PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan
perekonomian Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang cukup besar
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan data BPS (2018)
pertumbuhan sektor pertanian adalah 9.93 persen. Diantara sub sektor yang ada di
sektor pertanian, sub sektor perkebunan memiliki peran terhadap pendapatan di
sektor pertanian sebesar 26.73 persen dilanjutkan dengan subsektor pangan yaitu
sebesar 22.86 persen. Subsektor perkebunan bisa menghasilkan kontribusi besar
karena penyedia bahan baku untuk sektor industri, penyerapan tenaga kerja dan
penghasil devisa. Penyumbang devisa tertinggi pada sub sektor perkebunan adalah
komoditas kelapa sawit. Kontribusi kelapa sawit (CPO) terhadap devisa adalah
mencapai Rp239 triliun pada tahun 2017 (Ditjenbun 2018). Menurut Kemendag
(2017), kelapa sawit adalah penyumbang terbesar nomor dua setalah migas dan
penyumbang terbesar nomor satu untuk non migas. Pendapatan ekspor senialai
USD 18 miliar, menyediakan lapangan pekerjaan untuk hampir 6 juta pekerja dan
menukung kehidupan untuk 12 juta orang.
Berdasarkan data FAO dalam Pusdatin (2018), Indonesia merupakan negara
produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar di dunia. Indonesia menjadi produsen
pertama di dunia yaitu sebesar 48.33 persen, dan eksportir pertama di dunia yaitu
52.24 persen pangsa pasar di dunia, sedangkan 35.24 persen adalah Malaysia. Hal
ini terbukti dari peningkatan produksi yang terus meningkat setiap tahunnya pada
tahun 1980 produksi CPO Indonesia hanya sebesar 721.17 ribu ton dan naik
menjadi 41.67 juta ton pada tahun 2018 atau tumbuh rata-rata sebesar 11.52 persen
per tahun. Produksi CPO di Indonesia mayoritas diekspor yaitu sebesar 79.21
persen dari total produksi CPO di Indonesia, sedangkan 21.09 persen dikonsumsi
domestik yaitu 13.73 persen digunakan untuk konsumsi langsung atau diolah
menjadi minyak goreng dan 7.06 persen diserap oleh industri pengolahan biodiesel.
Sementara itu ditinjau dari sisi impor minyak sawit (CPO) dunia, pada tahun 2012–
2016 terdapat sembilan negara importir CPO terbesar di dunia. India merupakan
negara importir CPO terbesar di dunia dengan rata-rata volume impor tahun 2012-
2016 mencapai 8,35 juta ton per tahun atau 17,04% dari total volume impor CPO
dunia, diikuti oleh China (11,86%), China Daratan (11,44%), Belanda (5,1%) dan
Pakistan (4,80%). Negara-negara importir CPO lainnya mengimpor kurang dari 4%
total impor CPO dunia.
Sebagai negara eksportir utama kelapa sawit di dunia, Indonesia masih
melakukan impor kelapa sawit namun dalam volume yang sangat kecil
dibandingkan ekspornya. Realisasi volume impor kelapa sawit dari tahun 2008-
2017 sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Besarnya laju pertumbuhan volume
impor kelapa sawit disebabkan oleh peningkatan impor yang sangat signifikan pada
tahun 2013. Volume impor minyak inti sawit pada periode ini jauh lebih kecil
dibandingkan wujud CPO. Nilai ekspor dan nilai impor kelapa sawit menunjukkan
perkembangan yang sejalan dengan perkembangan volume ekspor maupun volume
impornya. Neraca perdagangan kelapa sawit dihitung berdasarkan selisih antara
ekspor dengan impornya. Sebagai negara eksportir kelapa sawit dunia, maka neraca
perdagangan kelapa sawit Indonesia dari tahun ke tahun berada pada posisi surplus.
Selama periode tahun 2008-2017, surplus neraca perdagangan minyak Indonesia
terus mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 15,60% per tahun. Pada
tahun 1998 surplus neraca perdagangan kelapa sawit sebesar US$ 12,37 milyar dan
naik menjadi US$ 18,51 milyar pada tahun 2017. CPO Indonesia memiliki daya
saing di dunia. Ekspor kelapa sawit sebesar 93.34 persen berupa CPO dan sisanya
berupa inti sawit. Perkembangan ekspor pada sepuluh terakhir tahun 2008-2017
cenderung meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 9.27 persen per tahun.
