disebut gen kanker resesif.
Sinyal dan jalur transduksi sinyal untuk inhibisi
pertumbuhan jauh lebih sedikit dipahami daripada
sinyal/jalur untuk promosi pertumbuhan. Bagaimanapun,
tidaklah salah apabila dianggap bahwa, serupa dengan
sinyal mitogenik, sinyal yang menghambat pertumbuhan
dapat berasal dari luar sel dan menggunakan reseptor,
signal transducer, dan regulator transkripsi inti sel untuk
menyelesaikan efeknya. Gen penekan tumor tampaknya
mengkode berbagai komponen pada jalur inhibisi
pertumbuhan ini.
Secara prinsip, sinyal antipertumbuhan dapat
mencegah proliferasi sel melalui dua mekanisme
komplementer. Sinyal antipertumbuhan dapat
menyebabkan sel yang sedang membelah masuk ke dalam
Go (tenang), yang selnya tersebut bertahan sampai isyarat
ekstemal mendorongnya masuk kembali ke siklus
proliferasi. Mekanisme lain adalah sel mungkin masuk ke
tahap pascamitotik dan berdiferensiasi serta kehilangan
potensi replikatifnya.
GEN RB DAN SIKLUS SEL
Banyak yang telah diketahui tentang gen RB karena
merupakan gen penekan tumor yang pertama kali ditemukan.
Produk gen RB adalah suatu protein pengikat DNA yang
diekspresikan pada semua sel yang diteiiti, protein tersebut berada
dalntn bentuk terhipofosforilasi aktif dan terhiperfosforilasi tidak
aktif. Pada keadaan aktif RB berfungsi sebagai rem untuk
menghambat melajunya sel dari fase G1 ke S pada siklus sel.
Apabila sel dirangsang oleh faktor pertumbnhan, protein RB
diinaktifkan melalui fosforilasi, rem dilepas, dan sel melewati
tahap G1- S. Saat masuk fase S, sel bertekad (comnitted) untuk
membelah tanpa memerlukan stimulasi faktor pertumbuhan
tambahan. Selama fase M berikutnya, gugus fosfat dikeluarkan
dari RB oleh fosfat selular sehingga kembali dihasilkan bentuk RB
terdefosforilasi.
Dasar molekular efek pengereman ini telah diungkapkan secara rinci dan
elegan. Sel tenang (quiescent, pada Go atau G1) mengandung RB bentuk
terhipofosforilasi yang inaktif. Pnda status ini, RB mencegah replikasi sel dengan
mengikat, dan mungkin menyebabkan sekuestrasi, famili E2F dari faktor
transkripsi. Apabila sel yang tenang ini dirangsang oleh faktor pertumbuhan,
konsentrasi siklin D dan E meningkat, dan aktivasi siklin D/CDK4, siklin
D/CDK6, dan siklin E/CDK2 yang terjadi menyebabkan fosforilasi RB. RB
bentuk terhiperfosforilasi membebaskan faktor transkripsi E2F dan mengaktifkan
transkripsi beberapa gen sasaran. Apabila tidak terdapat protein RB, atau apabila
kemampuannya untuk menyingkirkan faktor transkripsi terganggu akibat mutasi,
rem molekular terhadap siklus sel akan lepas, dan sel berpindah secara
'bersemangat' ke dalam fase S.
Mutasi pada gen lain yang mengendalikan fosforilasi RB dapat mirip
dengan efek hilangnya RB, gen ini mengalami mutasi pada banyak kanker yang
tampaknya memiliki gen RB normal. Sebagai contoh, aktivasi siklin D atau CDK
4 akibat mutasi akan mendorong proliferasi sel melalui fasilitasi fosforilasi RB.
Siklin D diekspresikan secara berlebihan di banyak tumor karena translokasi atau
amplifikasi gen. Inaktivasi CDKIs akibat mutasi juga dapat mendorong siklus sel
melalui aktivasi tak-terkendali siklin dan CDK. Salah satu inhibitor tersebut, yang
dikode oleh gen CDKN2A (juga disebut inhibitor kinase 4 IINK4a]), sangat
sering menjadi sasaran inaktivasi mutasional atau deletif pada berbagai tumor.
