Anda di halaman 1dari 12

FISIOLOGI PASCAPANEN JAMBU BIJI

WARIYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jambu biji merupakan salah satu jenis buah yang banyak dibudidayakan di
Indonesia. Luas panen dari buah jambu biji di Indonesia tahun 2017 sebesar... dan
pada tahun 2018 sebesar... (Kementan 2018). Produksi jambu biji di Indonesia
menurut data dari Badan Pusat Statistik Nasional pada tahun 2017 mencapai
200,495 ton dan pada tahun 2018 naik sebesar 15.06% menjadi 230,697 ton. Jambu
biji memiliki kandungan kandungan anti oksidan yang cukup tinggi, menurut (Yan
et al. 2006) buah jambu biji memiliki kandungan antioksidan primer yang lebih
tinggi dari buah jeruk, nanas, pisang, buah naga, belimbing, sarikaya, dan jambu
air. Kandungan asam amino, glisin dan vitamin B6 buah jambu biji juga sangat baik
dikonsumsi untuk pemulihan pasien demam berdarah (Azizahwati 2000).
Buah jambu biji merupakan salah satu buah klimaterik yang akan mudah
rusak apabila tidak dilakukan penanganan dengan baik. Secara alami buah memiliki
tahapan-tahapan perkembangan yang akan mempengaruhi karakteristik fisik
maupun kimia dari buah. Tahapan tersebut dimulai dari pembentukan sel buah,
pendewasaan (maturation), pemasakan (ripening), penuaan (senesence) dan
akhirnya kerusakan (deterioration). Perubahan-perubahan tersebut melibatkan
reaksi biokimia kompleks yang dapat berlangsung apabila didukung oleh kondisi
lingkungan tempat penyimpanan. Kondisi lingkungan dapat mempercepat atau
memperlambat proses biokimia di dalam buah. Analisis mengenai tahapan
perubahan akibat adanya reaksi biokimia di dalam buah jambu biji dan
hubungannya dengan lingkungan menjadi salah satu hal yang penting untuk
diketahui agar penanganan pascapanen jambu biji dapat dilakukan dengan efektif
dan efisien.

Tujuan

Tujuan dari penulishan makalah ini adalah untuk mengetahui proses-proses


fisiologi pascapanen buah jambu biji sehingga penanganan pascapanen dapat
dilakukan dengan efektif dan efisien.
2

TINJAUAN PUSTAKA

Jambu Biji

Jambu biji merupakan buah klimaterik yang mimiliki kandungan air cukup
tinggi yaitu berkisar antara 80%. Beberapa jenis jambu biji yang banyak
dibudidayakan di Indonesia adalah jambu kristal, jambu bangkok dan jambu merah.
Kandungan nutrisi jambu biji dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan nutrisi jambu biji pada setiap 100 gr buah (Mitra 1997)
Komposisi Kandungan
Kadar air (%) 83.3
Kadar abu (%) 16.6
Kadar lemak (%) 0.36
Kadar protein (%) 1.06
Serat kasar (%) 3.8
Pulp (%) 86.5
Gula pereduksi (%) 4.0
Gula nonpereduksi (%) 2.9
Total gula (%) 6.8
Total padatan terlarut (%) 12.0
Rasio gula-asam 10.1
pH 4.7
Asam pektat (%) 0.51
Total pektin (%) 0.99
Calsium (mg %) 17.0
Fosfor (mg %) 28.4
Klorofil (mg %) 0.67
Vitamin A (IU) 250
Karoten (mg %) 0.69
Xantofil (mg %) 0.13
Asam askorbat (mg %) 336.8
Tiamin (mg %) 0.05
Riboflavin (mg %) 0.03
Niasin (mg %) 1.18

METODE

Penulisan makalah ini dilakukan melalui studi literatur dari jurnal-jurnal


ilmiah dan buku-buku fisiogi pascapanen yang secara bebas dapat diakses di
internet dan tersedia di perpustakaan IPB.
3