Jika pada tahun 2008 volume ekspor kelapa sawit Indonesia sebesar 14.29 juta ton
dengan nilai ekspor sebesar US$ 12.38 milyar, maka tahun 2017 meningkat menjadi
27.35 juta ton senilai US$ 18.51 milyar. Adanya peningkatan ekpor CPO Indonesia
sehingga CPO Indonesia memiliki daya saing di dunia.
Daya saing ekspor salah satunya dapat dipengaruhi oleh nilai tukar. Sebab
nilai tukar merupakan alat pembayaran perdagangan dan juga salah satu penentu
harga suatu produk atau komoditas. Jika suatu negara mengalami depresiasi nilai
tukar, harga ekspornya bagi negara importir relatif murah. Sedangkan apresiasi
menimbulkan dampak sebaliknya, harga produk ekspor negara itu bagi negara
importir relatif mahal. Oleh sebab itu, nilai tukar berkaitan dengan ekspor neto. Jika
nilai tukar lebih rendah atau terdepresiasi, produk domestik relatif lebih murah
dibanding produk negara lain sehingga menyebabkan permintaan produk ekspor
akan meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan ekspor neto (Krugman et al
dalam Satriana, 2017).
Sejak tahun 1970 hingga saat ini, Indonesia telah menerapkan tiga sistem
nilai tukar. Pada tahun 1970 hingga 1978 Indonesia menerapkan sistem nilai tukar
tetap (fixed exchange rate). Kemudian dari tahun 1978 hingga Juli 1997 Indonesia
menggunakan sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating
exchange rate). Sistem nilai tukar mengambang terkendali tersebut tidak mampu
bertahan lama disebabkan krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia pada tahun 1997.
Krisis tersebut memaksa Indonesia untuk mengubah sistem nilai tukarnya dari
sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate)
menjadi sistem nilai tukar mengambang bebas (floating exchange rate) (Goeltom
dan Zulverdi 1998). Sistem nilai tukar mengambang bebas tersebut hingga saat ini
masih diterapkan di Indonesia.
Penerapan nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar mengalami naik turun
di pasar valuta asing (apresiasi dan depresiasi). Hal itu disebabkan oleh besar-
kecilnya permintaan dan penawaran mata uang di pasar valuta asing. Keadaan
tersebut mengakibatkan nilai tukar selalu mengalami fluktuasi sepanjang waktu.
Adanya fluktuasi tersebut akan mengakibatkan volatilitas nilai tukar (Chou 2000).
Kondisi ekspor pertanian Indonesia pada saat sistem nilai tukar mengambang
terkendali cenderung menunjukkan tren yang sama dengan pergerakan nilai tukar
kala itu. Namun setelah perubahan sistem nilai tukar, ekspor pertanian Indonesia
dan nilai tukar cenderung menunjukkan perbedaan tren. Ketika nilai tukar
terdepresiasi, maka yang diharapkan ekspor pertanian Indonesia akan meningkat.
Namun, di beberapa tahun tertentu, ekspor pertanian Indonesia tidak mengalami
peningkatan ketika nilai tukar terdepresiasi, salah satunya pada tahun 2012, 2014
dan tahun 2018 (tabel 1). Sedangkan pada tahun 2002, 2003, 2006 dan 2007
Indonesia mengalami apresiasi namun ekspor CPO tidak mengalami penurun
melainkan meningkat. Adanya ketidaksesuai dampak nilai tukar rupiah terhadap
ekspor CPO menarik untuk dibahas.