Mutasi CDKN2A pada sel germinativum dilaporkan terjadi pada 25%
keluarga rentan-melanoma. Delesi atau inaktivasi CDKN2A yang diperoleh secara
somatis ditemukan pada 75% karsinoma pancreas, 40% hingga 70% glioblastoma,
50% kanker esophagus, dan 20% karsinoma paru nonsel kecil, sarkoma jaringan
lunak, dan kanker kandung kemih. Paradigma yang berkembnng adalah bahwa
hilangnya kontrol siklus sel normal merupaknn hal pokok bagi transformasi
keganasan dan bahwa pada sebagian besar kanker manusia paling sedikit satu dari
empat regulator kunci siklus sel (CDKN2A, siklin D, CDK4, RB) mengalami
mutasi. Pada sel yang mengandung mutasi dari CDKN2A, sikiin D, atau CDK4,
fungsi gen RB terganggu walaupun gen RB itu sendiri tidak mengalami mutasi.
Protein penyebab transformasi pada beberapa virus DNA onkogenik hewan dan
manusia tampaknya bekerja, sebagian, dengan menetralkan aktivitas RB
menghambat pertumbuhan.
Antigen T besar polioma virus dan SV40, protein EIA adenovirus, dan
protein E7 virus papiloma manusia (human papilloma virus, HPV) berikatan
dengan RB bentuk terhipofosforilasi. Protein RB, karena tidak mampu mengikat
faktor transkripsi E2F, secara fungsional tidak berdaya, dan sel kehilangan
kemampuannya mengalami inhibisi oleh sinyal antipertumbuhan yang disalurkan
melalui jalur RB.
 GEN TP53
Gen penekan tumor TP53 (dahulu p53) adalah salah satu gen yang paling
sering mengalami mutasi pada kanker manusia. Gen ini memiliki banyak fungsi
dan tidak dapat diklasifikasikan dengan mudah ke dalam kelompok fungsional
tertentu yang serupa dengan gen lain yang dijelaskan di bagian ini. TP53 dapat
menimbulkan efek antiproliferasi, tetapi ynng tidak kalah penting, gen ini jug
mengendalikan apoptosis. Secara mendasar, TP53 dapat dipandang sebagai suatu
monitor sentral untuk stres, mengarahkan sel untuk memberikan tanggapan yang
sesuai, baik berupa penghentian siklus sel maupun apoptosis. Berbagai stres dapat
memicu jalur respons TP53, termasuk anoksia, ekspresi onkogen yang tidak
sesuai (misal, MYC), dan kerusakan pada integritas DNA.
Dengan mengendalikan respons kerusakan DNA, TP53 berperan penting
dalam mempertahankan integritas genom, seperti terlihat pada pembahasan
berikut. TP53 normal di dalam sel yang tidak mengalami stres memiliki waktu
paruh yang pendek (20 menit). Waktu-paruh yang pendek ini disebabkan oleh
ikatan dengan MDM2, suatu protein yang mencari TP53 untuk
menghancurkannya. TP53 mengalami modifikasi pasca transkripsi yang
membebaskannya dari MDM2 dan meningkatkan waktu-paruhnya. Selama proses
pembebasan dari MDM2, TP53 juga menjadi aktif sebagai suatu faktor
transkripsi. Sudah ditemukan Iusinan gen yang transkripsinya dipicu oleh TP53.
Gen tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kategori umum gen yang
menyebabkan penghentian siklus sel dan gen yang menyebabkan apoptosis.
Penghentian siklus sel yang diperantai oleh TP53 dapat dianggap sebagai
respons primordial terhadnp kerusaknn DNA. Hal ini terjadi pada akhir fase G,
dan disebabkan terutama oleh transkripsi CDKI dependen-TPs3 CDKI{IA (p21).
Gen CDKN 1 A,seperti telah dijelaskan, menghambat kompleks siklin/CDK dan
mencegah fosforilasi RB yang penting agar sel dapat masuk ke fase G,.
