Anda di halaman 1dari 21

1.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan
perekonomian Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang cukup besar
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan data BPS (2018)
pertumbuhan sektor pertanian adalah 9.93 persen. Diantara sub sektor yang ada di
sektor pertanian, sub sektor perkebunan memiliki peran terhadap pendapatan di
sektor pertanian sebesar 26.73 persen dilanjutkan dengan subsektor pangan yaitu
sebesar 22.86 persen. Subsektor perkebunan bisa menghasilkan kontribusi besar
karena penyedia bahan baku untuk sektor industri, penyerapan tenaga kerja dan
penghasil devisa. Penyumbang devisa tertinggi pada sub sektor perkebunan adalah
komoditas kelapa sawit. Kontribusi kelapa sawit (CPO) terhadap devisa adalah
mencapai Rp239 triliun pada tahun 2017 (Ditjenbun 2018). Menurut Kemendag
(2017), kelapa sawit adalah penyumbang terbesar nomor dua setalah migas dan
penyumbang terbesar nomor satu untuk non migas. Pendapatan ekspor senialai
USD 18 miliar, menyediakan lapangan pekerjaan untuk hampir 6 juta pekerja dan
menukung kehidupan untuk 12 juta orang.
Berdasarkan data FAO dalam Pusdatin (2018), Indonesia merupakan negara
produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar di dunia. Indonesia menjadi produsen
pertama di dunia yaitu sebesar 48.33 persen, dan eksportir pertama di dunia yaitu
52.24 persen pangsa pasar di dunia, sedangkan 35.24 persen adalah Malaysia. Hal
ini terbukti dari peningkatan produksi yang terus meningkat setiap tahunnya pada
tahun 1980 produksi CPO Indonesia hanya sebesar 721.17 ribu ton dan naik
menjadi 41.67 juta ton pada tahun 2018 atau tumbuh rata-rata sebesar 11.52 persen
per tahun. Produksi CPO di Indonesia mayoritas diekspor yaitu sebesar 79.21
persen dari total produksi CPO di Indonesia, sedangkan 21.09 persen dikonsumsi
domestik yaitu 13.73 persen digunakan untuk konsumsi langsung atau diolah
menjadi minyak goreng dan 7.06 persen diserap oleh industri pengolahan biodiesel.
Sementara itu ditinjau dari sisi impor minyak sawit (CPO) dunia, pada tahun 2012–
2016 terdapat sembilan negara importir CPO terbesar di dunia. India merupakan
negara importir CPO terbesar di dunia dengan rata-rata volume impor tahun 2012-
2016 mencapai 8,35 juta ton per tahun atau 17,04% dari total volume impor CPO
dunia, diikuti oleh China (11,86%), China Daratan (11,44%), Belanda (5,1%) dan
Pakistan (4,80%). Negara-negara importir CPO lainnya mengimpor kurang dari 4%
total impor CPO dunia.
Sebagai negara eksportir utama kelapa sawit di dunia, Indonesia masih
melakukan impor kelapa sawit namun dalam volume yang sangat kecil
dibandingkan ekspornya. Realisasi volume impor kelapa sawit dari tahun 2008-
2017 sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Besarnya laju pertumbuhan volume
impor kelapa sawit disebabkan oleh peningkatan impor yang sangat signifikan pada
tahun 2013. Volume impor minyak inti sawit pada periode ini jauh lebih kecil
dibandingkan wujud CPO. Nilai ekspor dan nilai impor kelapa sawit menunjukkan
perkembangan yang sejalan dengan perkembangan volume ekspor maupun volume
impornya. Neraca perdagangan kelapa sawit dihitung berdasarkan selisih antara
ekspor dengan impornya. Sebagai negara eksportir kelapa sawit dunia, maka neraca
perdagangan kelapa sawit Indonesia dari tahun ke tahun berada pada posisi surplus.
Selama periode tahun 2008-2017, surplus neraca perdagangan minyak Indonesia
terus mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 15,60% per tahun. Pada
tahun 1998 surplus neraca perdagangan kelapa sawit sebesar US$ 12,37 milyar dan
naik menjadi US$ 18,51 milyar pada tahun 2017. CPO Indonesia memiliki daya
saing di dunia. Ekspor kelapa sawit sebesar 93.34 persen berupa CPO dan sisanya
berupa inti sawit. Perkembangan ekspor pada sepuluh terakhir tahun 2008-2017
cenderung meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 9.27 persen per tahun.
Jika pada tahun 2008 volume ekspor kelapa sawit Indonesia sebesar 14.29 juta ton
dengan nilai ekspor sebesar US$ 12.38 milyar, maka tahun 2017 meningkat menjadi
27.35 juta ton senilai US$ 18.51 milyar. Adanya peningkatan ekpor CPO Indonesia
sehingga CPO Indonesia memiliki daya saing di dunia.
Daya saing ekspor salah satunya dapat dipengaruhi oleh nilai tukar. Sebab
nilai tukar merupakan alat pembayaran perdagangan dan juga salah satu penentu
harga suatu produk atau komoditas. Jika suatu negara mengalami depresiasi nilai
tukar, harga ekspornya bagi negara importir relatif murah. Sedangkan apresiasi
menimbulkan dampak sebaliknya, harga produk ekspor negara itu bagi negara
importir relatif mahal. Oleh sebab itu, nilai tukar berkaitan dengan ekspor neto. Jika
nilai tukar lebih rendah atau terdepresiasi, produk domestik relatif lebih murah
dibanding produk negara lain sehingga menyebabkan permintaan produk ekspor
akan meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan ekspor neto (Krugman et al
dalam Satriana, 2017).
Sejak tahun 1970 hingga saat ini, Indonesia telah menerapkan tiga sistem
nilai tukar. Pada tahun 1970 hingga 1978 Indonesia menerapkan sistem nilai tukar
tetap (fixed exchange rate). Kemudian dari tahun 1978 hingga Juli 1997 Indonesia
menggunakan sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating
exchange rate). Sistem nilai tukar mengambang terkendali tersebut tidak mampu
bertahan lama disebabkan krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia pada tahun 1997.