Pengaruh resiko nilai tukar adalah salah satu argumentasi utama ekonomi
untuk penyatuan keuangan. Karena pengaruh nilai tukar dapat menghambat
perdagangan internasional. Penelitian pada masa nilai tukar mengambang
terkendali dilakukan oleh Goeltom dan Zulverdi (1998) menunjukkan bahwa
fluktuasi nilai tukar tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
perdagangan. Sementara itu, penelitian pada masa nilai tukar mengambang bebas
dilakukan oleh Susilo (2001), menjelaskan bahwa pada jangka panjang
ketidakpastian nilai tukar efektif riil mempunyai dampak yang signifikan terhadap
ekspor riil non migas, sedangkan pada jangka pendek ketidakpastian nilai tukar
efektif riil tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ekspor riil.
Penelitian mengenai pengaruh nilai tukar rupiah terhadap ekspor banyak
dilakukan oleh peneliti sebelumnya namun penelitian tersebut pada umumnya
menggunakan model simetris linier. Sedangkan pada penelitian ini menggunakan
model asimetris nonlinier. Berdasarkan Fang (2009) bahwa nilai tukar rupiah
merupakan variabel non linier karena memiliki dampak yang berbeda jika terjadi
menguatnya nilai tukar (apresiasi) dan melemahnya nilai tukar rupiah (depresiasi).
Sehingga pada penelitian ini menggunakan model non linier yaitu NARDL (Non
Linier Autoregresive Distributed Lag). Sehingga penelitian ini menarik untuk
diteliti karena sebelumnya penelitian dengan judul pengaruh nilai tukar terhadap
ekspor menggunakan sistem linier namun pada penelitian ini menggunakan non
linier. Diharapkan dengan penelitian ini dapat memberikan kebijakan yang sesuai
dengan kondisi di lapang.
Rumusan Masalah
Indonesia menganut sistem nilai tukar mengembang bebas (floating
exchange rate) yang diterapkan sejak tahun 1997 hingga saaat ini, sehingga
menyebabkan nilai tukar Indonesia mengalami fluktuasi. Fluktuasi nilai tukar
menyebabkan volatilitas. Volatilitas nilai tukar dapat menyebabkan terganggunya
aktivitas ekonomi yaitu kegiatan perdagangan internasional di sebuah negara salah
satunya adalah ekspor. Nilai tukar mata uang merupakan asimetris nonlinier karena
nilai tukar mata uang memberikan reaksi berbeda ketika terjadinya apresiasi
(menguatnya rupiah) dan depresiasi (melemahnya rupiah).
Apresiasi nilai tukar adalah menguatnya rupiah terhadap dolar US. Ketika
suatu negara terjadi apresiasi nilai tukar maka negara tersebut akan menurunkan
ekspor dan meningkatkan impor. Hal ini disebabkan karena harga di dunia lebih
murah dibandingkan harga domestik. Sedangkan depresiasi nilai tukar adalah
melemahnya rupiah terhadap dolar US, hal ini ditandai dengan meningkatnya
rupiah terhadap dolar. Ketika suatu negara terjadi depresiasi nilai tukar maka negara
tersebut akan melakukan ekspor karena harga dunia terhadap mata uang negaranya
adalah tinggidibanding harga di domestik. Sehingga negara eksportir akan
mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Namun Indonesia yang menganut sistem nilai tukar bebas mengembang
menyebabkan susahnya diprediksi nilai tukar rupiah karena nilai tukar rupiah
berfluktuasi sepanjang waktu. Hal ini dapat terlihat pada tabel 1 terdapat beberapa
tahun yang tidak sesuai dengan teori nilai tukar yaitu dampak dari terjadinya
apresiasi dan depresiasi. Berikut merupakan perkembangan nilai tukar rupiah dan
nilai ekspor CPO dari tahun 2000 hingga 2018.