Penghentian sikius sel ini disambut baik karena "memberi napas" bagi sel untuk
memperbaiki kerusakan DNA. TP53 juga membantu proses dengan menginduksi
protein tertentu, seperti GADD45 (penghentian pertumbuhan dan kerusakan
DNA), yang membantu perbaikan DNA. Apabila kerusakan DNA berhasil
diperbaiki, TP53 meningkatkan (upregulate) transkripsi MDM2, yang kemudian
menekan (down-regulate) TP53, sehingga hambatan terhadap siklus sel dapat
dihilangkan. Apabila selama jeda kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki, TP53
normal mengarahkan sel ke "Iiang kabur" dengnn memicu apoptosis. Protein ini
melakukannya dengan memicu gen pencetus apoptosis seperti BAX. Bagaimana
TP53 mendeteksi kerusakan DNA dan bagaimana gen tersebut menilai kelayakan
perbaikan DNA masih belum dipahami sepenuhnya. Salah satu sensor kerusakan
DNA semacam ini mungkin adalah protein ATM yang mengalami mutasi pada
ataksi-telangiektasia. Pasien dengan ataksia-teiangiektasia tidak mampu
memperbaiki kerusakan akibat sinar X. Protein ATM dapat mengikat DNA yang
rusak dan memfosforilasi TP53. Dapat dipertimbangkan bahwa pasien dengan
ataksia-telangiektasia tidak dapat memperbaiki kerusakan DNA karena sensor
ATM tidak dapat memicu jalur TP53.
Selain sensor terhadap kerusakan awal, TP53 harus memiliki "teman"
yang dapat memberi tahunya apakah apoptosis perlu dimulai. Secara singkat,
TP53 mendeteksi kerusakan DNA melalui mekanisme yang tidak diketahui dan
membantu perbaikan DNA dengan menyebabkan penghentian G1 dan memicu
gen yang memperbaiki DNA. Sel ynng mengalami kerusakan DNA dan tidak
dapat diperbaiki diarahkan oleh TP53 untuk mengalami apoptosis. Berdasarkan
aktivitas ini, TP53 layak disebut "pengawal genom". Apabila terjadi kehilangan
TP53 secara homozigot, kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki dan mutasi akan
terfiksasi di sel ynng membelah sehingga sel akan masuk jalan satu arah menuju
transformasi keganasan. Pentingnya TP53 dalam mengontrol karsinogenesis
dibuktikan oleh kenyataan bahwa lebih dari 70% kanker pada manusia
memperlihatkan cacat pada gen ini, dan sisanya memperlihatkan cacat pada gen
yang terletak di sebelah hulu atau hilir dari TP53.
Kehilangan gen TP53 secara homozigot ditemukan pada hampir semua
jenis kanker, termasuk karsinoma paru, kolon, dan payudara, tiga penyebab utama
kematian akibat kanker. Pada sebagian besar kasus, sel somatik mengalami mutasi
inaktivasi yang mengenai kedua alel TP53. Yang lebih jarang ditemukan adalah
pasien yang mewarisi satu alel mutan TP53. Seperti gen RB, pewarisan satu alel
mutan merupakan predisposisi terbentuknya tumor ganas karena hanya diperlukan
satu hit tambahan untuk menginaktifkan alel kedua yang normal. Orang seperti
ini, yang dikatakan mengalami sindrom Li-Fraumenl, memperlihatkan
peningkatan risiko 25 kali lipat mengidap tumor ganas pada usia 50 tahun
dibandingkan dengan populasi umum. Berbeda dengan pasien yang mewarisi satu
alel RB mutan, spektrum tumor yang timbul pada pasien sindrom Li-Fraumeni
bervariasi, jenis tumor tersering adalah sarkoma, kanker payudara, leukemia,
tumor otak, dan karsinoma korteks adrenal. Dibandingkan dengan tumor sporadik,
tumor yang mengenai pasien sindrom Li-Fraumeni timbul pada usia lebih muda,
dan pasien tersebut mungkin mengidap tumor primer multipel. Seperti protein RB,
TP53 normal juga dapat dibuat nonfungsional oleh beberapa virus DNA tertentu.