Krisis tersebut memaksa Indonesia untuk mengubah sistem nilai tukarnya dari
sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate)
menjadi sistem nilai tukar mengambang bebas (floating exchange rate) (Goeltom
dan Zulverdi 1998). Sistem nilai tukar mengambang bebas tersebut hingga saat ini
masih diterapkan di Indonesia.
Penerapan nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar mengalami naik turun
di pasar valuta asing (apresiasi dan depresiasi). Hal itu disebabkan oleh besar-
kecilnya permintaan dan penawaran mata uang di pasar valuta asing. Keadaan
tersebut mengakibatkan nilai tukar selalu mengalami fluktuasi sepanjang waktu.
Adanya fluktuasi tersebut akan mengakibatkan volatilitas nilai tukar (Chou 2000).
Kondisi ekspor pertanian Indonesia pada saat sistem nilai tukar mengambang
terkendali cenderung menunjukkan tren yang sama dengan pergerakan nilai tukar
kala itu. Namun setelah perubahan sistem nilai tukar, ekspor pertanian Indonesia
dan nilai tukar cenderung menunjukkan perbedaan tren. Ketika nilai tukar
terdepresiasi, maka yang diharapkan ekspor pertanian Indonesia akan meningkat.
Namun, di beberapa tahun tertentu, ekspor pertanian Indonesia tidak mengalami
peningkatan ketika nilai tukar terdepresiasi, salah satunya pada tahun 2012, 2014
dan tahun 2018 (tabel 1). Sedangkan pada tahun 2002, 2003, 2006 dan 2007
Indonesia mengalami apresiasi namun ekspor CPO tidak mengalami penurun
melainkan meningkat. Adanya ketidaksesuai dampak nilai tukar rupiah terhadap
ekspor CPO menarik untuk dibahas.
Pengaruh resiko nilai tukar adalah salah satu argumentasi utama ekonomi
untuk penyatuan keuangan. Karena pengaruh nilai tukar dapat menghambat
perdagangan internasional. Penelitian pada masa nilai tukar mengambang
terkendali dilakukan oleh Goeltom dan Zulverdi (1998) menunjukkan bahwa
fluktuasi nilai tukar tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
perdagangan. Sementara itu, penelitian pada masa nilai tukar mengambang bebas
dilakukan oleh Susilo (2001), menjelaskan bahwa pada jangka panjang
ketidakpastian nilai tukar efektif riil mempunyai dampak yang signifikan terhadap
ekspor riil non migas, sedangkan pada jangka pendek ketidakpastian nilai tukar
efektif riil tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ekspor riil.
Penelitian mengenai pengaruh nilai tukar rupiah terhadap ekspor banyak
dilakukan oleh peneliti sebelumnya namun penelitian tersebut pada umumnya
menggunakan model simetris linier. Sedangkan pada penelitian ini menggunakan
model asimetris nonlinier. Berdasarkan Fang (2009) bahwa nilai tukar rupiah
merupakan variabel non linier karena memiliki dampak yang berbeda jika terjadi
menguatnya nilai tukar (apresiasi) dan melemahnya nilai tukar rupiah (depresiasi).
Sehingga pada penelitian ini menggunakan model non linier yaitu NARDL (Non
Linier Autoregresive Distributed Lag). Sehingga penelitian ini menarik untuk
diteliti karena sebelumnya penelitian dengan judul pengaruh nilai tukar terhadap
ekspor menggunakan sistem linier namun pada penelitian ini menggunakan non
linier. Diharapkan dengan penelitian ini dapat memberikan kebijakan yang sesuai
dengan kondisi di lapang.
Rumusan Masalah
Indonesia menganut sistem nilai tukar mengembang bebas (floating
exchange rate) yang diterapkan sejak tahun 1997 hingga saaat ini, sehingga
menyebabkan nilai tukar Indonesia mengalami fluktuasi. Fluktuasi nilai tukar
menyebabkan volatilitas. Volatilitas nilai tukar dapat menyebabkan terganggunya
aktivitas ekonomi yaitu kegiatan perdagangan internasional di sebuah negara salah
satunya adalah ekspor. Nilai tukar mata uang merupakan asimetris nonlinier karena
nilai tukar mata uang memberikan reaksi berbeda ketika terjadinya apresiasi
(menguatnya rupiah) dan depresiasi (melemahnya rupiah).
Apresiasi nilai tukar adalah menguatnya rupiah terhadap dolar US. Ketika
suatu negara terjadi apresiasi nilai tukar maka negara tersebut akan menurunkan
ekspor dan meningkatkan impor. Hal ini disebabkan karena harga di dunia lebih
murah dibandingkan harga domestik. Sedangkan depresiasi nilai tukar adalah
melemahnya rupiah terhadap dolar US, hal ini ditandai dengan meningkatnya
rupiah terhadap dolar. Ketika suatu negara terjadi depresiasi nilai tukar maka negara
tersebut akan melakukan ekspor karena harga dunia terhadap mata uang negaranya
adalah tinggidibanding harga di domestik. Sehingga negara eksportir akan
mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Namun Indonesia yang menganut sistem nilai tukar bebas mengembang
menyebabkan susahnya diprediksi nilai tukar rupiah karena nilai tukar rupiah
berfluktuasi sepanjang waktu. Hal ini dapat terlihat pada tabel 1 terdapat beberapa
tahun yang tidak sesuai dengan teori nilai tukar yaitu dampak dari terjadinya
apresiasi dan depresiasi. Berikut merupakan perkembangan nilai tukar rupiah dan
nilai ekspor CPO dari tahun 2000 hingga 2018.
Tabel 1. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah, Volume dan Nilai Ekspor CPO di
Indonesia
Tahun NTRP (Rp/US$) VXCPO (ton)
2000 8.422 1.817.664
2001 10.261 1.849.142
2002 9.311 2.804.792
2003 8.577 2.892.130
2004 8.939 3.819.927
2005 9.705 4.565.625
2006 9.159 5.199.287
2007 9.141 5.701.286
2008 9.699 7.904.179
2009 10.390 9.566.746
2010 9.090 9.444.170
2011 8.770 8.424.037
2012 9.387 7.252.519
2013 10.461 9.444.170
2014 11.865 5.726.820
2015 13.389 7.788.550
2016 13.308 5.283.953
2017 13.381 7.076.070
2018 14.237 6.554.497
Sumber: NTRP (Nilai Tukar Rupiah): World Bank, VXCPO (Volume Ekspor CPO): Uncomtrade,
(2019)