Tabel 1. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah, Volume dan Nilai Ekspor CPO di
Indonesia
Tahun NTRP (Rp/US$) VXCPO (ton)
2000 8.422 1.817.664
2001 10.261 1.849.142
2002 9.311 2.804.792
2003 8.577 2.892.130
2004 8.939 3.819.927
2005 9.705 4.565.625
2006 9.159 5.199.287
2007 9.141 5.701.286
2008 9.699 7.904.179
2009 10.390 9.566.746
2010 9.090 9.444.170
2011 8.770 8.424.037
2012 9.387 7.252.519
2013 10.461 9.444.170
2014 11.865 5.726.820
2015 13.389 7.788.550
2016 13.308 5.283.953
2017 13.381 7.076.070
2018 14.237 6.554.497
Sumber: NTRP (Nilai Tukar Rupiah): World Bank, VXCPO (Volume Ekspor CPO): Uncomtrade,
(2019)
Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan yaitu:
1. Menganalisis pengaruh nilai tukar terhadap kinerja ekspor CPO Indonesia ke
negara importir
2. Menganalisis hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara nilai tukar
rupiah terhadap ekspor CPO
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu bermanfaat bagi pihak pihak yang terkait:
1. Sebagai ilmu bagi akademisi dan sebagai referensi pembanding antara model
linier dan non linier nilai tukar rupiah terhadap ekspor yang pada umumnya
penelitian sebelumnya menggunakan hubungan linier utuk melihat pengaruh
nilai tukar terhadap ekspor.
2. Sumber informasi bagi pemangku kebijakan dalam merumuskan kebijakan
yang terkait dengan nilai tukar, fasilitas perdagangan dan ekspor pertanian
Indonesia.
Ruang lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup dan keterbatasan dalam penelitian ini adalah:
1. Tujuan ekspor CPO Indonesia pada penelitian ini adalah Indonesia ke seluruh
dunia yaitu hubungan multilateral tanpa melihat hubungan beberapa negara.
2. Cakupan penelitian yang dilakukan adalah bersifat agregat nasional. Data yang
digunakan adalah data sekunder. Data sekunder tersebut terdiri atas data deret
waktu tahunan (time series), dimulai dari tahun 2000 sampai tahun 2018.
3. Sumber data berasal dari UN-Comtrade. Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar, volume ekspor CPO
Indonesia dan nilai ekspor CPO Indonesia.
4. Komoditi tyang digunakan adalah minyak kelapa sawit (CPO). Karena
Indonesia 90 persen melakukan ekspor dalam bentuk CPO. Kode HS yang
digunakan adalah 1511100000.
5. Nilai tukar yang dianalisis adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
Serikat. Hal ini dikarenakan dollar Amerika Serikat merupakan mata uang yang
dapat diterima oleh hampir semua negara di dunia sebagai alat pembayaran
internasional.
6. Analisis nilai tukar rupiah pada penelitian ini hanya difokuskan pada nilai tukar
rupiah nominal. Nilai tukar nominal yaitu harga relatif dari mata uang dua
negara.
7. Model yang digunakan adalah NARDL (Non linier Autoregressive Distributed
Lag). NARDL adalah model nonlinier. Berdasarkan Fang (2009), nilai tukar
merupakan variabel non linier karena memberikan dampak yang berbeda
terhadap ekspor jika terjadi depresiasi dan apresiasi.
3. TINJAUAN PUSTAKA
Perdagangan Internasional
Negara A Negara B
Pasar Dunia
(Eksportir) (Importir)
P P P
DA SA SB
ES DB
PB
X
PW
PA M
ED
0 QA 0 QW 0 QB
S1
S E1 S0
E0
D1
D0 D
0 Kuantitas Dollar 0 Kuantitas Dollar
S-I
N-X
0 Ekspor Neto
PA ES’
Pr’
Pw’
Po’
ED’ ED
Sumber: Tweeten (1992) 0 q0’ q0 Q
Gambar 5 Efek apresiasi mata uang negara pengekspor
Permodelan Ekonomi
Simetris Asimetris
Kebijakan Perdagangan
CPO Indonesia
3. METODE
Jenis dam Sumber Data
Jenis data yang digunkan adalah data sekunder dalam bentuk deret waktu
time series dengan entan waktu tahun 2000-2018. Objek penelitian ini adalah
negara importir CPO di dunia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adaha
metode Nonlinier Autoregressive Distributed Lag (NARDL). Sumber peneitian ini
berasal dari Un-Comtrade dan World Bank yang diakses melalui internet. Pada
sumber Un-Comtrade diperoleh variabel volume ekspor CPO Indonesia, nilai
ekspor CPO Indonesia dan sumber World Bank adalah untuk mengakses nilai tukar
rupiah terhadap dolar US. Penelitian ini dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel,
STATA 13, dan Eviews 9.