PEMBAHASAN

Peran respirasi dan etilen dalam proses ripening

Buah setelah panen masih melakukan berbagai proses fisiologi yang terus
berlanjut hingga busuk dan rusak. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya
perubahan fisiologi dari jambu biji atau jenis buah berdaging lain kebanyakan
berasal dari aktifitas-aktifitas kimia di dalam buah itu sendiri yang didukung oleh
faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban (RH), komposisi udara di lingkungan
dan mikroorganisme. Reaksi-reaksi biokimia tersebut meliputi reaksi respirasi,
aktifitas enzimatik, aktifitas etilen dan lain-lain. Tahapan perkembangan di dalam
buah jambu biji dimulai dari pembentukan sel buah, pematangan (maturation),
pemasakan (ripening), penuaan (senesence) dan akhirnya kerusakan
(deterioration). Setiap fase dari tahapan perubahan tersebut dapat diukur secara
kualitatif maupun kuantitatif yang meliputi perubahan tekstur, perubahan
komponen gula, senyawa pembentuk warna (pigmen), dan senyawa pembentuk cita
rasa (flavour dan aroma).
Masa pertumbuhan buah dimulai dengan pembelahan sel dan berlanjut
dengan pembesaran sel sampai ukuran akhir tercapai. Pendewasaan / Maturation
dimulai biasanya tepat sebelum akhir pertumbuhan dan itu adalah tahap
perkembangan yang mengarah pada pencapaian kematangan fisiologis buah
(ripening), yang merupakan titik perkembangan buah dimana, secara penuh
tercapai kapasitas fungsional untuk melanjutkan ontogeni dan matang secara
normal. Senescence adalah periode di mana proses katabolik dominan terjadi yang
mengarah pada degradasi dan kematian jaringan. Kematangan/ Maturation dibagi
menjadi dua kategori umum, yaitu kematangan fisiologis dan kematangan
hortikultura. Kematangan fisiologis adalah tahap setelah buah mampu berkembang
lebih lanjut yaitu ripening on atau ripening off (dalam kasus buah-buahan
klimakterik). Kematangan hortikultura mengacu pada tahap perkembangan ketika
tanaman atau bagian tanaman memiliki prasyarat kualitas untuk digunakan oleh
konsumen untuk tujuan tertentu (Yahia 2017).
Beberapa perbedaan istilah antara maturity dan ripening, antaralain (Yahia
2017):
(1) "Mature," yang berasal dari kata Latin "maturus," yang berarti ripen
(pematangan), mengacu pada tahap dimana tercapai kualitas edible maksimal pada
akhir proses pematangan buah.
(2) "Mature" yang merupakan proses dimana tercapai kematangan buah. Mengacu
pada fase transisi dimana buah mendekati akhir pertumbuhan fisik untuk mencapai
kematangan fisiologi. Beberapa tahap maturation, misalnya, imature, mature,
optimally mature, dan over mature.
(3) "Mature," di sisi lain, berasal dari kata Saxon "Ripi," yang berarti
mengumpulkan atau menuai, yang merupakan kondisi dimana buah setelah panen
mencapai kualitas maksimal yang dapat dimakan.
(4) "Ripening" melibatkan serangkaian perubahan yang terjadi sebelum terjadi
senesence (penuaan) buah di mana struktur dan komposisi buah mentah diubah
sehingga menjadi dapat diterima untuk konsumsi. Ripening adalah proses fisiologis
kompleks yang menyangkut perubahan warna, rasa, tekstur, dan intensitas aroma.
4