Berdasarkan tabel 1 nilai tukar rupiah dari tahun 2000-2018 cenderung


mengalami pelemahan rupiah (depresiasi) sedangkan volume ekspor CPO
cenderung mengalami penurunan terutama dimulai dari tahun 2009 hinggan 2018.
Tahun 2009 volume ekspor CPO Indonesia mencapai 9.6 juta ton sedangakan tahun
2018 adalah 6.6 juta ton. Penurunan volume ekspor dari tahun 2009-2018 mencapai
46 persen persen.
Berdasarkan tabel 1 mengenai perbandingan perkembangan nilai tukar
rupiah dan volume ekspor CPO Indonesia. Pada tahun 2002, 2003, 2006, 2007
terjadinya apresiasi nilai rupiah, namun volume ekspor CPO Indonesia mengalami
peningkatan dari tahun sebelumnya. Tahun 2002, terjadinya apresiasi rupiah
terhadap dolar dari tahun sebelumnya yaitu Rp 9311,-, namun pada tahun ini terjadi
pengingkatan volume ekspor sebesar 2.8 juta ton. Hal yang sama terjadi pada tahun
2003 terjadi apresiasi nilai rupiah terhadap dolar dari tahun sebelumnya sebesar Rp
8577, namun pada tahun ini terjadi peningkatan volume ekspor dari tahun
sebelumnya sebesar 2.89 juta ton. Tahun 2006, terjadi apresiasi rupiah terhadap
dolar dari tahun sebelumnya yaitu Rp 9159,- namun, volume eksor CPO Indonesia
mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 5.2 juta ton. Tahun
2007 mengalami apresiasi nilai rupiah terhadap dolar dari tahun sebelumnya
sebesar Rp 9141,- namun terjadi peningkatan volume ekspor dari tahun sebelumnya
sebesar 5.7 juta ton.
Sedangkan terjadi depresiasi rupiah yang menurunkan volume ekspor CPO
Indonesia yaitu tahun 2012, 2014 dan 2018. Tahun 2012 terjadi depresiasi rupiah
dari tahun sebelumnya yaitu Rp 9387,- namun pada tahun ini terjadi penurunan
ekspor CPO Indonesia dari tahun sebelumnya yaitu 7.3 juta ton. Tahun 2014 terjadi
depresiasi rupiah dari tahun sebelumnya yaitu Rp 11865,- namun volume ekspor
CPO mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu 5.7 juta ton. dan tahun
2018 terjadi depresiasi dari tahun sebelumnya yaitu Rp 14237, pada tahun ini terjadi
penurunan volume ekspor CPO dari tahun sebelumnya yaitu 6.6 juta ton. Sehingga
berdasarkan tabel 1 terdapat beberapa tahun yang tidak sesuai berdasarkan teori
nilai tukar, yaitu ketika apresiasi, volume ekspor CPO Indonesia mengalami
peningkatan sedangkan jika depresiasi, volume ekspor CPO Indonesia mengalami
penurunan. Ketidaksesuaian ini diakibatkan karena terjadi volatilitas nilai tukar
karena Indonesia menganut sistem nilai tukar mengembang bebas.
Volatilitas nilai tukar merupakan sumber risiko (ketidakpastian) nilai tukar
yang dapat berimplikasi terhadap volome perdagangan internasional (Oztruk 2006).
Hal ini dikarenakan nilai mata uang turut berperan dalam menentukan besaran
harga transaksi ekspor-impor. Nilai tukar yang dipakai dalam transaksi disepakati
pada saat kontrak dagang terjadi, sementara pembayaran biasanya dilakukan setelah
barang sudah dikirim, sehingga memunculkan jeda waktu. Sedangkan pergerakan
nilai tukar mata uang bergerak secara fluktuatif setiap waktu. Mekanisme ini pada
akhirnya akan menentukan seberapa besar profit yang akan diterima dari kegiatan
ekspor dan impor tersebut. Ketika volatilitas nilai tukar meningkat, eksportir akan
menghindari risiko dengan cara meninggalkannya, mengurangi volume ekspor atau
melakukan premi risiko (risk premium) seperti lindung nilai (hedging) untuk
mempertahankan tingkat aktifitas ekonomi sebelumnya (Cho et al dalam Satriana,
2017).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa sifat dari volatilitas nilai tukar
telah menjadi sebuah masalah utama dalam mengestimasi perilaku dan volume
perdagangan antara negara eksportir dan negara importir (Orden 2002). Sektor
pertanian merupakan sektor yang paling rentan terkena pengaruh volatilitas nilai
tukar dibandingkan sektor lainnya. Bahkan kondisinya lebih buruk dalam kasus
negara-negara berkembang (Cho et al dalam Satriana, 2017). Adanya fenomena
volatilitas nilai tukar pada sistem nilai tukar mengambang bebas yang dianut
Indonesia diduga akan memengaruhi kinerja ekspor utama pertanian Indonesia ke
negara-negara tujuan utamanya.
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang akan dijawab pada penelitian
ini dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh nilai tukar terhadap kinerja ekspor CPO Indonesia ke
negara importir?
2. Bagaimana hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara nilai tukar
rupiah terhadap ekspor CPO?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan yaitu:
1. Menganalisis pengaruh nilai tukar terhadap kinerja ekspor CPO Indonesia ke
negara importir
2. Menganalisis hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara nilai tukar
rupiah terhadap ekspor CPO
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu bermanfaat bagi pihak pihak yang terkait:
1. Sebagai ilmu bagi akademisi dan sebagai referensi pembanding antara model
linier dan non linier nilai tukar rupiah terhadap ekspor yang pada umumnya
penelitian sebelumnya menggunakan hubungan linier utuk melihat pengaruh
nilai tukar terhadap ekspor.
2. Sumber informasi bagi pemangku kebijakan dalam merumuskan kebijakan
yang terkait dengan nilai tukar, fasilitas perdagangan dan ekspor pertanian
Indonesia.
Ruang lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup dan keterbatasan dalam penelitian ini adalah:
1. Tujuan ekspor CPO Indonesia pada penelitian ini adalah Indonesia ke seluruh
dunia yaitu hubungan multilateral tanpa melihat hubungan beberapa negara.
2. Cakupan penelitian yang dilakukan adalah bersifat agregat nasional. Data yang
digunakan adalah data sekunder. Data sekunder tersebut terdiri atas data deret
waktu tahunan (time series), dimulai dari tahun 2000 sampai tahun 2018.
3. Sumber data berasal dari UN-Comtrade. Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar, volume ekspor CPO
Indonesia dan nilai ekspor CPO Indonesia.
4. Komoditi tyang digunakan adalah minyak kelapa sawit (CPO). Karena
Indonesia 90 persen melakukan ekspor dalam bentuk CPO. Kode HS yang
digunakan adalah 1511100000.
5. Nilai tukar yang dianalisis adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
Serikat. Hal ini dikarenakan dollar Amerika Serikat merupakan mata uang yang
dapat diterima oleh hampir semua negara di dunia sebagai alat pembayaran
internasional.
6. Analisis nilai tukar rupiah pada penelitian ini hanya difokuskan pada nilai tukar
rupiah nominal. Nilai tukar nominal yaitu harga relatif dari mata uang dua
negara.
7. Model yang digunakan adalah NARDL (Non linier Autoregressive Distributed
Lag). NARDL adalah model nonlinier. Berdasarkan Fang (2009), nilai tukar
merupakan variabel non linier karena memberikan dampak yang berbeda
terhadap ekspor jika terjadi depresiasi dan apresiasi.
3. TINJAUAN PUSTAKA
Perdagangan Internasional