Metode Analisis
Untuk mengkaji hubungan antara nilai tukar rupiah terhadap ekspor CPO,
penelitian ini menggunakan metode Nonlinier Autoregressive Ditributed Lag
(NARDL). Kointegrasi digunakan pada variabel yang diuji karena stasioner bukan
pada level, namun pada first difference.
Metode Nonlinier Autoregressive Distributed Lag (NARDL)
NARDL merupakan model yang digunakan untuk meangkap efek asimetris
dengan lag yang berbeda-beda pada setiap variabel, sehingga membuat hasil yang
lebih akurat. Pada penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu ekspor CPO (EX)
dan nilai tukar (EXR) dengan menggunakan model NARDL untuk memeriksa
apakah teradapat hubungan jangka pendek dan jangka panjang pengaruh nilai tukar
rupiah terhadap ekspor CPO dengan pendekatan asimetris. Berikut merupakan
model jangka panjang pada NARDL
EXt = α0 + α1EXRt+ + α2EXR-t- + et
Dimana, EX adalah volume ekspor CPO dan EXR adalah nilai tukar, dan α0, α1, α2
adalah vektor parameter jangka panjang yang diestimasi. EXRt+ dan EXR- adalah
partial sums perubahan positif dan negatif pada EXR.
Berikut merupakan model NARDL menurut Shin et al (2011) dari model dasar
ARDL oleh Pesaran et al:
𝒑 𝒒
∆EXt = β0 + β1EXt-1 + β2EXR+t-1 + ∑𝒊=𝟏 𝛗 i∆EXt-1 + ∑𝒊=𝟎( φi+ ∆EXR+t-i + φi-
∆EXR-t-i) + ut
Dimana p dan q adalah lag. Model jangka panjang turunan dari NARDL. Sehingga,
∑𝑞𝑖=0 θ i+ dan ∑𝑞𝑖=0 θ i-, menangkap efek jangka pendek dari masing-masing
perubahan positif dan negatif dalam ekspor minyak sawit.
Jika pada pengujian tersebut ternyata terima H0 atau data tidak stasioner,
penyelesaian tersebut dilakukan dengan cara menguragi kedua sisi dari persamaan
yt = α + ρyt-1 + et-1 dengan yt-1 sehingga menjadi:
∆yt = α + ρyt-1 + et, ρ* = ρ-1
Hipotesis yang digunakan pada uji diatas adalah H0: ρ*=0 dan H1: ρ*<0. Jika nilai
t-statistik ADF < t-stastistik Mac Kinnon maka hasil uji adalah tolak H0 artinya data
tersebut stasioner pada level beda satu atau dikenal dengan first difference.
Pengujian stasioneritas, selain menggunakan ADF dapat digunakan uji PP.
Hal ini dikarenakan dalam ekonometrika terdapat structural break yang tidak dapat
dihindari sehingga dapat menimbulkan masalah dimana dapat menurunkan derajat
bebas dari hasil regresi. Pada uji ADF, pengujian unit root tidak
mempertimbangkan perubahan struktural. Sehingga menurut Peron (1989), sebuah
prosedur formal untuk menguji unit roots dimana terdapat sebuah perubahan
struktural pada periode waktu t = τ + 1. Uji PP ini memisalkan terdapat model
persamaan time series sebagai berikut:
yt = α0 + α1yt-1 + α2t + μ1Dp + μ2DL + et
Uji t-statistik dari hipotesis nol (α1=1) dapat dibandingkan dengan critical
value dari Perron (1989) pada level signifikasi 5 persen. Jika t statistic PP > critical
value = data stasioner pada taraf yang ditentukan. Jika pada uji PP data tidak
stationer pada tingkat level maka dilakukan diferenial sampai data stasioner pada
tingkat first difference. Jika hasil uji pada tingkat first difference data telah stasioner,
maka uji kointegrasi sebaiknya tetap dilakukan karena kemungkinan kesalahan
pengambilan kesimpulan pengujian unit root terkait dengan the power of test.