Protein yang dikode oleh HPV onkogenik, virus hepatitis B (HBV), dan mungkin
virus Epstein-Barr (EBV) dapat mengikat protein TP53 normal dan
menghilangkan fungsi protektifnya. Oleh karena itu, virus DNA dapat
"menumbangkan" dua dari gen penekan tumor yang paling dikenal, RB dan TP53.

2. Fraksi Pertumbuhan
Jumlah populasi sel tmor yang berada pada kutub proliferatif ( dalam keadaan
membelah )
Gen APC (poliposis coli adenomatosa), yang sering hilang pada kanker
kolon, menimbulkan efek antiproliferasi melalui cara yang tidak lazim. Ini
merupakan suatu protein sitoplasma yang fungsi utamanya adalah mengatur
kadar intrasel B-katenin, suatu protein yang memiliki banyak fungsi. Di satu
pihak, B-katenin berikatan dengan bagian sitoplasma dari E-kaderin, suatu
protein permukaan yang mempertahankan perlekatan antarsel, di pihak lain, p-
katenin dapat mengalami perpindahan ke inti sel dan mengaktifkan proliferasi
sel. Di bagian ini, fokusnya adalah pada fungsi yang terakhir. B-Katenin adalah
suatu komponen penting dari apa yang disebut sebagai jalur sinyal WNT. WNT
adalah suatu faktor larut yang dapat memicu proliferasi sel. WNT
melakukannya dengan berikatan dengan reseptornya dan menyalurkan sinyal
yang mencegah penguraian B-katenin.
B-katenin kemudian dapat masuk ke dalam inti sel dan bekerja sebagai
aktivator transkripsi bersama dengan molekul lain, yang disebut TcF. Pada sel
yang tenang, yang tidak terpajan WNT, B-katenin di sitoplasma terurai oleh
kompLeks destruksi, yang APC-nya merupakan salah satu bagian integralnya.
Pada sel normal dalam keadaan istirahat, APC mencegah sinyal p-katenin
dengan mendorong penguraian zat tersebut. Dengan hilangnya APC (pada sel
ganas), penguraian B-katenin terhambat dan respons terhadap sinyal WNT
terus diaktifkan. Hal ini menyebabkan terjadinya transkripsi gen yang
mendorong pertumbuhan, seperti siklin D1 dan MYC. APC berperilaku seperti
suatu gen penekan tumor. Orang yang lahir dengan satu alel mutan membentuk
ratusan sampai ribuan polip adenomatosa di kolon pada masa remaja atau usia
20-an tahun. Satu atau lebih poiip hampir selalu berubah menjadi ganas.
Seperti gen penekan tumor lainnya, kedua salinan gen APC harus lenyap
sebelum tumor dapat terbentuk. Seperti akan dibahas, agar kanker kolon dapat
terbentuk harus terjadi mutasi lain. Mutasi APC ditemukan pada 70o/' hingga
80% kanker kolon sporadik. Kanker kolon yang memiliki gen APC normal.
3. Produksi dan Kehilangan sel tumor
Progresifitas sel tumor ditentukan oleh selisih sel tumor yang di roduksi dengan
sel yang mati.

ANGIOGENESIS
Bahkan dengan semua kelainan genetik yang dibahas sebelumnya, tumor
tidak dapat membesar lebih dari 1 sampai 2 mm (garis tengah atau ketebalan),
kecuali apabila tumor memiliki vaskularisasi. Diperkirakan zona 1 sampai 2 mm
merupakan jarak maksimum dari pembuluh darah yang dapat ditempuh oleh
oksigen dan nutrien melalui proses difusi. Di atas ukuran ini, tumor akan sulit
membesar tanpa vaskularisasi karena hipoksia memicu apoptosis dengan
mengaktifkan TP53. Neovaskularisasi memiliki efek ganda pada pertumbuhan
tumor. Perfusi menyalurkan nutrien dan oksigen, dan sel endotel yang baru
terbenluk merangsang pertumbuhan sel tumor di sekitamya dengan
mengeluarkan berbagai polipeptida, seperti insulin-like growth factor (faktor
pertumbuhan mirip insuiin), PDGF, granulocyte-macrophage colony-stimulating
factor (GM-CSF, faktor perangsang koloni granulosit-makrofag), dan
inierleukin-1 (IL-1).