Hubungan fisiologi dan biokimia yang terkait dengan proses ripening meliputi
peningkatan laju respirasi dan produksi etilen, hilangnya klorofil dan degradasi
kloroplas, sintesis atau munculnya pigmen lain seperti karotenoid atau flavonoid,
sintesis kromoplat, ekspansi sel yang berkelanjutan, dan konversi metabolit
kompleks menjadi molekul sederhana seperti aroma volatil. "Senescence" dapat
didefinisikan sebagai tahap terakhir ontogeni organ tanaman yang mengarah pada
kerusakan seluler dan kematian.
Perbedaan proses ripening antara buah klimaterik dan non klimaterik
setelah panen dapat dilihat dari jumlah gas CO2 dan etilen yang dihasilkan. Buah
klimaterik ditandai dengan produksi CO2 dan etilen yang tinggi dan meningkat
tajam pada proses ripening (ripening on), diikuti dengan perubahan yang nyata
pada komposisi kimia, aroma, dan tekstur dari buah. Sebaliknya, untuk buah non
klimaterik produksi CO2 dan etilen relatif rendah dan konstan serta tidak diikuti
dengan perubahan komposisi kimia dan aroma selama proses ripening (ripening
off) (Rukmana 2008). Produksi gas CO2 pada buah dalam penyimpanan
mengindikasikan adanya proses respirasi di dalam buah. Diagram laju respirasi
buah klimaterik dan non klimaterik didasarkan pada pengukuran CO2 dapat dilihat
pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1, dapat dilihat bahwa laju respirasi tertinggi
terjadi pada fase pembelahan sel (cell division) baik pada buah klimaterik maupun
non-klimaterik. Hal ini dikarenakan ketika sel melakukan pembelahan, di butuhkan
energi yang sangat besar. Seiring dengan pertumbuhan buah laju respirasi semakin
menurun sampai pada awal fase (ripening). Produksi etilen pada fase pembelahan
sel sampai pembesaran sel (cell enlargement) tidak ada perbedaan antara buah
klimaterik dengan non-klimaterik. Memasuki fase ripening, terjadi peningkatan
produksi etilen dan laju respirasi yang signifikan pada buah klimaterik sementara
pada buah non-klimaterik tidak terjadi peningkatan etilen maupun laju respirasi
(Nurjanah 2002). (Bashir 2002) melaporkan bahwa laju produksi CO2 buah jambu
biji, selama ripening menunjukkan pola klimaterik, dengan puncak klimaterik
terjadi pada kekerasan buah 1.21 kg/cm2 seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 1 Hubungan antara laju respirasi, pertumbuhan dan produksi etilen


5

Gambar 1. Hubungan kekerasan dan laju respirasi pada buah jambu

Perubahan-perubahan fisiologi di dalam buah tidak dapat dipisahkan dari


adanya proses respirasi. Respirasi adalah proses oksidasi bahan bakar organik
(substrat: karbohidrat, lemak atau protein) dan oksigen untuk menghasilkan produk
utama berupa ATP serta produk samping air dan karbon dioksida. Katabolisme
substrat adalah satu-satunya sumber energi yang dapat digunakan buah untuk
melanjutkan aktivitas kehidupannya pasca dipanen. ATP (Adenosin Triphosphat)
dibutuhkan untuk melangsungkan reaksi-reaksi biokimia di dalam buah. Contoh
respirasi katabolisme pemecahan glukosa menjadi karbondioksida, air, dan ATP
dapat dilihat pada Persamaan 1.

C6H12O6 + 6 O2  6CO2 + 6H2O +ATP (1)

Perubahan-perubahan pascapanen dari buah klimaterik sangat ditentukan


oleh ketersediaan O2 di lingkungan. Penekanan konsentrasi O2 di udara dapat
memperlambat proses respirasi di dalam buah. Terhambatnya proses respirasi di
dalam buah dapat menghambat perubahan-perubahan fisiologi buah sehingga
secara langsung dapat menghambat kerusakan buah. Selain respirasi, faktor lain
yang tidak bisa dilepas dari proses perubahan fisik dan biokimia dari buah adalah
etilen. Menurut (Winarno 2002) etilen (C2H4) adalah sejenis senyawa tak jenuh
yang dapat dihasilkan tanaman sewaktu-waktu. Etilen merupakan hormon yang
berperan dalam proses ripening buah. Pola produksi etilen berbeda-beda antara
suatu dengan buah lain. Pada fase ripening buah klimaterik, produksi etilen
meningkat secara signifikan sedangkan untuk buah non klimaterik tidak terlihat
adanya peningkatan. Laju respirasi dan produksi etilen dapat menggambarkan
aktivitas metabolik di dalam buah. Umumnya, komoditas pascapanen yang
memiliki laju respirasi dan produksi etilen rendah cenderung mempunyai masa
simpan lebih panjang.
6