Negara A Negara B
Pasar Dunia
(Eksportir) (Importir)
P P P
DA SA SB
ES DB

PB

X
PW

PA M

ED

0 QA 0 QW 0 QB

Sumber : Tweeten L (1992)


Gambar 10. Proses Perdagangan Internasional
Gambar 10 menjelaskan proses terjadinya perdagangan internasional dengana
asumsi bahwa ada dua negara yakni negara A dan negara B, satu produk yang
diperdagangan dan pasar bersifat persaingan sempurna. Kondisi awal pada saat
autarki dimana tidak ada perdagangan di negara A dan B artinya penawaran (S A)
yang sama dengan permintaan (DA) di pasar negara A juga sama dengan harga
komoditas negara A (PA) dengan komoditas yang dihasilkan adalah QA atau
DA=SA=PA. Negara B juga mengalami autarki yakni penawaran (SB) yang sama
dengan permintaan (DB) di pasar negara B juga sama dengan harga komoditas
negara B (PB) dengan komoditas yang dihasilkan adalah QB atau DB=SB=PB. Proses
perdagangan terjadi karena sumberdaya yang dimiliki oleh dua negara tersebut.
Negara A memiliki sumberdaya yang berlimpah sehingga dapat berproduksi lebih
banyak dan penawaran meningkat dan lebih besar dibandingkan permintaan negara
A yang digambarkan oleh kurva Excess Supply (ES) dengan slope positif dimulai
dari PA dan negara B memiliki kondisi yang sebaliknya sehingga membutuhkan
produk yang dihasilkan negara A dan permintaan meningkat lebih besar dari
penawaran yang digambarkan oleh kurva Excess Demand (ED) dengan slope
negatif dimulai dari PB. Kondisi ES dan ED mengakibatkan terjadinya perbedaan
harga produk di negara A lebih rendah daripada harga produk di negara B yang
lebih tinggi (PA,PB) . Kemudian, negara A akan melakukan kegiatan ekspor produk
atas kelebihan penawaran sebesar X (jumlah produk negara A yang diekspor) ke
negara B dan negara B akan melakukan kegiatan impor produk dari negara A atas
kelebihan permintaan sebesar M (jumlah produk negara B yang diimpor) dari
negara A.
Nilai Tukar
Nilai tukar adalah harga mata uang asing dalam mata uang domestik,
sehingga peningkatan nilai tukar berarti meningkatnya harga dari valuta asing yang
menyebabkan mata uang domestik relatif murah atau terjadi depresiasi sedangkan
jika terjadi penurunan jumlah unit mata uang domestik yang diperlukan untuk
membeli satu unit valuta asing, berarti terjadi peningkatan relatif nilai mata uang
domestik atau terjadi apresiasi. Lipsey (1995), menyatakan bahwa di dalam sistem
mata uang mengambang (floating exchange rate), nilai tukar valuta asing
ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran di pasar valas. Adapun
perubahan dalam nilai tukar rupiah tersebut baik dalam kondisi terapreasiasi
ataupun terdepresiasi dapat dijelaskan pada kurva berikut:
Nilai Tukar Nilai Tukar

S1
S E1 S0
E0

D1
D0 D
0 Kuantitas Dollar 0 Kuantitas Dollar

Sistem Nilai Tukar


Sistem nilai tukar dibagi menjadi dua yaitu: tetap (fixed) dan mengembang
(Floating). Menurut Ming (2001), perbedaan dari sistem nilai tukar (Fixed
Exchange Rate) tersebut adalah, jika sistem nilai tukar tetap, suatu negara
mengumumkan suatu nilai tukar tertentu atas mata uangnya dan menjaga nilai tukar
ini dengan menyetujui untuk membeli atau menjual valas dalam jumlah yang tak
terbatas pada nilai tukar tersebut. Kebanyakan negara industri utama memiliki nilai
tukar tetap, terutama saat mulainya akhir perang dunia kedua sampai tahun 1973.
Dalam sistem ini, bank sentral harus membiayaisetiap surplus atau defisit neraca
pembayaran yang timbul pada nilai tukar resmi.
Sedangkan jika nilai tukar mengambang (Floathing Exchange Rate), bank
sentral sama sekali tidak ikut campur tangan dan memperkenankan nilai tukar
secara bebas ditentukan di pasar valas. Jadi, tingkat keseimbangan ditentukan oleh
kekuatan permintaan dan penawaran. Ada dua pengertian dalam sistem ini yaitu
clean float dan dirty float. Clean float adalah nilai tukar dibiarkan bebas tanpa
campur tangan pemerintah sedangkan dirty float, pemerintah melakukan intervensi
di pasar valas. Keuntungan sistem ini adalah tidak terjadi defisit atau surplus neraca
pembayaran karena nilai tukar akan menyesuaikan diri sampai jumlah current
account dan capital account menjadi nol. Akan tetapi disisi lain, nilai tukar yang
tidak stabil sangat peka untuk berubah atau turun. Indonesia menerapakan sistem
nilai tukar mengambang (floating exchange rate) sejak 14 Agustus 1997
(Syarifuddin 2015)
Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Nilai Tukar
Nilai tukar merupakan salah satu indikator utama dalamperekonomian, baik
tingkta domestik maupun internasional. Nilai tukar cenderung mengalami
perubahan seiring berjalannya waktu. Perubahan ini dipengaryhi oleh beberapa
faktor. Sukirno (1970), mengemukaka bahwa beberapa faktor penting yang
mempunyai pengaruh atas perubahan nilai tukar antara lain:
1. Perubahan harga dari barang-barang ekspor. Semakin besar kuantitas barang
atau jasa yang diekspor keluar negeri, maka nilai tukar uang negara pengekspor
akan semakin menurun.
2. Kenaikan harga barang-barang secara umum. Jika terjadi kenaikan harga-harga
barang atau jasa di suatu negara, maka nilai tukar mata uang negara tersebut
mengalmi penurunan.
3. Perubahan dalam tingkat bunga dan tingkat pengembalian investasi. Semakin
tinggi tingkat bunga investasi disuatu negara tersebut, maka semakin tinggi
nilai mata uang negara tersebut.
4. Perkembangan ekonomi. Semakin banyak ekspor negara maka semakin kuat
nilai tukar mata uang suatu negara tersebut.
Hal ini sesuai dengan Mankiw (2007), mengenai teori ekonomi yang
menyatakan bahwa beberapa kondisi yang menentukan perubahan nilai tukar rill
terhadap beberapa faktor lain, dengan menghubungkan antara ekspor neto dan kurs
rill. Adapun analisis Mankiw adalah pada kondisi kurs rill terkait dengan ekspor
neto, jika kurs rill lebih rendah, barang-barang domestik relatif murah
dibandingkan barang-barang luar negeri dan ekspor neto lebih besar. Berikut
merupakan penjelasan berdasarkan kurva.
Kurs Rill