Angiogenesis dibutuhkan tidak saja untuk keberlanjutan pertumbuhan
tumor, tetapi juga untuk metastasis. Tanpa akses ke pembuluh darah, sel tumor
tidak dapat bermetastasis . Angiogenesis merupakan aspek biologik yang sangat
penting pada keganasan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa tumor
mengandung faktor yang mampu memengaruhi seluruh rangkaian kejadian yang
berperan dalam pembentukan kapiler baru. Faktor angiogenik terkait-tumor
(tumor sasocinted angiogenic facftor) mungkin dihasilkan oleh sel tumor atau
mungkin berasal dari sel radang (misal, makrofag) yang menyebuk tumor. Dari
sekitar selusin faktor angiogenik terkait-tumor, dua yang paiing penting adalah
vaskular endothel growth factor (VEGF, faktor pertumbuhan endotel vaskular)
dan basic fibroblast growth factor. Sekarang telah jelas bahwa sel tumor tidak
saja menghasilkan faktor angiogenik, tetapi juga menginduksi molekul
antiangiogenesis. Paradigma yang muncul adalah bahwa pertumbuhnn tumor
dikendalikon oleh keseimbagan antara faktor angiogenik dan faktor yang
menghambat angiogenesis.
Faktor antiangiogenesis, seperti trombospondin-1, mungkin dihasilkan
oleh sel tnmor itu sendiri, atau produksinya mungkin dipicu oleh sel tumor.
Kategori yang terakhir mencakup angiostatin, endostatin, dan vaskulostatin.
Ketiga inhibitor angiogenesis yang paten ini masing-masing berasal dari
penguraian plasminogen, kolagen, dan transtiretin secara proteolitis. Pada awal
pertumbuhannya, sebagian besar tumor manusia tidak memicu angiogenesis.
Tumor tetap kecil atau in situ selama bertahun-tahun sampai terjadi angiogenic
switch yang mengakhiri stadium quitescense vaskular. Dasar molekular
ongiogenic switch ini masih belum jelas seluruhnya, tetapi mungkin melibatkan
peningkatan produksi faktor angiogenik atau hilangnya inhibitor angiogenesis.
Gen TP53 ruild-type tampaknya menghambat angiogenesis dengan
menginduksi sintesis molekul antiangiogenik trombospondin-1. Pada mutasi
inaktivasi kedua alel Tp53 (suatu proses yang sering terjadi pada banyak kanker),
kadar trombospondin-1 sangat berkurang sehingga keseimbangan condong ke
faktor angiogenik. Hipoksia di dalam tumor yang sedang tumbuh memudahkan
terjadinya angiogenesis melalui pembebasan hypoxin-indtrcible factor-1 (HIF-1).
HIF-1 mengendalikan transkripsi VEGF. Transkripsi VEGF juga berada di
bawah kendali onkogen R,45, dan aktivasi R-4S akan meningkatkan produksi
VEGF. Protease juga berperan dalam mengendalikan keseimbangan antara faktor
angiogenik dan antiangiogenesis. Banyak protease dapat membebaskan basic
fibroblast growth factor yang tersimpan di dalam matriks ekstrasel (ECM).
Sebaliknya, pemecahan plasmin akan menghasilkan angiostatin, suatu inhibitor
angiogenesis yang paten.

PROGRESI DAN HETEROGENITAS


Telah dipastikan bahwa selama suatu periode waktu, banyak tumor
menjadi lebih agresif dan semakin ganas. Fenomena ini disebut sebagai progresi
tumor dan harus dibedakan dengan peningkatan ukuran tnmor. Penelitian klinis
dan eksperimental yang teliti mengungkapkan bahwa peningkatan keganasan
(misal, pertumbuhan semakin cepat, invasif, dan kemampuan bermetastasis)
sering diperoleh secara akumulatif. Fenomena biologik ini berkaitan dengan
kemunculan secara berurutan berbagai subpopulasi sel yang berbeda dalam
beberapa aspek fenotipe, misalnya daya invasi, kecepatan pertumbuhan,
kemampuan metastasis, kariotipe, respons terhadap hormon, dan kerentanan
terhadap obat antineoplastik. Walaupun sebagian besar tumor memitiki nasal
monoklonal, pada saat bermanifestasi secara klinis sel konsistensinya sangatlah
heterogen. Di tingkat molekular, progresi dan heterogenitas tumor kemungkinan
besar terjadi akibat mutasi multipel yang terakumulasi secara independen.