Properti lingkungan seperti suhu, komposisi gas dalam udara, dan RH adalah
faktor yang mempengaruhi laju respirasi dan produksi etilen di dalam buah.
Semakin rendah komposisi gas O2 di lingkungan tempat penyimpanan semakin
lambat respirasi buah. Semakin tinggi suhu lingkungan penyimpanan, aktifitas-
aktifitas enzimatik di dalam sel akan semakin cepat. Untuk itu, dilakukan rekayasa
pada lingkungan untuk menekan reaksi-reaksi kimia dalam buah.

Perubahan fisik dan biokimia dalam proses ripening

Selama ripening, dinding sel dari buah mengalami modifikasi yang


membuatnya lebih lunak dan terpisah dengan biji buah. Kelarutan pektin adalah
salah satu peristiwa utama yang terjadi selama pelunakan buah berdaging.
Perubahan kelarutan pektin umumnya ditentukan oleh ekstraksi dari polimer pektik,
dalam air. Perubahan tekstur daging buah terjadi karena adanya perubahan pektin
yang larut dalam air. Perubahan warna hijau pada buah terkait dengan penurunan
klorofil pada kloroplas. Perubahan ini dikatalis oleh enzim klorofilase. Sintesis
karotenoida yang berwarna kuning menjadi senyawa lain yang berwarna oranye dan
merah. Perubahan cita rasa terutama disebabkan oleh pemecahan pati atau
karbohidrat menjadi molekul gula sederhana. Proses pematangan erat hubungannya
dengan aktifitas gas etilen dan respirasi pada buah. Pola produksi etilen pada buah-
buahan bervariasi tergantung pada tipe dan jenisnya. Pada buah-buah klimaterik,
produksi etilen cenderung untuk naik secara bertahap sesudah panen, sementara
pada buah-buah non klimaterik produksi etilennya tetap dan tidak memperlihatkan
perubahan yang nyata. Hal tersebut menjadi dasar kapan buah harus dipanen. Buah
klimaterik dapat dipanen sebelum fase ripening (pemasakan) karena fase ripening
buah akan terus berlanjut meskipun telah dipetik dari pohonnya. Sementara untuk
buah non-klimaterik ripening akan terhenti setelah buah dipetik dari pohonnya
(Yahia 2017).

Organisme yang mendorong terjadinya kerusakan buah

Serangan hama yang terbawa dari lahan ke dalam proses pascapanen juga
dapat mempercepat kerusakan fisiologi buah. Hama (lalat buah) seringkali
menempatkan telurnya di permukaan buah saat masih dilahan, telur yang menetas
menjadi larva kemudian masuk ke dalam buah dengan melubangi kulitnya.
Adanya lubang pada permukaan kulit buah memudahkan cendawan dan bakteri
masuk untuk menginang di dalamnya. Hama, cendawan dan bakteri secara fisik
merusak buah dengan memakan dan mengambil nutrisi didalamnya, kemudian
secara tidak langsung juga mempengaruhi reasi-reaksi kimia di dalam buah seperti
respirasi. Panas yang dihasilkan oleh parasit di dalam buah akan meningkatkan
preses respirasi di dalam buah dan semakin cepat proses respirasi di dalam buah
semakin cepat buah busuk. Proses sortasi penting dilakukan untuk menekan
terjadinya penyebaran penyakit dari buah yang bermasalah kebuah yang sehat.

Penanganan Pascapanan Jambu Biji

Penanganan pasca panen jambu biji dapat dilakukan dengan


memperlambat proses respirasi buah. Penghambatan respirasi buah dapat dilakukan
dengan teknik penyimpanan MAS (Modified Atmosphere Storage). Teknik
7