S-I

N-X

0 Ekspor Neto

Gambar. Hubungan kurs rill dengan ekspor neto (Mankiw, 2007)


Berdasarkan gambar 1, NX menunjukan kondisi hubungan antara kurs ril
dan ekspor neto memiliki kemiringan (slope) yang negatif atau menurun karena
semakin rendah kurs rill membuat barang-barang relatif lebih murah. Sedangkan
garis S-I menunjukan kelebihan tabungan atas investasi, S-I terlihat vertikal karena
tabungan dan investasu tidak tergantung kurs rill. Perpotongan kedua garis ini
menentukan kurs ekuilibrium. Gambar 1 terlihat seperti kurbva penawaran dan
permintaan biasa. Dalam kenyataannya, kurva ini menunjukan penawaran dan
permintaan untuk pertukaran mata uang asing. Garis vertikal S-I menujukan arus
modal keluar neto atau penawaran dollar yang akan ditukarkan menjadi mata uang
asing dan diinvestasikan di luar negeri. Kemiringan negatif NX, menunjukan
permintaan neto atas dolar yang berasal dari luar negeri yang akan dipakai untuk
membeli barang-barang domestik. Pada kurs rill ekuilibrium, penawaran dollar
yang tersedia untuk arus modal keluar neto seimbang dengan permintaan dollar
yang dipakai orang asing untuk membeli ekspor neto.
Nilai Tukar terhadap Ekspor
Pasokan valuta asing suatu negara berasal dari penawaran ekspor. Dampak
perubahan nilai tukar terhadap ekspor digambarkan pada gambar 1. Gambar 1
menunjukan bagaimana dampak perubahan nilai tukar terhadap ekspor negara A
(negara eksportir) ke Rest of The World (ROW). Keseimbangan awal berada pada
harga dunia (Pw) dan ekspor (qc). Jika terjadi apresiasi nilai tukar mata uang negara
A akan menggeser kebawah excess demand dari ED ke ED’ karena ROW hanya
akan bersedia membayar dengan harga yang lebih rendah. Pada akhirnya kondisi
ini akan menyebabkan harga domestik negara A turun, meningkatkan harga di
ROW, menurunkan ekspor dari negara A dan menurunkan impor ROW.
Dampak apresiasi dari mata uang A (negara pengekspor) adalah
meningktkan nilai numerik dari mata uang asing di setiap kuantitas qe dan
meningkatkan harga ROW Pr. Hal ini mengakibatkan bergesernya kurva ES
menjadi ES’. Apresiasi bertindak sebagai pajak ekspor implisit, mengurangi ekspor
kuantitas yang ditawarkan pada harga berapapun. Pada gambar 1 menunjukan pula
bahwa apresiasi mata uang Nefara A menyebabkan harga turun dari Pw ke P’.
Sehingga dapat dikatakan bahwa depresiasi mata uang ROW akan menyebabkan
harga naik dari keseimbangan awal menjadi P’ (Tweeten, 1992).
PA ES PR D S
S Pr’
PW
ED
ED’
0 D Q
Negara A (Pengekspor) Dunia Negara B (Pengimpor)

PA ES’
Pr’
Pw’
Po’
ED’ ED
Sumber: Tweeten (1992) 0 q0’ q0 Q
Gambar 5 Efek apresiasi mata uang negara pengekspor

Studi Empiris menggunakan Pendekatan Simetris dan Asimetris


Penerapan pendekatan nilai tukar dibagi menjadi dua yaitu pendekatan
simetris dan asimetris. Beberapa penelitian pada umumnya menggunakan
pendekatan secara simetris untuk meneliti variabel pengaruh nilai tukar.
Pendekatan simetris dapat dianalisis menggunakan metode VECM (Vector Error
Correction Model), ECM (Error Correction Model1), ARDL (Autoregressive
Distributed Lag), dan pendekatan model ekonometrika lainnya. Sedangkan
penelitian menggunakan pendekatan asimetris dapat menggunakan metode ARCH,
GARCH, NARDL (Nonlinier Autoregressive Distribued Lag).
Purba, J. (2012) menganalisis pengaruh nilai tukar terhadap ekspor dan
dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Metode yang digunakan
adalah analisis jalur. Hasil dari penelitian adalah Nilai tukar secara parsial memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap volume ekspor Indonesia, dengan
pengaruh sebesar 71,57 persen. Ratana, D.(2012) menganalisis dampak perubahan
nilai tukar mata uang terhadap ekspor Indonesia. Metode yang digunakan
VAR/VECM. Hasil yang diperoleh adalah Pergerakan nilai tukar tidak memiliki
dampak pada volume ekspor Indonesia walaupun model komoditas hanya memiliki
sedikit bagian impor pada barang akhir untuk ekspor. Pada saat depresiasi nilai
tukar menunjukan hubungan positif signifikan pada komoditas CPO. Prasetyo, A.
(2017) menganalisis pengaruh nilai tukar terhadap export CPO Indonesia. Metode
yang digunkanan ECM. Hasil dari penelitiannya adalah Nilai tukar mempunyai
dampak yang lemah terhadap ekspor CPO Indonesia. Ginting, A. (2013)
menganalisis pengaruh nilai tukar terhadap ekspor Indonesia. Metode yang
digunakan adalah ECM. Hasil dari penelitian ini adalah Nilai tukar dalam jangka
panjang dan jangka pendek memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap
ekspor Indonesia.
Analis pengaruh nilai tukar terhadap ekspor umumnya menggunakan
pendekatan simetris oleh beberapa peneliti, namun hasil yang diperoleh jika
dibandingkan dengan pendekatan simetris lainnya memiliki hasil yang berbeda-
beda seperti hubungan positif signifikan, negatif signifikan. Pendekatan simetris
memiliki beberapa kelemahan, salah satunya adalah ketidakmampuan model dalam
mengidentifikasi adanya efek asimetris pengaruh nilai tukar terhadap ekspor.
Menurut Fang (2009), variabel nilai tukar merupakan variabel non linier, sehingga
dengan pendekatan asimetris untuk meneliti pengaruh nilai tukar terhadap ekspor
diharapkan mampu menjawab tujuan penelitian. Beberapa metode analisis dengan
pendekatan asimtris pada pengaruh nilai tukar tehadap ekspor adalah GARCH,
ARCH, unuk menganalisis apakah terdapat hasil yang asimetris ketika terjadi
perubahan rezim, NARDL untuk menganalisis apakah terdapat efek asimetris
antara perubahan positif dan negatif terhadap variabel dependen yang dianalisis.
Fedoseeva, S. (2014), menganalisis apakah ekspor pertanian adalah spesial?
Nilai tukar non linier terhadap ekspor Eropa ke US, menggunakan metode NARDL,
hasil dari penelitiannya adalah Memberikan reaksi berbeda antara depresiasi dan
apresiasi terhadap ekspor. jangka panjang pada penelitian ini memiliki pengaruh
kuat nilai tukar terhadap ekspor. Adekunle, W. (2018), menganalisis dampak nilai
tukar terhadap produk pertanian di Nigeria. Metode yang digunakan adalah
NARDL. Hasil dar penelitian ini adalah pengaruh nilai tukar terhadap output
pertanian adalah signifikan (log-level). Real apresiasi dan depresiasi (after some
lags). Pengaruh apresiasi lebih luas dibandingkan dengan depresiasi
Lee KW, (2018) menganalisis hubungan nilai tukar terhadap ekspor CPO di
Malaysia dengan membandingkan metode ARDL dan NARDL.Metode yang digunakan
adalah ARDL dan NARDL, hasil dari penelitian ini adalah ARDL: terdapat hubungan
jangka panjang antara nilai tukar rupiah terhadap ekspor (4 variabel) sedangkan pada
NARDL memiliki hubungan jangka panjang (2 variabel). Dampak negatif lebih besar
pengaruhnya dibandingkan dampak positif. Rafiq, S. (2016) menganalisis harga komoditas
melalui asimetris harga minyak: membuktikan model nonlinier. Metode yang digunakan
adalah NARDL. Hasil dari penelitian ini adalah Jangka panjang dari penelitian ini adalah
berpengaruh (+) terhadap peningkatan harga pada 20 komodirtas. Jangka pendek
berpengaruh (-) pada 13 harga komoditas. Fang, W. (2009) menganalisis apakah nilai tukar
berdampak pada ekspor secara asimetris? Bukti di Asia. Metode yang digunakan adalah
GARCH. Hasil dari penelitian ini adalah Asimetris artinya adalah nilai tukar rupaiah
memiliki dampak ekspor yang berbeda ketika terjadi apresiasi atau depresiasi. Hasilnya
adalah NTR memiliki pengaruh positif dan negatif dan signifikan ke beberapa negara di
Asia. Pada penelitian ini menggunakan asimetris yang merespon kuat pengaruh nilai tukar
terhadap ekspor.

Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu


Penelitian mengenai pengaruh nilai tukar rupiah terhadap ekspor CPO
Indonesia sebelumnya sudah pernah dilakukan. Namun penelitian terdahulu
menggunakan model linier untuk menganalisis penelitian, yang membedakan pada
penelitian ini menggunakan model non linier untuk mengetahui pengaruh nilai
tukar terhadap ekspor CPO. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian Fang (2009),
bahwa nilai tukar merupakan variabel non linier, hal ini berdasarkan bahwa
memiliki respon yang berbeda jika terjadi depresiasi atau apresiasi nilai tukar.
Sehingga penelitian ini menggunakan model non linier untuk mengetahui pengaruh
nilai tukar terhadap ekspor CPO Indonesia. Pada penelitian ini menggunakan model
non linier yaitu NARDL (Nonlinier Autoregressive Distributed Lag). Tahun yang
digunakan pada penelitian ini adalah tahun 2000-2018. Penelitian sebelumnya
belum ada yang mencapai tahun 2018.
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini menganalisis pengaruh nilai tukar rupiah terhadap volume
ekspor CPO Indonesia. Beberapa penelitian terdahulu menganalisis hal serupa
namun menggunakan pendekatan simetris. Pada penelitian ini, untuk mengatahui
pengaruh nilai tukar dengan cara pendekatan asimetris. Hal ini disebabkan
berdasarkan Fang (2009), variabel nilai tukar merupakan variabel asimetris, karena
memiliki pengaruh yang berbeda terhadap ekspor jika terjadi apresiasi (rupiah
menguat) dan depresiasi (rupiah melemah). Sehingga pada penelitian ini bertujuan
apakah terdapat pengaruh nilai tukar terhadap ekspor CPO dengan pendekatan
asimetris, dan bagaimana jangka pendek dan jangka panjang pengaruh nilai tukar
terhadap ekspor CPO Indonesia.
Pengaruh nilai tukar
terhadap ekspor

Permodelan Ekonomi

Simetris Asimetris

VAR, VECM, ARDL NARDL

Jangka Panjang Jangka Pendek

Kebijakan Perdagangan
CPO Indonesia
3. METODE
Jenis dam Sumber Data
Jenis data yang digunkan adalah data sekunder dalam bentuk deret waktu
time series dengan entan waktu tahun 2000-2018. Objek penelitian ini adalah
negara importir CPO di dunia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adaha
metode Nonlinier Autoregressive Distributed Lag (NARDL). Sumber peneitian ini
berasal dari Un-Comtrade dan World Bank yang diakses melalui internet. Pada
sumber Un-Comtrade diperoleh variabel volume ekspor CPO Indonesia, nilai
ekspor CPO Indonesia dan sumber World Bank adalah untuk mengakses nilai tukar
rupiah terhadap dolar US. Penelitian ini dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel,
STATA 13, dan Eviews 9.
Metode Analisis
Untuk mengkaji hubungan antara nilai tukar rupiah terhadap ekspor CPO,
penelitian ini menggunakan metode Nonlinier Autoregressive Ditributed Lag
(NARDL). Kointegrasi digunakan pada variabel yang diuji karena stasioner bukan
pada level, namun pada first difference.
Metode Nonlinier Autoregressive Distributed Lag (NARDL)
NARDL merupakan model yang digunakan untuk meangkap efek asimetris
dengan lag yang berbeda-beda pada setiap variabel, sehingga membuat hasil yang
lebih akurat. Pada penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu ekspor CPO (EX)
dan nilai tukar (EXR) dengan menggunakan model NARDL untuk memeriksa
apakah teradapat hubungan jangka pendek dan jangka panjang pengaruh nilai tukar
rupiah terhadap ekspor CPO dengan pendekatan asimetris. Berikut merupakan
model jangka panjang pada NARDL
EXt = α0 + α1EXRt+ + α2EXR-t- + et

Dimana, EX adalah volume ekspor CPO dan EXR adalah nilai tukar, dan α0, α1, α2
adalah vektor parameter jangka panjang yang diestimasi. EXRt+ dan EXR- adalah
partial sums perubahan positif dan negatif pada EXR.
Berikut merupakan model NARDL menurut Shin et al (2011) dari model dasar
ARDL oleh Pesaran et al:
𝒑 𝒒
∆EXt = β0 + β1EXt-1 + β2EXR+t-1 + ∑𝒊=𝟏 𝛗 i∆EXt-1 + ∑𝒊=𝟎( φi+ ∆EXR+t-i + φi-
∆EXR-t-i) + ut

Dimana p dan q adalah lag. Model jangka panjang turunan dari NARDL. Sehingga,
∑𝑞𝑖=0 θ i+ dan ∑𝑞𝑖=0 θ i-, menangkap efek jangka pendek dari masing-masing
perubahan positif dan negatif dalam ekspor minyak sawit.