INVASI DAN METASTASIS


Seperti telah banyak diketahui, jaringan manusia tersusun menjadi
serangkaian kompartemen yang dipisahkan satu sama lain oleh dua jenis matriks
ekstrasel (ECM). Membran basal dan jaringan ikat interstisium. Walaupun tertata
secara berlainan, tiap-tiap komponen ECM ini terdiri atas kolagen, glikoprotein,
dan proteoglikan. Suatu karsinoma mula-mula harus melewati membran basal di
bawahnya, kemudian berjalan melintasi jaringan ikat interstisium, dan akhirnya
memperoleh akses ke sirkulasi dengan menembus membran basal pembuluh
darah. Siklus ini berulang saat embolus sel tumor mengalami ekstravasasi di
tempat yang jauh. Invasi ECM merupakan suatu proses aktif yang diselesaikan
dalam empat langkah:
1. Terlepasnya sel tumor satu sama lain
2. Melekatnya sel bumor ke komponen matriks
3. Penguraian ECM
4. Migrasi sel tumor
Langkah pertama dalam jenjang metastatik adalah merenggangnya sel
tumor. Seperti disinggung sebelumnya, E-kaderin bekeqa sebagai lem antarsel,
dan bagian E-kaderin yang berada di sitoplasma berikatan dengan B-katenin.
Molekul E-kaderin yang berdekatan mempertahankan agar sel tetap menyatu,
sedangkan perlekatan homotipik yang diperantarai oleh E-kaderin menyalurkan
sinyal antipertumbuhan melalui B-katenin. B-Kateninbebas dapat mengaktifkan
transkripsi gen yang mendorong pertumbuhan. Fungsi E-kaderin lenyap di
hampir semua kanker sel epitel, baik akibat mutasi inaktivasi gen E-kaderin
maupun oleh aktivasi gen p-katenin. Perubahan pola ekspresi molekul perekat sel
lainnya pada superfamili imunoglobulin juga berperan menyebabkan invasi.
Sebagai contoh, pada neuroblastoma dan kanker paru sel kecil, terjadi perubahan
dari isoform neural cell adhesion molecule (N-CAM, molekul perekat sel saraf)
yang sangat adhesif menjadi isoform yang kurang adhesif.
Langkah kedua, melekatnya sel tumor ke berbagai protein ECM, seperti
laminin dan fibronektin, penting untuk invasi dan metastasis. Sel epitel normal
memiliki reseptor untuk laminin membran basal yang terpolarisasi di permukaan
basalnya. Sebaliknya, sel karsinoma memiliki lebih banyak reseptor, dan reseptor
ini tersebar di seluruh membran sel. Terdapat korelasi antara kepadatan reseptor
laminin di sel karsinoma payudara dan metastasis kelenjar getah bening.
Perubahan pola ekspresi integrin juga mendorong invasi. pada banyak sei
karsinoma, perlekatan ke stroma dipermudah oleh hilangnya integrin yang
berikatan dengan ECM normal dan digantikannya integrin tersebut oleh integrin
yang berikatan dengan ECM yang telah diuraikan oleh protease.
Langkah ketiga dalam invasi adalah degradasi lokal membran basal dan
jaringan ikat interstisium. Sel tumor itu sendiri mengeluarkan enzim proteolitik
atau menginduksi sel pejamu (misal, fibroblas) untuk mengeluarkan protease.