Uji Kointegrasi
Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang antara variabel-variabel
yang meski secara individual tidak stasioner namun jika dikombinasi antar variabel
memungkinkan dapat menjadi stasioner (Thomas, 1997). Adanya hubungan
kointegrasi dalam sebuah sistem persamaan menandakan bahwa dalam sistem
tersebut terdapat error correction model yang artinya adanya dinamisasi dalam
jangka pendek secara konsisten dengan hubungan jangka panjang (Verbeek, 2002).
Tujuan uji kointegrasi adalah untuk melihat apakah variabel yang digunakan dalam
sistem persamaan mempunyai hubungan jangka panjang atau tidak (Ilham dan
Siregar, 2007).
Menurut Pesaran dan Shin (1998) dan Pesaran et al (2001) uji kointegrasi
non linier menggunakan uji bound yaitu untuk mengetahui adanya hubungan jangka
panjang yang stabil, apakah regresor yang mendasarinya adalah I(0), I(1) atau
saling kointegrasi. Terdapat dua prosedur pengujian operasional untuk melihat
adanya asimetris (kointegrasi) hubungan jangka panjang berdasarkan ECM
NARDL:
𝜌−1
∆yt = ρξt-1 + ∑𝑗=1 𝛾j ∆yt-j + ∑𝑞−1 +’
𝑗=0 (πj ∆x t-j + πj ∆x t-j) + et
+ -’ -
Keterangan:
π0+ = θ0+ + ω,
π0- = θ0 - + ω
πj+ = φj+ + ω’Λj
πj- = φj- - ω’Λj (untuk j = 1,.,q-1)
Konteks model NARDL, karena struktur ketergantungan yang ada antara
partial sum decompositions xt+ dan xt- nilaik k yang tepat menjadi tidak jelas. Kasus
sederhana dimana hubungan jangka panjang didefinisikan antara yt xt+, xt-, artinya
nilai k berada pada nilai antara 1 dan 2. Secara umum, diperkirakan bahwa
pengujian akan undersize dengan k=1 dan oversized dengan k=2. Nilai k=1
menghasilkan hasil yang lebih konservatif (nilai kritis yang lebih tinggi). Sehingga,
pada tingkat pragmatic, tolak hipotesis nol dari hubungan jangka panjang. Nilai
krtis ini membuktikan adanya hubungan jangka panjang, dimana uji coba dapat
segera diselesaikan dengan bootstrap.
Pengujian Diagnostik Model
Pengujian diagnostic model menggunakan asumsi klasik. Pengujian
dilakukan untuk mengambil apakah model terbebas dari masalah-masalah asumsi
seperti uji normalitas, heterokedasitas, autokorelasi.
Uji Autokorelasi
Pada penelitian ini menggunakan uji Autokorelasi menggunakan uji
Breusch-Godfrey LM (Lagrange Multiplier). Pengujian ini digunakan untuk
mengetahui apakah pada model tersebut mengandung korelasi antar variabel atau
tidak. Sehingga diharapkan antar variabel tidak saling berkorelasi agar terbebas dari
autokorelasi. Asumsi tidak terdapat korelasi adalah kesalahan bersifat acak
(Gujarati, 2006). Indikator model terbebas dari autokorelasi adalah jika nilai
probabilitasi lebih besar dari taraf nyata.
Uji Heterokedasitas
Pengujian heterokedasitas menggunakan uji Breusch-Pagan, tujuan uji
heterokedasitas adalah untuk mengetahui apakah ragam sisaan dari model regresi
bergantung pada besaran nilai variabel independen. Uji Breusch-Pagan
menggunakan uji chi-square, yaitu uji stastistik menyebar nx2 dengan derajat bebas
k. indicator dari uji heterokedasitas adalah jika nilai probabilitas F-statistik chi-
square lebih besar dari taraf nyata maka model tersebut terbebas dari masalah
heterokedastisitas.
Uji Normalitas
Pengujian normalitas menggunakan uji Jarque-Bera. Uji normalitas
dilakukan untuk melihat apakah model tersebut menyebar normal. Indicator dari
pengujian ini adalah jika nilai probabilitas dari uji Jarque-Bera statistiklebih besar
dari taraf nyata maka artinya model tersebut menyebar normal.