Data Generating Prosess


Data Generatig Proess adalah proses awal sebelum masuk pada tahap
estimasi dan analisis model. Pada tahap ini akan dilakukan berbagai pengujian pra
estimasi meliputi uji akar unit, uji kointegrasi dan pengujian diagnostic model.
Uji Stasioneritas Data
Pengujian stasioneritas menggunakan uji akar unit (unit rot test) merupakan
tahap awal dalam mengolah data time series. Data ekonomi time series umumnya
memiliki tren yang tidak stationer pada data level artinya data tersebut memiliki
akar unit. Data yang mengandung akar unit (tidak stasioner) akan memberikan hasil
estimasi yang semu (spurious) hal karena memperlihatkan antar variabel tersebut
berhubungan padahal tidak.
Hal terebut disebabkan karena sebenarnya hasil tersebut hanya mengikut
command trend dan tren data tersebut cenderung berfluktuasi tidak disekitar nilai
rata-ratanya, dimana kondisi tersebut ditunjukan dengan R2 yang tinggi namun
banyak hasil estimasi parameter yang tidak signifikan. Hasil estimasi yang semu
akan menggambarkan hubungan antar variabel yang terlihat signifikan secara
statistic padahal kentyataannya tidak. Tipe pengujian yang umumnya digunakan
untuk menguji stasioneritas yaitu ADF (Augmented Dickey Fuller Test) dan PP
(Phillips-Perron Test).
Uji stasioner dengan menggunakan uji ADF memisalkan terdapat model
persamaan time series sebagai berikut:
yt = α + ρyt-1 + et-1
Pada model tersbut diketahui bahwa ρ merupakan parameter yang diestimasi.
Selanjutnya, jika nilai |ρ| ≥1 maka yt tidak stasioner. Sedangkan jika |ρ| ≤ 1 maka yt
stasioner. Kemudian diakukan uji hipotesis trend stationarity untuk menguji apakah
nilai absolut dari ρ benar-benar kurang dari satu. Pengujian umum hipotesis adalah
H0: ρ=1 dan H1: ρ<1. Jika tolak H0 maka artinya data tersebut adalah stasioner, Jika
Sp adalah standar error dari ρ, maka:
ρ−1
Tes Statistik: Sp

Jika pada pengujian tersebut ternyata terima H0 atau data tidak stasioner,
penyelesaian tersebut dilakukan dengan cara menguragi kedua sisi dari persamaan
yt = α + ρyt-1 + et-1 dengan yt-1 sehingga menjadi:
∆yt = α + ρyt-1 + et, ρ* = ρ-1
Hipotesis yang digunakan pada uji diatas adalah H0: ρ*=0 dan H1: ρ*<0. Jika nilai
t-statistik ADF < t-stastistik Mac Kinnon maka hasil uji adalah tolak H0 artinya data
tersebut stasioner pada level beda satu atau dikenal dengan first difference.
Pengujian stasioneritas, selain menggunakan ADF dapat digunakan uji PP.
Hal ini dikarenakan dalam ekonometrika terdapat structural break yang tidak dapat
dihindari sehingga dapat menimbulkan masalah dimana dapat menurunkan derajat
bebas dari hasil regresi. Pada uji ADF, pengujian unit root tidak
mempertimbangkan perubahan struktural. Sehingga menurut Peron (1989), sebuah
prosedur formal untuk menguji unit roots dimana terdapat sebuah perubahan
struktural pada periode waktu t = τ + 1. Uji PP ini memisalkan terdapat model
persamaan time series sebagai berikut:
yt = α0 + α1yt-1 + α2t + μ1Dp + μ2DL + et
Uji t-statistik dari hipotesis nol (α1=1) dapat dibandingkan dengan critical
value dari Perron (1989) pada level signifikasi 5 persen. Jika t statistic PP > critical
value = data stasioner pada taraf yang ditentukan. Jika pada uji PP data tidak
stationer pada tingkat level maka dilakukan diferenial sampai data stasioner pada
tingkat first difference. Jika hasil uji pada tingkat first difference data telah stasioner,
maka uji kointegrasi sebaiknya tetap dilakukan karena kemungkinan kesalahan
pengambilan kesimpulan pengujian unit root terkait dengan the power of test.
Uji Kointegrasi
Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang antara variabel-variabel
yang meski secara individual tidak stasioner namun jika dikombinasi antar variabel
memungkinkan dapat menjadi stasioner (Thomas, 1997). Adanya hubungan
kointegrasi dalam sebuah sistem persamaan menandakan bahwa dalam sistem
tersebut terdapat error correction model yang artinya adanya dinamisasi dalam
jangka pendek secara konsisten dengan hubungan jangka panjang (Verbeek, 2002).
Tujuan uji kointegrasi adalah untuk melihat apakah variabel yang digunakan dalam
sistem persamaan mempunyai hubungan jangka panjang atau tidak (Ilham dan
Siregar, 2007).
Menurut Pesaran dan Shin (1998) dan Pesaran et al (2001) uji kointegrasi
non linier menggunakan uji bound yaitu untuk mengetahui adanya hubungan jangka
panjang yang stabil, apakah regresor yang mendasarinya adalah I(0), I(1) atau
saling kointegrasi. Terdapat dua prosedur pengujian operasional untuk melihat
adanya asimetris (kointegrasi) hubungan jangka panjang berdasarkan ECM
NARDL:
𝜌−1
∆yt = ρξt-1 + ∑𝑗=1 𝛾j ∆yt-j + ∑𝑞−1 +’
𝑗=0 (πj ∆x t-j + πj ∆x t-j) + et
+ -’ -