penyimpanan MAS dilakukan dengan mengurangi konsentrasi O2 dan


meningkatkan konsentrasi CO2 (Christianti 1992). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh (Christiani 1992) teknik penyimpanan MAS dapat memperpanjang
umur simpan sampai 15 hari. Dari tiga perlakuan komposisi O2 dan C2O (1-3% O2
dan 5-8% CO2, 3-5 % O2 dan 8-10% CO2, dan 21% O2 dan 0.003 % CO2).
Komposisi optimum yang baik adalah pada selang 3-5 % O2 dan 8-10% CO2, yang
hasilnya memberikan pengaruh terbaik pada jambu biji. Pengaruh tersebut dilihat
dari hasil analisa terhadap kekerasan, susut bobot, kadar air, nilai Ph, kadar gua
serta kadar vitamin C.
Penelitian (Hartono, 2016) yang dilakukan untuk mengukur pengaruh suhu
penyimpanan (5, 10, 15, 20 oC, suhu ruang) dan laju respirasi pada jambu biji
diketahui bahwa semakin rendah suhu penyimpanan laju respirasinya semakin
rendah. Jambu biji yang disimpan pada suhu 20 oC dan suhu ruang (28-30 oC) hanya
bertahan 9 hari dan 12 hari, sedangkan jambu biji yang disimpan pada suhu 15, 10
dan 5 oC bertahan lebih dari 16 hari. Sehingga berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh (Hartono, 2016) suhu 5 dan 10 oC merupakan suhu penyimpanan
yang paling baik untuk buah jambu biji. Semakin tinggi suhu penyimpanan semakin
tinggi pula konsumsi O2. Oleh karena itu, intensitas laju respirasi dapat dijadikan
sebagai petunjuk untuk mengetahui daya simpan jambu biji. Model
Kajian model Arrhenius laju respirasu pengemasan buah jambu kristal juga
dilakukan oleh (Hartono, 2016) untuk mengetahui kondisi optimum yang
diperlukan dalam penyimpanan jambu biji sehingga dapat mempertahankan mutu
dan meningkatkan daya simpan dari buah. Data laju respirasi digunakan untuk
penduga laju respirasi, metode akselerasi melalui pendekatan model Arrhenius
digunakan untuk melihat konstanta laju respirasi terhadap suhu penyimpanan.
Pengaruh suhu terhadap laju respirasi dapat dicari dengan persamaan Arrhenius
yaitu dengan cara melihat regresi hubungan antara suhu dangan laju respirasi.
Persamaan Arrhenius dapat dilihat pada Persamaan 1.
−𝐸𝑎𝑖
Ri = Roi exp ( 𝑅𝑇 ) (1)
Semakin tinggi suhu (T) semakin tinggi laju respirasi (Ri), hubungan ini
berdasarkan pada teori aktivasi bahwa suatu reaksi perubahan akan mulai
berlangsung jika diberikan sejumlah energi minimum yang disebut energi aktivasi
(Ea) yang dinyatakan dalam persamaan Arrhenius. Dimana Ri adalah laju respirasi
(ml/kg.jam), Rio adalah fakor preeksponensial (ml/kg.jam), Eai adalah energi
aktivasi (kJ/ mol), T adalah suhu mutlak (oC+273), R adalah konstanta gas (8,314J/
mol oK), subskrip i =1 menyatakan konsumsi O2, dan i = 2 menyatakan produksi
CO2.
Persamaan 1 kemudian di ln-kan menjadi Persamaan 2, agar dapat dicari
hubungannya dengan grafik.
𝐸𝑎𝑖 1
ln Ri = ln Roi (− 𝑅 ) (𝑇) (2)

Persamaan 2 identik dengan persamaan linear, yaitu:


y= a+bx
𝐸𝑎𝑖 1
dimana y adalah ln Ri, a adalah ln Roi, adalah (− 𝑅 ) (𝑇) dari grafik hubungan
antara ln Ri vs 1/T, nilai energi aktivasi dihitung dari nilai intercept (b) dikalikan
dengan nilai konstanta gas (R=8,314J/ mol oK). Sedangkan nilai Roi merupakan
anti ln dari b=nilai slope (a) yang diperoleh.
8

Data laju respirasi fungsi dari suhu menggunakan data rata-rata laju respirasi
lima hari pertama pengukuran dapat dilihat pada Tabel 2. Plot antara ln Ri dan 1/T
dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Tabel 2 Nilai ln R1, ln R2, dan 1/T berbagai suhu penyimpanan