Beberapa enzim penghancur matriks yang disebut metaloproteinase termasuk
gelatinase, kolagenase, dan stromelisin, ikut berperan. Kolagenase tipe IV adalah
suatu gelatinase yang memecah kolagen tipe iV epitel dan membran basal
vaskular. Tumor jinak payudara, kolon, dan lambung hanya sedikit
memperlihatkan aktivitas kolagenase tipe IV, sedangkan padanan ganasnya
memperlihatkan ekspresi berlebihan enzim ini. Sementara itu, kadar inhibitor
metaloproteinase berkurang sehingga keseimbangan bergeser ke arah
penghancuran jaringan. Hal serupa juga ditemukan pada protease lain, termasuk
katepsin D. Ekspresi berlebihan katepsin D ditemukan pada kanker payudara
invasif. Berdasarkan pengamatan ini, dilakukan upaya untuk menggunakan
inhibitor protease sebagai terapi kanker.
Pergerakan, tahap terakhir pada invasi, mendorong sel tumor berjalan
menembus membran basal yang telah rusak dan matriks yang telah mengalami
iisis. Migrasi tampaknya diperantarai oleh berbagai sitokin yang berasal dari sel
tumor, misalnya faktor motilitas autokrin. Selain itu, produk penguraian
komponen matriks (misal, kolagen, Iaminin) dan sebargian faktor pertumbuhan
(misal, insulin-like growth factor I dan 11) memiliki aktivitas kemotaktik untuk
sel tumor. Sel stroma juga menghasilkan efektor parakrin untuk motilitas sel,
seperti hepatocyte growth factor/scotter factor (HGF /SCF), yang berikatan
dengan reseptor di sel tumor, Konsentrasi HGF/SCF meningkat di bagian tepi
tumor otak yang sangat invasif, glioblastoma multiforma, yang mendukung peran
faktor ini dalam motilitas tumor.
PENYEBARAN VASKULAR DAN SASARAN SEL TUMOR
Saat berada di dalam sirkulasi, sel tumor rentan terhadap destruksi oleh sel
imun pejamu. Di dalam aliran darah, sebagian sel tumor membentuk embolus
dengan membentuk gumpalan dan melekat ke leukosit, terutama trombosit; sel
tumor yang menggumpal tersebut akan sedikit banyak memperoleh perlindungan
dari serangan sel efektor antitumor pejamu.
Namun, sebagian besar sel tumor masuk dalam sirkulasi sendiri-sendiri,
Ekstravasasi sel tumor bebas atau embolus sel memerlukan perlekatan ke endotei
vaskular yang diikuti oleh pergerakan meialui membran basal dengan mekanisme
yang serupa dengan yang berperan dalam invasi. Tempat ekstravasasi dan
distribusi organ pada metastasis umumnya dapat diperkirakan berdasarkan lokasi
tumor primer dan drainase vaskular atau limfenya. Namun, pada banyak kasus,
jalur alami drainase tidak mudah menjelaskan distribusi metastasis' Seperti
disinggung sebelumnya, sebagian tumor (misal, kanker paru) cenderung
menyebar ke adrenal, tetapi hampir tidak pemah ke otot rangka .Tropisme organ
semacam ini mungkin berkaitan dengan ekspresi oleh sel tumor molekul perekat
yang ligannya banyak diekspresikan oleh endotel organ sasaran.
Mekanisme baru lainnya pada penyebaran spesifik tempat ini melibatkan
berbagai kemokin dan reseptomya. Kemokin berperan dalam gerakan terarah
(kemotaksis) leukosit. Tampaknya sel kanker juga membaca bab ihr dan
menggunakan tipuan serupa untuk menuju ke jaringan tertentu. Sel kanker
payudara manusia mengekspresikan gen reseptor kemokin CXCR4 dan CCRT
dengan kadar tinggi. Ligan untuk reseptor ini (yaitu kemokin CCL21 dan
CXCL12) banyak diekspresikan hanya di organ tempat sel kanker payudara
bermetastasis Berdasarkan fakta ini, diperkirakan blokade reseptor kemokin
dapat menghambat metastasis. Walaupun demlkian, untuk sebagian besar kanker,
lokalisasi pasti metastasis tidak dapat diperkirakan.

Anda mungkin juga menyukai