Uji Stabilitas Model
Cummulative Sum of the Recursive Residual (CUSUM)
Uji CUSUM adalah uji stabilitas parameter pada regresi time series yang
diperkenalkan oleh Brown et al. (1975). Hasil dari pengujian ini adalah berupa plot
garis yang dinyatakan dengan garis yang dinyatakan dengan bata garis kritis pada
taraf nyata 5 persen. Perhitungan garis yang dinyatakan sebagai berikut:
Wt = ∑𝑡𝑟=𝑘+1 𝑊𝑡/𝑠
Batas garis kritis pada taraf nyata 5 persen berasal dari menhubungkan titik berikut
ini:
[k, ± -0.948 (T-k)1/2]
Keterangan:
W : nilai CUSUM
k : jumlah regresor (variabel penjelas)
t : periode, dari k+1,..T
T : jumlah periode analisis
w : recursive residual
s : simpangan baku pada recursive residual
Indikator uji CUSUM adalah jika garis CUSUM (Wt) berada diluar batas
garis kritis maka parameter yang diestimasi dalam model dinyatakan tidak stabil.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2018. Data [internet]. [diakses pada 2019 November
01]. Tersedia pada: https://www.bps.go.id/.
[Ditjenbun] Dirjen Jendral Perkebunan. 2018. Kelapa sawit wajib dilindungi
[Internet]. [diakses pada 2019 November 01]. Tersedia pada
http://ditjenbun. pertanian.go.id/berita-511-kelapa-sawit-
wajibdilindungi.html.
[Kemendag] Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. Perdagangan
Internasional Sawit dan Hambatannya [Internet]. Jakarta (ID): Rapat
Kerja Nasional Kementrian Perdagangan. [diunduh 2019 November
02].Tersediadarihttps://www.kemendag.go.id/files/pdf/2017/02/20/rap
at-kerja kementerian-perdagangan-2017-id10-1487584013.pdf.
[Pusdatin] Pusat Data dan Informasi Kementrian Pertanian. 2018. Outlook
Komoditas Pertanian Subsektor Perkebunan Kelapa Sawit. [internet].
[diakses pada 2019 November 01]. Tersedia pada:
https://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/.
[UN Comtrade] The United Nations Commodity Trade. 2019. UN Comtrade Data
Base [internet]. [diakses pada 2019 November 01]. Tersedia pada:
https://comtrade.un.org/data/.
Cho, Kandilov, Kafle dan Kennedy dalam Satriana, ED. 2017. Pengaruh
Volatilitas Nilai Tukar dan Fasilitas Perdagangan terhadap Kinerja
Ekspor Utama Pertanaian Indonesia [tesis]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Chou 2000. Chou WL. 2000. Exchange rate variability and China’s exports. Journal
of Comparative Economics. 28(1): 61-79.
Fang, W (2009). Does exchange rate risk affect exports asymetrically? Asian
evidance. 28: 215-239.
Goeltom dan Zulverdi 1998. Manajemen nilai tukar di Indonesia dan
permasalahannya. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. 1(2): 69-
91.
Krugman, Obstfeld, Mankiw dalam Satriana, ED. 2017. Pengaruh Volatilitas Nilai
Tukar dan Fasilitas Perdagangan terhadap Kinerja Ekspor Utama
Pertanaian Indonesia. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Orden 2002. Orden D. 2002. Exchange rate effects on agricultural trade. Journal of
Agricultural and Applied Economics. 34(2): 303-312.
Oztruk 2006. Exchange rate volatility and trade: A literature survey. International
Journal of Applied Econometrics and Quantitative Studies. 3(1): 85-
102.
Susilo (2001. Susilo, A. 2001. Dampak Ketidakpastian Nilai Tukar Indonesia
tehadap Pertumbuhan Ekspor Periode 1979.1-1988.4: Suatu
Pendekatan Teknik Kointegrasi dan Model Koreksi Kesalahan. [tesis].
Depok: Universitas Indonesia.
World Bank. 2016. World Bank Data [internet]. [diakses pada 2019 November 01].
Tersedia pada: www.data.worldbank.org.