Laju Respirasi
Suhu (K) 1/T (1/K) (ml/kg.jam) Ln R1 Ln R2
R1 R2
278,15 0,0036 6,36 2,88 1,85 1,06
283,15 0,0035 8,92 6,07 2,19 1,80
288,15 0,0035 11,69 8,58 2,46 2,15
293,15 0,0034 13,26 9,17 2,58 2,22
302,15 0,0033 26,32 19,25 3,27 2,96
*keterangan : R1 : laju konsumsi O2, R2: laju konsumsi CO2

Gambar 5 Hubungan parameter Arrhenius ln R1 dengan 1/T

Gambar 6 Hubungan parameter Arrhenius ln R2 dengan 1/T


9

Hasil regresi digunakan untuk mencari nilai nilai Eai dan nilai Roi (faktor
preeksponensial). Grafik dari plot Arrhenius menunjukkan bahwa suhu
berpengaruh terhadap laju respirasi buah jambu kristal untuk konsumsi O2 dan
produksi CO2, dimana semakin tinggi suhu penyimpanan akan semakin tinggi juga
laju respirasinya. Sebaliknya apabila suhu peyimpanan rendah maka laju respirasi
juga semakin rendah. Garis linier yang diperoleh akan digunakan untuk
menunjukkan koefisien laju respirasi konsumsi O2 dan produksi CO2. Hubungan
antara ln Ri dengan 1/T memiliki tingkat korelasi yang tinggi ditunjukkan dengan
nilai koefisien determinasi (R2), yaitu 0.9777 untuk O2 dan 0.9433 untuk CO2.
Slope dari persamaan linier (Gambar 5 dan 6) merupakan nilai Eai/R sehingga nilai
Eai dapat ditentukan, sedangkan ln Roi diperoleh pada saat 1/T = 0. Hasil
perhitungan nilai Eai, Roi dan R2 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai dari Eai, Roi, dan R2 untuk O2 dan CO2


Laju repirasi Eai (kJ/mol) Roi (ml/ kg jam) R2
Konsumsi O2 39.49 1.65E+8 0.9777
Produksi CO2 50.65 1.11E+10 0.9433
10

DAFTAR PUSTAKA

Azizahwati. 2000. Manfaat sari buah jambu biji (Psidium guajava L.) dalam
meningkatkan kadar hemoglobin, jumlah eritrosit, dan trombosit darah. Di dalam:
Prosiding Seminar Nasional XVII Tumbuhan Obat Indonesia; 28-30 Maret 2000;
Semarang; Indonesia. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hlm 36-
39.
Bashir, H. A.; Abu-Goukh, A. Compositional changes during guava fruit
ripening. Food Chem. 2002, 80, 557-563.
Hartono, Yusup. 2016. Kajian Model Arrhenius Laju Respirasi dan Teknik
Pengemasan Buah Jambu Kristal (Psidium guajav L.). Bogor : Istitut Pertanian
Bogor.
Mitra S. 1997. Post Harvest Phsyiology and Storage of Tropical and
Subtropical Fruits. New York (NY): CAB Internasional.
Nurjanah, S. 2002. Kajian Laju Respirasi dan Produksi Etilen Sebagai
Unsur Dasar Penentuan Waktu Simpan Sayuran dan Buah-buahan. Jurnal Bionatura
4 (3): 148-156.
Rukmana, Rahmat H. 2008 . Bertanam Buah-buahan di Pekarangan.
Yogyakarta: Kanisius.
Winarno, F. G. 2002. Fisiologi lepas Panen Produk Hortikultura. Bogor: M
Brio Press
Yan LY, Teng LT, Jhi TJ. 2006. Antioxidant properties of guava fruit:
comparison with some local fruits. Sunway Academic Journal. (3):9–20.
Yahia, Elhadi M., Armando Carrillo-Lopez. 2017. Postharvest Physiology
and Biochemistry of Fruits and Vegetables. Duxford: Woodhead Publishing.

Anda mungkin juga menyukai