Keterangan:
π0+ = θ0+ + ω,
π0- = θ0 - + ω
πj+ = φj+ + ω’Λj
πj- = φj- - ω’Λj (untuk j = 1,.,q-1)
Konteks model NARDL, karena struktur ketergantungan yang ada antara
partial sum decompositions xt+ dan xt- nilaik k yang tepat menjadi tidak jelas. Kasus
sederhana dimana hubungan jangka panjang didefinisikan antara yt xt+, xt-, artinya
nilai k berada pada nilai antara 1 dan 2. Secara umum, diperkirakan bahwa
pengujian akan undersize dengan k=1 dan oversized dengan k=2. Nilai k=1
menghasilkan hasil yang lebih konservatif (nilai kritis yang lebih tinggi). Sehingga,
pada tingkat pragmatic, tolak hipotesis nol dari hubungan jangka panjang. Nilai
krtis ini membuktikan adanya hubungan jangka panjang, dimana uji coba dapat
segera diselesaikan dengan bootstrap.
Pengujian Diagnostik Model
Pengujian diagnostic model menggunakan asumsi klasik. Pengujian
dilakukan untuk mengambil apakah model terbebas dari masalah-masalah asumsi
seperti uji normalitas, heterokedasitas, autokorelasi.
Uji Autokorelasi
Pada penelitian ini menggunakan uji Autokorelasi menggunakan uji
Breusch-Godfrey LM (Lagrange Multiplier). Pengujian ini digunakan untuk
mengetahui apakah pada model tersebut mengandung korelasi antar variabel atau
tidak. Sehingga diharapkan antar variabel tidak saling berkorelasi agar terbebas dari
autokorelasi. Asumsi tidak terdapat korelasi adalah kesalahan bersifat acak
(Gujarati, 2006). Indikator model terbebas dari autokorelasi adalah jika nilai
probabilitasi lebih besar dari taraf nyata.
Uji Heterokedasitas
Pengujian heterokedasitas menggunakan uji Breusch-Pagan, tujuan uji
heterokedasitas adalah untuk mengetahui apakah ragam sisaan dari model regresi
bergantung pada besaran nilai variabel independen. Uji Breusch-Pagan
menggunakan uji chi-square, yaitu uji stastistik menyebar nx2 dengan derajat bebas
k. indicator dari uji heterokedasitas adalah jika nilai probabilitas F-statistik chi-
square lebih besar dari taraf nyata maka model tersebut terbebas dari masalah
heterokedastisitas.
Uji Normalitas
Pengujian normalitas menggunakan uji Jarque-Bera. Uji normalitas
dilakukan untuk melihat apakah model tersebut menyebar normal. Indicator dari
pengujian ini adalah jika nilai probabilitas dari uji Jarque-Bera statistiklebih besar
dari taraf nyata maka artinya model tersebut menyebar normal.
Uji Stabilitas Model
Cummulative Sum of the Recursive Residual (CUSUM)
Uji CUSUM adalah uji stabilitas parameter pada regresi time series yang
diperkenalkan oleh Brown et al. (1975). Hasil dari pengujian ini adalah berupa plot
garis yang dinyatakan dengan garis yang dinyatakan dengan bata garis kritis pada
taraf nyata 5 persen. Perhitungan garis yang dinyatakan sebagai berikut:
Wt = ∑𝑡𝑟=𝑘+1 𝑊𝑡/𝑠
Batas garis kritis pada taraf nyata 5 persen berasal dari menhubungkan titik berikut
ini:
[k, ± -0.948 (T-k)1/2]
Keterangan:
W : nilai CUSUM
k : jumlah regresor (variabel penjelas)
t : periode, dari k+1,..T
T : jumlah periode analisis
w : recursive residual
s : simpangan baku pada recursive residual
Indikator uji CUSUM adalah jika garis CUSUM (Wt) berada diluar batas
garis kritis maka parameter yang diestimasi dalam model dinyatakan tidak stabil.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2018. Data [internet]. [diakses pada 2019 November
01]. Tersedia pada: https://www.bps.go.id/.
[Ditjenbun] Dirjen Jendral Perkebunan. 2018. Kelapa sawit wajib dilindungi
[Internet]. [diakses pada 2019 November 01]. Tersedia pada
http://ditjenbun. pertanian.go.id/berita-511-kelapa-sawit-
wajibdilindungi.html.
[Kemendag] Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. Perdagangan
Internasional Sawit dan Hambatannya [Internet]. Jakarta (ID): Rapat
Kerja Nasional Kementrian Perdagangan. [diunduh 2019 November
02].Tersediadarihttps://www.kemendag.go.id/files/pdf/2017/02/20/rap
at-kerja kementerian-perdagangan-2017-id10-1487584013.pdf.
[Pusdatin] Pusat Data dan Informasi Kementrian Pertanian. 2018. Outlook
Komoditas Pertanian Subsektor Perkebunan Kelapa Sawit. [internet].
[diakses pada 2019 November 01]. Tersedia pada:
https://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/.
[UN Comtrade] The United Nations Commodity Trade. 2019. UN Comtrade Data
Base [internet]. [diakses pada 2019 November 01]. Tersedia pada:
https://comtrade.un.org/data/.
Cho, Kandilov, Kafle dan Kennedy dalam Satriana, ED. 2017. Pengaruh
Volatilitas Nilai Tukar dan Fasilitas Perdagangan terhadap Kinerja
Ekspor Utama Pertanaian Indonesia [tesis]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Chou 2000. Chou WL. 2000. Exchange rate variability and China’s exports. Journal
of Comparative Economics. 28(1): 61-79.
Fang, W (2009). Does exchange rate risk affect exports asymetrically? Asian
evidance. 28: 215-239.
Goeltom dan Zulverdi 1998. Manajemen nilai tukar di Indonesia dan
permasalahannya. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. 1(2): 69-
91.
Krugman, Obstfeld, Mankiw dalam Satriana, ED. 2017. Pengaruh Volatilitas Nilai
Tukar dan Fasilitas Perdagangan terhadap Kinerja Ekspor Utama
Pertanaian Indonesia. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Orden 2002. Orden D. 2002. Exchange rate effects on agricultural trade. Journal of
Agricultural and Applied Economics. 34(2): 303-312.
Oztruk 2006. Exchange rate volatility and trade: A literature survey. International
Journal of Applied Econometrics and Quantitative Studies. 3(1): 85-
102.
Susilo (2001. Susilo, A. 2001. Dampak Ketidakpastian Nilai Tukar Indonesia
tehadap Pertumbuhan Ekspor Periode 1979.1-1988.4: Suatu
Pendekatan Teknik Kointegrasi dan Model Koreksi Kesalahan. [tesis].
Depok: Universitas Indonesia.
World Bank. 2016. World Bank Data [internet]. [diakses pada 2019 November 01].
Tersedia pada: www.data.worldbank.org.

Anda mungkin juga menyukai